MIOPIA
Pembimbing:
Arini. dr., Sp.M.
Disusun oleh:
Segala puji bagi Allah SWT dengan karunia dan kasih sayang-Nya telah
memberikan segala kemudahan dan kekuatan sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata
dengan Judul “Referat Miopia”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat berguna
bagi kami khususnya dan pihak lain yang membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
tahun, dan sekitar 24% dari populasi miopia menjadi miopia tinggi saat dewasa.
Prevalensi miopia pada usia dewasa lebih stabil karena onset miopia jauh lebih
sedikit dibandingkan pada masa kanak-kanak. Amerika Serikat mempunyai
prevalensi miopia 33,1% pada orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih, Inggris
mempunyai prevalensi 49% pada orang dewasa berusia 44 tahun, Australia
prevalensinya adalah 15,0% pada orang dewasa berusia 40 hingga 97 tahun,
sedangkan Indonesia prevalensinya adalah 48,1% pada orang dewasa yang berusia
lebih dari 21 tahun.2,3
a. Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan
sinar masuk ke dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar
dibanding sklera.
b. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea
dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah bila terjadi
perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan
uvea ini terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil
yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola
mata. Otot dilatator dipersarafi oleh simpatis, sedang sfingter iris dan otot
siliar di persarafi oleh parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar
mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi. Badan siliar yang
terletak di belakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuos'humor),
yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di
batas kornea dan sklera.
c. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan
mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada
saraf optik dan diteruskan ke otak. Terdapat rongga yang potensial antara
retina dan koroid sehingga retina dapat terlepas dari koroid yang disebut
ablasi retina. Badan kaca mengisi rongga di dalam bola mata dan bersifat
3
4
gelatin yang hanya menempel papil saraf optik, makula dan pars plana. Bila
terdapat jaringan ikat di dalam badan kaca disertai dengan tarikan pada
retina, maka akan robek dan terjadi ablasi retina. Lensa terletak di belakang
pupil yang dipegang di daerah ekuatornya pada badan siliar melalui Zonula
Zinn. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat dekat
sehingga sinar dapat difokuskan di daerah makula lutea. Terdapat 6 otot
penggerak bola mata, dan terdapat kelenjar lakrimal yang terletak di daerah
temporal atas di dalam rongga orbita.5
2.2 Kornea
melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan diameternya sekitar
11,5 mm dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-
beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan
Bowman, stroma, membran Descement, dan lapisan endotel. Batas antara sclera
dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan
kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri.7
Kornea dipersarafi oleh banyak sarafsensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk
ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantara. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquous,
dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar dari
atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam,
avaskularitasnya dan deturgensinya.5
1. Epitelium
Epitelium terbentuk deretan sel kubus, makin keluar makin pipih yang
terdiri dari 5-6 lapisan sel dan mempunyai daya regenerasi yang sangat
besar. Regenerasi epitel dilakukan dalam waktu 5-7 hari. Sel-sel superfisial
selalu mengelupas ke dalam lapisan air mata bercampur dengan sel yang
telah mati. Sel-sel pengganti epitel berasa dari Limbus stem cell.
2. Membran Bowman
Membran bowman adalah suatu membran a-seluler, jernih dan dianggap
modifikasi dari stroma. Membran ini mulai terlihat pada usia 4 bulan
(100mm).
6
3. Stroma Kornea
Stroma kornea terdiri dari selaput kolagen yang tersusun rapih, diameter
serabut satu mikrometer, terletak diantara proteoglikan dan sel keratosit.
Stroma kornea adalah bagian paling tebal (90% dari terbal seluruh kornea).
4. Membran Descemet
Membran Descemet adalah suatu membran jernih, elastis dan merupakan
suatu membran basal dari endothelium. Descemet sangat sulit ditembus
oleh mikroorganisme. Descemet mulai terlihat pada janin 13 minggu dan
berasal dari krista neural. Mempunyai ketebalan 50 mm.
5. Endotelium
Endothelium adalah selapis sel yang tidak mempunyai daya regenerasi
sehingga jika mengalami kerusakan dapat menimbulkan kekeruhan yang
berat dan permanen. Endotelium janin mulai terlihat bersamaan dengan
epitelium tetapi berasal dari krista neural. Mempunyai ketebalan 20-40 mm.
Radix posterior
Medulla spinaalis
Processus spinosus
Fisiologi Kornea
Gambar 2.3 Frontal view (a), Viewed from the equator (b).
Dikutip dari: Sobotta Atlas of Anatomy.6
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu yaitu kenyal atau lentur karena
memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung, jernih
atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan, terletak di tempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa tidak kenyal pada orang dewasa yang
akan mengakibatkan presbiopia, keruh atau apa yang disebut katarak, tidak berada
di tempat atau subluksasi dan dislokasi. Lensa orang dewasa di dalam perjalanan
hidupnya akan menjadi bertambah besar dan berat. 5
Miopia berasal dari istilah "muopia" yang dalam bahasa Yunani berarti menutup
mata. Yang memberikan gejala sebagai penglihatan jarak jauh yang kabur,
karenanya dapat di sebut dengan istilah "rabun jauh". 1,2
Miopia adalah mata dengan daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar
yang sejajar atau datang dari tak terhingga difokuskan didepan retina. Kelainan ini
diperbaiki dengan lensa sferis negatif sehingga bayangan benda tergeser
kebelakang dan diatur tepat jatuh diretina.1,2
3.1.2 Epidemiologi
9
10
3.4 Etiologi
Beberapa dekade lalu, prevalensi miopia sangat rendah dan hanya terjadi karena
adanya faktor genetik yang diturunkan oleh orangtua dengan miopia juga. Pada saat
ini prevalensi miopia meningkat terutama pada jenis miopia “sekolah”. Menurut
Alvarez, miopia adalah penyakit komplek yang diakibatkan dari genetik dan
lingkungan. Namun hal ini masih menjadi perdebatan antara faktor genetik atau
faktor lingkungan yang menjadi penyebab meningkatnya prevalensi miopia. Ada
pendapat lain yang menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan penyakit okular
seperti usia, herediter dan gaya hidup, penggunaan alat elektronik seperti televisi,
gadget dan komputer juga dianggap sebagai penyebab predisposisi penglihatan
12
semakin buruk. Sebuah survey menunjukan bahwa semua lembaga, universitas, dan
rumah secara teratur menggunakan perangkat elektronik gadget untuk berbagai
kegiatan sehari-hari.1,9
a. Faktor herediter
Beberapa studi pendahulauan pada anak denga norang tua rabun telah terbukti
lebih mengalamirabun jauh dibandingkan dengan orang tua non- rabun. Anak
dengan kedua orangtua rabun umumnya berpotensi memiliki risiko lebih besar
menderita myopia daripada hanya salah satu dari orangtuanya. Hasilnya
menunjukkan bahwa prevalensi miopia pada anak dengan orangtua yang
mengalami miopia adalah 33-60%. Prevalensi pada anak dengan salah satu
orangtua yang mengalami miopia adalah 23-40%. Sedangkan pada anak yang kedua
orangtuanya tidak mengalami miopia, prevalensi terjadinya miopia sebesar 6-15%.
Berdasarkan perbedaan prevalensi tersebut dapat diketahui bahwa faktor genetik
berpengaruh besar terhadap terjadinya miopia pada anak bahkan pada anak
beberapa tahun pertama sekolahnya.
Kebiasaan bermain gadget dapat berdampak buruk bagi kesehatan terutama pada
gangguan kesehatan mata akibat terlalu lama menatap layar gadget. Membaca atau
kerja dengan jarak melihat yang terlalu dekat dalam intensitas waktu yang lama
dapat menyebabkan miopia. Seang-Mei Saw membuat sebuah review tentang
faktor-faktor resiko lingkungan terhadap miopia menyebutkan bahwa melakukan
aktifitas melihat objek dalam jarak dekat, durasi relatif cahaya siang dan periode
gelap malam, serta interaksi gen dan lingkungan dapat berkontribusi dalam
perkembangan miopia. Penerangan yang kurang memadai dapat mengganggu
akomodasi mata, kontraksi otot siliar yang terus menerus dapat menimbulkan
kelainan refraksi yaitu miopia.8
2) Penyakit mata
Pemilihan kacamata untuk miopia adalah kacamata dengan lensa minus. Apabila
penderita memakai kacamata yang tidak sesuai dengan kondisi mata, dikhawatirkan
dapat memperparah derajat miopia pada penderita.
dan hanya 6-15% anak mengalami miopia yang tidak memiliki orang tua
miopia.
2) Ras/Etnis
Orang Asia memiliki kecenderungan miopia yang lebih besar
(70%-90%)
daripada orang Eropa dan Amerika (30%-40%), sedangkan yang paling jarang
mengalami miopia adalah orang Afrika (10%- 20%). (Fredrick, D.R., 2002)
3) Aktivitas Jarak Pandang Dekat
Kebiasaan membaca atau kerja dekat dalam waktu lebih dari 30 menit
secara terus menerus dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya miopia.
Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian pendidikan dan prevalensi
serta progresivitas gangguan refraksi miopia. Individu dengan profesi yang
banyak membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan mikroskop, dan
editor mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat berkembang tidak
hanya pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun. (Seet B dkk, 2002)
Aktivitas melihat dekat menjadi faktor penyebab terjadinya miopia melalui
efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus sehingga tonus otot siliaris
menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori terbaru,
aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui terbentuknya
bayangan buram di retina (retinal blur) yang terjadi selama fokus dekat.
Bayangan buram di retina ini memulai proses biokimia pada retina untuk
menstimulasi perubahan biokimia dan struktural pada sklera dan koroid yang
menyebabkan elongasi aksial.8 Aktivitas jarak dekat yang dimaksud adalah:
a. Membaca buku
Anak-anak dengan miopia yang tinggi membaca lebih sering dibanding
dengan anak-anak dengan miopia rendah ataupun yang tidak miopia yaitu lebih
dari dua buku dalam seminggu. Pekerjaan jarak dekat seperti jarak membaca
yang terlalu dekat (<30 cm) dan lama membaca (>30 menit) juga dapat
meningkatkan terjadinya miopia pada anak.
Kebiasaan membaca lebih dari 30 menit secara terus menerus dapat
menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi
15
menghabiskan waktu di luar ruangan 5 jam atau kurang tiap minggu memiliki
kemungkinan menjadi miopia sebesar 60%. Sedangkan anak-anak emetropia
dari kedua orang tua miopia yang menghabiskan waktu di luar ruangan 14 jam
tiap minggu memiliki kemungkinan menjadi miopia sebesar 20%.35 Sebuah
hipotesis yang diterima secara luas adalah cahaya terang di luar ruangan
menstimulasi pelepasan dopamin dari retina yang dapat menginhibisi
pertumbuhan bola mata. Teori lainnya mengenai bagaimana kegiatan luar
ruangan dapat mencegah miopia adalah teori mengenai vitamin D. Vitamin D
memiliki peran dalam pembentukan kolagen, di mana kolagen adalah
komponen utama dari sklera. Penelitian The Collaborative Longitudinal
Evaluation of Ethnicity and Refractive Error (CLEERE) menjelaskan bahwa
pada mata emetropia pemanjangan aksis bola mata dikompensasi dengan
peregangan dari otot siliaris, zonula, dan lensa yang membuat kekuatan refraksi
lensa berkurang atau lebih pipih. Namun, jika kompensasi tersebut berhenti
terjadi, maka mata tersebut mulai mengalami miopia. Hilangnya kompensasi
tersebut diduga karena ada perubahan pada otot siliaris. Ketika teregang, otot-
otot polos pada tubuh seperti pembuluh darah dan kantung kemih memiliki
kecenderungan menjadi hipertrofi, begitu pula dengan otot siliaris. Otot siliaris
yang tebal tersebut menghambat pemipihan lensa untuk menyesuaikan dengan
pemanjangan aksis bola mata. Di sinilah peran dari vitamin D, di mana vitamin
D diduga memiliki peran anti hipertrofi pada otot siliaris, seperti perannya
untuk mencegah hipertrofi otot polos lainnya seperti kantung kemih. Sinar
matahari dapat membantu sintesis vitamin D dari pro vitamin D yang ada di
dalam tubuh. Intensitas cahaya juga mempengaruhi kejadian miopia. Semakin
tinggi intensitas cahaya, tingkat perlindungan terhadap miopia juga semakin
meningkat.
17
3.6 Patofisiologi
Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hyperopia, namun saat
pertumbuhan, mata menjadi kurang hyperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi
emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada
anak dengan predisposisi yang berlanjut, akan menderita miopia derajat rendah
pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan faktor miopigenik seperti kerja jarak
dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak terfokus
pada retina miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang menyebabkan
elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada masa akhir remaja. 8
Berikut ini adalah beberapa teori mengenai terjadinya miopia:
a. Teori Mekanik
Timbul pada abad ke-19, yang menyatakan bahwa terjadinya miopia tinggi
disebabkan oleh peregangan sklera. Peregangan ini dapat terjadi pada sklera yang
normal ataupun yang sudah lemah.
Adanya konvergensi yang berlebihan, akomodasi yang terus menerus dan
kontraksi musculus orbicularis oculi akan mengakibatkan tekanan intra okuler
meningkat yang selanjutnya akan menyebabkan peregangan sklera. Selain itu,
pada akomodasi di mana terjadi kontraksi muskulus siliaris akan menarik koroid,
sehingga menyebabkan atropi. Konvergensi dan posisi bola mata ke arah inferior
pada waktu membaca menyebabkan polus posterior tertarik oleh nervus optikus.
Perlemahan sklera diduga juga menjadi penyebab membesarnya bola mata.
Perlemahan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Kongestisklera
2) Inflamasi sklera
3) Malnutrisi
4) Endokrin
5) Keadaan umum
6) Skleromalasia
18
b. Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter.
Vogt mengatakan bahwa faktor timbulnya miopia terdapat pada jaringan
ektodermal yaitu retina, sedangkan jaringan mesodermal di sekitarnya tetap
normal. Retina tumbuh lebih menonjol dibanding dengan koroid dan sklera.
Pertumbuhan retina yang abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan
peregangan koroid. Koroid yang peka terhadap regangan akan menjadi atrofi.
Seperti diketahui pertumbuhan sklera berhenti pada janin berumur 5 bulan
sedangkan bagian posterior retina masih tumbuh terus sehingga bagian posterior
sklera menjadi paling tipis.
Gambar 3.1 Miopia (Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury Ed. 17, 2010)
Mata normal akan beristirahat pada saat melihat jauh sedangkan untuk melihat
dekat, diperlukan usaha yang besar dari otot siliaris dalam mengatur bentuk dari
lensa mata. Sewaktu akomodasi, otot siliaris mengalami spasme sementara. Ini
merupakan adaptasi mata untuk bekerja dalam jarak dekat. Bila terus-menerus
bekerja dalam jarak dekat, spasme ini akan bertahan dalam beberapa bulan atau
tahun. Spasme otot siliaris yang kronik akan menginisiasi pemanjangan dari axis
bola mata.
Hal yang menginisiasi pemanjangan dari axis bola mata adalah merupakan
peran neuromodulator seperti dopamin, serotonin dan neuropeptida. Pelepasan
neuromodulator akan menyebabkan perubahan struktur sklera yang dimodulasi
oleh pembentukan proteoglikan. Meningkatnya jumlah proteoglikan menyebabkan
penurunan pertumbuhan panjang axis bola mata. Sebaliknya, menurunnya jumlah
proteoglikan menyebabkan peningkatan pertumbuhan panjang axis bola mata.
Akibat dari spasme otot siliaris, maka tidak diperlukan lagi akomodasi sewaktu
bekerja dalam jarak dekat sehingga akan menurunkan pelepasan dari
neuromodulator. Hal inilah yang mengakibatkan pemanjangan dari axis bola mata.
Bertambah panjangnya axis bola mata bertujuan agar tidak diperlukan lagi usaha
yang besar sewaktu bekerja dalam jarak dekat. Akan tetapi, setelah bola mata
20
bertambah panjang, mata tidak akan dapat melihat dengan jelas sewaktu melihat
jauh.
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Non-farmakologi
1. Miopia kurang dari 2-3 dioptri pada bayi dan balita umumnya tidak perlu
dikoreksi, karena umumnya akan hilang dengan sendirinya pada usia 2 tahun.
Selain itu, bayi biasanya hanya berinteraksi dengan objek yang dekat.
21
2. Miopia 1-1,5 dioptri pada anak usia pra sekolah sebaiknya dikoreksi karena anak
pada usia ini mulai berinteraksi dengan benda-benda atau orang dengan jarak
yang lebih jauh dibandingkan bayi. Namun, jika diputuskan untuk tidak
memberikan koreksi, pasien harus diobservasi dalam 6 bulan.
3. Untuk anak usia sekolah, myopia kurang dari 1 dioptri tidak perlu dikoreksi.
Namun, perlu dijelaskan kepada guru pasien tersebut di sekolah bahwa pasien
menderita myopia dan evaluasi kembali perlu dilakukan dalam waktu 6 bulan.
4. Untuk dewasa, koreksi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Selain itu, dikenal istilah “visual hygiene”, yaitu pedoman dalam upaya
mengendalikan laju myopia yang terdiri atas beberapa langkah berikut:
1. Beristirahat dari membaca atau bekerja dengan jarak dekat setiap 20 menit.
Selama istirahat ini usahakan untuk dapat berdiri, berkeliling ruangan dan
melihat jauh keluar jendela.
2. Ambillah posisi duduk tegak namun nyaman selama membaca dan duduklah
pada kursi dengan sandaran tegak
3. Gunakan penerangan yang cukup saat membaca
4. Jarak baca yang baik adalah sepanjang lengan hingga siku
5. Duduk setidaknya berjarak 6 kaki atau setara 6 meter saat menonton televisi
6. Batasi waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi atau bermain game
7. Olahraga teratur.
8. Kacamata tidak dapat mengobati myopia, hanya akan membantu proses
penglihatan.
9. Penggunaan kacamata yang tepat disertai dengan visual hygiene dengan benar
dapat mengurangi risiko penambahan dioptric jangka Panjang.
10. Tidak menggunakan kacamata atau tidak menerapkan visual hygiene
dengan benar dapat menyebabkan penglihatan semakin buram karena Panjang
antero-posterior mata menjadi semakin melebar, menyebabkan mata terus
berakomodasi. Walaupun begitu, keadaan progresivitas ini tetap akan lebih baik
pada individu yang tetap menggunakan kacamata di banding yang tidak, karena
proses akomodasinya akan jauh lebih baik pada individu dengan kacamata.
22
11. Konsumsi vitamin mata, sayur, dan buah yang mengandung tinggi Vit. A
hanya berperan sebagai antioksidan yang memelihara dan mencegah retina
mengalami kerusakan.
12. Ibu hamil dengan miopia tinggi dapat melakukan proses persalinan normal
dengan catatan tidak ada gangguan pada retina perifer (lettice) menggunakan
pemeriksaan funduskopi indirek oleh dokter spesialis mata. Jika tidak terdapat
funduskopi indirek dan miopia yang diderita adalah miopia derajat tinggi, maka
lebih baik disarankan untuk melakukan persalinan secara sectio caesarea untuk
mencegah timbulnya ablasio retina akibat mengejan yang kuat.
3.7.2 Farmakologi
Agen sikloplegik kadang-kadang digunakan untuk mengurangi respon
akomodatif sebagai bagian dari pengobatan pseudomiopia. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa pemberian atropine dan cyclopentolate topikal sehari-hari
mengurangi tingkat perkembangan miopia pada anak-anak dengan miopia onset
dini. Namun, manfaat ini tampaknya tidak lebih besar daripada ketidaknyamanan
dan risiko yang dapat muncul dari penggunaan siklopegia kronis.9
3.7.3 Operatif
Tindakan pembedahan dilakukan untuk mengubah pembiasan mata dengan
mengubah kornea atau lensa, yang merupakan komponen pembiasan utama.10
a. Surface ablation procedures
Teknik ini dapat mengoreksi myopia derajat ringan hingga sedang.
b. Laser in situ keratoileusis (LASIK)
LASIK dapat mengoreksi myopia derajat sedang hingga berat tergantung pada
ketebalan kornea awal.
c. Refractive Lenticule extraction
Teknik ini merupakan teknik terbaru untuk mengoreksi myopia dan
astigmatisme myiopia.
23
3.8 Komplikasi
Keluhan awal yang dialami oleh pasien dengan miopia patologi sama seperti
keluhan pada pasien miopia pada umumnya. Pasien mengalami penurunan tajam
penglihatan terutama saat melihat jauh. Pasien juga dapat merasakan sensasi seperti
melihat bintik-bintik hitam berterbangan (floaters) yang diakibatkan adanya
perubahan pada vitreus yang lebih cepat mencair pada mata miopia. Riwayat
penggunaan kacamata tebal sejak kanak-kanak disertai dengan perubahan ukuran
koreksi kacamata pasien yang cepat dalam beberapa tahun juga dapat
mengindikasikan terjadinya kelainan ini.11,12,13
3.9 Prognosis
Quo Ad Vitam : Ad bonam
Quo Ad Functionam : Ad bonam
Kriteria rujukan:11
1. Miopia adalah suatu kondisi ketika sinar sejajar dari jarak tak terhingga di
fokuskan di depan retina ketika mata dalam keadaan tanpa akomodasi.
2. Penegakan diagnostic myopia dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
a. Anamnesis : Penglihatan kabur bila melihat jauh, cenderung memicingkan
mata bila melihat jauh, tidak terdapat kelainan sisemik (seperti DM,
Hipertensi, dan Buta senja)
b. Pemeriksaan Fisik : Penurunan visus pada pemeriksaan dengan Snellen
Chart.
3. Manajemen terapi myopia dengan cara memperbaiki visual hygiene, koreksi
kacamata, dan Tindakan operatif.
4. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus myopia adalah Ablasio retina,
Vitreal Liquefaction and Detachment, Glaukoma, serta Myopic Maculopaty
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas Hidarta, Yulianti Sri. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2018. Hal. 72-79.
2. Wu Pei Chang, Huang Hsiu Mei, Yu Hun Ju. Epidemiology of Myopia. Asia
Pasific Journal of Ophtalmology. Volume 5 Number 6. 2016.
5. Ilyas Hidarta, Yulianti Sri. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2018. Hal. 3-10.
6. Sobotta, Paulsen, F., and Waschke J. (2018). Sobotta Atlas of anatomy: Head,
Neck and neuroanatomy. Elsevier. Hal 125-128.
12. Cho B-J, Shin JY, Yu HG Complications of Pathologic Myopia. Eye Contact
Lens. 2016 Jan;42(1):9-15.
13. Wong Y-L, Saw S-M. Epidemiology of Pathogenic Myopia in Asia and
Worldwide. Asia Pac J Opthalmol. 2016;5: 394-402
14. Ikatan Dokter Indonesia. Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer Revisi 2014. Edisi 1. Jakarta. 2014. Hal 181-2.
27