Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

URTIKARIA AKUT

Disusun Oleh
Nurul Astrid Rumbia
1102013219

Pembimbing
dr. Hilman Wildan Latief , Sp. DV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD dr. Slamet Garut
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................2


BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................5
2.1.Definisi ........................................................................................................5
2.2. Epidemiologi ..............................................................................................5
2.3. Etiologi .......................................................................................................6
2.4. Klasifikasi...................................................................................................8
2.5. Patogenesis..................................................................................................9
2.6. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik............................................................13
2.7. Manifestasi Klinik.....................................................................................15
2.8. Diagnosis Banding....................................................................................27
2.9. Pemeriksaan Penunjang............................................................................29
2.10.Penatalaksanaan ......................................................................................31
2.11.Prognosis..................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................39

2
BAB I
PENDAHULUAN

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab,


biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang
perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit,
sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan yang biasanya dikeluhkan oleh pasien
yaitu gatal, rasa terbakar atau rasa tertusuk. Secara klinis akan tampak eritema dan
edema setempat berbatas tegas. Namun gambaran klinisnya akan tergantung dari
agen penyebab munculnya urtika.
Urtikaria dapat menyerang segala usia, namun lebih banyak mengenai orang
dewasa, rata-rata usia 35 tahun. Ditemukan 40% berbentuk urtikaria saja, 49%
urtikaria bersama-sama dengan angioedema, dan 11% angioedema saja. Lama
serangan berlangsung bervariasi, ada yang lebih dari satu tahun bahkan ada yang
lebih dari 20 tahun. Penderita atopi akan lebih mudah mengalami urtikaria. Umur,
ras, pekerjaan, letak geografis, dan perubahan musim dapat mempengaruhi
hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE.
Urtikaria dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan. Berdasarkan
lamanya serangan berlangsung, urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria
kronik. Urtikaria akut yaitu jika serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari, bila melebihi waktu tersebut
digolongkan menjadi urtikaria kronik. Berdasarkan morfologi klinis urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria papular, urtikaria gutata (bila besarnya sebesar tetesan
air) atau girata (bila ukurannya lebih besar), urtikaria anular, dan urtikaria asinar.
Menurut luas dan dalamnya jaringan yang terkena, dapat dibagi menjadi urtikaria
lokal, urtikaria generalisata, dan angioedema. Berdasarkan penyebab dan mekanisme
terjadinya, urtikaria dibagi menjadi urtikaria imunologi, non imunologik, dan
idiopatik.

3
Etiologi dari urtikaria ini bermacam-macam, namun disebutkan sekitar 80%
tidak dikethaui penyebabnya. Adapun etiologi dari urtikaria diduga oleh karena,
obat, makanan, gigitan atau sengatan serangga, bahan fotosensitizer, inhalan,
kontaktan, trauma fisik, infeksi, psikis, genetic ataupun penyakit sistemik. Adapun
patogenesis mekanisme terjadinya urtikaria yaitu segala macam faktor baik
imunologik maupun non imunologi merangsang sel mast atau basofil
sehingga melepaskan mediator-mediator seperti histamin, kinin, serotonin,
slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA) dan prostaglandin. Hal ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan
setempat dan terjadilah edema setempat yang disertai kemerahan.
Adapun tatalaksana pada pasien urtikaria yaitu pemberian
antihistamin. Pemberian antihistamin ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi
gejala di mana obat ini bekerja dengan menghambat histamin pada reseptornya.
Antihistamin dibagi menjadi dua yaitu antagonis reseptor H1 dan antagonis reseptor
H2. Untuk urtikaria biasanya diberikan antihistamin yang berkhasiat pada reseptor
H1. Namun pada beberapa keadaan diperlukan kombinasi antihistamin H1 dan H2.
Untuk pengobatan lokal dapat diberikan antipruritus dalam bedak atau
bedak kocok. Untuk mencegah terjadinya urtikaria, pasien diberikan edukasi
untuk menghindari faktor pencetus timbulnya urtikaria ini

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit
berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan oleh
suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan
(eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang
timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan menghilang
perlahan-lahan. Dalam istilah awam lebih dikenal dengan istilah “kaligata” atau
“biduran”. Meskipun pada umumnya penyebab urtikaria diketahui karena rekasi
alergi terhadap alergen tertentu, tetapi pada kondisi lain dimana tidak diketahui
penyebabnya secara signifikan, maka dikenal istilah urtikaria idiopatik. Sejumlah
faktor, baik imunologik dan nonimunologik, dapat terlibat dalam patogenesis
terjadinya urtikaria. Urtikaria dihasilkan dari pelepasan histamin dari jaringan sel-sel
mast dan dari sirkulasi basofil. Faktor-faktor nonimunologik yang dapat melepaskan
histamin dari sel-sel tersebut meliputi bahan-bahan kimia, beberapa obat-obatan
(termasuk morfin dan kodein), makan makanan laut seperti lobster, kerang, dan
makanan-makanan lain, toksin bakteri, serta agen fisik. Mekanisme imunologik
kemungkinan terlibat lebih sering pada urtikaria akut daripada urtikaria kronik.
Mekanisme yang paling sering adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yang distimulasi
oleh antigen polivalen yang mempertemukan dua molekul Ig E spesifik yang
mengikat sel mast atau permukaan basofil (Aisyah, 2007).

2.2 Epidemiologi
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras, jenis
kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen predisposisi

5
bagi urtikaria. Berdasarkan data dari National Ambulatory Medical Care Survey dari
tahun 1990 sampai dengan 1997 di USA, wanita terhitung 69% dari semua pasien
urtikaria yang datang berobat ke pusat kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah
0-9 tahun dan 30-40 tahun. Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6
minggu. Paling sering episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan
atau efek samping dari makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode
urtikaria yang persisten melebihi 6 minggu disebut kronik dan paling sering adalah
urtikaria idiopatik atau urtikaria yang disebabkan karena autoimun. Sekitar 50%
pasien dengan urtiakria sendirian tanpa lesi kulit lainnya dapat bebas dari lesi dalam
1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85% dalam 5 tahun; kurang dari 5% lesi hilang
lebih dari 10 tahun (Djuanda, 2008).
Lesi urtikaria dapat berupa papul-papul merah pea-sized (sebesar kacang
polong) sampai gambaran circinate (lingkaran) besar dengan batas-batas kemerahan
dan putih di sentral yang dapat menutupi seluruh bagian dari badan. Vesikel-vesikel
dan bula dapat tampak dalam kasus yang berat, bersamaan dengan efusi hemoragik.
Bentuk berat dari urtikaria disebut juga angioedema. Ia dapat mengenai seluruh
bagian tubuh, seperti bibir atau tangan. Oedem glotis dan bronkospasme merupakan
komplikasi yang serius yang dapat mengancam nyawa. Kasus-kasus akut dapat
ringan atau berat tetapi biasanya hilang dengan atau tanpa pengobatan dalam
beberapa jam atau hari. Bentuk kronik dapat mengalami remisi dan eksaserbasi
dalam hitungan beberapa bulan atau tahun (Zuberbier, 2006).

2.3 Etiologi
Penyebab dari urtikaria akut beragam, diantara: obat, makanan, gigitan
serangga, hingga ke inhalan, psikis, genetic, dan penyakit sistemik. Namun dai
kepustakaan didapatkan bahwa urtikaria akut paling banyak disebabkan oleh karena
alergi makanan dan parasit (Ferrer, 2009). Banyak jenis makanan yang dapat
menyebabkan timbulnya urtikaria akut, seperti kacang, telur, makanan laut, dan

6
berbagai jenis makanan lain yang mengandung zat tambahan seperti pewarna dan
penyedap. Sedangkan parasit yang dapat menyebabkan urtikaria akut diantaranya
kutu binatang, cacing pita, cacing gelang, juga Schistosoma (Clarke, 2004).
Urtikaria umumnya sering dicetuskan oleh beberapa faktor presipitan di
bawah ini :
1. Obat-obatan atau bahan kimia
Penisilin dan derivatnya kemungkinan merupakan penyebab obat paling
sering dari urtikaria akut, tetapi obat-obatan lainnya, apakah melalui oral,
injeksi, inhalasi, atau, topikal juga dapat menyebabkan reaksi urtikaria. Obat-
obatan yang menimbulkan urtikaria bereaksi secara imunologik maupun non-
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara
imunologik (Tipe I atau II). Ada pula obat yang secara non-imunologik
langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamine, misalnya kodein,
opium, dan zat kontras.
2. Makanan
Makanan merupakan penyebab yang umum dari urtikaria akut. Terutama
adalah makanan seafood, sedangkan makanan lainnya yang sering dilaporkan
adalah strawberry, cokelat, kacang, keju, telur, gandum, dan susu.
3. Gigitan dan sengatan serangga
Gigitan serangga, sengatan nyamuk, kutu, atau laba-laba, dan kontak dengan
ngengat, lintah, dan ubur-ubur dapat menyebabkan timbulnya urtikaria. Hal
ini sering diperantarai oleh IgE (Tipe I) dan tipe selular (Tipe IV). Tetapi
venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen.
4. Agen fisik
Urtikaria juga dapat merupakan akibat dari paparan panas, dingin, radiasi,
cidera fisik seperti faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang,
faktor vibrasi dan tekanan yang berulang-ulang contohnya pijatan dapat
menyebabkan urtikaria fisik baik secara imunologik maupun non-imunologik.

7
5. Inhalan
Nasal spray, insect spray, inhalasi dari debu, bulu-bulu binatang atau karpet,
dan serbuk merupakan beberapa faktor pencetus melalui inhalasi.
6. Infeksi
Adanya fokus infeksi sering dipertimbangkan, cepat atau lambat, pada kasus
kronik, dan pada penyebab yang tidak biasa. Sinus, gigi geligi, tonsil,
kandung empedu, dan saluran genitourinaria sebaiknya diperiksa.
7. Penyakit dalam
Urtikaria dapat timbul pada penyakit hati, parasit usus, kanker, demam
rematik, dan lainnya.
8. Psikis
Setelah semua penyebab urtikaria kronik telah disingkirkan, masih terdapat
sejumlah kasus yang muncul berhubungan dengan stress atau nervous, cemas,
atau kelelahan. Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler.
9. Sindroma Urtikaria Kontak
Respon yang tidak lazim ini dapat diakibatkan karena kontak antara kulit
dengan obat-obatan, bahan kimia, makanan, serangga, hewan, dan tanaman.

2.4 Klasifikasi
Menurut Aishah (2007), terdapat beberapa penggolongan urtikaria :
Berdasarkan lamanya serangan berlangsung
 Urtikaria akut : bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau
berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.
 Urtikaria kronik : bila serangan lebih dari 6 minggu.
Berdasarkan morfologi klinis
 Urtikaria popular : bila berbentuk papul.
 Urtikaria gutata : bila besarnya sebesar tetesan air.

8
 Urtikaria girata : bila ukuran besar.
Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan terkena
 Urtikaria lokal
 Urtikaria generalisata
 Angioedema
Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadi urtikaria
 Urtikaria imunologik
1. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
2. Ikut sertanya komplemen
3. Reaksi alergi tipe IV
 Urtikaria nonimunologik
1. Langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator. (misalnya
obat golongan opiat dan bahan kontras)
2. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya
aspirin, obat anti inflamasi non-steroid)
3. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar,
dan bahan kolinergik.
 Urtikaria Idiopatik : Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya.

2.5 Patogenesis
Sel mast merupakan sel efektor primer pada patogenesis timbulnya gejala-
gejala urtikaria. Di kulit, sel mast terdapat di dermis. Selain itu sel mast juga terdapat
di pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf-saraf, dan organ tubuh. Granul-granul
dalam sel mast mengandung histamin, heparin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan Eosinophile Chemotactic Factor (ECF). Ada 2 macam sel
mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama
ditemukan sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah histamin dan heparin.
Pelepasan mediator tersebut dihambat kromoglikat yang mencegah influks kalsium

9
ke dalam sel. Sel mast yang kedua ditemukan di saluran cerna dan nafas. Proliferasi
sel mast oleh dipicu IL-3 dan IL-4 dan bertambah pada infeksi parasit (Habif, 2004).
Sel mast akan melepaskan mediator-mediator radang seperti histamin,
leukotrin (SRSA), kinin, serotonin, PEG, PAF, dan lain-lain. Pelepasan mediator-
mediator radang ini karena rangsangan dari beberapa faktor, antara lain faktor
imunologik (reaksi alergi tipe I, II, III, IV, dan genetik yaitu defisiensi C1 esterase
inhibitor) dan faktor nonimunologik (bahan kimia pelepas mediator, faktor fisik, efek
kolinergik, alkohol, emosi, demam). Mediator-mediator yang dilepaskan akan
memberikan pengaruh-pengaruh yang berbeda (Baratawidjaja, 2004).
Salah satu mediator yang dilepaskan oleh sel mast yang sangat penting dalam
proses timbulnya gejala-gejala pada urtikaria adalah histamin. Ada beberapa
mekanisme pelepasan histamin. Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya
menyebabkan degranulasi sel mast dan melepaskan histamin ke jaringan dan
sirkulasi. Histamin menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi kebocoran,
dimana cairan berpindah dari intravaskuler ke ekstravaskuler, sehingga timbullah
edema (Habif, 2004).
Bila telah masuk ke dalam kulit, histamin menyebabkan triple response of
Lewis, yaitu eritema lokal (vasodilatasi), suatu flare dengan karakteristik eritema di
luar batas dari eritema lokal, hingga terbentuk suatu wheal akibat kebocoran cairan
vena-vena postkapiler. Pembuluh darah terdiri dari 2 reseptor histamin. Reseptor
yang selama ini diteliti adalah H1 dan H2 (Baratawidjaja, 2004)..
Reseptor H1 ketika dirangsang oleh histamin, akan menyebabkan refleks dari
akson, vasodilatasi dan pruritus. Perangsangan reseptor H1, melalui saraf sensorik,
menyebabkan kontrakasi otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal,
pruritus, dan bersin. Ketika reseptor H2 dirangsang, terjadi vasodilatasi. Disamping
itu reseptor H2 juga terdapat di permukaan membrane dari sel mast dan ketika
dirangsang, akan menyebabkan produksi dari histamine. Aktivasi reseptor H2 sendiri
akan menyebabkan peningkatan produksi asam lambung. Aktivasi H1 dan H2

10
bersamaan akan mengakibatkan hipotensi, takikardi, kemerahan, dan sakit kepala
(Baratawidjaja, 2004)..

11
FAKTOR NON IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas mediator Reaksi tipe I (IgE)


(morfin,kodein) (inhalan, obat, makanan, infeksi)

Reaksi tipe IV (kontaktan)

Faktor fisik
(panas, dingin, trauma,
sinar X, cahaya) Pengaruh komplemen

Aktivasi komplemen
SEL MAS klasik – alternatif
BASOFIL (Ag-Ab, venom, toksin)

Efek kolinergik Reaksi tipe II

Reaksi tipe III

Faktor genetik
(defisiensi C1 esterase inhibitor)

PELEPASAN MEDIATOR
(histamin, SRSA, serotonin,
kinin, PEG, PAF)

Alkohol VASODILATASI
Emosi PERMEABILITAS KAPILER ↑
Demam

Idiopatik? URTIKARIA

Gambar 1. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria


12
2.6 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya dan durasi rash / ruam serta
gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau
kronik. Untuk urtikaria kronik atau rekuren, penting untuk mempertimbangkan
faktor-faktor penyebab sebelumnya dan keefektifan berbagai pilihan terapi.
- Tanyakan tentang faktor presipitan, seperti panas, dingin, tekanan, aktivitas
berat, cahaya matahari, stres emosional, atau penyakit kronik
(misalnya, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, SLE,
polimiositis, amiloidosis, polisitemia vera, karsinoma, limfoma).
- Tanyakan tentang penyakit lain yang dapat menyebabkan pruritus, seperti
diabetes mellitus (DM), insufisiensi ginjal kronik, sirosis bilier primer, atau
kelainan kulit nonurtikaria lainnya (misalnya, eczema, dermatitis kontak).
- Tanyakan tentang riwayat angioedema pada keluarga dan pribadi, dimana
urtikaria pada jaringan yang lebih dalam dan dapat mengancam nyawa jika
mengenai laring dan pita suara. Penyebab spesifik angioedema diantaranya
hereditari angioedema (defisiensi C1-inhibitors) dan acquired angioedema
(berhubungan dengan angiotensin-converting enzyme [ACE] inhibitor dan
angiotensin receptor blockers (ARBs). Karakteristik dari angioedema
meliputi di bawah ini:
- Vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam
daripada yang tampak pada urtikaria.
- Pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya
terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas (bibir, lidah,
uvula, palatum molle, dan laring ) dan saluran cerna
(pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat).

13
- Suara serak, merupakan tanda paling awal dari oedem laring
(tanyakan pasoen bila ia mengalami perubahan suara serak)
Untuk urtikaria akut, tanyakan tentang kemungkinan pencetus/presipitan,
seperti di bawah ini:
- Penyakit sekarang (misalnya, demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek,
muntah, diare, nyeri kepala)
- Pemakaian obat-obatan meliputi penisilin, sefalosporin, sulfa, diuretik,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), iodida, bromida, quinidin,
chloroquin, vancomycin, isoniazid, antiepileptic agents, dll.
- Intravenous media radiokontras
- Riwayat bepergian (amebiasis, ascariasis, strongyloidiasis, trichinosis,
malaria)
- Makanan (eg, kerang, ikan, telur, keju, cokelat, kacang, tomat)
- Pemakaian parfum, pengering rambut, detergen, lotion, krim, atau pakaian
- Kontak dengan hewan peliharaan, debu, bahan kimia, atau tanaman
- Kehamilan (biasanya terjadi pda trimester ketiga dan biasanya sembuh
spontan segera setelah melahirkan)
- Kontak dengan bahan nikel (ex, perhiasan, kancing celana jeans), karet (ex,
sarung tangan karet, elastic band), latex, dan bahan-bahan industri
- Paparan panas atau sinar matahari
- Aktivitas berat

b. Pemeriksaan Fisik
Urtikaria mempunyai karakteristik ruam kulit pucat kemerahan dengan
elevasi kulit, dapat linier, annular (circular), atau arcuate (serpiginous). Lesi ini dapat
terjadi pada daerah kulit manapun dan biasanya sementara dan dapat berpindah.

- Dermographism dapat terjadi (lesi urtikaria yang berasal dari goresan ringan).

14
- Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan
menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa. Di
antaranya :
o Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak
o Angioedema pada bibir, lidah, atau laring
o Skleral ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan
adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati
o Pembesaran kelenjar tiroid
o Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma
o Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan
penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus
(SLE)
o Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm
(asthma)
o Extremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur

2.7 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit
berupa biduran yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatas tegas
dengan batas tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang sampai
berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak
pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga.
Diameter lesi dapat bervariasi dari sekitar 5 mm (0,2 inchi) sampai dapat sebesar satu
piring makan. Ketika proses oedematous meluas sampai ke dalam dermis dan atau
subkutaneus dan lapisan submukosa, maka ia disebut angioedema. Urtikaria dan
angioedema dapat terjadi pada lokasi manapun secara bersamaan atau sendirian.
Angioedema umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai

15
nyeri tetapi jarang pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa hari.
Keterlibatan bibir, pipi, dan daerah periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema
juga dapat mengenai lidah dan faring. Lesi individual urtikaria timbul mendadak,
jarang persisten melebihi 24-48 jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak
tentu.

Urtikaria dapat bermanifestasi sebagai keadaan-keadaan dibawah ini :

I. Immunologic IgE- dan IgE Receptor–Dependent Urticaria/Angioedema

a) Urtikaria yang disebabkan oleh antigen spesifik


Contoh-contoh umum dari antigen spesifik yang dapat memprovokasi timbulnya
urtikaria/ angioedema misalnya makanan, seperti kerang, kacang-kacangan, dan
cokelat; obat-obatan dan agen terapeutik, misalnya penisilin; aeroallergen; dan
Hymenoptera venom.

b) Atopic diathesis
Episode akut urtikaria/angioedema yang terjadi pada pasien-pasien dengan riwayat
pribadi atau keluarga dengan asma, rhinitis, atau eczema diduga merupakan IgE-
dependent. Dalam praktik klinik, urtikaria/angioedema jarang disertai eksaserbasi
asma, rhinitis, atau eczema. Prevalensi urticaria/angioedema kronik tidak meningkat
pada pasien-pasien atopik.

c) Physical urticaria (urtikaria fisik)


 Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari physical urticaria. Ia tampak
sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara
muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit

16
biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul. Ia tidak
berhubungan dengan atopi. Respon dermographic secara pasif ditransfer ke kulit
normal dengan serum atau Ig E.

Gambar 2. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal

 Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
rekasi immediate, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.
Cold-dependent dermographism adalah kondisi yang terjadi hanya setelah terjadi
paparan dingin. Cholinergic dermographism adalah bentuk yang jarang yang terjadi
sebagi biduran punctata (punctate wheals) pada pasien dengan cholinergic urticaria.

 Pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, oedem local, sering
disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.
Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk
pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan
dengan tangan. Delayed pressure urticaria dapat berhubungan dengan demam,
menggigil, arthralgia, dan myalgia, juga dengan peningkatan LED dan leukositosis.
Immediate pressure urticaria adalah kelainan idiopatik yang jarang. Ia telah diketahui
berhubungan dengan pasien sindroma hipereosinofilik.

17
 Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena
paparan vibrasi okupasional. Ia dapat sebagai kelaianan autosomal dominan yang
diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada
wajah. Peningkatan kadar plasma histamin ditemukan dalam serangan pada pasien
dnegan bentuk keturunan / herediter dan pada pasien dengan penyakit yang didapat.

 Cold urticaria
Terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter) dari cold
urticaria/angioedema. Bentuk yang didapat lebih sering dijumpai. Idiopathic atau
primary acquired cold urticaria mungkin berhubungan dengan sakit kepala, hipotensi,
sinkop, wheezing, shortness of breath, palpitasi, nausea, vomiting, dan diare.
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan
dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Biduran
dapat timbul setelah dilakukan kontak kulit dengan es yang disebut dengan
diagnostic cold contact test. Jika seluruh tubuh dingin, seperti dalam keadaan
berenang, hipotensi dan sinkop, yang berpotensi mematikan dapat terjadi. Bentuk
yang jarang dari acquired cold urticaria yang telah dilaporkan pada beberapa kasus di
antaranya systemic cold urticaria, localized cold urticaria, cold-induced cholinergic
urticaria, cold-dependent dermographism, dan localized cold reflex urticaria. Dua
bentuk dominan dari inherited cold urticaria telah dideskripsikan. Familial cold
urticaria, yang juga disebut dengan familial cold autoinflammatory syndrome
merupakan kelainan autosomal dominan dengan genetic linkage terhadap kromosom
1q44. Erupsi muncul sebagai macula eritematous disertai rasa panas seperti terbakar
dan pruritus dan jarang dengan biduran. Demam, nyeri kepala, conjunctivitis,
arthralgia, dan neutrophilic leukocytosis merupakan gambaran dari serangan. Jarak
antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan

18
rata-rata durasi episode adalah 12 jam. Biopsi kulit specimen menunjukkan
degranulasi sel mast dan infiltrasi neutrofil. Delayed cold urticaria terjadi sebagai lesi
eritematous, oedematous, dan pembengkakan lebih dalam yang muncul 9-18 jam
setelah paparan dingin. Biopsi kulit specimen menunjukkan adanya oedem dengan
sedikit jumlah sel mononuclear; sel-sel mast tidak mengalami degranulasi; dan
protein komplemen, immunoglobulin, dan fibrin tidak ditemukan.

Gambar 3. Cold urticaria

 Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh, seperti selama
mandi dengan air hangat, olahraga, atau episode demam. Prevalensi tertinggi adalah
pada usia 23-28 tahun. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran
kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan
gambaran yang khas dari urtikaria jenis ini; kadang-kadang, lesi dapat menjadi
konfluen, atau angioedema dapat terjadi. Gambaran sistemik termasuk pusing, nyeri
kepala, sinkop, flushing, wheezing, shortness of breath / sesak nafas, nausea,
vomiting, dan diare. Peningkatan prevalensi pada pasien atopi telah dilaporkan.
Injeksi intrakutaneus agen kolinergik, seperti methacholine chloride, menghasilkan
biduran secara local pada kira-kira 1/3 pasien. Perubahan dalam fungsi pulmonal
telah didokumentasikan selama percobaan exercise challenge atau setelah inhalasi
acetylcholine. Kasus-kasus familial telah dilaporkan hanya pada laki-laki dalam
empat keluarga. Pengamatan ini menunjukkan kecenderungan adanya kelainan

19
autosomal dominan inheritance. Setelah exercise challenge, histamin dan faktor
kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dilepaskan ke dalam sirkulasi.

Gambar 4. Cholinergic urticaria.

 Local heat urticaria


Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam
beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal. Peningkatan insidensi
pada pasien atopi telah dilaporkan. Histamin, neutrophil aktivitas chemotactic, dan
PGD 2 ditemukan dalam sirkulasi pada penelitian experimental. Bentuk familial
delayed dari local heat urticaria dimana urtikaria terjadi 1-2 jam setelah uji
tantangan/challenge dan berlangsung sampai dengan 10 jam.

 Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-kadang
angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar
matahari atau sumber cahaya buatan. Nyeri kepala, sinkop, pusing, wheezing, dan
nausea merupakan gambaran sistemik. Empat puluh delapan persen pasien
mempunyai riwayat atopi. Meskipun solar urtikaria dapat berhubungan dengan
systemic lupus erythematosus (SLE) dan polymorphous light eruption, tetapi
biasanya idiopatik. Perkembangan lesi kulit di bawah lingkungan experiment dalam
respon terhadap panjang gelombang spesifik diklasifikasikan ke dalam enam subtipe;
akan tetapi, seseorang dapat merespon lebih dari satu bagian dari spectrum cahaya.
Pada tipe I, didapatkan dengan panjang gelombang 285-320 nm, dan pada tipe II,

20
panjang gelombang 400-500 nm. Tipe VI, terjadi pada erythropoietic protoporphyria
dan yang dikarenakan defisiensi ferrochelatase telah dilaporkan pada satu pasien.
Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam
darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang
terlihat.

 Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari
pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang
berbeda dari cholinergic urticaria. Pada kebanyakan pasien, biduran tidak
mempunyai punctate tetapi dengan ukuran yang normal. Variasi tipe dari sindroma
ini telah dideskripsikan, termasuk diantaranya exercise-induced anaphylaxis
memerlukan olahraga/exercise sendirian sebagai stimulusnya, food-dependent
exercise-induced anaphylaxis memerlukan baik exercise dan makanan sebagai
stimulus, dan bentuk varian dimana biduran punctata timbul setelah exercise.
Pemberian aspirin sebelum makan makanan allergen menginduksi urtikaria pada
beberapa pasien dengan food-dependent exercise-induced anaphylaxis. Pada
exercise-induced anaphylaxis, tes fungsi paru normal, biopsy specimen menunjukkan
degranulasi sel mast, dan pelepasan histamin dan tryptase ke dalam sirkulasi.

 Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran dikelilinngi oleh white halo yang terjadi
selama stress emosional. Lesi dapat ditemukan dengan injeksi norepinefrin
intrakutaneus.

 Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus


Kontak kulit dengan air pada temperature berapapun dapat menghasilkan pruritus
sendirian atau, lebih. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan

21
cholinergic urticaria. Aquagenic pruritus tanpa urtikaria biasanya idiopatik tetapi juga
terjadi pada orang-orang tua dengan kulit yang kering dan pada pasien dengan
polycythemia vera, Hodgkin's disease, sindroma myelodysplastic, dan sindroma
hipereosinophilic. Pasien-pasien dengan aquagenic pruritus sebaiknya dievaluasi
untuk menyingkirkan kelainan hematologik. Setelah tes experimental challenge,
kadar histamin darah akan meningkat pada pasien dengan aquagenic pruritus dan
dengan aquagenic urticaria. Degranulasi sel mast tampak pada lesi jaringan.

d) Urtikaria kontak
Urtikaria dapat terjadi setelah kontak langsung dengan beberapa substansi. Ia dapat
disebabkan faktor immunologik yang dimediasi IgE atau nonimmunologik. Transient
eruption muncul dalam beberapa menit ketika dimediasi oleh IgE. Protein dari
produk-produk latex adalah penyebab sering dari urtikaria kontak yang dimediasi
IgE. Protein-protein latex juga dapat menjadi allergen airborne. Pasien-pasien ini
dapat bermanifestasi secara cross-reactivity terhadap buah-buahan, seperti pisang,
alpukat, dan kiwi. Manifestasi lainnya yang juga berhubungan termasuk rhinitis,
conjunctivitis, dyspnea, dan syok. Kelompok risiko didominasi oleh pekerja
biomedis dan orang-orang dengan frekuensi kontak dengan latex yang sering. Agen-
agen seperti bulu-bulu arthropoda, dan bahan-bahan kimia dapat melepaskan
histamin secara langsung dari sel-sel mast. Papular urtikaria terjadi sebagai lesi
papular urtikaria dengan diameter 3-10 mm, distribusi simetris, serangan episodik
yang berasal dari reaksi hipersensitif terhadap gigitan serangga, seperti nyamuk,
kutu, dan bedbugs. Kondisi ini muncul terutama pada anak-anak. Lesi cenderung
muncul pada kelompok area yang terekspose, seperti aspek ekstensor dari
ekstremitas.
Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal yang
sikenal dengan “Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy” (PUPP),
dengan insidensi kira-kira 1 dari 160 kehamilan. Sering muncul pada primigravida

22
pada trimester III akhir atau segera dalam periode post partum. Erupsi muncul secara
tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari dapat menyebar secara
simetris dengan tidak melibatkan wajah. Tidak seperti urtikaria pada umumnya,
erupsi menetap dan intensitasnya dapat meningkat, hilang pada kebanyakan kasus
sebelum atau dalam 1 minggu post partum. Diduga disebabkan reaksi terhadap
distensi abdomen. Rasa gatal dapat diredakan dengan pemberian topikal steroid
sedang dan antihistamin. Prednisone (40 mg/hari) mungkin diperlukan jika pruritus
sukar hilang.

Gambar 5. PUPP

e) Urtikaria autoimun
Sirkulasi autoantibodi telah diketahui berada di dalam serum pada beberapa pasien
dengan urtikaria idiopatik kronik, menyebabkan autoimmune urticaria. Antibodi-
antibodi ini diperkirakan ada pada sedikitnya 35-40 persen dari pasien dengan
urtikaria idiopatik kronik. Positif autologous serum skin test didefinisikan sebagai
bulir kemerahan dengan diameter 1.5 mm lebih besar daripada saline-induced
respons dalam 30 menit. Pasien-pasien dengan autoantibodi mempunyai jumlah
biduran yang lebih banyak dengan distribusi yang lebih luas, pruritus lebih berat, dan
gambaran sistemik dari nausea, nyeri abdomen, diare, dan flushing.

23
II. Urticaria/Angioedema Yang Dimediasi oleh Sistem Komplemen dan Sistem
Efektor Plasma Lainnya
a) Angioedema herediter dan didapat
Angioedema herediter merupakan kelainan yang diturunkan secara dominan yang
ditandai dengan serangan berulang/rekuren angioedema yang melibatkan kulit dan
membran mucus saluran respirasi dan gastrointestinal. Terdapat defisiensi fungsional
dari inhibitor komponen first activated dari sistem komplemen (C1INH).
Angioedema didapat dengan deplesi C1INH mempunyai dua bentuk. Satu
berhubungan dengan keganasan, yaitu limfoma sel B dan autoantibodi terhadap
protein. Bentuk yang lain berhubungan dengan autoantibodi secara langsung
melawan molekul C1INH. Kompleks gejala klinis yang mirip dengan angioedema
herediter dan mempunyai gambaran X-linked inheritance telah dilaporkan pada
banyak wanita dengan angioedema tanpa urtikaria dan dengan oedem laring dan
nyeri abdomen. Kadar dan fungsi C4 dan C1INH adalah normal. Bentuk estrogen-
dependent dari angioedema yang mirip dengan angioedema herediter telah
dilaporkan pada satu keluarga dengan tujuh anggota keluarga yang terkena dalam
tiga generasi, menunjukkan gambaran autosomal dominant inheritance. Gambaran
klinis diantaranya angioedema tanpa urtikaria, oedem laring, dan nyeri abdomen
dengan muntah-muntah. Serangan dapat terjadi selama kehamilan dan dengan
pemberian estrogen eksogen.

Gambar 6. Angioedema herediter.


Tampak wajah penderita yang sangat kontras saat dalam serangan dan di luer serangan.

24
b) Venulitis urtikaria
Urtikaria kronik dan angioedema dapat sebagai manifestasi dari cutaneous
necrotizing venulitis, yang dikenal sebagai urticarial venulitis. Gambaran klinis
lainnya diantaranya demam, malaise, arthralgia, nyeri abdomen, dan lebih jarang,
konjungtivitis, uveitis, diffuse glomerulonephritis, penyakit paru obstruktif dan
restriktif, hipertensi intracranial benigna. Abnormalitas komplemen serum telah
dilaporkan pada beberapa pasien dengan kelainan ini. Istilah hypocomplementemic
urticarial vasculitis syndrome digunakan pada pasien-pasien dengan gejala klinis
yang lebih berat dari urticarial venulitis dengan hypocomplementemia dan low-
molecular-weight 7S C1q-precipitin yang telah diidentifikasi sebagai autoantibody
IgG secara langsung melawan collagen-like region dari C1q. Urticarial venulitis juga
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan serum sickness, kelainan jaringan
penyambung, keganasan darah, dan infeksi serta sebagai kelainan idiopatik.

Gambar 7. Vasculitis urticaria. Purpura muncul setelah urtikaria hilang

c) Urtikaria akibat serum sickness


Serum sickness, adalah rekasi buruk atau efek samping yang disebabkan oleh
pemberian serum heterologus kepada manusia, dapat terjadi setelah pemberian obat-
obatan. Serum sickness terjadi 7-21 hari setelah pemberian serum heterolog tersebut
(transfusi darah, plasma) dan ditandai dengan demam, urtikaria, limfadenopati,
myalgia, arthralgia, dan arthritis. Gejala biasanya self-limited dan berlangsung

25
sampai 4-5 hari. Lebih dari 70% pasien dengan serum sickness mengalami urtikaria,
yang dapat mengalami pruritus atau nyeri.

d) Urtikaria akibat reaksi transfusi produk darah


Urtikaria/angioedema dapat terjadi setelah pemberian produk darah (transfusi). Ini
biasanya diakibatkan oleh pembentukan kompleks imun yang dibentuk dari antigen
dalam produk darah dari donor berupa IgA yang bereaksi dengan antibodi-antibodi
dalam tubuhn resipien dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perubahan
vaskfular dan otot polos secara langsung atau tidak langsung, via anafilatoksin, atau
dengan pelepasan mediator-mediator sel mast.

e) Urtikaria akibat infeksi


Episode dari urtikaria akut dapat berhubungan dnegan infeksi virus saluran nafas
atas, paling sering terjadi pada anak-anak. Urtikaria akut hilang dalam 3 minggu.

f) Urtikaria yang berhubungan dengan terapi angiotensin-converting enzyme


(ACE) inhibitor
Angioedema diketahui juga dapat berhubungan dengan pemberian obat angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor. Frekuensi angioedema terjadi setelah terapi ACE
inhibitor adalah sekitar 0.1 to 0.7 %. Angioedema terjadi selama minggu pertama
terapi pada 72 % pasien dan biasanya mengenai kepala dan leher, termasuk mulut,
lidah, faring, dan laring. Urtikaria jarang terjadi sendirian. Batuk dan angioedema
pada saluran cerna merupakan gambaran klinis yang sering. Ini menunjukkan bahwa
terapi ACE inhibitor dikontraindikasikan pada pasien-pasien dengan riwayat
sebelumnya angioedema idiopatik, herediter, dan didapat defisiensi C1INH.
Hipotesis mekanismenya bahwa bradikinin, yang secara normal didegradasi sebagian
oleh ACE, terakumulasi dalam jaringan ketika ACE inhibitor diberikan.

26
III. Urtikaria/Angioedema Idiopatik
Sedikitnya 70% dari pasien-pasien dengan urtikaria/angioedema idiopatik kronik ,
penyebabnya tidak diketahui. Meskipun infeksi, kelainan metabolic, dan hormonal,
keganasan, dan faktor emosi telah diklaim sebagai penyebab, tetapi bukti dari
etiologinya seringkali tidak memuaskan. Dalam meta-analysis pada hubungan
urtikaria idiopatik kronik dan infeksi H.pylori, perbaikan dari urtikaria empat kali
lebih tinggi jika infeksi H.pylori berhasil dieradikasi dengan terapi antibiotik. Akan
tetapi, hanya 1/3 pasien dengan urtikaria idiopatik akan mengalami remisi dengan
eradikasi infeksi yang berhasil. Meskipun urtikaria/angioedem idiopatik adalah
bentuk yang paling sering, tetapi penegakkan diagnosis tetap dengan eksklusi. Cyclic
episodic angioedema dengan urticaria/angioedema berhubungan dengan demam,
pertambahan berat badan, tidak adanya kerusakan organ dalam, perjalanan klinis
yang benigna, dan eosinofilia. Biopsi specimen jaringan menunjukkan peningkatan
kadar eosinophils, eosinophil granule proteins, dan CD4 lymphocytes exhibiting
HLA-DR, IL-1, soluble IL-2 receptor, dan IL-5.

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada urtikaria antara lain adalah :
1. Pitiriasis Rosea
Pitiriasis rosea merupakan suatu penyakit ringan yang menyebabkan peradangan
kulit disertai pembentukan sisik berwarna kemerahan. Seperti pada urtikaria,
pitiriasis rosea juga sering terjadi pada golongan dewasa muda dan adanya eritema
dengan peninggian dan berbatas tegas serta gatal. Bentuknya bisa bulat atau lonjong.
Untuk membedakan pitiriasis rosea dari urtikaria, pada urtikaria tidak mempunyai
sisik.

27
Gambar 8. Makula eritema pada Pitiriasis Rosea

2. Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan
bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai
struktur kimia serupa, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi.
Persamaan dermatitis kontak alergi dengan urtikaria adalah pada gambaran kliniknya
yaitu terjadi eritema dengan peninggian atau pembengkakan. Untuk membedakan
dermatitis kontak alergi dari urtikaria, pada anamnesis diketahui adanya kontak
dengan alergen seperti nikel, lateks, dan sebagainya beberapa menit atau beberapa
jam sebelum timbul gejala eritema tersebut.

3.Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan
submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat
disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada
angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.
Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan

28
yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang
nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran
nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),
serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin.
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat
untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta, misalnya urtikaria
vaskulitis atau adanya infeksi penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti
komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati dan
urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor
dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria. Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.

Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan
melakukan tes kulit invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radio-
allergosorbent test-RASTs) atau invitro yang mempunyai makna yang sama. Pada
prinsipnya tes kulit dan RAST, hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi
hipersensitivitas tipe I. Untuk urtikaria akut, tes-tes alergi mungkin sangat
bermanfaat, khususnya bila urtikaria muncul sebagai bagian dari reaksi anafilaksis.
Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri
(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup
sederhana.

29
Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes
alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi
ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya. Adanya alergen
kontak terhadap karet sarung tangan atau buah-buahan, dapat dilakukan tes pada
lengan bawah, pada kasus urtikaria kontak. Tes provokasi oral mungkin diperlukan
untuk mengetahui kemungkinan urtikaria akibat obat atau makanan tertentu.
Tes eleminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu. Pada
urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel. Suntikan mecholyl
intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.
Tes fisik lainnya bisa dengan es atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi
pada suhu tertentu.

B. Pemeriksaan Histopatologik
Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak dan tidak selalu diperlukan
tetapi dapat membantu diagnosis. Epidermis pada umumnya normal. Ikatan-ikatan
kolagen di retikular dermis terpisah oleh edema dan ada infiltrat inflamasi limfositik
perivaskular. Biasanya juga terdapat peningkatan jumlah sel mast.
Infiltrat limfositik ini biasanya ditemukan pada lesi urtikaria akut dan kronik.
Beberapa lesi urtikaria mengandung infiltrat seluler campuran, antara lain limfosit,
PMN, dan sel inflamasi lainnya. Tipe infiltrat campuran biasanya merupakan
karakteristik dari bentuk refraktur dari urtikaria kronik seperti urtikaria mediasi-
autoimun.
Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papila dermis, geligi
epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak

30
tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama
disekitar pembuluh darah.
Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis.
Urtikaria dapat juga mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi
berbagai macam sel radang yang agak jarang dengan edema dermis yang menonjol
disertai infiltrasi sel-sel radang yang relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri
dari neutrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada
urtikaria alergi.

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line
therapy, dan third-line therapy.
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari:
a. Edukasi kepada pasien:
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
 Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan
fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
 Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres,
alcohol, dan agen fisik.
 Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE
inhibitor.
 Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
 Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau
2%.

31
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja
antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan
angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada
reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek
samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat
antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1
tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih
cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih
lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya
terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH 1 yang klasik
bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal
secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang
long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek
sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada
beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe
H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya
yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H 2 adalah
cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.

32
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line
therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-
farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus
UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria
fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
b. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis
reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai
efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang
bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan
untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan
efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan
delayed-pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.
c. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin
gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah.
Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan
menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan
kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis,
vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis,

33
yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari
kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa
tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika
digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap
antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti
hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi
prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2
mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-
anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis).
Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-
0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.
d. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan
mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria
kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti
montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih
dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria
kronik.
e. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan
whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau

34
dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan
dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.

3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).
Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun
dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,
dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam
mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan
dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan
urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan
dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-
dependent urticaria.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen
pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme
yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi
anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1
dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.

b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk
mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan

35
harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant
pharmacotherapy.

c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola
urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin
paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik
idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada
hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist
terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya
umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.

Identifikasi dan menghilangkan penyebab.


URTIKARIA
Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit
(alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional)

First-line Therapy
Ringan Second-line Therapy
Sedang-Berat Third-line
Berat Therapy
Edukasi Farmakologi (DistressImmunomodulatory
pernapasan, asma, edema
Langkah non-medis Non-farmakologi agentlaring)
↓ PUVA Cyclosporine
Antihistamin
Antihistamin H1 non sedatif Antidepresan
Antihistamin H1 non sedatif Tacrolimus
Kortikosteroid Plasmapheresis
Leukotriene receptor Obat lain:
Epinefrin subkutan
antagonist Colchicine

CCB Dapsonesistemik
Kortikosteroid
Antihistamin H1 non sedatif Hydroxychloroquine
(oral atau IV)
+ Terbutaline

Kortikosteroid oral Antihistamin H1 (IM)

NAC selama 3 minggu NAC


Gambar 9. Alur Penatalaksanaan Urtikaria.

NAC: not adequately controlled 36

Gambar 10. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Akut.


Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal,
namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun
demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami
menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai
pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut
sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan
utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian
kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang
menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau

37
edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,
kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu
dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi
penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif.
Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur,
antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1
mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek
dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.

2.11 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.

38
DAFTAR PUSTAKA

Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff,


Austen. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New
York : McGraw-Hill Inc. 2003: 122-45.

Hall. Vascular Dermatoses. Dalam : Hall. Gordon. Sauer’s Manual of Skin


Disease. Edisi 8. London : Lippincott William & Wilkins. 2000 : 19-41.

Habif. Urticaria. Dalam : Baxter. Clinical Dermatology. Edisi 3. USA : Mosby-


year Book Inc. 1996 : 145-67.

Aisah. Urtikaria. Dalam : Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2.
Jakarta : FKUI. 2005: 169-76.

Linscott. Urticaria. www.emedicine.com. Diupdate pada tanggal 21 Agustus


2008.

39

Anda mungkin juga menyukai