Anda di halaman 1dari 27

CASE REPORT SESSION

Open Fraktur Tibia 1/3 Distal Dextra


Instalasi Gawat Darurat

Disusun Oleh :
Yoga Pratayoga M, dr.
Dokter penanggung jawab pasien :
Risa, Sp.OT.,dr
Dokter Pendamping :
Marmi, dr.

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ
tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada
pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga
disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita TB
BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak).1
Kasus TB di Indonesia merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat.
Tahun 2011, Indonesia merupakan peringkat ke 4 negara dengan kasus TB tertinggi
setelah Negara China, India, dan Afrika Selatan.2 Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa penyakit TB paru di Indonesia merupakan
penyebab kematian nomor tiga tersebar setelah setelah penyakit jantung dan
pernapasan.3 Peningkatan jumlah penderita TB paru juga dipengaruhi oleh
industrialisasi, kemudahan transportasi, serta perubahan ekosistem (Muttaqin,
2008). Selain itu, kemiskinan menyebabkan penduduk kekurangan gizi, tinggal
ditempat yang tidak sehat dan kurangnya kemampuan dalam pemeliharaan
kesehatan sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyakit TB.1
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol
dan Peru pada tahun 1779.4 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang
belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi
terutama oleh penyebaran melalui hematogen.4 Secara epidemiologi tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di
negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000
memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia
meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar
10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total
kasus TB.5 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup
tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara
cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan
dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris.6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Primary Survey


A (Airway) : Clear, stridor (-), Gurgling (-)
B (Breathing) : Spontan, RR 22x/mnt, pergerakan dada simetris kanan=kiri,
suara paru vesikuler
C (Circulation) : Nadi 89x/mnt, reguler equal isi cukup, akral hangat, CRT <2
detik. Tekanan darah 120/80 mmhg
D (Disability) : GCS 15 (E4V6M5), pupil isokor diameter 2mm/2mm,
RC(+)/(+)
E (Exposure) : pakaian tidak dibuka untuk mencegah hipotermi

2.2 Secondary Survey


2.2.1 Identitas
Nama : Tn. R
Usia : 70 tahun
Tanggal lahir : 10 November 1949
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Pendidikan : SMP
Alamat : Desa Cileya 04/06
Tanggal masuk : 28 November 2019, pukul 07.15 WIB
Unit : UGD
No. Rekam Medis : 00-06-52-07

2.2.2 Anamnesis
I. Keluhan Utama
Nyeri pada tungkai bawah kanan
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke UGD dibawa oleh warga dengan keluhan nyeri pada tungkai
bawah kanan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 2 jam SMRS. Nyeri
dirasakan berdenyut-denyut disertai dengan kaki kanan tidak bisa di gerakan, luka
terbuka (+), perdarahan aktif (-), baal (-), kesemutan (-). Menurut keterangan warga,
Os ditabrak dari belakang saat hendak belok kanan. Saat mengendarai motor os
tidak memakai helm, saat terjatuh kaki os terbentur jalan dan kemudian tertindih
motor. Saat terjatuh, os sempat tidak sadarkan diri ± 2 menit. Namun keluhan mual
muntah, nyeri kepala hebat, keluar darah dari hidung atau telinga tidak ada.

III. Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat penyakit jantung disangkal

2. Riwayat diabetes melitus disangkal

3. Riwayat hipertensi disangkal

4. Riwayat alergi (-)

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
V. Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan pertolongan pertama di RS KMC dan telah dilakukan
pembidaian.
2.3 Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Berat badan : 60kg
Panjang badan : 165 cm
BMI : 22,25 normoweight
b. Tanda Vital
Tensi : 120/80mmHg
Frekuensi Nadi : 89x/menit
Frekuensi Napas : 22 kali/menit
Suhu : 36,8oC

c. Pemeriksaan Sistem
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-), wajah asimetris
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) perdarahan
subkonjungtiva (-/-), racoon eyes (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-), bettlesign (-/-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), Post nasal drip (-)
7) Pipi
Vulnus eksoriatum + di pipi kanan, krepitasi (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), jajas (-)
Palpasi : edem (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-)
JPV 5+1 cmH2O
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri,
kelainan bentuk dada (-), jajas (-), hematom (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki -/-
Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC VI, 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordisteraba pada SIC VI, 2 jari medial
LMCS dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV 2 jari lateral LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-), suara jantung
menjauh (-)

d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung, jajas (-), hematom (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-) , undulasi (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba

e. Pemeriksaan ekstremitas
Atas Bawah
Inspeksi Bentuk simetris, Bentuk Asimetris,
pergerakan tidak deformitas +/-, luka
terbatas, jajas -/-, +/-, perdarahan aktif -
deformitas -/- /-
Palpasi Nyeri tekan -/-, Nyeri tekan +/-,
edema -/-, pulsasi krepitasi +/- edema -
arteri +/+, sensoris /-, pulsasi arteri +/+,
+/+ sensoris +/+, bone
expose -/-

f. Status Lokalis
Ad regio 1/3 distal tibia dextra terdapat luka terbuka berukuran 1x1x0,5
cm dengan dasar otot, deformitas (+), perdarahan aktif (-), bone expose
(-), NT (+), krepitasi (+), sensoris (+), pulsasi arteri +, CRT <2 detik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Lab Darah 28 November 2019

Parameter Hasil Nilairujukan


DarahRutin
Hemoglobin 12,8 g/dL 12 - 16
Hematokrit 36,8 % 35 - 47
Leukosit 10,79 10ˆ3/uLH 4.000-10.000
Trombosit 230 ribu/uL 150.000-450.000
Eritrosit 4,62 juta/Ul 4.10 -5.10
IndeksEritrosit
MCV 79,6 fL 80 – 96
MCH 27,7pg/mL 28 – 33
MCHC 34,8 g/dL 33 – 36

Waktu perdarahan 2’15’’ 1-3’

Waktu Pembekuan 4’00’’ 2-6’


Kimia Rutin
GDS 104 mg/dl 70-120 mg/dl
SGOT 22 U/L 5-40 U/L
SGPT 16 U/L <= 45 U/L
Creatinin 22 mg/dl 10-50 mg/dl
Ureum 0,54 mg/dl 0,6-1,5 mg/dl

HBSAG Negatif Negatif

Rontgen cruris dextra 28 November 201

2.3 Diagnosis Kerja


- Open Fraktur 1/3 distal tibia dextra

2.1 PemeriksaanAnjuran
- Pemeriksaan foto rongent thoraks PA

2.2 Penatalaksanaan
a. Non-medikamentosa
- Wound Toilet
- Pasang spalk
b. Medikamentosa
- IVFD RL 1500 cc/24 jam
- Ketorolac 2 x 1 amp iv
- ATS 1 gr ( skin test terlebih dahulu)
- Omz 1x20 mg
- Ceftriaxone 2 x 1 gr iv ( skin test dahulu)

2.3 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

Hasil Asesmen Pasien dan


Tanggal Instruksi Dokter
Pemberian Pelayanan
11-4- S : benjolan di punggung, kelemahan Dr. Risa, Sp.OT
2019 anggota gerak bawah - RL 20tpm/8 jam
O : TD: 120/70 mmHg - Persiapan puasa
HR : 88 kali/menit
- Rencana operasi 12
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,8oC April 2018
Thoraks: Pulmo: Retraksi (-),
Rhonki (-), Wheesing (-)
Cor DBN
Punggung :
Inspeksi :Vertebra
Lumbalis terdapat penonjolan
(gibbus)kifosis, tepi tumpul,
konsistensi lunak, ukuran panjang
10 cm dan lebar 4 cm, fluktuasi (+),
hiperemis (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)

Hasil darah rutin 11 april 2019 :


Leukosit 14,08H
LED 38
A : Spondylitis Tuberculosa
P:
12-4-19 S : benjolan di punggung, kelemahan Dr. Risa, Sp.OT
anggota gerak bawah - IVFD Futrolit / 8 jam
O : TD: 110/80 mmHg - Ciprofloxacin 3x 500
HR : 78 kali/menit
mg iv
RR : 20 kali/menit
Suhu : 36,3oC - Ketorolac 2x1 iv
Thoraks: Pulmo: Retraksi (-), - Ranitidin 2x1 iv
Rhonki (-), Wheesing (-)
Cor DBN
Punggung :
Inspeksi :Vertebra
Lumbalis terdapat penonjolan
(gibbus)kifosis, tepi tumpul,
konsistensi lunak, ukuran panjang
10 cm dan lebar 4 cm, fluktuasi (+),
hiperemis (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)

Hasil darah rutin 11 april 2019 :


Leukosit 14,08 H
LED 38
A : Post debridement a/i Spondylitis
Tuberculosa
P:
13-4-19 S : benjolan di punggung, kelemahan Dr. Risa, Sp.OT
anggota gerak bawah - IVFD Futrolit / 8 jam
O : TD: 110/80 mmHg
HR : 80 kali/menit - Ciprofloxacin 3x 500
RR : 20 kali/menit mg iv
Suhu : 36,1oC
- Ketorolac 2x1 iv
Thoraks: Pulmo: Retraksi (-),
- Ranitidin 2x1 iv
Rhonki (-), Wheesing (-)
Cor DBN
Punggung :
Inspeksi : Pus (-) darah (-)
Palpasi: Nyeri tekan (+) post op

Hasil darah rutin 11 april 2019 :


Leukosit 14,08 H
LED 38
A : Post debridement a/i Spondylitis
Tuberculosa POD 1
P:
14-4-19 S : benjolan di punggung, kelemahan Dr. Risa, Sp.OT
anggota gerak bawah - BLPL
O : TD: 120/80 mmHg - Cefixime 2x200 mg
HR : 84 kali/menit - Oscal 1x1
- Meloxicam 2x1
RR : 20 kali/menit
- Ranitidin 2x150 mg
Suhu : 36,2oC
Thoraks: Pulmo: Retraksi (-),
Rhonki (-), Wheesing (-)
Cor DBN
Punggung :
Inspeksi : Pus (-) darah (-)
Palpasi: Nyeri tekan (+) post op

Hasil darah rutin 11 april 2019 :


Leukosit 14,08 H
LED 38
A : Post debridement a/i Spondylitis
Tuberculosa POD 2
P:
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
yang mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi
dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779.4 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis
pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus.
Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen.4

3.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per
tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga
setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang
pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang
pertahun.4,6 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di
Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu
terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang
dan sendi.4,7 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak
yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang
terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun
kemudian.

3.3 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales
dan famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram
positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit
untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman
batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki
dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak
mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk
spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 µm.8

Gambar 3.1 kuman Mycobacterium tuberculosis

3.4 Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1-5 µ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus
dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag
mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.8
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe
ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).6,9
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular.9,10 Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas
terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, begitu sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan.7,9 imunitas selular terbentuk fokus primer di
jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk
fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar tersebut.10 Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian
dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam
bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai
fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain.5,6,10 Selama
masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.9 Penyebaran hematogen
yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara sporadik
dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal,
dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang
belakang yang sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus
spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran
melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus
spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior
longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior,
sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada
bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap
vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.9,10

3.5 Manifestasi Klinis


Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran
kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare
berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa
di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.4,8,10,11 Manifestasi klinis pada
spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1 tahun. Penyakit ini baru
muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Gejala pertama biasanya
dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri.
Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerakkan
punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika
diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri
tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada
tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya
gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan
lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe
klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100 , 20%
kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300 .
Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun
tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar
ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. Paraplegia pada
pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah
Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal
dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang
telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit
primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat.10

Gambar 3.2 Spondilitis Tuberkulosis

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi
Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin
(Mantoux tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya
infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena
anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat
untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED)
dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan
radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat
kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I
paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi
pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral
tulang. Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan
vertebrae sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end
plate. Elemen posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus
intervertebrae terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada
badan vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak.
Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang tersebar luas dan
magnetic resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada
manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan untuk dapat menjelaskan
sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat
menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior jaringan yang
mengalami radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis keterlibatan spinal
posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut dapat
membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan.
Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya
meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada
psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal. Magnetic resonance
imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular
TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous.
Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan
tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi
yang baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan
formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan
sering memberikan hasil yang negatif.11

3.7 Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan
klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB,
epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan
modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu
menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan
ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis
pasti. 10,11

3.8 Diagnosis Banding


Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang
menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga
terdapat gejala bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis
dengan perjalanan yang lebih singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat
vertebrae. Tetapi gambaran yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB
sulit dibedakan dengan infeksi piogenik secara klinis. Selain itu spondilitis TB
juga dapat dibedakan dengan tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik.10

3.9 Penatalaksanaan
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan
pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan
korset.11,12 Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling
tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan
informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin
harus diberikan selama seluruh pengobatan.12,13 Regimen 4 macam obat
biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama
pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan
memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan
adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan
dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.13 Obat yang biasa
dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel 1.
Tabel 3.1 Pengobatan TB kategori 1

Tabel 3.2 OAT lini pertama


Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus
dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi.
Menurut Boswots Compos pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi
dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi
lebih awal akan pulih setelah arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi
anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah
menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan
pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis
dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap.14,15,16
Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil
yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi
pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Pott’s paraplegia maka
pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain,17,18
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,
paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan
konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1
bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai
spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan
imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis
akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat,
dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau
abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini
tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid,
paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau
gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal
sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai
nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta
adanya komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi
anterolateral dan laminektomi.
3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena
kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami
destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada
ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegia.17,18

3.11 Prognosis
Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang
terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB,
dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan
bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat
dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun
sampai 30%.15,16
3.12 Kesimpulan
Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan
manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis serta follow up penyakit. Jika dalam pemeriksaan
didapatkan normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus dikerjakan untuk
menyingkirkan spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis
atau paraplegi pada ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera
dilakukan. Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, tata laksana dan
komplikasi yang menyertai.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batukdapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesaknafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringatmalam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Pada pasien ini terdapat riwayat gejala klinis berupa penurunan berat badan,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam yang hilang timbul ± 1 bulan,
batuk berdahak lebih dari 3 minggu.
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri).Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi.
Demam subfebril, menggigil, malaise, berkurangnya berat badan merupakan gejala
klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB.Apabila sudah
ditemukan deformitas berupa lordosis, maka patogenesis TB umumnya spinal
sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan.8,9
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita.Defisit yang mungkin
antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda
equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati).
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter
distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani.
Insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi
yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita.Pott’s paraplegia
dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset
lambat(late-onset). Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua
tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis
oleh abses atau proses infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat
penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya
disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat
destruksi tulang sebelumnya.Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul
karena patologi terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu
anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula
spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul.2
Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai
gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah,
khususnya daerah lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas.
Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri
yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi
panggul.8
Tabel 3.1 Klasifikasi Pott’s paraplegia10
Stadium Gambaran Klinis

Stadium Gambaran Klinis

I. Tidak terdeteksi/ Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis,


terabaikan klinisi menemukan adanya klonuspada
(negligible) ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.

II. Ringan Pasien menyadari adanya gangguan neurologis,


tetapi masih mampu berjalandengan bantuan.

III. Moderat Tidak dapat berpindah tempat (non-


ambulatorik) karena kelumpuhan (dalam posisi
ekstensi) dan defisit sensorik di bawah 50%

IV. Berat Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi,


defisit sensorik di atas 50% dan gangguan
sfingter.

Pasien ini terdapat gambaran klinis yang sesuai pada pasien dengan spondilitis TB
yaitu terjadi penurunan BB, keringat malam, demam, defisit neurologis berupa
paraplegia, nyeri radikular. Dilihat dari klafikasi pott’s paraplegia yang disesuaikan
dengan gambaran klinis, pasien tersebut berada pada stadium moderat.

BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus TB ekstraparu (Spondilitis TB) pada laki-laki usia
43 tahun. Laki-laki ini didiagnosa TB Ekstra Paru berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan Rontgen
(+)sedangkan diagnosa Spondilitis TB berdasarkan anamnesis yaitu adanya
kelemahan pada ektremitas inferior, demam yang hilang timbul, BB menurun dan
keringat malam yang berlebihan, pada pemeriksaan fisik yaitu pada Vertebra
Lumbalis terdapat penonjolan (gibbus)kifosis, tepi tumpul, konsistensi lunak,
ukuran panjang 10 cm dan lebar 4 cm, nyeri tekan (+),Pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan rontgen thoraks, lumbosacral dan pelvis dimana ditemukan
tanda dan gejala yang khas dari Spondilitis TB pada pasien ini. Pasien diterapi
dengan IVFD RL Futrolit 500 cc/8 jam20 tpm, ciprofloxacin 3x500 mg iv, inj.
Ketorolac 2x1 amp/IV, Inj. Ranitidine 2x1 amp/IV, Diet tinggi protein dan
karbohidrat. Pasien ini setelah mendapatkan terapi dengan ketorolac nyerinya
semakin berkurang, pada hari perawatan ke 2 setelah operasi pasien diperbolehka
untuk pulang dengan membawa obat pulang cefixim 2x200 mg, ranitidin 2x150 mg,
meloxicam 2x1 tab, oscal 1x1 tab dan kontrol ke poli orthopedi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Raka Janitra, Zuwanda. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis
Tuberkulosis. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013.
2. WHO. (2011). Global tuberculosis control; WHO report 2011. Geneva:
Publication Data
3. Depkes, RI. (2008). Laporan nasional riset kesehatan dasar tahun 2007.
Jakarta: Pusat Penelitian Pengembangan Kesehatan.
4. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 1 Mei 2019.
5. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http:// www.
emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 1 Mei 2019.
6. Batra V. Tuberculosis. Didapat dari http:// www.emedicine.
com/ped/topic2321.htm. Diakses tanggal 1 Mei 2019.
7. Salim Samuel S, Hsu L. Tuberculous spondylitis. Didapat dari: URL:
http://www.gentili.net/frame. asp?ID= 823& URLID =313541. Diakses
tanggal 1 Mei 2019
8. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A,
Soebandrio AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi
revisi. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h. 191-9
9. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1.
Jakarta: UKK Pulmunologi PP IDAI; 2005. h. 17-28.
10. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 958-72.
11. Harisinghani MG, McLoud TC, Shepard JO, Ko JP. Tuberculosis from head to
toe1. Radiographics: 2000; 20:449-70.
12. Vali ·P, Chaloupka R. Management of tuberculous spondylitis. Scripta Medica
(Brno) 2000;3:165–8 13.
13. Müller I. Mistakes in the diagnosis and treatment of tuberculous spondylitis. A
case study. Scripta Medica (Brno) 2000; 3:157 –60.
14. Crofton J, Horne N, Fred M. Tuberkulosis pada anak. Dalam: Tuberkulosis
klinis. Harun N, penyunting. Edisi ke 2. Jakarta: Widya Medika; 2002. h. 31-
79.
15. Anil K, Jail MS. Treatment of tuberculosis of the spine with neurologic
complication. Clinical orthopaedics and related research 2002; 398:75-84.
16. Mankin H. The back. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.
Penyunting. System of orthopaedics and fractures. Edisi ke 8. New York:
Oxford University Press; 2001.h.371-404.
17. Wood GW. Infection of spine. Dalam: Crenshaw AH, penyunting.
Champbell’s operative orthopaedics. Edisi ke 7. New York: Mosby Company;
1987. h. 3323- 42.
18. Resnick D. Osteomyelitis, septic arthritis, and soft tissue infection: organism.
Dalam: Chaterin F, penyunting. Bone and joint imaging. Edisi ke 2.
Philadelphia: WB Saunders; 1996. h. 684-716.

Anda mungkin juga menyukai