A. Definisi
Sindroma lobus frontalis adalah gejala ketidakmampuan mengatur perilaku
seperti impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi
eksekutif, dan mengatur mood.Sindroma lobus frontalis terjadi akibat kerusakan
otak bagian frontal. Kejadian yang dapat menyebabkan sindroma ini diantaranya
adalah trauma/cedera kepala, sindroma vascular, tumor, dementia frontotemporal,
dan akibat pembedahan karena aneurisma.1,2
C. Patofisiologi
Terdapat lima sirkuit yang diketahui , yaitu : sirkuit motorik pada area
motorik, sirkuit okulomotor pada lapangan penglihatan frontal, dan tiga sirkuit
pada daerah kortek pre frontal ; yaitu sirkuit dorsolateral pre frontal, sirkuit
orbitofrontal pre frontal, serta cingulatum anterior . Setiap sirkuit mempunyai
serabut proyeksi ke struktur striata (nucleus caudatus, putamen, dan striatum
anterior), dan dari striata berhubungan ke globus pallidus dan substansia nigra ,
proyeksi ke nucleus thalamus dan kembali ke lobus frontal. 1,2,3
D. Manifestasi Klinis
Sindroma lobus frontalis adalah berupa gejala gejala ketidakmampuan untuk
mengatur perilaku seperti impulsive, tidak ada motivasi, apatis, disorganisasi,
defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, ketidakmampuan mengatur
moodnya, mudah lupa, perkataan yang sering menyakitkan hati ataupun kotor,
malas < tidak mau mengerjakan aktivitas apapun juga, sulit diatur, selalu merasa
paling benar.1,3,4
Ada 3 sindroma prefrontal :5
- Sindroma orbitofrontal : disinhibisi. fungsi menilai jelek, emosi labil.
- Sindroma frontal konveksitas : apati. indiferens. pikiran abstrak.
- Sindroma frontal medial: akineti, inkontinen, sparse verbal output
E. Diagnosis
Diagnosa klinis suatu sindroma lobus frontalis cukup sulit, karena disfungsi
lobus prefrontal sering tidak terdeksi pada pemeriksaan neurology standar,
maupun pemeriksaan status mental serta tes neuropsikologi konvensional. Ada
beberapa pemeriksaan klinis, tes status mental dan skala neurobehavior yang
harus digunakan pada keadaan ini:1
1. kontrol dan program gerakan motor :
a. penekanan pada impuls motorik dan reflek :
reflek menggenggam
tes go / no go
b. gerakan motorik cepat: rhytm tapping
c. gerakan serial yang kompleks
Luria’s hand sequences
Alternating pattern
2. kontrol mental :
a. trial making test
b. kemampuan mengulang secara terbalik kata, hari, bulan
3. kelancaran dan kreativitas dengan five point test
4. memori dengan rentang digit dan word list learning
tingkah laku dan emosi : 12 items dari neurobehavioral rating yang
meliputi : gangguan emosi, depresi, gerakan yang lambat, afek tumpul,
mood yang labil, disinhibisi, tidak dapat bekerja sama, kegembiraan yang
berlebihan, perhatian yang kurang, perencanaan yang kurang, penilaian
diri sendiri yang kurang tepat.
F. Terapi
Terapi pada suatu sindroma lobus frontalis, adalah dengan mengatasi gejala
gejala yang timbul sesuai dengan underlying desease yang diketahui, dan
kemudian dilakukan terapi konvensional ataupun tindakan pembedahan. Beberapa
penulis selain mengatakan bahwa terapi dari keadaan ini adalah tidak spesifik,
namun yang harus diperhatikan adalah konselling terhadap keluarga pasien,
karena keluarga mereka yang sekarang mengalami sindroma ini bukanlah
keluarga mereka yang dahulu, dalam artikata sifat, perilaku, bahkan keseharian
mereka, sedikit banyak telah berubah.1,3,4,6,7
SINDROMA LOBUS TEMPORAL
A. Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Penyebab paling umum dari lesi lobus temporal adalah Cerebro Vascular
Event (CVE). Kemudian akibat tumor primer, jinak (seperti meningioma) atau
ganas yang mungkin merupakan tumor sekunder atau metastasis karsinoma,
paling sering dari kanker paru-paru atau kanker payudara. Trauma dari cedera
kepala mungkin terlibat atau kerusakan bedah ketika pengangkatan tumor dari
wilayah lobus temporal. Cedera kepala sering mencakup hematoma extradural dan
cedera contrecoup (cedera otak di sisi yang berlawanan dengan titik trauma).
pembedahan intra temporal pada kasus epilepsi lobus temporal banyak
menyebabkan gangguan fungsi lobus temporal. Patologi lain seperti multiple
sclerosis dapat mempengaruhi lobus temporal meskipun ini adalah manifestasi
yang jarang.11
9. Kluver-Bucy Syndrome
Klüver-Bucy Syndrome adalah sindrom neuro-behavioural yang
berhubungan dengan lesi bilateral diujung lobus temporal anterior atau
amigdala. Lesi lobus temporal sedikitnya telah dilaporkan dapat
menimbulkan Klüver-Bucy syndrome. Gejala sindrom ini antara lain:
emosi yang menjadi tumpul dan tidak ekspresif, hipermetamorfosis dan
hiperseksualitas.10
10. Epilepsi lobus temporal.
Epilepsi lobus temporal adalah jenis epilepsi fokal yang paling sering
ditemukan, serta potensial untuk resisten terhadap pengobatan. Efek fungsi
kognitif ditandai dengan sklerosis hipokampus, kejang fokal dengan tanda
kepribadian lobus temporal sebelah medial. Hipokampus dan sekitarnya
adalah komponen terbesar dalam sistem frontotemporal. Epilepsi lobus
temporal kiri berhubungan dengan defisit memori dan verbal, khususnya
dalam penggabungan kalimat yang panjang dan pengungkapannya
kembali. Pada epilepsi lobus temporal kanan dengan sklerosis
hipokampus, defisit memori dan visual yang akan ditemukan. Selain itu
juga bisa ditemukan defisit memori spasial yang spesifik, identifikasi
wajah orang terkenal, pengenalan wajah dalam waktu lama, dan
pengenalan ekspresi wajah. Karena mempunyai interaksi yang kuat antara
lobus temporal dan area prefrontal prefrontal pada fungsi memori, pasien
dengan epilepsi lobus temporal juga mempunyai kerusakan fungsi lobus
frontal. Khususnya yang mempunyai gejala kejang tonik klonik umum.
Epilepsi lobus temporal kiri umumnya berhubungan dengan kerusakan
dalam berbahasa, memori, khususnya ketidakmampuan bersosialisasi.
Pembedahan meski sukses, umumnya masih menyisakan defisit verbal dan
memori dalam berbagai derajat.13
Dari manifestasi-manifestasi di atas didapatkan berbagai perubahan-
perubahan yang berkaitan dengan penyakit gangguan kejiwaan kausa organik
(dalam hal ini akibat kerusakan daerah-daerah di lobus temporal). Penyakit-
penyakit tersebut sebagai berikut :
1. Gangguan Kepribadian Organik
Sebagian besar kerusakan pada daerah lobus temporal mengakibatkan
terjadinya perubahan kepribadian seperti gangguan emosi dan perilaku
seksual. Terlebih lagi ditemukannya sindrom Kluver-Bucy (sindrom
neuro-behavioral).Sesuai dengan manifestasi klinik di atas yaitu poin ke-
7, ke-8 dan ke-9.11,12,14
2. Gangguan Cemas (Anxietas) Organik
Gangguan cemas yang timbul sebagai akibat gangguan organik yang
dapat menyebabkan disfungsi otak dalam hal ini pada kasus epilepsi
lobus temporal.14
3. Gangguan Disosiatif Organik
Berdasarkan manifestasi klinik di atas poin ke-6. Di mana telah terjadi
kerusakan memori jangka panjang akibat kerusakan inferotemporal cortex
pada lobus temporal.12,14
4. Gangguan Kognitif Ringan
Berdasarkan manifestasi klinik poin ke-4 dan ke-5. Dimana dikatakan
bahwa terjadi kerusakan di dalam pengorganisasian dan
pengkategorisasian materi verbal serta pemahaman bahasa.8,10
D. Diagnosis
1. Pemeriksaan penunjang seperti MRI dan CT-scan diperlukan untuk
menilai kasus kausa organik (lesi pada lobus temporal maupun untuk
menilai tumor pada lobus temporal).8
2. Untuk kasus epilepsi lobus temporal didiagnosis dengan menggunakan
EEG (electroencephalograph, rekaman aktivitas listrik otak).
3. Untuk membedakan kelainan psikis yang diakibatkan oleh kausa organik
atau non-organik, berdasarkan buku pedoman penggolongan diagnostik
gangguan jiwa (PPDGJ III) :14
o Gangguan Kepribadian Organik :
Riwayat yang jelas atau hasil pemeriksaan yang mantap
menunjukkan adanya penyakit, kerusakan, atau disfungsi otak ;
Disertai, dua atau lebih, gambaran berikut :
a. Penurunan yang konsisten dalam kemampuan untuk
mempertahankan aktivitas yang bertujuan (goal-directed
activities), terutama yang memakan waktu lebih lama dan
penundaan kepuasan;
b. Perubahan perilaku emosional, ditandai oleh labilitas emosional,
kegembiraan yang dangkal dan tak beralasan (euforia, kejenakaan
yang tak sepadan), amarah berubah menjadi irritabilitas atau
cetusan amarah dan agresi yang sejenak; pada beberapa keadaan,
apati dapat merupakan gambaran yang menonjol.
c. Pengungkapan kebutuhan dan keinginan tanpa
mempertimbangkan konsekuensi atau kelaziman sosial (pasien
mungkin terlibat dalam tindakan dissosial, seperti mencuri,
bertindak melapaui batas kesopanan seksual, atau makan secara
lahap atau tidak sopan, kurang memperhatikan kebersihan
dirinya);
d. Gangguan proses pikir, dalam bentuk curiga atau pikiran
paranoid, dan atau preokupasi berlebihan pada satu tema yang
biasanya abstrak seperti soal agama, “benar” dan “salah”.
e. Kecepatan dan arus pembicaraan berubah dengan nyata, dengan
gambaran seperti berputar-putar (circumstantiality), bicara banyak
(over-inclusiveness), alot(viscosity), dan hipergravia;
f. Perilaku seksual yang berubah (hiposeksualitas atau
perubahan selera seksual).
o Gangguan cemas (anxietas) organik
Gangguan yang ditandai oleh gambaran utama dari gangguan cemas
menyeluruh, gangguan panik, atau campuran dari keduanya, tetapi
timbul sebagai akibat gangguan organik yang dapat menyebabkan
disfungsi otak (seperti epilepsi lobus temporalis, tirotoksikosis, atau
feokromositoma)
o Gangguan disosiatif organik
Gangguan yang memenuhi persyaratan untuk salah satu gangguan
dalam gangguan disosiatif dan memenuhi kriteria umum untuk
penyebab organik.
o Gangguan kognitif ringan
Gambaran utamanya adalah turunnya kemampuan kognitif
(termasuk hendaya daya ingat, daya belajar, sulit berkonsentrasi
tidak sampai memenuhi kriteria demensia, sindrom amnestik organik
atau delirium.
Gangguan ini dapat mendahului, menyertai atau mengikuti berbagai
macam gangguan infeksi dan gangguan fisik, baik serebral maupun
sistemik.
E. Diagnosa Banding
Kausa organik lainnya:11
o Alcoholism
o Alzheimer's disease
o myloid angiopathy
o Aphasia
o Apraxia and related syndromes
o Arteriovenous malformations
o Cardioembolic stroke
o Cerebral aneurysms
o Glioblastoma multiforme
o Low-grade astrocytoma
o Meningioma
o Multiple sclerosis
o Pick's disease
o Primary central nervous system lymphoma
o Secondary brain tumours
o Substance abuse
o Sindrom pasca ensefalitis
Kausa Non-Organik:14
o Gangguan Disosiatif (Konversi)
o Perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katastrofa
o Gangguan kepribadian khas
F. Terapi
G. Prognosis
Pada penderita yang masih muda, terutama anak-anak, memiliki kemampuan
untuk membiarkan salah satu bagian dari otak mengambil alih fungsi dari bagian
yang rusak (plastisitas) tapi ini hilang seiring dengan bertambahnya usia. Oleh
karena itu pasien muda dapat kembali beberapa fungsi yang hilang tapi
kemungkinan dapat terjadi penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Dengan
kausa organik yang ringan hanya dengan menangani penyebab utamanya pasien
dapat disembuhkan secara total.9
SINDROMA LOBUS OKSIPITAL
A. Definisi
B. Etiologi
Ditinjau dari etiologinya, sindroma lobus oksipital dapat disebabkan oleh
berbagai hal,diantaranya adalah:
1. Trauma Kepala
Trauma kepala yang mengenai lobus oksipital dapat meyebabkan gejala defek
lapang pandang atau kebutaan kortikal seperti pada kasus yang dialami oleh
colonel Inggris saat berperang di Afrika Utara. Ia tertembak pada bagian
belakang kepalanya dan tidak meyebabkan kematian, namun penglihatannya
terganggu. Ia tidak dapat melihat lapang pandang sebelah kanan secara
komplit, namun ia dapat melihat secara “normal” pada lapang pandang
sebelah kiri hanya dengan jarak sejauh panjang lengannya dengan diameter
sebesar kepalan tangan.17
2. Intoksikasi Bahan Kimia
Keracunan bahan kimia dapat menyebabkan kerusakan pada lobus oksipital.
Seperti pada kasus: seorang wanita berusia 47 tahun yang lebih dominan
menggunakan tangan kanannya (right handed) mengalami agnosia berat
dikarenakan keracunan karbon monoksida. Wanita ini tidak dapat
membedakan bentuk geometris yang sederhana. Wanita ini juga tidak dapat
mengenali objek, namun dapat memegang objek tersebut dengan
menggunakan informasi yang ada seperti lokasi, bentuk, ukuran, dan
orientasi. Dia tidak dapat mengopi objek tersebut tetapi mampu menggambar
objek dengan menggunakan memori yang dimiliki. Korteks intak, namun
aliran ventralnya yang terjadi defek.18
3. Neoplasma Otak
Neoplasma atau tumor yang tumbuh dan berkembang di bagian lobus
oksipitalotak juga dapat menimbulkan gejala-gejala kerusakan lobus
oksipital. Sebagai contohnya ialah seorang perempuan berusia 84 tahun
menjalani operasi craniotomi 17 tahun yang lalu dengan pengambilan
meningioma pada lobus oksipital sebelah kanan. Pada tiga tahun terakhir ini,
ia mengalami halusinasi, mendengar suara bel dan kereta natal secara terus-
menerus. Halusinasinya meningkat, baik secara frekuensi dan intensitasnya
dalam beberapa bulan terakhir. Ia juga mengatakan beberapa orang berdiri di
sebelah kirinya dan terkadang menabrak wajahnya. Hasil CT Scan kepala
mengungkapkan adanya massa berukuran 5 cm di superior dari tentorium
pada daerah oksipital kanan.18
4. Stroke otak
Stroke, baik iskemik maupun emboli yang mengenai bagian lobus oksipital
otak dapat menyebabkan gejala-gejala dari sindrom lobus oksipital. Sebagai
contohnya, seorang perempuan berusia 58 tahun yang lebih dominan
menggunakan tangan kanannya (right-handed) dengan riwayat sakit kepala
mendadak dan hilangnya penglihatan/ buta tanpa adanya rasa nyeri. Ia tidak
mampu mendeskripsikan objek yang ada di depannya. Pada pemeriksaan
ditemukan gangguan penglihatan berat dengan tidak adanya persepsi cahaya.
Hasil dari CT Scan mengungkapkan adanya hipodensitasi dari area oksipital
kanan dengan edema disekelilingnya dan hipodensitas pada daerah
temporoparietal kiri. Sedangkan hasil MRI menunjukkan adanya infark
subakut yang besar pada lobus temporoparietaloksipital kiri dengan lesi glotik
(infark kronis) pada lobus oksipital kanan.19
5. Penyakit degeneratif
Penyakit degenerative juga dapat menyebabkan sidroma lobus oksipital
seperti pada kasus: seorang perempuan berusia 58 tahun yang lebih dominan
menggunakan tangan kanannya (right handed) mengalami riwayat sulit untuk
mengenali objek secara progresif selama 3-4 tahun terakhir. Tajam
penglihatan dan lapang pandang wanita ini masih baik,namun ia tidak mampu
menggambar bentuk geometric yang sederhana seperti segitiga dan kotak. Ia
juga mengalami visual agnosia yaitu ketidakmampuan mengenali objek yang
sederhana maupun objek umum, seperti garpu. Ketika ia memegang objek, ia
mampu mengidentifikasi dan memberi nama objek tersebut. Ia tidak mampu
menggambar serupa atau mengopi objek tersebut. Visual agnosia yang
dialami perempuan ini diakibatkan penyakit yang mempengaruhi korteks
oksipital bagian ventromedial. Hasil CT Scan menunjukkan gejala yang
progresif yang dialami dikarenakan sindrom dari atrofi korteks posterior.
Pada hasil otopsi, sindrom ini merupakan salah satu varian dari penyakit
Alzheimer dengan pergeseran patologi ke area visual di dalam otak.18
6. Kelainan Vaskular
Seorang perempuan berusia 43 tahun mengalami kerusakan bilateral posterior
diakibatkan adanya abnormalitas vaskuler. Keluhan utama yang kronis dari
wanita ini ialah hilangnya penglihatan pergerakan. Sebagai contohya, ia
merasa kesusahan dalam menuangkan teh ke dalam cangkir karena air teh
terlihat membeku dan ia juga tidak dapa berhenti menuangkan karena ia tidak
mampu melihat level cairan meningkat atau memenuhi cangkir.17
Lesi yang kecil dari lobus oksipital sering menghasilkan skotoma (daerah
buta kecil). Orang yang mengalami skotoma biasanya tidak begitu sadar akan
adanya skotoma karena adanya nistagmus (pergerakan mata yang konstan dan
involunter), sehingga skotoma digeser dari lapang penglihatan dan
memungkinkan otak untuk menerima semua informasi dari lapang penglihatan.17
Agnosia Visual
Agnosia visual adalah deficit visual dimana tajam penglihatan dan persepsi
relative normal, tetapi pengenalan atau recognition dan arti dari persepsi tidak
bisa/absent. Defek ini berhubungan dengan lesi occipitoparietal.17
Apperceptive agnosia
Kesalahan dalam mengenali suatu objek (warna atau pergerakan) dimana
merupakan suatu fungsi dasar dalam melihat merupakan fungsi apperceptive atau
persepsi. Kategori agnosia ini berbeda di setiap pasien, tetapi dasar dari deficit ini
sama yaitu tidak mampunya membangun suatu persepsi dari struktur sebuah
objek. Secara sederhana, pasien tidak mampu mengenali, mengopi, atau
memasangkan suatu bentuk sederhana dari sebuah objek.17
Associative agnosia
Pada agnosia asosiasi, pasien mampu mengopi sebuah gambar secara akurat
tetapi tidak mampu mengidentifikasi gambaran tersebut. Agnosia asosiasi
berhubungan dengan level kognisi yang lebih tinggi lagi yang berhubungan
dengan informasi yang disimpan yaitu memori. Efek dari jenis agnosia ini adalah,
kegagalan dalam mengenali objek merupakan defek memori yang mempengaruhi
tidak hanya pengetahuan pada masa lalu mengenai suatu objek tetapi juga
mengenai ilmu baru.17
Simultagnosia
Pada kasus simultagnosia, pasien mampu mengenali bentuk dasar dari suatu
objek, tetapi mereka tidak mampu mengenali lebih dari satu objek secara
bersamaan. Oleh karena itu, jika ada 2 objek yang dipresentasikan secara
bersamaan, maka hanya satu objek yang dikenali.20
Prosopagnosia
Pasien dengan agnosia fasial tidak mampu mengenali wajah orang-orang
yang sebelumnya dikenali, termasuk bayangan pasien tersebut baik di cermin
maupun di foto. Mereka hanya mampu mengenali orang-orang dengan informasi
yang terdapat pada wajah orang-orang tersebut,seperti tanda lahir, kumis, maupun
bentuk rambut. Pasien prosopagnosia sering tidak dapat menerima fakta bahwa
mereka tidak mampu mengenali wajah mereka sendiri, hal ini terjadi karena
mungkin ketika mereka sedang bercermin dan melihat bayangan mereka.
Kebanyakan agnosia fasial mampu membedakan wajah manusia dan bukan wajah
manusia dan mampu mengenali ekspresi wajah secara normal. Studi post mortem
mengenai agnosia fasial menemukan kerusakan bilateral yang berpusat pada
daerah di bawah fisura calcarine pada temporal junction. Hal ini yang
menunjukkan proses pengenalan fasial biasanya bilateral tetapi asimetris.20
Agnosia warna
Agnosia warna ialah defek dalam mengenali warna dimana memiliki berbagai
bentuk, secara primer pasien tidak mampu mengenali atau membedakan warna.
Biasanya agnosia warna diikuti dengan kelainan alexia dan afasia. Agnosia warna
ini terjadi karena adanya lesi pada lobus oksipital kiri atau lesi occipitotempral.20
Metamorphopsia
Metamorphopsia merupakan kelainan yang dapat dikenali secara tepat tapi
mengalami distorsi secara subjektif. Metamorphopsia dapat berupa teleopsia
(objek terlihat lebih kecil)maupun pelopsia (objek terlihat lebih besar dan dekat),
pallinopsia atau repetisi visual (bayangan visual yang terlihat terus menerus) juga
dapat terjadi.20
Agnosia visuospasial
Jenis agnosia ini ialah ketidakmampuan untuk menemukan salah satu jalan di
lingkungan yang familiar. Orang-orang dengan defisit ini tidak mampu mengenali
petunjuk yang khas yang dapat mengindikasikan arah yang sesuai untuk berjalan.
Kebanyakan orang-orang dengan disorientasi topografis juga memiliki deficit
visual lainnya, terutama defek dalam mengenali wajah, Oleh karena itu, kelainan
pada agnosia visuospasial terjadi pada daerah occipitotemporal medial kanan,
termasuk girus lingual dan fusiform.20
Kesulitan membaca (Alexia) dan Kesulitan menulis (Agraphia)
Ketidakmampuan membaca biasanya merupakan gejala komplementer dari
deficit pengenalan wajah. Alexia sering disebabkan karena kerusakan dari area
fusiform dan lingual sinitra. Hemisfer dari sisi yang lain mampu membaca huruf,
tetapi hanya hemisfer sebelah kiri yang mampu mengkombinasikan huruf menjadi
sebuah kata. Alexia dapat disebut sebagai salah satu bentuk dari agnosia objek
dimana alexia tidak mampu mengkontruksikan dari semua bagian atau merupakan
bentuk dari agnosia asosiasi, dimana memori mengenai kata-kata telah rusak.17
Alexia dapat disertai dengan agraphia yaitu ketidakmampuan dalam menulis.
Alexia yang disertai dengan agraphia diakibatkan adanya lesi pada area parieto-
temporal junction dan biasanya pada girus angular. Sedangkan alexia yang tidak
disertai dengan agraphia biasanya terdapat lesi yang dominan pada korteks visual
dan splenium pada corpus callosum (lesi arteri serebral posterior).20
Halusinasi dan distorsi visual
Halusinasi visual yaitu munculnya bayangan visual tanpa adanya stimulus
dari luar atau eksternal dapat terjadi karena adanya lesi pada daerah oksipital.
Sedangkan distorsi visual atau juga sering disebut ilusi visual yaitu bentuk dari
suatu objek dapat terlihat lebih besar atau lebih kecil dari yang sebenarnya, objek
juga biasanya memiliki warna yang kurang atau tidak normal.20
Epilepsi lobus oksipital
Epilepsi lobus oksipital relative jarang terjadi dan hanya sekitar 5% dari
keseluruhan kasus epilepsy. Kejang lobus oksipital muncul dari bagian atas dan
bawah fisura calcarine. Pada 70% hingga 90% kasus, petunjuk mayor dari kejang
oksipital ialah adanya fenomena visualpada gejala awal kejang. Aura yang paling
sering muncul ialah halusinasi visual sederhana pada sekitar 40% hingga 70%
kasus. Halusinasi visual sederhana dideskripsikan sebagai cahaya putih atau
berwarna yang dapat muncul secara konstan atau bergerak. Ikut sertanya area
occipitot5empotoparietal dapat menyebabkan ilusi visual dan halusinasi
kompleks. Ilusi merupakan representasi penglihatan yang mengalami distorsi.
Ilusi dapat muncul sebagai achromatopsia (perubahan warna),mikropsia atau
makropsia (perubahan ukuran), metamorphopsia (perubahan bentuk),
macroproxiopia atau microproxiopsia (perubahan jarak). Sedangkan halusinasi
kompleks dapat terbentuk suatu bayangan yang dapat berupa manusia, hewanm
huruf, dan lain-lain. Gejala kejang oksipital lainnya ialah dapat menurunnya tajam
penglihatan atau buta sesaat,serta adanya sensasi pergerakan mata.21
Anton’s Syndrome
Anton’s syndrome ialah suatu kondisi dimana pasien tidak sadar dia
mengalami kebutaan dan menyangkal masalah tersebut meskipun dia sudah
dikatakan mengalami kebutaan. Sebaliknya, pasien yang mengalami kebutaan
kortikal sadar bahwa ia mengalami kebutaan dan tidak menyangkal masalah
tersebut. Anton’s syndrome dan kebutaan kortikal sama-sama disebabkan oleh lesi
bilateral pada lobus oksipital. Kemampuan untuk mengenali objek dan huruf
tidak hanya tergantung pada integritas jalur penglihatan dan area visual primer
pada korteks serebral (area brodman 17) namun juga anterior dari area korteks 17,
yaitu area 18 dan 19 dari lobus oksipital. Pasien dengan Anton’s syndrome
biasanya memiliki lapang pandang yang kecil atau sempit dengan gambaran objek
yang berfluktuasi atau tidak jelas. Sebagai contoh pada satu kasus dimana pasien
dengan infark kronis pada lobus oksipital kanan mengalami agnosia dimana ia
tidak mampu mendeskripsikan atau mengenali objek di depannya tetapi
menyangkal bahwa ia mengalami kebutaan.19
Test Simultanagnosia
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meminta pasien untuk berusaha
menggambar sebuah garis yang melingkari suatu bentu (bulat, kotak, maupun
segitiga), atau menulis dengan mata yang terbuka lalu dilanjutkan dengan
mata yang tertutup (apabila pasien mengalami sindrom Balin, maka dengan
menutup mata akan meningkatkan penulisan dengan tangan).20
Test Metamorphopsia
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara menilai perubahan visual secara
kualitatif melalui laporan pasien, disorientasi visual, adanya fluktuasi atau
keterlambatan mengenali suatu bentukan objek, sintesis yang kurang
sempurna dari suatu objek yang bergerak, dan perubahan kecepatan
flickerfusion.20
F. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Cummings JL, Miller BL. The human Frontal Lobe; function and disorder
1st ed.
2. Buzarudina Frisa. Sindroma Lobus Frontalis. 2013 diakses pada 29 April
2020 URL: https://id.scribd.com/doc/194370108/Sindroma-lobus-frontalis
3. Thimble MH. Psychopathology of frontal lobe syndrome. Seminars in
Meurology; vol.10, No.3 Benraska : September 1990
4. Cummings JL, Vinters H, Felix J. The neuropsychiatry of Alzheimer
disease and related dementia.1st ed. United Kingdom: Martin Dunitz
Press: 2003 p 217-20
5. Japardi Iskandar. Gangguan Fungsi Luhur. Sumatra Utara: Bagian Ilmu
Bedah FKUSU; 2006 diakses pada 2020 URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1992/bedah-iskandar
%20japardi60.pdf?sequence=1&isAllowed=y
6. Frontal loce syndrome. Available at: http://rickets.unl.edu/tbi/frontal/
7. Davies S. Frontal lobe syndrome – a behavioral problem. Seminars in
Neurology: Pittsburg : vol 5, No. 8 Februari 2001
8. Linsday W Kenneth et al.Neurology and Neurosurgery Ilustrated. 5th Ed.
ChurchillLivingstone, New York, 2010;105 - 120.
9. Netter H Frank.The CIBA Collection of Medical llustrations. Vol I
Nervous System, 1986 :147
10. Bird P Thomas, memory loss and Dementia .In,Harissons's. Principles of
Internal Medicene .14th Ed, McGraw-Hill, New York,1998;142-149
11. Fundamentals of Human Neuropsychology (Kolb & Wishaw – K &
W).2006. http://psych.colorado.edu/~campeaus/2022/K&WChap15.pdf
12. http://www.ruf.rice.edu/~lngbrain/cglidden/temporal.html
13. http://biology.about.com/gi/o.htm?
zi=1/XJ&zTi=1&sdn=biology&cdn=education&tm=420&f=00&tt=11&bt
=0&bts=0&zu=http%3A//www.sci.uidaho.edu/med532/temporal.html
14. http://biology.about.com/od/anatomy/p/temporal-lobes.htm
15. Maslim, Rusdi. (2004). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III).
Jakarta : FK Jiwa Unika Atmajaya
16. Tootell, R. B. H., and N. Hadjikhani. Where is dorsal V4 in human visual
cortex? Retinotopic, topographic and functional evidence. Cereb Cortex.
2001 Apr;11(4):298-311.
17. Kolb, Bryan. Fundamentals of Human Neuropsychology. New York, NY:
Worth Publishers. 2009;13:p318-342.
18. D. Clark, N. Boutros, M. Mendez. The Brain and Behavior: An
Introduction to Behavioral Neuroanatomy. Cambridge University Press:
Third Edition. 2010.
19. Srikant, Gadwalkar. Case Report : Anton’s Syndrome and Cortical
Blindness. Indian Journal of Clinical Practice. 2012;23:2.p106.
20. Kotchabhakdi, Naiphinich. The Occipital Lobes. Institute of Molecular
Bioscience, Mahidol University Salaya Campus, Thailand. 2011.
21. Werz, A. Mary. Chapter Fifteen: Occipital Lobe Epilepsy. Saunders:
Epilepsy Syndrome, 1st ed. 2011.