HIFEMA TRAUMATIKA
Oleh :
Preseptor :
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
7
Gambar 2.1 : Struktur Anatomi Bola Mata 6
Gambar 2.2 : Gambaran sudut bilik mata depan 7
Gambar 2.3 : Aliran aqueous humor8 8
Gambar 2.4 : Sistem perdarahan mata8 9
Gambar 2.5 : Sistem perdarahan pada segmen anterior mata.8 9
: Klasifikasi hifema berdasarkan jumlah darah yang mengisi
Gambar 2.6 12
COA.8
Gambar 2.7 : Mekanisme hifema dan cedera tumpul pada mata1 13
Gambar 2.7 : Gambaran hifema1 15
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Makalah ini membahas anatomi dan fisiologi mata, definisi, epidemiologi, faktor
risiko, klasifikasi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis
4
banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis pada hifema traumatika.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
COA terletak diantara kornea dan diafragma iris dan pupil. Pada COA
terdapat sudut bilik mata depan yang terdiri dari 5 struktur yaitu garis Schwalbe,
kanalis schlemm dan trabekular meschwork (anyaman trabekular), scleral spur,
batas anterior korpus siliar, dan iris.7
6
Gambar 2.2 Gambaran sudut bilik mata depan
(Keterangan : C = cornea, CB = ciliary body, I = iris, IP = iris process, S = sclera,
SC = schlemm canal, SL = Schwalbe line, SS = scleral spur, TM = trabecular
meshwork, Z = zonular fibers).7
Segmen anterior berisi aqueous humor yang di produksi oleh epitel korpus
siliaris di bilik mata belakang. Aqueous humour merupakan sumber nutrisi utama dan
jalur eksresi lensa dan kornea. Volume aqueous humour pada orang dewasa sekitar
250 uL dengan kecepatan produksi sekitar 2,5 uL/menit. Cairan aquous humour
melewati pupil menuju COA, lalu menuju anyaman trabekular dan terjadi pengurasan
(draining) dari aqueous humour yang kemudian dialirkan ke kanalis schlemm dan
sistem vena episkleral. Sekitar 10% cairan aqueous akan dikeluarkan melalui otot
siliaris, ke ruangan suprakoroid, kemudian ke dalam sistem vena badan siliaris (aliran
uveoskleral).7,8
7
Garis Schwalbe merupakan batas akhir dari endotel kornea. Anyaman
trabekular terdiri dari jaringan kolagen dan elastis yang dibungkus oleh sel-sel
trabekular, membentuk suatu saringan dengan pori-pori yang semakin mengecil
sewaktu mendekati kanalis schlemm. Scleral spur merupakan perpanjangan dari
sklera yang berada di antara badan siliaris dan kanal Schlemm. Saluran eferen dari
kanal Schlemm (sekitar 30 saluran kolektor dan 12 vena aqueous) menyalurkan
cairan ke sistem vena episkleral.8
Perdarahan arteri utama pada mata berasal dari arteri oftalmika, merupakan
cabangpertama dari arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan
di bawah nervus optikus dan melewati kanalis optikus menuju orbita. Cabang
intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina. Cabang lainnya adalah arteri
lakrimalis, yang berfungsi memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata,
cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan
brevis, arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta
supratrochlearis. Arteri siliaris posterior longus memvaskularisasi korpus siliaris,
bersama arteri siliaris anterior membentuk sirkulus anterior mayor iris. Arteri siliaris
posterior brevis mendarahi koroid dan bagian nervus optikus. Arteri siliaris anterior
berasal dari cabang-cabang maskularis dan menuju ke muskulus rekti. Arteri ini
mengalirkan darah ke sklera, episklera, limbus, dan konjungtiva.8
8
Gambar 2.4 Sistem perdarahan mata8
2.2.1. Definisi
9
terjadinya perdarahan dan bercampur dengan aqueous humor yang jernih.9 Hifema
traumatika merupakan sebuah self-limited condition, dimana dalam kebanyakan
kasus, akumulasi darah dalam COA dapat diserap kembali, dan jarang menyebabkan
kebutaan. Namun pada sebagian kasus lainnya, dapat terjadi komplikasi berupa
perdarahan sekunder.10
Hifema dapat disebabkan oleh cedera trauma tumpul, baik sengaja maupun
tidak disengaja, sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliaris
ataupun karenalaserasi (trauma tajam) yang nantinya mengakibatkan perdarahan
pada COA. Traumaakan menghasilkan suatu gaya yang mendorong iris dan lensa
ke bagian posterior dan sklera akan terdesak ke zona ekuator. Proses ini akan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah iris dan badan siliar anterior.1
2.2.2. Epidemiologi
Trauma adalah penyebab paling umum dari hifema, baik trauma tembus
maupun tumpul. Selain itu, hifema juga dapat terjadi secara spontan. Perdarahan
dapat terjadi segera hingga 2 hari setelah trauma terjadi yang disebut perdarahan
primer atau 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder
biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka
sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi
pada mata dengan rubeo iridis, tumor pada iris, retinoblastomadan kelainan darah.
Hal ini mungkin akibat terjadinya kelemahan pada dinding- dinding pembuluh darah.
10
Kondisi medis tertentu seperti: leukemia, hemofilia, penyakit von Willebrand,
penyakit sel sabit, dan penggunaan obatantikoagulan juga dapat membuat seseorang
lebih berisiko mengalami hifema.1,2
2.2.4. Klasifikasi
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah, contohnya
juvenilexanthogranuloma.
5. Hifema akibat neoplasma, contohnya retinoblastoma.
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu :
11
Gambar 2.6 Klasifikasi hifema berdasarkan jumlah darah yang mengisi COA.8
12
perifer dan permukaan badan siliar bisa ruptur dan menyebabkan hifema.1
Hifema yang terjadi setelah operasi intraokular dapat diakibatkan oleh jaringan
granulasi pada daerah luka atau karena pembuluh uvea. Hal ini harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat operasi mata yang datang dengan
hifema traumatika. Hifema spontan dapat terjadi pada pasien yang menggunakan
obat yang mempengaruhi fungsi trombosit atau thrombin (misalnya, aspirin, alkohol,
warfarin). Pada pasien dengan uveitis (terutama pada uveitis ec herpes zoster) juga
dapat terjadi hifema spontan. 1
Perdarahan sekunder dapat diakibatkan oleh meningkatnya tekanan intraokular
dengan prognosis yang lebih buruk. Peningkatan tekanan intraokular (lebih
dari 22 mmHg) dapat mengakibatkan terjadinya atrofi pada nervus optikus. Pada
anak-anakdan dewasa, peningkatan tekanan intraokular hingga 50 mmHg hanya
dapat ditoleransi selama lima hari sebelum terjadinya kerusakan pada nervus.
Trauma tajam juga dapatdikaitkan dengan kerusakan langsung ke pembuluh darah
dan hipotoni, dimana dapatmemicu hifema.1
13
penglihatan ganda, edema palpebra, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai
gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen.8
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan dan robekan), dan ruptur koroid. Atropi papil dapat
terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.11
2.2.7. Diagnosis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan keluhan yang dirasakan pasien, seperti adanya
darah pada bilik mata, penurunan penglihatan, nyeri pada mata, nyeri kepala, fotofobia,
serta gangguan penglihatan lainnya. Selanjutnya perlu ditelusuri terkait faktor resiko
terjadinya hifema.12 Adanya riwayat trauma, terutama mengenai mata dapat memastikan
adanya hifema.
Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi
trauma dan benda yang mengenai mata tersebut. Bagaimana arah datangnyabenda yang
mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain
dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat dari
kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan
ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra okuler akibat perdarahan sekunder.
Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan apakah pernah
mendapatkan pertolongan sebelumnya. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata
sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah
pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut, ambliopia,
penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan darah ataupenggunaan antikoagulan
sistemik seperti aspirin atau warfarin.13
14
Pemeriksaan Fisik
Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat diperiksa
dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-
tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal, fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme,
edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum
yaitu letargi, disorientasi atau somnolen.
15
bola mata, dan dapat diketahui tingkat kepadatan kekeruhannya. Pemeriksaan USG
dilakukan pada keadaan dimana oftalmoskopi tidak dapat
2.2.8. Tatatalaksana
Rencana perawatan untuk hifema traumatika diarahkan untuk meminimalkan
kemungkinan rebleeding, mengendalikan peradangan, dan mengurangi peningkatan
tekanan intraokular (TIO).1
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan hifema
traumatik pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan ara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.5
Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan hifema traumatik tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsi
dan menekan komplikasi yang timbul.
• Antifibrinolitik
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar pemberian obat anti fibrinolitik
bermanfaat untuk mencegah bekuan darah terlalu cepat diserap dan pembuluh darah
diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian
diharapkan terjadinya perdarahan sekunder tidak terjadi. Anti fibronolitik seperti
asam aminokaproat topikal dan/atau oral serta asam traneksamat oral. Dosis untuk
asam aminokaproat yaitu 50mg/kgBB setiap 4 jammaksimal 30g per hari selama 5
hari. Dosis untuk asam traneksamat adalah 75mg/kgBB/hari, 3 kali sehari selama 6
16
hari. Pada anak, asam traneksamat oral dengan dosis 25mg/kg/hari. Kontraindikasi
pemberian pada gangguan clotting intravaskular dan kehamilan. Pemberiannya tidak
dianjurkan melewati satu minggu karena dapat menimbulkan gangguan transportasi
cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya,
pengukuran tekanan intra ocular harus dilakukan.
• Steroid
Kortikosteroid topikal untuk mengurang inflamasi, dan mencegah
iritis/iridosiklitis. Penggunaan steroid berupa topikal (prednisolone asetat 1% qid) dan
sistemik (prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari) digunakan sebagai manajemen hifema. Prednisolone
asetat 1% pada dewasa dan anak diberikan dalam 1-2 tetes pada konjungtiva setiap empat
jam per hari. Penggunaan steroid merupakan kontraindikasi pada hifema dengan glaukoma.
• Sikloplegik/Midriatik
Siklopegik digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan resiko terjadinya
sinekia posterior. Pemberian siklopegik dapat menstabilkan blood-aquous barrier,
meningkatkan kenyamanan pasien, dan memfasilitasi evaluasi segmen posterior.
Sikloplegik yang digunakan berupa cyclopentolate 1% diberikan 1 tetes tiga kali
sehari atau scopolamine 0,25% 1 tetes dua kali sehari atau atropine 1% 1 tetes empat
kali sehari selama lima hari bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri. Penggunaan
agen ini juga berguna untuk mencegah terjadinya sinekia posterior yang dapat
mengakibatkan disfungsi iris permanen.14
• Analgesik bila perlu, berupa acetaminofen atau kodein. Tergantung pada
tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
• Terapi lain
Tekanan intraokular dapat meningkat secara akut (dalam hitungan jam,
biasanya pada pasien dengan sickle cell disease), berbulan-bulan hingga
hitungan tahun. Maka, tekanan intraokular harus dimonitor per hari hingga
beberapa hari dan secara berkala tiap bulan. Tatalaksana pasien hifema dengan
peningkatan tekanan intraokular meliputi terapi topical dengan penyekat- misal
timolol 0,25% dua kali sehari. Analogβ prostaglandin (misal
latanoprost 0,005% malam hari), dorzalamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau
apraclonidine 0,5% tiga kali sehari). Respon terhadap pengobatan diperiksa setiap
satu hingga dua jam sampai mulai adanya penurunan tekanan intraokular kemudian
diperiksa satu atau dua kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per
oral empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol) dapat
17
pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaucoma
mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sangat berat.14
Tindakan Operatif
Indikasi dilakukan tindakan operasi pada hifema sebagai berikut :1
c) Untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer, bila hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 8 hari.
2.2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hifema traumatika :16
a) Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder atau disebut juga rebleeding umumnya diikuti oleh prognosis
visual yang buruk. Rebleeding dikatakan terjadi jika terdapat penambahan ukuran
hifema, atau jika terlihat lapisan darah segar diatas bekuan darah sebelumnya yang
18
berwarna lebih gelap di COA. Rebleeding disebabkan oleh lisis, retraksi bekuan darah
dan agregasi fibrin yang terbentuk pada awal trauma. Waktu yang paling kritis terjadinya
rebleeding adalah hari kedua sampai ketujuh setelah trauma. Trauma yang disebabkan
kerusakan blood ocular barrier dapat meningkatkan difusi beberapa protein plasma ke
ruang anterior, termasuk plasminogen, sehingga meningkatkan risiko perdarahan
sekunder.
b) Glaukoma
Sekitar 25% mata mengalami peningkatan Tekanan Intra Okuler >25mmHg dan 10%
mata >35 mmHg. Peningkatan TIO disebabkan oleh oklusi dari trabecular meshwork
oleh gumpalan darah, sel-sel inflamasi, atau sisa eritrosit; blok pupil; atau penyebab
lainnnya seperti rusaknya atau fibrosis dari trabekula meshwork.
c) Sinekia anterior perifer (PAS/peripheral anterior synechiae)
Sinekia anterior perifer yaitu iris menempel ke kornea, yang pada umumnya terjadi
pada pasien dengan hifema yang menetap pada periode yang lama, biasanya mencapai 9
hari atau lebih. Hal ini disebabkan oleh adanya iritasi kronik akibat trauma awal atau
adanya iritasi kimiawi karena adanya darah di bilik mata depan. Kemungkinan penyebab
lainnya yaitu adanya bekuan di sudut bilik yang mengakibatkan fibrosis trabecular
meshwork sehingga menutup sudut tersebut.
d) Pewarnaan kornea ( corneal blood staining/ hemosiderosis kornea)
Pewarnaan kornea (hemosiderosis kornea) lebih sering terjadi pada pasien dengan
hifema total yang bertahan selama minimal 6 hari berturut-turut, diikuti dengan
peningkatan TIO lebih dari 25 mmHg, rebleeding, durasi bekuan yang memanjang, dan
disfungsi sel endotel kornea. Angka kejadian hemosiderosis kornea pada hifema berkisar
antara 2-11%.
Corneal bloodstaining dapat terjadi karena hemoglobin dilepaskan dari eritrosit dalam
COA, berdifusi melintasi membran descemet, dan agregat secara fokal berada dalam
membran serta lamela stroma. Corneal bloodstaining dapat juga terjadi karena fagositosis
keratosit dan metabolisme hemoglobin yang memproduksi hemosiderin intraseluler.
e) Atrofi saraf optik
Atrofi saraf optic disebabkan oleh peningkatan TIO. Resiko atrofi saraf optic
meningkat apabila TIO berkisar 50 mmHg atau lebih selama 5 hari tau TIO berkisar 35
mmHg atau lebih selama 7 hari.
19
2.2.10. Prognosis
Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Apabila hifema kurang dari setengah COA, maka hifema akan hilang dan diserap
sempurna. Sedangkan apabila darah lebih dari setengah segmen anterior, maka prognosis
menjadi lebih buruk karena akan disertai beberapa penyulit. Hifema total di dalam bilik
mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding hifema sebagian.
Prognosis untuk pemulihan penglihatan pada hifema berhubungan dengan
beberapa faktor, yaitu2:
a) Kerusakan pada struktur okular lain, seperti robekan pada koroid, parut pada
makula.
b) Perdarahan sekunder.
c) Komplikasi seperti glaukoma, corneal blood staining atau terjadi optikatrofi.
Modalitas pengobatan harus diarahkan untuk mengurangi insiden perdarahan
sekunder dan risiko pewarnaan darah kornea dan atrofi optik.
Kebanyakan pasien akan pulih sepenuhnya tanpa defisit, tetapi komplikasi lebih
mungkin terjadi pada mereka dengan komorbiditas lain seperti sel sabit, dan dengan
peningkatan ukuran hifema. Misalnya, peningkatan tekanan intraokular terlihat pada
13,5% hifema derajat I sampai II; sedangkan, ada risiko 52% dengan hifema derajat IV.
Prognosis untuk penglihatan normal juga dipengaruhi oleh derajat hifema. Hifema derajat
I memiliki tingkat penglihatan normal sekitar 90%; sedangkan, grade IV hanya memiliki
prognosis 50% hingga 75% untuk penglihatan normal. Penyebab paling umum untuk
gangguan penglihatan adalah pewarnaan kornea pada sumbu visual, yang
menggarisbawahi memburuknya prognosis untuk hifema tingkat tinggi.
20
BAB 3
PENUTUP
Hifema merupakan suatu keadaan ditemukan darah di dalam bilik mata depan yang
biasanya berasal dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah, dapat terjadi akibat
trauma tumpul, ataupun karena laserasi atau dapat juga pendarahan ini terjadi spontan.
Darah dalam bilik mata depan ini dapat mengisi seluruh bilik mata depan atau hanya
mengisi bagian bawah bilik mata depan. Adanya riwayat trauma, terutama mengenai
matanya dapat memastikan adanya hifema traumatika. Pada gambaran klinis ditemukan
adanya perdarahan pada COA, terkadang ditemukan gangguan visus, dan peningkatan
TIO. Penegakkan diagnosis hifema didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Beratnya hifema dinilai dari banyak nya darah dalam bilik mata depan. Berdasarkan
tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade I-IV. Hifema juga terbagi menjadi 2
jenis, Hifema primer, yaitu hifema yang langsung terjadi setelah trauma dan hifema
sekunder, yaitu hifema yang biasanya muncul pada hari kelima setelah terjadinya trauma.
Tujuan penatalaksanaan hifema traumatika diantaranya untuk menurunkan angka
rebleeding, membersihkan hifema, memperbaiki jaringan yang rusak, dan meminimalkan
sekuele jangka panjang. Penatalaksanaan hifema dapat berupa terapi non medikamentosa,
medikamentosa, dan terapi bedah. Komplikasi yang paling sering ditemukan pada hifema
traumatika adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan
iridodialysis. Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Hifema total di dalam bilik mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding hifema
sebagian.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
15. Ilyas S. 2005. Hifema Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata.
16. Vitresia H. Memahami Hifema Traumatika & Dampaknya Pada Penglihatan.
PERDAMI. https://perdami.or.id/2017/05/30/memahami-hifema-traumatika-
dampaknya-pada-penglihatan/ Published 2017.
23