Anda di halaman 1dari 56

Laporan Kasus

G6P4A1 H 21-22 minggu + JTHIU + Preskep + Hipertensi Kronis


Super Imposed PEB + Usia >35 tahun + ROJ + HSVB + BSC 3x +
Obese Kelas III+ TBJ 352 gram

Oleh :

Ema Fitriana, S.Ked


NIM. 2030912320089

Pembimbing :
dr. Iwan Darma Putra, Sp.OG, Subsp. FER

BAGIAN/SMF OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM
RSUD ULIN BANJARMASIN
September, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL........................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iv

DAFTAR TABEL...................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS................................................................. 30

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 42

BAB V PENUTUP................................................................................ 47

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 48

LAMPIRAN................................................................................................ 50

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kriteria Terminasi Kehamilan pada PEB................................. 22

Gambar 2.2 Bagan Manajemen Ekspektatif PE tanpa gejala berat.............. 23

Gambar 2.3 Bagan Manajemen Ekspektatif PE dengan gejala berat........... 24

Gambar 4.1 Algoritma Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi dalam

Kehamilan................................................................................ 44

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Preeklamsia.............................................. 13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan (HDK) terjadi pada 3-8% kehamilan di seluruh

dunia. Hipertensia menduduki peringkat kedua penyebab kematian ibu hamil di

Indonesia dengan jumlah kasus 1.066 setelah, pendarahan (1.280 kasus) dan di

ikuti dengan infeksi (207 kasus) di peringkat ketiga pada tahun 2009. 1 Menurut

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) 2013, hipertensi

dalam kehamilan dibagi menjadi preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik

superimposed preeklampsia, hipertensi kronik, dan hipertensi gestasional.2

Preeklampsia merupakan kondisi yang terjadi pada wanita hamil dengan

usia kehamilan diatas 20 minggu dengan tanda utama adanya hipertensi dan

proteinuria. Kejadian preeklampsia bisa meningkat pada wanita yang memiliki

riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis, dan penyakit ginjal.

Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita

preeklampsia dibandingkan dengan multigravida.3

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan komponen untuk menilai derajat

kesehatan dan menjadi komponen dalam indeks kualitas hidup pembangunan

suatu negara. Tahun 2020 menunjukkan 4.627 kasus kematian ibu hamil di

Indonesia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2017

sekitar 810 wanita setiap harinya meninggal karena penyebab yang dapat dicegah

terkait kehamilan dan persalinan.4,5

1
2

Berdasarkan data, didapatkan insiden preeklampsia 5-7% dari seluruh

kehamilan. Preeklampsia menyebabkan 16% kematian maternal dan 45%

kematian perinatal baik secara langsung maupun tidak langsung. Komplikasi

pada ibu berupa sindroma Hemolysis Elevated Liver Enzymes Low Platelet

(HELLP), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan

kematian pada ibu. Sedangkan komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran

prematur, gawat janin, bayi berat lahir rendah, dan Intrauterine Fetal Death

(IUFD). Oleh karena itu, pencegahan dan diagnosis dini secara tepat sangat

diperlukan untuk mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan

kematian yang disebabkan oleh preeklampsia.6

Berdasarkan uraian diatas, pada laporan ini akan disajikan kasus seorang

wanita berusia 38 tahun dengan status gestasi 6 paritas 4 abortus 1, dengan

diagnosis hipertensi kronis superimposed PEB.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia

1. Definisi

Preeklampsia adalah kelainan multisystem spesifik pada kehamilan yang

ditandai ole22h timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20

minggu. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat

secara bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ (termasuk gangguan

pertumbuhan janin).7

2. Klasifikasi

Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:7,8

- Untuk pembagian sekarang preeklamsia termasuk gejala yang berat dengan:

Preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam. Dibagi

menjadi:

- Preeklampsia berat dengan impending eklampsia

- Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia.

Disebut impending eklampsia jika preeklampsia berat disertai gejala-gejala

subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri

epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:

3
4

a. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau

lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan tirah

baring

b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik

c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.

d. Kenaikan kreatinin serum, kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan

ginjal lainnya

e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan

pandangan kabur

f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena

teregangnya kapsula Glisson

g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis

h. Hemolisis mikroangiopatik

i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan

konsentrasi transaminase 2 kali normal

j. Pertumbuhan janin terhambat, gangguan sirkulasi uteroplasenta:

Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or

reversed end diastolic velocity (ARDV)

k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit dengan

cepat

l. Sindroma Hellp.9
5

3. Etiologi

Penyebab pasti etiologi dan predisposisi hingga saat ini belum di ketahui

secara pasti, namun beberapa studi menyimpulkan bahwa penyebab dari

tercetusnya preeklamsia adalah faktor keabnormalan invasi tropoblas pada uterus,

ketidak sesuaianimunologi antara ibu dan janin, kegagalan beradaptasi sistem

kardiovaskular, faktor infeksi pada kehamilan serta genetik.9

4. Faktor Risiko 7,10

1. Usia

Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat

pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada primipara maupun

multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko preeklampsia secara

bermakna. Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada

primigravida tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens >

3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi

hipertensi yang menetap.

2. Nulipara

Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat.

3. Kehamilan pertama oleh pasangan baru

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,

walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki

paparan rendah terhadap sperma.

4. Jarak antar kehamilan


6

Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa

wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih

memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Robillard, dkk

melaporkan bahwa risiko preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan

lamanya interval dengan kehamilan pertama.

5. Riwayat preeklampsia sebelumnya

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko

utama. Menurut Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia

sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat,

preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.

6. Riwayat keluarga preeklampsia

Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali

lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak

3.6 kali lipat.

7. Kehamilan multipel

Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar

meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa lebih lanjut

menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat

dibandingkan kehamilan. Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering

terjadi pada kehamilan ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6%

preeklampsia dan satu kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada

kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus.

8. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio


7

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio

juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab

preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari

paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya

peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan

oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin

mengecilnya kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari

pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama. Walaupun

preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama,

frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila

kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif

dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan.Robillard dkk

melaporkan adanya peningkatan risiko preeklampsia sebanyak 2 (dua) kali

pada wanita dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat

preeklampsia.

9. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh saat pertama kali ANC.

Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar

dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan

resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas

meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat sedangkan

wanita dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27

memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat. Hubungan antara berat badan

wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia jelas ada, dimana terjadi
8

peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) <

20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35

kg/m2.

10. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)

Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes

terjadi sebelum hamil

11. Penyakit Ginjal

Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat

sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.9

12. Sindrom antifosfolipid

Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya

antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau

keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat

13. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua

risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

14. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia atau eklampsia pada ibu atau nenek penderita,

faktor risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif

(recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa

preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering

ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau

mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.


9

15. Diet

Tidak ada hubungan bermakna antara menu atau pola diet tertentu. Penelitian

lain: kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi.

Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil dengan obesitas atau

overweight.

16. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok, insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok

selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin

terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat

baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan atau insidens

hipertensi dalam kehamilan.

17. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

18. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada

kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan

muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada

preeklampsia.

19. Preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

Resiko terjadinya preeklamsia pada kehamilan kedua meningkat sampai 4

kali lipat pada ibu hamil dengan riwayat preeklampsia pada kehamilan

pertama.
10

20. Wanita dengan gangguan fungsi organ4

Resiko terjadinya preeklamsia juga meningkat pada ibu hamil dengan riwayat

diabetes, penyakit ginjal, migraine, dan tekanan darah tinggi.

5. Patofisiologi11,12

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik pada kehamilan yang secara teori

dapat memengaruhi seluruh sistem organ manusia. Patogenesis terjadinya

preeklampsia sendiri masih belum diketahui secara pasti. Namun, sudah banyak

penelitian terkait perjalanan sindrom ini. Secara umum, setidaknya ada 4 faktor

utama yang mungkin menjadi penyebab preeklampsia, yaitu:

a. Implantasi plasenta (plasentasi) dengan invasi trofoblastik yang abnormal

pada arteri spiralis

Pada kehamilan yang normal, terjadi invasi sel trofoblas ke dalam

lapisan otot arteri spiralis, menimbulkan degenerasi lapisan otot, sehingga

terjadi dilatasi arteri spiralis (remodelling). Hal ini menyebabkan aliran darah

ke janin tercukupi.7 Pada preeklampsia, diduga terjadi invasi sel trofoblas

yang abnormal, sehingga terjadi kegagalan remodelling dari arteri spiralis.

Lumen arteri spiralis yang demikian tidak memungkinkan untuk terjadi

vasodilatasi, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, terjadilah hipoksia

dan iskemia plasenta. Penyebab invasi sel trofoblas yang abnormal ini belum

jelas, sehingga teori ini masih merupakan dugaan saja.

Gagalnya remodelling plasentasi menyebabkan darah maternal masuk

ke rongga antar vili dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi. Hal ini

menyebabkan konsentrasi oksigen yang fluktuatif, terjadi hipoksia, yang


11

selanjutnya membentuk stres oksidatif yang akan menyebabkan proses

inflamasi pada ibu. Oleh karenanya teori kegagalan plasentasi ini sangat

berkaitan dengan teori stimulus inflamasi sebagai penyebab preeklampsia.

b. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler dan perubahan

terkait inflamasi dalam kehamilan normal

Pada kehamilan normal, pembuluh darah bersifat refrakter (tidak peka)

terhadap agen vasopressor. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah

dilindungi oleh sintesis prostasiklin pada sel endotel pembuluh darah. Pada

kejadian preeklampsia, pembuluh darah kehilangan daya refrakternya,

sehingga lebih peka terhadap agen vasopressor. Oleh karenanya pembuluh

darah menjadi lebih mudah terjadi vasokonstriksi, yang dapat menyebabkan

hipoksia dan stress oksidatif.13

Stress oksidatif yang berlebihan menyebabkan penyebaran lipid

plasenta dan modifikasi protein oksidatif yang mana merupakan pro

inflamasi kuat. Stress oksidatif juga menyebabkan stres pada mitokondria

dan retikulum endoplasma, menyebabkan apoptosis dan nekrosis jaringan.

Nekrosis dan apoptosis dari trofoblas menghasilkan debris-debris yang akan

beredar dalam sirkulasi darah dan menyebabkan terjadinya inflamasi.

Selanjutnya respon inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel (via IL-6), sel

makrofag/ granulosit, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang

menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

c. Toleransi imunologi yang maladaptif antara jaringan maternal, paternal

(plasental), dan fetal


12

Pada kehamilan normal, sistem imunitas tidak menolak hasil konsepsi

yang seharusnya bersifat asing. Hal ini disebabkan karena adanya human

leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan dalam modulasi respon

imunitas, sehingga tubuh ibu menerima hasil konsepsi. HLA-G ini

melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu. HLAG

juga mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Invasi

ini penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga

memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. Pada preeklampsia,

kemungkinan terjadinya sistem imunitas yang maladaptif (gagal beradaptasi)

sehingga proses di atas tidak terjadi.14

Selain HLA-G, HLA-C yang diekspresikan oleh sel trofoblas yang

invasif juga diduga berkaitan dengan toleransi imunologi yang maladaptif

pada kehamilan. HLA-C merupakan ligan yang dominan untuk Killer

Immunoglobulin-like Receptor (KIR) yang diekspresikan oleh sel NK ibu.

Hasil konsepsi yang sudah berupa embrio akan mengekspresikan antigen

paternal (HLA-C), yang mana merupakan sesuatu yang asing bagi ibu

(dikenali oleh sel T dan sel NK). Oleh karenanya diperlukan regulasi sistem

imunitas yang baik agar kehamilan dapat tetap berlangsung. HLA-C yang

polimorfis memiliki 2 haplotipe, yaitu A dan B. Menurut penelitian, ibu

dengan KIR genotip AA memiliki risiko lebih besar untuk terjadi

preeklampsia. Sedangkan fetus dengan paternal HLA-C2 juga berisiko untuk

menyebabkan preeklampsia. Kombinasi dari keduanya akan sangat

meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia.


13

d. Faktor genetik (gen predisposing dan epigenetik)

Setidaknya ada sekitar 178 gen yang dicurigai berkaitan dengan

kejadian preeklampsia melalui berbagai proses biologis yang berbeda-beda,

mulai dari proses apoptosis, siklus sel, pertumbuhan sel, adhesi sel, dan lain-

lain.14 Belum jelas gen mana saja yang memiliki andil besar dalam

patofisiologi preeklampsia.

6. Diagnosis7,8

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Preeklamsia8

Tekanan darah • Sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mm Hg atau lebih dari atau sama dengan diastolik 90
mm Hg pada dua kesempatan setidaknya 4 jam setelah 20 minggu kehamilan pada wanita dengan
tekanan darah normal sebelumnya
• Lebih dari atau sama dengan 160 mm Hg sistolik atau lebih dari atau sama dengan 110 mm Hg
diastolik, hipertensi dapat dipastikan dalam interval singkat (menit) untuk memfasilitasi terapi
antihipertensi tepat waktu
dan
Proteinuria • Lebih dari atau sama dengan 300 mg per pengumpulan urin 24 jam ( atau jumlah ini
diekstrapolasi dari pengumpulan berjangka waktu)
atau
• Rasio protein / kreatinin lebih besar dari atau sama dengan 0,3 *
• Pembacaan dipstick 1+ (hanya digunakan jika metode kuantitatif lain tidak tersedia)
Atau jika tidak ada proteinuria, hipertensi onset baru dengan yang baru timbulnya salah satu dari berikut:

Trombositopenia • trombosit kurang dari 100.000 / microliter


ginjal insufisiensi • serum kreatinin konsentrasi lebih besar dari 1,1 mg / dL atau dua kali lipat dari serum c
konsentrasi reatinine jika tidak ada penyakit ginjal lainnya.
Gangguan fungsi • Peningkatan konsentrasi transaminase hati dalam darah menjadi dua kali konsentrasi normal
hati
Edema paru
Gejala serebral
atau visual
* Masing-masing diukur sebagai mg / dL.

Diagnosis gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan.

Hipertensi gestasional

 TD ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kali selama kehamilan

 Tidak ada proteinuria


14

 TD kembali normal setelah <12 minggu postpartum

 Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklamsi, misalnya nyeri

epigastrium atau trombositopenia

Eklampsia

 Kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita dengan

preeklampsi

 Preeklampsi pada hipertensi kronik

 Proteinuria awitan baru ≥300 mg/24 jam pada wanita pengidap hipertensi

tetapi tanpa proteinuria sebelum gestasi 20 minggu

 Terjadi peningkatan proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit <

100.000 /mm3 secara mendadak pada wanita dengan hipertensi dan

proteinuria sebelum gestasi 20 minggu

Hipertensi kronik

 TD > 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum gestasi 20

minggu

 Hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah gestasi 20 minggu dan

menetap setelah 12 minggu postpartum.3

Diagnosis dari preeklamsia berat dapat ditentukan secara klinis maupun

laboratorium.

Klinis:

 Nyeri epigastrik

 Gangguan penglihatan

 Sakit kepala yang tidak respon terhadap terapi konvensional


15

 Terdapat IUGR

 Sianosis, edema pulmo

 Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau ≥ 110 mmHg untuk tekanan darah

diastolik (minimal diperiksa dua kali dengan selang waktu 6 jam)

 Oliguria (< 400 ml selama 24 jam)

Laboratorium:

 Proteinuria (2,0 gram/24 jam atau ≥ +2 pada dipstik)

 Trombositopenia (<100.000/mm3)

 Creatinin serum >1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat

sebelumnya

 Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)

 Peningkatan LFT (SGOT,SGPT).15

7 . Penanganan

Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya

kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta

kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat. 14 Pada

preeklamsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah. Karena

preeklamsia sendiri bisa membunuh janin. PEB dirawat segera bersama dengan

bagian Interna dan Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis

perawatan/tindakannya. Perawatannya dapat meliputi:

a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri.

Indikasi: Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini

1). Ibu
16

a) Kehamilan lebih dari 37 minggu

b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia

c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.

2). Janin

a) Adanya tanda-tanda gawat janin

b) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat

3). Laboratorium

Adanya sindroma HELLP .

Pengobatan Medikamentosa

1). Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc (60-125

cc/jam)

2). Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

3). Pemberian obat : MgSO4.

b. Pengelolaan Konservatif

Pengelolaan konservatif ini berarti bahwa kehamilan tetap dipertahankan,

indikasi untuk kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-

tanda impending eklamsi dengan keadaan janin baik.3

Medikamentosa

1. Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif. Hanya

dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8 gr

i.m.).

 Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama

eklampsia
17

 Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap

eklampsia pada pasien

 preeklampsia berat

 Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia

berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi

kejang/eklampsia atau kejang berulang

 Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia

berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi

kejang/eklampsia atau kejang berulang

 Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat

direkomendasikan

 sebagai prevensi dan terapi eklampsia

 Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak direkomendasikan

 Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan

secara rutin ke seluruh pasien preeklampsia, jika tidak didapatkan

gejala pemberatan (preeklampsia tanpa gejala berat)

2. Obat antihipertensi.

Penggunaan obat hipotensif pada preeklamsia berat diperlukan karena

dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia

serebri menjadi lebih kecil. Namun, dari penggunaan obat-obat

antihipertensi jangan sampai mengganggu perfusi uteropalcental. OAH

yang dapat digunakan adalah hydralazine, labetolol, dan nifedipin.

Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 %


18

secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Pemberian

kortikosteroid untuk maturitas dari paru janin sampai saat ini masih

kontroversi. Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan

hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥

110 mmHg. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg

dan diastolik < 110 mmHg.

 Calcium Channel Blocker

Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan

menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke

dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium

channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada

sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium channel blocker dapat

memberikan efek samping maternal, diantaranya takikardia, palpitasi,

sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat efek lokal mikrovaskular

serta retensi cairan.

Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah

digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm

(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT, penggunaan

nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat dibandingkan

labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal pemberian. Nifedipin

selain berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif dan

bersifat natriuretik, dan meningkatkan produksi urin. Dibandingkan


19

dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin

meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat.10

Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang

tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan

berlebihan calcium channel blocker dilaporkan dapat menyebabkan

hipoksia janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif

setelah pemberian calcium channel blocker16 Studi melaporkan

efektivitas dan keamanan calcium channel blocker nifedipin 10 mg tablet

dibandingkan dengan kapsul onset cepat dan kerja singkat untuk

pengobatan wanita dengan hipertensi berat akut (>170/110 mmHg) pada

pertengahan kehamilan. Nifedipin kapsul menurunkan tekanan darah

lebih besar dibandingkan nifedipin tablet. Dosis kedua nifedipin

dibutuhkan 2x labih sering pada penggunaan nifedipin tablet (P = 0.05),

namun lebih sedikit wanita yang mengalami episode hipotensi dengan

tablet (P = 0.001). Gawat janin tidak banyak dijumpai pada penggunaan

nifedipin kapsul ataupun tablet. Kesimpulannya nifedipin tablet

walaupun onsetnya lebih lambat, namun sama efektif dengan kapsul

untuk pengobatan cepat hipertensi berat.10-13

Kombinasi nifedipin dan magnesium sulfat menyebabkan hambatan

neuromuskular atau hipotensi berat, hingga kematian maternal 16

Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai

bekerja setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah


20

dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Efek samping

pemberian nikardipin tersering yang dilaporkan adalah sakit kepala.16-19

Dibandingkan nifedipin, nikardipin bekerja lebih selektif pada

pembuluh darah di miokardium, dengan efek samping takikardia yang

lebih rendah. Laporan yang ada menunjukkan nikardipin memperbaiki

aktivitas ventrikel kiri dan lebih jarang menyebabkan iskemia jantung16

Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam, dan

dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg/jam atau

hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar 25% tercapai.

Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan sesuai dengan respon.

Efek penurunan tekanan darah pada hipertensi berat dan efek samping

yang ditimbulkan pada penggunaan nikardipin dan labetalol adalah sama,

meskipun penggunaan nikardipin menyebabkan penurunan tekanan darah

sistolik dan diastolik yang lebih besar bermakna.20-23

 Beta-blocker Atenolol

Beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan

P2). Atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama

pada digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau

diberikan pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada

keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.

Berdasarkan Cochrane database penggunaan beta-blocker oral

mengurangi risiko hipertensi berat dan kebutuhan tambahan obat


21

antihipertensi lainnya. Beta-blocker berhubungan dengan meningkatnya

kejadian bayi kecil masa kehamilan

 Metildopa Metildopa,

Agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat

antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan

hipertensi kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai

safety margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja

terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer

yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi

nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek

samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi,

hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis."

Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali

sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai

4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum

diekskresikan lewat ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah

intra vena 250-500 mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk

krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu

dan disekresikan di ASI.


22

Gambar 2.1 Kriteria terminasi kehamilan pada preeklamsia berat8

Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan

dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi,

hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat

janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan

ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum.16


23

Gambar 2.2 Bagan Manajemen Ekspektatif preeklamsia tanpa gejala berat8


24

Gambar 2.3 Bagan Manajemen Ekspektatif preeklamsia dengan gejala berat 8

8. Prognosis

Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8

– 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%.

Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal,


25

disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat

pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio

cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian

bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.16,17

9. Komplikasi

a. Proteinuria

Penurunan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh menurunnya aliran darah ke

ginjal akibat hipovolemia dan kerusakan sel glomerulus. Hal ini

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran basalis, terjadi

kebocoran, sehingga terjadi proteinuria. Selain itu, ketidakseimbangan

peroksida lipid akibat preeklampsia menghambat pembentukan

siklooksigenase dan prostasiklin sintase, yang akan menurunkan jumlah

prostasiklin, mengakibatkan proteinuria.18

b. Hipertensi

Peningkatan tekanan darah merupakan proses akhir dari vasokonstriksi

pembuluh darah akibat kerusakan endotel dan proses inflamasi yang

disebabkan oleh preeklampsia. Peningkatan diastol utamanya diakibatkan oleh

peningkatan resistensi perifer, sedangkan sistol menunjukkan besarnya curah

jantung.18

c. Eklampsia

Eklampsia merupakan kejang tonik-klonik yang merupakan akibat akhir dari

hipoperfusi jaringan, vasokonstriksi pembuluh darah, dan pengaktifan kaskade

koagulasi pada preeklampsia. Eklampsia merupakan suatu ensefalopati


26

hipertensif, yaitu ketika resistensi vaskuler serebral berkurang, sehingga

terjadi peningkatan aliran pembuluh darah ke otak, oedema serebral, dan

selanjutnya konvulsi.19

d. Hemolisis

Preeklampsia yang cukup parah sering diikuti dengan hemolisis, yang mana

dapat dilihat dari jumlah lactate dehydrogenase (LDH) atau keberadaan sel

ekinosit pada darah tepi. Hal ini disebabkan karena hemolisis mikroangiopati

akibat disrupsi endotelial dengan adhesi platelet dan deposit fibrin, sehingga

menyebabkan aliran darah yang kencang.19

e. Trombositopenia

Karena banyaknya cedera jaringan akibat proses inflamasi dan kerusakan sel

endotel, konsumsi trombosit menjadi berlebihan (aktivasi kaskade koagulasi).

Kurangnya jumlah prostasiklin juga ikut mengakibatkan trombositopenia.9

f. Peningkatan enzim hepar

Proses disfungsi multiorgan yang paling banyak terjadi pada preeklampsia

yaitu disfungsi hepar. Perdarahan pada sel periportal lobus perifer

menyebabkan nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini

meluas hingga bawah kapsula hepar, subkapsular hematoma, yang

menimbulkan rasa nyeri di epigastrium (salah satu tanda impending

eklampsia).9

g. Gangguan neurologic
27

h. Nyeri kepala, mual, muntah disebabkan oleh hipoperfusi otak, menimbulkan

vasogenik edema. Akibat vasospasme arteri retina dan edema retina, terjadi

gangguan visus (skotomata/ blurred vision/ diplopia).9

i. HELLP syndrome

Memiliki pengertian adanya hemolysis yaitu terjadinya peningkatan

pemecahan eritrosit yang akan ditandai dengan Hb yang turun < 12 g/dl, laktat

dehidrogenase > 600 ul/l dan bilirubin yang meningkat > 1.2 mg/dl, elevated

liver enzyms (liver function) nampak pada hasil SGOT dan SGPT yang juga

mengalami peningkatan melebihi nilai normalnya dan serum aspartat

amniotransferase > 70 U/L, dan low platelets counts terlihat dari angka

trombosit yang menurun dibandingkan nilai normal, yaitu < 150.000 u/l.

Diagnosis HELLP syndrome ditegakkan bila didapatkan hasil pemeriksaan

laboratorium yang abnormal dari ketiga komponen di atas pada trismester III

di usia kehamilan 26-40 minggu. Jika hanya memenuhi 1 atau 2 dari 3 kriteria,

maka disebut dengan partial HELLP syndrome.8

Penanganan yang paling mungkin dari pasien HELLP adalah segera

melahirkan bayinya. Selama tindakan konvensional masih berjalan, maka

tatalaksana yang dilakukan seperti pada penatalaksanaan PEB dengan

ditambahkan pemberian transfusi pada pasien jika didapatkan low platelet count.

HELLP syndrome biasa merupakan tanda awal terjadinya preeklampsia. Gejala

dan tanda yang biasanya nampak berupa nyeri kepala, retensi cairan dengan

peningkatan berat badan, nyeri perut atas, dan pandangan kabur. Dari pemeriksaan

fisik biasa ditemukan adanya pembesaran hati dan peningkatan tekanan darah
28

melebihi nilai normal. Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien ini adalah

terjadi gangguan koagulopati berupa Disseminated Intravaskular Coagulation

(DIC), edem pulmo, gagal ginjal, dan placental abruption.20

Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki kadar

trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata –rata dan produksi urin.

Pemberian kortikosteroroid post partum tidak berpengaruh pada kadar trombosit.

Pemberian kortikosteroid tidak berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas

maternal serta perinatal/neonatal. Deksametason lebih cepat meningkatkan kadar

trombosit dibandingkan betametason.8

10. Pencegahan Preeklampsia

Pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada

perempuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia

adalah suatu sindroma dari proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan

dapat dicegah.7-9

1. Pencegahan nonmedikal

Cara yang paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Di Indonesia tirah

baring masih diperlukan pada mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya

preeklampsia meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya

preeklampsia dan mencegah persalinan preterm. Restriksi garam tidak terbukti

dapat mencegah terjadinya preeklampsia. Hendaknya diet ditambah suplemen

yang mengandung (a) minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,

misalnya omega-3 PUFA, (b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, B-karoten,


29

CoQro, N-Asetilsistein, asam lipoik, dan (c) elemen logam berat: zinc,

magnesium, kalsium.8

2. Pencegahan dengan medical

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum

ada bukti yang kuat dan sahih. Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah

terjadinya preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak

terbukti mencegah terjadinya preeklampsia. Pemberian kalsium: 1.500 - 2.000

mg/hari dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya

preeklampsia. Selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari, magnesium 365

mg/hari. Obat antitrombotik yang dianggap dapat mencegah preeklampsia ialah

aspirin dosis rendah (60-80 mg) untuk mencegah preeklamsia telah diteliti dalam

meta-analisis lebih dari 30.000 wanita, dan tampaknya ada sedikit efek untuk

mengurangi preeklamsia dan hasil perinatal yang merugikan. Temuan ini tidak

relevan secara klinis untuk wanita berisiko rendah tetapi mungkin relevan dengan

populasi berisiko sangat tinggi di mana jumlah yang dirawat untuk mencapai hasil

yang diinginkan akan jauh lebih sedikit. Dapat juga diberikan obat-obat

antioksidan, misalnya vitamin C, vitamin E, B-karoten, CoQro, N-Asetilsistein,

asam lipoik.7
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. J Nama suami : Tn. U

Umur : 38 tahun Umur : 32 tahun

Agama : Islam Agama : Islam

Suku : Banjar Suku : Banjar

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jalan Kuin Selatan, Banjarmasin

MRS tanggal : 25 Agustus 2022 (pukul 14.10 WITA)

B. Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 26 Agustus 2022 (pukul 17.00 WITA)

Keluhan utama: kencang-kencang

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang sendiri ke kamar bersalin RSUD Ulin membawa surat

rujukan dari Poli Kandungan dengan diagnosis G6P4A1 H 21 minggu + JTHIU +

PEB + ROJ + HSVB + BSC 3x (4 tahun yang lalu) + Obese Kelas III. Pasien

mengaku saat ini hamil 5 bulan. Keluhan yang dirasakan saat pertama kali datang

adalah kencang-kencang di perut sejak 10 jam sebelum masuk kamar bersalin,

keluhan dirasakan hilang timbul dan pendek. keluar air-air(-), keluar lendir darah

(-). Saat muncul keluhan perut kencang-kencang pasien langsung berobat ke RS

30
31

Ansal dan diberikan terapi nifedipin karena disertai pusing tetapi keluhan tidak

berkurang setelah diberi obat.

Keluhan pandangan kabur, nyeri ulu hati, mual, dan muntah disangkal.

Selama kehamilan riwayat keputihan, gatal dan berbau di kemaluan, nyeri dan

tidak lampias saat buang air kecil disangkal. Tidak ada riwayat terbentur dan

trauma, riwayat pijat perut, maupun riwayat berhubungan badan.

Riwayat penyakit dahulu : HT (+) sejak hamil ke-2 tidak berobat, DM (-),

asma (-), alergi (-)

Riwayat penyakit keluarga : HT (-), DM (-), asma (-), alergi (-)

Riwayat haid : Menarche usia 12 tahun, siklus haid 28 hari, lama 5-7 hari

Riwayat ANC : BPM 1x dan dokter Sp.OG. 4x dikatakan KRT ec BSC +

PEB + U > 35 tahun

HPHT : 27 Maret 2022

TP : 04 April 2023

Usia kehamilan : 21 minggu + 5 hari

Riwayat perkawinan : Pasien menikah 2 kali, I = 2009-2018

II = 2020- sekarang

Riwayat KB : (-)

Riwayat Obstetri sebelumnya :

1. 2012 / 9 bulan / SC a/i panggul sempit / RS Ansal / perempuan / 2600gr / H /

10 thn (Suami I)

2. 2017 / 8 bulan / SC a/i eklampsia / RS Ansal / laki-laki / 2200 gram / M

<2hari
32

3. 2018 / 9 bulan / SC a/i BSC + IUFD / RS Ansal / laki-laki / 2500 gram / M

4. 2021 / 6 bulan / Spt BK PEB + IUFD / RS Ansal / laki-laki / 2200 gram / M

5. 2022 / 2 bulan / Abortus Komplit Kuretase (-)

6. Hamil ini (Suami II)

C. Pemeriksaan Fisik

Status Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis, GCS 4-5-6

Tinggi badan : 154 cm

Berat badan : 97 kg

BMI : 40,9 kg/m2 (obes III)

Tanda vital : TD : 195/115 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

RR : 20 kali/menit

T : 36,6 oC

Kulit : Turgor kulit baik, kelembapan cukup, bintik merah (-)

Kepala/leher :

Kepala : Normocephali

Mata : Edem palpebra (-/-), mata cekung (-/-), konjungtiva

anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks

cahaya (+/+)

Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga,

tidak ada gangguan pendengaran

30
33

Hidung : Bentuk normal, tidak tampak deviasi septum, tidak ada

sekret, tidak ada epistaksis

Mulut : Bibir dan mukosa tidak anemis, bibir lembab, perdarahan

gusi tidak ada, tidak ada trismus, tidak ada pembesaran

atau radang pada tonsil, lidah tidak ada kelainan

Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar

getah bening dan tiroid, tidak ada pembesaran JVP.

Thoraks :

Paru

Inspeksi : Bentuk normal, gerakan simetris dan ICS tidak melebar

Palpasi : Fremitus vokal simetris, tidak ada nyeri tekan

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : tidak teraba thrill

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : S1, S2 reguler, bising jantung (-),murmur (-), gallop (-)

Abdomen : striae (+), BU (+) normal, ascites (-), organomegali (-)

Ekstremitas :

Atas : akral hangat (+/+), pitting edema (-/-), gerak normal, nyeri

saat digerakkan (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), pitting edema (-/-), gerak normal,


34

nyeri saat digerakkan (-/-).

Status Obstetri

TFU : Setinggi pusat

His : Tidak ada

DJJ : 158x/menit

TBJ : 352 gr

VT : tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Tabel Hasil Laboratorium tanggal 25 Agustus 2022 (16.30 WITA, VK)

HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.2 12.0-16.0 g/dl
Lekosit 7.8 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.81 4.00-5.30 juta/ul
Hematokrit 37.0 37.0-47.0 %
Trombosit 239 150-450 ribu/ul
RDW-CV 16.0 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 76.9 75.0-96.0 fl
MCH 25.4 28.0-32.0 pg
MCHC 33.0 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.4 0.0-1.0 %
Eosinofil% 5.1 1.0-3.0 %
Neutrofil% 85.5 50.0-81.0 %
Limfosit% 16.8 20.0-40.0 %
Monosit% 8.2 2.0-8.0 %
Basofil# 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.01 <3.00 ribu/ul
Neutrofil# 12.47 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 1.48 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.62 0.30-1.00 ribu/ul
HEMOSTASIS
Hasil PT 9.4 9.9-13.5 detik
INR 0.96
Control normal PT 10.8
Hasil APTT 25.6 22.2 – 37.0 detik
35

Control normal APTT 24.8


KIMIA
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 118 <200 mg/dl
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
LDH 386 <480 U/L
HATI DAN PANKREAS
Albumin 4,0 3.5-5.2 g/dl
SGOT 25 5-34 U/L
SGPT 17 0-55 U/L
GINJAL
Ureum 12 0-50 mg/dl
Creatinin 0.62 0.57-1.11 mg/dl
Asam Urat 6.4 2.6-6.0 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 134 136-145 Meq/L
Kalium 3.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 105 98-107 Meq/L
IMUNO-SEROLOGI
Anti HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif
HEPATITIS
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
URINALISA
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning
Kejernihan jernih Jernih
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
Ph 6.0 5.0-6.5
Keton Negatif Negatif
Protein-Albumin +2 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 0.1 0.1-1.0
Lekosit Negatif Negatif
SEDIMEN URIN
Lekosit 0-1 0-3 / LPB
Eritrosit 0-1 0-2 / LPB
Epithel 1+ 1+
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
36

2. Rapid Antigen Test COVID-19 tanggal 25Agustus 2022

Hasil negatif

3. USG tanggal tanggal 25 Agustus 2022 di Kamar Bersalin

Janin : Tunggal, Hidup, IU Letak memanjang, Presentasi Kepala

Plasenta : Implantasi di corpus Posterior Gr 0

Amnion : SDP 5,4 cm kesan cukup

Biometri : BPD : 4,81 mm ~ 20mgg +6

HC : 18,54 mm ~ 20mgg +6

AC : 15,11 mm ~ 20mgg +2

FL : 3,04 mm ~ 19 mgg +3

EFW : 352gram

Jantung : FHR (+) 156x/menit, 4 CV(+)N

Anomali : Saat ini tidak ditemukan kelainan kongenital mayor

Lain–Lain : Aktifitas Janin Baik

Kesimpulan :

Janin, Tunggal, Hidup, Intra Uterine, Presentasi Kepala, sesuai usia gestasi 20-21

mgg, implantasi plasenta di corpus Posterior Gr 0 menutupi OUI dengan cairan

amnion cukup

4. CTG tanggal tanggal 25 Agustus 2022 di Kamar Bersalin

Baseline : 150 dpm

Variabilitas : 5-20 dpm

Akselerasi : (-)
37

Deselerasi : (+) dini berulang

Gerak Janin : (+)

His : (+)

Kesimpulan : Kategori II

5. Tabel Hasil Laboratorium tanggal tanggal 29 Agustus 2022

HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.5 12.0-16.0 g/dl
Lekosit 7.9 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.50 4.00-5.30 juta/ul
Hematokrit 34.2 37.0-47.0 %
Trombosit 198 150-450 ribu/ul
RDW-CV 15.3 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 76.0 75.0-96.0 fl
MCH 25.6 28.0-32.0 pg
MCHC 33.6 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.1 0.0-1.0 %
Eosinofil% 0.1 1.0-3.0 %
Neutrofil% 85.5 50.0-81.0 %
Limfosit% 10.1 20.0-40.0 %
Monosit% 4.2 2.0-8.0 %
Basofil# 0.02 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.01 <3.00 ribu/ul
Neutrofil# 12.47 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 1.48 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.62 0.30-1.00 ribu/ul
HEMOSTASIS
Hasil PT 9.7 9.9-13.5 detik
INR 0.96
Control normal PT 10.8
Hasil APTT 25.6 22.2 – 37.0 detik
Control normal APTT 24.8
KIMIA
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 118 <200 mg/dl
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
LDH 386 <480 U/L
HATI DAN PANKREAS
Albumin 4,0 3.5-5.2 g/dl
38

SGOT 25 5-34 U/L


SGPT 17 0-55 U/L
GINJAL
Ureum 12 0-50 mg/dl
Creatinin 0.62 0.57-1.11 mg/dl
Asam Urat 6.4 2.6-6.0 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 134 136-145 Meq/L
Kalium 3.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 105 98-107 Meq/L
IMUNO-SEROLOGI
Anti HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif
HEPATITIS
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif
URINALISA
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Keruh Jernih
Berat Jenis 1.010 1.005-1.030
Ph 6.0 5.0-6.5
Keton Negatif Negatif
Protein-Albumin +2 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar +3 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 0.1 0.1-1.0
Lekosit Negatif Negatif
SEDIMEN URIN
Lekosit 2-3 0-3 / LPB
Eritrosit >50 0-2 / LPB
Epithel 1+ 1+
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri 2+ Negatif
Lain-lain Negatif Negatif

E. Diagnosis

G6P4A1 H 21-22 minggu + JTHIU + Preskep + Hipertensi Kronis Super Imposed

PEB + Usia >35 tahun + ROJ + HSVB + BSC 3x + Obese Kelas III+ TBJ 352

gram
39

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana awal:

• Bed rest

• PO Metildopa 3x500 mg

• PO Aspilet 1x8 mg

• PO Kalk 2x500 mg

• PO Zinc 1x20 mg

• PO Vit D 1x5000 IU

• Monitoring KU/Keluhan/TTVAwasi tanda impending eklamsia

• Pro USG ulang hari ini

TS Cardio:

• PO Metildopa 3x500 mg

• PO ISDN 2x5 mg Target TDS ≤130 mmHg

Lapor DPJP dr. Pribakti Budinurjaja, Sp. OG(K) disetujui

G. Follow Up

Tanggal
26 27 28 29
SOAP
Agustus 2022
40

Subjektif
- Kencang- + - - -
kencang
- Gerak - - - -
janin
- Mual - - - -
- Muntah - - - -
- Nyeri - - - -
Kepala
- Nyeri ulu + - - -
hati
- Pandanga - - - -
n kabur
- - - -
- Edema
tungkai
bawah
- - - -
- Nyeri luka
operasi
Objektif
- TD 150/90 130/80 130/80 135/80
(mmHg)
- Nadi 83 87 84 81
(x/menit)
- RR 20 20 18 19
(x/menit)
- Temperat 36,7 36,5 36,7 36,6
ur (oC)
G6P4A1 H G6P4A1 H G6P4A1 H G6P4A1 H 21-22
21-22 21-22 minggu 21-22 minggu minggu + JTHIU +
minggu + + JTHIU + + JTHIU + Preskep +
JTHIU + Preskep + Preskep + Hipertensi Kronis
Preskep + Hipertensi Hipertensi Super Imposed PEB
Hipertensi Kronis Super Kronis Super + Usia >35 tahun +
Kronis Imposed PEB Imposed PEB ROJ + HSVB +
Super + Usia >35 + Usia >35 BSC 3x + Obese
Assesment Imposed tahun + ROJ + tahun + ROJ + Kelas III+ TBJ 352
PEB + Usia HSVB + BSC HSVB + BSC gram
>35 tahun + 3x + Obese 3x + Obese
ROJ + Kelas III+ Kelas III+
HSVB + TBJ 352 gram TBJ 352 gram
BSC 3x +
Obese Kelas
III+ TBJ 352
gram
Penatalaksanaan
Tatalaksana awal:

• Bed rest

• PO Metildopa 3x500 mg
41

• PO Aspilet 1x8 mg

• PO Kalk 2x500 mg

• PO Zinc 1x20 mg

• PO Vit D 1x5000 IU

• Monitoring KU/Keluhan/TTVAwasi tanda impending eklamsia

• Pro USG ulang hari ini

TS Cardio:

• PO Metildopa 3x500 mg

• PO ISDN 2x5 mg Target TDS ≤130 mmHg

Lapor DPJP dr. Pribakti Budinurjaja, Sp. OG(K) disetujui


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang wanita berusia 45 tahun dengan

diagnosis G6P4A1 H 21-22 minggu + JTHIU + Preskep + Hipertensi Kronis

Super Imposed PEB + Usia >35 tahun + ROJ + HSVB + BSC 3x (4 tahun yang

lalu) + Obese Kelas III+ TBJ 352 gram. Penegakan diagnosis pada kasus ini

didukung oleh anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis ditemukan pasien hamil 5 bulan datang dengan perut

kencang-kencang 10 jam SMKB. Pasien merupakan rujukan poli kandungan

dengan diagnosis G6P4A1 H 21-22 minggu + PEB.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan baik kepala, mata leher, thorak dan

ektermitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan inspeksi

dan terlihat perut tampak membesar simetris dengan striae gravidarum. Pada

pemeriksaan tinggi fudus uteri (TFU) didapatkan hasil setinggi pusat dan

berdasarkan rumus Johnson, taksiran berat janin (TBJ) adalah 352 gram. Pada

pasien ini didapatkan tekanan darah sebesar 195/115 mmHg dan dilakukan

pemeriksaan urin dipstik dengan hasil +2.

Pemeriksaan penunjang pada kasus ini berupa pemeriksaan darah rutin dan

USG. Pada urinalisis ditemukan pr3otein-albumin +2 dan darah samar +3. Pada

hasil pemeriksaan USG yang dilakukan di VK Bersalin RSUD Ulin Banjarmasin

tanggal 25 Agustus 2022 didapatkan kesimpulan berupa JTHIU, Presentasi

42
43

Kepala, sesuai usia gestasi 20-21 mgg, implantasi plasenta di corpus Posterior Gr

0 menutupi OUI dengan cairan amnion cukup.

Penegakkan diagnosis preeclampsia berat berdasarkan tekanan darah sistolik

≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg, serta ditemukan protein

urin ≥5 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik ≥ +2. Pada pasien ini ditemukan

tekanan darah pasien 195/115 mmHg dan didapatkan +2 pada pemeriksaan dipstik

urin, sehingga dapat ditegakkan diagnosis preeclampsia berat.

Pasien ini tidak ditemukan adanya tanda-tanda impending eklampsia atau

severe features seperti: trombositopenia, hemolisis mikroangiopati, peningkatan

fungsi liver (SGOT/SGPT), nyeri perut bagian kanan atas, nyeri kepala, skotoma,

IUGR, oligohidramnion, edem paru, CHF, peningkatan kadar kreatinin dan

oliguria.13,21

Hal ini sesuai dengan teori dimana untuk menegakkan diagnosis

preeklampsia dengan anamnesis mencari gejala-gejala seperti adanya edema

ekstremitas, pusing, nyeri kepala, mual muntah, penglihatan kabur, dan riwayat

tekanan darah tinggi sebelumnya, serta pola makan. Lalu dilanjutkan dengan

pemeriksaan fisik yaitu mengukur tekanan darah dan penunjang yaitu urinalisis

sederhana dengan dipstik. Sehingga pada pasien ini kami diagnosis dengan

Preeklampsia Berat tanpa impending eklampsia.


44

Algoritma penegakan diagnosa pasien dengan hipertensi dalam kehamilan

dijelaskan pada gambar 4.1

Gambar 4.1 Algoritma Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi dalam Kehamilan 22


45

PEB pada kasus ini dipengaruhi oleh indeks massa tubuh, penelitian

menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan risiko munculnya preeclampsia

setiap peningkatan IMT. Peningkatan IMT sebelum hamil meningkatkan risiko

preeclampsia 2,5 kali lipat dan peningkatan IMT selama ANC meningkatkan

risiko preeclampsia sebesar 1,5 kali lipat. Sebuah studi lain membandingkan

risiko antara ibu dan IMT rendah dan normal menemukan bahwa risiko terjadinya

preeclampsia menurun drastis pada ibu.23,24,25

Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah amankan airway

breathing dan circulation dengan memberikan O2 mask 6 lpm dan memposisikan

ibu miring kiri untuk menjaga agar sirkulasi utero-plasental tetap baik. Pasien

sudah diberikan profilaksis kejang dengan menggunakan dosis awal MgSO4 40%

4gr dilarutkan dalam RD5 100cc dalam 15 menit di RS Ansal sebelum dirujuk

lalu di RSUD Ulin dilanjutkan dosis rumatan MgSO4 40% 8gr dalam RD5 500cc

dalam 8 jam (1gr/jam), lalu diberikan obat antihipertensi yaitu Nifedipin per oral

1x30 mg dan metildopa 3x500 mg. Namun jika tekanan darah <160/110mmhg

nifedipin tidak diberikan, tapi metildopa tetap diberikan. Hal ini sesuai dengan

teori dimana pada pasien preeklampsia diberikan tatalaksana anti kejang dengan

menggunakan MgSO4 40% (4gr) dan dilarutkan dalam 10cc aquades diberikan

intravena bolus pelan selama 20 menit, atau jika akses intravena sulit didapat

maka dapat menggunakan 5gr MgSO4 (12,5 ml) disuntikkan secara intramuskular

pada bokong kanan dan kiri. Setelah itu diberikan dosis rumatan MgSO4 40% 6gr

dalam 500cc RL secara intravena selama 6 jam sebanyak 28 tpm dan diulang

hingga 24 jam. Namun terdapat adanya syarat pemberian MgSO4 yaitu


46

tersedianya antidotum berupa Ca Glukonas 10%, refleks patella positif, respirasi

>16x per menit dan produksi urin >0,5ml/kgBB/jam.26,27

Pada pasien ini didapatkan faktor risiko BSC 3x, usia >35 tahun, PEB,

Obesitas. Adapun, faktor risiko ada-Gawat-Obstetrik/ AGO-penyakit ibu, pre

eklampsia ringan, hamil kembar, hidramnion, hamil serotinus, IUFD, letak

sungsang, dan letak lintang. Terdapat tanda bahaya pada saat kehamilan, ada

keluhan tapi tidak darurat. Ibu AGO dengan FR yang kebanyakan timbul pada

umur kehamilan lebih lanjut, risiko terjadi komplikasi persalinan lebih besar,

membutuhkan KIE berulangkali agar peduli dan sepakat melakukan rujukan

terencana ke pusat . pemantauan tekanan darahdan mempertahankan usia bayi.

Pasien dirawat selama 5 hari pasca bersalin dan mendapatkan perawatan pasca

salin. Pasien pulang dengan kondisi baik. 13,28


BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien wanita hamil 20-21 minggu berusia 38

tahun masuk Ruang Nifas RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan kencang-

kencang. pasien hamil 5 bulan datang dengan perut kencang-kencang 10 jam

SMKB disertai tekanan darah yang tinggi. Pasien merupakan rujukan Puskesmas

dengan diagnosis G6P4A1 H 21-22 minggu + JTHIU + Preskep + Hipertensi Kronis Super

Imposed PEB + Usia >35 tahun + ROJ + HSVB + BSC 3x + Obese Kelas III+ TBJ 352 gram .

Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan terminasi kehamilan dengan

pemantauan tekanan darahdan mempertahankan usia bayi. Pasien dirawat selama

5 hari pasca bersalin dan mendapatkan perawatan pasca salin. Pasien pulang

dengan kondisi baik.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesian 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan


RI. 2020.
2. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in
pregnancy. Chapter 1: Classification of hypertensive disorders. 2013;13-15.
3. Fatmawati L, Sulistyono A, Notobroto HB. Pengaruh status kesehatan ibu
terhadap derajat preeklampsia/eklampsia di Kabupaten Gresik. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. 2017;20(2):52-58.
4. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesian 2020. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI. 2021.
5. WHO. Maternal Mortality The Sustainable Development Goals and the Global
Strategy for Women’s, Children’s and Adolescent’s Health. [internet]. [diakses
pada tanggal 20 juli 2022]. Dapat diakses melalui https://www.who.int/en/news-
room/fact-sheets/detail/maternal-mortality
6. Damayanti S, Sulistyowati S, Probandari AN. Maternal Characteristics and the
Effects of Early and Late-onset Types of Preeclampsia on Maternal and Perinatal
Complications. Indonesian Journal of Medicine. 2019;4(4):329-338.
7. Womens Health Care Physcians. Hipertension in Pregnancy.The American
Collage of Obstetricians and Gynecologist. Washington. 2013
8. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto
Maternal. Diagnosis dan Tatalaksana pre-eklamsia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran. 2016
9. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy. In: William Obstetrics, edisi ke-22, New
York: McGraw-Hill, 2005 : 761-808.
10. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-
3, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010: 542-50.
11. Ali AA, Rayis DA, Abdallah TM, Elbashir MI, Adam I. Severe anaemia is
associated with a higher risk for preeclampsia and poor perinatal outcomes in
Kassala hospital, eastern Sudan. BMC Res Notes [Internet]. 2011;4(1):311.
Available from: http://www.biomedcentral.com/1756- 0500/4/311.
12. Gibbs, Ronald S.et al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition chapter
: 16 - Hypertensive Disorders of Pregnancy. 2008. Lippincott Williams & Wilkins
: USA.
13. Cunningham, FG. Et all. 2010. Obstetri Williams. USA:McGraw Hill.
14. Jebbink et al. Molecular genetics of preeclampsia and HELLP syndrome - A
review. Elsevier. 2012: 1822 (12): 1960-69.

48
49

15. Marjono AB. Hipertensi pada Kehamilan Pre-Eklampsia/Eklampsia. 1999. Kuliah


Obstetri/Ginekologi FKUI.
http://www.geocities.com/yosemite/rapids/1744/cklobpt
16. Wibowo B, Rachimhadhi T. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam Wiknjosastro H,
Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta. 2005; 281-94.
17. Angsar MD. Hipertensi Dalam Kehamilan. Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2003; 3-8.
18. Rambulangi J. Penanganan Pendahuluan Prarujukan Penderita Preeklampsia Berat
dan Eklampsia. Cermin Dunia Kedokteran No. 139. Jakarta. 2003; 16-19.
19. Cipolla, MJ. Cerebrovascular function in pregnancy and eclampsia. National
Library of Medicine. 2007; 50 (1): 14-24.
20. Budiono W. Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009
21. Samal SK, Rathod S. Prediction of caesarean section for arrest of descent during
the second stage of labour. India: International Journal of Reproduction,
Contraception, Obstetric and Gynaecology. 2017.
22. Departemen kesehatan RI. Pelatihan pelayanan obstetric neonatal emergensi
dasar. Jakarta: Depkes RI;2005.
23. Wibowo B, Rachimhadhi T. Preeklampsia – eklampsia. Dalam Wiknjosastro H,
Ilmu Kebidanan. Ed 3 cetakan ketujuh. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.2005;281-94.
24. Bardja S. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Berat/Eklampsia pada Ibu Hamil.
Jurnal Kebidanan. 2020;12(1):19-24.
25. Wulandari R & Firnawati AF. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Berat pada
Ibu Hamil di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Kesehatan. 2019;5(1):1-9.
26. Kemenkes RI. Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan
rujukan. WHO POGI.2013
27. Diego A, Catherine Y S, Edwin C. FIGO Consensys Guideline on intrapartum
Fetal Monitoring
28. Mamede. 2012 .Kebidanan Patologi. Nuha Medika: Yogyakarta
LAMPIRAN
51

Hasil Pemeriksaan USG (VK, 25 Agustus 2022)

Foto Buku KIA


52

Hasil Pemeriksaan CTG (VK, 25 Agustus 2022)

Anda mungkin juga menyukai