Anda di halaman 1dari 20

RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


IMPETIGO BULOSA

Pembimbing :
dr. Eko Riyanto, Sp.KK

Penyusun :
Christian Adithya Suwito,S.Ked

2010.04.0.0041

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
2015

RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN


RSAL DR. RAMELAN SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
Penyusun : Christian Adithya Suwito,S.Ked

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status
Suku/Bangsa
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Pemeriksaan

2010.04.0.0041

: An. M.M.S
: 4 tahun
: Laki-laki
: Belum menikah
: Jawa
: Islam
:: Sby
: 20 October 2015

ANAMNESA
a. Keluhan Utama :
Keropeng pada kaki dan tangan
b. Keluhan Tambahan :
Gatal
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Penderita datang ke poli kulit kelamin RSAL Dr.Ramelan
Surabaya pada tanggal 20 October 2015 dengan keluhan
keropeng pada kaki dan tangan sejak 2 hari sebelum
kunjungan ke poli. Ibu penderita juga mengatakan 5 hari
yang lalu timbul gelembung berisi cairan pada kaki dan
tangan penderita. Awalnya muncul 1 gelembung kecil berisi
nanah yang kemudian semakin lama meyebar semakin
banyak.

Sebagian gelembung tersebut kemudian pecah

setelah kira-kira 2 hari dan beberapa ada yang cairannya


menjadi keruh. Cairan dari gelembung yang pecah menjadi
kering bewarna kecoklatan. Gelembung juga terdapat pada
telapak kaki.
Selain itu ibu penderita mengatakan bahwa penderita
juga mengeluhkan gatal pada sekitar luka. Gatal dirasakan
penderita hampir sepanjang hari. Ibu penderita mengatakan
anaknya sumer. Ibu penderita mengaku anaknya tidak mual
1

dan muntah selama sakit. Ibu penderita mangatakan


beberapa anak tetangga yang bermain dengan penderita
mengalami sakit yang sama.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penderita pernah mengalami sakit serupa pada usia sekitar
2 tahun pada bagian yang sama yakni kaki kanan dan kiri
namun gelembung-gelembung berisi cairan dan keropeng

yang muncul tidak sebanyak saat ini.


Riwayat alergi obat disangkal, riwayat alergi makanan

disangkal.
Riwayat asma disangkal.
Riwayat digigit serangga disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat sakit serupa pada anggota keluarga yang lain
disangkal.
Riwayat alergi disangkal.
Riwayat sakit serupa di lingkungan sekitar disangkal.
e. Riwayat Psikososial :
Penderita tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan kakaknya.
Penderita mandi teratur 3x sehari dengan sabun dan
menggunakan air PDAM.
Penderita menggunakan handuk sendiri.
Penderita ganti baju 2x sehari.
Penderita memiliki kebiasaan bermain bersama teman tanpa
menggunakan alas kaki.
Penderita tidak dibiasakan untuk mencuci tangan dan kaki
sebelum tidur.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Berat badan
: 20 kg
Tekanan darah
: Tidak diukur
Nadi
: 90x / menit
2

Pernafasan
: 20x/ menit
Kepala/leher
: pembesaran KGB (-)
Thorax
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal
Extremitas
: Lihat status dermatologis
b. Status Dermatologis
Regio
: Dorsum Manus Digiti 1 dan 3
Efloresensi
: Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di
dasarnya dan bula hipopion

Regio
Efloresensi

Gambar 1.1 Regio Dorsum Manus


: Ekstremitas Inferior Kruris dextra
: Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di
dasarnya dan vesikel berisi nanah

Gambar 1.2 Regio Ekstremitas Inferior Kruris dextra

Regio
Efloresensi

: Ekstremitas Inferior Kruris Sinistra


: Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di
dasarnya

Gambar 1.3 Regio Ekstrimitas Inferior Kruris Sinistra


RESUME
Seorang anak laki-laki usia 4 tahun datang ke poli kulit
kelamin RSAL Dr.Ramelan Surabaya pada tanggal 20 October 2015
dengan keluhan keropeng pada kaki dan tangan sejak 2 hari
sebelum kunjungan ke poli. 5 hari sebelum kunjungan ke poli, timbul
gelembung berisi cairan pada kaki dan tangan penderita. Sebagian
gelembung tersebut kemudian pecah setelah kira-kira 2 hari dan
beberapa ada yang cairannya menjadi keruh. Cairan dari gelembung
yang pecah menjadi kering bewarna kecoklatan. Gelembung juga
terdapat pada telapak kaki.
Selain itu penderita juga mengeluhkan gatal pada kedua
kakinya terutama di sekitar gelembung-gelembung kecil tersebut.
Gatal dirasakan penderita hampir sepanjang hari sehingga hal
tersebut membuat penderita sering menggaruk kakinya. Penderita
juga merasa sumer. Ibu penderita mangatakan beberapa anak
tetangga yang bermain dengan penderita mengalami sakit yang
sama.
Penderita pernah mengalami sakit serupa pada usia sekitar 2
tahun pada bagian yang sama namun tidak sebanyak ini. Penderita

memiliki kebiasaan bermain bersama teman tanpa menggunakan


alas kaki. Penderita tidak dibiasakan untuk mencuci tangan dan kaki
sebelum tidur.
Pemeriksaan Fisik
Status Dermatologis
Regio
: Dorsum Manus Digiti 1 dan 3
Efloresensi
:Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di dasarnya
dan bula hipopion
Regio
Efloresensi

: Ekstrimitas Inferior Kruris dextra


: Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di dasarnya
dan vesikel berisi nanah

Regio
Efloresensi
IV.
V.
VI.

: Ekstrimitas Inferior sinistra


: Tampak krusta kecoklatan dengan erosi di dasarnya

DIAGNOSA KERJA
Impetigo bulosa
DIAGNOSA BANDING
Impetigo krustosa, Ektima, Varisela
PENATALAKSANAAN
a. Planning Diagnosa
Pemeriksaan gram

b. Planning Terapi
Umum
Mencuci lesinya pelan-pelan dengan larutan sodium
chloride 0,9%.
Drainase: pustula dengan ditusuk jarum steril untuk
mencegah penyebaran lokal.
Khusus
Topikal
Antibiotik topikal: asam fusidat 2% salep (3 dd ue).
Sistemik
Antibiotik: amoxicillin 500 mg 3 dd tab.
Antihistamin: CTM 4 mg 2 dd tab.
c. Planning Edukasi
Tekankan kepatuhan pada pengobatan
Meminta ibu penderita untuk membersihkan lesi
berkrusta dengan air hangat sebelum memakai terapi
topikal.
Instruksikan pada penderita agar memakai sabun
antibakteri.
Meminta ibu penderita untuk mewajibkan penderita
memakai alas kaki tiap kali bermain di luar rumah
serta membiasakan mencuci tangan dan kaki dengan
sabun dan air mengalir tiap kali dari luar rumah dan
saat akan tidur.
Memotong kuku jari tangan dan kaki.
Untuk sementara waktu menjauhkan

penderita

terutama dari teman sebaya karena kemungkinan lesi


masih sangat menular serta memperhatikan higienitas
penderita sebaik mungkin.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Impetigo

2.1.1 Definisi dan Batasan


Impetigo ialah pioderma superfisialis (terbatas pada epidermis)
(Menaldi SLSW, 2015). Impetigo merupakan penyakit infeksi piogenik
pada kulit yang superfisial dan menular disebabkan oleh Staphylococcus
dan atau Streptococcus (PDT, 2005). Impetigo paling sering ditemukan
pada anak-anak usia prasekolah dan remaja. Dinamakan menurut kata
Perancis dan Latin yang berarti erupsi keropeng yang menyerang.
Infeksi kulit superfisial ini disebabkan oleh

Streptococcus Beta

Hemolitikus grup A bila lesinya berkrusta dan oleh Staphylococcus aureus


bila lesinya bulosa (Goldstein AO & Goldstein BG, 2001).
2.1.2 Klasifikasi
Terdapat dua bentuk klinis impetigo, yaitu impetigo bulosa dan non
bulosa. Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Saat ini,
pada negara-negara industri, impetigo non bulosa paling banyak
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Penyebab lain dari impetigo non
bulosa yakni Streptococcus grup A. Pada negara-negara berkembang
Streptococcus grup A menjadi penyebab tersering terjadinya impetigo non
bulosa (Gilchrest BA et al., 2008).
2.1.3 Epidemiologi
Berdasarkan data statistik di Amerika Serikat, impetigo merupakan
10% penyebab tersering kelainan kulit pada klinik-klinik pediatri. Impetigo
merupakan infeksi kulit oleh karena bakteri yang menduduki peringkat ke3 sebagai kelainan kulit yang paling banyak terjadi pada anak-anak.
Impetigo lebih sering terjadi pada lingkungan yang lembab dan hangat.
Prevalensi impetigo bervariasi menurut musim, dengan insidensi puncak
selama musim panas dan gugur. Menurut statistik internasional, impetigo
lebih banyak terjadi pada tempat dengan iklim tropis dan dataran rendah.
8

Lingkungan yang lembab dan hangat dikombinasikan dengan frekuensi


kerusakan

kulit

oleh

karena

gigitan

serangga

memungkinkan

perkembangan penyakit ini sepanjang tahun di daerah yang beriklim


tropis. Selain itu kepadatan penduduk serta higienitas yang rendah juga
meningkatkan insidensi terjadinya impetigo. Impetigo dapat menyerang
semua orang tanpa memperhatikan ras. Secara keseluruhan, insidensi
pada laki-laki dan perempuan sama. Namun pada penderita dewasa,
impetigo lebih sering terjadi pada laki-laki. Impetigo dapat terjadi di semua
umur namun paling sering terjadi pada anak-anak usia 2-5 tahun. Impetigo
bulosa lebih sering terjadi pada neonatus dan bayi dimana 90% kasus
terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun (Lewis LS, 2014).
2.2

Impetigo Bulosa

2.2.1 Definisi
Impetigo bulosa memiliki nama lain impetigo vesiko-bulosa, cacar
monyet (FK UI, edisi 7)
2.2.2 Etiologi
Impetigo bulosa dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
2.2.3 Epidemiologi
Impetigo bulosa terutama mengenai anak-anak yg belum sekolah.
Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, sama
banyak. Pada orang dewasa, impetigo bulosa sering terdapat pada
mereka yg tinggal bersama-sama dalam satu kelompok, seperti asrama
dan penjara. Faktor predisposisi terjadinya impetigo bulosa yakni
higienitas yang jelek dan malnutrisi (Harahap M, 2000).

2.2.4 Manifestasi klinis


Kelainan kulit pada impetigo bulosa diawali dengan timbul bula
yang bertambah besar, kurang cepat pecah dapat tahan 2-3 hari. Isi bula
mula-mula

jernih,

kemudian

keruh,sesudah

pecah

tampak

krusta

kecoklatan yang tepinya meluas dan tengahnya menyembuh, sehingga


tampak gambaran lesi sirsiner (PDT, 2005). Biasanya yang dikeluhkan
penderita muncul gelembug-gelembung kecil yang berisi nanah yang
semakin lama menyebar. Karena impetigo terbatas hanya pada epidermis
dan tidak mencapai bagian yang lebih dalam sehingga penderita hanya
mengeluh gatal tanpa disertai nyeri

Gambar 2.1 Impetigo bulosa

10

2.2.5 Predileksi
Berdasarkan data epidemiologi menyatakan daerah predileksi
impetigo bulosa antara lain leher, ketiak, dada, punggung serta telapak
kaki atau tangan dengan gambaran efloresensi yang khas berupa bula
hipopion.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis impetigo bulosa ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada
(Russell JJ, Tennenhouse DJ, & Trozak DJ, 2006).
2.2.7 Diagnosis banding
Diagnosis banding impetigo bulosa, terdiri dari:
a. Varisela
Varisela menyebabkan vesikel kecil diskret dalam berbagai
stadium pada dasar yang eritematosa. Namun, varisela dapat secara
sekunder terinfeksi dengan impetiginasi (Goldstein AO & Goldstein
BG, 2001). Selain itu, varisela biasanya didahului dengan gejala
prodromal seperti demam serta munculnya lesi secara sentrifugal.
Gambaran khas pada variselan yang khas adalah adanya gambaran
vesikel berisi cairan bening atau serous.
b. Infeksi jamur
Pada dermatofitosis terdapat penyembuhan di tengah lesi
(Harahap M, 2000). Pada impetigo pemeriksaan KOH negatif serta
tidak berespons terhadap obat anti jamur (Goldstein AO & Goldstein
BG, 2001).
c. Ektima
Infeksi bakteri ulseratif ini disebabkan oleh Streptococcus Beta
hemolitikus grup A. Paling sering terjadi pada tungkai bawah anakanak dan dewasa muda, terutama pada lesi eskoriasi karena

11

penyakit yang gatal misalnya gigitan serangga dan lesi yang


diabaikan (Goldstein AO & Goldstein BG, 2001).

Gambar 2.2 Ektima. Tampak kelainan kulit berupa ulkus yang disertai adanya
krusta tebal berlapis di atasnya pada regio tungkai bawah seorang penderita
(Gilchrest BA et al., 2008).

2.2.8

Penatalaksanaan

2.2.8.1 Umum
Drainase: bula dan pustula dengan ditusuk jarum steril untuk
mencegah penyebaran lokal.
Mencuci lesinya pelan-pelan dan melepas krustanya. Bila krusta
melekat kuat, dikompres lebih dulu dengan larutan sodium chloride
0,9%. Krusta perlu dilepas agar obat topikalnya dapat efektif
bekerja (PDT, 2005).
Bila infeksi resisten terhadap terapi, diindikasikan biakan dengan uji
sensitivitas.
Obati kontak erat yang juga terinfeksi (Goldstein AO & Goldstein
BG, 2001).
2.2.8.2 Khusus
12

Terapi topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal apabila lesi terbatas, terutama
pada wajah dan penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini
dapat sebagai profilaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak
melakukan aktivitas di sekolah ataupun di tempat lainnya. Antibiotik topikal
diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari (Berger TG, Elston DM, &
James WD, 2006).
a. Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal
dari Pseudomonas fluorescent. Mekanisme kerja mupirocin yakni
menghambat sintesis protein (asam amino) dengan mengikat
isoleusil-tRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus
gram

positif

seperti

Staphylococcus

dan

sebagian

besar

Streptococcus. Salep mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan


impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus
pyogenes (Gilchrest BA et al., 2008).

b. Asam fusidat
Asam fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium
coccineum. Mekanisme kerja asam fusidat yakni menghambat
sintesis protein. Salep atau krim asam fusidat 2% aktif melawan
kuman gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin
topikal (Koning S et al., 2002).
c. Bacitracin
Bacitracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari
strain Bacillus subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan
membran lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus gram positif
seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitracin topikal efektif

13

untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti impetigo


(Gilchrest BA et al., 2008).
d. Retapamulin
Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan cara
berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan
peptidil transferase. Salep retapamulin 1% telah diterima oleh Food
and Drug Administration (FDA) sebagai terapi impetigo pada remaja
dan anak-anak di atas 9 bulan dan telah menunjukkan aktivitasnya
melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat seperti
metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin (Lewis LS,
2014).
Terapi sistemik
Diindikasikan bila terdapat lesi yang luas atau berat, limfadenopati,
atau gejala sistemik. Lama pengobatan paling sedikit 7-10 hari.
1. Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu):
a. Penisilin G prokain injeksi
Dosis: 0,6-1,2 juta IU I.M, sehari 1-2 kali. Anak-anak: 25.00050.000 IU/kg/dosis, sehari 1-2 kali (PDT, 2005). Obat ini tidak dipakai
lagi karena tidak praktis, diberikan I.M dengan dosis tinggi dan makin
sering terjadi syok anafilaktik (Menaldi SLSW, 2015).
b. Ampisilin
Dosis 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali. Anak-anak: 7,5-25
mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c (PDT, 2005).
c. Amoksisilin: penulisan resep harus diparaf staf medik.
Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 3 kali. Anak-anak: 7,5-25
mg/kg/dosis, sehari 3 kali a.c (PDT, 2005). Dosis sama dengan
ampicilline, keuntungan lebih praktis karena dapat diberikan setelah
makan. Juga cepat diabsorbsi dibandingkan dengan ampicillin
sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi (Menaldi SLSW,
2015).
14

d. Kloksasilin (untuk Staphlococci yang kebal penisiline)


Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali a.c. Anak-anak: 10-25
mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c (PDT, 2005). Golongan obat ini
mempunyai kelebihan karena juga berkhasiat bagi Staphylococcus
aureus yang telah membentuk penisilinase.
e. Dikloksasilin (untuk Staphlococci yang kebal penisiline)
Dosis: 125-250 mg/dosis, sehari 3-4 kali a.c. Anak-anak: 5-15
mg/kg/dosis, sehari 3-4 kali a.c (PDT, 2005).
f. Phenoxymethyl penicilline (penisiline V)
Dosis: 250-500 mg, sehari 4 kali a.c. Anak-anak: 7,5-12,5
mg/kg/dosis, sehari 4 kali a.c (PDT, 2005).
2. Eritromisin
Dosis: 250-500 mg/dosis, sehari 4 kali p.c. Anak-anak: 12,5-50
mg/kg/dosis, sehari 4 kali p.c (PDT, 2005). Efektivitasnya kurang
dibandingkan dengan klindamisin dan obat golongan penisilin
resisten-peninsilinase. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering
memberi rasa tidak nyaman di lambung.
3. Klindamisin
Dosis: 150-300 mg/dosis, sehari 3-4 kali. Anak-anak lebih dari 1
bulan: 8-20 mg/kg/hari, sehari 3-4 kali. Klindamisin diabsorbsi lebih
baik dibandingkan linkomisin, selain itu obat ini memiliki potensi
antibakteri yang besar. Efek samping lebih sedikit serta pada
pemberian per oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan
dalam lambung.

15

Tabel 2.1 Pedoman regimen penatalaksanaan impetigo (Gilchrest BA et al.,


2008).

2.2.8.3 KIE penderita


Tekankan kepatuhan pada pengobatan.
Perintahkan penderita untuk membersihkan lesi berkrusta dengan
air hangat sebelum memakai terapi topikal.
Instruksikan pada penderita agar memakai sabun antibakteri.
Beritahukan penderita bahwa perubahan pigmentasi kulit pasca
inflamasi dapat menetap selama beberapa bulan setelah infeksi
awal sembuh.
Pemeriksaan lanjutan pada kasus resisten, kasus rekuren, dan
setiap tanda penyakit ginjal (contohnya hematuria atau keterlibatan
traktus urinarius lainnya).
Memberitahukan pada penderita bahwa lesi mungkin menular
sampai 24 jam setelah terapi awal dan agar dia melakukan
tindakan higiene yang ketat (contohnya mencuci tangan dengan
bersih) dan menghindari kontak lesi langsung dengan orang yang
tidak terkena. Anak-anak yang terkena harus diliburkan dari
sekolah selama 1 atau 2 hari sampai lesi memperlihatkan tandatanda penyembuhan (Goldstein AO & Goldstein BG, 2001).

16

2.2.9 Prognosis
Prognosis dari impetigo bulosa bergantung pada pemilihan dan
cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor
predisposisi. Secara umum mengingat penatalaksanaan yang diberikan
untuk mengeradikasi bakteri penyebab, prognosis penyakit pada penderita
impetigo bulosa adalah baik.
2.2.10 Komplikasi
a. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan
penetrasi ke dermis menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma
pada jaringan kutan yang ditandai dengan adanya ulkus dan krusta
tebal (Harahap M, 2000).
b. Selulitis
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan
terjadinya selulitis, meskipun kasus seperti ini jarang terjadi. Selulitis
merupakan peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan
yang ditandai oleh eritema setempat, ketegangan kulit disertai
malaise, menggigil, dan demam (Harahap M, 2000).

c. Glomerulonefritis post streptococcal


Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya
disebabkan oleh Streptococcus Beta Hemolitikus Grup A yakni
glomerulonefritis akut (2-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada
anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Belum ada bukti yang
menyatakan glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureus. Insiden glomerulonefritis berbeda pada
setiap individu tergantung strain potensial yang menginfeksi
nefritogenik. Faktor yang berperan penting atas terjadinya GNAPS
yaitu serotipe Streptococcus strain 49, 55, 57, dan 60 serta strain M
tipe 2. Periode laten berkembangnya nefritis setelah pioderma
streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri

17

dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali


dari regio wajah, dan hipertensi (Berger TG, Elston DM, & James
WD, 2006).

18

DAFTAR PUSTAKA

Berger TG, Elston DM, James WD. 2006. Andrews diseases of the skin.
Clinical dermatology. Tenth edition. Saunders Elsevier: Canada.
Gilchrest BA et al. 2008. Fitzpatricks dermatology in general medicine.
Seventh edition volumes 1 & 2. The McGraw-Hill Company,Inc.
Goldstein AO, Goldstein BG. 2001. Dermatologi praktis (practical
dermatology). Cetakan I. Hipokrates: Jakarta.
Harahap M. 2000. Ilmu penyakit kulit. Cetakan I. Hipokrates: Jakarta.
Lewis LS. 2014. Impetigo. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/
article/965254-overview. Pada tanggal 07 Juli 2015.
Menaldi SLSW. 2015. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketujuh
(cetakan pertama 2015). Badan penerbit FKUI: Jakarta.
Pedoman Diagnosis dan Terapi. 2005. Bag/SMF Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi III. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.

19

Anda mungkin juga menyukai