Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

EPILEPSI
STASE ILMU KESEHATAN SARAF

DISUSUN OLEH:
1. Mika Elfrida Sihombing (216210012)
2. Sriulina Br Aritonang (216210018)

PEMBIMBING:

dr. Toety M Simanjuntak, M.Ked (Neu), Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT TENTARA PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar belakang.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
2.1 Definisi...............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi......................................................................................................3
2.3 Etiologi...............................................................................................................4
2.4 Patofisiologi........................................................................................................5
2.5 Klasifikasi...........................................................................................................8
2.6 Gejala dan Tanda................................................................................................11
2.7 Diagnosis............................................................................................................15
2.8 Diagnosis Banding..............................................................................................18
2.9 Penatalaksanaan..................................................................................................20
2.10 Komplikasi........................................................................................................28
2.11 Pencegahan.......................................................................................................28
2.12 Prognosis..........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Epilepsi merupakan gangguan neurologi kronik yang sering terjadi dan dikarakteristikan
sebagai kejang Kejang epilepsi dihasilkan dari aktivitas neuronal di otak yang abnormal, terus
menerus dan berlebihan (American Academy of Neurology, 2012). Epilepsi menyerang
hampir semua orang dan umur pada lebih dari 50 juta orang di seluruh bagian dunia.

Data World Helath Organization (WHO) menunjukkan ada 50 juta kasus epilepsi di
seluruh dunia. Prevalensi kasus epilepsi di Indonesia sebanyak 8,2 per 1.000 penduduk
dengan angka insiden mencapai 50 per 100.000 penduduk. Diperkirakan ada 1,8 juta pasien
epilepsi yang butuh pengobatan.
Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada negara
dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-66,7) dan paada
negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5).
Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per tahun,
dan di India 49,3/100.000 orang per tahun. Puncak insiden di negara Cina (Shanghai) pada
usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahun.
Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama
pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun. Angka insiden di negara maju
dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun, 160/100.000 orang/tahun pada
usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60- 80/100.000 orang/tahun
setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda.
Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status
epileptikus.
Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100- 190/100.000
orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara
berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa
peningkatan pada usia tua.

Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan


apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun.
Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan
meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular.
Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun. Epilepsi memberikan beban
kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%. Di India, beban biaya pengobatan
diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per kasus epilepsi (atau 88% dari rerata pendapatan
per kapita penduduk). Biaya total yang diperlukan untuk biaya pengobatan 5 juta kasus
epilepsi adalah sama dengan 0,5% anggaran belanja negara di India. Di negara maju seperti
Amerika Serikat, biaya pengobatan epilepsi mencapai USD 12,5 triliun per tahun, 14%
adalah biaya pengobatan langsung dan 86% biaya tidak langsung.
Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾ pasien epilepsi tidak mendapatkan
pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan
pengobatan (treatment gap). Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah,
ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relatif mahal.
Ketersediaan OAE generik sekitar kurang dari 50%.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik penderita maupun keluarganya.
1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu
masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa takut
terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap masyarakat dan
menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal.Penyakit tersebut
sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil
mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit
yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan
neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), secara konseptual, epilepsi
didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya kecenderungan untuk
menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial.
Definisi epilepsi menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepsi
sebelumnya.
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24 jam
antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal,
2012). Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat
transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu
atau beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau gabungan
keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan
dan luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat
(Panayiotopoulos, 2005).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi
yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi
pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari
cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik,
dan klonik termasuk dalam epilepsi umum.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah
timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau
tersendiri. Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi
yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset,
jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas. Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan
ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi.
Seorang anak terdiagnosa menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab
kejang lain yang bisa dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi,
adanya pendesakan otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium
akibat trauma, adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia
atau elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik
maka dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari.

2.2. Epidemiologi epilepsi


Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia dewasa muda,
dan meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013). Sebanyak 25% dari seluruh
kasus epilepsi terjadi pada anak umur kurang lima tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah
penelitian melaporkan bahwa insiden epilepsi pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2
kasus/100.000 populasi/tahun (Khatria dkk., 2003). World Health Organization
memperkirakan prevalens epilepsi pada anak di dunia 4-6 per 1000 anak umur 8-11 tahun.
Insiden pada tahun pertama kehidupan sekitar 120 pada 100.000 (Shakirullah, 2014).
Prevalens epilepsi di negara maju 4- 9/1000 populasi, dengan insiden 25-50/100.000
populasi/tahun, sedangkan di negara berkembang prevalensi 14-57/1000 populasi, insiden
30-115/100.000 populasi/tahun (Kwan dkk., 2010). Di Indonesia terdapat paling sedikit
700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan peningkatan sebesar 70.000 kasus baru setiap
tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Harsono, 2006). Insiden
epilepsi pada anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar,
Bali selama kurun waktu 2007-2010 didapatkan 5,3%, terutama terjadi pada anak laki-laki
(56,9%) dengan jumlah kasus 276 pasien (Suwarba, 2011). Penelitian epidemiologi
mendapatkan epilepsi fokal idiopatik 10%, fokal simtomatik 12% dan fokal kriptogenik
37% dari 613 kasus epilepsi umur kurang 16 tahun (Berg dkk., 2012).
Telaah sistematis pada 19 negara berkembang, termasuk Thailand, India dan Cina,
jumlah penyandang epilepsi yang sebenarnya diduga jauh lebih besar dibandingkan
jumlah yang terdiagnosis dan mendapat tatalaksana. Penderita epilepsi memiliki angka
kematian dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Penyebab
kematian dini pada epilepsi antara lain status epileptikus (37,7%), tenggelam, luka bakar,
atau trauma kepala akibat kejang yang terjadi pada keadaan berbahaya (11,4%) dan
kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya (sudden unexplained death
in epilepsy; 6,6%). Penyakit yang mendasari epilepsi, misalnya tumor susunan saraf pusat
(SSP) atau kelainan neurometabolik juga dapat merupakan faktor penyebab kematian dini
pada anak dengan epilepsi (Hauser dan Nelson, 2013).

2.3. Etiologi epilepsi


Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai
kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Tabel 2. Etiologi epilepsi
Kejang Fokal Kejang Umum
a. Trauman kepala a. Penyakit metabolik
b. Stroke b. Reaksi otot
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Malformasi vaskuler d. Faktor genetik
e. Tumor (neoplasma) e. Kejang fotosensitif
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:


1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan
mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di
sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya; cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alcohol dan obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
2.4. Klasifikasi epilepsi
Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan pada tipe kejang, penyebab dan sindrom
epilepsi. International league againts epilepsy (ILAE) pada tahun 2010 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang berdasarkan semiologi kejang dan
gambaran elektroensefalografi (EEG), yaitu epilepsi fokal (parsial) dan epilepsi umum.
Epilepsi fokal adalah kejang dimulai dari fokus tertentu yang terlokalisir di otak dan
kejang muncul pada satu sisi tubuh saja. Epilepsi fokal bisa menjadi umum jika terjadi
perjalanan listrik otak ke hemisfer kontralateral. Epilepsi umum adalah kejang pada
daerah lebih luas di kedua hemisfer otak dan manifestasi kejang pada kedua sisi tubuh
(Berg dkk., 2012).
Berdasarkan penyebabnya, epilepsi digolongkan menjadi idiopatik, simtomatik dan
kriptogenik. Epilepsi idiopatik yaitu epilepsi yang tidak jelas ditemukan penyebabnya dan
sering dihubungkan dengan faktor genetik. Epilepsi simtomatik jika penyakit yang
mendasari jelas ditemukan, sedangkan epilepsi kriptogenik, diduga ada penyebab yang
mendasari tetapi belum bisa dibuktikan (Kwan dkk., 2011). Penyebab epilepsi pada bayi
dan anak di Finlandia adalah idiopatik (64%), masalah prenatal (15%), perinatal (9%), dan
post natal (12%) (Sillanpaa dan Schmidt, 2011).
Sindrom epilepsi menurut ILAE tahun 2010 dibagi menjadi 2 yaitu, sindrom epilepsi
umum yang sering pada bayi dan anak adalah sindrom Ohtahara, sindrom West, sindrom
LennoxGastaut, epilepsi mioklonik juvenile, sedangkan sindrom epilepsi fokal antara lain
epilepsi Rolandic, epilepsi lobus temporal, epilepsi oksipital benigna (Stafstorm dkk.,
2011; Berg dkk., 2012).

Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017,


sebagai berikut:
2.5. Faktor resiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi, dapat
terjadi saat :
Tabel 5. Faktor Resiko Epilepsi
Prenatal Natal Postnatal
a. Umur ibu saat a. Asfiksia a. Kejang demam
hamil terlalu b. Bayi dengan berat b. Trauma kepala
muda (<20 badan lahir rendah c. Infeksi SSP
tahun) atau (<2500 gram) d. Gangguan metabolik
terlalu tua (>35 c. Kelahiran prematur
tahun) atau postmatur
b. Kehamilan d. Partus lama
dengan eklamsia e. Persalinan dengan
dan hipertensi alat
c. Kehamilan
primipara atau
multipara
d. Pemakaian bahan
toksik

2.6. Patofisiologi epilepsi

Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi
dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak. Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi,
adalah sebagai berikut :
4. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.
Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal
yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem
inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang
berlebihan, sehingga terjadi kejang. Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter
dan neuromedulator, akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling
banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter
pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua
struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan
fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi
GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
5. Mekanisme sinkronisasi
Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi
yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang
berdekatan dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan
bersifat berulang.

6. Mekanisme epilepsogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma
lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson-
akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron
diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam


merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang.
Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran non sinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :


1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas
normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-
kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat
sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
2.7. Gejala dan tanda
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya masih baik.

Serangan epilepsi parsial


Serangan parsial disebabkan oleh lesi atau kelainan lokal pada otak; dengan demikian
evaluasi diagnostik ditujukan untuk menemukan atau membuktikan adanya lesi lokal
tersebut. Serangan parsial dibagi menjadi dua yaitu serangan dengan kesadaran yang
tetap baik (parsial sederhana) dan serangan dengan gangguan kesadaran
(parsial kompleks). Akan tetapi terdapat pula jenis parsial yang berkembang menjadi
serangan parsial kontinu. Manifestasi klinis serangan parsial bervariasi sesuai dengan
fungsi korteks yang berbeda-beda. Namun demikian, secara individual serangan
parsial cenderung untuk bersifat stereopatik dan secara neuro-anatomik.
a. Serangan parsial sederhana
Parsial sederhana dengan manifestasi klinis Serangan parsial jenis ini biasanya
berhubungan dengan area otak tertentu yang terlibat; dengan demikian
manifestasi klinisnya sangat bervariasi, termasuk manifestasi motorik,
sensorik, otonomik, dan psikis. Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul
berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita
masih baik. Adapun gejala-gejala yang sering dijumpai adalah:
• Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
• Bersifat stereopatik (sama)
• Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
• Kejang klonik ( badan dan anggota gerak berkejut-kejut, kelojotan)
• Berkeringat dingin
• Denyut jantung (nafas) cepat
• Terjadi pada usia 11-13 tahun
• Berlangsung Sekitar 31-60 detik

b. Serangan parsial kompleks


Parsial komplek sering juga disebut dengan lobus frontalis atau psikomotor.
Pada serangan parsial kompleks terjadi gangguan atau penurunan kesadaran.
Dalam hal ini penderita mengalami gangguan dalam berintekrasi dengan
lingkungannya. Serangan parsial kompleks melibatkan bagian-bagian otak
yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kesadaran dan memori, dan pada
umumnya melibatkan kedua belah lobus temporalis atau frontalis dan sistem
limbik. Selama serangan parsial kompleks sering tampak adanya otomatisme
sederhana dan kompleks (aktifitas motorik yang berulang-ulang: tanpa tujuan,
tanpa arah, dan aneh). Sementara itu terdapat juga serangan parsial kompleks
yang tidak disertai otomatisme Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan
hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi
adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari
otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.
c. Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran
hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan
diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik,
tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran
air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

7. Serangan epilepsi umum


Serangan ini menunjukkan terlibatnya kedua belah hemisferium secara sinkron sejak
awal. Mula serangan berupa hilangnya kesadaran, kemudian diikuti gejala lainnya
yang bervariasi. Jenis-jenis serangan epilepsi umum dibedakan oleh ada atau tidaknya
aktifitas motorik yang khas :
a. Grand mal
Serangan grandmal disebut juga serangan tonik-klonik atau bangkitan mayor
(serangan besar) atau generalized tonic-clonic seizures (GTCS). Bangkitan
grandmal merupakan jenis epilepsi yang paling sering dijumpai. Serangan
meliputi seluruh tubuh, dimulai dengan rigiditas otot-otot tubuh (tonik)
kemudian diikuti oleh kontraksi otot-otot secara ritmik (klonik), dan
kehilangan kesadaran

b. Petit mal
Serangan petit mal disebut juga dengan lena dan absence. Pada jenis ini
terdapat tiga jenis sindrom epilepsi yang berbeda yaitu childhood absence
epilepsi, juvenile absence epilepsi, dan absence with eye myoclonia. Serangan
petit mal dicirikan oleh 3 Hz spike and wave pada rekaman EEG

c. Serangan tonik – klonik


• Serangan tonik
Serangan tonik dicirikan oleh pengkakuan atau sentakan bilateral dan
sinkron secara mendadak pada tubuh, lengan atau tungkai. Adapun gejala-
gejalanya adalah:
 Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran
 Terjadi sentakan sinkron
 Terjadi sentakan bilateral
 Terjadi gangguan metabolik (defisit neurologis)
 Lidah tergigit
 Kulit sianotik (biru)
 Mulut keluar busa
 Leher tertekuk ke depan pasca serangan
 Terjadi pada waktu tidur
 Berlangsung Sekitar 0-30 detik
 Terjadi pada usia 6-12 bulan
 Kejang tonik (badan dan anggota gerak kaku)
• Serangan klonik
Klonus epileptik biasanya menyebabkan sentakan sinkron dan bilateral
pada leher, bahu, lengan atas, tubuh dan tungkai atas. Gejala-gejala yang
sering dijumpai sebagai berikut:
 Tidak terjadi gangguan atau penurunan kesadaran/kedutan
(twitching) fokal pada wajah
 Neuro anatomik (datang dan menghilang secara mendadak)
 Tekanan vesika urinaria (ngompol)
 Tubuh bergetar pasca serangan
 Terjadi sentakan sinkron
 Terjadi sentakan bilateral
 Terjadi gangguan metabolik (defisit neurologis)
 Kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut,
kelojotan)
 Terjadi pada waktu tidur
 Berlangsung Sekitar 7-8 menit
 Terjadi pada usia 4-6 tahun
2.8. Diagnosa epilepsi
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang ditegakkan atas dasar
anamnesis dan pemeriksaan fisis-neurologis. Pemeriksaan penunjang EEG untuk
konfirmasi diagnosis. Pencitraan kepala yaitu computed tomography scan (CT scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk menemukan penyebabnya (Stroink
dkk., 2003; Kuzniecky, 2005; Fisher dkk., 2014).

2.8.1. Anamnesis
Pada anamnesis harus dipastikan apakah kejadian itu memang kejang atau
bukan kejang. Rekaman video kejadian kejang yang terjadi di rumah sangat
membantu dokter. Jika belum jelas sebaiknya ditunggu sampai bisa dipastikan
bahwa kejang berulang ≥ 2 kali dengan interval harus > 24 jam (Maria, 2009;
Berg dkk., 2012; Swaiman dan Ashwal, 2012). Riwayat gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, kelainan kongenital dan
gangguan neurologik sebaiknya ditanyakan. Kejadian kejang harus dipastikan
bahwa tidak ada pencetus yang jelas (unprovoked seizure), seperti demam,
gangguan elektrolit dan gangguan metabolik lainnya (Van Donselaar, 2006;
Arzimanoglou dkk., 2009).
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2.8.2. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis
Pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
asimetri ukuran tubuh yang dapat menunjukkan adanya gangguan neurologi.
Gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti
hemangioma, nodul, dan makula untuk melihat kemungkinan sindrom epilepsi
tertentu (Kwan dkk., 2011; Hauser dan Nelson, 2013).
Pada epilepsi umum, kejang mulai pada satu area tertentu di otak, kemudian
secara serentak menyebar ke hemisfer otak kiri dan kanan (Stafstorm, 1998).
Pada epilepsi umum didapatkan kejang umum disertai gelombang epiletiform
pada seluruh hemisfer otak. Manifestasi klinis kejang umum yaitu serangan dari
awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir bersamaan (Nordli,
2005; Medina dkk., 2012).
Epilepsi fokal terjadi pada satu sisi tubuh saja (Berg dkk., 2012). Epilepsi
fokal dapat menjadi umum bila terjadi hipereksitabilitas pada neuron korteks
yang menyebar ke daerah sekitarnya melalui korpus kalosum ke hemisfer otak
kontralateral atau melalui jalur subkortikal (thalamus, batang otak). Manifestasi
klinis kejang fokal pada anak dapat muncul dalam bentuk aura, kepala
menengok (nonversive head turning), deviasi mulut, disfasia pascakejang, iktal
speech, automatisme unilateral. Manifestasi klinis epilepsi fokal tergantung dari
lobus mana fokus epileptik berasal, setiap lobus akan memberikan manifestasi
yang khas (Berg dkk., 2012). Kejang yang berasal dari lobus frontalis
merupakan 30% dari seluruh pasien epilepsi fokal, dan merupakan fokus
tersering kedua setelah lobus temporalis (Swaiman dan Ashwal, 2012).
2.8.3. Pemeriksaan penunjang
2.8.3.1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi jika
fasilitas tersedia. Gambaran EEG berperan dalam konfirmasi diagnosis epilepsi,
menentukan tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE dan menentukan
prognosis (Silanpaa dan Schmidt, 2011). Gambaran EEG pada rekaman
pertama hanya menunjukkan abnormalitas sekitar 37-40% kasus epilepsi
(Chabolla dan Cascino, 2005; Kwan dkk., 2011). Empat puluh persen anak
dengan kejang akan memiliki hasil EEG normal (Stroink dkk., 2003; Smith,
2005; Khan dkk., 2013). Sensitivitas EEG 56% dan spesifisitas 78% (Stroink
dkk., 2003). Elektroensefalografi menunjukkan gelombang paroksismal pada
32% anak normal dan sering diiterpretasikan sebagai gelombang abnormal
sehingga gelombang EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak dapat
menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi (Gailard, 2009).
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.
2.8.3.2. Pencitraan
Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada
epilepsi. Pada keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan
kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil
tidak sebaik MRI kepala. Magnetic resonance imaging kepala dengan atau
tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak,
ensefalitis autoimun, dan leukomalasia serebral (Kuzniecky, 2005).

2.9. Tatalaksana epilepsi


Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak
yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang,
dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg
bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang
setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi
terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung
mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang
terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya
terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai
pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara
teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan
kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda
keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan
menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang
menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan.
Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap
pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak
fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol
terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-
anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas
diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan
adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian
diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian 25 kejang yang
optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

2.10. Pertolongan pertama


Tahap – tahap dalam pertolongan pertama saat kejang, antara lain :
a. Jauhkan penderita dari benda - benda berbahaya (gunting, pulpen, kompor
api, dan lain – lain).
b. Jangan pernah meninggalkan penderita.
c. Berikan alas lembut di bawah kepala agar hentakan saat kejang tidak
menimbulkan cedera kepala dan kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di
lehernya agar pernapasan penderita lancar (jika ada).
d. Miringkan tubuh penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat
mengalir keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan.
e. Pada saat penderita mengalami kejang, jangan menahan gerakan penderita.
Biarkan gerakan penderita sampai kejang selesai.
f. Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut penderita, seperti memberi
minum, penahan lidah.
g. Setelah kejang selesai, tetaplah menemani penderita. Jangan meninggalkan
penderita sebelum kesadarannya pulih total, kemudian biarkan penderita
beristirahat atau tidur.

Anda mungkin juga menyukai