Anda di halaman 1dari 36

Referat

Eklampsia

Oleh:
Farah Rullyta Rizkina, S. Ked
1930912320109

Pembimbing:
dr. Samuel L. Tobing, Sp.OG(K)-Obginsos

DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Maret, 2022

i
ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 5

BAB III PENUTUP.................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 34

ii
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Klasifikasi hipertensi kehamilan.................................................. 8

2.2 Patofisiologi preeklampsia........................................................... 13

2.3 Perbedaan arteri spiralis hipertensi dan normotensi ................... 15

iii
iv

BAB I
PENDAHULUAN

Eklampsia merupakan merupakan onset baru kejang grand mal (tonik-

klonik umum) pada wanita dengan tanda atau gejala preeklampsia.1 Eklampsia

merupakan komplikasi berat dari preeklampsia dan menimbulkan risiko kepada

ibu maupun janin.2,3 Eklampsia telah didokumentasikan selama lebih dari 2400

tahun, dan sindrom prodromal pre-eklampsia (sebelumnya disebut sebagai

toksemia kehamilan) telah didokumentasikan selama hampir 200 tahun.4

Patogenesis terjadinya disebabkan oleh genettik, abnormalitas invasi trofoblas

plasenta, abnormalitas aliran darah otak karena hipertensi ekstrem.2,3,4

Hipertensi kehamilan menimbulkan komplikasi sebesar 5-10% dari seluruh

kehamilan, merupakan satu dari tiga penyebab (perdarahan, infeksi) yang

berkontribusi besar pada mortalitas dan morbiditas ibu hamil. 5 Hipertensi onset

baru selama kehamilan (hipertensi gestasional) hamper 50% diikuti oleh tanda

dan gejala preeklampsia, dan preeclampsia diidentifikasi pada 4-5% dari seluruh

kehamilan. World Health Organization (WHO) secara sistematis meninjau

mortalitas ibu di dunia, dan di negara maju 16% disebabkan oleh hipertensi.4,6

Eklampsia perlu diidentifikasi segera dan ditangani dengan tepat.

Tatalaksana eklampsia yaitu dengan memberikan Magnesium sulfat secara

intravena dan mempertimbangkan terminasi kehamilan Pasien preeklampsia berat

dengan usia kehamilan >34 minggu dan tidak stabil dari perspektif ibu maupun

janin, sebaiknya dilakukan persalinan segera setelah kondisi ibu distabilkan.7

iv
v

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba-

tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan, atau masa

nifas yang menunjukkan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat

grand mal dan bukan disebabkan oleh kelainan neurologis. Istilah eklampsia

berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar. Kata tersebut digunakan

karena gejala eklampsia seringkali muncul tiba-tiba tanpa didahului tanda lain.7,8

Eklampsia sebagai komplikasi dari preeklampsia berat, umumnya

didefinisikan sebagai onset baru aktivitas kejang grand mal (tonik-klonik umum)

dan/atau koma yang tidak dapat dijelaskan selama kehamilan atau pasca

persalinan pada wanita dengan tanda atau gejala preeklampsia. Kejang eklampsia

dapat terjadi antepartum, setelah usia kehamilan 20 minggu, intrapartum, dan

postpartum.1,2

Preeklampsia, sebagai prekursor eklampsia, didefinisikan sebagai

hipertensi onset baru dengan tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan

140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik lebih besar atau sama dengan 90

mmHg pada usia kehamilan diatas 20 minggu dengan keterlibatan multi system

organ (proteinuria, disfungsi organ ginjal, hepar, sistem saraf pusat, edema paru,

dan trombositopenia).3,4

v
vi

B. Epidemiologi

Eklampsia adalah komplikasi preeklampsia yang diketahui selama

kehamilan dan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas tinggi pada ibu dan

janin jika tidak didiagnosis dengan benar. Hipertensi pada kehamilan

memengaruhi sebanyak 5-10% dari seluruh kehamilan di dunia, dengan proporsi

eklampsia dan preeklampsia sebesar 50%. Hipertensi kehamilan merupakan satu

dari tiga penyebab tingginya mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal di

seluruh dunia selain perdarahan dan infeksi. 9

Kompleksitas mendefinisikan preeklampsia mempengaruhi keakuratan

menentukan angka kejadiannya di berbagai negara. Perkiraan global yang

diperoleh dari 39 juta kehamilan menunjukkan insiden preeklampsia sebesar 4,6-

5%. Insiden eklampsia lebih rendah tetapi cukup bervariasi, mulai dari 0,015%

hingga 2,9%.2 Hal ini tergantung pada akses ke perawatan obstetrik. Kematian

ibu akibat preeklamsia/eklampsia tertinggi di Negara berpenghasilan rendah

menyumbang setidaknya 63.000 kematian ibu per tahun. Di negara yang

kekurangan sumber daya, preeklampsia menyumbang hampir 30% dari semua

kematian ibu di 29 negara (20 per 100.000) dengan angka kematian 0,8%.3,9

Eklampsia banyak terjadi pada trimester ketiga dan semakin meningkat

saat mendekati kelahiran. Sekitar 75% kejang eklampsia terjadi sebelum

melahirkan, sebelum persalinan (antepartum) 25%, selama persalinan

(intrapartum) 50%, dan sampai 6 minggu post partum 25%. Wanita dengan

eklampsia umumnya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu, dengan sebagian

besar (90%) kasus terjadi setelah usia kehamilan 28 minggu.3,4

vi
vii

Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2-0,5% dari seluruh persalinan dan

lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3-0,7%) dibandingkan negara

maju (0,05-0,1%). Variasi insiden dipengaruhi oleh paritas, gravida, obesitas,

ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang merupakan faktor

risikonya. Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko

preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan

dilakukan pencegahan primer.2,4,9

C. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi hipertensi kehamilan untuk praktik klinis berdasarkan

American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG):10,11,13

1. Sindrom preeklampsia dan eklampsia

Berdasarkan International Society for the Study of Hypertension in

Pregnancy (ISSHP), preeklampsia adalah hipertensi dan proteinuria pada usia

kehamilan >20 minggu atau hipertensi onset baru tanpa proteinuria namun disertai

disfungsi organ ibu lainnya termasuk trombositopenia (Platelet <100 x 109/L),

gangguan fungsi hepar (peningkatan transaminase >2x nilai atas normal atau nyeri

persisten RUQ abdomen atau epigastrium yang tidak respons terhadap

pengobatan), insufisiensi ginjal progresif (kreatinin serum >1,1 mg/dl atau 2x lipat

tanpa penyakit ginjal lainnya), edem pulmo, gejala neurologis (nyeri kepala onset

baru tanpa penyebab yang jelas dan tidak respons terhadap pengobatan atau gejala

visual) dan/atau disfungsi uteroplasenta, seperti restriksi pertumbuhan janin

dan/atau temuan USG Doppler abnormal aliran darah uteroplasenta. ISSHP dan

ACOG merekomendasikan istilah preeklampsia "berat" dan "ringan" tidak lagi

vii
viii

digunakan, karena semua kasus berpotensi mengancam secara klinis. Sebaliknya,

perbedaan antara early onset dan late onset sindrom ini semakin dikenal, dengan

batas usia kehamilan 34 minggu.

2. Hipertensi kronik

3. Preeklampsia superimposed hipertensi kronik

4. Hipertensi gestasional: hipertensi pada usia kehamilan >20 minggu tanpa

proteinuria atau manifestasi berat, tidak terdapat bukti definitif sindrom

preeklampsia dan hipertensi hilang dalam 12 minggu postpartum. Namun

wanita dengan hipertensi gestasional berat (TDS ≥160 mmHg, TDD ≥110

mmHg) walaupun tanpa proteinuria harus didiagnosis sebagai preeklampsia

berat.

Gambar 2.1 Klasifikasi hipertensi kehamilan6

viii
ix

Berdasarkan waktu terjadinya, eklampsia terbagi menjadi eklampsia

gravidarum (antepartum), eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia

puerperale (postpartum), berdasarkan saat timbulnya serangan.8

D. Faktor Risiko

Berbagai faktor risiko yang berkontribusi terhadap terjadinya eklampsia

yaitu nuliparitas, riwayat keluarga dengan preeklampsia, riwayat preeklampsia

dan eklampsia pada kehamilan sebelumnya, ROJ (retardasi pertumbuhan

intrauterin, solusio plasenta, atau kematian janin), kehamilan multifetus, obesitas

(IMT sebelum hamil >30), hipertensi kronis, diabetes pregestasional, penyakit

ginjal kronis, sindrom antifosfolipid, trombofilia, lupus, fertilisasi in vitro, mola

hidatidosa, hidrops janin, primigravida, kehamilan usia remaja atau lebih dari 35

tahun (atau >40 tahun), interval antar kehamilan yang lama (>5 tahun atau >10

tahun), status sosial ekonomi rendah.2,3,4,11

Nuliparitas meningkatkan risiko tiga kali lipat. Risiko preeklampsia pada

kehamilan pertama (~4%). Efek protektif jika kehamilan pertama normal dengan

risiko lebih rendah (~2%) pada kehamilan berikutnya. Risiko kekambuhan tinggi;

15% setelah satu kehamilan preeklampsia dan 32% setelah dua kehamilan. 4

Namun, efek protektif multiparitas menurun jika berganti pasangan. Studi

melaporkan peningkatan risiko preeklampsia sebanyak dua kali pada wanita

dengan pasangan yang pernah memiliki istri dengan riwayat preeklampsia.3,5

Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,

walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki

paparan rendah terhadap sperma. Interval dengan kehamilan sebelumnya ≥10

ix
x

tahun memiliki risiko preeklampsia dan eklampsia dimana meningkatkan risiko

1,5 kali setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua).8

Jenis kelamin janin sebagai faktor risiko penting. Meta-analisis menemukan

pada persalinan cukup bulan (≥37 minggu) tidak ada perbedaan dalam rasio jenis

kelamin. Namun, peningkatan risiko pada janin perempuan ditemukan pada

persalinan usia kehamilan <34 minggu. Analisis perbedaan jenis kelamin dalam

ekspresi gen plasenta menunjukkan hampir 50% terkait X dan muncul dari

lepasnya inaktivasi X. Dengan demikian, janin laki-laki lebih rentan terhadap

plasentasi suboptimal, atau kurang dapat beradaptasi. Hal ini mencerminkan

perbedaan jenis kelamin pada malperfusi uteroplasenta, yaitu resistensi vaskular

lebih besar pada ibu dengan janin laki-laki.7,8

Beberapa studi melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia

hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia ≥40 tahun pada primipara maupun

multipara. Studi lain melaporkan risiko preeklampsia dan eklampsia pada

kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia ibu. Penelitian berbeda

menemukan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia

kurang dari 19 tahun.4

Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko

utama, dengan peningkatan risiko hingga tujuh kali lipat. Kehamilan wanita

dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia sebelumnya berkaitan dengan

tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini dan dampak

perinatal buruk.7 Riwayat preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga

meningkatkan risiko hampir tiga kali lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu

x
xi

meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali lipat. Bukti yang mendukung berperannya

faktor genetik adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada

penderita preeklampsia, yaitu terdapat hubungan antara histokompatibilitas

antigen HLADR4 dengan proteinuri hipertensi. Diduga ibu dengan HLA haplotipe

A 23/29, B 44 dan DR 7 berisiko lebih tinggi preeklampsia eklampsia dan intra

uterin growth restriction (IUGR) daripada ibu tanpa haplotipe tersebut. Penelitian

lain menyebutkan hubungan preeklampsia-eklampsia dengan gen resesif tunggal

dimana terjadi peningkatan prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak

perempuan yang lahir dari ibu dengan preeklampsia eklampsia mengindikasikan

adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia.6,11,12

Kehamilan multifetus menunjukkan peningkatan risiko preeklampsia

hampir tiga kali lipat. Kehamilan triplet memiliki risiko hampir tiga kali lipat

dibandingkan duplet sehingga dapat disimpulkan kehamilan ganda memiliki risiko

lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal. Selain

itu, wanita dengan kehamilan multifetus dan kelainan hipertensi kehamilan

memiliki luaran neonatal yang lebih buruk daripada kehamilan monofetus.2,3

Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oossit atau donor embrio

juga dikatakan sebagai faktor risiko. Kejadian preeklampsia meningkat hampir

empat kali lipat bila diabetes terjadi sebelum hamil. Studi menyebutkan bahwa

diabetes melitus dan hipertensi berasosiasi kuat dengan indeks masa tubuh dan

kenaikannya secara relevan sebagai faktor risiko eklampsia. Risiko preeklampsia

juga meningkat sebanding dengan beratnya penyakit pada wanita dengan penyakit

ginjal. Beberapa studi menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi

xi
xii

antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko

preeklampsia hampir 10 kali lipat.2,3,4

Penelitian mengenai wanita dengan hipertensi kronik menemukan insiden

preeklampsia superimposed sebesar 22% dan 50% merupakan preeklampsia onset

dini. Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar

dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi

insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan

rsisiko preeklampsia sebanyak 2,47 kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT

sebelum hamil >35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko

preeklampsia empat kali lipat. Pada studi kohort ditemukan fakta bahwa frekuensi

preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita kurus (IMT< 19,8) adalah 2,6%

dibandingkan 10,1% pada populasi wanita gemuk (IMT> 29,0).5,7

Faktor lingkungan memiliki peran terhadap terjadinya hipertensi pada

kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi baik memiliki risiko yang lebih

rendah untuk mengalami preeklampsia. Studi menyebutkan eklampsia banyak

terjadi pada ibu yang kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14%

dibandingkan dengan yang mendapatkan ANC sebesar 1,97% Studi menunjukkan

bahwa penyebab kematian ibu terbesar (51,8%) adalah perdarahan dan eklampsia.

Kedua penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pelayanan antenatal

memadai dan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.3,4,5

E. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dan mekanisme pasti eklampsia masih belum jelas. Banyaknya

hipotesis terkait etiopatogenesis hipertensi kehamilan namun belum juga

xii
xiii

memuaskan sehingga preeklampsia dan eklampsia disebur sebagai “The disease of

theory”.6

Gambar 2.2 Patogenesis preeklampsia

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat peningkatan permeabilitas sawar

darah otak selama preeklampsia, menyebabkan perubahan aliran darah otak

karena gangguan autoregulasi. Predisposisi genetik, imunologi, endokrinologi,

nutrisi, abnormalitas invasi trofoblas, kelainan koagulasi, kerusakan endotel

vaskular, maladaptasi kardiovaskular, defisiensi atau kelebihan diet, dan infeksi

telah diusulkan sebagai faktor etiologi preeklampsia/eklampsia.

Ketidakseimbangan produksi prostanoid dan peningkatan antifosfolipid plasma

juga terlibat dalam eklampsia. Iskemia plasenta dikaitkan dengan peningkatan

kerentanan terhadap kejang dan peradangan cairan serebrospinal (CSF).6,11,12

Kejang eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi

lokal otak atau fokus perdarahan di korteks otak. Kejang juga sebagai manifestasi

xiii
xiv

tekanan pada pusat motorik di daerah lobus frontalis. Beberapa mekanisme yang

diduga sebagai etiologi kejang adalah: a) Edema serebral b) Perdarahan serebral c)

Infark serebral d) Vasospasme serebral e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra

seluler f) Koagulopati intravaskuler serebral g) Ensefalopati hipertensi. Koma

pada kasus eklampsia dapat disebabkan oleh kerusakan dua organ vital: 1)

Kerusakan hepar berat: gangguan metabolisme-asidosis, tidak mampu

mendetoksikasi toksis material. 2) Kerusakan serebral: edema serebri, perdarahan

dan nekrosis disekitar perdarahan, hernia batang otak.11,12

Dua mekanisme patofisiologi eklampsia, keduanya berasal dari proses

penyakit awal, preeklampsia. Patogenesis preeklampsia terkait plasentasi

abnormal dan terjadinya inhibisi perkembangan uterovaskular. Perubahan

uterovaskular saat hamil disebabkan adanya interaksi antara alograf ibu dan janin

sehingga terjadi perubahan vaskular lokal dan sistemik. Pada kehamilan normal,

proliferasi trofoblas menginvasi desidua dan miometrium dalam dua tahap.

Pertama, sel-sel trofoblas endovaskular menginvasi arteri spiralis yaitu dengan

mengganti endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot

polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid.

Proses ini selesai pada akhir trimester I dan proses tersebut telah sampai pada

deciduomyometrial junction. Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi

tahap kedua dari sel trofoblas di mana sel-sel trofoblas akan menginvasi arteri

spiralis lebih dalam hingga miometrium. Selanjutnya terjadi proses seperti tahap

pertama yaitu penggantian (remodeling) endotel, perusakan jaringan muskulo-

elastis serta perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini

xiv
xv

adalah pembuluh darah berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong,

memungkinkan terjadi dilatasi pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran

darah yang meningkat pada kehamilan.8,11

Gambar 2.3 Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas) dan hipertensi (bawah) 6

Pada preeklampsia, proses plasentasi tidak berjalan sebagaimana mestinya

disebabkan dua hal, yaitu: (1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh

sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap

pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak

berlangsung sehingga bagian arteri spiralis berada dalam miometrium tetapi

mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif dengan resistensi vaskular.

Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli, menyebabkan

penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan

hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin

(IUGR) hingga kematian bayi. Selain itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti

xv
xvi

atherosklerosis) pada arteri spiralis menyebabkan lumen arteri bertambah kecil

bahkan obliterasi sehingga aliran darah ke plasenta menurun dan berhubungan

dengan luasnya daerah infark pada plasenta.8,11

Faktor stres oksidatif diinduksi oleh peningkatan molekul leptin di sirkulasi

ibu dengan eklampsia. Leptin juga menyebabkan agregasi platelet, berkontribusi

terhadap koagulopati terkait eklampsia. Stres oksidatif menstimulasi produksi dan

sekresi faktor antiangiogenik aktivin A dari sel plasenta dan endotel. Studi

menyebutkan peningkatan aktivitas leukosit sistemik berperan dalam mediasi stres

oksidatif, inflamasi, dan disfungsi sel endotel. Studi histokimia mengindikasikan

didominasi dengan adanya peningkatan infiltrasi neutrofil vaskular pada pasien

dengan eklampsia.8,11

Gambar 2.3 Remodeling arteri spiralis6

Representasi diagram efek remodeling arteri spiralis pada aliran darah ibu ke

ruang intervili pada kehamilan normal dan patologis. Dilatasi segmen distal arteri

spiralis pada kehamilan normal mengurangi kecepatan darah yang masuk, darah

dibawa ke rongga sentral (CC) dari lobulus plasenta, lalu menyebar secara merata

xvi
xvii

diantara vili. Waktu transit ke vena uterina sekitar 25-30 detik, memungkinkan

cukup untuk pertukaran oksigen. Pada kehamilan patologis, darah ibu memasuki

ruang intervili menyembur cepat (1-2 m/s). Aliran turbulen, ditunjukkan oleh

panah melingkar, dan momentum tinggi merusak vili, membentuk lesi kistik

ekogenik (ECL) yang dilapisi oleh trombus (berbintik). Waktu transit berkurang,

sehingga pertukaran oksigen terganggu. Debris mikropartikel trofoblas terlepas

dari permukaan vili. Retensi sel otot polos (SMC) di sekitar arteri spiralis

meningkatkan risiko vasokonstriksi spontan dan cedera iskemia-reperfusi.6

Studi histologis selanjutnya mengungkapkan bahwa remodeling arteri yang

kurang tidak spesifik untuk preeklampsia karena dapat terjadi pada gangguan

plasentasi lainnya. Peran lesi vaskular seperti aterosis akut, terlihat pada akhir

kehamilan pada kasus berat. Lesi ditandai dengan nekrosis fibrinoid dan

akumulasi makrofag intima sarat lipid. Lokasi lesi menunjukkan bahwa lesi

muncul karena perubahan hemodinamik ketika remodeling tidak sempurna.

Aterosis akut sangat membatasi kaliber vascular uteroplasenta, diperburuk oleh

lesi trombotik sekunder, membatasi volume darah yang masuk menyebabkan

infark dengan risiko kematian janin. 11,12

Tabel 2.1 Perbandingan preeklampsia onset dini dan onset lambat6

Early Late onset System affected


onset
Maternal serum
Asymmetric dimethylarginine (ADMA) ↑ − Vasoreactivity
Blood pressure,
Apelin ↑ −
angiogenesis
Angiogenesis, endothelial
sFlt/PlGF ratio ↑↑ ↑⁄−
cell dysfunction
Brain natriuretic peptide ↑↑ ↑ Cardiac dysfunction

xvii
xviii

Early Late onset System affected


onset
Complement activation ↑ ↑ Immune response
Metabolic syndrome,
Copeptin ↑ −
insulin resistance
Inflammatory modulator,
Fetuin-A ↓ ↑
metabolism
Fibronectin ↑↑ ↑ Clotting cascade
Cell injury, oxidative
Growth differentiation factor-15 (GDF-15) ↓ ↓↓
stress
HtrA1 ↑ ↓ Cell stress
Adipomyokine,
Irisin ↓↓ ↓
metabolism
Leptin ↑↑ ↑ Metabolism
Placental exosomes ↑ ↓ Placental stress
Progranulin ↑↑ ↑ Cell growth
Pro-inflammatory cytokines ↑ −* Inflammation
sVCAM-1 ↑↑ ↑ Endothelial dysfunction
Regulatory T cells ↓↓ ↓ Inflammatory response
Maternal CVS function ▪
Baroreceptor sensitivity − ↑ Blood pressure
Cardiac dysfunction
Heart rate variability − ↑

Cardiac dysfunction
Left ventricular concentric hypertrophy ↑↑ ↑

Bilateral uterine artery notching ↑↑ ↑ Uteroplacental blood flow


Placental perfusion ↓ ↑ MRI placental blood flow
Placental
Width − ↑ Placental development
Pathological changes ↑ −* Malperfusion
Villous volume, surface area ↓ − Placental development
Oxidative stress
Total oxidant status ↑↑ ↑

Oxidative stress
Altered methylation ↑ −

Placental stress ↑ − Cell stress


Maternal endothelial
Trophoblast debris ↑↑ ↑
dysfunction
Mitochondrial copy number ↑ − Metabolism
G-protein coupled receptor signalling ↓ - Immune and inflammatory

xviii
xix

Early Late onset System affected


onset
responses
TLR4 ↑ − Immune regulation
EGFL7, ACVRL1 ↓ − Angiogenesis

Pada tingkat mikroskopis, terdapat nekrosis fokal sinsitiotrofoblas.

hilangnya dan distorsi mikrovili, pelebaran retikulum cisternae endoplasma, dan

pembengkakan mitokondria. Beberapa sel mengalami degenerasi atau apoptosis.

Perbedaan morfologi didukung oleh laporan yang menunjukkan tingkat stres

plasenta yang lebih tinggi pada tingkat molekuler. Pelepasan mikropartikel

plasenta lebih besar pada preeklampsia onset dini daripada onset lambat,

sementara kadar eksosom serum ibu meningkat pada onset dini tetapi tidak pada

onset lambat. Eksosom dapat menjadi biomarker penting stres plasenta.6,11

Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan sel endotel dan

berasal dari asam arakidonat dimana dalam pembuatannya dikatalisis oleh enzim

siklooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot

polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit.

Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan

bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor dan

agregasi trombosit. Prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek berlawanan

dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding

pembuluh darah.6,11

Pada kehamilan normal terjadi peningkatan prostasiklin oleh jaringan ibu,

plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi

xix
xx

prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio

tromboksan A2:prostasiklin. Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel

mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan

tempat pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan

sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel. Preeklampsia berhubungan

dengan vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas

tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini sangat

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin.6,11,12

Kerusakan endotel vaskular pada preeklampsia menyebabkan penurunan

produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregasi trombosit, dan fibrinolisis

kemudian diganti trombin dan plasmin. Trombin mengonsumsi antitrombin III

sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan

tromboksan A2 dan serotonin sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

Maladaptasi imunologis sebagai patofisiologi preeklampsia yaitu terjadi

penurunan proporsi T-helper sejak awal trimester II. Antibodi yang melawan sel

endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia. Maladaptasi sistem

imun menyebabkan invasi dangkal arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas

endovaskular dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan

pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas oleh

desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1 berperan dalam stres oksidatif yang

berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α merubah

sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan

membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan.7,12

xx
xxi

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua menyebabkan kerusakan sel

endotel karena pembentukan lipid perioksida yang akan membuat radikal bebas

lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini menyebabkan gangguan produksi

nitrit oksida oleh endotel vaskular yang mempengaruhi keseimbangan prostasiklin

dan tromboksan di mana terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta

dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskular. Stres oksidatif

meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi faktor koagulasi

mikrovaskular (trombositopenia) serta peningkatan permeabilitas mikrovaskular

(oedem dan proteinuria). Antioksidan merupakan kelompok besar zat yang dapat

mencegah overproduksi dan kerusakan oleh radikal bebas. Beberapa antioksidan

poten terhadap efek buruk radikal bebas diantaranya vitamin E (α-tokoferol),

vitamin C dan β-caroten. Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan

kerusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.11,12

Hambatan regulasi aliran darah otak dimana pada eklampsia terjadi

abnormalitas aliran darah otak karena hipertensi ekstrem. Regulasi perfusi otak

dihambat, terjadi dilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular, edem cerebri,

sehingga terjadi iskemia dan ensefalopati. Peningkatan tekanan darah

menyebabkan autoregulasi otak terganggu sehingga terjadi iskemia,

microhemorrhage otak yang dapat menjadi awal fokus kejang. Pada hipertensi

ekstrem, terjadi gangguan kompensasi normal (vasokonstriksi) dimana dinding

vaskular bengkak dan terjadi nekrosis.5,6,11

Disfungsi endotel pada eklampsia karena peningkatan faktor di sirkulasi

sistemik yaitu fibronektin selular, Von Willebrand factor, Cell adhesion molecules

xxi
xxii

(ie, P-selectin, vascular endothelial adhesion molecule-1 [VCAM-1], Intercellular

adhesion molecule-1 [ICAM-1]), sitokin (ie, interleukin-6 [IL-6]), tumor necrosis

factor-α [TNF-α]. Selain itu, faktor antiangiogenik seperti placental protein fms-

like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) dan aktivin A, antagonis vascular endothelial

growth factor (VEGF). Peningkatan protein menyebabkan reduksi VEGF dan

menginduksi disfungsi sel endotel lokal dan sistemik. Kebocoran protein dari

sirkulasi dan edem generalisata merupakan sekuel disfungsi endotel dan dikaitkan

dengan preeklampsia/eklampsia.3,5,11

F. Manifestasi Klinis

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Umumnya

serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia dan muncul gejala

nyeri kepala berat dan menetap di daerah frontal dengan atau tanpa gangguan

visual (pandangan kabur, fotofobia), perubahan status mental sementara

(irritabilitas, amnesia), mual, muntah, nyeri perut kuadran kanan atas atau

epigastrium, edema generalisata, dan hiperrefleks. Gejala-gejala ini perlu

dimonitor sebagai early warning symptoms eklampsia tanpa memandang derajat

hipertensi. Namun, hanya 50% yang mengalami gejala ini sebelum eklampsia.1,11

Eklampsia bermanifestasi sebagai onset baru ≥1 kejang tonik klonik umum,

fokal atau multifokal dengan setiap kejang umumnya berlangsung 60-90 detik.

Awalnya terjadi distorsi wajah, dengan mata menonjol dan mulut berbusa.

Respirasi berhenti selama kejang. Kejang eklampsia dibagi menjadi 2 fase. Fase 1

berlangsung 15-20 detik dimulai dengan kedutan wajah, tubuh menjadi kaku,

kontraksi otot umum. Fase 2 berlangsung sekitar 60 detik dimulai rahang terbuka

xxii
xxiii

dan tertutp keras, bergerak ke otot-otot wajah dan kelopak mata, menyebar ke

seluruh tubuh. Otot-otot bergantian berkontraksi dan berelaksasi dengan cepat.

Jika terjadi sangat hebat, pasien dapat terlempar dari tempat tidurnya. Lidah

pasien dapat tergigit karena kejang otot rahang. Kemudian secara berangsur

kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang sehingga pasien tak bergerak.1,11

Setelah kejang, diafragma kaku dan pernapasan berhenti. Selama beberapa

detik, pasien seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian bernapas

panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal. Apabila tidak

ditangani dengan baik, kejang pertama akan diikuti dengan kejang berikutnya

yang bervariasi dari kejang ringan sampai berkelanjutan (status epileptikus).

Setelah kejang berhenti, koma (periode tidak sadar) berlangsung selama periode

variabel, mengikuti fase 2 dengan durasi bervariasi. Setelah fase koma, pasien

mungkin sadar kembali, dan menjadi agresif dan sangat gelisah (agitasi). Namun,

pasien tidak mengingat kejadian saat kejang. Apabila kejang jarang terjadi,

kesadaran dapat segera pulih. Namun, pada kasus berat, koma belangsung lama,

bahkan dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih kesadarannya.8,11

Periode hiperventilasi terjadi setelah kejang tonik-klonik sebagai

kompensasi asidosis respiratorik dan laktat yang berkembang selama fase apnea.

Frekuensi pernapasan meningkat dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini

dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat

hipoksianya. Pada kasus berat ditemukan sianosis. Demam tinggi jarang terjadi,

apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan

saraf pusat. Selain itu dapat terjadi proteinuria, oliguria, bahkan anuria disertai

xxiii
xxiv

hemoglobinuria. Setelah persalinan, urin output akan meningkat seabagai tanda

awal perbaikan kondisi pasien. Proteinuria dan edema menghilang dalam waktu

beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan. Apabila hipertensi menetap

setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit vaskular kronis.7

G. Diagnosis

Diagnosis eklampsia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang. Eklampsia harus selalu dipertimbangkan sebagai

diagnosis pada ibu hamil dengan kejang. Eklampsia adalah suatu proses penyakit

pada wanita dengan preeklampsia. Kejang eklampsia dapat terjadi antepartum, 20

minggu setelah kehamilan, intrapartum, dan postpartum.8

Temuan pemeriksaan fisik khas untuk eklampsia adalah kejang tonik-

klonik umum onset baru yang berlangsung selama 60 - 90 detik. Pasien dapat

memiliki warning symptom seperti sakit kepala, perubahan visual, sakit perut,

dan peningkatan tekanan darah sebelum timbulnya aktivitas kejang. Keadaan

postiktal sering muncul setelah aktivitas kejang. Evaluasi eklampsia difokuskan

untuk mendiagnosis preeklampsia karena merupakan komplikasi yang

mengancam jiwa dari proses penyakit ini.2,3

Sesuai batasan National Institutes of Health (NIH) Working Group on Blood

Pressure in Pregnancy bahwa preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai

proteinuria pada usia kehamilan >20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat

ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal biasa dan tidak spesifik

preeklampsia. Kriteria diagnositik hipertensi yaitu tekanan darah sistolik (TDS)

xxiv
xxv

≥140 mmHg dan/atau diastolik (TDD) ≥90 mmHg pada dua kali pemeriksaan

dengan interval minimal 4 jam. Hipertensi berat jika TDS ≥160 mmHg dan/atau

TDD ≥110 mmHg (dengan interval beberapa menit). Kriteria diagnostik

proteinuria adalah protein urin ≥300 mg/dl dalam urin tampung 24 jam atau ≥30

mg/dl dari urin acak midstream yang tidak menunjukkan tanda infeksi saluran

kencing atau rasio protein/kreatinin urin ≥0,3 atau dipstick 2+. Proteinuria harus

dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit lanjut sebelum deteksi

proteinuria.1,13

Preeklampsia dapat bermanifestasi sebagai hipertensi dengan keterlibatan

multisistem tanpa proteinuria. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

yaitu pemeriksaan fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT), darah lengkap (terutama

trombosit), fungsi ginjal (Ureum, kreatinin) dan LFG. Pada preeklampsia

didapatkan tingkat transaminase lebih dari dua kali batas atas normal dengan atau

tanpa nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium, trombosit >100.000, edema paru

pada rontgen dada atau pemeriksaan fisik Gejala saraf pusat yaitu sakit kepala dan

gangguan penglihatan.8,10,11

Pencitraan dengan ultrasonografi Doppler berguna untuk menilai efek

preeklampsia pada janin, seperti hambatan pertumbuhan intrauterin.

Ultrasonografi juga berguna untuk memantau komplikasi lebih lanjut seperti

solusio plasenta. Tes non stres janin dilakukan untuk menilai janin antepartum.

Beratnya keterlibatan organ seringkali berkorelasi dengan kondisi ibu (misal

adanya patologi pada ginjal atau vascular sebelumnya) atau faktor obstetrik

(kehamilan multifetus, mola).11

xxv
xxvi

Kriteria yang tidak termasuk dalam diagnosis preeklampsia adalah edem

klinis, peningkatan berat badan yang cepat, proteinuria massif, restriksi

pertumbuhan janin, hiperurisemia (bukan untuk diagnosis, melainkan temuan

penting sebagai faktor risiko luaran ibu dan janin seperti kecil masa kehamilan,

prematuritas).13

Diagnosis banding yang harus disingkirkan yaitu abnormalitas elektrolit,

intoksikasi toksin, infeksi, trauma kepala, ruptur aneurisma, dan keganasan otak.

Jika pasien memiliki gejala neurologis persisten, harus dipertimbangkan stroke

dan perdarahan intracranial. Pertimbangkan kondisi patologis cerebri lain apabila

kejang terjadi 2-3 hari postpartum dan pada pasien dengan pemberian

magnesium sulfat. 10,13

H. Tatalaksana

Kejang eklampsia merupakan kegawatdaruratan medis dan memerlukan

tatalaksana segera untuk mencegah mortalitas pada ibu dan janin. Pasien yang

sedang kejang harus dipastikan jalan napasnya aman untuk mencegah aspirasi.

Pasien harus ditempatkan di sisi kirinya, dan dilakukan suction untuk

menghilangkan sekret di mulut. Peralatan saluran napas tambahan harus disiapkan

apabila pasien mengalami perburukan dan memerlukan intubasi. 6

Magnesium sulfat diberikan untuk mengontrol kejang dan sebagai terapi lini

pertama eklampsia. Dosis awal 4-6 gram diberikan secara intravena dalam 15-20

menit. Dosis pemeliharaan 1-2 gram per jam. Terapi magnesium dilanjutkan

minimal 24 jam setelah kejang terakhir. Pada kejang rekuren, dosis tambahan 2-4

gram diberikan lewat infus selama 5 menit. 6,14

xxvi
xxvii

Toksisitas MgSO4 dapat dicegah dengan memasang Foley catheter untuk

memonitor fungsi ginjal (urin output), pemeriksaan kreatinin serum, evaluasi

reflex tendon dalam (patella), monitor frekuensi napas. Kadar magnesium serum

tidak diperiksa secara rutin kecuali dapat dilakukan pada kondisi disfungsi ginjal

dan/atau tidak adanya refleks patella. Konsentrasi serum dipertahankan 5-9 mg/dL

(4-7 mEq/L). Gejala prediktif toksisitas MgSO4 yaitu hilangnya refleks tendon

dalam jika kadar Mg serum >9mg/dL (>7 mEq/L), depresi respiratorik jika >12

mg/dL (>10 mEq/L), dan henti jantung jika >30 mg/dL (>25 mEq/L).6

Perhatian khusus diperlukan saat memberikan terapi ini karena

kemungkinan terjadinya toksisitas dan dapat menyebabkan paralisis respiratorik,

depresi sistem saraf pusat, dan henti jantung. Observasi kondisi pasien merupakan

hal penting dalam pemberian magnesium yaitu dengan memonitor reflex, keratin,

urin output. Pengobatan antiepileptik lain seperti diazepam atau fenitoin.

Benzodiazepine dan barbiturate digunakan untuk kejang refraktorik yang tidak

respons terhadap magnesium. Levetiracetam atau asam valproate merupakan

alternatif untuk pasien dengan myasthenia gravis dengan eklampsia karena

magnesium dan fenitoin menyebabkan perberatan kelemahan otot, sehingga dapat

terjadi krisis myasthenia. 6,11

Konsultasi obstetrik diperlukan untuk mempertimbangkan tatalaksana

selanjutnya. Pasien preeklampsia berat dengan usia kehamilan >34 minggu dan

tidak stabil dari perspektif ibu maupun janin, sebaiknya dilakukan persalinan

segera setelah kondisi ibu distabilkan. Kortikosteroid diberikan untuk pasien

dengan usia kehamilan <34 minggu jika waktu dan kondisi memungkinkan untuk

xxvii
xxviii

membantu maturasi paru. Persalinan tidak ditunda karena alasana pemberian

steroid. Terapi definitive preeklampsia/eklampsia adalah dilakukan persalinan.

Rute persalinan dan waktunya dipertimbangkan berdasarkan faktor ibu dan

janin.13,15

Tatalaksana umum yaitu pemberian infus cairan intravena (NaCl 0.9% atau

Ringer Laktat). Tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan dalam sebelum tersedia

kesiapan untuk sectio caesarea. Selain itu, lakukan penilaian jumlah perdarahan

jika banyak dan berlangsung persiapkan sectio caesarea tanpa memperhitungkan

usia kehamilan. Jika perdarahan sedikit dan berhenti, janin hidup tetapi prematur

pertimbangkan terapi ekspektatif .1,15

Tatalaksana khusus terdiri atas terapi konservatif yang bertujuan agar janin

tidak terlahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasif. Syarat

terapi ekspektatif adalah kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang

kemudian berhenti dengan atau tanpa pengobatan tokolitik, belum ada tanda

inpartu, keadaan ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal), janin masih

hidup dan kondisi janin baik. Selain itu pasien dirawat inap, tirah baring dan

pemberian antibiotik profilaksis, pemberian tokolitik bila terdapat kontraksi.1,15

Pemberian tokolitik kombinasi kortikosteroid untuk pematangan paru janin.

MgSO4 4 gram intravena dosis awal dianjurkan 4 gram setiap 6 jam atau nifedipin

3x20 mg/hari. Pemberian Sulfat Ferrous peroral 60 mg selama 1 bulan untuk

perbaikan anemia. Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu

masih lama, ibu dapat rawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah sakit

jika terjadi perdarahan.11,13

xxviii
xxix

Terapi Aktif (terminasi) dilakukan pada perdarahan aktif dan banyak tanpa

memandang usia kehamilan; janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang

mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anecephali); usia kehamilan cukup

bulan (aterm); plasenta letak rendah, perdarahan sedikit dan presentasi kepala

maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban dan persalinan pervaginam

masih dimungkinkan.15

Edukasi kepada pasien dengan hipertensi dan preeklampsia selama

kehamilan beserta keluarganya mengenai tanda dan gejala eklampsia, segera bawa

pasien ke rumah sakit. Selain itu juga dilakukan konseling pentingnya untuk

melakukan pengobatan hipertensi dan control teratur ke dokter spesialis obstetrik.6

I. Komplikasi

Beberapa komplikasi berat dapat terjadi pada eklampsia. Pasien yang

memerlukan intubasi (laringoskopi) setelah kejang karena penurunan kesadaran

dapat menyebabkan respons hipertensi dan perdarahan intrakranial. Pasien dengan

preeklampsia juga berisiko mengalami kegagalan respiratorik seperti ARDS

(Acute Respiratory Distress Syndrome) dan edema pulmonal. Pada preeklampsia

berat dapat terjadi kegagalan ginjal dan hepar. Komplikasi akibat kejang yaitu

lidah tergigit, trauma kepala, patah tulang, dan aspirasi.15

Pasien dengan eklampsia dapat menimbulkan komplikasi Posterior

reversible encephalopathy syndrome (PRES) dengan gejala nyeri kepala, kejang,

perubahan status mental, buta kortikal, dan abnormalitas visual lainnya.

Kebanyakan kasus PRES akan sembuh dalam beberapa minggu jika tekanan darah

xxix
xxx

dan faktor pencetus lainnya dikontrol. Tetapi terdapat risiko terjadinya edem

cerebri dan komplikasi fatal lainnya. Pasien dengan preeklampsia dan eklampsia

juga meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular di kemudian hari.13,15

Konsekuensi preeklampsia bagi ibu dan bayinya adalah seumur hidup.

Meta-analisis menunjukkan peningkatan dua kali lipat risiko kardiovaskular dan

kematian pada wanita dengan preeklampsia sebelumnya dan menjadi 6-9 kali lipat

jika preeklampsia terjadi pada lebih dari satu kehamilan, atau sebelum usia

kehamilan 37 minggu. Risiko 3,7 kali lipat hipertensi dan 1,8 kali lipat stroke.

Bayi dari kehamilan preeklampsia juga tampak peningkatan risiko penyakit

kardiovaskular, meskipun hubungannya tidak sebaik ibu. Sepertiga bayi

mengalami hambatan pertumbuhan dan memiliki peningkatan risiko obesitas,

diabetes, hipertensi, dan penyakit kronis lainnya.6,13,15

J. Pencegahan

Pencegahan eklampsia dapat dilakukan dengan skrining seluruh ibu hamil.

Preeklampsia seringkali asimtomatik sehingga sulit diprediksi. Gejala seperti

nyeri epigastrium atau sakit kepala berat sering kali menandakan krisis terminal,

misalnya eklampsia atau sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati,

trombosit rendah), yang memerlukan terminasi kehamilan segera. Skrining wanita

sehat untuk tahap awal preeklampsia sangat berhasil dalam membatasi masalah

ibu dan perinatal. Perawatan antenatal didasarkan pada prediksi kemungkinan

berkembangnya preeklampsia sebelum tes skrining berikutnya dilakukan.

Preeklampsia jarang terjadi sebelum 20 minggu, tetapi kemudian secara progresif

menjadi lebih sering menjelang aterm dan setelahnya. Oleh karena itu, frekuensi

xxx
xxxi

pemeriksaan lebih tinggi selama trimester ketiga. Sampai saat ini, skrining

didasarkan pada deteksi hipertensi onset baru dan proteinuria. 2,3,4

Meskipun ada banyak penelitian yang mengeksplorasi USG Doppler dan

prediksi biomarker pasien yang berisiko pre-eklampsia, selain deteksi dini

preeklamsia, tidak ada tes yang dapat diandalkan atau kompleks gejala yang

memprediksi perkembangan eklampsia. Di negara maju, banyak kasus yang

dilaporkan telah diklasifikasikan sebagai tidak dapat dicegah.6

Selain itu, pencegahan nonfarmakologis berperan penting seperti diet sehat,

mempertahankan berat badan ideal, olahraga, dan pengurangan stress.

Rekomendasi saat ini yaitu aspirin adalah untuk wanita dengan risiko sedang

hingga tinggi. Suplemen kalsium 1,5-2 g setiap hari dapat mengurangi kejadian

preeklampsia atau kelahiran prematur.1,6

Peran sentral stres oksidatif plasenta dalam patofisiologi memberikan alasan

untuk pemberian vitamin antioksidan (C dan E). Namun hal ini terbukti tidak

efektif, mungkin karena pengobatan dimulai antara 10-20 minggu kehamilan,

setelah transformasi trofoblas arteri spiralis. 1,6

Pasien dengan preeklampsia berat diberikan magnesium sulfat profilaksis

untuk mencegah kejang eklamptik. Sebagai tambahan, sangat penting untuk

mengontrol tekanan darah pada ibu hamil dengan preeklampsia. The American

College of Obstetrics and Gynecology merekomendasikan terapi antihipertensi

dimulai jika tekanan darah sistolik >160 atau diastolik >110 mmHg dalam dua

kali pemeriksaan dengan interval minimal 4 jam. Terapi farmakologis lini pertama

hipertensi pada ibu hamil yaitu labetalol, nifedipine, dan hydralazine. Dosis awal

xxxi
xxxii

labetalol 20 mg iv. Dosis ini dapat diberikan dua kali lipat menjadi 40 mg lalu 80

mg dengan jarak 10 menit sampai target tekanan darah tercapai. Dosis hydralazine

iv 5-10 mg dalam 2 menit. Dosis tambahan 10 mg iv dapat diberikan setelah 20

menit jika tekanan darah sistolik >160 mmHg atau diastolik >110 mmHg.

Nifedipine diberikan peroral dengan dosis awal 10 mg. jika tekanan darah sistolik

>160 mmHg atau diastolik >110 mmHg setelah 30 menit, berikan dosis tambahan

20 mg. dosis kedua 20 mg dapat diberikan setelah 30 menit.1,6

Kontrol tekanan darah postpartum juga penting karena risiko eklampsia

paling tinggi selama 48 jam setelah persalinan. Tekanan darah sistolik harus <150

mmHg, dan diastolik <100 mmHg dalam dua kali pemeriksaan dengan interval

minimal 4 jam. Terapi harus dimulai jika tekanan darah sistolik >160 mmHg atau

diastolik >110 mmHg setelah satu jam. Magnesium sulfat harus dilanjutkan

setelah 12-24 jam postpartum.1,13,14

xxxii
37

BAB III

PENUTUP

Eklampsia merupakan komplikasi dari preeklampsia berat berupa onset

baru aktivitas kejang grand mal (tonik-klonik umum) dan/atau koma pada wanita

dengan tanda atau gejala preeklampsia. Kejang eklampsia dapat terjadi

antepartum, intrapartum, dan postpartum. Preeklampsia dan eklampsia

menyebabkan tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada ibu hamil.

Berbagai faktor risiko diduga berperan terhadap terjadinya eklampsia.

Mekanisme terjadinya disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak

atau fokus perdarahan di korteks otak. Diagnosis eklampsia ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Eklampsia adalah kejang tonik-

klonik umum onset baru yang berlangsung selama 60 - 90 detik. Pasien dapat

memiliki warning symptom seperti sakit kepala, perubahan visual, sakit perut, dan

peningkatan tekanan darah sebelum timbulnya aktivitas kejang.

Evaluasi eklampsia difokuskan untuk mendiagnosis preeklampsia karena

merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dari proses penyakit ini.

Tatalaksana eklampsia yaitu dengan pemberian MgSO4 dan terminasi kehamilan.

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan skrining dan melakukan

pemeriksaan antenatal rutin pada ibu hamil serta mengontrol tekanan darah dalam

batas normal.
38
DAFTAR PUSTAKA

1. POGI. Diagnosis dan tatalaksana preeklampsia. Perkumpulan Obstetri dan


Ginekologi Indonesia. 2016.

2. Wilkerson RG, Ogunbodede AC. Hypertensive Disorders of Pregnancy.


Emerg Med Clin North Am. 2019;37(2):301-16.

3. Sutton ALM, Harper LM, Tita ATN. Hypertensive Disorders in Pregnancy.


Obstet Gynecol Clin North Am. 2018;45(2):333-47.

4. Leeman L, Dresang LT, Fontaine P. Hypertensive Disorders of Pregnancy.


Am Fam Physician. 2016 Jan 15;93(2):121-7.

5. Bergman L, Torres-Vergara P, Penny J, Wikström J, Nelander M, Leon J,


Tolcher M, Roberts JM, Wikström AK, Escudero C. Investigating Maternal
Brain Alterations in Preeclampsia: the Need for a Multidisciplinary Effort.
Curr Hypertens Rep. 2019;21(9):72.

6. Magley M, Hinson MR. Eclampsia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island:


StatPearls Publishing; 2022. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554392/ (diakses 1 Maret 2022).

7. Burton GJ, Redman CW, Roberts JM, Moffett A. Pre-eclampsia:


pathophysiology and clinical implications. BMJ. 2019;366:l2381

8. Leveno KJ, Spong CY, Dashe JS, Casey BM, Hoffman BL, Cunningham FG,
Bloom SL. Williams Obstetrics. 25th edition. New York: McGraw-Hill
Education; 2018.

9. WHO. World Health Maternal Mortality Report. Geneva: World Health


Organization; 2016.

10. Hutchison T, Mattiucci S, Smelker-Mitchek J, Schultz J. Diagnosing


Preeclampsia – Key Definitions and ACOG Guidelines. In: ObgProject
[Internet]. 2017. Available from:
https://www.obgproject.com/2017/01/08/diagnosing-preeclampsia-key-
definitions/ (diakses 1 Maret 2022).

11. Burton G J, Redman C W, Roberts J M, Moffett A. Pre-eclampsia:


pathophysiology and clinical implications BMJ 2019; 366 :l238

34
35

12. Than NG, Romero R, Tarca AL, et al. Integrated systems biology approach
identifies novel maternal and placental pathways of preeclampsia. Front
Immunol. 2018;9:1661.

13. Brown MA, Magee LA, Kenny LC, et al., International Society for the Study
of Hypertension in Pregnancy (ISSHP). Hypertensive disorders of pregnancy:
ISSHP classification, diagnosis, and management recommendations for
international practice. Hypertension. 2018;72:24-43.

14. Gross SJ. Eclampsia and role of magnesium sulfate In: ObgProject [Internet].
2017. Available from: https://www.obgproject.com/2017/08/23/consensus-
bundle-severe-hypertension-released-eclampsia-role-magnesium-sulfate/
(diakses 1 Maret 2022).

15. Hutchison T, Mattiucci S, Smelker-Mitchek J, Schultz J. ACOG


Preeclampsia Guidelines: Antenatal Management and Timing of Delivery. In:
ObgProject [Internet]. 2018. Available from:
https://www.obgproject.com/2018/12/27/acog-preeclampsia-guidelines-
antenatal-management-and-timing-of-delivery/ (diakses 1 Maret 2022).

Anda mungkin juga menyukai