Anda di halaman 1dari 42

Case Report

Eklampsia + Intra Uterine Fetal Death (IUFD)

Disusun oleh :

Latifa Nurul Izza 1710070100151

Preseptor :

dr. Helwi Nofira, Sp OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MOHAMMAD NATSIR
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis sembahkan kehadirat Allah SWT


, yang telah melimpahkan taufik, hidayat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “ Eklampsia + Intra Uterine Fetal
Death (IUFD)”. Laporan ini penulis buat sebagai tugas saat menjalankan
kepaniteraan klinik obstetric dan ginekologi. Bersama ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing penulis dr.Helwi Nofira,
Sp.OG (K) yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing
penulis dalam penulisan laporan kasus ini, sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan.
Namun penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Solok, Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar belakang ..................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................ 2
1.3. Manfaat ............................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1. Preeklampsi/ Eklampsi ......................................................................... 3
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................ 4
2.1.3 Etiologi ..................................................................................... 5
2.1.4 Klasifikasi................................................................................. 6
2.1.5 Faktor Resiko............................................................................ 7
2.1.6 Patogenesis ............................................................................... 8
2.1.7 Diagnosis .................................................................................. 10
2.1.8 Penatalaksanaan ........................................................................ 11
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang ............................................................ 14
2.1.10 Diagnosis Banding .................................................................. 15
2.2 Intrautereine Fetal Death ..................................................................... 17
2.2.1 Definisi ..................................................................................... 17
2.2.2 Etiologi ..................................................................................... 17
2.2.3 Klasifikasi................................................................................. 16
2.2.4 Manifestasi dan Diagnosis ........................................................ 18
2.2.5 Penatalaksanaan ........................................................................ 19
2.2.7 Metode-Metode Terminasi ........................................................ 21
BAB III. LAPORAN KASUS ....................................................................... 24
BAB IV. DISKUSI DAN PEMBAHASAN .................................................. 34
BAB V. KESIMPULAN ............................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 38

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2%


hingga 10% dari kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia
merupakan penanda awal dari kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian
preeklampsia menjadi lebih tinggi di negara berkembang. Angka kejadian
preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% hingga 10% dari kehamilan di
seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari kejadian
eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi di
negara berkembang.
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang
dapat mempengaruhi semua sistem organ. Proteinuria adalah tanda penting
preeklampsia . Preeklampsia adalah penyakit primigravida dan apabila timbul
pada multigravida, biasanya ada faktor predisposisi seperti hipertensi,
diabetes, atau kehamilan ganda. Preeklampsia adalah kondisi serius yang
muncul setelah kehamilan 20 minggu dengan faktor kontribusi utama adalah
peningkatan tekanan darah.
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan
preeklampsia. Eklampsi merupakan kasus akut pada pasien preeklampsia
disertai kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan koma dimana
sebelumnya sudah menunjukkan gejala – gejala preeklampsi. Eklampsia
dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum) dan eklampsia puerperale (postpartum), dibagi
berdasarkan saat timbulnya serangan. Kadang - kadang terjadi eklampsia
tanpa kejang, gejala yang menonjol ialah koma. Eklampsia semacam ini
disebut " eclampsi sine eclampsi ", dan terjadi pada kerusakan hati yang berat
Pada eklampsia tekanan darah biasanya tinggi, sekitar 180/110 mmHg.
Denyut nadi kuat dan berisi , kecuali pada keadaan yang sudah buruk.

1
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Pada
implantasi normal terjadi remodeling arteri spiralis karena diinvasi oleh
trofoblas endovaskular.
Pada kehamilan dengan preeklampsia, terjadi perubahan arteri spiralis
yang tidak sempurna sehingga dinding otot tetap kaku dan sempit dan
akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta yang
mengakibatkan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan janin intra uterin hingga kematian bayi. Intrauterine fetal death
(IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems adalah kematian fetal atau janin pada usia
gestasional ≥ 22 minggu. Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak
jelas. Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau
kelainan patologik plasenta.

1.2 Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteran klinik senior di Rumah
Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok
2. Untuk bahan pengayaan agar lebih memahami materi tentang Eklampsia +
Intra Uterine Fetal Death (IUFD)
1.3 Manfaat
1. Menambah wawasan mengenai Eklampsia + Intra Uterine Fetal Death
(IUFD)
2. Sebagai proses pembelajaran bagi mahasiswa yang menjalankan
kepaniteraan klinik senior pada Departemen Obstetri dan Ginekologi

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsi /Eklampsi

2.1.1 Definisi
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang dapat
mempengaruhi semua sistem organ. Proteinuria adalah tanda penting
preeklampsia. Preeklampsia adalah penyakit primigravida dan apabila timbul
pada multigravida, biasanya ada faktor predisposisi seperti hipertensi, diabetes,
atau kehamilan ganda. Preeklampsia adalah kondisi serius yang muncul setelah
kehamilan 20 minggu dengan faktor kontribusi utama adalah peningkatan
tekanan darah.
Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan /
atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Gejala ini dapat timbul sebelum umur kahamilan 20 minggu pada penyakit
trofoblas.
Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan
atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan
preeklampsia. Eklampsi merupakan kasus akut pada pasien preeklampsia
disertai kejang (bukan timbul akibat kelainan neurologik) dan koma dimana
sebelumnya sudah menunjukkan gejala – gejala preeklampsi. Eklampsia
dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia partuirentum
(intrapartum) dan eklampsia puerperale (postpartum), dibagi berdasarkan saat
timbulnya serangan.
Kadang - kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala yang menonjol
ialah koma. Eklampsia semacam ini disebut " eclampsi sine eclampsi", dan
terjadi pada kerusakan hati yang berat. Pada eklampsia tekanan darah biasanya
tinggi, sekitar 180/110 mmHg. Denyut nadi kuat dan berisi, kecuali pada
keadaan yang sudah buruk. Oleh karena itu nadi menjadi kecil dan cepat.
Demam yang tinggi menunjukan prognosis yang buruk. Penyebab demam ini

3
agaknya serebral. Pernapasan biasanya cepat dan berbunyi. Pada keadaan yang
berat bisa terjadi sianosis. Proteinuri hampir selalu ada bahkan kadang - kadang
sangat banyak, demikian juga edema biasanya ada. Eklampsia antepartum
biasanya akan diikuti oleh persalinan setelah beberapa waktu kemudian.
Meskipun demikian, pasien juga dapat berangsur membaik, tidak kejang lagi,
dan kemudian sadar, sedangkan kehamilannya terus berlangsung. Eklampsia
yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklampsi intercurrent.
Dalam keadaan ini pasien dianggap belum sembuh, tetapi mengalami perbaikan
ke tingkat yang lebih rigan, yaitu : dari eklampsia kedalam keadaan preeklampsi.
Pasien ini masih mungkin untuk mendapat eklampsi sebelum persalinan terjadi
Oleh karena itu semua kasus eklampsi harus segera diterminasi. Setelah
persalinan, keadaan pasien akan berangsur baik, kira - kira dalam 12-24 jam. Hal
yang sama juga terlihat apabila terjadi kematian intrauterin, beratnya penyakit
akan berkurang. Proteinuri akan menghilang dalam waktu 4-5 hari, sedangkan
tekanan darah akan normal kembali dalam waktu kira - kira 2 minggu. Tidak
jarang terjadi pasien pascaeklampsi akan menjadi psikotis biasanya pada hari ke
- 2 atau ke - 3 pasca persalinan dan dapat berlangsung 2-3 minggu. Prognosis
pada umumnya baik.
2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian preeklampsia – eklampsia berkisar antara 2% hingga 10%
dari kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda
awal dari kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi
lebih tinggi di negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara
berkembang, seperti di negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan
diperkirakan sekitar 5-7 kasus per 10.000 kelahiran. Disisi lain kejadian
eklampsia di negara berkembang bervariasi secara luas. Mulai dari satu kasus
per 100 kehamilan hingga 1 kasus per 1700 kehamilan. Rentang angka kejadian
preeklampsia- eklampsia di negara berkembang seperti pada negara-negara di
Afrika, Afrika Selatan, Mesir, Tanzania, dan Ethiopia bervariasi dari 1,8%
sampai 7,1%. Di Nigeria angka kejadiannya berkisar antara 2% sampai 16,7%.
Angka kejadian preeklampsia ini juga dipengaruhi oleh ibu nullipara, karena ibu
nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih tinggi dari pada ibu multipara.

4
Angka kejadian dari preeklampsia di Indonesia sekitar 7-10%, ini
merupakan bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor
dua di Indonesia bagi ibu hamil, sedangkan penyebab pertama kematian ibu di
Indonesia adalah akibat perdarahan.

2.1.3 Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Pada
implantasi normal terjadi remodeling arteri spiralis karena diinvasi oleh trofoblas
endovaskular. Pada preeklamsia terjadi invasi trofoblastik inkomplit karena
invasi trofoblas yang dangkal. Pembuluh desidua akan dilapisi oleh trofoblas
endovaskular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak kehilangan lapisan
endotel dan jaringan muskuloelastik dan rerata diameter eksternal hanya
setengah diameter pembuluh pada plasenta normal.

Gambar 1: Perbedaan Arteri Spiralis pada Kehamilan Normal dan Preeklampsia


Berdasarkan gambar di atas, pada kehamilan normal terjadi perubahan
pada cabang arteri spiralis dari dinding otot yang tebal menjadi dinding pembuluh
darah yang lunak sehingga memungkinkan terjadinya sejumlah aliran darah ke
uteroplasenta. Sedangkan pada kehamilan dengan preeklampsia, perubahan arteri

5
spiralis ini tidak terjadi dengan sempurna sehingga dinding otot tetap kaku dan
sempit dan akibatnya akan terjadi penurunan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta
yang mengakibatkan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan janin intra uterin hingga kematian bayi.

2.1.4 Klasifikasi

Menurut saat terjadinya, eklampsia dapat dibedakan atas 3 yaitu,


Eklampsia antepartum yang terjadi sebelum persalinan, eklampsia intrapartum
yang terjadi sewaktu persalinan, eklampsia pascapersalinan yang terjadi setelah
persalinan.

Eklampsia pasca persalinan dapat terjadi segera (early post partum),


yaitu setelah 24 jam sampai 7 hari pasca persalinan atau lambat (late
postpartum ) setelah 7 hari pasca persalinan selama masa nifas ( jarang )

Serangan kejang eklampsia dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :

1. Tingkat invasi ( tingkat permulaan ) : mata terpaku, kepala dipalingkan


kesatu pihak, dan kejang - kejang halus terlihat pada muka. Tingkat ini
berlangsung beberapa detik.

2. Tingkat kontraksi ( tingkat kejang tonis ) : seluruh badan menjadi kaku,


kadang - kadang terjadi epistotonus, Lamanya 15 sampai 20 detik

3. Tingkat konvulsi ( tingkat kejang klonis ) : terjadilah kejang yang hilang


timbul, rahang membuka dan menutup begitu pula mata, otot - otot muka
dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang kejang ini sangat kuat
sehingga pasien dapat terlempar dari tempat tidur atau lidahnya tergigit.
Ludah yang berbuih bercampur darah keluar dari mulutnya, mata merah,
muka biru, berangsur kejang berkurang, dan akhirnya berhenti. Lamanya +
1 menit

4. Tingkat koma : Setelah kejang klonis ini pasien jatuh dalam koma.
Lamanya koma ini bervariasi dari beberapa menit sampai berjam - jam. Jika
pasien sadar kembali. ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi
sebelumnya.

6
Setelah beberapa waktu, dapat terjadi serangan baru dan kejadian yang
dilukiskan diatas berulang kali, kadang - kadang 10-20 kali. Penyebab
kematian eklampsia adalah edema paru, apopleksia dan asidosis.
2.1.5 Faktor Risiko

Penelitian menunjukkan berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada


kehamilan/ preeklampsia/ eklampsia, yaitu:

 Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 20 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi laten. Usia
yang tergolong ideal dengan pematangan mental dan fisik yang optimal yaitu
ibu yang berumur 20- 35 tahun.

 Faktor keturunan
Jika ada riwayat pre-eklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%.

 Tingkah laku/sosioekonomi
Insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil
memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh
lebih tinggi. Istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.

 Hiperplasentosis
Trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan
terjadinya vasospasme.

 Diabetes mellitus
Angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan preeklampsia
murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vaskular primer akibat diabetesnya.

 Kehamilan pertama

 Riwayat Eklampsia atau Preeklampsi pada hamil sebelumnya

7
 Jarak anak sebelumnya >10 tahun

 Usia > 40 tahun

 Memiliki riwayat penyakit Hipertensi, ginjal

 Kehamilan multipel
2.1.6 Patogenesis
Patogenesis terjadimya preeklampsi merupakan proses yang
komplek yang melibatkan factor genetic, imunologis, dan factor lingkungan
yang saling berinteraksi. Patogenesis preeklampsia dikenal terjadi dalam dua
tahap. Tahap pertama merupakan tahap yang asimtomatis yang diperankan
oleh perkembangan plasenta yang abnormal pata trimester pertama kehamilan
sehingga menyebabkan insufisiensi plasenta dan dilepaskannya material
plasenta dalam jumlah yang besar terjadi plasenta sirkulasi maternal. Proses ini
berlanjut pada tahap kedua dimana timbul manifestasi klinis hipertensi,
gangguang fungsi ginjal, dan proteinuria dan beresiko terjadinya HELLP
sindrom, eklampsi, dan kerusakan organ lainnya. Tahapan terjadinya gambaran
klinis preeklampsi yaitu :
Tahap I : (proses pembentukan plasenta yang terjadi abnormal)
Proses pembentukan plasenta yang abnormal terjadi karena
kegagalan trophoblast melakukan remodeling arteri spiralis sehingga
dilepaskan actor- factor yang dihasilkan plasenta memasuki sirkulasi maternal
yang ada pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejal preeklampsi. Beberapa
produk toksin yang dilepaskan plasenta meliputi sitokin, factor- factor
antiangiogenik, syncytiotrophoblas microparticles (STBM), dan produk
bentukan darah yang siknifikan di ruang intervillus. Pemeriksaan patologi
anatomi pada plasenta dari kehamilan dengan preeklampsi menunjukkan infark
dan proses penyempitan serta sclerosis dari arteri dan arterior dengan
karakteristik berkurangnya invasi endovaskuler sitrophoblas dan remodeling
arteri spiralis yang tidak sempurna.
Tahap II: (sindom klinis maternal)
Pembentukan plasenta yang subnormal sebagai hasil kegagalan
trophoblast mengadakan remodeling pada arteri spiralis menyebabkan

8
dilepaskannya factor-faktor pada plasenta ke sirkulasi maternal sehingga timbul
tanda dan gejala klinis preeklampsia. Semua gejala klinis preeklampsi akibat
glomerular endotheliosis, peningkatan permeabilitas vaskuler dan respon inflamasi
sistemik yang berakibat pada kegagalan organ target dan hipoperfusi. Gejala klinis
ini muncul pada usia kehamilan diatas 20 minggu.

Gambar 1. Skema Preeklampsia

Kondisi iskemik lokal pada plasenta dapat didasari atas tiga kondisi sistem
vaskuler yaitu, peningkatan resistensi vaskuler, berkurangnya tonus vaskuler, dan
perubahan diameter pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan plasenta
iskemik. Teori yang menyatakan penyebab preeklampsi adalah teori keseimbangan
faktor angiogenik dan anti-angiogenik. Pengukuran protein sirkluasi angiogenik
dan anti-angiogenik dapat membedakan preeklampsi dengan hipertensi gestasional
dan kronik glomerulonefritis. Selain itu, terjadinya disfungsi plasenta akan
mengeluarkan mediator patogen kedalam darah ibu yang menyebabkan disfungsi
endotelial vaskuler,gangguan koagulasi, hipertensi, dan disfungsi organ.

9
Gambar 2. Tiga kondisi yang menyebabkan plasenta iskemik
2.1.7 Diagnosis
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru muncul pada usia
kehamilan >20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan
hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia,
harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut.
Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, jika
terdapat kejang tanpa adanya kelainan neurologik lain dapat dikatakan
eclampsia.

Salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis preeklampsia, yaitu:

1. Trombositopenia (trombosit <100.000/mikroliter

2. Gangguan ginjal (kreatinin serum >1,1 mg/dL) atau didapatkan


peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak
ada kelainan ginjal lainnya
3. Gangguan hepar (peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal) dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau regio
kanan atas abdomen
4. Edema paru

10
5. Gejala neurologis (stroke, nyeri kepala, gangguan visus

6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi


uteroplasenta (Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)).
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi preeklampsia berat. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan
rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin terhadap luaran
preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif (lebih dari 5 g) telah
dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat).

2.1.8 Penatalaksanaan

Manajemen ekspektatif atau aktif pada preeklampsi/eklampsi. Tujuan


utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan
tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian
morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar,
atau solusio plasenta, sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta
mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing
enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan.
Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun
insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian
kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.

11
Gambar 3. Manajemen ekspetatif preeklampsia/ eklampsia
Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus preeklampsia
pada usia kehamilan 26 - 34 minggu yang bertujuan untuk memperbaiki luaran
perinatal. Pemberian kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas
(sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular dan infeksi) serta mortalitas
perinatal.

12
1. Obat Anti Kejang
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas
dan mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan
vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan
uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna
sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi
akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
MgSO4 diberikan terus menerus per IV atau berkala per IM. Pemberian IV
terus menerus menggunakan infusion pump:
- Dosis awal – 4 gram MgSO4 20% (20 cc) dilarutkan kedalam 100 cc cairan ringer
laktat atau ringer dextrose selama 15 – 20 menit secara IV.
- Dosis pemeliharaan – 10 gram MgSO4 20% dalam 500 cc RL/ RD dengan
kecepatan 1 – 2 gram per jam.
Pemberian IM berkala:
- Dosis awal – 4 gram MgSO4 20% (20 cc) IV dengan kecepatan 1 gram/
menit.
- Dosis pemeliharaan – 4 gram MgSO4 40% (10 cc) IM setiap 4 jam.
Tambahkan 1 cc lidokain 2% setiap pemberian IM untuk mengurangi nyeri
dan panas.
Syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum, yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram dalam 10
cc)
- Frekuensi pernapasan ≥ 16 kali per menit.
- Produksi urine ≥ 30 cc per jam (≥ 0,5 cc/kg berat badan/jam)
- Refleks patella positif
MgSO4 dihentikan pemberiannya bila:
Ada tanda – tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pascasalin Dalam 6 jam pascasalin terjadi perbaikan (normotensif)

13
b. Diazepam –
Dapat diberikan bila tidak tersedia MgSO4 sebagai obat pilihan. Diazepam IV
diberikan dengan dosis 10 mg dan dapat diulangi setelah 6 jam.
2. Obat Anti Hipertensi

Pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang (tekanan darah 140


– 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of
Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi
pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita
dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan
organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg. Hipertensi
akut yang berat berhubungan dengan komplikasi organ vital seperti infark miokard,
stroke, gagal ginjal, insufisiensi uteroplasenta dan solusio plasenta. Indikasi utama
pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam
mencegah penyakit serebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan tekanan darah
dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam. Hal
ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter.

Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah


digunakan sejak beberapa dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Penggunaan nifedipin oral menurunkan
tekanan darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam
setelah awal pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar
ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, juga meningkatkan produksi urin.
Dibandingkan dengan labetalol yang tidak berpengaruh pada indeks kardiak,
nifedipin meningkatkan indeks kardiak yang berguna pada preeklampsia berat.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30
menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan calcium channel
blocker dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia janin dan asidosis. Hal ini
disebabkan akibat hipotensi relatif setelah pemberian calcium channel blocker.

14
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat
antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi
kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety margin yang luas
(paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat,
namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan
tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif
tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut kering,
mengantuk, depresi, hipotensi postural, anemia hemolitik dan drug- induced
hepatitis. Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali
sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam
setelah obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat
ginjal. Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6
jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat
melalui plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam membantu


penegakan diagnosis pasti preeklampsi/eklampsi adalah pemeriksaan urin
lengkap, Pemeriksaan hematologi rutin jika tersedia di sarana dan prasarana,
Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca, dan Cl, kadar glukosa, Ureum, Kreatinin,
SGOT,SGPT, analisa gas darah, asam urat darah, Pemeriksaan
Cardiotocography (CTG), Pemeriksaan foto rontgen dada, USG.

2.1.10 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding preeklampsi/eklampsi diantaranya adalah


hipertensi kronik, superimposed preeklampsia dan hipertensi gestasional.
Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan
sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada usia kehamilan kurang dari 20
minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pasca persalinan.
Preeklamsi/eklamsi atas dasar hipertensi kronis (superimposed preeklampsia)
adalah timbulnya preeklamsi atau eklamsi pada pasien hipertensi kronik.
Hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita

15
yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak mempunyai gejala-gejala
hipertensi kronik atau preeklamsi/eklamsi (tidak disertai proteinuri).

Gambar 4. Skema Hipertensi Dalam Kehamilan

16
2.2 Intrauterine Fetal Death

2.2.1 Definisi

Intrauterine fetal death (IUFD) menurut ICD 10 – International Statistical


Classification of Disease and Related Health Problems adalah kematian fetal
atau janin pada usia gestasional ≥ 22 minggu. WHO dan American College of
Obstetricians and Gynecologist menyatakan Intra Uterine Fetal Death ( IUFD
) ialah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau
kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian
janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin atau
infeksi.

2.2.2 Etiologi

Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin
dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik plasenta.

• Faktor Maternal :

Post term (>42 minggu), diabetes melitus tidak terkontrol, seistemik lupus
erimatosus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia, hemoglobinopati,
umur ibu tua, penyakit rhesus, ruptura uteri, antifosfolippid sindrom, hipotensi
akut ibu, kematian ibu.

• Faktor Fetal : Hamil kembar, hamil tubuh terhambat, kelainan kongenital,


kelainan genetik, infeksi.

• Faktor plasental : Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini,
vasa previa

• Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin intra uterine meningkat


pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, riwayat bayi dengan berat badan
lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma uretikum), kegemukan, ayah berusia
lanjut.

17
2.2.3 Klasifikasi
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian
janin dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Golongan I: kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II: kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III: kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal
death)
4. Golongan IV: kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan
di atas.
Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut terjadilah perubahan-
perubahan sebagai berikut:
1. Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam):
kulit kemerahan “setengah matang”
3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam):
Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi kemudian
menjadi merah dan mulai mengelupas.
4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari): kulit mengelupas luas, efusi cairan serosa
di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban
menjadi merah coklat.
5. Maserasi grade III (durasi >8 hari)
Hepar kuning kecoklatan, efusi cairan keruh, mungkin terjadi mumifikasi.
Badan janin sangat lemas, hubungan antara tulang-tulang sangat longgar dan
terdapat oedem dibawah kulit.

2.2.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


1) Anamnesis :
 Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.

18
 Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil
 Penurunan berat badan
2) Pemeriksaan Fisik :
 Tinggi fundus uteri menurun, atau lebih rendah dari usia kehamilan
 Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang biasanya dapat terlihat pada ibu
yang kurus
 Tidak teraba gerakan-gerakan janin
 Berat badan ibu menurun
 Dengan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin.
3) Pemeriksaan penunjang:

a. USG
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound, dimana tidak
tampak adanya gerakan jantung janin
b. Foto radiologik
Tampak Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi (tanda Spalding) yaitu
tumpang tindih (overlapping) secara ireguler tulang tengkorak, yang
terjadi akibat likuefaksi massa otak dan melemahnya struktur ligamentosa
yang membentuk tengkorak. Biasanya tanda ini muncul 5 hari setelah
kematian. Namun ciri-ciri yang sama dapat ditemukan pada kehamilan
ekstrauterin dengan janin hidup.
- Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda Naujokes)
- Hiperekstensi kepala tulang leher janin (tanda Gerhard)
-Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin (tanda Robert)
- Femur length yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Digunakan untuk
menentukan usia kehamilan dan adanya kelainan dari sistem skelet.

19
2.2.5 Penatalaksanaan

Gambar 5. Pathway IUFD (intrauterine fetal death)

20
Gambar 6. Skema Penatalaksanaa IUFD

21
2.2.6 Metode-Metode Terminasi

1. Terminasi dilakukan dengan induksi, yaitu :

 Infus Oksitosin
Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah
terjadi pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit
oksitosin dalam 500 ml larutan Dextrose 5% melalui tetesan infus
intravena. Dua botol infus dapat diberikan dalam waktu yang
bersamaan. Pada kasus yang induksinya gagal, pemberian dilakukan
dengan dosis oksitosin dinaikkan pada hari berikutnya. Infus dimulai
dengan 20 unit oksitosin dalam 500 ml larutan Dextrose 5% dengan
kecepatan 30 tetes per menit.

Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis


dinaikkan menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin
yang tinggi harus dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih
dari dua botol pada waktu yang sama.

Pemberian larutan ringer laktat dalam volume yang kecil dapat


menurunkan resiko tersebut. Apabila uterus masih refrakter, langkah
yang dapat diulang setelah pemberian prostaglandin per vaginam.
Kemungkinan terdapat kehamilan sekunder harus disingkirkan bila
upaya berulang tetap gagal menginduksi persalinan.

 Misoprostol

Pemberian misoprostol per vaginam di daerah forniks posterior


sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum
matang. Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan,
misoprostol secara vaginal (50-100 μg tiap 4-6 jam) dan induksi
oksitosin. Pada kehamilan diatas 28 minggu dosis misoprostol 25μg
pervaginam / 6 jam Langkah induksi ini dapat ditambah dengan
pemberian oksitosin.

22
2. Operasi Sectio Caesaria (SC)

Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan


pada kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC ( dua atau lebih)
dan letak lintang.

23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. Y
Umur : 38Tahun
Alamat : Sijunjung, Solok
Tanggal Masuk : 17 Mei 2022 (pukul 01.30 WIB)

3.2. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD M. Natsir Solok dengan keluhan
kejang sejak 10 jam SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
- Pasien kejang sejak 10 jam sebelum masuk ke rumah sakit. Kejang
dirasakan sebanyak 4 kali dan berdurasi sebanyak 5 menit
- Pasien mengeluhkan pusing 10 menit sebelum kejang
- Pasien mengeluhkan muntah yang berisi cairan bening sebanyak satu
kali 1 jam sebelum kejang
- Pasien tidak merasakan adanya pergerakan janin.
- Pasien tampak kurang merespon orang disekitarnya
- Pasien mengeluhkan adanya pendarahan pada gusi
- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
- Keluar lendir campur darah (-)
- Keluar air-air dari kemaluan (-)
- Pusing (+), demam (-) batuk (+) dan sesak (-)
- BAB dan BAK tidak ada keluhan
- HPHT : 05/09/2021
- TP : 12/06/2022
- ANC : Tidak pernah
c. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 13 tahun
- Siklus Haid : Teratur
- Panjang Siklus : 28 hari

24
- Durasi : 5-7 hari
- Ganti DUK : 2-3 x/hari
- Nyeri Haid : Tidak Ada
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit paru (-)
e. Riwayat pengobatan
- Tidak ada
f. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat penyakit paru (-)
g. Riwayat Perkawinan
1x pernikahan
h. Riwayat Kehamilan
1) 2002/ laki-laki/PN/Bidan/3000 gr/aterm
2) 2006/laki-laki/PN/Bidan/3100 gr/aterm
3) Sekarang
i. Riwayat kontrasepsi
Ada, pill tahun 2004
j. Riwayat Imunisasi
Tidak diketahui
k. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), minum kopi (-), minum alkohol (-), riwayat memelihara
binatang (-).

25
3.3. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Apatis
Tekanan darah : 170/110mmHg
Frekuensi Nadi : 90x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36, 5˚C
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 156 cm
b. Status Generalisata
Kepala : Normochepal, rambut hitam tidak mudah rontok
Wajah : Chloasma gravidarum (-), edema (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorak : Paru dan Jantung dalam batas normal
Ekstermitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)
c. Status Obstetrik
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membuncit sesuai usia kehamilan. Sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : Bagian atas teraba bagian (bokong) lunak tidak melenting.
L2 : Teraba tahanan besar keras dibagian kiri (punggung) dan bagian
kecil dibagian kanan (ekstremitas).
L3 : Bagian terbawah teraba bagian bulat keras (kepala) dan melenting,
dapat digoyangkan.
L4 : Konvergen
Terdapat nyeri tekan abdomen (-) nyeri lepas (-)
TFU : 25 cm
TBJ : 1860 gr
His :-
DJJ :-

26
Genitalia

-Pemeriksaan luar : U/V : Tenang, PPV (-)


-Pemeriksaan dalam : VT : Tidak ada pembukaan

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Tabel 4. Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil
Hb 12,7 gr/dl
Hematokrit 36,1 %
Leukosit 12.100/mm3
Trombosit 59.000/mm3
Imunologi
Anti HIV Non Reaktif
TPHA Non Reaktif
HbsAg Non Reaktif

Urinalisa
Protein 2+
Kimia Klinik
Glukosa Darah 77 mg/Dl

3.5. Diagnosis
G3P2A0H2 gravid Preterm 36-37 minggu dengan Eklampsia + Intrauterine
Fetal Death

3.6. Penatalaksanaan
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
- IVFD RL 500 cc + MgSO4
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

27
Observasi

Tabel 5. Observasi di Ponek

Jam Observasi dan tatalaksana


Pukul 01.30 S/
- Pasien datang ke IGD RSUD M. Natsir Solok
dengan keluhan kejang sejak 10 jam SMRS
- Pasien mengeluhkan pusing sebelum 10 menit
sebelum kejang
- Pasien mengeluhkan muntah yang berisi cairan
bening sebanyak satu kali 1 jam sebelum kejang
- Pasien tidak merasakan adanya pergerakan janin.
- Pasien tampak kurang merespon orang
disekitarnya
- Pasien mengeluhkan adanya pendarahan pada gusi
- Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
- Keluar lendir campur darah (-)
- Keluar air-air dari kemaluan (-)
- Pusing (+), demam (-) batuk (+) dan sesak (-)
- BAB dan BAK tidak ada keluhanO/
 TD: 170/110, HR: 90x/i, RR: 20x/i, T: 36,5’C
 DJJ : -
 His : -
Cek Labor:
Hb: 12,7 g/dL
Ht: 36,1%
Leukosit: 12.100 mm3
Trombosit: 59.000 mm3
Anti HIV: Non Reaktif
TPHA: Non Reaktif
HbsAg: Non Reaktif
Protein Urin : +2

28
P/
IVFD RL 500 cc + Drip MgSO4 40 % 20cc
Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
Metildopa 1x 500mg (P.O)
Transfusi trombosit 10 kantong
Konsul Sp. OG: SC
Laporan Tindakan SC (tanggal 17/05/2022 pukul 06.00 WIB)
Jenis Pembedahan: Sectio Caesarea atas indikasi Eklampsia + Intrauterine Fetal
Death
Laporan pembedahan :

- Ibu dibaringkan di atas meja operasi dan di lakukan anestesi umum


- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik di sekitar lapangan operasi
- Dipasang duk steril untuk memperkecil lapangan operasi
- Dilakukan insisi kulit bertahap
- Insisi dilakukan mulai dari subkutis, fascia, otot, sampai menembus
peritoneum
- Setelah peritoneum terbuka tampak uterus gravid sesuai dengan usia
kehamilan
- Bayi dilahirkan dalam keadaan sudah tidak bernyawa dengan jenis kelamin
laki-laki BB : 2000gr PB: 46 cm
- Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis
Diagnosis Pra Bedah :
G3P2A0H2 Gravid 36-37 Minggu + Eklampsia + Intrauterine Fetal Death
Diagnosis Pasca Bedah:
P3A0H2 post SCTPP atas indikasi Eklampsia + Intrauterine Fetal Death

29
Follow Up
Follow up 17 Mei
Tanggal Selasa, 17 Mei 2022
S Pasien post SC, dijemput dari OK dan diantar ke ICU dalam
keadaan sadar
Pasien gaduh gelisah
Batuk (+) mual muntah (+)
Nyeri luka post OP (+)
Hb: 9,5 gr/dl
Ht: 27,1 %
Leukosit : 27,6 mm3
Trombosit : 177 mm3
O Tampak sakit berat
Kes : Delirium RR : 20 x/I TD : 160/100 mmHg
Temp : 36,5oC Nadi : 70x/I
A P3A0H2 post SC a/i Eklampsi + Intrauterine Fetal Death
P  IVFD RL 500cc 8 jam/ kolf
 Inj Ceftriaxone 2x 1g
 Inj Dexamethasone 3x 10mg
 Inj. Omeprazole 1x 40mg
 Inj. Ondansetron 3x4 mg
 Inj. Tramadol 3x 50 mg
 Metronidazole infus IV
 NAC 4x 400 mg (P.O)
 Metyldopa 3x500 mg (P.O)
 Curcuma 3x 1 mg (P.O)
 Transfusi PRC 1 kolf
 Vulva Hygiene

30
Follow up Rabu, 18 Mei 2022
Tanggal Rabu, 18 Mei 2022
S Nyeri luka post OP (+)
Pasien tampak gaduh gelisah
Demam (-), Mual muntah (+), Sesak nafas (-)Batuk (+)

O Tampak sakit berat


Kes : Delirium RR : 20 x/I TD : 165/100 mmHg
Temp : 36,5oC Nadi : 70x/I
A P3A0H2 post SC a/i Eklampsi + Intrauterine Fetal Death
P  IVFD RL 500cc/8 jam
 IVFD Metronidazole 100cc
 Inj Ceftriaxone 2x 1mg
 Inj Dexamethasone 3x 10mg
 Inj. Omeprazole 1x 40mg
 Inj. Ondansetron 3x4 mg
 NAC 4x 400 mg (P.O)
 Metyldopa 3x500 mg (P.O)
 Curcuma 3x 1 mg (P.O)
 Transfusi PRC 1 kolf
 Vulva Hygiene
Follow up 19 Mei
Tanggal Kamis 19 Mei 2022
S Nyeri luka post operasi (+)
Demam (-), mual muntah (+), sesak nafas (-)Batuk (+)
Pasien tampak gaduh gelisah
O Tampak sakit berat
Kes : Delirium RR : 21 x/I TD : 159/80 mmHg
Temp : 36,8oC Nadi : 72x/I
A P3A0H3 post SC a/i eklampsi + Intrauterine Fetal Death
P  Terpasang monitor

31
 IVFD RL 500cc/12 jam
 IVFD Metronidazole 100cc
 Transfuse PRC 1 kolf
 Metronidazole infus iv
 Inj. Ceftriaxone 2x 1 amp
 Inj. Dexamethasone 3 x 1 amp
 Inj. Omeprazole 1x1 amp
 Inj. Ondansentron 3x 1 amp
 NAC 4x 400 mg (P.O)
 Metyldopa 3x500 mg (P.O)
 Curcuma 3x 1 mg (P.O)
 Paracetamol 4x 500 mg (P.O)
 Metronidazole 3x 500mg (P.O)
 Cefixim 2x 200mg (P.O)
 Nifedipine 3x 10mg (P.O)
 Vulva Hygiene
Follow up 20 Mei
Tanggal Jumat, 20 mei 2022
S Nyeri luka post OP (+)
Nyeri luka post operasi (+)
Demam (-), Mual muntah (+), Sesak nafas (-)Batuk (+)
Pasien sudah dapat merespon
O Tampak Sakit Sedang
Kes : CMC RR: 20 x/I TD : 130/80 mmHg
Temp : 36,7oC Nadi : 88x/I
A P3A0H2 post SC a/i eklampsi + Intrauterine Fetal Death
P  IVFD RL 500cc/12 jam
 Dexsamethasone 2 x 5 mg (P.O)
 NAC 3 x 400 mg (P.O)
 Metyldopa 3 x 500mg (P.O)
 Paracetamol 3 x 500 mg (P.O)

32
 Curcuma 3 x 1mg (P.O)
 Metronidazole 3 x 500mg (P.O)
 Cefixime 2x 200mg (P.O)
 Nifedipine 3 x 10mg (P.O)

Follow up 21 Mei
Tanggal Sabtu 21 Mei 2022
S Nyeri luka post operasi sudah berkurang
Demam (-), Mual muntah (+), Sesak nafas (-)Batuk (+)
Pasien sudah dapat merespon
O Tampak Sedang
Kes : CMC RR : 20 x/I TD : 130/80 mmHg
Temp : 36,5oC Nadi : 72x/I
A P3A0H2 post SC a/i eklampsi + Intrauterine Fetal Death
P  IVFD RL 500cc/12 jam
 Metronidazole infus IV 500mg
 Dexsamethasone 2 x 5 mg (P.O)
 NAC 3 x 400 mg (P.O)
 Metyldopa 3 x 500mg (P.O)
 Paracetamol 3 x 500 mg (P.O)
 Curcuma 3 x 1mg (P.O)
 Cefixime 2x 200mg (P.O)
 Nifedipine 3 x 10mg (P.O)

33
BAB IV

DISKUSI DAN PEMBAHASAN KASUS

Telah didiagnosis seorang pasien perempuan berusia 38 tahun dengan


diagnosis G3P2A0H2 gravid preterm 36-37 minggu dengan eclampsia +
Intrauterine Fetal Death. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Pasien datang ke IGD RSUD M. Natsir pada tanggal 17 Mei 2022 keluhan
kejang sejak 10 jam SMRS. Kejang dirasakan sebanyak 4 kali dan berdurasi selama
5 menit. Pasien mengeluhkan pusing selama 10 menit sebelum kejang. Pasien
mengeluhkan muntah yang berisi cairan bening sebanyak 1 kali semenjak 1 jam
sebelum kejang. Pasien tidak merasakan adanya pergerakan janin. Pasien
mengeluhkan adanya pendarahan pada gusi. Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-),
Keluar lendir campur darah (-),demam (-) batuk (+) dan sesak (-), BAB dan BAK
tidak ada keluhan ,
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan. Dari pemeriksaan
Status Obstretrik, inspeksi abdomen pasien yaitu perut tampak membuncit sesuai
dengan usia kehamilan, pada pemeriksaan leopold di dapatkan hasil L1: bagian atas
teraba lunak dan tidak melenting. L2: tahanan terbesar di kanan, tahanan terkecil di
kiri. L3: Bagian terbawah teraba bagian bulat keras (kepala) dan melenting, dapat
digoyangkan. L4: Konvergen. Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen (-), nyeri
lepas (-). TFU: 25 cm, TBA: 1860 gr, His (-), DJJ:-, VT: tidak dilakukan. Pada
pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan Laboraturium ditemukan Hb: 12,7
gr/dL, leukosit 12.100/mm3, trombosit 59.000/mm3, protein 2+. Pasien didiagnosis
G3P2A0H2 gravid preterm 36-37 minggu eclampsia + Intrauterine Fetal Death.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang
Selanjutnya pasien diobservasi keadaan umum, tanda-tanda vital, dipasang
infus RL 500cc untuk mempertahankan hidrasi pada pasien, diberikan drip MgSO4
40% untuk menangani kejang pada pasien, MgSO4 bekerja dengan cara
menghambat rangsangan kejang di otak, melebarkan pembuluh darah sehingga
mencegah terjadinya kekurangan oksigen di otak yang dapat memicu kejang.

34
injeksi ceftriaxone 2x1 gr sebagai profilaxsis terhadap infeksi dalam proses
persalinan termasuk saat section secaria, diberikan metildopa 1x 500mg diberikan
untuk menurunkan tekanan darah pada pasien metildopa bekerja dengan
melemaskan otot dari pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir dengan
lancar. Selanjutnya pasien di transfuse trombosit 10 kantong dikarenakan trombosit
pada pasien rendah sehingga diperlukan transfusi.
Kemudian pasien direncanakan section secaria pukul 06.00 WIB. Sectio
secaria dilakukan secara cepat karena pasien mempunyai gejala yang persisten dan
hipertensi yang tidak terkontrol, setelah itu lahir bayi laki-laki, dalam keaadaan
tidak bernyawa, BB: 2000 gram, PB: 46cm, A/S= 0/0.
Berat badan pada bayi terlihat kurang dari normal dengan usia kehamilan
preterm gravid 36-37 minggu. Dimana berat badan lahir kurang dari usia kehamilan
dapat dikarenakan pasien tidak pernah kontrol tekanan darah dan tidak pernah
melakukan ante natal care pada kehamilannya. Bisa jadi pasien telah menderita
hipertensi gestasional pada saat hamil, karena tidak dikontrol sehingga tekanan
darah pasien dapat meningkat pesat dilihat dari pertama pasien ke rumah sakit dan
adanya kejang ditambah dengan pemeriksaan laboratorium didapatkan protein +2
yang merupakan tanda dari eklampsi. Hubungan dari berat badan bayi kurang dari
usia kehamilan dikarenakan pada etiopatologi dari preeklampsi/eklampsi dimana,
terjadi kelainan dari vaskularisasi plasenta yang menunjukkan kegagalan
perkembangan dari remodelling arteri spiralis, dimana sel trofoblas pada lapisan
otot spiralis pada eklampsi gagal bervasodilatasi dan menyebabkan pembuluh darah
menjadi kaku terjadinya hipoperfusi dan menyebabkan iskemik pada plasenta
sedangkan janin membutuhkan asupan dari plasenta sebagai nutrisi sehingga bayi
dapat mengalami gagal pertumbuhan.
Kemudian post operasi pasien diberikan obat tambahan yaitu, inj.
Dexamethasone diberikan untuk penyembuhan luka post operasi, inj. Omeprazole
dimana obat ini bekerja dengan cara mengurangi produksi asam lambung dan
membantu pemulihan pada lambung, inj.Ondansentrone diberikan karena pasien
terdapat gejala mual muntah, cara kerja dari ondansentron yaitu memblokir efek
serotonin dimana dalam keadaan post operasi kadar serotonin meningkat, dengan
begitu, efek mual muntah pada kondisi seperti post operasi dapat dicegah.

35
Metronidazole infus diberikan untuk mencegah infeksi pasca bedah, inj. Tramadol
3x 50 mg, Obat ini memiliki efek agonis opioid dimana memiliki sifat yang sama
dengan golongan narkotika, serta efek analgesiknya bekerja sentral. Tramadol
digunakan setelah operasi untuk mengurangi rasa nyeri sedang sampai berat post
operasi. Acetylcysteine (NAC) P.O merupakan obat mukolitik / pengencer dahak,
Ibuprofen P.O, curcuma P.O, transfusi PRC 1 Kolf transfusi di indikasikan karena
pada pasien post operasi Hb pasien 9,5 gr/dl yang tergolong ke anemia ringan.

36
BAB V

KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik dalam kehamilan yang dapat


mempengaruhi semua sistem organ. Proteinuria adalah tanda penting preeklampsia.
Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau
edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan atau edema
pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
Eklampsia adalah kejang yang terjadi pada ibu hamil dengan preeklampsia.
Eklampsi merupakan kasus akut pada pasien preeklampsia disertai kejang (bukan
timbul akibat kelainan neurologik) dan koma dimana sebelumnya sudah
menunjukkan gejala – gejala preeklampsi. Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia
gravidarum (antepartum), eklampsia partuirentum (intrapartum) dan eklampsia
puerperale (postpartum), dibagi berdasarkan saat timbulnya serangan.

Pada kehamilan dengan preeklampsia, terjadi perubahan arteri spiralis yang


tidak sempurna sehingga dinding otot tetap kaku dan sempit dan akibatnya akan
terjadi penurunan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta yang mengakibatkan
hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan janin intra uterin
hingga kematian bayi atau dapat disebut juga dengan intrauterine fetal death.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Peres-Cuevaz R, Fraser W, Reyes H, Reinharz D, Daftari A, Heinz CS, Roberts


JM. Critical pathways for the management of preeclampsia and severe
preeclampsia in institutionalized health care settings. BMC Pregnancy and
Childbirth. 2003;3
2. Queensland Clinical Guidelines. Hypertension and pregnancy. Guideline No.
MN21.13-V9-R26. Queensland Health. February 2021. Available from:
http://www.health.qld.gov.au/qcg
3. Alex C. Vidaeff; Mary A. Carroll SMR. Acute hypertensive emergencies in
pregnancy. Crit Care Med. 2005;33:S307-S12.
4. Przybyl L, Haase N, Golic M, Rugor J, Solano ME, Arck PC, et al. CD74-
Downregulation of Placental Macrophage-Trophoblastic Interactions in
Preeclampsia. Circulation research. 2016;119(1):55-68.
5. Phipps E, Prasanna D, Brima W, Jim B. Preeclampsia: Updates in Pathogenesis,
Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol. 2016 Jun 6; 11(6): 1102–
1113.
6. POGI (Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia) Cabang Jawa Barat.
Panduan Praktek Klinis Hipertensi Dalam Kehamilan. 2018.
7. Gao Q, Tang J, Li N, Liu B, Zhang M, Sun M, et al. What is precise
pathophysiology in development of hypertension in pregnancy? Precision
medicine requires precise physiology and pathophysiology. Drug discovery
today. 2018;23(2):286-99.
8. Sava RI, March KL, Pepine CJ. Hypertension in pregnancy: Taking cues from
pathophysiology for clinical practice. Clinical cardiology. 2018;41(2):220-7.
9. Magee LA, von Dadelszen P. State-of-the-Art Diagnosis and Treatment of
Hypertension in Pregnancy. Mayo Clinic proceedings. 2018;93(11):1664- 77.
10. Kongwattanakul K, Saksiriwuttho P, Chaiyarach C, Thepsuthammarat K.
Incidence, characteristics, maternal complications, and perinatal outcomes
associated with preeclampsia with severe features and HELLP syndrome. Int J
Womens Health. 2018; 10: 371–377.

38
11. Fatmawati, Lilis. Sulistyono, Agus. Notobroto, Hari B. Pengaruh Status
Kesehatan Ibu Terhadap Derajat Preeklampsia/Eklampsia Di Kabupaten Gresik.
2017. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 20 No. 2 April 2017: 52–58.
12. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Indikator Kesehatan Ibu di Provinsi
Sumatera Barat Tahun 2014. Padang: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat;
2015.
13. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Laporan Kematian Ibu dan
Penyebabnya Januari-Desember 2013. Padang: Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Barat; 2014.
14. Profil Kesehatan Indonesia 2019. Kemkes RI.
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-indonesia-2019.pdf. Diakses November 2021.
15. Cunningham L, Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams Obstetric 25
ed. New York: Mc Graw Hill; 2018. p. 1086-8.
16. Raghupathy R. Cytokines as Key Players in the Pathophysiology of
Preeclampsia. Journal Medical Principles and Practice. 2013. 22 (23), 8–19.

17. World Health Organization. Maternal mortality. WHO. 2020.


https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/329886/WHO-RHR-19.20-
eng.pdf - Diakses November 2021.

39

Anda mungkin juga menyukai