Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
MYELITIS TB
Disusun oleh:
Aditiya Setyorini
NIM. 1510029032
Pembimbing:
dr. Luthfi Widiastono, Sp. S
MYELITIS TB
Disusun oleh:
Aditiya Setyorini
NIM. 1110029032
Menyetujui,
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
kasus yang berjudul Myelitis TB.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Luthfi Widiastono, Sp. S,sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
ilmu penyakit saraf.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2016 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini.Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
Keterlibatan medula spinalis pada tuberkulosis biasanya disebabkan oleh
penyebaran hematogen dari mycrobacterium tuberculosis. TB dapat melibatkan
korda, radiks, meningen, atau ketiganya. TB spinal menjadi salah satu penyebab
umum paresis pada negara berkembang. TB dapat mempengaruhi medula
spinalis dalam bentuk kompresi medula spinalis oleh tuberkuloma paraspinal atau
tuberkuloma spinal, leptomeningitis TB, tuberkuloma intramedulla, dan myelitis
tuberkulosis. Myelitis TB terutama terjadi pada daerah endemis TB. TB dengan
keterlibatan spinal mungkin menyertai TB intrakranial, meskipun dalam jumlah
besar kasus mungkin hadir secara independen. Lebih dari 250 kasus tuberkulosis
medula spinalis dan radiks saraf telah dilaporkan dalam literature (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran umum myelitis TB
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
dengan meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya
terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang
terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis
misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.
Pada tubuh orang dewasa panjang medula spinalis adalah sekitar 43 cm.
Pada masa tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula spinalis sama
dengan panjang korpus vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya,
7
kecepatan pertumbuhan korpus vertebrae melebihi kecepatan pertumbuhan
medula spinalis. Akibatnya pada masa dewasa, ujung kaudal medula spinalis
terletak setinggi tepi kranial korpus vertebrae lumbal II atau intervertebral disk
I/II. Perbedaan panjang medula spinalis dan korpus vertebrae ini mengakibatkan
terbentuknya konus medularis (bagian paling kaudal dari medula spinalis yang
berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-segmen sakral medula
spinalis) dan cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan
radiks nervus sakralis yang mengapung dalam CSF). Kearah kaudal, ruangan
subarachnoid berakhir setinggi segmen sakral II atau III korpus vertebrae. Dengan
demikian, di antara korpus vertebrae lumbal II sampai korpus vertebrae sakral III
tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan hanya terdapat cauda equina yang
terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan tindakan punksi lumbal di
daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai medula spinalis.
Medula spinalis juga terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8),
segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1
segmen koksigeal yang vestigial. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus
vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di
sebelah bawah korpus vertebrae yang bersangkutan.
8
Fungsi medula spinalis (Evans, 2003.h. 35-36.):
Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus
internal ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang
dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks
somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau
kelenjar disebut refleks otonom atau visceral.
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju
cerebellum.
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
9
neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan atau penerusan
impuls).
Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel
efektor. Bila sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga
neuron motorik (sel saraf atau penggerak).
Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai
jawaban refleks. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos
atau otot rangka), sel kelenjar.
Serabut Ia yang cepat menghantar impuls dari spindle otot dan organ
tendon terbagi menjadi banyak kolateral setelah memasuki medulla spinalis.
Beberapa serabut kolateral ini langsung membuat kontak sinaps dengan neuron
motrik yang besar di kornu anterius medulla spinalis (lengkung reflex
monosinaptik). Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra torakal
dan sakral berakhir di nucleus berbentuk tabung yang terdapat di dasar kornu
posterius setinggi vertebra C8-L2, yang memiliki nama yang bervariasi, antara
lain kolumna sel intermediolateralis, nucleus torasikus, kolumna Clarke dan
nucleus Stilling. Neuron pasca sinaps kedua dengan badan sel yang terletak di
nucleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior, yang serabutnya
merupakan salah satu serabut penghantar impuls tercepat di seluruh tubuh.
Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis
sisi ipsilateral di bagian posterior funikulus lateralis dan kemudian berjalan
melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cerebri. Serebut aferen yang
10
muncul setingkat vertebra servikalis (yaitu di atas level kolumna sel
intermediolateralis) berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat
sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nucleus kuneatus asesorius
medullae dan serabut yang keluar berjalan naik ke serebelum.
Kolumna posterior
Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan derajat tegangan
ototnya. Kita dapat merasakan berat badan kita yang tertumpu pada telapak
kaki. Kita juga dapat mengenali gerakan sendi. Dengan demikian setidaknya
beberapa impuls propioseptif mencapai kesadaran. Impuls tersebut berasal dari
reseptor di otot, tendon, fascia, kapsul, sendi dan jaringan ikat serta reseptor
kulit. Serabut aferen yang menghantarkannya adalah prosesus neuron
pseudounipolar bagian distal di ganglion spinal. Prosesus bagian sentral sel-sel
11
ini kemudian berjalan naik di dalam medulla spinalis dan berakhir di nuclei
kolumna posterior di medulla yang lebih rendah.
12
dan mungkin juga terjatuh. Hilangnya sensasi propioseptif, pada jangka
tertentu, dapat dikompensasi dengan membuka mata (yang tidak terjadi
dengan pasien dengan lesi serebelum)
13
Lesi traktus spinotalamikus lateralis
Traktus ini berasal dari kortek motorik dan berjalan melalui substansia
alba dan serebri (korona radiata), kornu posterius kapsula interna (serabut
terletak sangat berdekatan di sini), bagian sentral pedunkulus serebri (krus
serebri), pons, basal medulla (bagian anterior), tempat traktus terlihat sebagai
penonjolan kecil yang disebut piramid. Piramid medulla terdapat satu pada
masing-masing sisi memberikan nama pada traktus tersebut. Pada bagian ujung
bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio
piramidum. Serabut yang tidak menyilang di sini berjalan menuruni medulla
spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior.
Serabut ini menyilang lebih ke bawah (biasanya setingkat segmen yang
dipersarafi) melalui komisura anterior medulla spinalis. Pada tingkat servikal
dan torakal, kemungkinan juga terdapat serabut-serabut saraf yang tetap tidak
menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius,
sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.
Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di dekusasio piramidum,
kemudian menuruni medulla spinalis di funikulus lateralis kontralateral sebagai
traktus kortikospinalis lateralis. Traktus ini mengecil pada area potong-
lintangnya ketika berjalan turun ke bawah medula spinalis, karena beberapa
serabutnya berakhir di masing-masing segmen sepanjang perjalanannya.
Sekitar 90% dari semua serabut traktus piramidalis berakhir membentuk sinaps
dengan interneuron, yang kemudian menghantar impuls motorik ke neuron
motor yang besar di kornu anterius serta ke neuron motorik yang lebih
kecil.
14
Traktus kortikonuklearis/kortikobulbaris
Dermatom
Gambar 1. Dermatom
15
2.3 KLASIFIKASI MYELITIS
Menurut NINDS
2.3.1 Adapun beberapa jenis dari myelitis menurut NINDS 2012 ( National
Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2012):
Myelitis yang disebabkan oleh virus.
Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus.
Herpes zoster.
Rabies.
Virus B2.
Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens dan
medula spinal.
Myelitis sifilitika
Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
Meningomielitis kronik
Myelitis piogenik atau supurativa
Meningomielitis subakut
Myelitis tuberkulosa
Meningomielitis tuberkulosa
Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.
16
Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba
Istilah mielopati digunakan bagi proses non inflamasi medulla spinalis misalnya yang
disebabkan proses toksis, nutrisi, metabolik dan nekrosis
2.4 TUBERKULOSIS
2.4.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
[PDPI], 2006).
17
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena
kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman
tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih
di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi. Kelainan jaringan terjadi
sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang karakteristik ialah
terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada
jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel
leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman
berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel
mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi
terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus
masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat
pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel
monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah
banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok
padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan
18
interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel
epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa
sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma
ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah
mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi
sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa
perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai
jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan
garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik
maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan
rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang
dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag
menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada
saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan
penyakit. Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi
terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti
(PDPI, 2006).
2.5 MYELITIS TB
19
tipe tuberkulosis SSP. Tipe dan penyebaran lesi bergantung terhadap jumlah dan
virulensi basil tuberkulosis dan respon imun dari host. Rupturnya lesi tuberkel ke
ruang subarachnoid menyebabkan meningitis TB; dimana lesi yang dalam
menimbulkan tuberkuloma ataupun abses. Meningitis TB menyebabkan inflamasi
pada nervus cranialis/ nervus spinalis dan pada pembuluh darah. Inflamasi pada
pembuluh darah (vaskulitis) selanjutnya menyebabkan trombosis dan infark.
Hydrochepalous dapat muncul secara sekunder akibat impendasi sirkulasi maupun
absorpsi CSF. Eksudat inflamasi dapat berkumpul disekitar spinal cord dan
menyebabkan arachnoiditis tuberculosis. Secara patologis, tuberkuloma terdiri
dari nekrosis caseosa di bagian central dan dikelilingi oleh kapsul jaringan
kolagen dan lapisan terluar terdiri dari sel-sel mononuklear (termasuk sel plasma
dan limfosit), sel epiteloid dan multinucleated langerhaens giant.s cell.
Tuberkuloma mengandung sedikit basil tuberkel pada bagian nekrotik dan kapsul.
Berbeda dengan tuberkuloma caseosa, abses tuberkular mengandung inti yang
purulent yang kaya akan basil tuberkel, dan reaksi granulomatosa yang kurang
pada dindingnya. Myelitis TB merupakan penyebab penting paraparese, Myelitis
tuberkulosis dapat muncul secara sekunder akibat meningitis TB. Myelitis TB
biasanya timbul ketika diagnosis TB terlambat disertai dengan eksudat tebal dan
blok spinal. Terkadang, Infeksi dapat berawal pada area spinal dan menimbulkan
nyeri punggung dan keterlibatan multiple level dari spinal cord dan radiks
(Amulaya Mishra*, Santanu, Kumar, Dudej, AK, & Agarwal).
Diantara pasien dengan TB spinal, 55% terdapat keterlibatan korpus
vertebra, 39% dengan lesi granulomatosa intraspinal, dan hanya 7% dengan lesi
intramedulla. Lesi intramedulla biasanya muncul dalam bentuk radiculomyelitis,
myelitis transvenrsa, granuloma intraspinal, dan trombosis arteri spinalis anterior.
Empat mekanisme untama yang menyebabkan keterlibatan korda spinalis pada
TB: Edema pada tepi zona korda kemungkinan merupakan akibat sekunder dari
impediment vena karena tekanan yang berhubungan dengan meningitis,
myelomalacia iskemik yang muncul akibat vaskulitis atau sumbatan
posttrombotik dan pembentukan tuberkuloma intramedullar dengan nekrosis
pericentral. M, tuberkulosis sangat jarang menyebabkan myelitis transversa.
20
Aktivasi abnormal sistem imun yang menyerang korda spinalis dianggap menjadi
mekanisme etiologi utama (Sahu, Gir, & Gupta, 2014).
21
dengan hasil kultur positif adanya basil tahan asam (Wasay, Khealani, & Haider,
2006).
Tabel 1. Gambaran Klinis Myelitis TB (Wasay, Khealani, & Haider, 2006)
22
Karakteristik sinyal dari lesi TBC pada T1 dan T2-weightedMRI
bervariasi. Keragaman pada karakteristik sinyal MRI ini terkait dengan tahap
histologi tuberculoma. Mayoritas lesi tampak iso atau hypointense pada T1-
weightedMRI. Sinyal hyperintense pada T1 jarang terjadi. Pada pencitraan dengan
T2 kebanyakan lesi adalah hyperintense tetapi sejumlah kecil lesi mungkin
muncul hypointense. Hipointensitas T1 atau hiperintensitas T2 akibat peningkatan
kadar air atau edema. Hiperintenstas T1 atau Hipontensitas T2 merupakan
perwakilan darinekrosis caseous. nekrosis caseous ditandai dengan sejumlah besar
lipid dan makrofag, yang berbeda dari nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif
hadir sebagai hiperintensitas pada T2 pada MRI, tapi nekrosis caseous dapat hadir
sebagai hipointensitas pada T2. Hipointensitas T2 pada tuberculoma
dipostulasikan terjadi karena lipid dan pelepasan radikal bebas oleh makrofag.
Mayoritas lesi bervariasi dengan kontras gadolinium memberikan gambaran difus,
nodular, ring like, tumor like pattern, tidak adanya peningkatan kontras
seharusnya tidak mengecualikan diagnosis TB mielitis (Wasay, Khealani, &
Haider, 2006).
Sejumlah pasien dengan myelitis TB juga mengalami meningitis TB atau
tuberculoma intrakranial pada saat didiagnosis tuberkulosis spinal cord. Jika
diduga Mielitis TB, MRI otak atau Evaluasi CSF mungkin sangat membantu
dalam membangun diagnosis TB spinal cord. myelitis TB atau tuberculoma spinal
cord dapat berkembang setelah memulai terapi antituberkulosis untuk TB sistemik
atau meningitis. Beberapa pasien terkena syringomyelia setelah pengobatan
antituberkulosis Fenomena ini disebut sebagai respon paradoks. Hal ini lebih
umum pasien yang terinfeksi HIV dan menerima terapi antiretroviral (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).
23
Tabel 2. Gambaran MRI pada Myelitis TB (Wasay, Khealani, & Haider, 2006)
PCR untuk M. tuberculosis dalam CSF adalah tes yang sangat spesifik
dengan sensitivitas yang berkisar dari 56% menjadi 90% dan spesifisitas yang
berkisar dari 88% sampai 100% (Sahu, Gir, & Gupta, 2014).
24
Gambar 2. Myelitis Tuberkulosa. Potongan Sagital T2W(a), T1W(b) dan post
kontras(c) MRI of dorsolumbar spine menunjukkan pembengkakan korda yang difus dan
edema dengan gambaran hipointens pada T1W dan hiperintens pada T2W dan
menunjukkan peningkatan intensitas pada bagian sentral setelah penggunaan kontras post
gadolinium images (panah putih tipis). Perubahan perubahan ini dapat dilihat dengan baik
(panah putih tebal.) pada gambaran axial T2W(d), T1W(e) and gambaran post kontras(f)
(Wasay, Khealani, & Haider, 2006).
25
Gambar 3. Myelitis Tuberkulosa. Seorang wanita berusia 59 tahun mengalami
parestesia progresif pada ekstremitas bawah dalam 2 minggu terakhir dan
disfungsi bladder. Sagittal and axial T2 WI menunjukkan gambaran longitudinally
extensive T2 hyperintensity dari korda spinalis. The lower cervical (C5-C7) and
midthoracic (D4-D8) cord is moderately enlarged (V. Lolli; D. Balriaux;
Brussels, 2012).
26
tuberculosis. CSF PCR for Mycobacterium tuberculosis positive (V. Lolli; D.
Balriaux; Brussels, 2012).
2.5.5 Penatalaksanaan
Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam pengelolaan TB paru, saat ini
tidak ada kesepakatan umum tentang bentuk kemoterapi atau durasi optimal
pengobatan yang telah tercpai. WHO telah menempatkan CNS tuberkulosis di
bawah pengobatan TB kategori 1, dan direkomendasikan terapi tahap awal dengan
streptomisin, isoniazid, rifampisin dan pirazinamid selama 2-bulan, diikuti oleh
tujuh bulan fase lanjutan dengan isoniazid dan rifampicin. Durasi terapi harus
setidaknya 6-bulan, dan dalam beberapa kasus dapat mencapai 12 bulan
pengobatan. Regimen obat yang sama direkomendasikan untuk semua bentuk
CNS tuberkulosis. Empat regimen obat yang dibutuhkan untuk mengobati
atipikal mycobacteria (M avium intracellulare) pada orang dengan infeksi HIV.
Terapi yang direkomendasikan untuk pasien HIV termasuk azitromisin dan
klaritromisin di kombinasi dengan etambutol atau clofazimine. Peran
kortikosteroid dalam pengobatan CNS tuberkulosis adalah kontroversial. Secara
dramatis penggunaan kortikosteroid memberikan gambaran resolusi cepat dari
eksudat basal dan tuberkuloma pada pencitraan serial. penggunaan kortikosteroid
mempengaruhi penetrasi CSF dari obat-obatan TB (Bano, Chaudhary, & Yadav,
2012).
27
terapi medis, pembedahan dapat direkomendasikan (Bano, Chaudhary, & Yadav,
2012).
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Myelitis TB merupakan penyebab penting paraparese, Myelitis
tuberkulosis dapat muncul secara sekunder akibat meningitis TB. Lebih dari 80%
pasien dengan myelitis tuberkulosis melibatkan lebih dari satu segmen spinal, area
yang terkena biasanya regio torakal dan cervical. Dari review retrospective klinis
dan neuroimaging terhadap sepuluh pasien yang menderita myelitis TB, gejala-
gejala yang muncul berupa demam (70%), paraplegia (60%), paraparesis (30%),
monoparesis (10%), retensi urin (50%), inkontinensia uri (20%). Gejala
konstitusional berupa penurunan berat badan, anoreksiam dan malaise, nyeri
kepala, dan muntah. 70% pasien juga terkena meningitis TB dan beberapa
manifestasi klinis berupa kaku kuduk (50%), perubahan mental (50%),
keterlibatan nervus kranialis (30%), yang paling sering terlibat yaitu nervus
kranialis III. Refleks tendon dalam abnormal pada 90% pasien (60% hiperefleksia,
30 % hiporefleksia). Keterlibatan sensoris ditemukan pada 60% pasien. Beberapa
pada level thoracic, beberapa pada level cervical. Tidak ada pasien yang
melaporkan adanya keluhan nyeri spinal ataupunn deformitas, atau riwayat nyeri
punggung. Mayoritas lesi tampak iso atau hypointense pada T1-weightedMRI.
PCR untuk M. tuberculosis dalam CSF adalah tes yang sangat spesifik dengan
sensitivitas yang berkisar dari 56% menjadi 90% dan spesifisitas yang berkisar
dari 88% sampai 100%. terapi tahap awal dengan streptomisin, isoniazid,
rifampisin dan pirazinamid selama 2-bulan, diikuti oleh tujuh bulan fase lanjutan
dengan isoniazid dan rifampicin. Durasi terapi harus setidaknya 6-bulan, dan
dalam beberapa kasus dapat mencapai 12 bulan pengobatan. Penggunaan
kortikosteroid memberikan gambaran resolusi cepat dari eksudat basal dan
tuberkuloma pada pencitraan serial. Penggunaan kortikosteroid mempengaruhi
penetrasi CSF dari obat-obatan TB
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari referat ini, baik dari segi
diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
29
dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari
berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini.
30
DAFTAR PUSTAKA
Amulaya Mishra*, S. K., Santanu, B., Kumar, A., Dudej, R., A. J., & Agarwal, A.
(n.d.). Acute Granulomatous (Tubercular) Myelitis. Journal of Indian
Academy of Clinical Medicine Vol. 5 No. 2 .
Baehr, M., & Frotscher., M. (2010.). Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta: EGC.
Bano, S., Chaudhary, V., & Yadav, S. (2012). Central Nervous System
Tuberculosis. intochpen , 467495.
Evans, M. M. (2003.h. 35-36.). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Sahu, S., Gir, S., & Gupta, N. (2014). Longitudinal extensive transverse myelitis
due to tuberculosis: A report of four cases. Journal of Postgraduate
Medicine: Longitudinal extensive transverse myelitis due to tuberculosis:
A report of four cases .
31
32