Anda di halaman 1dari 33

Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MYELITIS TB

Disusun oleh:
Aditiya Setyorini
NIM. 1510029032

Pembimbing:
dr. Luthfi Widiastono, Sp. S

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2016
REFERAT

MYELITIS TB

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Neurologi

Disusun oleh:
Aditiya Setyorini
NIM. 1110029032

Menyetujui,

dr. Luthfi Widiastono, Sp. S

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
kasus yang berjudul Myelitis TB.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Luthfi Widiastono, Sp. S,sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
ilmu penyakit saraf.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2016 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini.Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Samarinda, 20Agustus 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB 1 ..................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................... 4
Latar Belakang ................................................................................................. 4
Tujuan .............................................................................................................. 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6
DEFINISI MYELITIS ..................................................................................... 6
ANATOMI MEDULA SPINALIS .................................................................. 7
KLASIFIKASI MYELITIS ........................................................................... 16
TUBERKULOSIS ............................................................................................. 17
Definisi .......................................................................................................... 17
Patogenesis infeksi TB .................................................................................. 17
MYELITIS TB .................................................................................................. 19
Patogenesis Myelitis TB ................................................................................ 19
Predileksi Myelitis TB ................................................................................... 21
Gambaran Klinis ............................................................................................ 21
Penatalaksanaan ............................................................................................. 27
Respon Paradoks Tuberkuloma pada pengobatan ......................................... 27
BAB III ................................................................................................................. 29
PENUTUP ......................................................................................................... 29
Kesimpulan .................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis yang disebabkan


proses inflamasi. Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau
menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini
menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang menganggu hubungan antara
saraf pada medulla spinalis dan tubuh ( National Institute of Neurological
Disorders and Stroke, 2012).
Myelitis dapat disebabkan berbagai etiologi seperti infeksi bakteri dan
virus, penyakit autoimun sistemik, beberapa sclerosis, SLE, Sjogren sindrome,
pasca trauma, neoplasma, iskemik dan jarang penyebab iatrogenik. Pada kasus
dimana penyebab dari myelitis tidak dapat diidentifikasi maka disebut sebagai
idiopatik.
Selama terjadi inflamasi pada medulla spinalis, akson yang bermyelin
mengalami kerusakan yang dapat menyebabkan gejala berupa gejala motorik
seperti kelumpuhan, disfungsi sensori seperti rasa nyeri dan rasa kebas, dan
disfungsi otonom seperti retensi urin.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab ketujuh kematian dan disabilitas
di dunia dan telah mencapai proporsi epidemi baik di negara maju dan negara
berkembang. Prevalensi di seluruh dunia adalah 277 per 100.000 populasi dan di
Pakistan angka prevalensi bahkan lebih tinggi yaitu, 405 per 100.000 dari
populasi. Tingkat kematian pada kasus TB mencapai sekitar 25% . TB dapat
menyerang berbagai sistem tubuh, termasuk sistem saraf. Meningitis TB adalah
bentuk paling umum dari TB sistem saraf, diikuti oleh tuberkuloma sistem saraf
pusat dan TB spinal. Keterlibatan corpus vertebrae umum terjadi pada TB.
Hingga 3% dari pasien TB dapat mengalami keterlibatan spinal. TB spinal
memiliki prevalensi yang rendah di negara-negara maju. Satu studi dari Inggris
menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab yang jarang dari lesi medula
spinalis.

4
Keterlibatan medula spinalis pada tuberkulosis biasanya disebabkan oleh
penyebaran hematogen dari mycrobacterium tuberculosis. TB dapat melibatkan
korda, radiks, meningen, atau ketiganya. TB spinal menjadi salah satu penyebab
umum paresis pada negara berkembang. TB dapat mempengaruhi medula
spinalis dalam bentuk kompresi medula spinalis oleh tuberkuloma paraspinal atau
tuberkuloma spinal, leptomeningitis TB, tuberkuloma intramedulla, dan myelitis
tuberkulosis. Myelitis TB terutama terjadi pada daerah endemis TB. TB dengan
keterlibatan spinal mungkin menyertai TB intrakranial, meskipun dalam jumlah
besar kasus mungkin hadir secara independen. Lebih dari 250 kasus tuberkulosis
medula spinalis dan radiks saraf telah dilaporkan dalam literature (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui gambaran umum myelitis TB

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI MYELITIS


Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut
mielitis. Dalam Dercums Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince
menulis tentang mielitis trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yang agak
memberikan kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah
majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi
hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang masih tertinggal.
Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah
terminologi nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis.
Tetapi Adams dan Victor (1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang
infektif maupun non-infektif yang menyebabkan kerusakan dan nekrosis pada
substansia grisea dan alba.
Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis
mielitis dibedakan atas :
1. Akut :
Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo
beberapa hari saja.
2. Sub Akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu.
3. Kronik :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.
Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat,
distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut
poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila
seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut
mielitis transversa.
Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikal disebut
mielitis diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan
adanya proses radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula

6
dengan meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya
terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang
terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma.
Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis
misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis.

2.2. ANATOMI MEDULA SPINALIS

2.2.1. Anatomi medula spinalis


Medula spinalis merupakan struktur berbentuk silinder yang berdiameter <
2cm dan terdiri dari bagian putih, dan bagian abu-abu. Medula spinalis menerima
input melalui nervus perifer dari bagian tubuh dan melalui traktus descenden dari
otak, kemudian memproyeksikan output saraf perifer ke bagian tubuh dan melalui
traktus ascenden ke otak.

Medula spinalis dikelilingi oleh struktur-struktur yang secara berurutan


dari luar ke dalam terdiri atas:

dinding kanalis vertebralis yang terdiri atas tulang vertebrae dan


ligamen.
lapisan jaringan lemak ekstradural yang mengandung anyaman
pembuluh darah vena
meninges, yang terdiri atas:
duramater (pachymeninx)
arachnoid (leptomeninx) yang menempel secara langsung pada
duramater, sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan
normal tidak dijumpai suatu ruangan.
ruangan subarachnoid yang di dalamnya terdapat cairan
serebrospinal (CSF)
piamater, yang menempel langsung pada bagian luar medula spinalis
(Baehr & Frotscher., 2010.).

Pada tubuh orang dewasa panjang medula spinalis adalah sekitar 43 cm.
Pada masa tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula spinalis sama
dengan panjang korpus vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya,

7
kecepatan pertumbuhan korpus vertebrae melebihi kecepatan pertumbuhan
medula spinalis. Akibatnya pada masa dewasa, ujung kaudal medula spinalis
terletak setinggi tepi kranial korpus vertebrae lumbal II atau intervertebral disk
I/II. Perbedaan panjang medula spinalis dan korpus vertebrae ini mengakibatkan
terbentuknya konus medularis (bagian paling kaudal dari medula spinalis yang
berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-segmen sakral medula
spinalis) dan cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan
radiks nervus sakralis yang mengapung dalam CSF). Kearah kaudal, ruangan
subarachnoid berakhir setinggi segmen sakral II atau III korpus vertebrae. Dengan
demikian, di antara korpus vertebrae lumbal II sampai korpus vertebrae sakral III
tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan hanya terdapat cauda equina yang
terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan tindakan punksi lumbal di
daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai medula spinalis.
Medula spinalis juga terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8),
segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1
segmen koksigeal yang vestigial. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus
vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di
sebelah bawah korpus vertebrae yang bersangkutan.

Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis


antara lain:

Traktus ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke pusat-


pusat fungsional yang lebih tinggi
Traktus descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat fungsional
yang lebih tinggi ke medula spinalis
Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua arah.

8
Fungsi medula spinalis (Evans, 2003.h. 35-36.):

Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu
ventralis.
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks
merupakan respon bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus
internal ataupun eksternal untuk mempertahankan keadaan seimbang
dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot rangka disebut dengan refleks
somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot jantung atau
kelenjar disebut refleks otonom atau visceral.
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju
cerebellum.
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Fungsi lengkung refleks :

Reseptor: penerima rangsang.


Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat (ke pusat refleks).
Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis:
substansia grisea), tempat terjadinya sinap (hubungan antara

9
neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan atau penerusan
impuls).
Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel
efektor. Bila sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga
neuron motorik (sel saraf atau penggerak).
Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai
jawaban refleks. Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos
atau otot rangka), sel kelenjar.

Jaras serabut aferen medulla spinalis yang menghantarkan suatu


modalitas somatosensorik tersendiri dan akan dibahas secara terpisah.

Traktus spinoserebelaris posterior dan anterior

Beberapa impuls eferen timbul di organ sistem musculoskeletal (otot,


tendon dan sendi), berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ
keseimbangan dan koordinasi, serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi.
Satu anterior dan satu lagi di posterior.

Traktus spinoserebelaris posterior

Serabut Ia yang cepat menghantar impuls dari spindle otot dan organ
tendon terbagi menjadi banyak kolateral setelah memasuki medulla spinalis.
Beberapa serabut kolateral ini langsung membuat kontak sinaps dengan neuron
motrik yang besar di kornu anterius medulla spinalis (lengkung reflex
monosinaptik). Serabut kolateral lain yang muncul setingkat vertebra torakal
dan sakral berakhir di nucleus berbentuk tabung yang terdapat di dasar kornu
posterius setinggi vertebra C8-L2, yang memiliki nama yang bervariasi, antara
lain kolumna sel intermediolateralis, nucleus torasikus, kolumna Clarke dan
nucleus Stilling. Neuron pasca sinaps kedua dengan badan sel yang terletak di
nucleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior, yang serabutnya
merupakan salah satu serabut penghantar impuls tercepat di seluruh tubuh.
Traktus spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis
sisi ipsilateral di bagian posterior funikulus lateralis dan kemudian berjalan
melalui pedunkulus serebelaris inferior ke vermis cerebri. Serebut aferen yang

10
muncul setingkat vertebra servikalis (yaitu di atas level kolumna sel
intermediolateralis) berjalan di dalam fasikulus kuneatus untuk membuat
sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nucleus kuneatus asesorius
medullae dan serabut yang keluar berjalan naik ke serebelum.

Traktus spinoserebelaris anterior

Serabut Ia yang lain yang memasuki medulla spinalis membentuk


sinaps dengan neuron fasikularis di kornu posterius di bagian sentral substansia
grisea medulla spinalis. Neuron kedua ini yang ditemukan setingkat segmen
vertebralis lumbalis bawah merupakan sel asal traktus spinoserebelaris
anterior, yang berjalan naik di dalam medulla spinalis baik di sisi ipsilateral
maupun kontralateral dan berakhir di serebelum. Kebalikan dengan traktus
spinoserebelaris posterior, traktus spinoserebelaris anterior menyilang di dasar
ventrikel ke empat ke otak tengah kemudian berbelok kearah posterior untuk
mencapai vermis cerebeli melalui pedunkulus serebelaris superior dan velum
medulla superius. Serebelum menerima input prorioseptif aferen dari semua
region tubuh kemudian output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot
dan koordinasi kerja-kerja otot agonis dan antagonis (otot sinergistik) yang
berperan pada saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Dengan demikian,
selain sirkuit regulasi yang lebih rendah di medulla spinalis itu sendiri, yang
telah dibahas pada bagian sebelumnya, sirkuit fungsional yang lebih tinggi
untuk regulasi gerakan ini juga melibatkan jaras lain, jaras non piramidal dan
neuron motor ik dan . Semua proses tersebut terjadi tanpa disadari.

Kolumna posterior

Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan derajat tegangan
ototnya. Kita dapat merasakan berat badan kita yang tertumpu pada telapak
kaki. Kita juga dapat mengenali gerakan sendi. Dengan demikian setidaknya
beberapa impuls propioseptif mencapai kesadaran. Impuls tersebut berasal dari
reseptor di otot, tendon, fascia, kapsul, sendi dan jaringan ikat serta reseptor
kulit. Serabut aferen yang menghantarkannya adalah prosesus neuron
pseudounipolar bagian distal di ganglion spinal. Prosesus bagian sentral sel-sel

11
ini kemudian berjalan naik di dalam medulla spinalis dan berakhir di nuclei
kolumna posterior di medulla yang lebih rendah.

Lesi kolumna posterior

Kolumna posterior menghantar impuls yang berasal dari propioseptor dan


reseptor kutaneus. Jika terjadi kerusakan pada struktur tersebut, seseorang tidak
dapat merasakan posisi tungkainya lagi. Ia juga tidak dapat mengenali objek
yang diletakkan ditanganya hanya dengan sensasi raba saja atau mengenali
suatu angka atau huruf yang digambarkan oleh jari pemeriksa di telapak
tangan. Diskriminasi spesial antar dua stimulus yang diberikan secara
bersamaan pada dua lokasi tubuh yang berbeda akan terganggu. Karena rasa
tekan juga terganggu, lantai di bawah tungkainya tidak lagi dapat terasa
sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan postur dan cara berjalan (gait
ataxia), terutama pada keadaan gelap atau mata terpejam. Tanda-tanda lesi
kolumna posterior ini paling jelas ketika kolumna posterior itu sendiri yang
mengalami gangguan, tetapi tanda-tanda tersebut juga dapat timbul pada lesi
di nuclei kolumna posterior, lemniskus medialis, thalamus dan girus
postsentralis.

Tanda-tanda klinis lesi kolumna posterior :

Hilangnya sensasi posisi dan gerakan. Pasien tidak dapat menyatakan


lokasi ekstrimitasnya tanpa melihat.
Asteriognosis: pasien tidak dapat mengenali dan menyebutkan objek
melalui bentuk dan beratnya hanya dengan menggunakan sensasi raba
saja.
Agrafestesia : pasien tidak dapat mengenali rasa raba berbentuk suatu
angka atau huruf yang digambarkan di telapak tangannya oleh jari
pemeriksa.
Hilangnya diskriminasi dua titik.
Hilangnya sensasi getar. Pasien tidak dapat merasakan garpu tala yang
ditempelkan pada tulangnya.
Tanda Romberg positif : pasien tidak dapat berdiri dalam jangka masa
yang lama dengan kedua kaki bersatu dan mata tertutup tanpa bergoyang

12
dan mungkin juga terjatuh. Hilangnya sensasi propioseptif, pada jangka
tertentu, dapat dikompensasi dengan membuka mata (yang tidak terjadi
dengan pasien dengan lesi serebelum)

Traktus spinotalamikus anterior

Impuls timbul di reseptor kutaneus (ujung saraf peritrikial, korpuskel


taktil) dan dihantarkan disepanjang serabut saraf perifer yang bermielin sedang
ke sel-sel pseudounipolar ganglion radiks dorsalis dan dari sini masuk ke
medula spinalis melalui radiks posterior.sel-sel tersebut (neuron kedua)
kemudian membentuk traktus spinotalamikus anterior, yang serabut-serabutnya
menyilang di komisura spinalis anterior, berjalan naik ke funikulus
anterolateralis kontralateral, dan berakhir di nukleus ventralis posterolaeralis
talami, bersama-sama dengan serabut-serabut traktus spinotalamikus lateralis
dan lemniskus medialis. Lesi pada traktus ini setinggi verebra lumbal atau
torakal umumnya menimbulkan sedikit atau tidak ada gangguan pada rasa raba,
karena banyak impuls yang naik dapat menutupi lesi melalui bagian ipsilateral
jaras ini. Namun, lesi pada traktus spinotalamikus anterior pada tingkat
servikal akan menimbulkan hipestesia ringan pada ekstremitas bawah
kontralateral.

Traktus spinotalamikus lateralis

Ujung saraf bebas di kulit merupakan reseptor perifer untuk stimulus


nyeri dan suhu. Ujung-ujung saraf ini merupakan endorgan serabut grup A
yang tipis dan serabut grup C yang hampir tidak bermielin, yang merupakan
prosesus perifer neuron pseudounipolar di ganglion spinale. Prosesus spinalis
melewati bagian lateral radiks posterior ke dalam medulla spinalis dan
kemudian terbagi secara longitudinal menjadi kolateral-kolateral yang pendek
dan berakhir di dalam satu atau dua segmen substansia gelatinosa, membuat
kontak sinaptik dengan neuron funikularis (neuron kedua) yang prosesusnya
membentuk traktus spinotalamikus lateralis.

13
Lesi traktus spinotalamikus lateralis

Traktus spinotalamikus lateralis merupakan jaras utama untuk sensasi


nyeri dan suhu. Pada jaras ini dapat dilakukan transeksi secara pembedahan
saraf untuk menghilangkan rasa nyeri (kordotomi). Operasi ini jarang
dilakukan saat ini karena telah digantikan oleh metode yang lebih tidak inasif
dan juga karena pemulihan yang terjadi umumnya hanya bersifat sementara.

Traktus kortikospinalis/traktus piramidalis

Traktus ini berasal dari kortek motorik dan berjalan melalui substansia
alba dan serebri (korona radiata), kornu posterius kapsula interna (serabut
terletak sangat berdekatan di sini), bagian sentral pedunkulus serebri (krus
serebri), pons, basal medulla (bagian anterior), tempat traktus terlihat sebagai
penonjolan kecil yang disebut piramid. Piramid medulla terdapat satu pada
masing-masing sisi memberikan nama pada traktus tersebut. Pada bagian ujung
bawah medulla, 80-85% serabut piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio
piramidum. Serabut yang tidak menyilang di sini berjalan menuruni medulla
spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis anterior.
Serabut ini menyilang lebih ke bawah (biasanya setingkat segmen yang
dipersarafi) melalui komisura anterior medulla spinalis. Pada tingkat servikal
dan torakal, kemungkinan juga terdapat serabut-serabut saraf yang tetap tidak
menyilang dan mempersarafi neuron motorik ipsilateral di kornu anterius,
sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan persarafan kortikal bilateral.
Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di dekusasio piramidum,
kemudian menuruni medulla spinalis di funikulus lateralis kontralateral sebagai
traktus kortikospinalis lateralis. Traktus ini mengecil pada area potong-
lintangnya ketika berjalan turun ke bawah medula spinalis, karena beberapa
serabutnya berakhir di masing-masing segmen sepanjang perjalanannya.
Sekitar 90% dari semua serabut traktus piramidalis berakhir membentuk sinaps
dengan interneuron, yang kemudian menghantar impuls motorik ke neuron
motor yang besar di kornu anterius serta ke neuron motorik yang lebih
kecil.

14
Traktus kortikonuklearis/kortikobulbaris

Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari masa


utama traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke
dorsal menuju nuclei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi
nuclei batang otak ini sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang.
Nuclei yang menerima input traktus piramidalis adalah nuclei yang memediasi
gerakan volunter otot-otot cranial melalui nervus kranialis V (N. trigeminus),
N. Fasialis, N. Glosofaringeus, N vagus, N. Aksesorius serta N hipoglosus
(Baehr & Frotscher., 2010.).

Dermatom

Gambar 1. Dermatom

15
2.3 KLASIFIKASI MYELITIS

Menurut NINDS
2.3.1 Adapun beberapa jenis dari myelitis menurut NINDS 2012 ( National
Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2012):
Myelitis yang disebabkan oleh virus.
Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus.
Herpes zoster.
Rabies.
Virus B2.

Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens dan
medula spinal.
Myelitis sifilitika
Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
Meningomielitis kronik
Myelitis piogenik atau supurativa
Meningomielitis subakut
Myelitis tuberkulosa
Meningomielitis tuberkulosa
Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis
lokalisata atau meningomielitis dan abses.

Myelitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.


Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi.
Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
Degeneratif atau nekrotik

2.3.2 Menurut Lokasi dan Distribusi Myelitis


Myelitis transversa apabila mengenai seluruh potongan melintang medula
spinalis
Poliomyelitis apabila mengenai substansia grisea

16
Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba
Istilah mielopati digunakan bagi proses non inflamasi medulla spinalis misalnya yang
disebabkan proses toksis, nutrisi, metabolik dan nekrosis

2.4 TUBERKULOSIS

2.4.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
[PDPI], 2006).

2.4.2 Patogenesis infeksi TB


Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah
satu nasib sebagai berikut (PDPI, 2006):
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.

17
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila
tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena
kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman
tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih
di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi. Kelainan jaringan terjadi
sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang karakteristik ialah
terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada
jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel
leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman
berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel
mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi
terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus
masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat
pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel
monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah
banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok
padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan

18
interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel
epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa
sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma
ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah
mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi
sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa
perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai
jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan
garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik
maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan
rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang
dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag
menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada
saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan
penyakit. Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi
terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti
(PDPI, 2006).

2.5 MYELITIS TB

2.5.1 Patogenesis Myelitis TB


Infeksi tuberkulosis pada central nervous system (SSP) kebanyakan
merupakan akibat dari penyebaran secara hematogen dari fokus primer, baik dari
paru maupun sistem gastrointestinal. Pada awalnya lesi tuberkulosis kecil
terbentuk pada SSP saat sedang terjadi bacteraemia dari infeksi tuberkulosis
primer atau segera setelahnya.Lesi tuberkulosis inisial tersebut dapat berinokulasi
pada meningen; lapisan subpial maupun subependym dari otak maupun spinal
cord, dan dapat tetap dorman selama bertahun-tahun. Selanjutnya, ruptur ataupun
pertumbuhan dari satu atau lebih lesi tuberkulosis kecil menyebabkan berbagai

19
tipe tuberkulosis SSP. Tipe dan penyebaran lesi bergantung terhadap jumlah dan
virulensi basil tuberkulosis dan respon imun dari host. Rupturnya lesi tuberkel ke
ruang subarachnoid menyebabkan meningitis TB; dimana lesi yang dalam
menimbulkan tuberkuloma ataupun abses. Meningitis TB menyebabkan inflamasi
pada nervus cranialis/ nervus spinalis dan pada pembuluh darah. Inflamasi pada
pembuluh darah (vaskulitis) selanjutnya menyebabkan trombosis dan infark.
Hydrochepalous dapat muncul secara sekunder akibat impendasi sirkulasi maupun
absorpsi CSF. Eksudat inflamasi dapat berkumpul disekitar spinal cord dan
menyebabkan arachnoiditis tuberculosis. Secara patologis, tuberkuloma terdiri
dari nekrosis caseosa di bagian central dan dikelilingi oleh kapsul jaringan
kolagen dan lapisan terluar terdiri dari sel-sel mononuklear (termasuk sel plasma
dan limfosit), sel epiteloid dan multinucleated langerhaens giant.s cell.
Tuberkuloma mengandung sedikit basil tuberkel pada bagian nekrotik dan kapsul.
Berbeda dengan tuberkuloma caseosa, abses tuberkular mengandung inti yang
purulent yang kaya akan basil tuberkel, dan reaksi granulomatosa yang kurang
pada dindingnya. Myelitis TB merupakan penyebab penting paraparese, Myelitis
tuberkulosis dapat muncul secara sekunder akibat meningitis TB. Myelitis TB
biasanya timbul ketika diagnosis TB terlambat disertai dengan eksudat tebal dan
blok spinal. Terkadang, Infeksi dapat berawal pada area spinal dan menimbulkan
nyeri punggung dan keterlibatan multiple level dari spinal cord dan radiks
(Amulaya Mishra*, Santanu, Kumar, Dudej, AK, & Agarwal).
Diantara pasien dengan TB spinal, 55% terdapat keterlibatan korpus
vertebra, 39% dengan lesi granulomatosa intraspinal, dan hanya 7% dengan lesi
intramedulla. Lesi intramedulla biasanya muncul dalam bentuk radiculomyelitis,
myelitis transvenrsa, granuloma intraspinal, dan trombosis arteri spinalis anterior.
Empat mekanisme untama yang menyebabkan keterlibatan korda spinalis pada
TB: Edema pada tepi zona korda kemungkinan merupakan akibat sekunder dari
impediment vena karena tekanan yang berhubungan dengan meningitis,
myelomalacia iskemik yang muncul akibat vaskulitis atau sumbatan
posttrombotik dan pembentukan tuberkuloma intramedullar dengan nekrosis
pericentral. M, tuberkulosis sangat jarang menyebabkan myelitis transversa.

20
Aktivasi abnormal sistem imun yang menyerang korda spinalis dianggap menjadi
mekanisme etiologi utama (Sahu, Gir, & Gupta, 2014).

2.5.2 Predileksi Myelitis TB


. Lebih dari 80% pasien dengan myelitis tuberkulosis melibatkan lebih dari
satu segmen spinal, area yang terkena biasanya regio torakal dan cervical. LETM
merupakan istilah yang digunakan pada myelitis transversa yang mengenai tiga
atau lebih segmen vertebra. Penyebab paling sering dari LETM (longitudinal
extensive transverse myelitis) adalah NMO (neuromyelitis optic) (Sahu, Gir, &
Gupta, 2014).

2.5.3 Gambaran Klinis


Dari review retrospective klinis dan neuroimaging terhadap sepuluh pasien
yang menderita myelitis TB, gejala-gejala yang muncul berupa demam (70%),
paraplegia (60%), paraparesis (30%), monoparesis (10%), retensi urin (50%),
inkontinensia uri (20%). Gejala konstitusional berupa penurunan berat badan,
anoreksiam dan malaise, nyeri kepala, dan muntah. 70% pasien juga terkena
meningitis TB dan beberapa manifestasi klinis berupa kaku kuduk (50%),
perubahan mental (50%), keterlibatan nervus kranialis (30%), yang paling sering
terlibat yaitu nervus kranialis III. Refleks tendon dalam abnormal pada 90%
pasien (60% hiperefleksia, 30 % hiporefleksia). Keterlibatan sensoris ditemukan
pada 60% pasien. Beberapa pada level thoracic, beberapa pada level cervical.
Tidak ada pasien yang melaporkan adanya keluhan nyeri spinal ataupunn
deformitas, atau riwayat nyeri punggung. Empat pasien mengalami tuberkuloma
intrakranial yang terbukti pada CT scan kepala dan MRI, lima pasien mengalami
TB pulmonal yang dibuktikan secara radiologis (dengan pola TB milier, kavitas
pada apeks, dan infiltrat yang mengelilingi scar dengan fibrokalsifikasi pada
rontgen thoraks). Pada analisis cairan cerebrospinal, 60% memiliki kadar glukosa
yang rendah pada CSF. Dari 8 pasien, 4 memiliki kadar protein normal, 2 dengan
kadar protein tinggi, dan 2 dengan kadar protein rendah. Jumlah hitung leukosit
tital pada CSF berkisar antara 84 hingga 1060 sel/mm3, dengan mean 639 310
sel/mm3. Hitung sel polimorfonuklear rata-rata sejumlah 24% 25%. Hitung
limfosit rata-rata sejumlah 75% 25%. Kultur CSF dilakukan pada 5 pasien, 2

21
dengan hasil kultur positif adanya basil tahan asam (Wasay, Khealani, & Haider,
2006).
Tabel 1. Gambaran Klinis Myelitis TB (Wasay, Khealani, & Haider, 2006)

2.5.4 Diagnosis Myelitis Tuberkulosis


Semua pasien yang diduga tuberkulosis spinal cord harus dievaluasi
adanya tuberkulosis intrakranial dengan CT, MRI, atau evaluasi CSF. Kehadiran
TB meningitis atau tuberculoma intrakranial dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis dari TB spinal cord. Diagnosis mielitis TB mungkin merupakan
tantangan diagnostik bahkan di daerah TB-endemik. Temuan MRI pada
tuberkulosis spinal dan intracranial tidak spesifik dan bervariasi (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).
Temuan variabilitas pada MRI dalam CNS TB terkait dengan
patogenesisnya. Mekanisme yang mendasari keterlibatan korda spinalis pada
tuberkulosis merupakan hal yang kompleks dan mencakup pembentukan eksudat,
spinal cord infark, pembentukan tuberculoma, dan pembentukan abses.
Keterlibatan spinal cord pada tuberkulosis dapat dalam bentuk glioma, limfoma
SSP, myelitis transversa, Brown sequard sindrom, dan arachnoiditis, atau
kombinasi di atas. Sebagian besar pasien hadir sebagai radiculomyelitis
tuberkulosis tapi myelitis terisolasi atau polyradiculitis tidak jarang (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).

22
Karakteristik sinyal dari lesi TBC pada T1 dan T2-weightedMRI
bervariasi. Keragaman pada karakteristik sinyal MRI ini terkait dengan tahap
histologi tuberculoma. Mayoritas lesi tampak iso atau hypointense pada T1-
weightedMRI. Sinyal hyperintense pada T1 jarang terjadi. Pada pencitraan dengan
T2 kebanyakan lesi adalah hyperintense tetapi sejumlah kecil lesi mungkin
muncul hypointense. Hipointensitas T1 atau hiperintensitas T2 akibat peningkatan
kadar air atau edema. Hiperintenstas T1 atau Hipontensitas T2 merupakan
perwakilan darinekrosis caseous. nekrosis caseous ditandai dengan sejumlah besar
lipid dan makrofag, yang berbeda dari nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif
hadir sebagai hiperintensitas pada T2 pada MRI, tapi nekrosis caseous dapat hadir
sebagai hipointensitas pada T2. Hipointensitas T2 pada tuberculoma
dipostulasikan terjadi karena lipid dan pelepasan radikal bebas oleh makrofag.
Mayoritas lesi bervariasi dengan kontras gadolinium memberikan gambaran difus,
nodular, ring like, tumor like pattern, tidak adanya peningkatan kontras
seharusnya tidak mengecualikan diagnosis TB mielitis (Wasay, Khealani, &
Haider, 2006).
Sejumlah pasien dengan myelitis TB juga mengalami meningitis TB atau
tuberculoma intrakranial pada saat didiagnosis tuberkulosis spinal cord. Jika
diduga Mielitis TB, MRI otak atau Evaluasi CSF mungkin sangat membantu
dalam membangun diagnosis TB spinal cord. myelitis TB atau tuberculoma spinal
cord dapat berkembang setelah memulai terapi antituberkulosis untuk TB sistemik
atau meningitis. Beberapa pasien terkena syringomyelia setelah pengobatan
antituberkulosis Fenomena ini disebut sebagai respon paradoks. Hal ini lebih
umum pasien yang terinfeksi HIV dan menerima terapi antiretroviral (Wasay,
Khealani, & Haider, 2006).

23
Tabel 2. Gambaran MRI pada Myelitis TB (Wasay, Khealani, & Haider, 2006)

Gambaran MRI berupa pembengkakan diffus korda dengan abnormalitas signal.


Kebanyakan lesi spinal cord tampak berupa hyperintense pada T2, isointense pada
T1 wighted images, dan menunjukkan gambaran peningkatan intensitas segmental
post kontras. Intramedullary abcess digambarkan sebagai area nekrotik pada
bagian central dengan tepi yang berbatas tegas, Atrofi korda spinalis, kavitas dan
syringomyelia berhubungan dengan prognosis yang buruk. Diagnosis differensial
mencakup kontusio korda, infark korda akibat vaskulitism myelitis transversa
akut, dan demyelinating disease (Wasay, Khealani, & Haider, 2006).

PCR untuk M. tuberculosis dalam CSF adalah tes yang sangat spesifik
dengan sensitivitas yang berkisar dari 56% menjadi 90% dan spesifisitas yang
berkisar dari 88% sampai 100% (Sahu, Gir, & Gupta, 2014).

24
Gambar 2. Myelitis Tuberkulosa. Potongan Sagital T2W(a), T1W(b) dan post
kontras(c) MRI of dorsolumbar spine menunjukkan pembengkakan korda yang difus dan
edema dengan gambaran hipointens pada T1W dan hiperintens pada T2W dan
menunjukkan peningkatan intensitas pada bagian sentral setelah penggunaan kontras post
gadolinium images (panah putih tipis). Perubahan perubahan ini dapat dilihat dengan baik
(panah putih tebal.) pada gambaran axial T2W(d), T1W(e) and gambaran post kontras(f)
(Wasay, Khealani, & Haider, 2006).

25
Gambar 3. Myelitis Tuberkulosa. Seorang wanita berusia 59 tahun mengalami
parestesia progresif pada ekstremitas bawah dalam 2 minggu terakhir dan
disfungsi bladder. Sagittal and axial T2 WI menunjukkan gambaran longitudinally
extensive T2 hyperintensity dari korda spinalis. The lower cervical (C5-C7) and
midthoracic (D4-D8) cord is moderately enlarged (V. Lolli; D. Balriaux;
Brussels, 2012).

Gambar 4. Tubercolous myelitis Post-Gadoliniumd T1WI show multiple foci of


nodular enhancement predominantly involving the midline posterior spinal cord
surface and contrast enhancement around the conus medullaris. Whole body FDG
PET scan revealed pathologically increased FDG uptake in the inguinal and
abdominal lymph nodes. Histopathologic examination demonstrated
granulomatous inflammation with central caseous necrosis, consistent with

26
tuberculosis. CSF PCR for Mycobacterium tuberculosis positive (V. Lolli; D.
Balriaux; Brussels, 2012).

2.5.5 Penatalaksanaan
Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam pengelolaan TB paru, saat ini
tidak ada kesepakatan umum tentang bentuk kemoterapi atau durasi optimal
pengobatan yang telah tercpai. WHO telah menempatkan CNS tuberkulosis di
bawah pengobatan TB kategori 1, dan direkomendasikan terapi tahap awal dengan
streptomisin, isoniazid, rifampisin dan pirazinamid selama 2-bulan, diikuti oleh
tujuh bulan fase lanjutan dengan isoniazid dan rifampicin. Durasi terapi harus
setidaknya 6-bulan, dan dalam beberapa kasus dapat mencapai 12 bulan
pengobatan. Regimen obat yang sama direkomendasikan untuk semua bentuk
CNS tuberkulosis. Empat regimen obat yang dibutuhkan untuk mengobati
atipikal mycobacteria (M avium intracellulare) pada orang dengan infeksi HIV.
Terapi yang direkomendasikan untuk pasien HIV termasuk azitromisin dan
klaritromisin di kombinasi dengan etambutol atau clofazimine. Peran
kortikosteroid dalam pengobatan CNS tuberkulosis adalah kontroversial. Secara
dramatis penggunaan kortikosteroid memberikan gambaran resolusi cepat dari
eksudat basal dan tuberkuloma pada pencitraan serial. penggunaan kortikosteroid
mempengaruhi penetrasi CSF dari obat-obatan TB (Bano, Chaudhary, & Yadav,
2012).

2.5.6 Respon Paradoks Tuberkuloma pada pengobatan


Pembesaran paradoks dari tuberkuloma yang telah ada atau pembentukan
tuberkuloma intrakranial ataupun tuberkuloma spinal pada pasien yang menerima
terapi antituberkulosis yang efektif telah dicatat di masa lalu. Fenomena paradoks
ini dianggap karena hasil dari reaksi imunologi. Lesi ini biasanya ditemukan
secara accidental ketika scan dilakukan secara rutin atau ketika tanda-tanda
neurologis baru berkembang selama terapi antituberkulosis. Terapi steroid yang
diberikan bersama dengan anti tuberkulosis mungkin memiliki peran pencegahan
terhadap lesi fokal ini. Namun, dengan kelanjutan terapi antituberkulosis, resolusi
akhir ini tuberculoma biasanya terjadi. Dalam kasus unresponsiveness untuk

27
terapi medis, pembedahan dapat direkomendasikan (Bano, Chaudhary, & Yadav,
2012).

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Myelitis TB merupakan penyebab penting paraparese, Myelitis
tuberkulosis dapat muncul secara sekunder akibat meningitis TB. Lebih dari 80%
pasien dengan myelitis tuberkulosis melibatkan lebih dari satu segmen spinal, area
yang terkena biasanya regio torakal dan cervical. Dari review retrospective klinis
dan neuroimaging terhadap sepuluh pasien yang menderita myelitis TB, gejala-
gejala yang muncul berupa demam (70%), paraplegia (60%), paraparesis (30%),
monoparesis (10%), retensi urin (50%), inkontinensia uri (20%). Gejala
konstitusional berupa penurunan berat badan, anoreksiam dan malaise, nyeri
kepala, dan muntah. 70% pasien juga terkena meningitis TB dan beberapa
manifestasi klinis berupa kaku kuduk (50%), perubahan mental (50%),
keterlibatan nervus kranialis (30%), yang paling sering terlibat yaitu nervus
kranialis III. Refleks tendon dalam abnormal pada 90% pasien (60% hiperefleksia,
30 % hiporefleksia). Keterlibatan sensoris ditemukan pada 60% pasien. Beberapa
pada level thoracic, beberapa pada level cervical. Tidak ada pasien yang
melaporkan adanya keluhan nyeri spinal ataupunn deformitas, atau riwayat nyeri
punggung. Mayoritas lesi tampak iso atau hypointense pada T1-weightedMRI.
PCR untuk M. tuberculosis dalam CSF adalah tes yang sangat spesifik dengan
sensitivitas yang berkisar dari 56% menjadi 90% dan spesifisitas yang berkisar
dari 88% sampai 100%. terapi tahap awal dengan streptomisin, isoniazid,
rifampisin dan pirazinamid selama 2-bulan, diikuti oleh tujuh bulan fase lanjutan
dengan isoniazid dan rifampicin. Durasi terapi harus setidaknya 6-bulan, dan
dalam beberapa kasus dapat mencapai 12 bulan pengobatan. Penggunaan
kortikosteroid memberikan gambaran resolusi cepat dari eksudat basal dan
tuberkuloma pada pencitraan serial. Penggunaan kortikosteroid mempengaruhi
penetrasi CSF dari obat-obatan TB
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari referat ini, baik dari segi
diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran

29
dari dosen-dosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari
berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2012). Transverse


Myelitis fact sheet.2012.

Amulaya Mishra*, S. K., Santanu, B., Kumar, A., Dudej, R., A. J., & Agarwal, A.
(n.d.). Acute Granulomatous (Tubercular) Myelitis. Journal of Indian
Academy of Clinical Medicine Vol. 5 No. 2 .

Baehr, M., & Frotscher., M. (2010.). Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta: EGC.

Bano, S., Chaudhary, V., & Yadav, S. (2012). Central Nervous System
Tuberculosis. intochpen , 467495.
Evans, M. M. (2003.h. 35-36.). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia , 1-55.

Sahu, S., Gir, S., & Gupta, N. (2014). Longitudinal extensive transverse myelitis
due to tuberculosis: A report of four cases. Journal of Postgraduate
Medicine: Longitudinal extensive transverse myelitis due to tuberculosis:
A report of four cases .

V. Lolli; D. Balriaux; Brussels. (2012). Transverse myelitis revisited .

Wasay, M., Khealani, B. A., & Haider, H. A. (2006). Neuroimaging of


Tuberculous Myelitis:Analysis of Ten Cases and Review of Literature.
Journal of Neuroimaging .

31
32

Anda mungkin juga menyukai