Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Batu empedu merupakan penyakit yang sering muncul di negara maju dan jarang

ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi,

perubahan menu makanan barat serta perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi,

prevalensi penyakit batu empedu di negara-negara berkembang cenderung meningkat. 1

Di amerika serikat, 10% populasi menderita kolelitiasis dengan batu empedu

kolesterol mendominasi yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu empedu. Sisanya 30%

dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi. 2

Banyak penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan

pada waktu dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.

Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru maka banyak penderita batu

kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya

komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan

pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.

1
BAB II
ISI

2.1 Anatomi Kandung Empedu

Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris berasal dari divertikulum
yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris.
Bagian kaudal dari divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung empedu), duktus
cysticus, duktus biliaris communis (duktus koledokus) dan bagian kranialnya menjadi hepar
dan duktus hepatika biliaris.3
Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, panjangnya
7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu dapat
terdistesi dan isinya dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah fossa pada
permukaaan inferior hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan
lobus kiri.4,5
Kandung empedu dibagi menjadi tiga bagian yaitu fundus, korpus, dan collum.
Fundus berbentuk bulat, dan biasanya menonjol di bawah pinggir inferior hepar dan ujungnya
1-2 cm melebihi batas hepar. Korpus merupakan bagian dari kandung empedu yang di
dalamnya berisi getah empedu. Getah empedu adalah cairan yang di ekskresi setiap hari oleh
sel hati sebanyak 500-1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus dan produksi meningkat
sewaktu mencerna lemak, dan kollum merupakan saluran pertama masuknya getah empedu
ke badan kantung empedu lalu menjadi pekat berkumpul dalam kandung empedu. Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu
dengan sisi kanan duktus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan korpus dan kollum
dengan permukaan visceral hepar. 4,5
Arteri cystica yang menyuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang arteri
hepatika kanan. Lokasi arteri cystica dapat bervariasi tetapi hampir selalu di temukan di
segitiga hepatocystica, yaitu area yang di batasi oleh Duktus cysticus, Duktus hepaticus
communis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri cystica mencapai bagian leher dari
kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena
kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar cystica
menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.4,6
Persyarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis

2
melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang
dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati
nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan hepar.7

Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu 8

Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Duktus hepatikus kanan dan kiri, duktus
hepatikus komunis, duktus sisticus dan duktus koledokus. Duktus koledokus memasuki
bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur muskularis yang disebut Sphincter Oddi.(9)
a. Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm, berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum. Bagian dari duktus sistikus yang berdekatan dengan bagian leher kandung
empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut valvula heister. Valvula ini
tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat pemasukan kanul ke duktus
sistikus menjadi sulit.
b. Duktus hepatikus komunis : Duktus hepatikus kommunis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri hepatica.
duktus hepatikus komunis dihubungkan dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus
c. Duktus koledokus : Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan diameter
5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas dari ligamen

3
hepatoduodenal, disebelah kanan arteri hepatica dan di anterior vena porta. Ductus
koledokus bergabung dengan ductus pankreatikus masuk ke dinding duodenum
(Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus.
Suplai arteri untuk Duktus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan Arteri hepatika
kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial dari Ductus koledokus
(kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas serat saraf dan ganglia meningkat di
dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari Ductus koledokus dan Sphinchter Oddi sama
dengan persarafan pada kandung empedu.(7)

2.2 Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan mengalami
pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu
dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang
kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik sampai 5-10 kali dan mengurangi volumenya
80%-90%. Meskipun secara primer merupakan suatu organ pengarbsorpsi, terjadi sekresi
mukus selama keadaan patologis seperti misalnya pembentukan batu empedu dan kadang-
kadang dengan obstruksi duktus kistikus (Sherwood, 2001).
Kandung empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk
memproteksi jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat
meningkatkan kelarutan kalsium, sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu akan
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum.2,5
Menurut Guyton & Hall, 2011 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena
peranan dari asam empedu yaitu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak
yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

4
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah seperti bilirubin yang merupakan suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah
steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya
dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal
kalau diperlukan.5

2.2.1 Sekresi Asam Empedu


Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan
ke duodenum setelah rangsangan makanan. Informasi yang lebih baru menunjukkan bahwa
aliran empedu terjadi dalam bentuk yang kontinu, dengan pengosongan kandung empedu
terjadi secara konstan. Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk pengisian kandung
empedu dan pengosongannya adalah hormonal, neural, dan mekanikal. Memakan makanan
akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang
merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu; lemak merupakan stimulus
yamg lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung
empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi
makanan. Motilin, sekretin, histamin, dan prostaglandin semuanya terlihat mempunyai
pengaruh yang berbeda pada proses kontraksi. Faktor neural yang predominan dalam
menagtur aktivitas motoris kandung empedu adalah stimulasi kolinergik yang menimbulkan
kontraksi kandung empedu. Pengisisan kandung empedu terjadi saat tekanan dalam duktus
biliaris (berkaitan dengan aliran dan tekanan sfingter) lebih besar daripada tekanan di dalam
kandung empedu. Sejumlah peptida usus, telah terlibat sebagai faktor endogen yang dapat
mempengaruhi proses ini (Sherwood, 2001).
Aliran empedu ke dalam duodenum tergantung pada koordinasi kontraksi kandung
empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Makanan merangsang dilepaskannya CCK, sehingga
mengurangi fase aktivitas dari sfingter Oddi yang berkontraksi, menginduksi relaksasi, oleh
karena itu memungkinkan masuknya empedu ke dalam duodenum (Sherwood, 2001).

2.2.2 Pembentukan empedu


Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik, dan elektrolit, yang normalnya
disekresi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari empedu sebanding dengan cairan
5
ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat terlarut organik yang predominan adalah
garam empedu, kolesterol dan fosfolipid. Asam empedu primer, asam xenodeoksikolat dan
asam kolat, disintesis dalam hati dari kolesterol. Konjugasi dengan taurin atau glisis terjadi di
dalam hati. Kebanyakan kolesterol yang ditemukan dalam empedu disintesis de novo dalam
hati. Asam empedu merupakan pengatur endogen penting untuk metabolisme kolesterol.
Pemberian asam empedu menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan
absorpsi kolesterol. Lesitin merupakan lenih dari 90% fosfolipid dalam empedu manusia
(Guyton, 2011).
Garam empedu yang disekresikan oleh hepar yang berfungsi sebagai Emulsifying /
detergent function yaitu memecah lemak menjadi lebih kecil. Terutama oleh lecithin,
membantu penyerapan : fatty acids, monoglycerides, cholesterol, lipid lainnya dan
membentuk miceles, mebawa lemak untuk diserap di dinding usus halus (Guyton, 2006).
Sel hati mensekresi ± 6 gram garam empedu / hari, garam empedu ini dihasilkan
akibat dari pemecahan kolesterol di hati. Berikut adalah bagan dari pemecahan kolesterol
hingga menjadi garam empedu (Guyton, 2011).

Gambar 2.2 Pembentukan Empedu (guyton 2011)

Asam kenokolat dan asam kolat akan berkonjugasi dengan taurin atau glisin menjadi
garam empedu terkonjugasi. Konjugasi ini menurunkan pK garam empedu sehingga
fungsinya sebagai detergen meningkat. Garam empedu ini dibagi menjadi dua yaitu: (Guyton,
2011).

6
a. Garam empedu primer: garam empedu yang membentuk konjugat dengan taurin atau
glisin di hati
b. Garam empedu sekunder: garam empedu yang telah mengalami dekonjugasi dan
dehidroksilasi oleh flora bakteri

2.2.3 Sirkulasi enterohepatik dari asam empedu


Kurang lebih 94% garam empedu diserap oleh usus halus lalu masuk peredaran darah
portal kemudian masuk ke hepar dan diserap kembali ke hepatocyte yg nantinya akan
disekresikan ulang sebagai empedu. Garam empedu akan mengulangi siklusnya sekitar 17
kali sebelum akhirnya terbuang bersama tinja. Proses ini disebut enterohepatic circulation of
bile salts. Sekresi empedu tergantung jumlah garam empedu pada enteroheptic circulation
(biasanya ± 2,5 gram). Semakin tinggu jumlahnya, makin tinggu pula sekresi. Sistem ini
memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif sedikit untuk bersikulasi ulang 6-12
kali perhari dengan hanya sedikit yang hilang selama tiap perjalanan. Hanya sekitar 5% dari
asam empedu yang diekskresikan dalam feses(Guyton, 2011)..

Sekretin meningkatkan sekresi empedu, tetapi yang meningkat adalah sekresi sodium
bicarbonate-rich watery solution oleh sel epitel pada saluran empedu bukan sekresi oleh sel
parenkim hati. Kolesterol dikeluarkan dari darah ke empedu ± 1-2 gram/hari. Dalam keadaan
tertentu, dapat terjadi pengendapan kolesterol menjadi cholesterol gallstones. Sistem ini
memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif sedikit untuk bersikulasi ulang 6-12
kali perhari dengan hanya sedikit yang hilang selama tiap perjalanan. Hanya sekitar 5% dari
asam empedu yang diekskresikan dalam feses (Guyton, 2011).

7
Tabel Komposisi Empedu (Guyton, 2011)
Empedu Hati Empedu Kantung
Empedu
Air 97.5 g/dl 92 g/dl
Garam 1.1 g/dl 6 g/dl
Empedu
Bilirubin 0.04 g/dl 0.3 g/dl
Kolestrol 0.1 g/dl 0.3 – 0.9 g/dl
Asam Lemak 0.12 g/dl 0.3 – 1.2 g/dl
Lesitin 0.04 g/dl 0.3 g/dl
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca2+ 5 mEq/L 23 mEq/L
Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3 28 mEq/L 10 mEq/L

2.3 Batu Empedu


2.3.1 Definisi

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau
di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.(1)

8
Gambar 2.3. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

2.3.2 Epidemiologi

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20 % dan banyak menyerang orang dewasa

dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di

negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an berkaitan erat dengan cara diagnosis

dengan ultrasonografi (syamsuhidayat). Di Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan

sebanyak 20 juta orang, dengan 70 % diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30 %

sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi ( menurut “Healthy Lifestyle”

Desember 2008). Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen

pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien ( menurut divisi

Hepatology,Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009 ). Prevalensi tergantung usia,

jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita.

Faktor risiko batu empedu memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty

(gemuk), Fourty ( 40th), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko

mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40th

tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40th dan

pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus ( DM ), baik wanita maupun pria,

berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak – anak

pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter.(2),(3)

9
2.3.3 Faktor Risiko dan Etiologi

a. Jenis Kelamin.

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan


dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.

Batu kolestrol juga dikaitkan dengan jenis kelamin. Batu kolesterol lebih
sering pada wanita dengan kehamilan yang berulang. Karena tingginya
progesteron. Progesteron menurunkan motilitas kandung empedu, sehingga terjadi
retensi dan meningkatnya kosentrasi empedu pada kandung empedu. Penyebab lain
statisnya kandung empedu, pemberian nutrisi secara parenteral, penurunan berat
badan yang cepat (diet, gastric bypass surgery).1,2

Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol. Clofibrate atau


golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via sekresi empedu. Analog
somatostatin menurunkan proses pengosongan pada kandung empedu.4

b. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai risiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

10
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai risiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.

g. Penyakit usus halus


Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama


Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.6

Berdasarkan etiologinya, batu empedu dibagi menjadi batu kolesterol dan batu
pigmen. Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa, penduduk asli
Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya yaitu obesitas, kehamilan, kandung
empedu yang statis, obat, dan keturunan. Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM,
hiperlipidemia sangat berhungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan faktor
risiko major dari terjadinya batu kolestrol.
Sedangkan batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary
spherocytosis, dan beta-thalasemia.3,6 Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal
menyebabkan splenomegali, sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari
penderita sirosis memiliki batu pigmen.4

11
2.3.4 Patogenesis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu
empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling
penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan
susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena
terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung
empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan
sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus (Erpecum, 2011).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan terjadinya pembentukan batu empedu.


Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu
empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol yaitu
terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu
dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena
sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak
dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam
waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton &
Hall, 2008).

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan
gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu
besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus
(Sjamsuhidayat, 2010).

12
2.3.5 Patofisiologi

2.3.5.1 Patofisiologi Batu Empedu

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap yaitu pembentukan empedu
yang supersaturasi, nukleasi atau pembentukan inti batu, dan berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam
pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu
dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah,
atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik (Garden, 2007).

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar
dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat
saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau
partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter,
2014).

2.8 Manifestasi klinis


2.8.1 Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 %
dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu
asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu
5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimtomatik.2,5

2. Simtomatik

13
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas,
biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir
setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai
kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. 1,6

3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum
dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan
dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus
sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut
kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya
oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi
atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini
dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-
hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen
dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan).
Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya
akan mengalami kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,4,8

2.8.2 Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan
atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul
serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang
sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang
biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam
dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa
kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala
trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi
mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai
dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu,
dapat timbul kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati.
14
Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus
koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu.
Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.7

2.9 Diagnosis
2.9.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap
dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4

2.9.2 Pemeriksaan Fisik


2.9.2.1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan
dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

2.9.2.2. Batu saluran empedu


Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang
dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah
berat, akan timbul ikterus klinis.4

15
2.9.3. Pemeriksaan Penunjang
2.9.3.1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase )
dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase )
merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit.
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat
tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus
meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan
alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan
dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K
tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.1,7

2.9.3.2. Pemeriksaan radiologis


o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

16
gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis.4
o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.4

Gambar 4. Kolelitiasis pada USG4

o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu.4

o Kolangiografi transhepatik perkutan

17
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau
salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum
baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi.4

o Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde


kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat
diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada
beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor
ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan sebagainya)
Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis
dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak
melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik,
ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati penyebab
penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang
tertinggal).8

o CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan massa
retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka
biasanya dilakukan CT scan.8

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu tersebut
menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai ialah
kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan
tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu ( asam ursodeoksikolat), dilusi kontak
dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi
kandungan kolesterol.

2.10.1 Asimptomatik

18
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut

Disolusi batu empedu


Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia, penggunaan
jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada empedu yaitu dengan
mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu.
Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian akan
mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil bila batu
yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol.

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu,
analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant
asam ursodeoksilat.4,8

2.10.2 Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum
diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang terkait usia
tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu, diperlukan
drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi dan kemudian
baru direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang
terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi.
Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
1. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher, insisi
kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
19
1. Insisi kocher

7. Insisi transverse

Gambar 5. Jenis insisi pada abdomen

2. Peletakan 2 mop basah


Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan
usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk menyingkirkan
gaster ke kiri.
3. Dapat melihat kandung empedu
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar kandung
empedu lebih terekspos.
4. Pengangkatan kandung empedu
Terdapat 2 metode
a. Metode duct first
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan
setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus
sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD4,8

Laparoskopik kolesistektomi

20
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan 4
insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Kelebihan tindakan ini
meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik,
menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering
adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat
dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun
umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas
pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10
hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga6,8

Kolesistostomi

Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis, yang dapat
dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa drainase di dalam
kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi dapat dilakukan.8

Endoscopic sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini kanula
diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan spinterectome
elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian CBD yang mengarah ke
intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama digunakan pada
batu yang impaksi di ampula vateri.4,8

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.721-4.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery. Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
4. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of Pathophysiology.
New York : Thieme,p:164-7.
5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 1. 1997.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.
6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
7. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In :
Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington : Lippincott Williams &
Wilkins.

DAFTAR PUSTAKA
1. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th edition.
2007. US : McGraw-Hill Companies.
3. http://www.artikelkeperawatan.info/materi-kuliah-batu-empedu-171.html
4. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.
com/article/175667-overview.
5. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of Pathophysiology.
New York : Thieme,p:164-7.

22
6. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 1.
1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.
7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
8. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In :
Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington : Lippincott Williams
& Wilkins.

DAPUS

1. Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2011
2. Sherwood, L. 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 -
481
2. Robbins, dkk., 2010. Dasar Patologi Penyakit. Edisi 5. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
3. Tait N, Little J.M. Fortnighly Review: The treatment of gall stones. BMJ
2000;311:99-105.
4. Apstein M.D. Gallstones. In: Lawrence J. Brandt, editor. Clinical practice of
Gastroenterology. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2011: 1035-44
5. Welling TH, Simeone D. M.Gallbladder and Biliary Tract: Anatomy and
Structural Anomalies, in Textbook of Gastroenterology (ed T. Yamada),
Blackwell Publishing Ltd., Oxford, UK. 2008.
6. AvundukC.Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Theraphy 4th Edition.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. 2008.
7. Debas HT.Biliary tract in : Pathophysiology and Management.Springger-
Verlaag. 2004; Chapter 7:198-224

23
24

Anda mungkin juga menyukai