Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Session

HIFEMA TRAUMATIKA

Oleh :

Egi Defiska Mulya 2140312001

Nabilla Mahyenda 1810312079

Preseptor :

Dr. dr. Havriza Vitresia, SpM(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PADANG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Clinical Science Session yang berjudul
“Hifema Traumatika” ini dapat penulis selesaikan.
Makalah Clinical Science Session ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan penulis serta pembaca mengenai Hifema Traumatika, dan menjadi salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP. Dr.
M. Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada Dr. dr. Havriza Vitresia, SpM(K) sebagai
preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran, masukan, dan
bimbingan dalam penyelesaian makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman mengenai Hifema
Traumatika.

Padang, April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman

SAMPUL DEPAN .........................................................................................................1


KATA PENGANTAR ...................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................4
1.1. Latar Belakang...............................................................................................4
1.2. Batasan Masalah ............................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan ...........................................................................................5
1.4. Metode Penulisan ..........................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................6
2.1. Anatomi Segmen Anterior Mata ...................................................................6
2.2. Hifema Traumatika ........................................................................................9
2.2.1. Definisi ..........................................................................................................9
2.2.2. Epidemiologi ...............................................................................................10
2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko ...........................................................................10
2.2.4. Klasifikasi ....................................................................................................11
2.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi ......................................................................12
2.2.6. Gejala Klinis ................................................................................................13
2.2.7. Diagnosis .....................................................................................................14
2.2.8. Tatatalaksana ...............................................................................................16
2.2.9. Komplikasi ..................................................................................................18
2.2.10. Prognosis .....................................................................................................20
BAB 3 PENUTUP .......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................22

ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
7
Gambar 2.1 : Struktur Anatomi Bola Mata 6
Gambar 2.2 : Gambaran sudut bilik mata depan 7
Gambar 2.3 : Aliran aqueous humor8 8
Gambar 2.4 : Sistem perdarahan mata8 9
Gambar 2.5 : Sistem perdarahan pada segmen anterior mata.8 9
: Klasifikasi hifema berdasarkan jumlah darah yang mengisi
Gambar 2.6 12
COA.8
Gambar 2.7 : Mekanisme hifema dan cedera tumpul pada mata1 13
Gambar 2.7 : Gambaran hifema1 15

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hifema merupakan keadaan terdapatnya kumpulan darah di segmen anterior mata


(COA) yang terjadi akibat adanya cedera pada pembuluh darah iris atau badan siliaris
anterior, umumnya karena trauma atau kondisi medis yang mendasarinya. Derajat
keparahan hifema bervariasi, dari sel darah merah difus yang bersirkulasi dalam aqueous
humor hingga terbentuknya gumpalan darah yang mengisi seluruh segmen anterior.1
Insiden hifema traumatika diperkirakan sebanyak 12 kasus per 100.000 orang
setiap tahunnya di Amerika Serikat dengan kejadian pada pria lebih banyak dibandingkan
wanita yaitu3:1. Hifema juga lebih sering ditemukan pada anak-anak dan remaja usia 10 –
20 tahun yaitu sekitar 70%.2 Pada tahun 2016 berdasarkan penelitian yang dilakukan di
RSUP Dr. M. Djamil Padang, didapatkan prevalensi kejadian hifema traumatika sebesar
6.58% dari 61 kasus trauma mata.3 Dua per tiga dari seluruh kasus hifema traumatika
diakibatkan oleh trauma tumpul, dan sepertiga lainnya diakibatkan oleh trauma tembus.4
Penegakan diagnosis hifema traumatika dapat didasarkan pada anamnesis, pasien
mengeluhkan adanya gejala berupa penurunan ketajaman penglihatan, nyeri mata, adanya
riwayat trauma pada mata. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oftalmologi untuk melihat
gambaran tipikal hifema traumatika seperti penurunan visus, pupil anisokor, serta
gambaran perdarahan pada segmen anterior mata dan tanda – tanda iritasi pada mata.5
Hifema diklasifikasikan berdasarkan derajat perdarahan yang mengisi segmen anterior
mata. Klasifikasi ini dapat memprediksi prognosis jangka pendek dan panjang pada pasien.1

Penatalaksanaan pada hifema bertujuan untuk mencegah komplikasi yang dapat


terjadi seperti perdarahan berulang, peningkatan tekanan intraokular, corneal blood
staining, dan atrofi nervus optikus.1 Hifema dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi yang bisa mengakibatkan kerusakan serius pada mata, oleh sebab itu diperlukan
penegakkan diagnosis, melakukan evaluasi serta tatalaksana awal yang tepat dalam
menangani hifema agar dapat mencegah komplikasi, sehingga prognosisnya menjadi lebih
baik.6
1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas anatomi dan fisiologi mata, definisi, epidemiologi, faktor
risiko, klasifikasi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis

4
banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis pada hifema traumatika.

1.3. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai hifema


traumatika.

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada


berbagai literatur.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Segmen Anterior Mata

Secara anatomis, mata dibagi menjadi 3 kompartemen yaitu segmen anterior


mata atau camera oculi anterior (COA), segmen posterior mata atau camera oculi
posterior (COP), dan ruang vitreous. Segmen anterior mata (COA) merupakan ruang
di antara iris dan kornea dengankedalaman sekitar 3 mm dan mengandung 200 uL
aqueous humor. Kedalaman COA bervariasi, pada keadaan hipermetropia, COA
cenderung lebih dangkal, sedangkan pada miopia, COA lebih dalam. Segmen
posterior mata (COP) adalah ruang yang terletak posterior terhadap iris dan anterior
terhadap lensa. Ruang ini yang juga berisi cairan aqueos dengan volume sekitar 60
uL.7

Gambar 2.1 Struktur Anatomi Bola Mata7

COA terletak diantara kornea dan diafragma iris dan pupil. Pada COA
terdapat sudut bilik mata depan yang terdiri dari 5 struktur yaitu garis Schwalbe,
kanalis schlemm dan trabekular meschwork (anyaman trabekular), scleral spur,
batas anterior korpus siliar, dan iris.7

6
Gambar 2.2 Gambaran sudut bilik mata depan
(Keterangan : C = cornea, CB = ciliary body, I = iris, IP = iris process, S = sclera,
SC = schlemm canal, SL = Schwalbe line, SS = scleral spur, TM = trabecular
meshwork, Z = zonular fibers).7

Segmen anterior berisi aqueous humor yang di produksi oleh epitel korpus
siliaris di bilik mata belakang. Aqueous humour merupakan sumber nutrisi utama dan
jalur eksresi lensa dan kornea. Volume aqueous humour pada orang dewasa sekitar
250 uL dengan kecepatan produksi sekitar 2,5 uL/menit. Cairan aquous humour
melewati pupil menuju COA, lalu menuju anyaman trabekular dan terjadi pengurasan
(draining) dari aqueous humour yang kemudian dialirkan ke kanalis schlemm dan
sistem vena episkleral. Sekitar 10% cairan aqueous akan dikeluarkan melalui otot
siliaris, ke ruangan suprakoroid, kemudian ke dalam sistem vena badan siliaris (aliran
uveoskleral).7,8

7
Garis Schwalbe merupakan batas akhir dari endotel kornea. Anyaman
trabekular terdiri dari jaringan kolagen dan elastis yang dibungkus oleh sel-sel
trabekular, membentuk suatu saringan dengan pori-pori yang semakin mengecil
sewaktu mendekati kanalis schlemm. Scleral spur merupakan perpanjangan dari
sklera yang berada di antara badan siliaris dan kanal Schlemm. Saluran eferen dari
kanal Schlemm (sekitar 30 saluran kolektor dan 12 vena aqueous) menyalurkan
cairan ke sistem vena episkleral.8

Gambar 2.3 Aliran aqueous humor8

Perdarahan arteri utama pada mata berasal dari arteri oftalmika, merupakan
cabangpertama dari arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini berjalan
di bawah nervus optikus dan melewati kanalis optikus menuju orbita. Cabang
intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina. Cabang lainnya adalah arteri
lakrimalis, yang berfungsi memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata,
cabang-cabang muskularis ke berbagai otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan
brevis, arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta
supratrochlearis. Arteri siliaris posterior longus memvaskularisasi korpus siliaris,
bersama arteri siliaris anterior membentuk sirkulus anterior mayor iris. Arteri siliaris
posterior brevis mendarahi koroid dan bagian nervus optikus. Arteri siliaris anterior
berasal dari cabang-cabang maskularis dan menuju ke muskulus rekti. Arteri ini
mengalirkan darah ke sklera, episklera, limbus, dan konjungtiva.8

8
Gambar 2.4 Sistem perdarahan mata8

Gambar 2.5 Sistem perdarahan pada segmen anterior mata.8

2.2. Hifema Traumatika

2.2.1. Definisi

Hifema merupakan keadaan adanya akumulasi sel darah merah di dalam


segmen anterior mata (COA) yang dapat diakibatkan oleh trauma atau kondisi medis
yang mendasari robeknya pembuluh darah iris atau korpus siliaris menyebabkan

9
terjadinya perdarahan dan bercampur dengan aqueous humor yang jernih.9 Hifema
traumatika merupakan sebuah self-limited condition, dimana dalam kebanyakan
kasus, akumulasi darah dalam COA dapat diserap kembali, dan jarang menyebabkan
kebutaan. Namun pada sebagian kasus lainnya, dapat terjadi komplikasi berupa
perdarahan sekunder.10
Hifema dapat disebabkan oleh cedera trauma tumpul, baik sengaja maupun
tidak disengaja, sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliaris
ataupun karenalaserasi (trauma tajam) yang nantinya mengakibatkan perdarahan
pada COA. Traumaakan menghasilkan suatu gaya yang mendorong iris dan lensa
ke bagian posterior dan sklera akan terdesak ke zona ekuator. Proses ini akan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah iris dan badan siliar anterior.1

2.2.2. Epidemiologi

Insidensi kejadian hifema diperkirakan mencapai 17 per 100.000 kasus di


dunia. Hifema lebih sering terjadi pada laki-laki (75-78%) dengan usia 15.5-18.2
tahun. Pada orangdewasa, penyebab utama trauma tumpul ialah kecelakaan yang
tidak disengaja, dimana 60% kasus disebabkan oleh trauma tumpul yang terjadi
saat olahraga akibat lemparanbola baseball, softball, bola basket, sepak bola, dan
paint ball.9
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2016, didapatkan
prevalensi kasus hifema traumatika yang terjadi sebesar 6,58% diantara 61 kasus
akibat trauma mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang.3

2.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Trauma adalah penyebab paling umum dari hifema, baik trauma tembus
maupun tumpul. Selain itu, hifema juga dapat terjadi secara spontan. Perdarahan
dapat terjadi segera hingga 2 hari setelah trauma terjadi yang disebut perdarahan
primer atau 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan sekunder. Hifema sekunder
biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka
sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat terjadi
pada mata dengan rubeo iridis, tumor pada iris, retinoblastomadan kelainan darah.
Hal ini mungkin akibat terjadinya kelemahan pada dinding- dinding pembuluh darah.

10
Kondisi medis tertentu seperti: leukemia, hemofilia, penyakit von Willebrand,
penyakit sel sabit, dan penggunaan obatantikoagulan juga dapat membuat seseorang
lebih berisiko mengalami hifema.1,2
2.2.4. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi sebagai berikut2 :


1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis, misalnya kesalahan prosedur operasi
mata.

3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga
pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah, contohnya
juvenilexanthogranuloma.
5. Hifema akibat neoplasma, contohnya retinoblastoma.
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu :

1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke-2.

2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

Hifema diklasifikasikan berdasarkan jumlah darah yang mengisi COA, antara


lain:
1. Mikroskopis (mikrohifema) : Sel darah merah positif, tidak
tampakkumpulan darah
2. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
3. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
4. Grade III : darah mengisi hampir total COA
5. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA

11
Gambar 2.6 Klasifikasi hifema berdasarkan jumlah darah yang mengisi COA.8

2.2.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Hifema traumatik paling sering terjadi pada pria muda. Hal tersebut
disebabkan karena adanya trauma pada pembuluh dari iris perifer atau badan siliaris
anterior. Trauma menyebabkan perpindahan bagian posterior diafragma lensa-iris
dan ekspansi sklera di zona equatorial, sehingga menimbulkan terganggunya arteri
sirkulus mayor iris, cabang dari arteri badan siliar, dan atau arteri dan vena koroidal.
Perdarahan segmen anterior dapat dilihat pada pemeriksaan dengan menggunakan
penlight, berbentuk lapisan darah di inferior anterior chamber. Namun, kadang
kadang pendarahan sangat halus sehingga hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan
slit-lamp.1
Trauma tumpul dikaitkan dengan kompresi antero-posterior dan ekspansi
simultan pada bola mata. Kontusio menyebabkan kompresi bola mata dengan
pelebaran sklera equator, peregangan limbus, dan pergeseran lensa atau diagfragma
ke posterior dan putusnya pembuluh darah. Ekspansi menyebabkan stres pada
struktur sudut anterior chamber, yang dapat menyebabkan pecahnya iris stroma dan
atau pembuluh badan siliar.1
Dorongan akibat trauma menyebabkan displace pada mata dan volume aquos,
sehingga meningkatkan tekanan hidrolik pada lensa, akar iris dan trabekular
meshwork. Jika dorongan melebihi dari kekuatan tarik struktur okular, pembuluh iris

12
perifer dan permukaan badan siliar bisa ruptur dan menyebabkan hifema.1

Gambar 2.7 Mekanisme hifema dan cedera tumpul pada mata1

Hifema yang terjadi setelah operasi intraokular dapat diakibatkan oleh jaringan
granulasi pada daerah luka atau karena pembuluh uvea. Hal ini harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat operasi mata yang datang dengan
hifema traumatika. Hifema spontan dapat terjadi pada pasien yang menggunakan
obat yang mempengaruhi fungsi trombosit atau thrombin (misalnya, aspirin, alkohol,
warfarin). Pada pasien dengan uveitis (terutama pada uveitis ec herpes zoster) juga
dapat terjadi hifema spontan. 1
Perdarahan sekunder dapat diakibatkan oleh meningkatnya tekanan intraokular
dengan prognosis yang lebih buruk. Peningkatan tekanan intraokular (lebih
dari 22 mmHg) dapat mengakibatkan terjadinya atrofi pada nervus optikus. Pada
anak-anakdan dewasa, peningkatan tekanan intraokular hingga 50 mmHg hanya
dapat ditoleransi selama lima hari sebelum terjadinya kerusakan pada nervus.
Trauma tajam juga dapatdikaitkan dengan kerusakan langsung ke pembuluh darah
dan hipotoni, dimana dapatmemicu hifema.1

2.2.6. Gejala Klinis


Pasien umumnya akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan
blefaropasme. Penglihatan pasien akan menurun, bila pasien duduk hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.5
Ditemukan adanya tanda- tanda iritasi dari konjungtiva dan pericorneal, fotofobia
(silau terhadap cahaya),

13
penglihatan ganda, edema palpebra, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai
gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen.8
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, robekan pupil, subluksasi
lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan
vitreus, jejas retina (edema, perdarahan dan robekan), dan ruptur koroid. Atropi papil dapat
terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.11

2.2.7. Diagnosis

Penegakkan diagnosis hifema didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,dan


pemeriksaan penunjang.
Anamnesis

Pada anamnesis, perlu ditanyakan keluhan yang dirasakan pasien, seperti adanya
darah pada bilik mata, penurunan penglihatan, nyeri pada mata, nyeri kepala, fotofobia,
serta gangguan penglihatan lainnya. Selanjutnya perlu ditelusuri terkait faktor resiko
terjadinya hifema.12 Adanya riwayat trauma, terutama mengenai mata dapat memastikan
adanya hifema.

Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi
trauma dan benda yang mengenai mata tersebut. Bagaimana arah datangnyabenda yang
mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas, samping bawah, atau dari arah lain
dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut, apakah terbuat dari
kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan
ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata karena berhubungan dengan peningkatan
tekanan intra okuler akibat perdarahan sekunder.

Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan apakah pernah
mendapatkan pertolongan sebelumnya. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata
sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan apakah
pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan tersebut, ambliopia,
penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan darah ataupenggunaan antikoagulan
sistemik seperti aspirin atau warfarin.13

14
Pemeriksaan Fisik

Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat diperiksa
dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-
tanda iritasi dari konjungtiva dan perikorneal, fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme,
edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum
yaitu letargi, disorientasi atau somnolen.

Gambar 2.7 Gambaran hifema1


Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan ketajaman penglihatan : menggunakan kartu mata Snellen, visus
dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b. Lapangan pandang : penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
c. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler.
d. Slit Lamp Biomicroscopy : untuk menentukan kedalaman kamera okuli
anterior, flare, dan sinekia posterior.
e. Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler.
f. Pemeriksaan laboratorium : pada ras tertentu seperti kulit hitam dan Hispanik,
perlu dilakukan pemeriksaan ke arah kemungkinan penyakit sickle cell
dengan cara pemeriksaan slide darah merah,elektroforesis hemoglobin, dan fungsi
pembekuan darah.
g. Pemeriksaan USG : untuk mengetahui adanya kekeruhan pada segmen posterior

15
bola mata, dan dapat diketahui tingkat kepadatan kekeruhannya. Pemeriksaan USG
dilakukan pada keadaan dimana oftalmoskopi tidak dapat

2.2.8. Tatatalaksana
Rencana perawatan untuk hifema traumatika diarahkan untuk meminimalkan
kemungkinan rebleeding, mengendalikan peradangan, dan mengurangi peningkatan
tekanan intraokular (TIO).1
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan hifema
traumatik pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan ara
konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.5

Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi


• Tirah baring
Hifema pada penderita yang tampak mengisi lebih dari 5% segmen anterior
sebaiknya diistirahatkan. Tidur dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30 - 45 derajat (posisi semifowler). Hal
ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan
tirah baring absorbsi hifema lebih cepat dan dapat mengurangi timbulnya komplikasi
perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terutama pada anak-
anak, sehingga diperlukan pengawasan yang ketat..

Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan hifema traumatik tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsi
dan menekan komplikasi yang timbul.
• Antifibrinolitik

Pada hifema yang baru dan terisi darah segar pemberian obat anti fibrinolitik
bermanfaat untuk mencegah bekuan darah terlalu cepat diserap dan pembuluh darah
diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian
diharapkan terjadinya perdarahan sekunder tidak terjadi. Anti fibronolitik seperti
asam aminokaproat topikal dan/atau oral serta asam traneksamat oral. Dosis untuk
asam aminokaproat yaitu 50mg/kgBB setiap 4 jammaksimal 30g per hari selama 5
hari. Dosis untuk asam traneksamat adalah 75mg/kgBB/hari, 3 kali sehari selama 6
16
hari. Pada anak, asam traneksamat oral dengan dosis 25mg/kg/hari. Kontraindikasi
pemberian pada gangguan clotting intravaskular dan kehamilan. Pemberiannya tidak
dianjurkan melewati satu minggu karena dapat menimbulkan gangguan transportasi
cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea. Selama pemberiannya,
pengukuran tekanan intra ocular harus dilakukan.
• Steroid
Kortikosteroid topikal untuk mengurang inflamasi, dan mencegah
iritis/iridosiklitis. Penggunaan steroid berupa topikal (prednisolone asetat 1% qid) dan
sistemik (prednisone 0,5-1,0 mg/kg/hari) digunakan sebagai manajemen hifema. Prednisolone
asetat 1% pada dewasa dan anak diberikan dalam 1-2 tetes pada konjungtiva setiap empat
jam per hari. Penggunaan steroid merupakan kontraindikasi pada hifema dengan glaukoma.

• Sikloplegik/Midriatik
Siklopegik digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan resiko terjadinya
sinekia posterior. Pemberian siklopegik dapat menstabilkan blood-aquous barrier,
meningkatkan kenyamanan pasien, dan memfasilitasi evaluasi segmen posterior.
Sikloplegik yang digunakan berupa cyclopentolate 1% diberikan 1 tetes tiga kali
sehari atau scopolamine 0,25% 1 tetes dua kali sehari atau atropine 1% 1 tetes empat
kali sehari selama lima hari bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri. Penggunaan
agen ini juga berguna untuk mencegah terjadinya sinekia posterior yang dapat
mengakibatkan disfungsi iris permanen.14
• Analgesik bila perlu, berupa acetaminofen atau kodein. Tergantung pada
tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
• Terapi lain
Tekanan intraokular dapat meningkat secara akut (dalam hitungan jam,
biasanya pada pasien dengan sickle cell disease), berbulan-bulan hingga
hitungan tahun. Maka, tekanan intraokular harus dimonitor per hari hingga
beberapa hari dan secara berkala tiap bulan. Tatalaksana pasien hifema dengan
peningkatan tekanan intraokular meliputi terapi topical dengan penyekat- misal
timolol 0,25% dua kali sehari. Analogβ prostaglandin (misal
latanoprost 0,005% malam hari), dorzalamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau
apraclonidine 0,5% tiga kali sehari). Respon terhadap pengobatan diperiksa setiap
satu hingga dua jam sampai mulai adanya penurunan tekanan intraokular kemudian
diperiksa satu atau dua kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per
oral empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol) dapat
17
pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaucoma
mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sangat berat.14
Tindakan Operatif
Indikasi dilakukan tindakan operasi pada hifema sebagai berikut :1

a) Untuk mencegah atrofi saraf optik, dilakukan pembedahan bila tekanan


intraokular >35 mmHg selama 7hari atau >60 mmHg selama 5 hari.

b) Untuk mencegah corneal blood staining, pembedahan dilakukan bila tekanan


intraokular >25 mmHg selama 5 hari atau bila ditemukan tanda-tanda inhibisa
kornea.

c) Untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer, bila hifema total bertahan
selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 8 hari.

d) Dan pada pasien dengan hemoglobinopati sickle cell, tekanan intraokuler


≥25mmHg dalam 24 jam. . Jika tekanan intraokular menetap tinggi 50 mmHg atau
lebih selama 4 hari, pembedahan tidakboleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi
optic pada 50 persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat.
Corneal bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak terkontrol
dalam 24 jam.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah Parasentesis. Parasentesis
merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola
mata dengan teknik insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari
bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata
depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis
tidak perlu dijahit. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika
darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.1

2.2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hifema traumatika :16
a) Perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder atau disebut juga rebleeding umumnya diikuti oleh prognosis
visual yang buruk. Rebleeding dikatakan terjadi jika terdapat penambahan ukuran
hifema, atau jika terlihat lapisan darah segar diatas bekuan darah sebelumnya yang
18
berwarna lebih gelap di COA. Rebleeding disebabkan oleh lisis, retraksi bekuan darah
dan agregasi fibrin yang terbentuk pada awal trauma. Waktu yang paling kritis terjadinya
rebleeding adalah hari kedua sampai ketujuh setelah trauma. Trauma yang disebabkan
kerusakan blood ocular barrier dapat meningkatkan difusi beberapa protein plasma ke
ruang anterior, termasuk plasminogen, sehingga meningkatkan risiko perdarahan
sekunder.
b) Glaukoma
Sekitar 25% mata mengalami peningkatan Tekanan Intra Okuler >25mmHg dan 10%
mata >35 mmHg. Peningkatan TIO disebabkan oleh oklusi dari trabecular meshwork
oleh gumpalan darah, sel-sel inflamasi, atau sisa eritrosit; blok pupil; atau penyebab
lainnnya seperti rusaknya atau fibrosis dari trabekula meshwork.
c) Sinekia anterior perifer (PAS/peripheral anterior synechiae)
Sinekia anterior perifer yaitu iris menempel ke kornea, yang pada umumnya terjadi
pada pasien dengan hifema yang menetap pada periode yang lama, biasanya mencapai 9
hari atau lebih. Hal ini disebabkan oleh adanya iritasi kronik akibat trauma awal atau
adanya iritasi kimiawi karena adanya darah di bilik mata depan. Kemungkinan penyebab
lainnya yaitu adanya bekuan di sudut bilik yang mengakibatkan fibrosis trabecular
meshwork sehingga menutup sudut tersebut.
d) Pewarnaan kornea ( corneal blood staining/ hemosiderosis kornea)
Pewarnaan kornea (hemosiderosis kornea) lebih sering terjadi pada pasien dengan
hifema total yang bertahan selama minimal 6 hari berturut-turut, diikuti dengan
peningkatan TIO lebih dari 25 mmHg, rebleeding, durasi bekuan yang memanjang, dan
disfungsi sel endotel kornea. Angka kejadian hemosiderosis kornea pada hifema berkisar
antara 2-11%.
Corneal bloodstaining dapat terjadi karena hemoglobin dilepaskan dari eritrosit dalam
COA, berdifusi melintasi membran descemet, dan agregat secara fokal berada dalam
membran serta lamela stroma. Corneal bloodstaining dapat juga terjadi karena fagositosis
keratosit dan metabolisme hemoglobin yang memproduksi hemosiderin intraseluler.
e) Atrofi saraf optik
Atrofi saraf optic disebabkan oleh peningkatan TIO. Resiko atrofi saraf optic
meningkat apabila TIO berkisar 50 mmHg atau lebih selama 5 hari tau TIO berkisar 35
mmHg atau lebih selama 7 hari.

19
2.2.10. Prognosis
Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Apabila hifema kurang dari setengah COA, maka hifema akan hilang dan diserap
sempurna. Sedangkan apabila darah lebih dari setengah segmen anterior, maka prognosis
menjadi lebih buruk karena akan disertai beberapa penyulit. Hifema total di dalam bilik
mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding hifema sebagian.
Prognosis untuk pemulihan penglihatan pada hifema berhubungan dengan
beberapa faktor, yaitu2:
a) Kerusakan pada struktur okular lain, seperti robekan pada koroid, parut pada
makula.
b) Perdarahan sekunder.
c) Komplikasi seperti glaukoma, corneal blood staining atau terjadi optikatrofi.
Modalitas pengobatan harus diarahkan untuk mengurangi insiden perdarahan
sekunder dan risiko pewarnaan darah kornea dan atrofi optik.
Kebanyakan pasien akan pulih sepenuhnya tanpa defisit, tetapi komplikasi lebih
mungkin terjadi pada mereka dengan komorbiditas lain seperti sel sabit, dan dengan
peningkatan ukuran hifema. Misalnya, peningkatan tekanan intraokular terlihat pada
13,5% hifema derajat I sampai II; sedangkan, ada risiko 52% dengan hifema derajat IV.
Prognosis untuk penglihatan normal juga dipengaruhi oleh derajat hifema. Hifema derajat
I memiliki tingkat penglihatan normal sekitar 90%; sedangkan, grade IV hanya memiliki
prognosis 50% hingga 75% untuk penglihatan normal. Penyebab paling umum untuk
gangguan penglihatan adalah pewarnaan kornea pada sumbu visual, yang
menggarisbawahi memburuknya prognosis untuk hifema tingkat tinggi.

20
BAB 3
PENUTUP

Hifema merupakan suatu keadaan ditemukan darah di dalam bilik mata depan yang
biasanya berasal dari pembuluh darah iris dan badan siliar yang pecah, dapat terjadi akibat
trauma tumpul, ataupun karena laserasi atau dapat juga pendarahan ini terjadi spontan.
Darah dalam bilik mata depan ini dapat mengisi seluruh bilik mata depan atau hanya
mengisi bagian bawah bilik mata depan. Adanya riwayat trauma, terutama mengenai
matanya dapat memastikan adanya hifema traumatika. Pada gambaran klinis ditemukan
adanya perdarahan pada COA, terkadang ditemukan gangguan visus, dan peningkatan
TIO. Penegakkan diagnosis hifema didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Beratnya hifema dinilai dari banyak nya darah dalam bilik mata depan. Berdasarkan
tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade I-IV. Hifema juga terbagi menjadi 2
jenis, Hifema primer, yaitu hifema yang langsung terjadi setelah trauma dan hifema
sekunder, yaitu hifema yang biasanya muncul pada hari kelima setelah terjadinya trauma.
Tujuan penatalaksanaan hifema traumatika diantaranya untuk menurunkan angka
rebleeding, membersihkan hifema, memperbaiki jaringan yang rusak, dan meminimalkan
sekuele jangka panjang. Penatalaksanaan hifema dapat berupa terapi non medikamentosa,
medikamentosa, dan terapi bedah. Komplikasi yang paling sering ditemukan pada hifema
traumatika adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan
iridodialysis. Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Hifema total di dalam bilik mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding hifema
sebagian.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. External Disease & Cornea. San


Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2020-2021.
2. David L, Nash M. Hyphema [Online]; 2019. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview. (Diakses April
2022)
3. Nofityari E, Ilahi F, Ariani N. Analisis Karakteristik Pasien Trauma Mata di
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;
8(1):59-67.
4. Zafar S, Canner JK, Mir T, et al. Epidemiology of Hyphema-Related
Emergency Department Visits in The United States Between 2006 and 2015.
Ophthalmic Epidemiol. 2019;26(3):208-215.
doi:10.1080/09286586.2019.1579917
5. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Surabaya : FK Unair. Hal:137-139
6. Bansal S, Gunasekeran DV, Ang B, Lee J, Khandelwal R, Sullivan P, Agrawal
R, Controversies in the pathophysiology and management of hyphema, Survey
of Ophthalmology; 2015.
7. American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and Basic Principles of
Ophthalmology: Basic and Clinical Science Course Section 2. San Francisco:
American Academy of Ophthalmology; 2020-2021.
8. Vaughan D, T A, Riodan Eva P. General Ophthalmology. 19th ed. Utah: Lange
Medical Publications; 2018.
9. Lenihan P, Hitchmoth D. Traumatic Hyphema: A Teaching Case Report.
10. Optom Educ. 2014;39(3).
11. Gharaibeh A, Savage HI, Scherer RW, Goldberg MF, Lindsley K. Medical
interventions for traumatic hyphema. Cochrane Database Syst Rev. December
2013. doi:10.1002/14651858.CD005431.pub3
12. Walton W, Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of Traumatic
Hyphaema. In : survey of Ophtalmology. Volume 47. New Jersey: Elseiver;
2002
13. Novitasari A. Buku Ajar Sistem Indra Mata. Semarang: Unimus Press; 2017.
14. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.

22
15. Ilyas S. 2005. Hifema Dalam : Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata.
16. Vitresia H. Memahami Hifema Traumatika & Dampaknya Pada Penglihatan.
PERDAMI. https://perdami.or.id/2017/05/30/memahami-hifema-traumatika-
dampaknya-pada-penglihatan/ Published 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai