Anda di halaman 1dari 23

REFERAT DERMATO-VENEROLOGI

“KELAINAN KULIT PADA DIABETES MELITUS”

Oleh :

Idamaryani H1A011033
Khaleed Kandara H1A011036

Pembimbing :

dr. I G A A Ratna Medikawati, M.Biomed., Sp. KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tepat pada waktunya. Referat yang berjudul
“Kelainan Kulit pada Diabetes” disusun dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya
di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. dr. I Wayan Hendrawan, M.BioMed, Sp.KK selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUDP NTB.
2. dr. Yunita Hapsari, M.Sc, Sp.KK, selaku Koordinator Pendidikan SMF Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUDP NTB.
3. dr. Dedianto Hidajat, Sp.KK, selaku pembimbing.
4. dr. I.G.A.A Ratna Medikawati,M.BioMed, Sp.KK, selaku pembimbing referat ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya bagi penulis dan pembaca dalam menjalankan praktik sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, April 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kulit merupakan bagian terbesar dari tubuh, mencakup sekitar 15% dari total berat badan
dewasa. Kulit memiliki beberapa fungsi penting seperti memberikan pertahan terhadap trauma
fisik, kimia dan biologis, menjaga keseimbangan cairan dan sebagai termoregulasi. Kulit terdiri
dari 3 lapis yaitu epidermis, dermis dan subkutan.1
Diabetes adalah penyakit endokrin yang paling sering terjadi, sekitar 8,3% dari populasi.
Diabetes mellitus merupakan suatu kondisi yang sering disertai dengan manifestasi pada kulit.
Manifestasi yang muncul pada kulit pun dapat bermacam-macam bentuknya. Adanya efek
metabolik didalam mikrosirkulasi dan berubahnya susunan kolagen dikulit mengakibatkan
banyak kelainan yang mungkin terjadi pada kulit penderita DM.2
Penyakit kulit dapat muncul pada 79,2% penderita diabetes. Pada sebuah studi 750
penderita diabetes, ditemukan penyakit infeksi kulit (47,5%), xerosis (26,4%) dan penyakit
inflamasi kulit (20,7%). Individu dengan DM tipe 2 cenderung lebih mudah terkena manifestasi
DM pada kulit daripada DM tipe I. Penyakit kulit dapat muncul sebagai tanda awal DM atau
dapat muncul kapanpun.2
Pasien dengan diabetes melitus memiliki resiko untuk mengalami infeksi pada kulit dan
yang menjadi penyebabnya adalah hiperglikemia dan ketoasidosis yang menyebabkan disfungsi
sistem imun. Infeksi-infeksi ini dapat berkomplikasi dan dapat menjadi fatal jika tidak ditangani
lebih awal dan ditangani secara tepat.3
Kelainan dari insulin dan peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan keterlibatan
banyak sistem organ seperti ginjal, sistem saraf, mata dan kulit. Lebih dari sepertiga penderita
pasien diabetes memiliki kelainan dermatologis. Kelainan pada metabolisme karbohidrat,
aterosklerosis, mikroangiopati, degenerasi neuron dan gangguan sistem pertahanan tubuh
berperan penting dalam kelaianan pada kulit akibat diabetes. Kelainan kulit pada diabetes
bermanfaat untuk tenaga kesehatan karena dapat menjadi salah satu penanda diagnosis dari
diabetes dan juga dapat merefleksikan kadar kontrol glikemik pada penderita diabetes.4

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Pengaruh Diabetes Melitus Terhadap Kulit


Hampir semua pasien dengan diabetes dapat terjadi komplikasi kulit akibat efek jangka
panjang dari diabetes melitus pada mikrosirkulasi dan pada kolagen kulit. Namun, pasien dengan
diabetes tipe 2 lebih sering mengalami infeksi kulit, sedangkan orang-orang dengan diabetes tipe
1 lebih sering memiliki autoimun terkait lesi. Perbedaan pola lesi kulit pada penderita diabetes
melitus tipe 1 dan 2 masih belum jelas. Prevalensi kelainan kulit pada penderita diabetes melitus
tipe 2 lebih tinggi (75,6%) dibandingkan dengan penderita diabetes melitus tipe 1 (41%).2,4,5
Peningkatan insiden infeksi dan luka dengan penyembuhan kronis dapat pula terjadi pada
penderita diabetes melitus. Pada lapisan kulit tikus dengan diabetes, produksi IL-17 terganggu.
Berkurangnya produksi IL-17 di tepi luka terkait erat dengan penundaan penutupan luka pada
tikus dengan diabetes. Interleukin 17 (IL-17) adalah sitokin pleiotropic yang bekerja pada
banyak sel terkait dengan peradangan dan penyembuhan luka. IL-17 dapat menginduksi ekspresi
vascular endothelial growth factor (VEGF) di keratinosit dan menginduksi angiogenesis, dan
juga menginduksi subpopulasi makrofag atipikal dikaitkan dengan penyembuhan luka. IL-17
dapat meningkatkan migrasi sel induk mesenkim untuk memulai regenerasi jaringan.6
Pada penderita diabetes, terjadi kerusakan sel endotel yang menyebabkan terganggunya
fungsi vasodilatasi terutama akibat penurunan pelepasan prostasiklin dan nitric oxide. Hal ini
mengakibatkan sel endotel lebih bergeser kearah vasokonstriksi dan terjadi penurunan aliran
darah pada kulit saat istirahat. Hal ini juga menjadi faktor resiko terjadi infeksi pada penderita
diabetes melitus. Faktor predisposisi terjadi infeksi adalah kelainan mikrosirkulasi, hypohidrosis
dan supresi imunitas sel, terutama pasien yang ketotik.7
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sharkawy et al. prevalensi risiko infeksi jaringan
dan kulit oleh kelompok streptokokus ditemukan hampir empat kali lebih tinggi pada pasien
dengan diabetes. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Schuchat, risiko infeksi streptokokus
Grup B ditemukan meningkat 11 sampai 30 kali lipat pada orang (kelompok umur 20 sampai 64
tahun) dengan diabetes tapi sedikit meningkat menjadi 3,7-5,7 kali lipat pada orang (> 64 tahun)
dengan diabetes. Staphylococcus aureus adalah patogen utama yang terlibat dalam infeksi foot
diabetic.8

4
Keterkaitan DM dengan infeksi diakibatkan oleh beberapa perubahan pada sistem imun
para penderitanya. Kaitannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.9

Komplemen. Sistem komplemen merupakan salah satu mekanisme yang bertanggung jawab
terhadap imunitas humoral. Hal tersebut termasuk serum dan protein permukaan yang fungsi
utamanya untuk mendukung opsonisasi dan fagositosis mikroorganisme melalui makrofag dan
neutrofil dan menginduksi lisisnya mikroorganisme. Aktivasi komplemen menyebabkan aktivasi
pembentukkan antibodi limfosit B. Walaupun beberapa penelitian mendeteksi adanya defisiensi
komponen C4 pada diabetes melitus, reduksi C4 kemungkinan karena disfungsi dan penurunan
respon sitokin.9
Sitokin inflamasi. Sel mononuklear dan monosit dari orang-orang dengan diabetes melitus
mensekresi interleukin-1 dan interleukin-6 lebih sedikit sebagai respon terhadap stimulasi
lipopolisakarida. Hal tesebut muncul karena produksi yang rendah dari interleukin sebagai
konsekuensi defek intrinsik pada sel-sel individu yang DM. Terdapat penelitian yang melaporkan
bahwa peningkatan glikasi dapat menghambat produksi interleukin-10 oleh sel myeloid,
demikian pula interferon gamma dan tumor necrosis factor alfa oleh sel T. Glikasi juga

5
menurunkan ekspresi major histocompatibitlity complex (MHC) kelas I pada permukaan sel
myeloid, sehingga mengganggu imunitas sel.9
Leukosit PMN dan MN. Penurunan mobilisasi PMN, kemotaksis dan aktivitas fagositosis
muncul selama hiperglikemia. Lingkungan hiperglikemia juga dapatmeningkatkan apoptosis
leukosit PMN dan menurunkan transmigrasi leukosit PMN. Pada jaringan yang tidak
membutuhkan insulin untuk transport glukosa, lingkungan hiperglikemik meningkatkan level
glukosa intraseluler yang dapat dimetabolisme menggunakan NADPH sebagai kofaktor.
Penurunan NADPH mencegah regenerasi molekul yang memainkan peranan mekanisme
antioksidan sel, sehingga meningkatkan kecenderungan mengalami stress oksidatif. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa ketika hemoglobin terglikasi (HbA1c) <8%, fungsi proliferasi
limfosit T CD4 dan responnya terhadap antigen tidak terganggu.9

2. 2. Kelainan Kulit pada Diabetes Melitus


Berdasarkan epidemiologi, terdapat sekitar 30%-76,6% penderita diabetes melitus
mengalami kelainan kulit saat hidupnya.Penelitian yang dilakukan oleh Kataria et al., dari 200
pasien Diabetes Melitus tipe II, ada 120 perempuan dan 80 laki-laki, didapatkan infeksi kulit
terkait dengan diabetes sekitar (49%).Infeksi bakteri terlihat pada 23% kasus, termasuk impetigo
(6%), furunkulosis (11%)dan karbunkel (6%). Infeksi jamur terlihat pada 26% kasus yaitu
intertrigo, dan kandidiasis vulvovagina. Infeksi dermatopita termasuk onikomikosis pada jari
kaki(3%), onikomikosis pada jari tangan (2%), tinea pedis (3%), tinea korporis (2%), tinea
manum (1%) dan tinea kruris (3%).4,10,11
Banyak manifestasi kelainan kulit yang dapat muncul pada penderita diabetes mellitus,
hal ini dapat dijelaskan berdasarkan pengambilan glukosa dari protein dan akibat metabolisme
kombinasi ini menyebabkan perubahan struktur, fungsi dan warna kulit.

6
2.2.1 Kelaian kulit pada penderita diabetes melitus tipe 1

Tabel 1: Kelainan kulit pada DM type 112

1. Nekrobiosis lipodica (NL)


Nekrobiosis lipoidika muncul di 0,3% sampai 1,6% dari pasien diabetes. Gambaran klinis
yang dapat muncul yaitu plak tanpa skuama dengan atrofi pusat berwarna kuning,telangiectases,
dan eritematosa. Pretibial adalah daerah yang paling sering terjadi. Warna kuning di daerah pusat
lesi kemungkinan besar karena penipisan dermis, sehingga membuat lapisan subkutan lemak
lebih terlihat.12
Lesinya tidak nyeri, dapat berupa papul eritem disertai skuama yang dapat menjadi plakat
eritem sklerotik dengan sentral atrofi dan telangiektasis dan dikelilingi oleh batas yang meninggi,
ireguler, dan berwarna merah kecoklatan.Lesi yang jarang dijumpai ini dapat ditemukan pada
ekstensor terutama pada kaki dan tangan. Sekitar 30% penderita mengalami ulkus yang
umumnya terjadi setelah adanya trauma. Patogenesis nekrobiosis lipoidika masih belum
diketahui sepenuhnya, tetapi mikroangiopati dianggap memegang peranan penting. Secara

7
histologi, terdapat gumpalan kolagen nekrobiotik pada seluruh dermis yang meluas sampai
lapisan lemak subkutan dengan histiosit perifer. Membran basal menebal dan terjadi trombosis
pada pembuluh darah dermis. Tidak seperti granuloma annulare, necrobiosis lipoidica mengenai
seluruh dermis.11,12 Pengobatannya dapat dilakukan dengan pemberian steroid topikal, namun
jarang diberikan secara sistemik. Perawatan lain yang dapat digunakan termasuk
pentoksifilina,siklosporin, tiklopidin infliximab, dan thalidomide.2

Gambar 1.Necrobiosis lipoidica.2,12

2. Bullosis diabeticorum
Bullosis diabeticorum berkembang di sekitar 0,5% dari pasien diabetes, tetapi lebih
sering pada diabetes tipe 1, dan lebih sering pada laki-laki dan pada pasien dengan diabetes yang
lama disertai neuropati perifer. Bula berisi cairan steril dengan dasar tidak mengalami inflamasi,
biasanya timbul secara spontan pada dorsal dari sisi kaki bagian bawah dan kaki, kadang-kadang
pada tangan atau lengan. Pengobatan simtomatik dan konservatif. Dapat juga dengan kompres
ataupun antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder. Sebagian besar lesi dapat sembuh
dalam 2 sampai 3 minggu tanpa jaringan parut.12,15

8
Gambar 2. Bullosis Diabeticorum.12,17

3. Lichen ruber planus


Prevalensi lichen ruber planuslebih tinggi secara signifikan pada pasien diabetes tipe 1.
Secara klinis, lichen planus tampak seperti lesi poligonal datar dengan eritematosa. Paling sering
terkena adalah pergelangan tangan dan kaki bagian bawah. Pengobatan bisa diberikan
kortikosteroid topikal, siklosporin topikal, atau keduanya.12

Gambar 3.Lichen ruber planus.12

4. Vitiligo
Terdapat pada 0,3-0,5% dari populasi dunia, merupakan penyakit kelainan pigmen yang
paling sering terjadi. Pasien datang dengan plak di rambut dan kulit yang mengalami
depigmentasi. Kemungkinan etiologinya adalah lingkungan dan poligenetik. Kondisi ini tidak

9
dipengaruhi jenis kelamin. Banyak subtype vitiligo tapi yang paling sering adalah vitiligo
generalisata, berhubungan dengan penyakit autoimun pada 20-30% kasus, yang paling sering
adalah tiroiditis Hashimoto, penyakit Grave, artritis reumatoid, psoriasis, diabetes tipe 1
(biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, systemic lupus erythematous, dan penyakit Addison.
Pada sebuah studi (2009) dari 50 penderita DM tipe 1, sebanyak 4% mempunyai vitiligo. Vitiligo
genetik (GV) biasa bersifat progresif dan tidak respon terhadap pengobatan. Namun pada
beberapa kasus, progresnya berhenti. Komplikasi GV yaitu durasinya panjang, fenomena
Koebner, leukotrikia, dan keterlibatan mukosa. Terapi dermatologis dengan mencoba
menurunkan respon sel T dan induksi migrasi dan regenerasi melanosit. Kortikosteroid dengan
ultraviolet B atau inhibitor calcineurin atau psoralen sistemik atau sinar ultraviolet A (PUVA)
adalah pengobatan lini pertama. Calcipotriol, PUVA topikal, laser excimer, corticosteroid pulse
therapy, dan grafting melanosit dengan pembedahan adalah pilihan lain. Terapi ini jangka
panjang dan dapat dipersulit oleh banyak efek samping. Penggunaan tabir surya dianjurkan tetapi
juga kontroversial karena stimulasi UVB terhadap melanosit dan kemungkinan repopulasi, juga
photo-adaptation dari kulit yang terkena vitiligo. Pajanan sedang dari sinar matahari dianjurkan.
Efek psikososial vitiligo penting dan ada kelompok penderita vitiligo. Pengobatan tradisional
banyak dicoba oleh pasien namun harus diperiksa keamanannya sebelum dilakukan.2,12

Gambar 4.Vitiligo12

10
2.2.2 Kelainan kulit pada penderita diabetes melitus tipe 2

Tabel 2: Kelainan kulit pada DM type 212

1. Diabetes Dermopathy
Diabetic Dermopathy (DD) atau biasa disebut juga dengan “Shin Spots” merupakan
kelainan kulit yang paling sering terjadi dan spesifik pada diabetes. Angka insidensinya
mencapai 9-55%. DD lebih sering terjadi pada pasien usia tua, terutama yang berusia >50 tahun
dan telah mengalami diabetes dalam waktu yang lama. Laki-laki cendrung 2 kali lipat lebih

11
sering terkena DD, tetapi hal ini tidak selalu terjadi. Masih diperdebatkan apakah DD merupakan
penyakit yang patognomik pada diabetes, tetapi Morgan et al. mengganggap bahwa DD
merupakan penyakit yang patognomik pada penderita diabetes. Masih belum jelas apakah DD
lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 atau DM tipe 2. DD sangat berkaitan dengan
komplikasi mikrovaskuler pada diabetes terutama nefropati, neuropati dan retinopati. Insidensi
DD meningkat 52% dengan adanya 1 komplikasi mikriangiopati, dan meningkat 81% dengan
adanya ketiga komplikasi tersebut.2,14,15
Penyebab DD masih belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa hipotesis yang
diperkirakan mendasari terjadinya DD, salah satunya adalah akibat trauma minor pada tibia yang
tidak disadari oleh pasien dan area iskemia yang sensitif terhadap panas lokal, tetapi kedua
hipotesis ini gagal dibuktikan. Hipotesis lain mengatakan bahwa DD disebabkan karena
gangguan perfusi pada kulit, tetapi dengan pemeriksaan Laser Doppler menunjukan bahwa aliran
darah ke ekstremitas bawah meningkat pada pasien dengan diabetes. Penjelasan lain yang masih
dapat diterima adalah DD akibat trauma minor pada kondisi terganggunya proses penyembuhan
luka.2,14,15
Temuan histopatologi yang didapatkan pada DD adalah atrofi pada rete ridges,
hiperkeratosis sedang, dan pigmentasi bervariasi pada sel basal. Pada papilari dermis terjadi
telangiektasia, proliferasi fibroblas, edema, mikroangiopati hialin, dan deposit hemosiderin.
Infiltrat perivaskuler berisi sel limfoid dan histiolitik. Adanya peningkatan pada sel plasma
perivaskuler dermis dapat menjadi indikator spesifik DD pada kondisi yang tepat.

Gambar 5 : .Diabetic Dermopathy. Lesi berbatas tegas, hiperpigmentasi, depresi atrofi, linear, pada tibia laki-laki
usia 55 tahun dengan diabetes dan neuropati perifer.2,14

12
2. Acanthosis nigricans
Merupakan manifestasi kulit pada DM yang paling mudah dikenali. Terdapat pada 74%
penderita dewasa yang obesitas dan dapat menjadi prediksi terdapatnya hiperinsulinemia.
Adanya AN merupakan indikator prognosis pada DM tipe 2. Kemungkinan ada predisposisi
genetik atau hipersensitivitas kulit terhadap hiperinsulinemia pada suku berbeda. Pada tingkat
gizi yang sama obesitas, prevalensi AN terendah pada kulit putih (0,5%), lebih tinggi pada
Hispanik (5%), dan lebih tinggi lagi pada Afrika-Amerika (13%).2,15
AN adalah penebalan lipatan kulit disertai hiperpigmentasi, predileksi di leher, aksila,
dan inguinal. Manifestasi tambahan kemungkinan skin tags dan hiperkeratosis. Faktor keturunan,
obesitas, penyakit endokrin, obat tertentu, dan keganasan berhubungan dengan AN. Bentuk AN
jinak tipe 2 berhubungan dengan DM tipe 2 dan pseudo-AN tipe 3 berhubungan dengan sindrom
metabolik. AN yang berhubungan dengan DM tipe 2 onsetnya diam-diam dan awalnya muncul
sebagai hiperpigmentasi.2
Acanthosis nigricans sangat sering terjadi pada penderita diabetes yang memiliki BMI
tinggi. Klinisnya adalah penebalan dan hiperpigmentasi kulit yang berwarna coklat sampai coklat
kekuningan pada daerah intergriginosa, nantinya akan diikuti oleh papul dan plakat. Resistensi
insulin dan tingginya kadar insulin growth factor 1 (IGF 1) menyebabkan peningkatan aktivasi
reseptor IGF 1 dan memicu proliferasi pada keratinosit epidermis. Trauma mekanik seperti
gesekan juga memiliki peranan penting pada penyakit ini. Secara histologis terdapat
hiperkeratosis, papilomatosis, dan akantosis pada epidermis. Jumlah melanositnya tidak berubah,
perubahan warna menjadi kecoklatan disebabkan karena penebalan epidermis. Pengobatan
penderita diabetes dengan acanthosis nigricansdilakukan dengan penurunan berat badan dan
kontrol glukosa darah. Dapat juga diberikan retinoid sistemik atau topikal, asam salisilat atau
urea topikal, metformin, atau prosedur pembedahan.11,12,15

13
Gambar 6.Acanthosis nigricans.12

3. Acrochordons
Acrochordons atau Fibroepitelial Polyps, skin tags, dan soft fibroma adalah pertumbuhan
keluar dari kulit normal, predileksi di kelopak mata, leher, aksila dan inguinal. Ditemukan pada
25% dewasa, jumlah kasus dan prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia. Riwayat
penyakit keluarga, obesitas dan AN sudah pernah dihubungkan dengan acrochordons; hubungan
hiperinsulinemia dengan skin tags sudah dipublikasikan. Acrochordons bersifat jinak tapi bisa
simptomatik dengan abrasi atau nekrosis. Skin tags merah atau hitam adalah akibat bagian
dasarnya diputar sehingga suplai darah terputus. Diagnosis acrochordons adalah diagnosa klinis.
Jarang dicurigai sebagai keganasan dan dikirim untuk diperiksa histologi. Penatalaksaan biasa
untuk kosmetik atau untuk kasus dengan iritasi. Eksisi dapat dilakukan dengan forceps, gunting,
cryosurgery dengan nitrogen cair atau electrodessication.2,12

4. Xanthoma Eruptif
Xanthoma Eruptif (XE) mempunyai predileksi di bokong, siku dan lutut, onset mendadak
muncul papul-papul kuning dengan dasar eritematosa. EX jarang terjadi dan lebih sering terjadi
pada penderita DM tipe 2 yang tidak terkontrol. Onset mendadak dari EX dapat membuat
penderita khawatir dan akhirnya berobat ke dokter. Lesi kulit dapat terlihat sebagai tanda
pertama diabetes. Penurunan aktivitas lipoprotein lipase yang terdapat pada diabetes dependen
insulin menyebabkan akumulasi trigliserid serum. Kadang bila trigliserid serum mencapai
2000mg/dl, lipid terdeposit di kulit. Manifestasi kulit berhubungan juga dengan
hipertrigliseridemia tipe I,III, IV, dan V, atau hiperlipidemia sekunder. Tipe I, III, IV dan V

14
menunjukan konsentrasi tinggi VLDL (Very-Low-density lipoprotein) dan kilomikron. Lesi EX
cenderung resolusi spontan dalam hitungan minggu. Diagnosis dapat secara klinis atau
ditegakkan dengan biopsy kulit. Penting untuk memeriksakan kadar lipid puasa pada presentasi.
Penderita EX lebih berisiko dari hipertrigliseridemia nya untuk lebih awal kena penyakit jantung
koroner dan pankreatitis.2,12

Gambar 7. Xanthoma Eruptif12

5. Granuloma Annulare
Granuloma annulare merupakan kelainan kulit yang sangat berkaitan dengan diabetes.
Secara klinis granuloma annularetampak sebagai papulodermis atau nodul subkutan yang
berwarna seperti kulit normalnya atau merah pucat berukuran 1-2 mm (dapat mencapai 5 cm)
yang jumlahnya dapat mencapai ratusan yang berkumpul dan membentuk plakat annular
tersusun dalam bentuk lingkaran. Lesinya dapat menyebar secara sentrifugal, terdapat central
clearing dan batasnya tegas. Lokasi predileksinya pada dorsum jari, tangan, kaki, siku dan lutut,
tetapi dalam kasus yang jarang dapat terjadi pada seluruh tubuh (granuloma annulare
diseminata). Umumnya tidak ada pengobatan spesifik yang dapat diberikan, tetapi beberapa
pengobatan dermatologis topikal dapat efektif.11,12,14

15
Gambar 8.Granuloma annulare diseminata.11

Secara histopatologi terdapat degenerasi fokal kolagen pada tengah lesi yang dikelilingi
oleh sel histiosit dan makrofag, yang membentuk granuloma. Pada granuloma annulare
generalisata, granuloma terdapat pada papilari dermis, menyerupai liken nitidus. Terdapat
sejumlah besar multinucleated giant cell, infiltrat perivaskuler dari limfosit dan histiosit dengan
beberapa eosinofil yang dapat ditemukan diantara granuloma. Pada bentuk granuloma annulare
yang inkomplit atau interstitial, tidak ada daerah nekrobiosis yang terbentuk sempurna, dan
histiosit bercampur dengan gumpalan kolagen, dengan tampakan kasar akibat degenerasi. Ini
akan memberikan gambaran “busy” pada dermis akibat tingginya jumlah histiosit dan limfosit,
dan membentuk interstitial granulomatous dermatitis.11

2.2.3 Infeksi Kulit yang Berhubungan dengan Diabetes

Infeksi merupakan kelompok penyakit kulit yang berhubungan dengan diabetes


terbanyak. Pada sebuah studi tahun 2009 dengan 50 subjek, 55% penderita diabetes pernah
memiliki manifestasi infeksi kulit. Studi lain menunjukan tingkat prevalensi infeksi kulit pada
penderita diabetes sebanyak 61%. Yang termasuk infeksi kulit: kandidiasis, dermatofitosis, dan
infeksi bakteri.

1. Kandidiasis
Kandidiasis mukokutan paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan tampak
sebagai plak-plak eritematosa dengan khasnya eksudat putih lengket dan pustule-pustul
membentuk lesi satelit. Risiko infeksi meningkat dengan hiperglikemi yang membantu

16
proliferasi kandida. Kandida vulvovaginitis paling sering terjadi, dan kandidiasis perianal sering
terjadi pada laki dan perempuan. Tanda lain yaitu thrush (infeksi mukosa mulut dan perleche),
angular cheilitis, intertrigo (infeksi lipatan kulit dan erosion interdigitalis blastomysetica
chronic), infeksi sela-sela jari, paronychia (infeksi jaringan lunak di sekeliling lempeng kuku),
dan onikomikosis (infeksi kuku). 2

Tabel 3: Infeksi kulit oleh jamur2

Pasien dengan klinis buruk dengan ketoasidosis diabetikum (KAD) dapat didiagnosa
dengan mucormycosis, tapi ini jarang terjadi, yaitu infeksi jaringan lunak akut, berat, disebabkan
Mucor, Rhizopus, dan spesies Absidia. Jamur saprofit lebih suka lingkungan pH rendah yang
terdapat saat DKA dan tumbuh pada kondisi hiperglikemi. Beberapa jamur juga menggunakan
keton sebagai substansi nutrisi. Kira-kira 50-70% dari kasus mucormycosis rhinocerebral terjadi
pada pasien dengan diabetes. Mucormycosis bersifat progresif dan respon buruk terhadap
antifungal sistemik. Opsi terapi antara lain itraconazole, fluconazole, amphotericine B, dan
voriconazole. Kondisi ini biasanya fatal.2

2. Dermatofitosis
Tinea atau dermatofitosis adalah infeksi superficial kulit, rambut dan kuku oleh jamur.
Tinea korporis, pedis dan onikomikosis adalah infeksi dermatofit yang sering ditemukan pada
penderita diabetes. 2
Pada sebuah studi tahun 2013 dengan 76 penderita tinea korporis, faktor predisposisi
utama adalah xerosis. Pada studi tahun 2001 dengan 171 penderita diabetes dibandingkan dengan
276 subjek kontrol, infeksi paling sering pada penderita diabetes adalah tinea pedis, diikuti
dengan onikomikosis subungual distal. Studi ini tidak menunjukan korelasi antara dermatofitosis

17
dan durasi atau tipe diabetes atau komplikasinya. Tricophyton rubrum, Tricophyton
mentagrophytes dan Tricophyton tonsurans adalah dermatofita paling sering. Infeksi dermatofita
sering dijumpai, maka tidak perlu dirujuk ke dermatologis. Terapi terdiri dari anti jamur topikal
dan sistemik. Tabel 4 menyimpulkan infeksi jamur yang umum terjadi dan antifungal oral dan
sistemik yang sering dipakai. 2

Gambar 9 : Tinea Pedis2

Gambar 10 : Onikomikosis2

18
Tabel 4: Pilihan Terapi untuk Infeksi Jamur yang Sering Terjadi2

3. Infeksi Bakteri
Infeksi kulit oleh bakteri lebih sering terjadi, lebih berat, pada penderita diabetes. Ulkus
kaki diabetikum adalah penyebab pertama morbiditas pada penderita diabetes. Terjadi karena
sensasi menurun akibat neuropati diabetik dan trauma tidak disadari, dengan infeksi penyerta.
Disfungsi leukosit yang disebabkan peningkatan kadar glukosa menyebabkan bakteri proliferasi.
Folikulitis atau abses kulit ec Staphylococcus adalah infeksi kulit ec bakteri tersering pada

19
penderita diabetes dengan kontrol gula buruk, respon baik terhadap antibiotic dan drainase
bedah.2
Pseudomonas aeruginosa adalah organism lain yang sering menyebabkan ulkus kaki
diabetik. Infeksi liang telinga luar yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa juga sering
terjadi pada penderita diabetes. Pseudomonas berkembang di lingkungan kaya oksigen. Lesi kulit
tampak sebagai pigmen hijau-biru, dan berfluoresensi dibawah lampu Wood’s. Secara
mikroskopik, pseudomonas adalah batang gram negative. Penderita dapat datang dengan otalgia,
otorrhea, tuli, edema, dan eritema liang telinga luar. Terapi terdiri dari mengeringkan daerah
tersebut dan dioles antibiotic topikal pada infeksi tanpa komplikasi. Otitis eksterna malignan
perlu diagnosis cepat dan antibiotic sistemik seperti flurokuinolon, ditambah antibiotic anti-
pseudomonas (penicillin anti-pseudomonas, sefalosporin anti-pseudomonas, monobactam,
aminoglikosida, atau carbapenem). Dosis lebih tinggi dan debridement bedah diperlukan untuk
emncegah penyebaran infeksi ke tulang dan sistem saraf. Terapi segera otitis eksterna penting
karena potensinya untuk cepat menyebar ke tulang dan saraf cranial, yang dapat menyebabkan
mortalitas.2

20
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kulit adalah bagian terbesar dari tubuh, mencakup sekitar 15% dari total berat badan
dewasa. Hampir semua pasien dengan diabetes dapat terjadi komplikasi kulit akibat efek jangka
panjang dari diabetes melitus pada mikrosirkulasi dan pada kolagen kulit.Kelainan pada
metabolisme karbohidrat, aterosklerosis, mikroangiopati, degenerasi neuron dan gangguan
sistem pertahanan tubuh berperan penting dalam kelaianan pada kulit akibat diabetes. Kelainan
kulit pada diabetes bermanfaat untuk tenaga kesehatan karena dapat menjadi salah satu penanda
diagnosis dari diabetes dan juga dapat merefleksikan kadar kontrol glikemik pada penderita
diabetes. Berdasarkan epidemiologi, terdapat sekitar 30%-76,6% penderita diabetes melitus
mengalami kelainan kulit saat hidupnya. Secara umum kelainan kulit yang dapat terjadi pada
penderita diabetes melitus yaitu infeksi (bakteri, virus, jamur dan parasit), perubahan kulit terkait
mikroangiopaty (nekrobiosis lipoidika diabetikorum, dermangiopaty diabetic, bullosis
diabeticorum), granuloma annulare.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kolarsick PA, Kolarsick MA, Goodwin C. Anatomy and physiology of the skin. Journal of
the Dermatology Association. 2011 Jul 1;3(4):203-13.
2. Duff M, Demidova O, Blackburn S, Shubrook J. Cutaneous manifestations of diabetes
mellitus. Clinical Diabetes. 2015 Jan 1;33(1):40-8.
3. Saifullah, GM. Review Article: Diabetic’s skin; a storehouse of infection. Journal of pakistan
association of dermatologist. 2009; 19: Hal 34-37
4. Kataria U, Chhillar D, Kumar H, Chhikara P. Cutaneous manifestations of diabetes mellitus
in controlled and uncontrolled state. 2015. Feb 2(2).90-93.
5. Macedo GM, Nunes S, Barreto T. Skin disorders in diabetes mellitus: an epidemiology and
physiopathology review. Diabetology & Metabolic Syndrome. 2016 Aug 30;8(1):63.
6. Liu Z, Xu Y, Zhang X, Liang G, Chen L, Xie J, Tang J, Zhao J, Shu B, Qi S, Chen J. Defects
in dermal Vγ4 γ δ T cells result in delayed wound healing in diabetic mice. American Journal
of Translational Research. 2016;8(6):2667.
7. Petrofsky JS. Resting blood flow in the skin: does it exist, and what is the influence of
temperature, aging, and diabetes?. Journal of diabetes science and technology. 2012 May
1;6(3):674-85.
8. Gangawane AK, Bhatt B, Sunmeet M. Skin Infections in Diabetes: A Review. Journal of
Diabetes & Metabolism. 2016 Feb 4;2016.
9. Juliana C, Janine C, dan Cresio A. Infection in Patient with Diabetes Melitus: A Review of
Pathogenesis. Endocrinology and Metabolism, 2012; vol 16, issue 7, Hal 27-36
10. Ahmed K, Muhammad Z, Qayum I. Prevalence of cutaneous manifestations of diabetes
mellitus. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2009;21(2):76-8
11. Gkogkolou P, Böhm M. Skin disorders in diabetes mellitus. JDDG: Journal der Deutschen
Dermatologischen Gesellschaft. 2014 Oct 1;12(10):847-64.
12. Van Hattem SI, Bootsma AH, Thio HB. Skin manifestations of diabetes. Cleve Clin J Med.
2008 Nov 1;75(11):772-4.
13. Fitzgibbons PG, Weiss AP. Hand manifestations of diabetes mellitus. The Journal of hand
surgery. 2008 Jun 30;33(5):771-5.

22
14. Morgan AJ, Schwartz RA. Diabetic dermopathy: A subtle sign with grave implications.
Journal of the American Academy of Dermatology. 2008 Mar 31;58(3):447-51.
15. Mendes AL, Miot HA, Junior VH. Diabetes mellitus and the skin. An Bras Dermatol. 2017.
v.92(1)

23

Anda mungkin juga menyukai