Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Toxic Epidermal Necrolysis

DISUSUN OLEH :

Septi Dian Yustiani 1810221042

PEMBIMBING :

dr. Hiendarto, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RSUD AMBARAWA
PERIODE 22 JULI 2019 – 24 AGUSTUS 2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
Toxic Epidermal Necrolysis

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Di Departemen Ilmu Penyakit Kulit Kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :
Septi Dian Yustiani 1810221042

Telah Disetujui oleh Pembimbing


Ambarawa, Agustus 2019

(dr. Hiendarto, SpKK)


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus dengan judul Toxic Epidermal Necrolysis.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Kulit
Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin
menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Hiendarto, SpKK selaku dokter
pembimbing dan teman – teman coass yang membantu dalam pembuatan laporan
kasus ini. Penulis menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan pengetahuan kepada
pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu
kedokteran.

Ambarawa, Agustus 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Nekrolisis epidermal toksik (TEN) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan
yang ditandai dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET
umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada SSJ, sehingga jika
pengobatannya tidak cepat dan tepat sering menyebabkan kematian.1,2
Penyakit ini melibatkan kulit dan membran mukosa. Makula yang eritem
sebagian besar berada pada badan dan lengan yang proksimal, secara cepat
berubah menjadi lepuhan dan akhirnya akan terkelupas. Gejala kulit yang
terpenting ialah epidermolisis generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput
lender di orifisium dan mata.1,2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun 1956
sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s. NET
ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran berupa erupsi yang menyerupai
luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas (scalding). Kata “toxic” yang
digunakan mengacu pada kondisi dimana beredarnya racun dalam peredaran darah
yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala dan nekrolisis epidermal. Sedangkan
kata “necrolysis” digunakan Lyell’s dengan menggabungkan gejala klinis
epidermolisis dengan gambaran histopatologi “necrosis’. Beliau juga
menggambarkan keterlibatan mukosa sebagai bagian dari sindrom, dan ditemukan
hanya terjadi sedikit inflamasi di daerah dermis yang kemudian disebut “dermal
silence”. Sindrom ini juga dapat mengenai konjungtiva, kornea, iris, mukosa
mulut, bibir dan membran mukosa genitalia. Gambaran klinis ini jelas berbeda
dengan penyakit lain yang memiliki gambaran klinik berupa lepuhan (blister) dan
terjadi inflamasi, seperti yang terjadi pada eritema multiformie, dermatitis
herpetiformis dan pemfigoid bulosa.3.4
Pada awalnya sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal
toksik (NET) dianggap sebagai manifestasi dari suatu penyakit yang sama,
eritema multiforme, hanya saja tingkat keparahannya yang berbeda. Sementara itu
beberapa penulis menganggap bahwa NET merupakan kelanjutan dari SSJ yang
lebih parah, karena pada sebagian penderita SSJ penyakitnya akan berkembang
menjadi NET. Klasifikasi Bastuji-Garrin dkk (1993) dibuat berdasarkan luasnya
pelepasan kulit, pada sindrom Steven-Johnson kurang dari 10% dan pada
nekrolisis epidermal toksik lebih dari 30%. Diantara 10%-30% merupakan bentuk
peralihan.5.7
Menurut Djuanda dkk (2009) perbedaan mendasar antara SSJ dan NET
yaitu, dimana pada NET ditemukan adanya epidermolisis, pemisahan epidermis
dari dasarnya, yang tidak ditemukan pada SSJ.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi
Toxic epidermal necrolysis atau lebih dikenal sebagai Lyell’s syndrome
pertama kali diperkenalkan oleh Lyell pada tahun 1965 untuk mendeskripsikan 4
kasus erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan atau infeksi stapilokokus
atau penyebab yang tidak jelas berupa sindrom atau kumpulan gejala berupa
pengelupasan lapisan epidermis (epidermolisis) yang luas (generalisata) dengan
keterlibatan membran mukosa berupa erosi, yang meninggalkan lapisan kulit yang
terlihat mengelupas. Necrolysis diartikan sebagai nekrosis dan pengelupasan
epidermis yang dalam atau full thickness detachment of epidermis. Toxic berarti
gejala konstitusional dan komplikasi yang berat. Steven Jhonson syndrome (SJS)
dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan dua reaksi cutaneous
blistering yang berat yang saling berhubungan yang terutama disebabkan oleh
terapi obat-obatan. Gejala prodormal berupa demam dan malaise biasanya
mengikuti erupsi vesikobula di mana terdapat pengelupasan kulit akibat separasi
epidermis (Nikolsky sign positif). Spesimen biopsi kulit dari area yang terkena
secara tipikal menunjukkan nekrosis epidermis (nekrolisis) dengan infiltrat
monositik epidermal yang tersebar ( Predominan sel T).1
TEN merupakan bentuk derajat terberat reaksi kulit yang diinduksi obat dan
didefinisikan sebagai pengelupasan epidermis sebesar 30% luas permukaan tubuh.
Penyakit yang sama dengan TEN termasuk di dalamnya adalah SJS dan erythema
multiforme. SJS merupakan reaksi pengelupasan epidermis seluas 10% luas
permukaan tubuh sedangkan apabila area tubuh yang terlibat meliputi daerah
seluas 10%-30% didefinisikan sebagai SJS/TEN overlap.2

II. 2 Epidemiologi
Penyakit NET ini bisa terjadi pada segala kelompok umur, dan meningkat
pada usia kepala empat, dan wanita lebih sering terkena. Tingkat kematian rata-
rata pada NET adalah 20-25%. Usia yang lebih tua, kelainan yang bermakna, dan
daerah kulit yang lebih banyak terlibat berhubungan dengan prognosis yang
buruk. Kelompok pasien yang berisiko, yaitu pasien dengan imunitas yang rendah
(HIV, Limfoma) dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi dan
menerima anti epilepsi.1.3
Diseluruh dunia insidens NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi,
di Perancis survei yang dilakukan oleh dermatologists melaporkan insidens NET
mencapai 1 kasus per 1 juta penduduk. Di amerika serikat kejadian NET
dilaporkan sekitar 0,22-1,23 kasus per 100,000 populasi.7
Djuanda dkk dalam bukunya dikatakan jika dibandingkan dengan Sindrom
Stevens-Johnson (SSJ), penyakit Nekrolisis epidermal toksik lebih jarang. Hanya
ada 2-3 kasus setiap tahun. 2
Tingkat mortalitas NET mencapai 34% sampai 40%. Tingkat mortalitas ini
tidak dipengaruhi oleh jenis obat. Saat ini tingkat kejadian NET meningkat sekitar
1 kasus per seribu populasi per tahun pada populasi HIV-positif. Peningkatan
insiden NET pada penderita HIV disebabkan penggunaan sulfonamid pada
penderita.8

III. 3 Etiologi
Penyebab dari NET masih belum jelas, namun ditemukan bahwa obat-
obatan merupakan salah satu faktor penting. Obat-obatan yang beresiko tinggi
yaitu sulfonamid, antikonvulsan aromatik, allopurinol, anti inflamasi non-steroid,
lamotrigin, dan nevirapin. Ada juga obat dengan resiko lebih rendah yang
dilaporkan jenis antibiotik non-sulfonamid seperti aminopenicilin, kuinolon,
sepalosporin, dan tetrasiklin. Mekanisme fisik seperti radioterapi dalam hal ini
penanganan dengan obat anti-epilepsi seperti phenytoin, fenobarbital, atau
karbamazepin dapat menimbulkan NET dengan cara radiasi.1
Penyebab utama NET yang ditemukan yaitu alergi obat yang berjumlah
80-95% dari semua pasien. Pada penelitian yang dilakukan selama lima tahun
(1998-2002) penyebab utama ialah derivat pensilin (24%), disusul oleh
parasetamol (17%), dan karbamazepin (24%). Penyebab yang lain adalah
analgetik/antipiretik, yang lain, kotrimokzasol, dilantin, klorokuin, seftriakson,
jamu dan aditif.2
Selain karena obat, NET dapat pula diinduksi oleh infeksi atau bersifat
idiopatik. Namun obat merupakan penyebab tersering, dilaporkan bahwa lebih
dari 100 jenis obat dapat menyebabkan terjadinya NET.9

Tabel 1. Jenis dan nama obat yang sering menyebabkan NET.7


Risiko tinggi Risiko lebih Risiko Tidak ada bukti
rendah diragukan berisiko
Allopurinol Aminopenicillins Paracetamol Aspirin
Sulfamethoxazole Cephalosporins Analgesik Sulfonylurea
pyrazolone
Sulfdiazine Quinolones Corticosteroid Diuretik golongan
tiazid
Sulfapyridine Cyclins Sertraline Furosemid
Sulfadoxine Macrolides Aldactone
Sulfasalazine Ca Channel Blocker
Carbamazepine β Blocker
Lamotigrine Angiotensin-
converting enzime
inhibitors
Phenobarbital Statin
Phenytoin Vitamin
Phenylbutazone Hormon
Nevirapine Antagonis reseptor II
angiotensin
Oxicam NSAIDs
Thiacetazone

III.4 Patogenesis
Mekanisme yang jelas sehingga obat dapat menyebabkan timbulnya NET
belum diketahi secara pasti. Tetapi, mekanisme imunologis, metabolit obat yang
mengalami reaktivasi dan interaksi diantara keduanya diduga merupakan
patogenesis timbulnya NET.10
Meskipun rangkaian yang tepat dari peristiwa molekul dan seluler belum
dimengerti secara lengkap, beberapa studi telah memberikan petunjuk penting
tentang patogenesis dari NET. Menurut Adhi djuanda dan Mochtar Hamzah
(2009), NET ialah bentuk parah dari SSJ. Sebagian kasus-kasus SSJ berkembang
menjadi NET. Imunopatogenesis yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik). Studi
immunopatologik mendemonstrasikan kemunculan dari CD8+ limposit T pada
epidermis dan dermis dalam reaksi bentuk bulla, dengan ciri-ciri sel yang mirip
natural killers pada fase awal, dimana monosit akan muncul pada fase akhir.
Beberapa sitokin penting yaitu interleukin 6, TNF-α, dan Fas-L juga muncul pada
lesi kulit pasien NET. TNF mungkin juga berperan penting. Molekul ini muncul
pada lesi epidermis, cairan lepuh, dan dalam sel mononuclear perifer dan
makrofag. Sekarang ditemukan teori genetika yang juga berperan penting.
Penemuan di Han cina antara NET-carbamazepine dengan HLA-B1502 sangat
berhubungan, meskipun tidak muncul pada pasien Eropa yang tidak memiliki
keturunan Asia.1.2
Pada penderita NET ditemukan keratinosit mengalami apoptosis yang
luas. Kondisi ini dipicu oleh adanya gangguan detoksifikasi metabolit obat yang
bersifat reaktif. Hal ini kemudian menginisiasi respon sistem imun tubuh
membentuk kompleks antigen yang kemudian menghasilakn sitokin-sitokin
seperti interleukin (IL)-6, TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas Ligand (FasL). Pada
kondisi normal, apoptosis sel segera dieliminasi pada tahap awal oleh fagosit.
Namun, pada kondisi seperti NET apoptosis yang luas terjadi sehingga
kemampuan fagosit untuk mengeliminasi sel yang apoptosis terbatas sehingga sel
menjadi nekrosis dan menghasilkan komponen intraseluler, yang menyebabkan
respon inflamasi.3
Pada kulit yang normal FasL yang disajikan oleh keratinosit sangat rendah
dan terlokalisir di dalam sel (intraseluller). Pada lesi akibat NET, ditemukan level
FasL yang disajikan oleh kratinosit tinggi dan terletak dipermukaan luar sel
(ekstraseluler) sehingga terjadi interaksi antara Fas dan FasL. Setelah kontak
terjadi FasL menginduksi Fas multimerasi dan mengirimkan signal yang cepat
sehingga terjadi kematian cell akibat apoptosis. Semakin lausnya apoptosis
semakin menyebabkan destruksi epidermis yang luas pula.3
Gambar 1. Patogenesis SSJ dan TEN
III. 5 Manifestasi Klinis
Gejala awal NET menyerupai gejala flu seperti demam, malaise, rhinitis,
dan konjungtivitis, selain itu dapat ditemukan keluhan mata perih, nyeri menelan,
dan terkadang dapat disertai kesulitan berkemih yang mendahului timbulnya lesi
kulit 1-3 hari pertama. Manifestasi sistemik yang dapat terjadi meliputi
limfadenopati, hepatitis dan sitopenia. Lesi kulit biasanya muncul pertama kali
pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas
proksimal. Bagian distal ekstremitas atas dan bawah biasanya jarang terkena,
tetapi telapak tangan dan kaki dapat menjadi lokasi lesi awal. Pada lebih dari 90%
pasien ditemukan eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital. Pada 25%
pasien terdapat keterlibatan saluran pernapasan dan gastrointestinal. Lesi kulit
biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri.1,5
Mula-mula lesi tampak sebagai makula eritema atau purpura dengan
bentuk dan ukuran yang irregular serta mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada beberapa pasien lesi makular dapat
mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like
appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang
mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion
yang papular pada EM.1 Nekrolisis epidermal toksik dapat mengenai semua
permukaan kulit, kecuali kulit kepala yang ditumbuhi rambut.5

Gambar 2. Lesi awal dari NET.4


Tabel 1. Gejala klinis yang membedakan antara SSJ, NET, dan SSJ-NET1
Gejala Klinis SSJ SSJ-NET NET
Lesi primer Kehitaman atau Kehitaman atau Gambaran plak
merah kehitaman, merah kehitaman, eritematosa yang
flat atypical flat atypical buruk, pelepasan
targets targets epiderma(spontan
atau oleh
gesekan),
Kehitaman atau
lesi merah
kehitaman, flat
atypical targets
Distribusi Lesi terisolasi Lesi terisolasi Lesi terisolasi
Konfluen (+) Konfluen (++) Konfluen (+++)
pada wajah dan pada wajah dan pada wajah dan
batang tubuh batang tubuh batang tubuh
Keterlibatan Ada Ada Ada
mukosa
Gejala sistemik Sering Selalu Selalu
Luas permukaan <10 10-30 >30
kulit

Seiring dengan progresifitas kearah full thickness necrosis maka lesi makula
eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini
dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari.
Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya
dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut, sehingga
terbentuk bula yang memiliki ciri khas berupa mudah pecah dan dapat terjadi
spontaneus epidural detachment, dapat meluas ke lateral dengan penekanan
ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis sehingga
memberikan tanda Asboe-Hansen yang positif. Pada lesi yang tidak terjadi
detachment, dapat dilakukan tekanan mekanis ringan dengan jari sehingga
menimbulkan detachment yang disertai dengan tanda Nikolsky positif. Keadaan
kulit menyerupai gambaran kertas rokok basah (wet cigarette paper), yang dapat
lepas dengan adanya trauma, sehingga terlihat dermis kemerahan dan berdarah,
yang disebut sebagai “scalding”.1
Gambar 3. Pasien NET dengan skin detachment yang luas1.

Gambar 4. Lesi berupa bula pada pasien NET.4

III.6 Diagnosis
Nekrolisis Epidermal Toksik dengan Sindroma Steven-Johnson (SSJ)
memiliki kesamaan dalam gejala klinis, gambran histopatologi, faktor risiko,
penyebab, dan mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan
dari suatu proses yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh
yang terlibat. NET dan SSJ ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan
membran mukosa. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis, klasifikasi
pasien dibagi menjadi 3 grup.1
1. SJS : < 10% body surface area (BSA)
2. SJS-TEN overlap : 10-30% BSA
3. TEN : >30% BSA

Gambar 5. Spektrum penyakit berdasarkan


luas permukan tubuh yang terkena.1

Diagnosis NET dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan penunjang. NET ditegakkan apabila terdapat lesi berupa
detachment pada minimal 2 mukosa. Pada anamnesis pasien NET hal yang
terpenting adalah terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, selain itu
dapat deitemukan keluhan berupa nyeri menelan, kesulitan berkemih, dan adanya
gejala-gejala pada flu.
Pada pemeriksaan fisik lesi kulit yang ditemukan dapat berupa makula atau
purpura dengan ciri flat atypical targets. Pada stadium lanjut didapatkan adanya
Nikolsky sign dan Asboe Hansen Sign positif. Hal ini disebabkan karena adanya
nekrosis pada sel keratinosit sehingga terjadi pelepasan lapisan dermis dan
epidermis. Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis
harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu faktor
penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan
tubuh menggunakan BSA (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar
dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi overestimasi
dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment). Pengukuran harus
meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign
+), dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -).
Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup,
SSJ, SSJ-NET, dan NET.1
Pemeriksaan penunjang pada pasien NET adalah pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan laboratorium tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis NET, biasanya pemeriksaan
laboratorium digunakan untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien
dan memperkirakan prognosis pasien. Pada pemeriksaan histopatologi jaringan,
lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi
lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum
korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis.4

Gambar 6. Gambaran histologi NET.


A. eosinofilik nekrosis epidermis di bagian puncak, dengan respon inflamasi kecil di
dermis. Catatan pembelahan di zona persimpangan.
B. Epidermis yang nekrosis lengkap telah terlepas dari dermis dan dilipat seperti
lembar.4
III.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari NET antara lain EM (Erithema Multiforme), SSJ,
SSSS (Staphylococcus scalded skin syndrome), AGEP (Acute Generalized
Exanthematous Pustulosis) dan generalized fixed drug eruption. Pemfigus
paraneoplastik, drug-induced linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit
Kawasaki, lupus eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat
dipikirkan sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya.1
Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan
SSJ dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal. Pada beberapa
pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga
memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan
typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan
dengan atypical target lesion yang papular pada EM.1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) biasanya terjadi pada anak-
anak dan neonates, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal
ginjal dan pasien immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin
stafilokokal. Area eritem terasa nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada
membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti pada
NET, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan
dermal-epidermal seperti pada NET. Lesi berupa bula yang mudah pecah, diikuti
pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi lebih superfisial,
meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis
yang basah dan berwarna merah terang seperti pada NET. Pada SSSS sering
didapatkan adanya nasal discharge yang purulent.1
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), yang juga
merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area eritema yang luas
dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di atasnya. Adanya neutrofilia dan
eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis NET.
Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi
adalah salah satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan
infiltrat neutrofil yang padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun
tidak ada full thickness epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed
drug eruption dapat menyerupai SSJ naik secara klinis maupun histologis, untuk
itu perlu ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali.1

III.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dari SSJ dan NET memerlukan diagnosis secara
dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan
terapi spesifik. Identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang
obat yang berhubungan dengan SSJ atau NET sebelumnya sehingga dapat
ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SSJ atau NET, hal ini karena pada
penggunaan patch test akan menyebabkan paparan kembali terhadap obat
pencetus dan dapat menimbukan reaksi yang berbahaya.1
Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif pada
luka bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan sebab
utama kematian. Perawatan luka setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat
penting dan sebaiknya dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 10-
20% (atau lebih) dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu
(thermoregulated bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada
penggunaan tempat tidur dan alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi
terhadap pasien harus dilakukan secara steril dan kateter vena, bila
memungkinkan, harus dipasang pada regio yang tidak ada lesi.1
Bagan 1. Algoritma tatalaksana pada pasien SSJ atau NET.1

Perawatan luka sebaiknya dilakukan sekali dalam sehari dengan bantuan


paramedis. Penjelasan cara perawatan pasien yang baik harus diberikan kepada
paramedis, dokter perlu memberikan contoh tindakan yang akan diberikan kepada
pasien agar tidak terjadi kesalahan penyampaian informasi. Pasien harus bergerak
seminimal mungkin, karena setiap gerakan adalah penyebab utama epidermis
detachment. Perawatan kulit berkonsentrasi pada wajah, mata, hidung, mulut,
telinga, daerah anogenital, lipatan aksilaris dan interdigital lipatan. Daerah normal
diusahakan tetap kering dan tidak dimanipulasi. Daerah lesi, khususnya di bagian
belakang dan daerah yang tertekan akibat kontak dengan tempat tidur, harus
dioles dengan vaselin dan ditutup kain kasa sampai timbul reepitelisasi.1 Untuk
wajah, krusta serosa dapat dibersihkan tiap harinya dengan menggunakan NaCl
steril. Antibiotik topikal (co: mupirocin) diberikan di sekitar orificium seperti
telinga, hidung dan mulut. Penutup dari silicon dapat digunakan untuk menutup
area yang erosi. Silicone dressing tidak perlu diganti dan dapat dibiarkan menutup
sampai terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan
setiap hari dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang
tidak melekat (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien dan
di atas tempat tidur.1
Penggantian cairan (makromolekul atau larutan salin fisiologis Ringer
lactate dan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1:1) harus dimulai sesegera
mungkin dan jumlah cairan yang dibutuhkan disesuaikan tiap hari. Volume infus
biasanya lebih sedikit daripada kasus luka bakar dengan luas lesi yang sama (2/3-
¾ kebutuhan kasus luka bakar), karena pada NET tidak ada edema interstitial.
Jumlah cairan tersebut (20-30 tetes/menit), untuk memelihara output urine 0.5-1
ml/kg/jam atau minimal 50-80 ml/jam, atau 30-50 ml/jam. Transfusi diberikan
bila Ht < 30% (normal: ♂: 39-49%, ♀: 35-45%), Hb ≤ 9 g/dl, dan/atau fibrin
degradation product (FDP) ↑ (normal: < 10 µg/mL). Pertimbangan pemberian
transfuse lain adalah bila infus gagal dan didapati purpura luas. Hari pertama 300
ml, setelah habis, diberikan 10 cc kalsium glukonat 10% (lewat infus lain); hari
kedua: 300 ml.6
Pemberian nutrisi awal (hari ke-2 rawat inap) melalui nasogastric tube
untuk mempercepat penyembuhan dan menurunkan risiko translokasi bakteri dari
saluran pencernaan,3 selain menurunkan risiko stress ulcer dan memungkinkan
penghentian awal nutrisi melalui jalur vena. Jumlah kalori yang dibutuhkan
adalah 1500 kalori dalam 1500 ml, pada 24 jam pertama, dinaikkan 500 kalori/
hari sampai mencapai 3500-4000 kalori/hari.7
Untuk menghindari stress ulcer, sebaiknya tidak diberikan antacid (dapat
meningkatkan risiko infeksi bakteri lambung), tetapi diberikan sucralfate oral 6 x
1g/hari atau ranitidin i.v. 3 x 50 mg/hari, atau 2 x 1 ampul/24 jam, i.v.6
Apabila terdapat keluhan batuk dan sesak nafas moderat, dan pada pemeriksaan
oksimetri didapatkan pO2 56% (normal: 75-105 mg Hg; O2 saturasi: 95-99%),
dilakukan terapi oksigen via nasal canula dengan kecepatan aliran 8 L/menit. Apabila
terjadi perbaikan kondisi pernafasan, pemberian oksigen diturunkan menjadi 4
L/menit.6 Untuk mengurangi risiko infeksi, diperlukan penanganan aseptik.
Specimen kulit, darah, dan urine harus di kultur dalam interval tertentu.1
Penatalaksanaan pada mata, dilakukan rawat bersama dan dilakukan
pemeriksaan setiap hari dengan dokter spesialis mata untuk pencegahan kebutaan.
Kelopak mata dibersihkan setiap hari dengan NaCl steril serta pemakaian
antibiotik topikal khusus untuk mata pada kelopak mata pasien. Tetes mata
antibiotic juga perlu diberikan untuk mencegah kolonisasi bakteri yang dapat
menyebabkan timbulnya jaringan parut. Lubang hidung juga harus diberihkan
setiap hari dengan cotton bud steril yang dibasahi NaCl steril dan setelahnya
diberikan antibiotik topikal. Mulut harus dibersihkan juga beberapa kali sehari
dengan spuit berisi NaCl steril. Pada regio anogenital dan interdigital, perawatan
kulit dilakukan setiap hari dengan mengoleskan silver nitrate solution (0.5%)
pada kasus dengan maserasi atau hanya NaCl steril bila tidak ada maserasi.1
Kortikosteroid sistemik telah menjadi terapi tetap selama beberapa dekade,
namun penggunaannya masih dianggap kontroversial, meskipun suatu studi
menyatakan efektivitas kortikosteroid bila diberikan secara cepat dan dalam
periode singkat sebagai dosis denyut (pulse therapy). Kortikosteroid yang
digunakan berupa dexamethasone IV 1.5 mg/kg selama 3 hari berturut-turut.1
Prosedur pemberian steroid sistemik sebagai berikut: deksametason i.v. 2-4 x 5
mg/hari sampai lesi tidak timbul lesi baru dan lesi lama resolusi (kisaran 5-hari); dosis
selanjutnya diturunkan cepat, 5 mg/hari; setelah dosis perhari mencapai 5 mg,
dilanjutkan dengan pemberian oral deksa 4 x 0.5 mg atau prednisone 4 x 5 mg, 1 hari;
tiap hari diturunkan 3 x 5 mg, 2 x 5 mg, sampai akhirnya dicapai dosis 1 x 5 mg;
selanjutnya dihentikan.1
Antibiotik profilaksis tidak dianjurkan. Pasien hanya diberi antibiotik bila
ditemui leucopenia persisten, atau ditemui gejala dan tanda awal sepsis
(peningkatan jumlah bakteri berdasarkan kultur kulit, penurunan temperatur
mendadak atau demam, memburuknya kondisi pasien atau adanya perubahan
status mental pasien, oliguria, dan paralysis ileum). Antibiotik yang diberikan di
antaranya ceftazidime 3 x 1 g/hari, i.v,6 sefotaksim i.v. 2-3 x 1 g/h, gentamisin i.v./i.m. 2
x 60 -80 mg/h (anak: 2 x 20-40 mg/h), netilmisin i.v. 4-6 mg/kg/hari, klindamisin i.v. 2
x 600 mg/hari. Antibiotik dihentikan bila tanda infeksi hilang atau dosis deksametason
sudah 5 mg/hari.6
Secara teori, terapi yang mampu memblok secara selektif dari apoptosis
keratinosit akan mempunyai potensial efek dalam mengobati SSJ maupun NET.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa Fas-mediated cell death (yang diinduksi
secara in-vitro pada kulit yang berlesi pada pasien dengan NET) dapat dihambat
dengan antibody monoclonal terhadap FasL atau Fas, mengindikasikan bahwa
antibody ini dapat berguna dalam pengobtan NET. Bila digunakan dalam dosis
tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari) untuk mengobati pasien dengan NET, IVIg
secara konsisten dan cepat dapat menghambat progresivitas penyakit dan
pelepasan epidermis (epidermal detachment) pada 10 dari 10 pasien dalam
studi1,2. Penelitian lainnya juga menunjukkan efektivitas yang kurang lebih sama,
bila digabungkan, 8 dari 11 studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total
>2g/kg diberikan dalam 3-4 hari) dapat mengurangi angka kematian akibat NET.1

III. 9 Komplikasi
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi
umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian
besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari
area “reservoir” seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan
folikel rambut. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak
sempurna, dan sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion,
scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis,
sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.1
Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia antara lain
bronkopneumonia (16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi renal, dan sepsis.1

III. 10 Progosis
Pada NET ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis
buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat,
peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan
trombositopenia secara statistic berhubungan dengan prognosis buruk.
Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya
prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko
kematian sebesar 30%. Penialai derajat keparahan penyakit untuk NET dapat
dilakukan melalui SCORTEN melalui tujuh parameter untuk menentukan
prognosis dari penyakit.1
Tabel 2. SCORTEN (Severity-of-Illness Score for Toxic Epidermal Necrolysis)1
SCORTEN
Faktor Prognosis Nilai
Usia > 40 tahun 1
Denyut jantung > 120x/menit 1
Kangker atau keganasan hematologi 1
BSA pada hari pertama > 10% 1
Kadar serum urea > 10mmol/L 1
Kadar serum bikarbonat < 20mmol/L 1
Kadar serum glukosa > 140 mmol/L 1
SCORTEN Mortality Rate
0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
≥5 90

Kematian tersering disebabkan oleh infeksi terutama S. aureus dan


Pseudomonas aeruginosa. Kehilangan cairan transepidermal yang berat dikaitkan
dengan ketidakseimbangan elektrolit, inhibisi dari sekresi insulin, dan resistensi
insulin juga dapat menjadi faktor yang memperberat. Penatalaksanaan semua
komplikasi NET ini (dapat pula terjadi pada SSJ) paling baik dilakukan dalam
intensive care unit.1
BAB III
LAPORAN KASUS

III.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama : Ny. KR
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir : 20 Juni 1992
 Usia : 27 Tahun
 Alamat : Contel 4/1 Kopeng Getasan
 No. Rekam Medis : 174***-2019
 Tanggal datang : 23 Juli 2019

III.2 ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 Juli 2019,
pukul 14.00 WIB di ruang rawat inap Dahlia RSUD Ambarawa.
a. Keluhan Utama
Bercak kemerahan diseluruh tubuh.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan muncul bercak
kemerahan diseluruh tubuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Bercak
pertama muncul di lengan atas lalu semakin lama semakin menyebar ke
seluruh tubuh. Beberapa bercak pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu
dan membesar. Bercak terasa gatal dan panas. Keluhan gatal dan panas terjadi
sepanjang hari dan semakin bertambah berat saat pasien berkeringat. Pasien
juga mengeluh bibir bengkak dan berwarna kemerahan serta terasa nyeri.
Keluhan muncul gelembung dikulit disangkal. Enam hari yang lalu pasien
mengalami demam. Demam dirasakan sepanjang hari. Pasien juga mengeluh
mual dan muntah. Keluhan sesak dan sakit menelan disangkal. Nafsu makan
pasien dikatakan baik. Pasien menyangkal adanya rasa nyeri saat BAK. BAK
dan BAB pasien dikatakan normal.
Pasien sempat dirawat di RS Dr. Asmir, lalu selanjutnya dirujuk ke
RSUD Ambarawa. Satu bulan yang lalu pasien melahirkan secara SC, lalu
setelah itu diberikan obat pulang antibiotik cefadroxil dan dexketoprofen oleh
dokter spesialis kandungan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan muncul bercak merah di
seluruh tubuh sebelumnya.
d. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, namun diketahui
pasien memiliki alergi terhadap obat Dexketoprofen.
e. Riwayat pengobatan
Pasien sudah berobat ke RS Dr. Asmir lalu dari rumah sakit tersebut
dirujuk ke RSUD Ambarawa.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Dikeluarga pasien
tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan muncul bercak kemerahan
diseluruh tubuh. Riwayat alergi dikeluarga disangkal.
g. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan suami pasien bekerja
sebagai pegawai RS. Rumah pasien terdiri dari 3 kamar tidur dan 1 kamar
mandi yang terletak didalam rumah disertai jamban. Lantai rumah berupa
keramik dan sirkulasi udara cukup memadai. Pasien tidak memiliki kebiaaan
meminum jamu tradisional. Kesan ekonomi cukup.

III.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Composmentis
 Vital Sign : TD: 120/70, Nadi: 92x/menit, Pernapasan:
20x/menit, Suhu: 37.2oC
B. Pemeriksaan Kepala dan Leher
 Bentuk : Normocephale
 Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, lesi (-)
 Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis, tidak
ada sekret yang keluar dari lubang hidung
 Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis, edema,
hiperemis
 Leher : Leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya massa atau
pembesaran getah bening
C. Thorax
Paru
Inspeksi : Deformitas (-), pergerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Simetris kiri=kanan, vokal fremitus normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar bronkovesikuler (+/+), Rhonkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1 > S2 murni reguler, tidak ada suara tambahan
D. Abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, tidak teraba pembesaran hati dan limpa, nyeri tekan
(-)
Perkusi : Bunyi timpani diseluruh lapang abdomen kecuali daerah
hati
E. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), terdapat lesi multiple makula hiperpigmenasi
F. Status Dermatologis
Lokasi : Seluruh tubuh
UKK : plaque eritema generalisata
Gambar 7. Efloresensi pasien 23 Juli 2019
G. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.5 11.7-15.5
Lekosit 5.62 3.6-11.0
Eritrosit 4.85 3.8-5.2
Hematokrit 36.4 36-47
MCV 73.1 L 82-98
MCH 25.7 L 27-32
MCHC 36.2 32-37
RDW 17.2 H 10-16
Trombosit 107 L 150-400
MPV 11.8 7-11
Limfosit 1.60 1.0-4.6
Basofil 0.213 H 0-0,2
Eosinofil 0.045 0,04-0,8
Monosit 1.31 H 0.2-1.0
Kimia Klinik
SGOT 438 H 0-35
SGPT 432 H 0-35
Ureum 14 10-50
Kreatinin 0.64 0.45-0.75
III.4 FOLLOW UP PASIEN
Hari/Tanggal S O A P
Selasa, 23 Juli Bercak Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 28 tpm
UKK : plak eritema
2019 kemerahan - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
diseluruh tubuh, - Inj Ranitidine 4x50 mg
terasa panas dan - Inj Dexamethasone
gatal 4x5mg
- Inj Ondansetron 3x4mg
- PO Cetirizine 1x10mg
- PO Paracetamol 3x500
mg
Rabu, 24 Juli Keluhan masih Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 28 tpm
UKK : plak eritema
2019 mengeluh gatal - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
pada seluruh - Inj Ranitidine 4x50 mg
tubuh, gatal - Inj Dexamethasone
pada kaki 4x5mg
berkurang, - Inj Ondansetron 3x4mg
pasien - PO Cetirizine 1x10 mg
mengeluh bibir - PO Paracetamol 3x500
semakin merah mg
dan bengkak
Kamis. 25 Juli Pasien Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 28 tpm
UKK : plak eritema
2019 mengeluh - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
tangan dan - Inj Ranitidine 4x50 mg
kakinya - Inj Dexamethasone
kembali terasa 4x5mg
gatal dan panas. - PO Cetirizine 1x10 mg
Keluhan gatal di - PO Paracetamol 3x500
badan mg k/p
berkurang - PO N asetilsistein
3x200 mg
Jumat. 26 Juli Pasien Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 28 tpm
UKK : plak eritema
2019 mengeluh rasa - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
gatal pada - Inj Dexamethasone
tangan dan kaki 3x5mg
berkurang - Inj Omeprazole 1x40mg
- PO Cetirizine 1x10 mg
- PO N asetilsistein
3x200 mg
- PO Lesipar 3x1 tab
Sabtu, 27 Juli Keluhan gatal Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 20 tpm
UKK : plak eritema
2019 sudah sangat - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
berkurang, rasa - Inj Dexamethasone
panas sudah 3x5mg
tidak ada. - Inj Omeprazole 1x40mg
Kemerahan di - PO Cetirizine 1x10 mg
wajah masih - PO N asetilsistein
ada namun lebih 3x200 mg
baik - PO Lesipar 3x1 tab
dibandingkan - Mometason Furoat
kemarin, Cream (pagi-sore)
kemerahan di
badan, tangan
dan kaki sudah
mulai memudar
Senin, 29 Juli Keluhan gatal Lokasi : seluruh tubuh TEN - IVFD RL 20 tpm
UKK : papul, eritema
2019 dan panas di - Inj Cefotaxime 3x1 gr
generalisata
seluruh tubuh - Inj Dexamethasone
berkurang 1x5mg
- Inj Omeprazole 1x40mg
- PO Cetirizine 1x10mg
- PO N asetilsistein
3x200mg
- PO Lesipar 3x1 tab
- Mometason Furoat
Cream (pagi-sore)

Obat pulang :
- Methylprednisolon pagi
1x16 mg, malam 1x8mg
- Lansoprazole 2x30mg
- Cetirizine 1x10mg
- N asetilsistein 3x200mg
- Cefadroxil 2x500mg
Gambar 8. Efloresensi pasien 26 Juli 2019

III.5 RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan muncul
bercak kemerahan diseluruh tubuh sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Bercak pertama muncul di lengan atas lalu semakin lama semakin menyebar ke
seluruh tubuh. Beberapa bercak pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu
dan membesar. Bercak terasa gatal dan panas. Keluhan gatal dan panas terjadi
sepanjang hari dan semakin bertambah berat saat pasien berkeringat. Pasien
juga mengeluh bibir bengkak dan berwarna kemerahan serta terasa nyeri. Enam
hari yang lalu pasien mengalami demam. Demam dirasakan sepanjang hari.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Satu bulan yang lalu pasien
melahirkan secara SC, lalu setelah itu diberikan obat pulang antibiotik
cefadroxil dan dexketoprofen oleh dokter spesialis kandungan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
status dermatologis pada seluruh tubuh dengan ujud kelainan kulit yaitu plaque
eritema generalisata. Tidak ditemukan lesi pada mukosa di daerah anus dan
vagina serta tidak ditemukan konjungtiva anemis.
III.6 ASSESMENT
 Diagnosa Banding
o Stevens-Johnson Syndrome
o Erithema Multiforme
 Diagnosa Kerja
Toxix Epidermal Necrolysis

III.7 TERAPI
Non Medikamentosa
 Istirahat yang cukup
 Menjaga lesi tetap bersih dan kering
Medikamentosa
 IVFD RL 28 tpm
 Inj Cefotaxime 3x1 gr
 Inj Ranitidine 4x50 mg
 Inj Dexamethasone 4x5mg
 Inj Ondansetron 3x4mg
 PO Cetirizine 1x10mg
 PO Paracetamol 3x500 mg
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 27 tahun datang dengan keluhan keluhan muncul


bercak kemerahan diseluruh tubuh sejak 4 hari yang lalu. Bercak pertama muncul
di lengan atas lalu semakin lama semakin menyebar ke seluruh tubuh. Bercak
terasa gatal dan panas. Sebelumnya pasien sempat mengkonsumsi obat cefadroxil
dan dexketoprofen. Menurut literatur, gejala awal dari nekrosis epidermal toksik
dapat hanya berupa makula eritema di tubuh dan ekstremitas bagian proksimal.
Lesi dapat berkembang menjadi erupsi kulit dan terjadi pengelupasan lapisan
epidermis (epidermolisis) yang luas (generalisata) dengan keterlibatan membran
mukosa berupa erosi , yang meninggalkan lapisan kulit yang terlihat mengelupas.
Sesuai dengan kepustakaan bahwa TEN adalah penyakit kulit yang diinduksi oleh
obat-obatan. Pada pasien ini, sebelumnya ia pernah mengkonsumsi antibiotik
Cefadroxil dan tidak terjadi reaksi apapun, jadi kemungkinan keluhan yang
dialami oleh pasien ini disebabkan karena reaksi dari obat Dexketoprofen. Pasien
juga mengalami demam sebelum munculnya bercak kemerahan. Keluhan nyeri
menelan disangkal, BAK tidak ada keluhan. Pada beberapa pasien, gejala awal
TEN menyerupai gejala flu seperti demam, malaise, rhinitis, dan konjungtivitis,
selain itu dapat ditemukan keluhan mata perih, nyeri menelan, dan terkadang
dapat disertai kesulitan berkemih yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari
pertama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
status dermatologis pada seluruh tubuh dengan ujud kelainan kulit yaitu plak
eritema generalisata. Kelainan kulit pada TEN mulai dengan eritema generalisata
kemudian timbul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura. Pada TEN
yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya
yang kemudian menyeluruh. Pada sebagian besar pasien, kelainan kulit hanya
berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula. Kelainan
kulit pada TEN dapat menyerupai Stevens-Johnson Syndrome, perbedaanya pada
Stevens-Johnson Syndrome tidak terdapat epidermolisis seperti pada NET dan
pada Stevens-Johnson Syndrome hanya mengenai kurang dari 10% luas
permukaan tubuh. Pada pasien ini hampi seluruh tubuhnya terdapat lesi berupa
eritema, atau bisa dikatakan lebih dari 30% luas permukaan tubuh.
Diagnosis banding dari kasus TEN pada pasien ini antara lain EM
(Erithema Multiforme) dan Stevens-Johnson Syndrome. Pada EM, lesi memiliki
ciri khas berupa typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris
yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM. Sedangkan
pada beberapa pasien TEN lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak
kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance.1
Tatalakana yang diberikan berupa non medikamentosa dan medikamentosa.
Non medikamentosa berupa istirahat, menjaga lesi tetap bersih dan kering agar
terhindar dari infeksi sekunder. Selain itu pemberian edukasi mengenai penyakit
bahwa salah satu penyebabnya adalah karena reaksi dari obat-obatan. Pada kasus
ini dengan penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko
kematian sebesar 30%. Pengobatan pada pasien ini berupa terapi sistemik. Oleh
dokter diberikan Cefotaxime, Ranitidine, Dexamethasone, Ondansetron,
Cetirizine, Paracetamol. Pemberian kortikosteroid sistemik banyak digunakan
pada setiap kasus NET, karena memberikan hasil klinis yang cukup baik.
Pemberian kortikosteroid pada pasien ini berupa Injeksi Dexamethasone dengan
dosis 4x5mg. Pemberian ranitidin untuk mencegah iritasi lambung karena efek
samping dari kortikosteroid. Pemberian antibiotik cefotaxime karena pasien
mengalami demam dan untuk mencegah infeksi sekunder. Pemberian ondansetron
untuk mengurangi gejala mual dan muntah. Pemberian cetirizin untuk mengurangi
gejala gatal dan pemberian paracetamol sebagai antipiretik serta sebagai analgetik.
BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan pasien perempuan Ny. KR usia 27 tahun dengan diagnosis


Toxic Epidermal Necrolysis. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan muncul bercak kemerahan
yang muncul sejak 4 hari yang lalu. Bercak kemerahan terasa gatal dan nyeri
terutama saat berkeringat. Pasien sebelumnya juga mengalami demam disertai
kekuhan mual dan muntah.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Status generalis pasien dalam batas normal dan suhu
saat diperiksa 37.2oC. pada status dermatologis didapatkan lokasi lesi pada
seluruh tubuh dengan ujud kelainan kulit berupa plak eritema generalisata.
Dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan trombosit dan
peningkat SGOT dan SGPT.
Penatalaksanaan diberikan obat sistemik yaitu Cefotaxime, Ranitidine,
Dexamethasone, Ondansetron, Cetirizine, Paracetamol. Prognosis pada pasien quo
ad vitam adalah dubia, sedangkan quo ad functionam dan quo ad sanationam
adalah dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Revuz J, Allanore LV. Drug Reaction. In : Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J.


Textbook of Dermatology. 2nd edition. 2008. London: Mosby Elsevier: 291-9.
2. James WD., Berger, T., Elston D. Bullous drug reactions (Stevens–Johnson
syndrome [SJS] and toxic epidermal necrolysis [TEN]). In: Andrew's Diseases
of the Skin, Clinical Dermatology. 11th Edition. 2011. London : Saunders
Elsevier:114-5.
3. Lee HY, Martanto W, Thirumoorthy T. Epidemiology Of Stevensejohnson
Syndrome And Toxic Epidermal Necrolysis In Southeast Asia. Dermatol Sinica.
2013:217-20.
4. Allanore LV., Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens–Johnson Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis). In : Goldsmith LA, Katzs SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 8th Edition. New York: McGrawHill: 2008:441-8.
5. Breathnatch SM. Erythema Multiforme, Stevens–Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. In : Burns Tony, Breathnach S, Cox N, Griffith
Christopher, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th Edition. Vol II.
Massachussets: Blackwell Science: 2004: 74.1-74.20.
6. Cabral L, Riobom F, Diogo C, Teles L, Cruzeiro C. Toxic Epidermal
Necrolysis - Lyell’s Syndrome. Ann. Burns and Fire Disasters 2004;17(2):
7. Mockenhaupt M. The Current Understanding of Stevens-Johnson Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol. 2011;7(6):803-
15.

Anda mungkin juga menyukai