Anda di halaman 1dari 28

Case Report Session

HIFEMA TRAUMATIKA

Oleh

Dio Rancha Pratama 1110312092


Dian Arfan As Bahri 1210313009

Preseptor:

dr. Havriza Vitresia, Sp. M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CSS)

yang berjudul “Hifema Traumatika” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. M. Djamil Padang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Penyusunan CRS ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti

kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. M. Djamil

Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Terima kasih penulis ucapkan

kepada Dr. Havriza Vitresia, Sp.M(K) sebagai preseptor dalam kepaniteraan

klinik senior ini beserta seluruh jajarannya dan semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan CRS ini.

Penulis menyadari bahwa CRS ini jauh dari sempurna, maka dari itu

sangat diperlukan saran dan kritik untuk kesempurnaan CRS ini. Penulis berharap

agar CRS ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi penulis

sendiri dan bagi teman-teman dokter muda yang tengah menjalani kepaniteraan

klinik. Akhir kata, semoga CRS ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, Juli 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Tujuan Penulisan 5
1.3 Batasan Masalah 5
1.4 Metode Penulisan 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi iris 6
2.1.2 Anatomi Korpus Silier 6
2.1.3 Anatomi Bilik Mata Depan 7
2.2 Hifema
2.2.1 Definisi 8
2.2.2 Epidemiologi 8
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko 9
2.2.4 Patofisiologi 10
2.2.5 Diagnosis 15
2.2.6 Tatalaksana 12
2.2.7 Komplikasi 17
2.2.8 Prognosis 18
BAB 3 LAPORAN KASUS 19
BAB 4 DISKUSI 24
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hifema adalah suatu keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata

depan yang diakibatkan oleh robeknya pembuluh darah iris atau badan siliar.1

Insidens tertinggi hifema terjadi pada populasi muda (70%) dengan usia rata-rata

berkisar 10-20 tahun.2 Berdasarkan etiologinya, hifema dibagi menjadi hifema

akibat trauma, hifema iatrogenic dan hifema spontan. Hifema akibat trauma

merupakan hifema yang paling sering ditemui. Trauma yang terjadi umumnya

disebabkan oleh benda tumpul seperti peluru mainan, mainan proyektil, batu,

bola, paint ball, air bags, peluru pistol BB dan tinju. Sekitar 75% dari laki-laki

mengalami hifema akibat trauma.4

Tatalaksana hifema ditujukan untuk mencegah komplikasi yang dapat

terjadi. Pemakaian pelindung mata pada mata yang terkena, pembatasan aktivitas,

dan elevasi kepala merupakan tatalaksana konservatif dari hifema. Penderita harus

dimonitor ketat dalam beberapa hari setelah kejadian karena risiko terjadinya

perdarahan ulang. Pemberian aspirin atau obat anti inflamasi non steroid (NSAID)

tidak boleh diberikan kepada penderita sebagai analgetik karena dapat

meningkatkan risiko perdarahan.5

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk

mengangkat laporan kasus mengenai hifema.

4
1.2 Batasan Masalah

Case Report Session ini membahas tentang anatomi bilik mata depan dan

hifema (definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi, patofisiologi,

patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah wawasan

tentang hifema.

1.4 MetodePenulisan

Penulisan Case Report Session ini dilakukan melalui tinjauan berbagai

literature yang relevan terkait hifema.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Iris

Iris merupakan perpanjangan korpus siliaris ke anterior dimana iris

bersambungan dengan permukaan anterior lensa dan memisahkan bilik mata

depan dari bilik mata belakang. Iris memiliki permukaan pipih dengan pupil

dibagian tengahnya. Perdarahan iris didapat dari sirkulus mayor iris. Kapiler-

kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya

tidak membocorkan fluorescein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan

sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares.6

2.1.2 Anatomi Korpus Siliaris

Korpus siliaris membentang dari ujung anterior koroid kepangkal iris

dimana korpus siliaris terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars

plikata, zona posterior yang datar dan pars plana. Prosesus siliaris berasal dari

pars plikata dan terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-

vena vorticosa. Prosesus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi

sebagai pembentuk akuos humor.6

Muskulus siliaris tersusun dari serat-serat longitudinal, sirkular dan radial.

Serat sirkular berfungsi untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula. Serat

longitudinal mempengaruhi besar pori anyaman trabekula. Pembuluh darah yang

mendarahi korpus siliaris berasal dari sirkulus arteriosus mayor iris.6

6
2.1.3 Anatomi Bilik Mata Depan

Merupakan ruangan diantara iris dan kornea. Humor akuos yang dihasilkan

oleh badan siliaris akan mengalir dari bilik mata belakang menuju bilik mata

depan.7 Anatomi iris, korpus siliaris, dan sudut bilik mata depan secara jelas dapat

dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Anatomi Iris, Korpus Siliaris dan Bilik Mata Depan

7
Gambar 2. Pembuluh darah pada Mata

2.2 Hifema

2.2.1 Definisi

Hifema adalah darah yang terdapat dalam bilik mata depan yang

diakibatkan oleh robeknya pembuluh darah iris atau badan siliar. Penyebab

terbanyak hifema adalah trauma dan umumnya trauma ini selalu dikaitkan dengan

trauma akibat bola tenis.1

2.2.2 Epidemiologi

Angka kejadian rata-rata kasus hifema adalah 17 kasus dari 100.000

orang. Hifema yang sering terjadi merupakan hifema akibat trauma pada mata.

Trauma yang terjadi umumnya disebabkan oleh trauma akibat benda tumpul,

8
misalnya bola, batu, peluru mainan, paint ball dan tinju. Laki-laki memiliki risiko

lebih tinggi dibanding perempuan dengan perbandingan 3:1. Insidens tertinggi

hifema terjadi pada populasi muda dengan kisaran umur 10-20 tahun. Hifema

pada anak-anak umumnya disebabkan karena bermain dengan teman-temannya

sementara pada orang dewasa kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan. Olahraga

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hifema akibat trauma, dimana

olahraga yang berisiko tinggi meliputi baseball, softball, basketball, bola dan paint

ball.2,3,4

2.2.3 Etiologi dan Faktor risiko5

a. Hifema akibat trauma

Trauma tumpul merupakan penyebab utama terjadinya hifema

traumatika. Kompresi pada bola mata mengakibatkan kerusakan pada iris,

badan siliaris, anyaman trabekular, dan struktur pembuluh darah. Pembuluh

darah yang mengalami gaya regang akan rupture dan mengakibatkan

berkumpulnya darah di bilik mata depan.

b. Hifema iatrogenik

Hifema yang diakibatkan oleh tindakan medis, seperti

pembedahan. Intraoperatif dan post operatif hifema merupakan salah satu

komplikasi pada bedah mata. Hifema dapat terjadi sebagai kejadian tidak

diharapkan setelah prosedur laser mata akan tetapi umumnya hifema ini

dapat sembuh spontan.

c. Hifema spontan

9
Umumnya hifema ini sulit dibedakan dengan hifema traumatika.

Hifema spontan disebabkan oleh neovaskularisasi seperti pada diabetes

mellitus, iskemik dan sikatriks, neoplasma okuler seperti retinoblastoma,

uveitis atau kelainan vaskuler seperti xanthogranuloma juvenile.

2.2.4 Patofisiologi

Trauma merupakan penyebab tersering dari hifema. Oleh karena itu hifema

sering terutama pada pasien yang berusia muda. Trauma tumpul pada kornea atau

limbus dapat menimbulkan tekanan yang sangat tinggi, dan dalam waktu yang

singkat di dalam bola mata terjadi penyebaran tekanan ke cairan badan kaca dan

jaringan sklera yang tidak elastis sehingga terjadi perenggangan-perenggangan

dan robekan pada kornea, sklera sudut iridokornea, badan siliar sehingga

menimbulkan perdarahan. Perdarahan sekunder dapat terjadi oleh karena resorbsi

dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga pembuluh darah tidak mendapat

waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan

lagi.8

Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan

primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari setelah trauma yang disebut perdarahan

sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme

pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih

buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor

pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah yang mungkin diakibatkan karena

terjadi suatu kelemahan dinding-dinding pembuluh darah. Pada proses

penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah

merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal scelemn dan permukaan depan

10
iris. Penyerapan melalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim proteolitik yang

dapat berlebihan di dataran depan iris.8

Sebagian darah dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat

hemosiderin berlebihan di dalam bilik mata depan, dapat terjadi penimbunan

pigmen ini ke dalam lapis kornea. Penimbunan ini menimbulkan kekeruhan

kornea terutama di bagian sentral sehingga terjadi perubahan warna kornea

menjadi coklat yang disebut imbibisi kornea.8

Sementara itu darah dalam bilik mata depan tidak sepenuhnya berbahaya,

namun bila jumlahnya memadai maka dapat menghambat aliran humor aquos ke

dalam trabekula, sehingga dapat menimbulkan glaukoma sekunder.8

Gambar 3. Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata

2.2.5 Diagnosis

2.2.5.1 Anamnesis

Adanya riwayat trauma yang mengenai mata dapat menjadi poin penting

penegakan diagnosis hifema. Pada saat anamnesis kasus trauma mata

ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi trauma dan bahan benda yang

mengenai mata tersebut, apakah terbuat dari kayu, besi, atau bahan lainnya.

11
Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan adanya penurunan

visus disertai nyeri kepala sekitar mata karena berhubungan dengan

peningkatan tekanan intraokuler. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan

mata sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan

ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah

kecelakaan tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat

gangguan pembekuaan darah atau penggunaan anti koagulan sistemik seperti

aspirin atau warfarin.9

2.2.5.2 Gejala Klinis

Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat

diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan penurunan visus.

Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal,

fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme,

edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.8

Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.

Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah

berbatas tegas yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup

banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah

COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil

mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi

pewarnaan darah (blood staining) pada kornea, anisokor pupil.3

Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah

mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara

langsung dapat mengakibatkan tekanan intra okuler meningkat akibat

12
bertambahnya isi COA oleh darah. Kenaikan tekanan intra okuler ini disebut

glaucoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah

yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor

aqueous yang berada di COA. Selain itu akibat darah yang lama berada di

COA akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan

kerusakan kornea.2,10

Grading hifema ditentukan berdasarkan banyaknya darah yang mengisi

COA. Menurut Edward Layden, grading hifema adalah :

1. Grade I : Darah mengisi kurang dari sepertiga COA

2. Grade II : Darah mengisi sepertiga hingga setengah COA

3. Grade III : Darah mengisi hampir total COA

4. Grade IV : Darah memenuhi seluruh COA

5. Mikroskopik: :Hanya terlihat dengan mikroskop, tidak terlihat makroskopik

Gambar 4. Grading Hifema

13
Gambar 5. Ilustrasi hifema (Grd I) Gambar 6. Hifema pada ⅓ COA (Grd II)

Gambar 7. Hifema pada ½ COA

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;

visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan

retina.

b. Tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.

c. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan irido

corneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.

d. Pemeriksaan oftalmoskopi

e. UBM (Ultrasound Biomicroscopic) untuk menyingkirkan adanya

perdarahan vitreus atau ablasio retina

14
2.2.6 Tatalaksana

Pada dasarnya pengobatan hifema bertujuan untuk :

 Menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan ulang

 Mengeluarkan darah dari COA

 Mengendalikan tekanan intra okular

 Mencegah terjadinya imbibisi kornea

 Mengobati uveitis akibat hifema

1. Tirah baring (Bed Rest Total). Pasien hifema sebaiknya diistirahatkan dan

dielevasikan 30-60 derajat. Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada

pembuluh darah iris serta mempermudah evaluasi jumlah perdarahan. Ada

perbedaan pendapat dari ahli mengenai tirah baring ini sebagai tindakan

pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus hifema.6

2. Pemberian steroid tetes harus segera dimulai. Pemberian steroid oral

dipertimbangkan jika grade II atau lebih. Pemberian steroid akan mengurangi

komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.

Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid harus dihindari.6

3. Pemberian agen sikloplegik (seperti atropin 1% tetes, satu kali sehari) dapat

diberika untuk mencegah terbentuknya sinekia.10 Dilatasi pupil dapat

meningkatkan risiko perdarahan kembali sehingga mungkin ditunda sampai

hifema reda dengan penyerapan spontan.6

4. Pemberian koagulansia juga harus diberikan untuk menekan dan

menghentikan pendarahan. Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan

secara oral maupun parenteral seperti vit K. Pada hifema yang baru dan terisi

15
darah segar diberi obat anti fibrinolitik seperti asam tranexamat dengan

pemberian 4 kali 250 mg selama maksimal 5 hari.2

5. Tatalaksana glaukoma meliputi terapi topikal dengan penyekat-β (mis,

timolol 0,25% 2 kali sehari), analog prostaglandin (mis, latanoprost 0,005%

malam hari), dorzolamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau apraclonidine

0,5% tiga kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per oral

empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol)

dapat pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif.6

6. Bedah

a. Parasentesis

Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah

atau nanah dari bilik mata depan. Hifema harus dievakuasi secara bedah

bila tekanan intraokular tetap tinggi (> 35 mmHg selama 7 hari atau 50

mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan nervus optikus dan

pewarnaan kornea, tetapi terdapat risiko terjadinya perdarahan kembali.

Jika pasien mengidap hemoglobulinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi

optik glaukomatosa dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus

dipertimbangkan lebih dari awal.6

b. Irigasi COA

Irigasi dilakukan dengan masukkan alat irigasi dan probe mekanis di

sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk

menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba mengeluarkan

bekuan yang terdapat di sudut bilik mata depan atau di jaringan iris.

Kemudian diikuti dengan iridektomi perifer.

16
c. Viskoelastik

Cara ini dilakukan dengan membuat sebuah insisi kecil di limbus untuk

menyuntikkan bahan viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar

berjarak 180 derajat (dari insisi pertama) untuk memungkinkan hifema di

dorong keluar.6

Glaukoma onset lambat dapat timbul setelah beberapa bulan atau tahun,

terutama bila terdapat penyempitan sudut bilik mata depan lebih dari satu

kuadran. Pada sejumlah kasus yang jarang, bercak darah di kornea menghilang

secara perlahan-lahan dalam jangka waktu hingga satu tahun.6

Karena hifema sering terjadi akibat trauma, maka menggunakan kacamata

pelindung saat bekerja di tempat terbuka atau saat berolahraga dapat mengurangi

resiko terjadinya hifema.6

2.2.7 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada hifema diantaranya:

a. Perdarahan berulang. Insidensinya adalah antara 3 sampai 26%. Tingkat

komplikasinya setelah perdarahan ulang jauh lebih tinggi daripada setelah

perdarahan pertama. Faktor risiko meliputi penyakit anemia sel sabit, pada

terapi antikoagulan sistemik, dan perdarahan awal yang lebih besar.11

b. Pewarnaan darah kornea (corneal blood staining). Kelainan ini paling baik

dikenali dengan slit lamp, menggunakan perbesaran tinggi dan berkas

sempit untuk menemukan perubahan warna kekuning-kuningan pada

kornea posterior. Meski kondisinya dilaporkan pada tekanan intra okuler

yang rendah, faktor risiko yang paling penting adalah TIO yang terus

17
meningkat. Pasien dengan TIO tinggi harus dipantau ketat, dan intervensi

bedah harus lebih awal jika tanda-tanda pewarnaan darah kornea muncul.

Jika pewarnaan telah terjadi dan operasi segmen posterior diindikasikan,

vitrektomi TKP atau endoskopi dapat dilakukan.11

c. Glaukoma sekunder. Keadaaan ini merupakan komplikasi yang umum

terjadi (kejadiannya sampai 14% dengan awal dan 25-67% dengan

perdarahan berulang), gonioskopi harus dilakukan beberapa minggu

setelah perdarahan hilang untuk menurunkan risiko perdarahan berulang.11

d. Sinekia posterior. Keadaan ini jarang terjadi jika pasien ditangani dengan

baik. Lebih sering terjadi pada pembedahan yang dilakukan untuk

mengevakuasi hifema.10

e. Sinekia posterior perifer. Sering pada pasien yang ditangani secara medis

hifema masih tertinggal dalam waktu yang cukup lama, biasanya lebih dari

9 hari. Disebabkan iritis yang terjadi cukup lama karena trauma awal

dan/atau iritis kimia akibat darah pada bilik mata depan.10

2.2.8 Prognosis

Prognosis bergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera

okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai

glaukoma, prognosisnya baik karena darah akan diserap kembali dan hilang

sempurna dalam beberapa hari. Pasien yang enderita hifema yang telah

mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma

tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan

telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk

(malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.2,12

18
BAB 3
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 9 tahun dirawat di bangsal Mata RSUP Dr. M.

Djamil Padang dengan:

Keluhan Utama:

Mata kiri kabur sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Mata kiri kabur sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya mata

kiri terkena lentingan peluru mainan. Mata kiri terasa nyeri, merah dan berair.

 Pasien merasakan sakit kepala, tidak ada mual dan muntah

 Pasien berobat ke RSUD Pariaman kemudian dirujuk ke RSUP Dr M Djamil

Padang karena terdapat darah dalam bola mata kirinya, pasien dirujuk dalam

keadaan kepalanya ditinggikan.

 Mata merah (+), Mata berair (+), Nyeri (+)


 Bengkak (-), Gatal (-), Sekret (-)
 Mual (-), Muntah (-)
 Keluar darah dari mata (-)
 Trauma tempat lain (-)
Riwayat Penyakit Dahulu

 Tidak ada riwayat kelainan pada mata sebelumnya dan pasien juga tidak

pernah memakai kacamata sebelumnya

 Riwayat trauma sebelumnya tidak ada

 Riwayat operasi sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama.

19
PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : komposmentis kooperatif

Tekanan Darah :-

Nadi : 84x/menit

Nafas : 24x/menit

Suhu : afebris

Keadaan gizi : baik

Tinggi badan : 120 cm

Berat badan : 24 kg

Sianosis : tidak ada

Edema : tidak ada

Anemis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Kulit : Tidak ada kelainan

Kelenjar Getah Bening : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : normocephal

Rambut : hitam, tidak mudah rontok

Mata : Status ophtalmikus

THT : tidak ada kelainan

Gigi dan mulut : tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

20
Torak :

Paru : auskultasi vesikuler, ronki (-), wheezing (-)

Jantung : bunyi jantung murni, teratur, bising (-)

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal

Punggung : tidak ada kelainan

Alat kelamin : tidak diperiksa

Anus : tidak diperiksa

Ekstremitas : Defisit neurologis (-), edema (-)

Status Oftalmikus

STATUS
OD OS
OFTALMIKUS

Visus tanpa koreksi 6/6 3/60

Visus dengan koreksi - -

Refleks fundus + +

Trikiasis (-) Trikiasis (-)


Silia / supersilia
Madarosis (-) Madarosis (-)

Palpebra superior Edema (-) Edema (-)

Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)

Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal

Hiperemis (-), Papil (-), Hiperemis (-), Papil (-),


Konjungtiva Tarsalis
folikel (-), sikatrik (-) folikel (-), sikatrik (-)

Konjungtiva Forniks Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Konjungtiva Bulbii Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (+)

21
Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjunktiva (+)

Sklera Warna putih Warna putih

Kornea Bening Bening

COA Cukup dalam Koagulum (+) ±3 mm

Iris Coklat Coklat

Bulat, RP (+/+), diameter Bulat, RP (+/+) diameter


Pupil
2-3 mm 2-3 mm

Lensa Bening Bening

Korpus vitreum Jernih Jernih

Fundus :

- Media Bening Bening

Bulat, batas tegas, c/d 0,3- Bulat, batas tegas, c/d 0,3-
- Papil
0,4 0,4

- Pembuluh
aa:vv = 2:3 aa:vv = 2:3
darah

- Retina Perdarahan (-), eksudat (-) Perdarahan (-), eksudat (-)

- Makula Refleks fovea (+) Refleks fovea (+)

Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Tidak dilakukan

Posisi bulbus okuli Ortho Ortho

Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

22
Gambar

Diagnosis Kerja

Hifema Traumatika grade I OS

Terapi :

 Bed rest, kepala ditinggikan 45o

 Metil prednisolon 4 x 4 mg, 1 minggu tapp off

 Prednisolon asetat 1% ED, 4 x 1 tetes OS

 Atropin sulfat 1% ED, 4 x 1 tetes OS

 Asam traneksamat 4 x 250 mg

 Vit. K 2x1

Prognosis :

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

23
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 9 tahun dirawat di bangsal mata RSUP Dr

M Djamil Padang dengan diagnosis hifema traumatika grade I OS. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan lokal

pada mata. Dari anamnesis didapatkan pasien merasa mata kirinya kabur, nyeri,

berair, dan terdapat gumpalan darah di bola mata bagian bawah. Sebelumnya

pasien terkena lentingan peluru mainan ke mata kirinya ketika bermain. Hal ini

menunjukkan pasien mengalami trauma tumpul pada mata kirinya. Trauma

tumpul pada mata menimbulkan gaya-gaya konstusif yang dapat merobek

pembuluh-pembuluh darah di iris atau badan siliar dan merusak sudut bilik mata

depan. Akibat robeknya pembuluh darah, darah di dalam aquos humor dapat

membentuk suatu lapisan yang dapat terlihat (hifema).6

Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata

Gejala klinis yang dikeluhkan pasien sesuai dengan gejala yang terjadi pada

hifema, yaitu pasien akan mengeluh sakit pada mata yang terkena, desertai

penurunan tajam penglihatan. Pengelihatan pasien akan sangat menurun, dan

ketika pasien duduk (kepala ditinggikan) akan terlihat darah terkumpul di bagian

24
bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata

depan tergantung derajat keparahannya.8 Manifestasi klinis lain yang dapat terjadi

berdasarkan kecepatan dan kekuatan trauma tergantung kepada bagian mata yang

dikenainya, dapat berupa kelainan pada konjungtiva, kelainan kornea, kelainan

pupil dan iris, dan kelainan lensa.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini, status generalis dalam

batas normal, sedangkan pada pemeriksaan status oftalmologi didapatkan visus

mata kiri 6/6 f, pada konjuntiva bulbi terdapat injeksi siliar dan injeksi

konjungtiva yang menandakan adanya proses inflamasi, dan pada kamera okuli

anterior terdapat koagulum ±3mm (<1/3 COA). Hal ini dapat mendukung dalam

mendiagnosis hifema pada pasien.

Mata Kiri Pasien

Grading Hifema

Pasien merupakan rujukan dari RSUD Pariaman dan kepala ditinggikan

selama rujukan dengan tujuan membiarkan darah mengendap dan mempercepat

proses absorbsi dari hifema, hal ini sesuai dengan tujuan terapi secara umum dari

hifema yaitu untuk mencegah kemungkinan terjadinya perdarahan berulang atau

25
perdarahan sekunder dan menurunkan resiko terjadinya corneal blooad staining

dan atrofi optik.

Di RSUP Dr M Djamil pasien Bed rest, kepala ditinggikan 45o, diberikan

obat Metil prednisolon 4 x 4 mg, 1 minggu tapp off, Prednisolon asetat 1% ED, 4

x 1 tetes OS, Atropin sulfat 1% ED, 4 x 1 tetes OS, Asam traneksamat 4 x 250 mg

dan Vit. K 2x1. Bed rest dengan kepala di dielevasikan 30-60 derajat. Hal ini akan

mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta mempermudah evaluasi

jumlah perdarahan. Pemberian steroid oral dan topikal digunakan untuk

mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan sekunder. Agen sikloplegik


6,10
diberikan untuk mencegah terbentuknya sinekia. Pemberian koagulansia juga

harus diberikan untuk menekan dan menghentikan pendarahan. Golongan obat

koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteral seperti vit K.2

Prognosis hifema bergantung pada jumlah darah dalam bilik mata depan.

Prognosis pasien Quo ad vitam (bonam), Quo ad functionam (dubia ad bonam),

1uo ad sanationam (dubia ad bonam). Hal ini didasari bila darah sedikit dalam

bilik mata, maka darah akan terserap dan jernih dengan sempurna. Sedangkan bila

darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka prognosis buruk dan

dapat disertai beberapa penyulit.12 Mata sebaiknya diperiksa secara berkala untuk

mencari adanya perdarahan berulang dan atau/ perdarahan sekunder, komplikasi

glaukoma, atau adanya bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Waktu

terjadinya perdarahan berulang 25% kasus terjadi pada 2-5 hari.6 Prognosis pada

pasien ini baik dikarenakan derajat hifema pada derajat I atau banyaknya darah

<1/3 pada COA.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Suprapto N, Irawati Y. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat.

FKUI: Jakarta.

2. Dersu II. Hyphema Glaukocoma. [Internet]. Updated: 2016 Mar 24,

diakses pada 31 Juli 2017. Tersedia dari :

http://emedicine.medscape.com/article/1206635-overview#showall

3. Lenihan P, Hitchmoth D. 2014. Traumatic hyphema: A teaching case

report. Opted Journal 39(3)

4. Nash DL. Hyphema. [Internet]. Updated: 2016 Dec 14, diakses pada 31

Juli 2017. Tersedia dari :: http://emedicine.medscape.com/article/1190165-

overview#a6

5. Gregory WO. Hyphema. [Internet]. Updated: 2015 Jan 6, Cited: 2017 May

6. Available from: http://eyewiki.aao.org/Hyphema

6. Riordan-Eva P, Cunningham E. Glaukoma dalam Vaughan & Asbury

Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2010; 212-

223

7. Connie S. 1982. The eye and visual nervous system: anatomy, physiology

and toxicology. Environmental health perspectives 44: 1-8.

8. Ilyas, S. Hifema, dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. FKUI, Jakarta,

2014. Hal 284.

9. Kunimoto,Y,Derek, Kunal D.Kanitkar, Mary S.Makar. The Wills Eye

Manual-Office and Emergency Room Diagnosis and Treatment of eye

Disease, Fourth Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2004. p

21-25.

27
10. Shaik N, Arora J, Liao J, Rizzuti AE. Trauma to the anterior Chamber

and Lens. In Textbook of Ocular Trauma Evaluation and Treatment. New

York: Springer International Publishing, 2017. p 17-32.

11. Kuhn, F. Anterior chamber. In Ocular Traumatology. New York:

Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2008. p 209.

12. American Academy of Ophtalmology. 2008. External Disease and Cornea

Section 8. Singapore : America Academy of Ophtalmology. Hal : 398-399.

28

Anda mungkin juga menyukai