Anda di halaman 1dari 33

RESPONSI

OSTEOPOROSIS

Oleh :
Rahmanda Taqwa

105070100111075

Novita Apramadha K.S

115070107111050

Hanani Octaviani

115070100111103
Pembimbing :

dr. C. Singgih Wahono Sp.PD-KR

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit degeneratif merupakan salah satu penyakit dengan angka kejadian
yang makin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu penyakit degeneratif dengan
angka kejadian yang naik tiap tahunnya adalah osteoporosis. Saat ini, osteoporosis
merupakan masalah kesehatan masyarakat utama yang berdampak di bidang
kesehatan dan ekonomi, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia (Raef
et al, 2011).
Osteoporosis berasal dari bahasa Yunani osteo yang berarti tulang dan pore
yang berarti pori (Monash, 2010). Osteoporosis merupakan penyakit yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang disertai gangguan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi rapuh. Penurunan massa tulang pada osteoporosis
umumnya tidak menimbulkan gejala khusus sampai muncul fraktur, sehingga
osteoporosis sering disebut silent epidemic disease. Namun, osteoporosis
merupakan penyakit yang dapat dicegah secara dini sejak janin dalam kandungan
dan dikendalikan sejak awal apabila seseorang telah memiliki faktor risiko. Usia
yang ideal untuk melakukan upaya pencegahan dini adalah usia 8-17 tahun karena
pada periode ini proses pertumbuhan tulang mencapai masa puncaknya yaitu
sekitar 90% (Kemenkes, 2009).
Data mengenai prevalensi osteoporosis di Indonesia yang disusun oleh
Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan Fonterra Brands Insonesia
menyatakan, pada tahun 2006, 2 dari 5 orang Indonesia memiliki risiko terkena
osteoporosis, dimana perbandingan angka ini lebih tinggi dibandingkan perbandinga
di dunia yaitu 1 dibanding 3 orang. Fraktur sebagai salah satu manifestasi dari
osteoporosis menimbulkan dampak serius bagi kesehatan, kualitas hidu, dan efek
psikologis seseorang. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadinya nyeri kronik (66%
pasien wanita dengan fraktur dan 40% pasien wanita tanpa fraktur), disabilitas
aktivitas fisik dan sosial, masalah psikologis seperti depresi, hingga kematian.
Fraktur akibat osteoporosis telah menyebabkan jangka waktu masuk rumah sakit
lebih lama pada pasien wanita usia lebih dari 45 tahun dibandingkan penyakit lain.
Selain itu, berdasarkan pengukuran dengan DALY (Disability-Adjusted Life Year),

osteoporosis merupakan penyakit kedua terbanyak setelah penyakit paru yang


menyebabkan disabilitas (IOF, 2015; Bianchi et al, 2005).

1.2 MANFAAT
Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, faktor resiko, etiologi,
patogenesis, diagnosis, dan tatalaksana, dan pencegahan osteoporosis.
1.3 TUJUAN
Diharapkan dengan adanya responsi kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan pembaca khususnya dokter muda agar dapat menangani kasus oteoporosis
sebagai dokter umum di kemudian hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang

menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health
(NIH) mengajukan definisi baru yaitu penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan
adanya compromised bone strength dan menyebabkan tulang lebih mudah patah
(PEROSI, 2010). Gangguan yang terjadi pada osteoporosis ditandai

dengan

peningkatan tingkat kerapuhan tulang akibat penurunan kualitas dan kuantitas


massa tulang. Salah satu penanda yang digunakan untuk melihattingkat kekuatan
tulang adalah densitas mineral tulang atau bone mineral density (BMD) (Finkelstein
JS 2004).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis merupakan salah satu kasus yang menjadi perhatian di bidang
kesehatan masyarakat dengan lebih dari 200 juta kasus osteoporosis di dunia.
Osteoporosis telah menyebabkan fraktur sebanyak 8,9 juta kasus tiap tahunnya
dengan kejadian fraktur muncul tiap 3 detik tiap hari. 30 % kasus osteoporosis terjadi
pada wanita post-menopause di Eropa, Amerika, dan Jepang. Umur merupakan
faktor risiko utama peningkatan prevalensi osteoporosis pada wanita post
menopause. Osteoporosis terjadi pada 10% kasus pada usia 60 tahunan, 20%
kasus pada usia 70 tahunan, dan 40% kasus pada pasien usia 80 tahunan, dan 60
% kasus pada usia lebih dari 90 tahun. Secara keseluruhan, 61% kasus
oosteoporosis terjadi pada wanita, dengan rasio wanita dibandingkan pria adalah
1,6. Berdasarkan perkiraan International Osteoporosis Foundation, pada tahun
2050, kasus osteoporosis akan meningkat sebesar 310 % pada pria dan 240%
pada wanita pada tahun 2050 (IOF, 2015).
2.3 FAKTOR RISIKO
Osteoporosis merupakan kelainan pada tulang dengan berbagai faktor
penyebab. Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi keretanan seseorang
terhadap osteoporosis adalah umur, genetik, lingkungan, sifat fisik tulang, hormon
endogen dan penyakit kronik.
2.3.1 UMUR

Umur merupakan salah satu faktor risiko pada kasus osteoporosis. Terjadi
peningkatan risiko osteoporosis sebesar 1,4-1,8 kali lebih besar tiap penambahan 10
tahun umur tiap individu. Insiden fraktur pergelangan meningkat secara bermakna
pada umur 50-an, frakur vertebrae setelah umur 60 tahun, dan fraktur pelvis pada
umur 70 tahun. Peningkatan risiko osteoporosis seiring pertambahan umur individu
disebabkan terjadi penipisan tulang yang progresif yang tidak diimbangi remodeling
tulang (PEROSI, 2010).
2.3.2 GENETIK
Kasus osteoporosis juga berhubungan dengan faktor ras. Prevalensi kasus
osteoporosis lebih tinggi pada ras Kaukasian/ Oriental dibandingkan pada ras Afrika
maupun Polinesia. Prevalensi kasus fraktur pelvis pada orang kulit putih lebih tinggi
dibandingkan orang kulit hitam di Afrika dan Amerika Serikat. Osteoporosis juga
lebih sering terjadi pada wanta dibandingkan laki-laki dengan perbandingan risiko
2:1. Hal ini dikarenakan BMD pada wanita lebih rendah dan massa tulang wanita
lebih kecil dibandingkan laki-laki. Selain itu, perubahan kadar hormon yang terjadi
setelah menopause juga berperan terhadap meningkatnya prevalensi osteoporosis
pada wanita dibandingkan laki-laki. Riwayat keluarga juga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kerentanaan seseorang terhadap osteoporosis (PEROSI,
2010).
Genetik merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam regulasi
densitas tulang, geometri tulang, dan turn over tulang yang berkontribusi terhadap
pathogenesis osteoporosis yaitu kaskade regulator transkripsi, jalur signaling untuk
diferensiasi osteoklas dan osteoblast. Salah satu aktivator transkripsi yang penting
sebagai aktivator diferensiasi osteoblast adalah Cbfa-1. Cbfa-1 berfungsi untuk
mengontrol ekspresi protein struktural mayor matriks tulang. Selain Cbfa-1, anggota
famili Fos yang berperan sebagai faktor transkripsi adalah c-Fos, FosB, -FosB,
Fra1, dan Fra2. Faktor-fator ini berperan dala diferensiasi sel tulang. Apabila terjadi
inaktivasi c-Fos, tulang akan mengalami defisiensi pada remodelling tulang dan
terjadi osteoporosis. Selain masalah faktor transkripsi, masalah regulator trans juga
berperan dalam osteoporosis. Salah satu elemen regulator trans adalah Collagen

type I (COL 1). Ketidakseimbangan kadar elemen COL 1AI dan COL 1AII akan
memicu penurunan kulitas kolagen dan penurnan kekuatan tulang (Levi et al, 2002).
2.3.3 LINGKUNGAN
Faktor lingkungan yang mempengaruhi peningkatan prevalensi kasus
osteoporosis adalah faktor makanan, faktor aktivitas fisik, obat-obatan, konsumsi
alkohol, merokok, dan riwayat trauma. Salah satu makanan yang meningkatkan
risiko terjadinya osteoporosis adalah konsumsi alkohol. Konsumsi alohol lebih dari 2
unit/hari akan meningkatkan risiko terjadi osteoporosis. Selain alkohol, riwayat
kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D juga
meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis. Kalsium merupakan salah satu
komponen pembentuk massa tulang sedangkan vitamin D merupkan prekursor yang
mengubah kalsium menjadi aktif shingga dapat berfungsi dalam proses remodelling
tulang. Kebutuhan sehari-hari kalsium tiap individu rata-rata adalah 1000 mg per hari
dan meningkat menjadi 1300 mg per hari pada wanita usia diatas 50 tahun dan pria
usia 70 tahun. Rendahnya vitamin D aktif dalam tubuh juga menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya osteoporosis. Hal ini disebabkan salah satunya kurangnya paparan
sinar matahari yang membantu aktivasi vitamin D (NIH, 2015).
Riwayat merokok juga meningkatkan risiko terjadi osteoporosis. Kasus
osteoporosis meningkat secara signifikan pada pasien wanita usia tua dan pasien
pria dengan merokok. Sedangkan pada wanita, produksi estrogen pada wanita yang
memiliki riwayat merokok lebih rendah dan lebih cepat megalami menopause bila
dibandingkan wanita tanpa riwayat merokok (NIH, 2015; Law MR, et al, 1997).
Riwayat trauma meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis sebesar dua kali
lipat. Peningkatan risiko ini terjadi terutama pada fraktur vertebrae. Pada individu
dengan fraktur vertebrae melibatkan lebih dari 2 ruas vertebrae, risiko terjadi
osteoporosis meningkat 12 kali lipat dengan BMD berapapun. Pasien dengan
riwayat fraktur vertebrae memiliki risiko 1,4 kali lipat lebih besar mengalami fraktur
lengan bawah (Setyohadi, 2014).
Obat-obatan yang menyebabkan peningkatan risiko terjadi osteoporosis
adalah glukokortikoid, steroid, antikonvulsan, Proton Pump Inhibitor (PPI),

antikoagulan, antikonvulsan, obat kemoterapi. Glukokortikoid merupakan obat yang


paling sering menyebabkan osteoporosis. Kasus terbanyak terjadi pada pasien yang
menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama, dengan jumlah kasus
sebanyak 30-50 % kasus. Selain glukokortikoid, obat antikonvulsan juga merupakan
penyebab osteoporosis. Beberapa contoh obat antikonvulsan yang memicu
osteoporosis adalah fenobarbital, fenitoin, pirimidon, dan karbamazepin. Obat lain
yang memicu terjadinya osteoporosis adalah antikoagulan. Heparin merupakan
salah satu obat antikoagulan yang memicu osteoporosis. Peggunaan heparin
selama lebih dari 3 bulan berhubungan dengan kejadian osteoporosis dan fraktur
vertebrae (Cour, 2010).
Riwayat konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor risiko tejadinya
osteoporosis. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang berpengaruh terhadap
proses remodeling dan
density

(BMD)

memperburuk

turnover tulang dengan memicu penurunan bone mass

sehingga
kondisi

meningkatkan

tulang

dengan

risiko

terjadinya

mengganggu

fraktur.

proliferasi

Alkohol

osteoblast.

Terganggunya proses proliferasi dan fungsi osteoblast menyebabkan malabsorbsi,


peningkatan ekskresi renal, dan teganggunya hormon yang meregulasi kadar
kalsium seperti hormon paratiroid, kalsitonin, dan metabolism vitamin D (Sommer et
al, 2012).
2.3.4 HORMON ENDOGEN DAN PENYAKIT KRONIK
Beberapa hormon endogen memiliki pengaruh terhadap peningkatan risiko
osteoporo sis seperti estrogen, androgen, dan glukokortikoid. Kejadian osteoporosis
meningkat pada individu dengan defisiensi estrogen, defisiensi androgen, dan
peningkatan kadar gukokor tikoid. Peningkatan kadar glukokortikoid menyebabkan
absorbsi kalsium di usus terganggu dan ekskresi kalsium melalui ginjal meningkat
sehingga terjadi hipokalsemia. Selain itu, glukokortikoid juga menekan produksi
hormone gonadotropin sehingga produksi estrogen mengalami penurunan dan
menyebabkan peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja osteoblast. Hasil
dari peningkatan kerja osteoklas dan penurunan aktivitas osteoblast adalah proses
osteoporosis yang progresif (Setyohadi, 2014).

Beberapa penyakit memiliki peran dalam peningkatan risiko osteoporosis


seperti sirosis hepar, tirotoksikosis, dan hiperkortisolisme. Gastrektomi juga
merupakan salah satu prosedur yang meningkatkan risiko osteoporosis dikarenakan
luas permukaan mukosa lambung yang berfungsi untuk menyerap kalsium
berkurang (Setyohadi, 2014).
2.3.5 SIFAT FISIK TULANG
Sifat fisik tulang merupakan salah satu faktor risiko yang berperan terhadap
kejadian osteoporosis. Sifat fisik tulang meliputi densitas massa tulang, ukuran
tulang, mikroarsitektur tulang, dan komposisi tulang. Penurunan densitas tulang
(dengan memperhatikan umur) sebesar 1 SD berhubungan dengan peningkatan
risiko fraktur sebesar 1,5-3 kali lipat (Setyohadi, 2014).
2.5 PATOGENESIS
2.5 Patogenesis
2.5.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang
Fungsi mayor dari tulang antara lain: (1) menyokong tubuh secara struktural;
(2) memproteksi organ vital; (3) menyediakan lingkungan untuk sumsum tulang
dimana sel-sel darah diproduksi; (4) Sebagai tempat untuk menyimpan beberapa
mineral seperti kalsium.
Tulang terbentuk atas bagian luar yang keras (korteks) dan bagian dalam
yang lebih ringan, spongy yang disebut trabekular. Sebagaimana jaringan ikat
lainnya, tulang terdiri atas komponen matriks dan sel. Matriks terdiri atas serat
kolagen dan protein non kolagen. Sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas,
osteosit dan osteoklas (Setyohadi, 2014).

Gambar 2.1 Bagian-bagian tulang (Sumber: http://www.iofbonehealth.org/)


Osteoblas merupakan derivat dari

mesenchymal stem cells yang

bertanggungjawab dalam sintesis matriks tulang (osteoid) pada proses formasi


tulang. Selain itu, osteoblas berperan dalam memulai proses resorpsi tulang dengan
cara membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi

melalui berbagai

proteinase netral yang dihasilkannya. Pada permukaan osteoblas, terdapat berbagai


reseptor permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang, termasuk resorpsi
tulang, sehingga osteoblas merupakan sel yang penting dalam proses bone turnover
(Setyohadi, 2014).
Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam di dalam matriks tulang. Sel ini
berasal dari osteoblas, terletak di dalam rongga yang disebut lakuna dan memiliki
juluran sitoplasma (prosesus) yang menghubungkan antara satu osteosit dengan
osteosit lainnya (terletak di kanilikuli) disebut dengan bone lining cells di permukaan
tulang

membentuk

sistem

lakunokanilikular

(LCS),

fungsi

osteosit

belum

sepenuhnya diketahui, namun diduga berperan pada transmisi signal dan stimuli dari
satu sel ke sel lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasal dari sel mesenkimal
yang terdapat di dalam sumsul tulang, periosteum, dan endotel pembuluh darah.
Sekali osteoblas mensintesis osteosit maka osteoblas akan langsung berubah
menjadi osteosit dan terbenam di dalam osteosit yang disintesisnya (Setyohadi,
2014).

Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses


resorpsi tulang. Pada tulang trabekular, osteoklas akan membentuk cekungan pada
permukaan tulang yang aktif yang disebut dengan lakuna Howship. Sedangkan pada
tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut sebagai hasil resorpsinya yang
disebut dengan cutting cone,

dan osteoklas berada di apex kerucut tersebut.

Osteoklas merupakan Giant cell yang berasal dari sel hematopoetik mononuklear
(Setyohadi, 2014).
Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak masa tulang tercapai, maka
proses remodelling tulang akan dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas
akan melakukan resorpsi tulang sehingga menghasilkan rongga yang disebut lakuna
Howship pada tulang trabekular atau rongga kerucut (cutting cone) pada tulang
kortikal. Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang
pada rongga yang ditinggalkan osteoklas serta membentuk matriks tulang yang
disebut osteoid. Proses ini dilanjutkan dengan mineralisasi primer yang berlangsung
dalam jangka waktu singkat kemudian dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder
dalam waktu yang lebih panjang dan tempo yang lebih lambat sehingga tulang
menjadi keras (Setyohadi, 2014).

Gambar 2.2 Komponen jaringan ikat pada tulang (Sumber:


http://www.iofbonehealth.org/)
2.5.2 Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya.
Osteoporosis primer dibagi menjadi osteoporosis tipe I (osteoporosis pasca
menopause) dan osteoporosis tipe II (osteoporosis senilis) (Setyohadi, 2014).
2.5.2.1 Osteoporosis Tipe I

Pasca menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama


pada dekade awal, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan
radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang
trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah
dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang,
keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover.
Estrogen berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow
yang berperan serta sel-serl mononuklear sepeti IL-1, IL-6 dan TNF- yang
meningkatkan kerja osteoklas. Oleh sebab itu,

penurunan kadar estrogen

akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut


sehingga aktifitas osteoklas meningkat. Selain peningkatan aktifitas osteoklas,
menopause menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi
kalsium di ginjal serta dapat menurunkan sintesis berbagai protein yang
membawa 1,2 (OH)2D, menyebabkan keseimbangan negatif pada kalsium
yang dikompensasi dengan peningkatan hormon paratiroid (PTH) (Setyohadi,
2014).

Gambar 2.3 Patogenesis osteoporosis pasca menopause (Setyohadi, 2014)


2.5.2.2 Osteoporosis Tipe II
Wanita cenderung mengalami kehilangan kekuatan tulang spinalnya
sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58% selama hidupnya.
Pada

dekade

ke

delapan

dan

sembilan

kehidupannya,

terjadi

ketidakseimbangan remodeling tulang dimana resorpsi tulang meningkat,


tetapi formasi tulang tidak berubah atau menurun. Sehingga terjadi kehilangan
massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko
fraktur(Setyohadi, 2014).
Hingga saat ini, penyebab menurunnya formasi tulang yang diperankan
oleh osteoblas belum diketahui pasti. Diduga berkaitan dengan penurunan
kadar estrorgen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga berperan
dalam

patogenesis

oestoporosis.

Kekurangan

asupan

kalsium

akan

menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga semakin


meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan masa tulang. Faktor lain yang
juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah
faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi
lama). Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting
sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki
maupun perempuan (Setyohadi, 2014).

Gambar 2.4 Patogenesis osteoporosis tipe II dan fraktur (Setyohadi,


2014)

2.5.3 Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya.


Penyebabnya dapat berupa penyakit yang menginduksi osteoporosis maupun obatobatan. Pada penyakit yang diakibatkan kelainan endokrin, glukokortikoid menjadi
penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak.
Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di ususoleh
peningkatan

ekskresi

kalsium

lewat

ginjal

sehingga

akan

dan

menyebabkan

hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain


itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin sehingga produksi
estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya (Setyohadi,
2014).
2.6 Manifestasi Klinis
Fraktur vertebra adalah gambaran fraktur osteoporosis paling sering yang
dapat terjadi tanpa adanya trauma atau setelah trauma minimal. Pada orang dengan
usia di atas 50 tahun, prevalensi fraktur vertebra antara pria dan wanita adalah
sama. Fraktur panggul merupakan suatu konsekuensi osteoporosis. Dua determinan
utama pada risiko fraktur panggul adalah bone mineral density (BMD) yang rendah
dan meningkatnya risiko jatuh. Fraktur radius distal adalah jenis fraktur yang sering
terjadi pada wanita dengan osteoporosis dan menjadi manifestasi awal osteoporosis
(Szulc, 2011).
2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis

berperan

penting

pada

evaluasi

penderita

osteoporosis.

Terkadang keluhan utama dapat langsung mengarah pada diagnosis. Adapun


beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan anamnesis pada penderita
osteoporosis yaitu:
1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau
peningkatan kifosis torakal.
2. Penyaki-penyakit yang dapat menjadi faktor predisposisi osteoporosis,
antara lain:
a. Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushingr, diabetes melitus,
penyakit tiroid, penyakit adison, hipogonadisme, menopause dini.

b. Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal,


riwayat urolitiasis.
c. Penyakit hati seperti sirosis bilier primer, transplantasi hati.
d. Adanya kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orangyang
jarang terpajan sinar matahari.
e. Penyakit hematologi misalnya mieloma multipel, anemia sideroblastik,
talasemia.
f. Obat-obatan yang digunakan sebagai anti epileptik seperti dilantin dan
fenobarbital ternyata dapat menurunkan densitas masa tulang.
g. Penyakit gastrointestinal misalnya sindrom malabsorpsi, penyakit kolon
inflamatif dan reseksi usus.
h. Penyakit reumatik, misalnya artritis reumatoid, spondilitis ankilosa,
penyakit reiter.
3. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan osteoporosis
seperti kortikosteroid, obat anti epileptik, siklosporin, litium, dan lain-lain.
4. Riwayat haid, termasuk umur menarke dan menopause, keteraturan haid,
riwayat kehamilan.
5. Anamnesis gizi, terutama untuk menilai asupan kalsium.
6. Adanya kebiasaan yang dapat menjadi faktor risiko osteoporosis seperti
merokok, minum alkohol, kurang berolahraga.
7. Riwayat kelainan payudara, genitalia dan penyakit vaskuler yang mungkin
akan mempengaruhi keputusan pemberian terapi pengganti hormonal
(PEROSI, 2010).
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada setiap pasien osteoporosis dilakukan pengukuran tinggi badan dan
berat badan, penilaian pada gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality,
nyeri spinal. Sklera yang biru biasanya dapat ditemukan pada penderita
osteogenesis imperfekta. Biasanya juga disertai ketulian, hiperlaksitas ligamen,
hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Pada anak-anak dengan vitamin Ddependent rickets tipe II sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya berambut
jarang. Pada rickets, beberapa pemeriksaan fisik seringkali dapat mengarahkan ke
diagnosis seperti perawakan pendek, nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih,

penonjolan sendi kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang


panjang dan kelainan gigi. Pada hipokalsemia dapat ditemukan adanya iritasi
muskuloskleletal yang berupa tetani. Biasanya didapatkan aduksi jempol tangan,
fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi IP. Pada kondisi yang laten, akan
dijumpai Chovstek dan Trosseau. Penderita osteoporosis sering menunjukkan kifosis
dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan
protuberensia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda
McConkey) (PEROSI, 2010).
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1. Pemeriksaan Biokimia Tulang
Pemeriksaan Biokimia tulang dibedakan atas biomarker pada proses
pembentukan dan resorpsi tulang. Biomarker pembentukan tulang antara lain
fosfatase alkali (AIP), osteocalcin (OC),

procollagen-1-peptides: p1-

carboxyterminal propeptide (P1CP) dan p1-N-terminal propeptide (P1NP),


semua diukur dalam serum. Biomarker resorpsi tulang antara lain
hydroxyproline

(HYP),

pyridinium

cross-link:

pyridinoline

(PYD),

deoxypyridinoline (DPD), collagen-1-N-terminal telopeptide (INTP/NTX),


collagen-1-C-terminal telopeptide (ICTP/CTX) dan collagen-1-C-terminal
telopeptide (-CTX = -CrossLaps). Semua parameter tersebut diukur
dalam urin kecuali -CrossLaps diukur dalam serum (PEROSI, 2010).
Adapun tujuan pemeriksaan biokimiawi tulang adalah untuk mengenal
pasien dengan risiko osteoporosis, kehilangan tulang yang cepat, risiko
fraktur tulang paha, memilih terapi yang paling sesuai, memantau pasien
yang mendapatkan terapi kortikosteroid jangka lama, memantau serta
menilai respon terhadap terapi dan mempelajari pathogenesis osteoporosis.
Pemeriksaan ini diindikasikan terutama untuk wanita berusia dengan risiko
osteoporosis, masa perimenopause sampai senilis, serta dianjurkan pada
semua orang yang diduga osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid
jangka lama, merokok, konsumsi alcohol, kecenderungan fraktur karena
trauma ringan, riwayat keluarga dan arthritis rheumatoid (PEROSI, 2010).
2.7.3.2 Pemeriksaan Radiologi

Melalui pemeriksaan radiologi, osteoporosis dapat ditentukan dengan


menilai struktur trabekula dan lusensi dari tulang. Osteoporosis memberikan
gambaran tulang menjadi lebih lusen atau radiodensitasnya berkurang,
trabekulasi menjadi jarang dan kasar yang disertai penipisan pada korteks,
korpus vertebra mengalami perubahan bentuk yaitu trabekulasi komponen
vertikal lebih dominan dan bentuk menjadi lebih pipih (PEROSI, 2010).
Pada pasien yang diduga mengalami osteoporosis, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral untuk
mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk
mendeteksi

osteoporosis

pemeriksaan ini

secara

dini

kurang

memuaskan

karena

baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah penurunan

densitas masa tulang lebih dari 30% (PEROSI, 2010).


2.7.3.3 Pemeriksaan Densitometri Tulang
Diagnosis osteoporosis dapat dilakukan, dengan cara mengukur
densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis akan
dapat dideteksi lebih dini sebelum fraktur terjadi. Pemeriksaan BMD
merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat mengukur kepadatan tulang.
Ada bermacam-macam teknik densitometri mulai dari yang sederhana
sampai yang canggih. Saat ini yang banyak digunakan adalah teknik Dual Xray absorptiometry (DXA) (Setyohadi, 2014).
DXA merupakan baku emas untuk pengukuran BMD yang dapat
mengukur tulang-tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan
femur proksimal, maupun tulang-tulang perifer seperti lengan bawah, bahkan
dapat mengukur BMD seluruh tubuh (total body). Tujuan pengukuran BMD
adalah mendiagnosis osteoporosis, memprediksi risiko fraktur dan memonitor
terapi. Sedangkan indikasi pemeriksaan BMD antara lain:
1. Wanita berusia di atas 65 tahun
2. Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan faktor risiko.
3. Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih.
4. Orang dewasa dengan fraktur fragilitas.

5. Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya tinggi badan > 5 ft
7 In, berat badan < 127 lb, riwayat merokok, riwayat maternal dengan
fraktur panggul.
6. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan
densitas masa tulang rendah atau kehilangan masa tulang, misalnya
hiperparatiroidisme,

sindrom

malabsorpsi,

hemigastrektomi,

hipertiroidisme.
7. Orang dewasa yang mengkonsumsi obat-obatan yang berpotensi
menyebabkan densitas masa tulang rendah atau kehilangan masa tulang,
misalnya

glukokortikoid,

anti

konvulsan,

heparinisasi

kronik

dan

sebagainya.
8. Setiap orang yang dipertimbangkan memerlukan terapi farmakologi untuk
osteoporosis.
9. Untuk memantau efek pengobatan pada seseorang yang dalam terapi
osteoporosis.
10.

Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan masa tulang tetapi

tidak mendapatkan terapi, walaupun sebenarnya membutuhkan terapi


(PEROSI, 2010).
Pada pengukuran BMD dengan DXA, didapatkan nilai BMD areal
(dalam

satuan

gr/cm2),

T-score

dan

Z-score.

T-score

merupakan

perbandingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang muda normal
dan dinyatakan dengan skor deviasi standard (SD). Z-score merupakan
perbandingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien
yang juga dinyatakan dalam skor deviasi standard (SD). Adapun rumus
menentukan T-score Z-score adalah sebagai berikut:

Gambar 2.5 Rumus menentukan nilai T-score dan Z-score (Setyohadi, 2014)

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region Of Interest, ROI) pada


pemeriksaan BMD adalah sebagai berikut:
1. Tulang belakang (L1-L4)
2. Panggul
-

Femoral neck

Total femoral neck

Trokanter

3. Lengan bawah (33% radius), bila:


-

Tulang belakang dan/atau panggul tidak dapat diukur

Hiperparatiroidisme

Sangat obese

Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan
untuk diagnosis osteoporosis (PEROSI, 2010).

Gambar 2.6 Tindakan berdasarkan hasil T-score (PAPDI)

Gambar 2.7 Klasifikasi Diagnostik Osteoporosis (WHO study group 1994)


(Setyohadi, 2014)
2.7.3.4 Fracture Risk Assessment Tool (FRAX)
FRAX merupakan suatu metode yang dikembangkan oleh WHO untuk
mengevaluasi faktor risiko osteoporosis pada seseorang. Melalui aplikasi ini,
dapat dihitung kemungkinan berapa persen (%) terjadinya patah tulang pada
10 tahun mendatang.

Gambar 2.8 FRAX

Online (Sumber: World Health Organization

Collaborating Centre for Metabolic Bone Diseases, University of


Sheffield, UK)

2.8 Terapi
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja
osteoklas (anti resorptif) dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti
resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Nafluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti
resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi
osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan
menyebabkan peningkatan produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat
menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.(Setyohadi,2014)
2.8.1

Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis pada osteoporosis meliputi pemberian senyawa kimia

berupa obat-obatan, hormon, antara lain bisphosphonate, selective estrogen


receptor modulators (SERMs), kalsitonin, teriparatide, dan estrogen.
2.8.1.1

Bifosfonat
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat

yang diikat satu sama lain oleh atom karbon dan mempunyai efek menghambat
kerja osteoklas. Secara farmako dinamik, absorpsi bisfosfonat sangat buruk,
sehingga harus diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air
putih dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Selain itu,
bisfosfonat generasi I juga memiliki efek samping lain, yaitu

mengganggu

mineralisasi tulang, sehingga tidak boleh diberikan secara kontinyus, harus siklik,
misalnya etidronat dan klodronat. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis
dan hipokalsemia. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh bisfosfonat harus
diperhatikan asupan kalsiumnya. (Setyohadi,2014)

Gambar 2.9 Macam macam golongan Bisfosfonat (Setyohadi,2014)


2.8.1.2

Alendronat
Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Untuk terapi

osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu,
karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget, diberikan dosis
40 mg/hari selama 6 bulan. Saat ini telah dikembangkan pemberian alendronat 70
mg seminggu sekali. Dosis ini dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan
pasien. Efek samping yang terjadi bias mengakibatkan mengiritasi esofagus dan
menyebabkan esophagitis erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan
afu yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan
esofagus,

misalnya

striktura

esofagus,

akalasia

dan

dismotilitas

esofagus

(Perosi,2010)

2.8.1.3

Risedronat

Risedronat, juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang poten. Untuk


mengatasi penyakit Paget, diperlukan dosis 30 mglhari selama 2 bulan, sedangkan
untuk teragi osteoporosis diperlukan dosis 5 mglhari secara kontinyu. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa risedronat merupakan obat yang efektif untuk
mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur pada wanita dengan
osteoporosis pasca menopause dan wanita dengan menopause artifisial akibat
pengobatan karsinoma payudara. Sama halnya dengan alendronat, untuk
pengobatan osteoporosis, saat ini tengah diteliti pemberian risedronat 35 rng
seminggu sekali.(Setyohadi,2014).
2.8.1.4

Zoledronat

Zoledronat, merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang
ada adalah sediaan intravena yang harus diberikan perdrip selama 15 menit untuk
dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis, cukup diberikan dosis 5 mg setahun
sekali, sedangkan untuk pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat
diberikan 4 mg per-drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung responsnya.
(Setyohadi,2014)
2.8.1.5

Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti estrogen

di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan endometrium dan


payudara. Golongan preparat ini disebut juga selective estrogen receptor modulators
(SERM). Obat ini dibuat untuk pengobatan osteoporosis dan FDA juga telah
menyetujui penggunaannya untuk pencegahan osteoporosis. Mekanisme kerja
raloksifen terhadap tulang, sama dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui
dengan pasti, tetapi diduga melibatkan TGF, yang dihasilkan oleh osteoblas dan
osteoklas dan berfungsi menghambat diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa
tulang. Pada penelitian terhadap 251 wanita pasca menopause, ternyata raloksifen
dapat menurunkan kadar kolesterol 5-10% tanpa merangsang endometrium dan
menurunkan petanda resorpsi dan formasi tulang sama dengan estrogen. Gejala
klasik anti estrogen, seperti hot flushes, didapatkan pada 12-20% wanita yang
mendapatkan raloksifen, sementara mastalgia lebih banyak didapatkan pada wanita
yang mendapat estrogen. Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi dengan baik
dan mengalami metabolisme di hati. Raloksifen akan menyebabkan kecacatan janin,
sehingga tidak boleh diberikan apada wanita yang hamil atau berencana untuk
hamil. (Setyohadi,2014)
2.8.1.6

Kalsitonin
Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang

dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh
osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi peningkatan
resorpsi tulang, misalnya pada penderita osteoporosis, penyakit Paget dan
hiperkalsemia akibat keganasan. Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai
penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut

sudah mulai bekerja sehingga aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin
jugamempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek
ini masih kontroversial. Efek lain yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak
hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesic kalsitonin, misalnya
peningkatan kadar -endorfin, penghambatan sintesis PGE.
Kalsitonin, merupakan obat yarg telah direkomendasikan oleh FDA untuk
pengobatan

penyakit

penyakit

yang

miningkatakan

resorpsi

tulang

dan

hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti penyakit paget, Osteoporosis dan


hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan
mempermudah

penggunaan

daripada

preparat

injeksi

yang

pertama

kali

diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 U perhari.
Kadar puncak didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit, dan akan
dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada sekitar separuh pasien yang
mendapatkan kalsitonin lebih dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan
mengurangi efektifitas kalsitonin.(Setyohadi,2014)
2.8.1.7

Strontium Ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda,

yaitu meningkatkan kerja osteoblast dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya


tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat. mekanisme kerja
strontium ranelat belum jelas benar, diduga efeknya berhubungan dengan
perangsangan Calsium sensing receptor (CaSR) pada permukaan selsel tulang.
Dosis strontium ranelat adalah 2 gramlhari yang dilarutkan didalam air dan diberikan
pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan dan 2 jam setelah
makan. Sama dengan obat osteoporosis yang lain, pemberian strontium ranelat
harus dikombinasi dengan Ca dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak boleh
bersamaan dengan pemberian strontium ranelat. Efek samping strontium ranelat
adalah dispepsia. Pada beberapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan
reaksi obat yang disertai eosinofilia dan gejala sistemik lainnya.(Setyohadi,2014)

2.8.1.8

Terapi Pengganti Hormonal

a. Pada wanita pasca menopause


Estrogen terkonjugasi 0,3125 - 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan
medroksi progesteron asetat 2,5 -10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu.
untuk

mendeteksi

kemungkinan

kanker

payudara,

harus

dilakukan

mamografi sebelum pemberian terapi hormonal, kemudian diulang setiap


tahun. Estrogen diketahui dapat menghambat kehilangan massa tulang dan
penningkatan BMD rata-rata 3% selama 3 tahun. The Women's Health
Initiative juga mendapatkan bahwa estrogen dapat menurunkan risiko fraktur
verterbra dan panggul secara klinik sebesar 34% dalam 5 tahun terapi.
Walaupun demikian, pada tahun 2002, WHO juga mendapatkan bahwa terapi
pengganti hormonal berhubungan dengan peningkatan risiko infark miokard,
stroke, kanker payudara, emboli paru dan trombosis vena dalam.
b. Pada wanita pra-menopause
Estrogen terkonjugasi diberikan pada hari 1 sampai dengan 25 siklus
haid, sedangkan medroksi progesterone diberikan pada hari 15 s/d 25 siklus
haid. Kemudian kedua obat tersebut dihentikan pemberiannya pada hari 26
s/d 28 siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29, dianggap
sebagai hari 1 siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang kembali
seperti semula
c. Pada laki laki
Pada laki laki yang jelas menderita defisiensi testosterone dapat
dipertimbangkan pemberian testosterone untuk terapi. (Perosi,2010)
2.8.1.9 Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari
90% vitamin D disintesis di dalam tubuh dari prekursornya dibawah kulit oleh
paparan sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktifasi vitamin D
dibawah kulit berkurang, sehingga pada orang tua sering terjadi defisiensi vitamin D.
Kadar vitamin D didalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25-OH vitamin
D.
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg
kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur non-spinal

sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan pada orang-orang


tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar matahari, tetapi tidak
diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.(Perosi,2010)
2.8.1.10 Kalsitrol
Pemberian kalsitrol tidak diindikasikan sbeagai pilihan pertama pada
pengobatan osteoporosis pasca menopause. Diberikan bila terdapat hipolaksemia
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitrol
diberikan untuk pencegahan hiperparatirodisme sekunder, baik akibat hipokalsemia
maupun akibat gagal ginjal terminal. Pemberian dosis untuk kalsitrol adalah 0,25mg,
1 -2 kali per-hari. ( Perosi,2010)
2.8.1.11 Kalsium
Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari
kebutuhan

kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National

Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi,
ternyata tidak mencukup untuk mencegah fraktur pada penderita osteoporosis.
Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung
kalsium elemen 400 mg/gram disusul Kalsium fosfat yang mengandung kalsium
elemen 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211
mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen 130 mg/gram dan
kalsium glukonat yang ,mengandung kalsium elemen 90 mg/gram. ( Perosi,2010)

Tabel 2.10 Daftar obat Osteoporosis yang ada di Indonesia (Setyohadi,2014)

2.8.2
2.8.2.1

Terapi Non Farmakologis


Akvitas Fisik
Aktivitas fisik diperlukan dalam membentuk dan menjaga massa tulang

sepanjang hidup. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan adalah olahraga. Olahraga
memberikan keuntungan pada proses osteogenik terutama oleh olahraga yang
melibatkan gaya beban tinggi. Mekanisme tersebut disebabkan oleh adanya
regangan biomekanis yang dihasilkan kontraksi otot selama olahraga sebagai
contributor dominan terhadap pertambahan massa tulang berupa peningkatan BMD
(Bone Mass Density). Beberapa hal yang dilakukan seperti aktivitas jalan-jalan tetap
dipertahankan. Kemudian penderita dapat melakukan jalan-jalan sepanjang 1 mil
dua kali sehari, dan jika mungkin berenang. Penderita harus menghindari latihan
fisik dan manuver yang meningkatkan gaya kompresif dan stres mekanis pada
vertebra dan tempat tulang perifer. Dan prosedur rehabilitasi untuk spasme otot
punggung dan dorongan berjalan-jalan (Dambro, 2006).
2.8.2.2

Nutrisi dan Suplementasi Kalsium/Vitamin D


Nutrisi yang baik dan diet seimbang dengan kalori yang tepat, tidak berlebih

maupun kurang sangat diperlukan dalam pertumbuhan normal. Asupan kalsium


memiliki peran yang penting dalam menjaga dan mencapai massa tulang yang
adekuat. Sedangkan, Vitamin D diperlukan dalam proses absorbs kalsium di
intestinal. Kombinasi suplementasi vitamin D dan kalsium juga mampu menurunkan
resiko terjadinya fraktur. Pada Semua individu, diet diharapkan harus seimbang
dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup jika asupan diet yang cukup tidak
bisa dicapai, suplemen kalsium bisa diberikan (DiPiro, et al., 2006).
Namun diet penurun berat badan dapat dilakukan jika penderita mempunyai
berat badan yang berlebihan. Menurut hasil penelitian pada pemberian kalsium
1.500 mg/hari dengan syarat penderita tidak menderita hiperkalsiuria menunjukkan
terjadi

penurunan

kehilangan

kalsium(Dambro, 2006).

massa

tulang

pada

kelompok

yang

diberi

T
abel 2.11 Asupan Kalsium dan Vitamin D yang dianjurkan (Phillips, 2008)

Tabel 2.12 Makanan Kaya Kalsium, makanan diatas mengandung 300


mg kalsium dasar (Phillips, 2008)
2.8.2.3

Pembedahan

Pembedahan pada penderita osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama


fraktur panggul. beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah
penderita osteoporosis adalah :

1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan


bedah, sebaiknya segera dilakukan, sehingga dapat dihindari imobilisasi lama
dan komplikasi fraktur yang lebih lanjut

2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga
mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin

3. Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada penderita yang menjalani


tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna

4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa


osteoporosis dengan bisfosfonat, atau raloksifen, atau terapi pengganti
hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan. (Setyohadi,2014)

2.8.2.4

FISIOTERAPI
Aktivitas fisik yang dilakukan seumur hidup sangat disarankan sesuai dengan

kebutuhan, yaitu 60 menit sehari pada anak umur 8 tahun atau lebih, dan 30 menit
untuk dewasa. Terapi latihan adalah elemen yang sangat penting dari program
rehabilitasi bagi pasien dengan osteoporosis, dan harus disesuaikan dengan setiap
kemampuan pasien serta antisipasi kemungkinan patah tulang. Latihan akan
memeberikan manfaat meningkatkan kekuatan otot dan tulang, fleksibiltas
sendi,keseimbangan dan mencegah jatuh. Latihan pembebanan dan kekuatan serta
stratego pencegahan jatuh di rumah dan komunitas, juga sangat berguna. Walaupun
factor genetika mempengaruhi masa tulang dan struktur sampai dengan 50-90%,
Pola gaya hidup yang baik juga mempengaruhi. Anamnesis dan pemeriksaan
densitas tulang, dapat menunjukan penurunan massa tulang dan menentukan
latihan pencegahan guna menghindari cidera. Program latihan harus mencakup
tujuan jangka pendek dan jangka panjang, yang harus di evaluasi secara spesifik
untuk setiap pasien. Edukasi kepada pasien mencakup posis postur tubuh yang
baik, mekanika tubuh, cara meningkatkan keuatan otot dan tulang serta kapasitas
aerobic yang diperlukan.

2.9. FOLLOW UP DAN KIE


Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan
densitometri setelah 1- 2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya.
Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun penurunan densitas
massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil, karena resorpsi tulang
sudah dapat ditekan. Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang, maka
pemeriksaan petanda biokimia tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi
pengobatan.penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih
cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan yang dinilai adalah
penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.
Penderita dianjurakan untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk
memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta
kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yarg dapat
dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang. Begitu
pula dengan asupan kalsium 1000- 1500 mg/ hari baik melalui makanan sehari hari
maupun suplementasi. Pasien yang sudah pasti osteoporosis

sebaiknya

menghindari mengangkat barang yang berat. Hindari berbagai hal yang dapat
menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat sedatif dan
obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik.(Perosis,2010)

BAB III
KESIMPULAN

1. Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan


adanya compromised bone strength dan menyebabkan tulang lebih mudah
patah.
2. Osteoporosis disebabkan oleh berbagai faktor seperti umur, genetik,
lingkungan, faktor hormonal, dan sifat fisik tulang.
3. Osteoporosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diterapi secara
farmakologis maupun non farmakologis.
4. Terapi

farmakologis

meliputi

obat-obatan,

hormon,

antara

lain

bisphosphonate, selective estrogen receptor modulators (SERMs), kalsitonin,


teriparatide, dan estrogen.
5. Terapi non farmakologis meliputi aktivitas fisik, nutrisi dan suplementasi
kalsium/vitamin D, pembedahan dan fisioterapi.

DAFTAR PUSTAKA

Cour, dr. DPD de La. Drug Induced Osteoporosis. SA Pharmaceutical Journal:


October 2010.
Dambro, M. R., 2006. Osteoporosis, in : Griffiths 5- Minutes Clinical Consult. M.
R. Dambro (Eds). Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.
Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L. Michael
Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical
Finkelstein JS 2004. Osteoporosis. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil textbook of
medicine. 22nd ed. Philadelphia: Saunders; 15471555.
IOF, 2015. http://www.iofbonehealth.org/facts-statistics. Diakses tanggal 16 Januari
2016 pukul 14.30.
Kemenkes,

2009. Berdiri Tegak, Bicara Lantang, Kalahkan Osteoporosis


http://www.depkes.go.id/article/view/404/berdiri-tegak-bicara-lantangkalahkan-osteoporosis. html. Diakses tanggal 18 Januari 2016 pukul
21.04.

Law MR, Hackshaw AK. A meta-analysis of cigarette smoking, bone mineral density
and risk of hip fracture: recognition of a major effect. BMJ 1997;
315:841-6.
Levi, Giovanni et al. Bones, Genes and Fractures: Workshop on the Genetics of
Osteoporosis: From Basic to Clinical Research. EMBO Reports 3.1
(2002): 2226. PMC. Web.
NIH,

2015.

http://nihseniorhealth.gov/osteoporosis/riskfactors/01.html.
tanggal 14 November 2015 pukul 06.15

Diakses

Phillips, B. B., 2008. Osteoporosis, in : Pharmacotherapy A Pathophysiologic


Approach, 7th edition. J. T. DiPiro, et. al.(Eds). New York. Mc Graw
Hill Medical. pp. 853-866
Raef, H., Al-Bugami, M., Balharith, S., Moawad, M., El-Shaker, M., Hussain, A. AlBadawi, I. Updated Recommendations for the Diagnosis and
Management of Osteoporosis: A Local Perspective. Annals of Saudi

Medicine, 31(2): 2011, 111128. http://doi.org/10.4103/02564947.77502.


Sommer Isolde, Arja T Erkkil, Ritva Jarvinen, Jaakko Mursu, Joonas Sirola, Jukka S
Jurvelin, Heikki Kroger, Marjo Tuppurainen. Alcohol consumption
and bone mineral density in elderly women. Public Health Nutrition:
16(4), 704712

Anda mungkin juga menyukai