Anda di halaman 1dari 10

REFERAT 

URTIKARIA
STASE ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN 

            

DISUSUN OLEH:

Clara Hartati Stefani Saragih (216210039)

PEMBIMBING:

dr. Syahril Lubis, Sp.KK(K)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT TENTARA PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
2.1 Definisi.............................................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi..................................................................................................... 2
2.3 Patofisiologi....................................................................................................... 2
2.4 Gejala dan Tanda............................................................................................... 3
2.5 Diagnosis........................................................................................................... 4
2.6 Diagnosis Banding............................................................................................. 5
2.7 Penatalaksanaan................................................................................................. 5
2.8 Prognosis........................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 8

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Urtikaria adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya edema kulit superfisial
setempat dengan ukuran bervariasi sering dikelilingi oleh halo eritem (flare) yang disertai
rasa gatal atau panas. Ruam urtikaria cepat timbul dan hilang perlahan-lahan dalam 1-24 jam.
Sedangkan angioedema adalah urtikaria yang terjadi pada lapisan dermis bagian bawah atau
subkutis, sering mengenai wajah dan membran mukosa seperti bibir, laring dan genitalia.
Pada angioedema lebih dominan rasa nyeri daripada gatal dan ruamnya hilang secara
perlahan dalam 72 jam.
Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur namun lebih sering pada wanita dan biasanya pada usia 20-40 tahun. Sekitar
40% pasien urtikaria disertai angioedema, 50% hanya dengan urtikaria sedangkan
angioedema saja sebesar 10%. Ada banyak faktor penyebab urtikaria dan angioedema seperti
toleransi terhadap makanan, infeksi, obat-obatan, trauma fisik dan penyakit sistemik, namun
70-95% penyebabnya masih belum diketahui terutama pada urtikaria kronik. Hal ini
seringkali menimbulkan masalah fisik, psikis maupun sosial dalam kehidupan penderita
sehari-hari sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya.
Urtikaria dan angioedema merupakan penyakit yang pengobatannya menitik beratkan
pada etiologinya sehingga dalam penegakan diagnosis sangat diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif untuk menentukan klasifikasi serta pemeriksaan
penunjang yang sesuai agar dapat memberikan edukasi dan terapi yang tepat kepada pasien
serta menghemat biaya yang harus dikeluarkan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Urtikaria adalah kelainan kulit yang ditandai dengan peninggian kulit yang timbul
mendadak dan/atau disertai angiodema; ukurannya bervariasi, biasanya dikelilingi eritema,
terasa gatal atau sensasi terbakar, umumnya menghilang dalam 1-24 jam. Angioedema terjadi
akibat edema lapisan dermis bagian bawah dan jaringan subkutan, biasanya lebih dirasakan
sebagai sensasi nyeri, dan menghilang setelah 72 jam.

2.2 Epidemiologi 
Prevalensi urtikaria di dunia berkisar antara 0,3-11,3% tergantung populasi yang
diteliti. Prevalensi hospitalisasi akibat urtikaria dan angioedema makin meningkat di
Australia. Hospitalisasi akibat urtikaria 3 kali lebih tinggi pada anak usia 0-4 tahun.
Peningkatan hospitalisasi akibat urtikaria paling sering dijumpai pada usia 5-34 tahun,
sedangkan hospitalisasi akibat angioedema tinggi pada usia >65 tahun. Urtikaria lebih sering
ditemukan pada wanita usia 35-60 tahun (usia rata-rata 40 tahun). Di Indonesia, prevalensi
urtikaria belum diketahui pasti. Prevalensi urtikaria kronis lebih kecil dibandingkan urtikaria
akut, yaitu 1,8% pada dewasa dan berkisar antara 0,1-0,3% pada anak. Prevalensi urtikaria
kronis pada dewasa berdasarkan durasinya adalah: 6-12 minggu (52,8%), 3-6 bulan (18,5%),
7-12 bulan (9,4%), 1-5 tahun (8,7%), >5 tahun (11,3%).

2.3 Patofisiologi
Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai
eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang juga
mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs) dan vascular
adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan kemotaksis.
Pelepasan mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast akibat
rangsangan atau paparan dari alergen. Ada beberapa agen yang dapat mengaktivasi sel mast
untuk melepaskan histamin antara lain substansi P, Vasoactive intestinal polypeptide (VIP),
latex, surfaktan, dextran, morfin dan codein.

2
Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi C1
esteraseinhibitor (C1INH) yang berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi
komplemen yang menghasilkan vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin.
Kinin adalah peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperandalam proses inflamasi
dengan mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi danpeningkatan
permeabilitas vaskular. Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat
idiopatik, namun bisa juga disebabkan oleh induksi obat-obatan seperti penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE), aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid (AINS).

2.4 Gejala dan Tanda

Urtikaria ditandai dengan timbulnya peninggian pada kulit dan/atau angioedema


secara mendadak. Peninggian kulit pada urtikaria harus memenuhi kriteria di bawah ini:

1. Ditemukan edema sentral dengan ukuranbervariasi, dan bisa disertai eritema di

sekitarnya

2. Terasa gatal atau kadang-kadang sensasi terbakar

3. Umumnya dapat hilang dalam 1-24 jam, ada yang < 1 jam.

Angioedema ditandai dengan karakteristik berikut:

1. Edema dermis bagian bawah atau jaringan subkutan yang timbul mendadak, dapat
berwarna kemerahan ataupun warna lain, sering disertai edema membran mukosa.

2. Lebih sering dirasakan sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal, dapat menghilang
setelah 72 jam.

Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis atau
submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut angioedema, namun terdapat
rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan bibir bila angioedema terjadi
di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rinitis. Angioedema di
saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik, abdomen dan diare.

3
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat yang tertekan
pakaian misalnya disekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan tekanan yang menjadi
penyebab. Pada pasien seperti ini, uji dermografisme menimbulkan lesi urtika yang linier
pada kulit setelah digores dengan benda tumpul.

Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika dengan
ukuran kecil 2-3mm, folikular dan dipicu oleh peningkatan suhu tubuh akibat latihan fisik,
suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi. Urtikaria kolinergik terutama dialami oleh
remaja dan dewasa muda.

2.5 Diagnosis
 Anamnesis
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal
disertai rasa terbakar yang terjadi dibagian tubuh manapun, seperti di daerah perioral,
periorbital, lidah, genitalia, dan ekstremitas.

 Pemeriksaan penunjang
Ditujukan untuk mencari penyebab atau atau pemicu urtikaria. Adapun pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi, infestasi, atau kelainan alat dalam.
2. Pemeriksaan kadar IgE total dan eosinofil untuk mencari kemungkinan kaitannya
dengan faktor atopi.
3. Pemeriksaan gigi, THT, dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari fokus
infeksi
4. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan
5. Uji serum autolog dilakukan pada pasien utikaria kronis untuk membuktikan
adanya urtikaria autoimun.
6. Uji dermografisme dan uji dengan es batu untuk mencari penyebab fisik
7. Pemeriksaan histopatologiskulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan
urtikaria sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis.

4
2.6 Diagnosis Banding
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat, umumnya
diagnosis urtikaria dan angiodedema dapat ditegakkan dengan mudah. Pemeriksaan
penunjang dibutuhkan untuk menyokong diagnosis dan mencari penyebab. Perlu pula
dipertimbangkan beberapa penyakit sebagai diagnosis banding karena memiliki gejala
urtikaria atau mirip urtika dalam perjalanan penyakitnya, yaitu vaskulitis, mastositosis,
penfigoid bulosa, pitiariasis, rosea tipe papular, lupus eritematosus kutan, anafilaktoid
purpura, dan morbus Hansen. Untuk menyingkirkan diagnosis bnding ini, perlu dilakukan
pemeriksaan histopatologis kulit.

2.7 Penatalaksanaan
Hal terpenting dalam penatalaksanaan urtikaria adalah identifikasi dan eliminasi
penyebab dan atau faktor pencetus. Pasien juga dijelaskan tentang pentingnya menghindari
konsumsi alkohol kelelahan fisik dan mental, tekanan pada kulit misalnya pada pakaian yang
ketat, dan suhu lingkungan yang sangat panas, karena hal-hal tersebut akan memperberat
gejala urtikaria.
Asian consensus guidelines yang diajukan oleh AADV pada tahun 20111 dengan
menggunakan antihistamin H1 non- sedasi yaitu :
 Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns), bila gejala menetap setelah 2 minggu
 AH-1ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x, bila gejala menetap setelah 1-4 minggu
 AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis leukotrien, bila terjadi eksaserbasi
gejala, tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari
 Bila gejala menetap setelah 1-4 minggu, tambahkan siklosporin A, AH2, dapson,
omalizumab
 Eksaserbasi di atasi dengan kortikosteroid sistemik 3-7 hari.

Antihistamin1

Antihistamin-H1 non-sedatif/ generasi kedua (azelastine, bilastine, cetirizine,


desloratadine, ebastine, fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan
rupatadine) memiliki efikasi sangat baik,keamanan tinggi, dan dapat ditoleransi
dengan baik, sehingga saat ini digunakan sebagai terapi lini pertama. Apabila keluhan
menetap dengan pemberian antihistamin-H1 non-sedatif selama 2 minggu, dosis
antihistamin-H1 non- sedatif dapat ditingkatkan sampai 4 kali lipat dosis awal yang
5
diberikan. Antihistamin generasi pertama sudah jarang digunakan, hanya
direkomendasikan sebagai terapi tambahan urtikaria kronis yang tidak terkontrol
dengan antihistamin generasi kedua. Antihistamin generasi pertama sebaiknya
diberikan dosis tunggal malam hari karena mempunyai efek sedatif.

Antagonis H2

Antagonis H2 (cimetidine) diberikan dalam kombinasi dengan antagonis H1 pada


urtikaria kronis. Meskipun efikasinya rendah, beberapa ahli berpendapat bisa
diberikan sebelum terapi lini kedua.

Antagonis reseptor leukotrien

Bukti efektivitas terapi ini masih terbatas, dan tingkat rekomendasinya rendah. Dari
beberapa penelitian, disimpulkan bahwa terapi ini hanya bermanfaat pada urtikaria

kronis spontan yang berhubungan dengan aspirin atau food additives, tetapi tidak
bermanfaat pada urtikaria kronis lain.Terapi ini dapat dicoba pada pasien yang tidak
merespons pengobatan antihistamin.

Kortikosteroid

Kortikosteroid digunakan hanya pada urtikaria akut atau eksaserbasi akut urtikaria
kronis. Belum ada konsensus yang mengatur pemberian kortikosteroid, disarankan
dalam dosis terendah yang memberikan efek dalam periode singkat. Salah satu
kortikosteroid yang disarankan adalah prednison 15 mg/hari, diturunkan 1 mg setiap
minggu.

Agen anti-inflamasi

Meskipun bukti efikasinya masih terbatas, terapi ini dapat dipertimbangkan karena
harganya terjangkau dan efek sampingnya minimal, antara lain menggunakan dapson,
sulfasalazine, hidroksiklorokuin dan kolsikin.

6
Imunosupresan

Imunosupresan yang saat ini digunakan adalah inhibitor kalsineurin (siklosporin).


Imunosupresan lain (azatioprin, metotreksat, siklofosfamid, dan mikofenolat mofetil)
dapat dipertimbangkan untuk urtikaria kronis yang tidak merespons antihistamin
generasi pertama.

Agen biologis

Obat baru yang sekarang mulai digunakan adalah omalizumab. Omalizumab dianggap
bisa menjadi obat pilihan beberapa tahun lagi, tetapi mahal danefek samping jangka
panjang masih belum diketahui.

Dalam tatalaksana urtikaria, selain terapi sistemik juga dianjurkan untuk pemberian
terapi topikal untuk mengurasi rasa gatal, berupa bedak kocok atau losio yang mengandung
mentol 0,5-1% atau kalamin. Dalam praktek sehari-hari, terapi lini pertama dan kedua dapat
diberikan oleh dokter umum, dan apabila penatalaksanaan tersebut tidak berhasil, sebaiknya
pasien dirujuk untuk penatalaksaan lebih lanjut.

2.8 Prognosis
Prognosis urtikaria akut baik, karena penyebabnya dapat diketahui dengan mudah,
untuk selanjutnya dihindari. Urtikaria kronis merupakan tantangan bagi dokter maupun
pasien, karena membutuhkan penanganan komprehensif untuk mencari penyebab dan
menentukan jenis pengobatannya. Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa, namun
dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar. Urtikaria yang luas atau disertai
dengan angioedema merupakan kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin,
sehingga membutuhkan penanganan yang tepat untuk meurunkan mortalitas.

7
DAFTAR PUSTAKA

1. Asero R, Tedeschi A. Usefulness of a short course of oral prednisone in


antihistamine-resistant chronic urticaria: A retrospective analysis. J Invest Allergol
Clin Immunol. 2010;20:386-90.
2. Eckman JA, Sterba PM, Kelly D, Alexander V, Liu MC, Bochner BS, et al. Effects of
omalizumab on basophil and mast cell responses using an intranasal cat allergen
challenge. J Allergy Clin Immunol. 2013;125:889-95
3. Gaig P, Olona M, Muñoz Lejarazu D, Caballero MT, Domínguez FJ, Echechipia S, et
al.Epidemiology of urticaria in spain. J Investig Allergol Clin Immunol.
2014;14(3):214-20.
4. Ito Y, Satoh T, Takayama K, Miyagishi C, Walls AF, Yokozeki H. Basophil
recruitment and activation in inflammatory skin diseases. Allergy. 2011;66(8):1107-
13.
5. Greaves M. Chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:664-72
6. Magerl M, Pisarevskaja D, Scheufele R, Zuberbier T, Maurer M. Effects of a
pseudoallergen diet on chronic spontaneous urticaria: A prospective trial.Allergy.
2010;65(1):78-83.
7. Maurer M, Weller K, Bindslev-Jensen C, Giménez-Arnau A, Bousquet PJ, Bousquet
J, et al. Umnet clinical needs in chronic spontaneous urticaria: A Galen task force
report. Allergy. 2011;66(3):317-30.
8. Nettis E. Clinical and laboratory investigations : Clinical and aetiological aspects in
urticaria and angio-oedema. British Journal of Dermatology. 2013 :148 : 501-506.

Anda mungkin juga menyukai