EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF
DISUSUN OLEH:
1. Mika Elfrida Sihombing (216210012)
2. Sriulina Br Aritonang (216210018)
PEMBIMBING:
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................3
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Patofisiologi........................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................8
2.6 Gejala dan Tanda................................................................................................11
2.7 Diagnosis............................................................................................................15
2.8 Diagnosis Banding..............................................................................................18
2.9 Penatalaksanaan..................................................................................................20
2.10 Komplikasi........................................................................................................28
2.11 Pencegahan.......................................................................................................28
2.12 Prognosis..........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
Data World Helath Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus epilepsi di
seluruh dunia. Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk
dengan angka insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien
epilepsi yang butuh pengobatan.
Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada negara
dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-66,7) dan paada
negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5).
Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per tahun,
dan di India 49,3/100.000 orang per tahun. Puncak insiden di negara Cina (Shanghai) pada
usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahun.
Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama
pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun. Angka insiden di negara maju
dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun, 160/100.000 orang/tahun pada
usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60- 80/100.000 orang/tahun
setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda.
Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status
epileptikus.
Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100- 190/100.000
orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara
berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa
peningkatan pada usia tua.
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu
masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut
terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil
mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit
yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan
neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi epilepsi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi
sebelumnya.
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24 jam
antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal,
2012). Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu
atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau gabungan
keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan
dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat
(Panayiotopoulos, 2005).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi
yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi
pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik,
dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah
timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau
tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi
yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas. Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan
ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.
Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab
kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi,
adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium
akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia
atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik
maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.
Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi
dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak. Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi,
adalah sebagai berikut :
4. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal
yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang
berlebihan, sehingga terjadi kejang. Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter
dan neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling
banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter
pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua
struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi
GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
5. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi
yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang
berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan
bersifat berulang.
6. Mekanisme epilepsogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-
akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron
diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas
normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat
sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
2.7. Gejala dan tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.
b. Petit mal
Serangan petit mal disebut juga dengan lena dan absence. Pada jenis ini
terdapat tiga jenis sindrom epilepsi yang berbeda yaitu childhood absence
epilepsi, juvenile absence epilepsi, dan absence with eye myoclonia. Serangan
petit mal dicirikan oleh 3 Hz spike and wave pada rekaman EEG
2.8.1. Anamnesis
Pada anamnesis harus dipastikan apakah kejadian itu memang kejang atau
bukan kejang. Rekaman video kejadian kejang yang terjadi di rumah sangat
membantu dokter. Jika belum jelas sebaiknya ditunggu sampai bisa dipastikan
bahwa kejang berulang ≥ 2 kali dengan interval harus > 24 jam (Maria, 2009;
Berg dkk., 2012; Swaiman dan Ashwal, 2012). Riwayat gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, kelainan kongenital dan
gangguan neurologik sebaiknya ditanyakan. Kejadian kejang harus dipastikan
bahwa tidak ada pencetus yang jelas (unprovoked seizure), seperti demam,
gangguan elektrolit dan gangguan metabolik lainnya (Van Donselaar, 2006;
Arzimanoglou dkk., 2009).
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.8.2. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis
Pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
asimetri ukuran tubuh yang dapat menunjukkan adanya gangguan neurologi.
Gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti
hemangioma, nodul, dan makula untuk melihat kemungkinan sindrom epilepsi
tertentu (Kwan dkk., 2011; Hauser dan Nelson, 2013).
Pada epilepsi umum, kejang mulai pada satu area tertentu di otak, kemudian
secara serentak menyebar ke hemisfer otak kiri dan kanan (Stafstorm, 1998).
Pada epilepsi umum didapatkan kejang umum disertai gelombang epiletiform
pada seluruh hemisfer otak. Manifestasi klinis kejang umum yaitu serangan dari
awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir bersamaan (Nordli,
2005; Medina dkk., 2012).
Epilepsi fokal terjadi pada satu sisi tubuh saja (Berg dkk., 2012). Epilepsi
fokal dapat menjadi umum bila terjadi hipereksitabilitas pada neuron korteks
yang menyebar ke daerah sekitarnya melalui korpus kalosum ke hemisfer otak
kontralateral atau melalui jalur subkortikal (thalamus, batang otak). Manifestasi
klinis kejang fokal pada anak dapat muncul dalam bentuk aura, kepala
menengok (nonversive head turning), deviasi mulut, disfasia pascakejang, iktal
speech, automatisme unilateral. Manifestasi klinis epilepsi fokal tergantung dari
lobus mana fokus epileptik berasal, setiap lobus akan memberikan manifestasi
yang khas (Berg dkk., 2012). Kejang yang berasal dari lobus frontalis
merupakan 30% dari seluruh pasien epilepsi fokal, dan merupakan fokus
tersering kedua setelah lobus temporalis (Swaiman dan Ashwal, 2012).
2.8.3. Pemeriksaan penunjang
2.8.3.1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi jika
fasilitas tersedia. Gambaran EEG berperan dalam konfirmasi diagnosis epilepsi,
menentukan tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE dan menentukan
prognosis (Silanpaa dan Schmidt, 2011). Gambaran EEG pada rekaman
pertama hanya menunjukkan abnormalitas sekitar 37-40% kasus epilepsi
(Chabolla dan Cascino, 2005; Kwan dkk., 2011). Empat puluh persen anak
dengan kejang akan memiliki hasil EEG normal (Stroink dkk., 2003; Smith,
2005; Khan dkk., 2013). Sensitivitas EEG 56% dan spesifisitas 78% (Stroink
dkk., 2003). Elektroensefalografi menunjukkan gelombang paroksismal pada
32% anak normal dan sering diiterpretasikan sebagai gelombang abnormal
sehingga gelombang EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat
menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi (Gailard, 2009).
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
2.8.3.2. Pencitraan
Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada
epilepsi. Pada keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan
kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil
tidak sebaik MRI kepala. Magnetic resonance imaging kepala dengan atau
tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak,
ensefalitis autoimun, dan leukomalasia serebral (Kuzniecky, 2005).