Pembimbing:
dr. Rossada Adiarti, Sp.M
Disusun oleh:
Devina Chryssanti 112022126
Nanbapalek Ekol 112022214
DAFTAR ISI
2.7.2 Medikamentosa…………………………………………………. 18
2.7.3 Pembedahan…………………………………………………….. 19
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan oftalmologi
karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat bahkan sampai kehilangan
penglihatan. Trauma ini terjadi akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau
basa yang dapat merusak struktur bola mata. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan
pH < 7 ataupun zat basa pH > 7. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume,
konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut. Mekanisme cedera
antara asam dan basa sedikit berbeda. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan
yang terjadi dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan
pertanian, dan peperangan memakai bahan kimia serta paparan bahan kimia dari alat-alat
rumah tangga. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah
yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.(1,2)
Trauma kimia menjadi penyebab sekitar 10% kunjungan pasien ke rumah sakit dengan
keluhan pada mata. Lebih dari 60 % trauma terjadi di tempat kerja, dan 30 % terjadi di
rumah. Sekitar 20 % trauma kimia menyebabkan gangguan penglihatan dan kosmetik, hanya
15 % pasien dengan trauma kimia berat yang dapat mencapai penglihatan fungsionalnya
setelah dilakukan rehabilitasi. Trauma kimia dapat terjadi pada seluruh usia, namun
kebanyakan terjadi pada usia 16-45 tahun. Pria tiga kali lebih sering terkena dari wanita, hal
ini mungkin akibat predominasi pria dalam pekerjaan perindustrian, seperti konstruksi dan
pertambangan yang risiko tinggi untuk trauma okular. (3,7)
Dari sampel yang didapatkan di RS Mata YAP Yogyakarta pada tahun 2022, kasus trauma
mata ditemukan sebanyak 869 (1,13%) dari 76797 kasus dari seluruh penyakit mata. Kasus
trauma mata lebih besar pada laki (71,3%) dibandingkan pada perempuan (28,7%). (2)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia. Secara konstan mata
menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat
dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera dihantarkan ke otak.
Di sini akan di bahas struktur dan fungsi mata. Mata kita terdiri dari bermacam-macam
struktur sekaligus dengan fungsinya. Struktur dari mata itu sendiri atau bisa di sebut dengan
anatomi mata meliputi sklera, konjungtiva, kornea, pupil, iris, lensa, retina, saraf optikus,
humor aqueus, serta humor vitreus yang masing-masingnya memiliki fungsi atau kerjanya
sendiri.(3)
1. Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang berwarna putih dan
relatif kuat.
2. Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan bagian luar
sklera.
3. Kornea : struktur transparan yang menyerupai kubah, merupakan pembungkus dari iris,
pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan cahaya.
6
10. Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan retina
(mengisi segmen posterior mata).
Bola mata terbagi menjadi 2 bagian, masing-masing terisi oleh cairan:
1. Segmen anterior : mulai dari kornea sampai lensa, berisi humor aqueus yang merupakan
sumber energi bagi struktur mata di dalamnya. Segmen anterior sendiri terbagi menjadi 2
bagian (bilik anterior : mulai dari kornea sampai iris, dan bilik posterior : mulai dari iris
sampai lensa). Dalam keadaan normal, humor aqueus dihasilkan di bilik posterior, lalu
melewati pupil masuk ke bilik anterior kemudian keluar dari bola mata melalui saluran
yang terletak ujung iris.
2. Segmen posterior : mulai dari tepi lensa bagian belakang sampai ke retina, berisi humor
vitreus yang membantu menjaga bentuk bola mata.
Perlu diketahui bahwa penguraian rodopsin menjadi opsin dan retinal jauh lebih cepat
ketimbang pembentukannya kembali. Pada saat rodopsin “menghilang”, sel-sel kerucutlah
yang digunakan untuk proses melihat. Dalam keadaan gelap total, butuh sekitar 30 menit
untuk membentuk kembali rodopsin sehingga kita dapat melihat. Itulah sebabnya kita tidak
dapat langsung melihat dengan jelas ketika beralih dari tempat terang ke tempat yang sangat
gelap. Berbeda dengan sel-sel batang, sel-sel kerucut peka terhadap intensitas cahaya yang
tinggi dan perbedaan panjang gelombang sehingga berperan dalam proses penglihatan di
siang hari atau ditempat-tempat terang.(3,4)
Sel-sel kerucut menghasilkan penglihatan dengan ketajaman yang tinggi. Sel kerucut
hanya terdapat di fovea. Di dalam sel-sel kerucut terdapat pigmen fotosensitif iodopsin.
Berdasarkan bentuknya, iodopsin dibagi tiga. Masing-masing peka terhadap panjang
gelombang cahaya yang berbeda. Ketiga jenis iodopsin tersebut peka terhadap warna merah,
biru dan hijau. Karena itu maka sel-sel kerucut mampu mendeteksi warna. Berdasarkan
iodopsin yang dikandungnya, sel-sel kerucut terbagi atas tiga jenis, yaitu sel kerucut biru, sel
kerucut hijau, dan sel kerucut merah. Nama-nama tersebut berdasarkan warna cahaya yang
diserap oleh sel-sel kerucut. Jika ketiga sel kerucut tersebut mendapatkan stimulasi yang
sama, maka kita akan melihat warna putih.(3,4)
9
2.3 Epidemiologi
Trauma kimia menjadi penyebab sekitar 10% kunjungan pasien ke rumah sakit dengan
keluhan pada mata. Lebih dari 60 % trauma terjadi di tempat kerja, dan 30 % terjadi di
rumah. Sekitar 20 % trauma kimia menyebabkan gangguan penglihatan dan kosmetik, hanya
15 % pasien dengan trauma kimia berat yang dapat mencapai penglihatan fungsionalnya
setelah dilakukan rehabilitasi. Trauma kimia dapat terjadi pada seluruh usia, namun
kebanyakan terjadi pada usia 16-45 tahun. Pria tiga kali lebih sering terkena dari wanita, hal
ini mungkin akibat predominasi pria dalam pekerjaan perindustrian, seperti konstruksi dan
pertambangan yang risiko tinggi untuk trauma okular. (2)
Dari sampel yang didapatkan di RS Mata YAP Yogyakarta pada tahun 2022, kasus trauma
mata ditemukan sebanyak 869 (1,13%) dari 76797 kasus dari seluruh penyakit mata. Kasus
trauma mata lebih besar pada laki (71,3%) dibandingkan pada perempuan (28,7%).
2.4 Etiologi
Trauma kimia biasanya disebabkan bahan-bahan yang tersemprot atau terpercik pada
wajah. Trauma pada mata yang disebabkan oleh bahan kimia disebabkan oleh 2 macam
bahan yaitu bahan kimia yang bersifat asam dan bahan kimia yang bersifat basa. Bahan kimia
dikatakan bersifat asam bila mempunyai pH < 7 dan dikatakan bersifat basa bila mempunyai
pH > 7.(1,5)
2. Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan konjungtivalisasi
permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan persisten pada epitel kornea dengan
perforasi dan ulkus kornea bersih.
3. Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan dan presipitasi
glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.
11
4. Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan kerusakan iris
dan lensa.
5. Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang dibutuhkan
untuk memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.
6. Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi.
Penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut:
1. Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran dari sel-sel
epitelial yang berasal dari stem cell limbus
2. Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit terjadi sintesis kolagen yang
baru.
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan
presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan
terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung
terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga terjadi
koagulasi, kadang-kadang seluruh epitel kornea terlepas. Bahan asam tidak menyebabkan
hilangnya bahan proteoglikan dikornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya
mirip dengan trauma basa.(2)
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel
kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi
maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya kerusakan hanya pada
bagian superficial saja. Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan asam dengan
jaringan. Koagulasi protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam.(2,5)
Bahan kimia bersifat asam contohnya asam sulfat, asam sulfit, asam hidrklorida, zat
pemutih, asam asetat, asam nitrat, asam kromat, asam hidroflorida. Akibat ledakan baterai
mobil, yang menyebabkan luka bakar asam sulfat, mungkin merupakan penyebab tersering
dari luka bakar kimia pada mata. Asam Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan
penghilang karat, pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat. Asam hidroflorida
adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat melewati membran sel, seperti alkali.
Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan menghambat enzim glikolitik dan
12
bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk insoluble complexes. Nyeri lokal
yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion kalsium, yang berujung pada
stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium. Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion
fluoride memasuki sistem sirkulasi, dan memberikan gambaran gejala pada jantung,
pernafasan, gastrointestinal, dan neurologik.(2,5)
Gambar 6. Menunjukkan koagulasi protein yang berlaku pada mata akibat trauma asam, dan
menimbulkan kekeruhan pada kornea, dimana yang nantinya akan cenderung untuk masuk
kebilik depan mata dan bisa menimbulkan katarak(8)
Gambar 7. Menunjukkan mata yang pada bagian konjungtiva bulbi yang hiperemis dan pupil
yang melebar karena peningkatan tekanan intraokular.(8)
Bila mata terkena trauma suatu bahan asam maka akan terjadi peristiwa berikut:
10,11,12
Trauma basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun,
apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu
kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan
cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran
jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses
safonifikasi, disertai dengan dehidrasi.(5)
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan. Pada
pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan safonifikasi disertai dengan disosiasi asam
14
lemak membran sel. Akibat safonifikasi membran sel akan mempermudah penetrasi lebih
lanjut zat alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan menghilang dan terjadi
penggumpalan sel kornea atau keratosis.
Serat kolagen kornea akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema
kornea akan terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini
cenderung disertai dengan pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat
membran sel basal epitel kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel
yang baru terbentuk akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui
plasminogen aktivator. Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivator dilepas juga
kolagenase yang akan merusak kolagen kornea.(5)
Selain itu gangguan penyembuhan epitel yang berkelanjutan dengan ulkus kornea dan
dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan
puncaknya terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya ulkus pada kornea mulai terbentuk 2
minggu setelah trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi epitelisasi
lengkap atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke
dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata
susunannya akan berubah, yaitu terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua
unsur ini memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan kornea.(5,8)
Bahan kimia bersifat basa contohnya NaOH, CaOH, amoniak, Freon/bahan pendingin
lemari es, sabun, shampo, kapur gamping, semen, tiner, lem, cairan pembersih dalam rumah
tangga, soda kuat.
Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus menurut kriteria Hughes:
I. Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik mata
depan
Selain pembagian tersebut di atas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi:
Derajat 1 : Hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : Hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : Hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea
Derajat 4 : Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
2.7.2 Anamnesis
Pada anamnesis sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau
tersemprot gas pada mata atau partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa
persisnya zat kimia dan bagaimana terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau
akibat ledakan dengan kecepatan tinggi) serta kapan terjadinya trauma tersebut.(6)
Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi.
Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri,
lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Dan harus dicurigai
adanya benda asing intraokular apabila terdapat riwayat salah satunya apabila trauma terjadi
akibat ledakan.(3,6,9)
2.8Penatalaksanaan
Trauma kimia merupakan trauma mata yang membutuhkan tatalaksana sesegera mungkin.
Tujuan dari terapi ini adalah menekan inflamasi, nyeri dan risiko inflamasi. Sedangkan pada
trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu
regenerasi epitel dan mencegah terjadinya ulkus kornea. Tatalaksana emergensi, dapat
diberikan:
1. Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama minimal 30
17
menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat digunakan. Larutan asam
tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma basa. Spekulum kelopak mata dan
anestetik topikal dapat digunakan sebelum dilakukan irigasi. Tarik kelopak mata bawah
dan eversi kelopak mata atas untuk dapat mengirigasi fornices.
2. Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan menggunakan
kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral (pH=7.0)
3. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva fornices diswab dengan menggunakan moistened
cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres eyelid retractor dapat
membantu dalam pembersihan partikel dari fornix dalam.
Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi:(10
1. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau glass rod
untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis yang mungkin masih
mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih mudah dibersihkan dengan
menambahkan EDTA.
2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah spasme
silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan mengurangi inf
lamasi.
3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin,
gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin)
4. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan Acetazolamid
(4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), betablocker (Timolol 0,5% atau Levobunolol 0,5%).
6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).
Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi:
1. Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan
intraokular dan penyembuhan kornea.
2. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing
3. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
4. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-4 kali
sehari)
5. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari). Steroid
dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat reepitelisasi. Hanya
boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih lama dapat menghambat
sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses penyembuhan terhambat, selain itu
juga meningkatkan risiko untuk terjadinya lisis kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan
18
non-steroid anti inflammatory agent.
6. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan intraocular. Peningkatan tekanan
intraocular bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blockade jaringan trabekulum
oleh debris inflamasi.
7. Diberikan pressure patch di setelah diberikan obat tetes atau salep mata
8. Dapat diberikan air mata artifisial
Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian obat-obatan lain juga bermanfaat dalam
menurunkan proses inflamasi, meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi
kornea. Obat tambahan yang biasa diberikan:
a. Asam askorbat : berfungsi untuk meningkatkan produksi kolagen, diberikan secara
topikal dan sistemik. Beberapa riset menunjukkan pemberian topikal asam askorbat 10%
terbukti dapat menekan perforasi kornea. Akan tetapi, tatalaksana ini baru digunakan pada
tahap eksperimental (asam askorbat topikal 10%, setiap 2 jam dan sistemik 4x 2 g per hari).
b. Asam sitrat : merupakan inhibitor kuat terhadap aktivitas neutrofil. Pemberian topikal 10
% setiap 2 jam selama 10 hari.
c. Tetrasiklin : membantu menghambat proses kolagenase, menghambat neutrofil dan
mengurangi ulserasi. Biasanya pemberian secara topikal dan sistemik (doksisiklin 2 x 100
mg)4
d. Untuk tatalaksana trauma oleh asam hidrofluorat, medikasi yang optimum masih belum di
lakukan. Beberapa studi menggunakan 1% calcium gluconate sebagai media irigasi atau
untuk tetes mata. Bahan – bahan mengandung Magnesium juga digunakan pada kasus ini.
Sayangnya, masih sedikit penelitian yang mendukung efektifitas terapi – terapi tersebut.
Irigasi mengunakan magnesium klorida terbukti tidak bersifat toksik terhadap mata. Efek
positif dari terapi ini dilaporkan masih dapat ditemukan walaupun pada pemberian 24 jam
setelah cedera, dimana medikasi lainnya sudah tidak berguna. Beberapa penulis
merekomendasikan penggunaan sebagai tetes mata setiap 2 – 3 jam atas pertimbangan
irigasi dapat mengiritasi mata dan menimbulkan ulserasi kornea.Injeksi subkonjungtival
kalsium glukonat dan kalsium klorida tidak direkomendasikan karena terbukti tidak
bermanfaat dalam terapi.
e. Terapi bedah dini penting untuk revaskularisasi limbus, restorasi populasi sel limbus dan
membentuk fornises. Sedangkan terapi bedah lanjutan meliputi graft konjungtiva atau
membran mukosa, koreksi deformitas kelopak mata, keratoplasti, serta keratoprostheses.
2.8.2 Medikamentosa(5)
a. Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun pemberian
steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis kolagen dan
menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan
ditappering off setelah 7-10 hari. Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED
19
diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
b. Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia posterior. Atropin 1%
ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
2.8.3 Pembedahan(3,5)
a. Pembedahan Segera: sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus,
mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut
dapat digunakan untuk pembedahan:
1. Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk mengembalikan
vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.
2. Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dar donor
(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
3. Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2.9Komplikasi.(3)
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis
trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata
antaralain :
1. Simblefaron, adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga kornea
20
dan penglihatan terganggu.
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler
3. Sindroma mata kering
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-
lahan. Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi
katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup
6. Entropion dan phthisis bulbi
2. 10 Prognosis. (5)
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma
tersebut. Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu
indikator keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada
pembuluh darah limbus dan konjungtiva memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling
berat pada trauma kimia ditunjukkan dengan gambaran “cooked fish eye” dimana
prognosisnya adalah yang paling buruk, dapat terjadi kebutaan.
21
Trauma kimia sedang samapai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat menyebabkan
simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada kamera
okuli anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.
22
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam dengan pH < 7
dan bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa biasanya memberikan dampak
yang lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat yaitu
hidrofilik dan lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan
masuk ke sudut matad epan, bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan
menimbulkan koagulasi protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung
sehingga zat asam tidak penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma
mata adalah epifora, blefarospasme dan nyeri yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-
satunya jenis trauma yang tidak memerlukan anamnesa dan pemeriksaan yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata dengan segera
samapai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian obat terutama antibiotik,
multivitamin, antiglaukoma. Selain itu dilakukan juga upaya promotif dan preventif kepada
pasien. Menurut data statistik 90% kasus trauma dapat dicegah apabila dalam menjalankan
suatu pekerjaan menggunakan pelindung yang tepat.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhardjo , Agni AN. Buku Ilmu Kesehatan Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2022. Halaman 277
2. Randleman, J.B. Bansal, A. S. Opthalmologic Approach to Chemical Burns. eMedicine
Journal. March 2015.
3. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints.
Diunduh tanggal 28 juli 2023 dari http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
4. Centers for Disease Control and Prevention. Work-related Eye Injuries diunduh
pada tanggal 27 juli 2023.http://www.cdc.gov/features/dsworkPlaceEye/
5. American Academy of Ophthalmology. Chemical Burn. Diunduh pada 27 juli 2023.
http://www.aao.org/theeyeshaveit/trauma/chemical-burn.cfm
6. Cohlmia Eye Center. Chemical Eye Burns Emergency Care. Diunduh pada tanggal 27
juli 2023 dari http://www.samcohlmia.com/wichita-chemical-eyeburns.php
7. Baradaran-Rafii, A. M. Eslani, Z. Haq, E. Shirzadeh, M. J. Huvard, dan A. R. Djalilian.
2017. Current and Upcoming Therapies for Ocular Surface Chemical Injuries. The
Ocular Surface. January 2017, Vol. 15 No. 1.
8. Haring, R.S., I.D. Sheffield, R. Channa, J.K. Canner, dan E.B. Schneider. 2016.
Epidemiologic Trends of Chemical Ocular Burns in the United States. JAMA Ophtalmol
Oct 1;134(10):1119-1124.
9. Mashige, K. 2015. Chemical and thermal ocular burns: a review of causes, clinical
features and management protocol. South African Family Practice Volume 58, 2016 -
Issue 1.
10. Panduan Praktek Klinis (PPK) bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer edisi
Revisi 2014.
11. Singh, P., M. Tyagi, Y. Kumar, K. K. Gupta, dan P. D. Sharma. 2013. Ocular Chemical
Injuries and Their Management. Oman J Ophtalmol. May-Aug 2013; 6(2): 83-86 doi:
10.4103/0974-620X.116624.
12. Schrage, Norbert. Current Recommendations for Optimum Treatment of ChemicalEye
Burns.2012. Ophthalmology Department, Municipal Hospital of Cologne- Merheim
p327-332
24
25
26
27
28
29
30