DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING :
LAPORAN KASUS
Toxic Epidermal Necrolysis
Disusun Oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus dengan judul Toxic Epidermal Necrolysis.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Kulit
Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Hiendarto, SpKK selaku dokter
pembimbing dan teman – teman coass yang membantu dalam pembuatan laporan
kasus ini. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan pengetahuan kepada
pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu
kedokteran.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Nekrolisis epidermal toksik (TEN) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan
yang ditandai dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET
umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika
pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian.1,2
Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem
sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat
berubah menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang
terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput
lender di orifisium dan mata.1,2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun 1956
sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s. NET
ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai
luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kata “toxic” yang
digunakan mengacu pada kondisi dimana beredarnya racun dalam peredaran darah
yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala dan nekrolisis epidermal. Sedangkan
kata “necrolysis” digunakan Lyell’s dengan menggabungkan gejala klinis
epidermolisis dengan gambaran histopatologi “necrosis’. Beliau juga
menggambarkan keterlibatan mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan
hanya terjadi sedikit inflamasi di daerah dermis yang kemudian disebut “dermal
silence”. Sindrom ini juga dapat mengenai konjungtiva, kornea, iris, mukosa
mulut, bibir dan membran mukosa genitalia. Gambaran klinis ini jelas berbeda
dengan penyakit lain yang memiliki gambaran klinik berupa lepuhan (blister) dan
terjadi inflamasi, seperti yang terjadi pada eritema multiformie, dermatitis
herpetiformis dan pemfigoid bulosa.3.4
Pada awalnya sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal
toksik (NET) dianggap sebagai manifestasi dari suatu penyakit yang sama,
eritema multiforme, hanya saja tingkat keparahannya yang berbeda. Sementara itu
beberapa penulis menganggap bahwa NET merupakan kelanjutan dari SSJ yang
lebih parah, karena pada sebagian penderita SSJ penyakitnya akan berkembang
menjadi NET. Klasifikasi Bastuji-Garrin dkk (1993) dibuat berdasarkan luasnya
pelepasan kulit, pada sindrom Steven-Johnson kurang dari 10% dan pada
nekrolisis epidermal toksik lebih dari 30%. Diantara 10%-30% merupakan bentuk
peralihan.5.7
Menurut Djuanda dkk (2009) perbedaan mendasar antara SSJ dan NET
yaitu, dimana pada NET ditemukan adanya epidermolisis, pemisahan epidermis
dari dasarnya, yang tidak ditemukan pada SSJ.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi
Toxic epidermal necrolysis atau lebih dikenal sebagai Lyell’s syndrome
pertama kali diperkenalkan oleh Lyell pada tahun 1965 untuk mendeskripsikan 4
kasus erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan atau infeksi stapilokokus
atau penyebab yang tidak jelas berupa sindrom atau kumpulan gejala berupa
pengelupasan lapisan epidermis (epidermolisis) yang luas (generalisata) dengan
keterlibatan membran mukosa berupa erosi, yang meninggalkan lapisan kulit yang
terlihat mengelupas. Necrolysis diartikan sebagai nekrosis dan pengelupasan
epidermis yang dalam atau full thickness detachment of epidermis. Toxic berarti
gejala konstitusional dan komplikasi yang berat. Steven Jhonson syndrome (SJS)
dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan dua reaksi cutaneous
blistering yang berat yang saling berhubungan yang terutama disebabkan oleh
terapi obat-obatan. Gejala prodormal berupa demam dan malaise biasanya
mengikuti erupsi vesikobula di mana terdapat pengelupasan kulit akibat separasi
epidermis (Nikolsky sign positif). Spesimen biopsi kulit dari area yang terkena
secara tipikal menunjukkan nekrosis epidermis (nekrolisis) dengan infiltrat
monositik epidermal yang tersebar ( Predominan sel T).1
TEN merupakan bentuk derajat terberat reaksi kulit yang diinduksi obat dan
didefinisikan sebagai pengelupasan epidermis sebesar 30% luas permukaan tubuh.
Penyakit yang sama dengan TEN termasuk di dalamnya adalah SJS dan erythema
multiforme. SJS merupakan reaksi pengelupasan epidermis seluas 10% luas
permukaan tubuh sedangkan apabila area tubuh yang terlibat meliputi daerah
seluas 10%-30% didefinisikan sebagai SJS/TEN overlap.2
II. 2 Epidemiologi
Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok umur, dan meningkat
pada usia kepala empat, dan wanita lebih sering terkena. Tingkat kematian rata-
rata pada NET adalah 20-25%. Usia yang lebih tua, kelainan yang bermakna, dan
daerah kulit yang lebih banyak terlibat berhubungan dengan prognosis yang
buruk. Kelompok pasien yang berisiko, yaitu pasien dengan imunitas yang rendah
(HIV, Limfoma) dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi dan
menerima anti epilepsi.1.3
Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi,
di Perancis survei yang dilakukan oleh dermatologists melaporkan insidens NET
mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk. Di amerika serikat kejadian NET
dilaporkan sekitar 0,22-1,23 kasus per 100,000 populasi.7
Djuanda dkk dalam bukunya dikatakan jika dibandingkan dengan Sindrom
Stevens-Johnson (SSJ), penyakit Nekrolisis epidermal toksik lebih jarang. Hanya
ada 2-3 kasus setiap tahun. 2
Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%. Tingkat mortalitas ini
tidak dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat kejadian NET meningkat sekitar
1 kasus per seribu populasi per tahun pada populasi HIV-positif. Peningkatan
insiden NET pada penderita HIV disebabkan penggunaan sulfonamid pada
penderita.8
III. 3 Etiologi
Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan bahwa obat-
obatan merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang beresiko tinggi
yaitu sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,
lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resiko lebih rendah yang
dilaporkan jenis antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenicilin, kuinolon,
sepalosporin, dan tetrasiklin. Mekanisme fisik seperti radioterapi dalam hal ini
penanganan dengan obat anti-epilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau
karbamazepin dapat menimbulkan NET dengan cara radiasi.1
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu alergi obat yang berjumlah
80-95% dari semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama lima tahun
(1998-2002) penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul oleh
parasetamol (17%), dan karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah
analgetik/antipiretik, yang lain, kotrimokzasol, dilantin, klorokuin, seftriakson,
jamu dan aditif.2
Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi atau bersifat
idiopatik. Namun obat merupakan penyebab tersering, dilaporkan bahwa lebih
dari 100 jenis obat dapat menyebabkan terjadinya NET.9
III.4 Patogenesis
Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET
belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang
mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan
patogenesis timbulnya NET.10
Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum
dimengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting
tentang patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah
(2009), NET ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang
menjadi NET. Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi
immunopatologik mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada
epidermis dan dermis dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip
natural killers pada fase awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir.
Beberapa sitokin penting yaitu interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada
lesi kulit pasien NET. TNF mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul
pada lesi epidermis, cairan lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan
makrofag. Sekarang ditemukan teori genetika yang juga berperan penting.
Penemuan di Han cina antara NET-carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat
berhubungan, meskipun tidak muncul pada pasien Eropa yang tidak memiliki
keturunan Asia.1.2
Pada penderita NET ditemukan keratinosit mengalami apoptosis yang
luas. Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang
bersifat reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh
membentuk kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin
seperti interleukin (IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada
kondisi normal, apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit.
Namun, pada kondisi seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga
kemampuan fagosit untuk mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel
menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan
respon inflamasi.3
Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah
dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level
FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel
(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak
terjadi FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat
sehingga terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis
semakin menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.3
Gambar 1. Patogenesis SSJ dan TEN
III. 5 Manifestasi Klinis
Gejala awal NET menyerupai gejala flu seperti demam, malaise, rhinitis,
dan konjungtivitis, selain itu dapat ditemukan keluhan mata perih, nyeri menelan,
dan terkadang dapat disertai kesulitan berkemih yang mendahului timbulnya lesi
kulit 1-3 hari pertama. Manifestasi sistemik yang dapat terjadi meliputi
limfadenopati, hepatitis dan sitopenia. Lesi kulit biasanya muncul pertama kali
pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas
proksimal. Bagian distal ekstremitas atas dan bawah biasanya jarang terkena,
tetapi telapak tangan dan kaki dapat menjadi lokasi lesi awal. Pada lebih dari 90%
pasien ditemukan eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital. Pada 25%
pasien terdapat keterlibatan saluran pernapasan dan gastrointestinal. Lesi kulit
biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri.1,5
Mula-mula lesi tampak sebagai makula eritema atau purpura dengan
bentuk dan ukuran yang irregular serta mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada beberapa pasien lesi makular dapat
mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like
appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang
mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion
yang papular pada EM.1 Nekrolisis epidermal toksik dapat mengenai semua
permukaan kulit, kecuali kulit kepala yang ditumbuhi rambut.5
Seiring dengan progresifitas kearah full thickness necrosis maka lesi makula
eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini
dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari.
Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya
dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut, sehingga
terbentuk bula yang memiliki ciri khas berupa mudah pecah dan dapat terjadi
spontaneus epidural detachment, dapat meluas ke lateral dengan penekanan
ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis sehingga
memberikan tanda Asboe-Hansen yang positif. Pada lesi yang tidak terjadi
detachment, dapat dilakukan tekanan mekanis ringan dengan jari sehingga
menimbulkan detachment yang disertai dengan tanda Nikolsky positif. Keadaan
kulit menyerupai gambaran kertas rokok basah (wet cigarette paper), yang dapat
lepas dengan adanya trauma, sehingga terlihat dermis kemerahan dan berdarah,
yang disebut sebagai “scalding”.1
Gambar 3. Pasien NET dengan skin detachment yang luas1.
III.6 Diagnosis
Nekrolisis Epidermal Toksik dengan Sindroma Steven-Johnson (SSJ)
memiliki kesamaan dalam gejala klinis, gambran histopatologi, faktor risiko,
penyebab, dan mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan
dari suatu proses yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh
yang terlibat. NET dan SSJ ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan
membran mukosa. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis, klasifikasi
pasien dibagi menjadi 3 grup.1
1. SJS : < 10% body surface area (BSA)
2. SJS-TEN overlap : 10-30% BSA
3. TEN : >30% BSA
III.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dari SSJ dan NET memerlukan diagnosis secara
dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan
terapi spesifik. Identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang
obat yang berhubungan dengan SSJ atau NET sebelumnya sehingga dapat
ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SSJ atau NET, hal ini karena pada
penggunaan patch test akan menyebabkan paparan kembali terhadap obat
pencetus dan dapat menimbukan reaksi yang berbahaya.1
Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif pada
luka bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan sebab
utama kematian. Perawatan luka setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat
penting dan sebaiknya dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 10-
20% (atau lebih) dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu
(thermoregulated bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada
penggunaan tempat tidur dan alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi
terhadap pasien harus dilakukan secara steril dan kateter vena, bila
memungkinkan, harus dipasang pada regio yang tidak ada lesi.1
Bagan 1. Algoritma tatalaksana pada pasien SSJ atau NET.1
III. 9 Komplikasi
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi
umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian
besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari
area “reservoir” seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan
folikel rambut. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak
sempurna, dan sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion,
scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis,
sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.1
Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia antara lain
bronkopneumonia (16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi renal, dan sepsis.1
III. 10 Progosis
Pada NET ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis
buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat,
peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan
trombositopenia secara statistic berhubungan dengan prognosis buruk.
Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya
prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko
kematian sebesar 30%. Penialai derajat keparahan penyakit untuk NET dapat
dilakukan melalui SCORTEN melalui tujuh parameter untuk menentukan
prognosis dari penyakit.1
Tabel 2. SCORTEN (Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis)1
SCORTEN
Faktor Prognosis Nilai
Usia > 40 tahun 1
Denyut jantung > 120x/menit 1
Kangker atau keganasan hematologi 1
BSA pada hari pertama > 10% 1
Kadar serum urea > 10mmol/L 1
Kadar serum bikarbonat < 20mmol/L 1
Kadar serum glukosa > 140 mmol/L 1
SCORTEN Mortality Rate
0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
≥5 90
III.2 ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 Juli 2019,
pukul 14.00 WIB di ruang rawat inap Dahlia RSUD Ambarawa.
a. Keluhan Utama
Bercak kemerahan diseluruh tubuh.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan muncul bercak
kemerahan diseluruh tubuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Bercak
pertama muncul di lengan atas lalu semakin lama semakin menyebar ke
seluruh tubuh. Beberapa bercak pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu
dan membesar. Bercak terasa gatal dan panas. Keluhan gatal dan panas terjadi
sepanjang hari dan semakin bertambah berat saat pasien berkeringat. Pasien
juga mengeluh bibir bengkak dan berwarna kemerahan serta terasa nyeri.
Keluhan muncul gelembung dikulit disangkal. Enam hari yang lalu pasien
mengalami demam. Demam dirasakan sepanjang hari. Pasien juga mengeluh
mual dan muntah. Keluhan sesak dan sakit menelan disangkal. Nafsu makan
pasien dikatakan baik. Pasien menyangkal adanya rasa nyeri saat BAK. BAK
dan BAB pasien dikatakan normal.
Pasien sempat dirawat di RS Dr. Asmir, lalu selanjutnya dirujuk ke
RSUD Ambarawa. Satu bulan yang lalu pasien melahirkan secara SC, lalu
setelah itu diberikan obat pulang antibiotik cefadroxil dan dexketoprofen oleh
dokter spesialis kandungan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh sebelumnya.
d. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, namun diketahui
pasien memiliki alergi terhadap obat Dexketoprofen.
e. Riwayat pengobatan
Pasien sudah berobat ke RS Dr. Asmir lalu dari rumah sakit tersebut
dirujuk ke RSUD Ambarawa.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Dikeluarga pasien
tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan muncul bercak kemerahan
diseluruh tubuh. Riwayat alergi dikeluarga disangkal.
g. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan suami pasien bekerja
sebagai pegawai RS. Rumah pasien terdiri dari 3 kamar tidur dan 1 kamar
mandi yang terletak didalam rumah disertai jamban. Lantai rumah berupa
keramik dan sirkulasi udara cukup memadai. Pasien tidak memiliki kebiaaan
meminum jamu tradisional. Kesan ekonomi cukup.
Obat pulang :
- Methylprednisolon pagi
1x16 mg, malam 1x8mg
- Lansoprazole 2x30mg
- Cetirizine 1x10mg
- N asetilsistein 3x200mg
- Cefadroxil 2x500mg
Gambar 8. Efloresensi pasien 26 Juli 2019
III.5 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan muncul
bercak kemerahan diseluruh tubuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Bercak pertama muncul di lengan atas lalu semakin lama semakin menyebar ke
seluruh tubuh. Beberapa bercak pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu
dan membesar. Bercak terasa gatal dan panas. Keluhan gatal dan panas terjadi
sepanjang hari dan semakin bertambah berat saat pasien berkeringat. Pasien
juga mengeluh bibir bengkak dan berwarna kemerahan serta terasa nyeri. Enam
hari yang lalu pasien mengalami demam. Demam dirasakan sepanjang hari.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Satu bulan yang lalu pasien
melahirkan secara SC, lalu setelah itu diberikan obat pulang antibiotik
cefadroxil dan dexketoprofen oleh dokter spesialis kandungan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
status dermatologis pada seluruh tubuh dengan ujud kelainan kulit yaitu plaque
eritema generalisata. Tidak ditemukan lesi pada mukosa di daerah anus dan
vagina serta tidak ditemukan konjungtiva anemis.
III.6 ASSESMENT
Diagnosa Banding
o Stevens-Johnson Syndrome
o Erithema Multiforme
Diagnosa Kerja
Toxix Epidermal Necrolysis
III.7 TERAPI
Non Medikamentosa
Istirahat yang cukup
Menjaga lesi tetap bersih dan kering
Medikamentosa
IVFD RL 28 tpm
Inj Cefotaxime 3x1 gr
Inj Ranitidine 4x50 mg
Inj Dexamethasone 4x5mg
Inj Ondansetron 3x4mg
PO Cetirizine 1x10mg
PO Paracetamol 3x500 mg
BAB IV
PEMBAHASAN