OSTEOPOROSIS
Oleh :
Rahmanda Taqwa
105070100111075
115070107111050
Hanani Octaviani
115070100111103
Pembimbing :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit degeneratif merupakan salah satu penyakit dengan angka kejadian
yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyakit degeneratif dengan
angka kejadian yang naik tiap tahunnya adalah osteoporosis. Saat ini, osteoporosis
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang berdampak di bidang
kesehatan dan ekonomi, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia (Raef
et al, 2011).
Osteoporosis berasal dari bahasa Yunani osteo yang berarti tulang dan pore
yang berarti pori (Monash, 2010). Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang disertai gangguan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh. Penurunan massa tulang pada osteoporosis
umumnya tidak menimbulkan gejala khusus sampai muncul fraktur, sehingga
osteoporosis sering disebut silent epidemic disease. Namun, osteoporosis
merupakan penyakit yang dapat dicegah secara dini sejak janin dalam kandungan
dan dikendalikan sejak awal apabila seseorang telah memiliki faktor risiko. Usia
yang ideal untuk melakukan upaya pencegahan dini adalah usia 8-17 tahun karena
pada periode ini proses pertumbuhan tulang mencapai masa puncaknya yaitu
sekitar 90% (Kemenkes, 2009).
Data mengenai prevalensi osteoporosis di Indonesia yang disusun oleh
Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan Fonterra Brands Insonesia
menyatakan, pada tahun 2006, 2 dari 5 orang Indonesia memiliki risiko terkena
osteoporosis, dimana perbandingan angka ini lebih tinggi dibandingkan perbandinga
di dunia yaitu 1 dibanding 3 orang. Fraktur sebagai salah satu manifestasi dari
osteoporosis menimbulkan dampak serius bagi kesehatan, kualitas hidu, dan efek
psikologis seseorang. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya nyeri kronik (66%
pasien wanita dengan fraktur dan 40% pasien wanita tanpa fraktur), disabilitas
aktivitas fisik dan sosial, masalah psikologis seperti depresi, hingga kematian.
Fraktur akibat osteoporosis telah menyebabkan jangka waktu masuk rumah sakit
lebih lama pada pasien wanita usia lebih dari 45 tahun dibandingkan penyakit lain.
Selain itu, berdasarkan pengukuran dengan DALY (Disability-Adjusted Life Year),
1.2 MANFAAT
Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, faktor resiko, etiologi,
patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana, dan pencegahan osteoporosis.
1.3 TUJUAN
Diharapkan dengan adanya responsi kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca khususnya dokter muda agar dapat menangani kasus oteoporosis
sebagai dokter umum di kemudian hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang
menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health
(NIH) mengajukan definisi baru yaitu penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan
adanya compromised bone strength dan menyebabkan tulang lebih mudah patah
(PEROSI, 2010). Gangguan yang terjadi pada osteoporosis ditandai
dengan
Umur merupakan salah satu faktor risiko pada kasus osteoporosis. Terjadi
peningkatan risiko osteoporosis sebesar 1,4-1,8 kali lebih besar tiap penambahan 10
tahun umur tiap individu. Insiden fraktur pergelangan meningkat secara bermakna
pada umur 50-an, frakur vertebrae setelah umur 60 tahun, dan fraktur pelvis pada
umur 70 tahun. Peningkatan risiko osteoporosis seiring pertambahan umur individu
disebabkan terjadi penipisan tulang yang progresif yang tidak diimbangi remodeling
tulang (PEROSI, 2010).
2.3.2 GENETIK
Kasus osteoporosis juga berhubungan dengan faktor ras. Prevalensi kasus
osteoporosis lebih tinggi pada ras Kaukasian/ Oriental dibandingkan pada ras Afrika
maupun Polinesia. Prevalensi kasus fraktur pelvis pada orang kulit putih lebih tinggi
dibandingkan orang kulit hitam di Afrika dan Amerika Serikat. Osteoporosis juga
lebih sering terjadi pada wanta dibandingkan laki-laki dengan perbandingan risiko
2:1. Hal ini dikarenakan BMD pada wanita lebih rendah dan massa tulang wanita
lebih kecil dibandingkan laki-laki. Selain itu, perubahan kadar hormon yang terjadi
setelah menopause juga berperan terhadap meningkatnya prevalensi osteoporosis
pada wanita dibandingkan laki-laki. Riwayat keluarga juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kerentanaan seseorang terhadap osteoporosis (PEROSI,
2010).
Genetik merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam regulasi
densitas tulang, geometri tulang, dan turn over tulang yang berkontribusi terhadap
pathogenesis osteoporosis yaitu kaskade regulator transkripsi, jalur signaling untuk
diferensiasi osteoklas dan osteoblast. Salah satu aktivator transkripsi yang penting
sebagai aktivator diferensiasi osteoblast adalah Cbfa-1. Cbfa-1 berfungsi untuk
mengontrol ekspresi protein struktural mayor matriks tulang. Selain Cbfa-1, anggota
famili Fos yang berperan sebagai faktor transkripsi adalah c-Fos, FosB, -FosB,
Fra1, dan Fra2. Faktor-fator ini berperan dala diferensiasi sel tulang. Apabila terjadi
inaktivasi c-Fos, tulang akan mengalami defisiensi pada remodelling tulang dan
terjadi osteoporosis. Selain masalah faktor transkripsi, masalah regulator trans juga
berperan dalam osteoporosis. Salah satu elemen regulator trans adalah Collagen
type I (COL 1). Ketidakseimbangan kadar elemen COL 1AI dan COL 1AII akan
memicu penurunan kulitas kolagen dan penurnan kekuatan tulang (Levi et al, 2002).
2.3.3 LINGKUNGAN
Faktor lingkungan yang mempengaruhi peningkatan prevalensi kasus
osteoporosis adalah faktor makanan, faktor aktivitas fisik, obat-obatan, konsumsi
alkohol, merokok, dan riwayat trauma. Salah satu makanan yang meningkatkan
risiko terjadinya osteoporosis adalah konsumsi alkohol. Konsumsi alohol lebih dari 2
unit/hari akan meningkatkan risiko terjadi osteoporosis. Selain alkohol, riwayat
kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D juga
meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis. Kalsium merupakan salah satu
komponen pembentuk massa tulang sedangkan vitamin D merupkan prekursor yang
mengubah kalsium menjadi aktif shingga dapat berfungsi dalam proses remodelling
tulang. Kebutuhan sehari-hari kalsium tiap individu rata-rata adalah 1000 mg per hari
dan meningkat menjadi 1300 mg per hari pada wanita usia diatas 50 tahun dan pria
usia 70 tahun. Rendahnya vitamin D aktif dalam tubuh juga menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya osteoporosis. Hal ini disebabkan salah satunya kurangnya paparan
sinar matahari yang membantu aktivasi vitamin D (NIH, 2015).
Riwayat merokok juga meningkatkan risiko terjadi osteoporosis. Kasus
osteoporosis meningkat secara signifikan pada pasien wanita usia tua dan pasien
pria dengan merokok. Sedangkan pada wanita, produksi estrogen pada wanita yang
memiliki riwayat merokok lebih rendah dan lebih cepat megalami menopause bila
dibandingkan wanita tanpa riwayat merokok (NIH, 2015; Law MR, et al, 1997).
Riwayat trauma meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis sebesar dua kali
lipat. Peningkatan risiko ini terjadi terutama pada fraktur vertebrae. Pada individu
dengan fraktur vertebrae melibatkan lebih dari 2 ruas vertebrae, risiko terjadi
osteoporosis meningkat 12 kali lipat dengan BMD berapapun. Pasien dengan
riwayat fraktur vertebrae memiliki risiko 1,4 kali lipat lebih besar mengalami fraktur
lengan bawah (Setyohadi, 2014).
Obat-obatan yang menyebabkan peningkatan risiko terjadi osteoporosis
adalah glukokortikoid, steroid, antikonvulsan, Proton Pump Inhibitor (PPI),
(BMD)
memperburuk
sehingga
kondisi
meningkatkan
tulang
dengan
risiko
terjadinya
mengganggu
fraktur.
proliferasi
Alkohol
osteoblast.
melalui berbagai
membentuk
sistem
lakunokanilikular
(LCS),
fungsi
osteosit
belum
sepenuhnya diketahui, namun diduga berperan pada transmisi signal dan stimuli dari
satu sel ke sel lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasal dari sel mesenkimal
yang terdapat di dalam sumsul tulang, periosteum, dan endotel pembuluh darah.
Sekali osteoblas mensintesis osteosit maka osteoblas akan langsung berubah
menjadi osteosit dan terbenam di dalam osteosit yang disintesisnya (Setyohadi,
2014).
Osteoklas merupakan Giant cell yang berasal dari sel hematopoetik mononuklear
(Setyohadi, 2014).
Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak masa tulang tercapai, maka
proses remodelling tulang akan dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas
akan melakukan resorpsi tulang sehingga menghasilkan rongga yang disebut lakuna
Howship pada tulang trabekular atau rongga kerucut (cutting cone) pada tulang
kortikal. Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang
pada rongga yang ditinggalkan osteoklas serta membentuk matriks tulang yang
disebut osteoid. Proses ini dilanjutkan dengan mineralisasi primer yang berlangsung
dalam jangka waktu singkat kemudian dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder
dalam waktu yang lebih panjang dan tempo yang lebih lambat sehingga tulang
menjadi keras (Setyohadi, 2014).
dekade
ke
delapan
dan
sembilan
kehidupannya,
terjadi
patogenesis
oestoporosis.
Kekurangan
asupan
kalsium
akan
ekskresi
kalsium
lewat
ginjal
sehingga
akan
dan
menyebabkan
berperan
penting
pada
evaluasi
penderita
osteoporosis.
procollagen-1-peptides: p1-
(HYP),
pyridinium
cross-link:
pyridinoline
(PYD),
osteoporosis
pemeriksaan ini
secara
dini
kurang
memuaskan
karena
5. Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya tinggi badan > 5 ft
7 In, berat badan < 127 lb, riwayat merokok, riwayat maternal dengan
fraktur panggul.
6. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan
densitas masa tulang rendah atau kehilangan masa tulang, misalnya
hiperparatiroidisme,
sindrom
malabsorpsi,
hemigastrektomi,
hipertiroidisme.
7. Orang dewasa yang mengkonsumsi obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan densitas masa tulang rendah atau kehilangan masa tulang,
misalnya
glukokortikoid,
anti
konvulsan,
heparinisasi
kronik
dan
sebagainya.
8. Setiap orang yang dipertimbangkan memerlukan terapi farmakologi untuk
osteoporosis.
9. Untuk memantau efek pengobatan pada seseorang yang dalam terapi
osteoporosis.
10.
satuan
gr/cm2),
T-score
dan
Z-score.
T-score
merupakan
perbandingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang muda normal
dan dinyatakan dengan skor deviasi standard (SD). Z-score merupakan
perbandingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien
yang juga dinyatakan dalam skor deviasi standard (SD). Adapun rumus
menentukan T-score Z-score adalah sebagai berikut:
Gambar 2.5 Rumus menentukan nilai T-score dan Z-score (Setyohadi, 2014)
Femoral neck
Trokanter
Hiperparatiroidisme
Sangat obese
Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan
untuk diagnosis osteoporosis (PEROSI, 2010).
2.8 Terapi
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas (anti resorptif) dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti
resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Nafluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti
resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi
osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan
menyebabkan peningkatan produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat
menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.(Setyohadi,2014)
2.8.1
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada osteoporosis meliputi pemberian senyawa kimia
Bifosfonat
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat
yang diikat satu sama lain oleh atom karbon dan mempunyai efek menghambat
kerja osteoklas. Secara farmako dinamik, absorpsi bisfosfonat sangat buruk,
sehingga harus diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air
putih dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Selain itu,
bisfosfonat generasi I juga memiliki efek samping lain, yaitu
mengganggu
mineralisasi tulang, sehingga tidak boleh diberikan secara kontinyus, harus siklik,
misalnya etidronat dan klodronat. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis
dan hipokalsemia. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh bisfosfonat harus
diperhatikan asupan kalsiumnya. (Setyohadi,2014)
Alendronat
Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Untuk terapi
osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu,
karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget, diberikan dosis
40 mg/hari selama 6 bulan. Saat ini telah dikembangkan pemberian alendronat 70
mg seminggu sekali. Dosis ini dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan
pasien. Efek samping yang terjadi bias mengakibatkan mengiritasi esofagus dan
menyebabkan esophagitis erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan
afu yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan
esofagus,
misalnya
striktura
esofagus,
akalasia
dan
dismotilitas
esofagus
(Perosi,2010)
2.8.1.3
Risedronat
Zoledronat
Zoledronat, merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang
ada adalah sediaan intravena yang harus diberikan perdrip selama 15 menit untuk
dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis, cukup diberikan dosis 5 mg setahun
sekali, sedangkan untuk pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat
diberikan 4 mg per-drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung responsnya.
(Setyohadi,2014)
2.8.1.5
Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti estrogen
Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang
dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi peningkatan
resorpsi tulang, misalnya pada penderita osteoporosis, penyakit Paget dan
hiperkalsemia akibat keganasan. Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut
sudah mulai bekerja sehingga aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin
jugamempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek
ini masih kontroversial. Efek lain yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak
hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesic kalsitonin, misalnya
peningkatan kadar -endorfin, penghambatan sintesis PGE.
Kalsitonin, merupakan obat yarg telah direkomendasikan oleh FDA untuk
pengobatan
penyakit
penyakit
yang
miningkatakan
resorpsi
tulang
dan
penggunaan
daripada
preparat
injeksi
yang
pertama
kali
diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 U perhari.
Kadar puncak didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit, dan akan
dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada sekitar separuh pasien yang
mendapatkan kalsitonin lebih dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan
mengurangi efektifitas kalsitonin.(Setyohadi,2014)
2.8.1.7
Strontium Ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda,
2.8.1.8
mendeteksi
kemungkinan
kanker
payudara,
harus
dilakukan
Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi,
ternyata tidak mencukup untuk mencegah fraktur pada penderita osteoporosis.
Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung
kalsium elemen 400 mg/gram disusul Kalsium fosfat yang mengandung kalsium
elemen 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211
mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen 130 mg/gram dan
kalsium glukonat yang ,mengandung kalsium elemen 90 mg/gram. ( Perosi,2010)
2.8.2
2.8.2.1
sepanjang hidup. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah olahraga. Olahraga
memberikan keuntungan pada proses osteogenik terutama oleh olahraga yang
melibatkan gaya beban tinggi. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya
regangan biomekanis yang dihasilkan kontraksi otot selama olahraga sebagai
contributor dominan terhadap pertambahan massa tulang berupa peningkatan BMD
(Bone Mass Density). Beberapa hal yang dilakukan seperti aktivitas jalan-jalan tetap
dipertahankan. Kemudian penderita dapat melakukan jalan-jalan sepanjang 1 mil
dua kali sehari, dan jika mungkin berenang. Penderita harus menghindari latihan
fisik dan manuver yang meningkatkan gaya kompresif dan stres mekanis pada
vertebra dan tempat tulang perifer. Dan prosedur rehabilitasi untuk spasme otot
punggung dan dorongan berjalan-jalan (Dambro, 2006).
2.8.2.2
penurunan
kehilangan
kalsium(Dambro, 2006).
massa
tulang
pada
kelompok
yang
diberi
T
abel 2.11 Asupan Kalsium dan Vitamin D yang dianjurkan (Phillips, 2008)
Pembedahan
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga
mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin
2.8.2.4
FISIOTERAPI
Aktivitas fisik yang dilakukan seumur hidup sangat disarankan sesuai dengan
kebutuhan, yaitu 60 menit sehari pada anak umur 8 tahun atau lebih, dan 30 menit
untuk dewasa. Terapi latihan adalah elemen yang sangat penting dari program
rehabilitasi bagi pasien dengan osteoporosis, dan harus disesuaikan dengan setiap
kemampuan pasien serta antisipasi kemungkinan patah tulang. Latihan akan
memeberikan manfaat meningkatkan kekuatan otot dan tulang, fleksibiltas
sendi,keseimbangan dan mencegah jatuh. Latihan pembebanan dan kekuatan serta
stratego pencegahan jatuh di rumah dan komunitas, juga sangat berguna. Walaupun
factor genetika mempengaruhi masa tulang dan struktur sampai dengan 50-90%,
Pola gaya hidup yang baik juga mempengaruhi. Anamnesis dan pemeriksaan
densitas tulang, dapat menunjukan penurunan massa tulang dan menentukan
latihan pencegahan guna menghindari cidera. Program latihan harus mencakup
tujuan jangka pendek dan jangka panjang, yang harus di evaluasi secara spesifik
untuk setiap pasien. Edukasi kepada pasien mencakup posis postur tubuh yang
baik, mekanika tubuh, cara meningkatkan keuatan otot dan tulang serta kapasitas
aerobic yang diperlukan.
sebaiknya
menghindari mengangkat barang yang berat. Hindari berbagai hal yang dapat
menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedatif dan
obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik.(Perosis,2010)
BAB III
KESIMPULAN
farmakologis
meliputi
obat-obatan,
hormon,
antara
lain
DAFTAR PUSTAKA
Law MR, Hackshaw AK. A meta-analysis of cigarette smoking, bone mineral density
and risk of hip fracture: recognition of a major effect. BMJ 1997;
315:841-6.
Levi, Giovanni et al. Bones, Genes and Fractures: Workshop on the Genetics of
Osteoporosis: From Basic to Clinical Research. EMBO Reports 3.1
(2002): 2226. PMC. Web.
NIH,
2015.
http://nihseniorhealth.gov/osteoporosis/riskfactors/01.html.
tanggal 14 November 2015 pukul 06.15
Diakses