Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Selama beberapa dekade yang lalu, parut uterus dipercaya merupakan


kontraindikasi untuk melakukan persalinan normal karena dapat mengakibatkan
ruptur uterus. Pada tahun 1916, Cragin membuat pernyataannya yang dikenal
“Once a cesarean, always a cesarean”. Namun, saat ini pernyataan tersebut tidak
lagi dipakai. Saat pernyataan tersebut dikeluarkan, seksio sesarea dilakukan
dengan sayatan vertikal pada korpus uteri (secara klasik). Sekarang umumnya
memakai teknik sayatan melintang pada segmen bawah rahim. Di tahun 70-an dan
awal 80-an seksio sesarea meningkat cepat. Di tahun 90-an dilaporkan di dunia ini
wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibandingkan 30 tahun
sebelumnya.

Antara 1970 dan 1988, tingkat kelahiran sesar di Amerika Serikat meningkat
drastis dari 5% menjadi hampir 25%. Penyebabnya diantaranya adalah praktek
forsep midpelvic menurun dan pengiriman kehamilan dengan letak sungsang,
meningkatkan keamanan melalui bedah caesar dan meningkatkan ketergantungan
terus menerus terhadap pemantauan FHR elektronik. VBAC adalah modalitas
terbaik untuk mengurangi tingkat seksio sesarea secara keseluruhan dan berbagai
pedoman yang dibingkai untuk mendorongnya.

Selama periode (1989-1996), tingkat VBAC meningkat, begitu pula jumlah


laporan publikasi mengenai ruptur rahim dan komplikasi lain dari VBAC. ACOG
maka memberi pedoman yang spesifik mengenai VBAC yang harus di lakukan di
setiap fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang
siap menanggapi keadaan darurat disertai tersedianya dokter untuk memberikan
perawatan darurat, namun VBAC juga dilaksanakan oleh dokter non-institusi
yang tidak memiliki kesiapan penanganan darurat. Hal ini memberikan kontribusi
peningkatan kejadian sesar meningkat sebanyak 26,1% pada tahun 2002,
sedangkan tingkat VBAC menurun dari 55% menjadi 12,6%.

0 0
Dengan dikembangkannya persalinan pervaginam pada parut uterus (vaginal birth
after cesarean/VBAC ) atau dikenal pula sebagai Trial of Labor After Cesarean
(TOLAC) angka persalinan dengan parut uterus meningkat. Ini dapat terlihat di
Amerika Serikat pada tahun 1996 hampir 30% menjalani persalinan pervaginam
pada wanita yang sebelumnya pernah seksio sesarea.

0 0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) adalah proses persalinan per
vaginam yang dilakukan terhadap pasien yang pernah mengalami seksio
sesarea pada kehamilan sebelumnya atau pernah mengalami operasi pada
dinding rahim (misalnya satu atau lebih miomektomi intramural).

2.2 Indikasi dan Kontraindikasi VBAC


Rencana VBAC sesuai untuk dilaksanakan dan dapat ditawarkan kepada
sebagian besar wanita dengan kehamilan tunggal, presentasi kepala pada
gravid 37 minggu atau lebih yang mengalami satu kali sesar dengan teknik
insisi horizontal segmen bawah rahim (pfanenstil/mediana), dengan atau
tanpa riwayat kelahiran pervaginam sebelumnya (Royal College of
Obstetricians and Gynecologists Guideline, 2015)

• Indikasi VBAC
• Taksiran berat janin < 3500 gram
• Ibu bersedia dilakukan VBAC (informed consent)
• Tidak ada tanda-tanda CPD
• Tebal SBU (segmen bawah uterus) > 2,5 mm
• Usia kehamilan cukup bulan (37 minggu – 41
minggu)
• Presentasi belakang kepala (verteks) dan janin
tunggal
• Ketuban masih utuh atau sudah pecah tak lebih dari
enam jam
• Tidak ada tanda-tanda infeksi
• Janin dalam keadaan sehat dengan pemeriksaan
denyut jantung janin (Doppler atau non-stress
testing).

• Kontraindikasi Mutlak
• Seksio sesarea terdahulu adalah seksio korporal (klasik)
• Adanya hemoragia antepartum oleh sebab apapun
• Terbukti bahwa seksio sebelumnya adalah karena cephalo
pelvic
• dysproportion (CPD).

0 0
• Malpresentasi atau malposisi
• Bayi besar (makrosomia)
• Seksio sesaria lebih dari satu kali
• Kehamilan post term (> 42 minggu) dengan pelvic score rendah
• Terdapat tanda-tanda hipoksia intrauterin (dari frekuensi bunyi
• jantung janin, non-stress testing atau contraction stress testing)

• Kontraindikasi Relatif
• Kehamilan kembar/gemeli
• Hipertensi dalam kehamilan, termasuk preeklampsia
• Seksio terdahulu pasien dirawat lebih dari sewajarnya (> 7 hari)
• Operasi terdahulu berupa miomektomi multipel

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan VBAC


Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio
sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah
syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini
dokter mendiskusikan dengan pasien tentang pilihan serta risiko masing-
masingnya. Tentu saja menjadi hak pasien untuk meminta jenis persalinan
mana yang terbaik untuk dia dan bayinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan VBAC telah diteliti


selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan dengan
tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea,
yakni:

2.4 Teknik Operasi Sebelumnya


Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim
transversal merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC,
dimana pasien dengan tipe insisi ini mempunyai risiko ruptur yang
lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya. Bekas seksio sesarea
klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada
seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas
merupakan kontraindikasi melakukan VBAC. Menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists, tidak ada perbedaan

0 0
dalam mortalitas maternal dan perinatal pada insisi seksio sesarea
transversalis atau longitudinalis.

• Jumlah Seksio Sesarea Sebelumnya


VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal
sebelumnya maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua
kali berurutan atau lebih, sebab pada kasus tersebut seksio sesarea
elektif adalah lebih baik dibandingkan persalinan pervaginam.
Risiko ruptur uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio
sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu
kali mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptur
uteri. Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea 2 kali adalah sebesar
1.8 – 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai
risiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea
satu kali.

Menurut Spaan (1997) bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih


satu kali mempunyai risiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi.
Menurut Jamelle (1996) menyatakan diktum sekali seksio sesarea
selalu seksio sesarea tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju
dengan pernyataan bahwa setelah dua kali seksio sesarea selalu
seksio sesarea pada kehamilan berikutnya, dimana diyakini bahwa
komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi. Menurut Farmakides
(1987) dalam Miller (1994) melaporkan 77% dari pasien yang
pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan
persalinan pervaginam dan berhasil dengan luaran bayi yang baik.
Menurut Cunningham (2001), American College of Obstetricians
and Gynecologists pada tahun 1999 telah memutuskan bahwa
pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan
pervaginam dengan pengawasan yang ketat. Menurut Miller
(1994), bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali lebih sering pada
VBAC dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada

0 0
penelitian ini, jumlah VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali
adalah 83% manakala 2 kali atau lebih adalah 17%.

• Penyembuhan Luka pada Seksio Sesarea Sebelumnya


Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya
melalui sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah
yang disebut insisi kulit vertikal. Kemudian pemotongan
dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang ditutupi oleh
kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 % insisi
uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal (seperti
potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low
Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan
sembuh dalam 2–6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan
potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan
ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini
mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi
sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya.

Menurut Depp R (1996) dianjurkan VBAC, kecuali ada tanda-


tanda ruptur uteri mengancam, parut uterus yang sembuh
persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya
penyulit obstetrik lain ditemui. Pemeriksaan USG trans abdominal
pada kehamilan 37 minggu dapat mengetahui ketebalan segmen
bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim (SBR) > 4,5 mm
pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh
sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika
ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada
kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih
cara persalinan bekas seksio sesarea.

0 0
Menurut Cunningham FG (2001) menyatakan bahwa
penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari
fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik.
Menurut Cunningham FG (1993), dasar dari keyakinan ini adalah
dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas
sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada
prinsipnya :
• Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan
sikatrik pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea
ulangan
• Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik
atau hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan
dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya.

Kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik


adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah
dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan
dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio sesarea
(hewan percobaan). Ternyata pada regangan maksimal terjadi
ruptur bukan pada jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan
miometrium pada kedua sisi sikatrik. Berdasarkan laporan-laporan
klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea, bagian yang
mengalami ruptur selalu terjadi pada jaringan otot miometrium
sedangkan sikatriknya utuh. Hal ini menandakan bahwa jaringan
sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan miometrium
itu sendiri.

Penyebab gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan


lemahnya jaringan parut, yakni:
1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses
penyembuhan luka.
2. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak
tepatnya pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu

0 0
kencang, jarak jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang
tidak tepat, dan lain-lain.

Jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis


jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan
kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun
technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.
Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan
sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan
pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat mengurangi
kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi
panduan apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea
dapat dilaksanakan atau tidak.
Sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama
kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas
seksio sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang
menjalani persalinan pervaginam.

• Indikasi Operasi pada Seksio Sesarea yang Lalu


Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi
keberhasilan VBAC. Ibu dengan penyakit CPD (Disproporsi
sefalo-pelvik) memberikan keberhasilan persalinan pervaginam
sebesar 60–65 %, fetal distress memberikan keberhasilan sebesar
69–73%. Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan
dilatasi serviks pada waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu.
VBAC berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada
pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginam
menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada keadaan distosia pada kala II.

0 0
Menurut Troyer (1992) pada penelitiannya mendapatkan
keberhasilan penanganan VBAC boleh dihubungkan dengan
indikasi seksio sesarea yang lalu seperti pada tabel dibawah ini :
Hubungan indikasi seksio sesarea lalu dengan keberhasilan penanganan
VBAC Indikasi seksio yang lalu

Letak sungsang 80.5


Fetal distress 80.7
Solusio plasenta 100
Plasenta previa 100
Gagal induksi 79.6
Disfungsi persalinan 63.4
Indikasi seksio sesarea sebelumnya akibat CPD atau distosia tidak
disarankan untuk menjalani VBAC. Pada studi meta analisis,
Rosen et al menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat seksio
sesarea atas indikasi CPD, memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk
kegagalan VBAC.

Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan prognosis


persalinan pervaginam dengan parut uterus adalah sebagai berikut:
a. Jenis sayatan yang telah dilakukan pada operasi terdahulu.
b. Indikasi operasi seksio sesarea terdahulu
c. Jenis operasi terdahulu berupa elektif atau emergensi
d. Adanya komplikasi operasi terdahulu atau tidak.

0 0
• Riwayat
Persalinan Pervaginam

Pasien dengan riwayat persalinan pervaginam sebelumnya


memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi untuk menjalani
VBAC dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki riwayat.
Dikatakan keberhasilan VBAC mencapai 89% pada pasien dengan
riwayat persalinan pervaginam sebelumnya. Sebaliknya, 70%
keberhasilan dicapai oleh pasien tanpa riwayat persalinan
pervaginam sebelumnya.

• Karakteristik Maternal
Beberapa studi penelitian menunjukkan berat dan tinggi badan dari
ibu mempengaruhi penentuan jenis persalinan. Ibu dengan
perawakan pendek dan yang obesitas lebih cenderung untuk
menjalani jenis persalinan seksio sesarea. Berhubungan dengan
persalinan pervaginam pada parut uterus, beberapa penelitian
menunjukkan wanita dengan obesitas memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya kegagalan dalam persalinan pervaginam. Usia maternal

0 0
juga diteliti mempengaruhi proses persalinan pervaginam pada
parut uterus. Wanita berusia lebih dari 40 tahun memiliki risiko 3
kali lebih tinggi gagal persalinan pervaginam pada parut uterus.

• Berat Lahir Janin


Berat lahir lebih dari 4000 g dihubungkan dengan kegagalan dalam
persalinan pervaginam pada wanita dengan riwayat seksio sesarea
sebelumnya.

• Pembukaan Serviks pada Seksio Sesarea sebelumnya


Tingkat keberhasilan VBAC pada 1917 wanita berhubungan
dengan dilatasi servikal yang dicapai sebelum dilakukan seksio
sesarea. Untuk wanita dengan seksio yang dilakukan pada
pembukaan ≤5 cm, keberhasilan VBAC mencapai 67%. Sedangkan
73% keberhasilan dicapai jika pembukaan serviks mencapai 6-9
cm.

• Induksi Persalinan
Penggunaan oksitosin dan prostaglandin untuk menginduksi
persalinan pada pasien dengan parut uterus dapat meningkatkan
risiko ruptur uterus. Risiko ruptur uterus meningkat 2-3 kali pada
mereka yang menjalani persalinan dengan induksi.

• Usia Kehamilan
Semakin besar usia kehamilan, semakin kecil tingkat keberhasilan
VBAC.

• Rentang waktu antar kehamilan


Lama waktu antarkehamilan juga mempengaruhi keberhasilan
VBAC. Wanita dengan rentang antar kehamilan lebih dari 18 bulan
memiliki 86% kesempatan berhasilnya VBAC, sedangkan dengan

0 0
rentang yang kurang dari 18 bulan tingkat keberhasilan mencapai
79%.

4.4 Skor VBAC


Skor VBAC dinilai saat sudah inpartu, untuk mengevaluasi apakah VBAC
benar-benar dapat dilakukan. Bila dirasa tidak memungkinkan, tidak
menutup kemungkinan akan dilakukan SC kembali untuk keselamatan ibu
dan janin.

Skor Alami
Kriteria Skor
Riwayat persalinan sebelumnya 2
Indikasi SC sebelumnya
▪ Sungsang, gawat janin, plasenta 2
previa, SC selektif
▪ distosia pada ø < 5 1

▪ distosia pada ø > 5 0


Dilatasi serviks
▪ 4 cm 2
▪ 2 – 4 cm 1

▪ < 2 cm 0
Station dibawah – 2 1
Panjang serviks ≤ 1 cm 1
Persalinan timbul spontan 1

Jumlah skor dan persentase keberhasilan:


7 – 9 → 94, 5 %
4 – 6 → 78, 8 %
0- 3 → 60 %

Ketebalan segmen bawah uterus (SBU) yang diketahui dari USG juga
perlu dinilai sebagai prediksi untuk terjadinya risiko ruptur uterus.
Tebal SBU dan probabilitas kegagalan VBAC
≥ 4, 5 :0%

0 0
3, 6 – 4, 5 : 0, 6 %
2, 6 – 3, 5 : 6,6 %
< 2, 5 : 9, 8 %

Kemungkinan ruptur pada BSC juga berkaitan dengan tipe insisi SC.
Transversal : 0, 3 – 2, 5 %
Klasik :4–9%

Skor Weinstein
Skor
Nilai bishop ≥ 4 4
Persalinan pervaginam sebelumnya 2
Indikasi SC yang lalu:
A. Malpresentasi 6
HDK / PEB
Gemelli
B. Plasenta previa/solusio 4
plasenta
Prematuritas
KPD 4
C. Gawat Janin
CPD/ distosia 3
D. Makrosomia
IUGR

Nilai: ≥ 4 → 58 %
≥ 6 → 67 %
≥ 8 → 78 %
≥ 10 → 85 %
≥ 12 → 88 %

4.5 Pelaksanaan VBAC


a. Pasien dirawat pada usia kehamilan 38 minggu atau lebih dan
dilakukan persiapan seperti persalinan biasa.

0 0
b. Dilakukan pemeriksaan NST atau CST (bila sudah inpartu), jika
memungkinkan lakukan continuous electronic fetal heart monitoring.
c. Kemajuan persalinan dipantau dan dievaluasi seperti halnya persalinan
biasanya, yakni menggunakan partograf standar.
d. Setiap patologi persalinan atau kemajuannya, memberikan indikasi
untuk segera mengakhiri persalinan itu secepatnya (yakni dengan
seksio sesarea kembali).
e. Kala II persalinan sebaiknya tidak dibiarkan lebih dari 30 menit,
sehingga harus diambil tindakan untuk mempercepat kala II (ekstraksi
forseps atau ekstraksi vakum) jika dalam waktu tersebut bayi belum
lahir.
f. Dianjurkan untuk melakukan eksplorasi/pemeriksaan terhadap
keutuhan dinding uterus setelah lahirnya plasenta, terutama pada lokasi
irisan seksio sesarea terdahulu.
g. Dilarang keras melakukan ekspresi fundus uteri (perasat Kristeller).
h. Apabila syarat-syarat untuk persalinan per vaginam tak terpenuhi
(misalnya kala II dengan kepala yang masih tinggi), dapat dilakukan
seksio sesarea kembali.
i. Apabila dilakukan seksio sesarea kembali, diusahakan sedapat
mungkin irisan mengikuti luka parut terdahulu, sehingga dengan
begitu hanya akan terdapat 1 (satu) bekas luka/irisan.

4.6 Komplikasi VBAC


Risiko terhadap ibu yang melakukan persalinan pervaginam dibandingkan
dengan seksio sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea adalah
sebagai berikut:
a. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan
pervaginam yang berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan
elektif
b. Pada persalinan pervaginam yang gagal yang dilanjutkan dengan
seksio sesarea insiden demam lebih tinggi
c. Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan
pervaginam dibanding dengan seksio sesarea elektif.
d. Dehisensi atau ruptur uteri setelah gagal persalinan pervaginam adalah
2.8 kali dari seksio sesarea elektif.

0 0
e. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan
pervaginam sangat rendah
f. Kelompok persalinan pervaginam mempunyai rawat inap yang lebih
singkat, penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan
penurunan insiden demam paska persalinan dibanding dengan seksio
sesarea elektif.

Rosen melaporkan angka kematian perinatal 1.4% dari hasil penelitian


terhadap lebih dari 4.500 persalinan pervaginam. Rosen juga melaporkan
resiko kematian perinatal pada persalinan percobaan adalah 2.1 kali lebih
besar dibanding seksio sesarea elektif (p<0.001). Namun jika berat badan
janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat tidak diperhitungkan maka
angka kematian perinatal dari persalinan pervaginam tidak berbeda
bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif. Flamm (1994) melaporkan
angka kematian perinatal adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup pada
persalinan pervaginam, angka ini tidak berbeda bermakna dari angka
kematian perinatal dari rumah sakit yang ditelitinya 10 per 1.000 kelahiran
hidup.
Cowan (1994) melaporkan sebagian besar 463 dari 478 (97 %) dari bayi
yang lahir pervaginam mempunyai Apgar skor pasda 5 menit pertama
adalah 8 atau lebih. Mahon (1996) melaporkan bahwa apgar skor bayi
yang lahir tidak berbeda bermakna pada persalinan pervaginam dibanding
seksio sesarea ulangan elektif. Hook (1997) melaporkan morbiditas bayi
yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal persalinan
pervaginam lebih tinggi dibandingkan dengan yang berhasil persalinan
pervaginam. Dan morbiditas bayi yang berhasil persalinan pervaginam
tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.

Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan


pervaginam adalah ruptur uteri. Ruptur jaringan parut bekas seksio
sesarea sering tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang
khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptur uteri pada bekas seksio sesarea
insisi Segmen Bawah Rahim lebih kecil dari 1% (0,2–0,8%). Kejadian

0 0
ruptur uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio
sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of
Obstetricans and Gynekologists adalah sebesar 4–9%. Farmer melaporkan
kejadian ruptur uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sesarea
sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7%

Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan
keluar dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta
ibu. Kadang-kadang harus dilakukan histerektomi emergensi. Kasus
ruptur uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik dibandingkan
dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri pada
seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada
segmen bawah rahim 0,5-1 %.

Tanda yang sering dijumpai pada ruptur uteri adalah denyut jantung janin
tak normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun menjadi
deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut janin tak terdeteksi. Gejala
klinis tambahan adalah perdarahan pervaginam, nyeri abdomen, presentasi
janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu.
Tanda-tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut :
a. Nyeri akut abdomen
b. Sensasi popping (seperti akan pecah)
c. Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan leopold
d. Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi
e. Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam
f. Perdarahan pervaginam

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan
persalinan pervaginam karena risiko ruptur 2-10 kali dan kematian
maternal dan perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio
sesarea pada segmen bawah rahim.

0 0
Alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan persalinan
pervaginam. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea
lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah
yang banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah
lama rawatan masa nifas di rumah sakit serta akan memperpanjang
perawatan di rumah dibandingkan persalinan pervaginam sehingga
terdapat peningkatan beban biaya rumah sakit yang lebih mahal.

Meskipun angka kejadian ruptur uteri pada persalinan pervaginam setelah


seksio sesarea rendah, tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada
janin dan ibu. Sebagai antisipasi, perlu dilakukan monitoring pada
persalinan ini. Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan
manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada waktu persalinan.
Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor kardiotokografi
kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intrauterin dapat membantu
untuk mengidentifikasi ruptur uteri lebih dini sehingga respon tenaga
medis bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi
ruptur uteri.

0 0
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Bangdiwala S, Brown SS, Dean TM, Frederiksen M, Rowland


Hogue CJ, et al. Vaginal Birth After Cesarean: New Insights. National Institutes
of Health Consensus Development Conference Statement. 2010; 115(6):1279–
1295.

0 0

Anda mungkin juga menyukai