Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH PEGANTAR FETOMATERNAL

“PENYAKIT DAN KELAINAN FETOMATERNAL”

DOSEN PENGAMPU:
Arika Indah Setyarini, S.SiT, M.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :


1. Fadhila Kusumasari (P17321183010)
2. Lutfiah Nurilaili (P17321183014)
3. Faizatul Azimah (P17321183026)
4. Hivani Alif Prasinia (P17321183034)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga


“Makalah Pengantar Fetomaternal “Penyakit Dan Kelainan Fetomaternal” dapat
tersusun hingga selesai.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Pengantar Fetomaternal di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 27 Juli 2022

P
enulis

i
ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN........................................................................................................................2
2.1 Pengertian Fetomaternal..................................................................................................2
2.2 Penyakit dan Kelainan Fetomaternal...............................................................................2
2.2.1 Hipertensi Dalam Kehamilan...............................................................................2
2.2.2 Isoimunisasi..........................................................................................................8
2.2.3 Kanker Serviks pada Kehamilan........................................................................10
2.2.4 Diabetes Melitus Gestasional.............................................................................10
2.2.5 Hipertiroidi pada Kehamilan..............................................................................10
2.2.6 Hemoroid pada Kehamilan................................................................................13
2.2.7 Servik Inkompeten.............................................................................................16
BAB III.....................................................................................................................................21
PENUTUP................................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................21
3.2 Saran..............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fetomaternal merupakan salah satu cabang sub-spesialisasi ilmu kedokt
eran Obstetri Ginekologi yang menganalisa perkembangan dan kondisi janin.
Fetomaternal diagnostik adalah metode yang dapat diandalkan untuk memant
au secara dini kondisi kesehatan kandungan sehingga bayi lahir dengan baik d
an proses persalinan berjalan lancar. Risiko kelainan seperti Down Syndrome,
Edward Syndrome, atau kelainan fisik pada janin juga dapat dideteksi melalui
Fetomaternal Diagnostik.
Fetomaternal adalah sub spesialisasi dari bagian kandungan dan kebida
nan (obstetri dan ginekologi). Sub spesialisasi ini berfokus pada deteksi dan
mendignosis kelainan pada fetal (janin) dan maternal (ibu). Pemeriksaan ini
meliputi deteksi dini fetal abnormalitas, deteksi keguguran, dan stillbirth, kela
hiran premature dan skrining kelainan kromosom.
Dengan mengetahui kondisi janin sedini mungkin, ibu hamil mendapatk
an penanganan khusus agar proses kehamilan berjalan lancar. Selain itu, pros
es persalinan dapat dipersiapkan agar sesuai dengan kondisi kehamilan. Feto
maternal Diagnostik menggunakan teknologi USG 4D dengan dokter dan tim
medis berpengalaman.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian fetomaternal?
1.2.2 Apa saja penyakit dan kelainan fetomaternal?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian fetomaternal
1.3.2 Untuk mengetahui penyakit dan kelainan fetomaternal

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fetomaternal
Fetomaternal adalah salah satu cabang obsgyn yang dengan ilmunya
dapat mendiagnosis kelainan pada janin atau ibu dengan lebih akurat dan
spesifik. Sub spesialisasi ini berfokus pada deteksi dan mendignosis kelaina
n pada fetal (janin) dan maternal (ibu). (Nikmah, 2020).
2.2 Penyakit dan Kelainan Fetomaternal
2.2.1 Hipertensi Dalam Kehamilan
HDK adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu
disamping perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapati angka
mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia
preeklampsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 30-40%
kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia
telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian
maternal. Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius
tehadap ibu hamil dengan penyakit ini.
A. Klasifikasi
Pada saat ini, untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan
The Working Group Report dan High Blood Pressure ini
Pregnancy (2000) menyarankan klasifikasi hipertensi dalam
kehamilan sebagai berikut :
1. Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah
yang hanya dijumpai dalam kehamilan sampai 12 minggu
pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca
persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai
sebelum kehamilan, selama kehamilan sampai sesudah
masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya

2
3. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda
preeklampsia muncul sesudah kehamilan 20 minggu pada
wanita yang sebelumnya menderita hipertensi kronis.
4. Preeklampsia ringan, preeklampsia berat dan eclampsia
Dahulu, disebut PE jika dijumpai trias tanda klinik yaitu :
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan edema.
Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria
diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan
normal. Pengukuran tekanan darah harus diulang
berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg
digunakan sebagai pedoman.
a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah ≥
140/90 mmHg, tapi < 160/110 mmHg dan proteinuria
+1.
b. Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah >
160/110 mmHg, proteinuria ≥ +2, dapat disertai
keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit
kepala, gangguan penglihatan dan oliguria.
c. Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil
dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan
timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita
ini menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat.
(kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
B. Etiologi
Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini
masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan
kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the
desease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat
diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah :
faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan
dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat

3
mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri
spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan
menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan
sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta.
Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal
bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit
yang dapat terjadi diberbagai organ.
C. Faktor Predisposisi Preeklamsia
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi
essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar,
obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia,
riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia,
lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.

D. Penanganan
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia
adalah segera melahirkan janin, tetapi disamping itu usia
kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin harus diawasi dengan
baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi
kehamilan.
Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit
:

4
1) PE ringan
Penanganan yang optimal pada usia
kehamialn <37 minggu adalah dirawat di rumah
sakit karena cara ini dapat meningkatkan ketahanan
hidup bayi dan menurunkan progresifitas penyakit.
Jika rawat jalan, pastikan pasien kontrol secara
teratur. Selama dirawat pasien mendapatkan diet
yang teratur tanpa restriksi garam dan tanpa
pembatasan aktifitas fisik.
a) Antihipertensi, antidiuretik, dan sedatif tidak
diberikan.
b) Dilakukan evaluasi kesehatan ibu: Tekanan
darah dimonitor setiap 4 jam, Berat badan
diukur setiap hari, Pemeriksaan laboratorium
seperti protein urin, hematokrit, hitung
trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal
dilakukan setiap 1-2 minggu. Awasi
perkembangan penyakit, kemungkinan menjadi
preeklampsia berat, atau impending eklamsia
dengan gejala : sakit kepala, gangguan
penglihatan, atau nyeri epigastric
c) Evaluasi kesehatan bayi: Hitung gerak bayi
setiap hari, NST setiap minggu, USG setiap 3
minggu untuk mengetahui IUGR, Biofisik profil
jika perlu.
d) Jika usia kehamilan > 37 minggu, atau
mendekati aterm, lakukan induksi persalinan
walaupun servik belum matang.
2) Preeklamsia Berat
a) Pengobatan Medisinal

5
- Tirah Baring
- Oksigen
- Kateter menetap
- IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat,
Kolloid Jumlah input cairan : 2000
ml/24 jam, berpedoman pada diuresis,
insensible water loss dan CVP. Awasi
balans cairan.
- Magnesium Sulfat Initial dose : -
Loading dose : 4 gr magnesium sulfat
20% IV (4-5 menit) - 8 gr MS 40% IM,
4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri.
Maintenance dose : 4 gr magnesium
sulfat 40% IM setiap 4 jam magnesium
sulfat maintenance dapat juga diberikan
secara intravenus.
- Antihipertensi diberikan jika tekanan
darah diastole > 110 mmHg. Dapat
diberikan nifedipin sublingual 10 mg.
Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih
tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan
5-10 mg sublingual atau oral dengan
interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai
kebutuhan. Penurunan tekanan darah
tidak boleh terlalu agresif. Tekanan
darah diastol jangan kurang dari 90
mmHg, penurunan tekanan darah
maksimal 30%. Penggunaan nifedipine
sangat dianjurkan karena harganya
murah, mudah didapat dan mudah

6
pengaturan dosisnya dengan efektifitas
yang cukup baik.
- Diuretikum tidak diberikan kecuali jika
ada : - Edema paru - Gagal jantung
kongestif - Edema anasarka
- N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
- Jika pasien koma, diberikan perawatan
koma di ICU
- Konsul ke Bagian Interna, Hematologi,
Mata, Neurologi jika perlu.
- Jajaki kemungkinan terjadinya
komplikasi Sindroma HELLP, gagal
ginjal, edema paru, solusio plasenta,
DIC, stroke, dll
- Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri
deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x
sebelum persalinan, dilanjutkan dengan
deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV
dengan interval 6 jam postpartum.
Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam
48 jam setelah pemberian deksametason
pertama.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium
Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,
diberikan iv secara perlahan, Refleks
patella (+), Frekuensi pernafasan > 16
kali / menit, Produksi urin > 100 cc
dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg
BB/ jam ) Pemberian, Magnesium Sulfat

7
sampai 20 gr tidak perlu
mempertimbangkan diurese
b) Penanganan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan
suatu keputusan apakah dilakukan terminasi
kehamilan atau tindakan konservatif dengan
mempertimbangkan usia kehamilan dan
keadaan janin. Penanganan konservatif bisa
dilakukan pada keadaan :
- Tekanan darah terkontrol < 160/110
mmHg
- Oliguria respon dengan pemberian
cairan
- Tidak dijumpai nyeri epigastrik
- Usia kehamilan < 34 minggu
- Kalau penyakit berkembang menjadi
Sindroma HELLP murni cenderung
dilakukan tindakan penanganan aktif
- Jika serviks sudah matang dan tidak ada
kontra indikasi obstetrik, dilakukan
induksi persalinan dengan oksitosin
drips dan amniotomi. Kala II dipercepat
dengan EV / EF.
- Seksio sesarea dilakukan pada : Skor
pelvik dibawah 5. Dengan drips
oksitosin, setelah 12 jam belum ada
tanda-tanda janin akan lahir pervaginam.
Indikasi obstetrik. Bayi ditangani oleh
Subbagian Perinatologi dan jika perlu
dirawat di Neonatal Intensive Care Unit.
-

8
3) Eklamsia
a) Pengobatan Medisinal
- MgSO4:
Cara pemberian sama dengan pasien
preeklampsia berat. Bila kejang berulang
diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV,
diberikan sekurang-kurangnya 20 menit
setelah pemberian terakhir.Bila setelah
diberikan dosis tambahan masih tetap
kejang dapat diberikan amobarbital 3-5
mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
- Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat.
Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000
ml, berpedoman kepada diuresis,
insensible water loss dan CVP .
- Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup
tenang. Masukkan sudip lidah ( tong
spatel ) kedalam mulut penderita. Kepala
direndahkan , lendir diisap dari daerah
orofarynx. Fiksasi badan pada tempat
tidur harus cukup kendor guna
menghindari fraktur. Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley
kateter ).
- Perawatan pada penderita koma :
Monitoring kesadaran dan dalamnya
koma memakai “ Glasgow – Pittsburg
Coma Scale “. Perlu diperhatikan
pencegahan dekubitus dan makanan
penderita. Pada koma yang lama ( > 24

9
jam ), makanan melalui hidung ( NGT =
Naso Gastric Tube : Neus Sonde
Voeding ).
- Diuretikum dan anti hipertensi sama
seperti Pre Eklamsia Berat.
- Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada
indikasi.
- Tidak ada respon terhadap penanganan
konservatif pertimbangkan seksio
sesarea.
b) Pengobatan Obstetrik
- Semua kehamilan dengan eklamsia harus
diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin.
- Terminasi kehamilan Sikap dasar : bila
sudah stabilisasi ( pemulihan )
hemodinamika dan metabolisme ibu ,
yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih
keadaan dibawah ini : Setelah pemberian
obat anti kejang terakhir. Setelah kejang
terakhir. Setelah pemberian obat-obat anti
hipertensi terakhir. Penderita mulai sadar (
responsif dan orientasi ).
- Bila anak hidup sc dapat dipertimbangkan.
2.2.2 Isoimunisasi
A. Pengertian
Menurut Sinclair (2009) isoimunisasi adalah sensitisasi ibu
terhadap antigen paternal yang tidak dibawanya, yang
menyebabkan anemia hemolitik pada janin dan hidrops hingga
tingkat yang bervariasi.

10
Menurut Sarwar (2020) ketidakcocokan Rh, adalah suatu
kondisi yang terjadi ketika seorang wanita dengan golongan darah
Rhesus-negatif terpapar sel darah Rhesus-positif, yang mengarah
pada pengembangan antibodi anti-D melalui proses yang disebut
isoimunisasi
B. Etiologi
Sistem klasifikasi rhesus merupakan sistem penggolongan
darah terpenting kedua setelah sistem ABO. Secara klinis sistem
rhesus merupakan sistem klasifikasi yang penting karena
berhubungan dengan anemia hemolitik pada neonatus, transfusi,
dan autoimmune hemolytic anemia (AIHA).
C. Skrining untuk Isoimunisasi
1. Ibu hamil Rh-D positif tidak diperlukan tes lebih lanjut untuk
golongan darah
2. Ibu hamil Rh negatif, darah suami diuji untuk pengelompokan
ABO dan pengetikan Rh. Jika darah suami adalah Rh positif
direkomendasikan melakukan genotipe ayah untuk Rh-D gen
pengkode
3. Untuk mendeteksi sensitasi ibu, adanya antibodi anti-D dalam
sirkulasi ibu biasanya terdeteksi oleh ICT
D. Dampak
1. Eritroblastosis fetalis
Kehamilan berikutnya menimbulkan :
• Kematian intrauterine.
• Cerebral palsy.
• Ikterus neonatoum.
• Perdarahan di bawah kulit.
• Pembesaran pada leher, limpa
2. Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, dapat terjadi apabila :
• Janin mempunyai antigen dari sistem golongan darah
• Darah ibu mengandung imun antibodi Imunoglobulin G

11
• Imun antibodi berhasil melewati plasenta dan masuk ke
dalam peredaran darah janin
3. Bayi Anemia
4. Komplikasi Setelah Lahir
• Hiperbilirubinemia parah dan penyakit kuning
• Kernikterus
5. Komplikasi Selama Kehamilan
• Anemia ringan, hiperbilirubin dan penyakit kuning
• Anemia berat dengan pembesaran hati dan limpa
• Hydrops fetalis
6. Penyakit hemolitik Janin dan Neonatus
• Anemia progresif
• Hiperbilirubinemia
• Gagal jantung atau hydrops fetalis
E. Penatalaksanaan
1. Melakukan pemeriksaan pada semua wanita untuk mengetahui
golongan darahnya dan melihat adanya antibodi pada saat
pendaftaran dan pada usia 28 minggu.
2. Dengan cermat tetapkan usia kehamilan, gali riwayat obstetric,
dan gali riwayat tindakan transfuse darah.
3. Jika penapisan antibodi pasien negative
• Pada minggu ke-28 dan untuk setiap peristiwa berikut,
tawarkan RhoGAM bagi wanita Rh-negatif
• Pada saat pelahiran, evaluasi laboratorium bayi baru lahir
meliputi golongan dan Rh dan tes Coombs langsung jika
golongan darah janin berbeda dari golongan darah ibu.
• Direkomendasikan agar seluruh ibu Rh-negatif menjalani
tes eritrosit rosette atau tes sejenis
• Tes wanita Rh-negatif yang telah menerima dosis RhoGAM
berulang selama masa hamil

12
4. Apabila penapisan antibodi positif, pasien diisoimunisasi.
Rujuk pasien untuk mendapat perawatan prenatal dari spesialis
kebidanan
2.2.3 Kanker Serviks Pada Kehamilan
A. Pengertian
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah kanker yang
terjadi pada serviks uteri, suatu daerah pada organ reproduksi
wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak
antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina).
(Kartikawati, 2013).
Kanker serviks merupakan penyakit kanker perempuann
yang menimbulkan kematian terbanyak terutama di negara
berkembang. Diperkirakan dijumpai kanker serviks baru
sebanyak 500.000 orang diseluruh dunia dan sebagian besar
terjadi di negara berkembang. (Anwar, 2011).
B. Etiologi
a. Human Papilloma Virus (HPV) Virus HPV (human papiloma
virus) merupakan penyebab utama kanker leher rahim dan dapat
meningkatkan risiko timbulnya kanker jenis lain. Lebih dari
90%kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus
HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16.
Penyebaran virus ini terutama melaui hubungan seksual.
b. Memulai aktivitas hubungan seksual pada usia yang muda.
Hubungan seksual pada usia dibawah 17 tahun diketahui dapat
merangsang tumbuhnya sel kanker pada organ kandunagn
perempuann, karena pada rentang usia 12-17, perubahan sel
dalam mulut rahim sedang aktif sekali. Ketika sel sedang
membela secara aktif (metaplasi), idealnya tidak terjadi kontak
atau rangsangan apapun dari luar, termasuk injus (masuknya)
benda asing dalam tubuh perempuan. Dengan adanya benda
asing, termasuk alat kelamin laki-laki dan sperma, akan

13
mengakibatkan perkembangan sel kearah yang abnormal.
Apalagi kalau sampai terjadi luka yang mengakibtakan infeksi
dalam rahim. Sel abnormal dalam mulut rahim itu dapat
mengakibatkan kanker mulut rahim (serviks).
c. Berganti-ganti pasangan seksual, suami atau pasangan
seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia
dibawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah
dengan wanita yang menderita kanker serviks.
d. Pemakaian kontrasepsi Pemakaian pil yang sudah lama
(Kartikawati, 2013). Terlalu lama menggunakan kb yang
mengandung estrogen dapat memicu timbulnya kanker serviks
(Norma, 2013). Hormone estrogen yang berlebihan dalam tubuh
dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya kanker leher
rahimdan kanker payudara.
e. Golongan ekonomi lemah Karena tidak mampu melakukan
pemeriksaan pap smear secara rutin (Kartikawati, 2013).
f. Penyakit menular seksual
g. Berganti-ganti pasangan seksual
h. Pemakaian dietilstilbestol (DES)
i. Sering melahirkan
j. Penyakit yang menekan sistem imun.
k. Merokok
Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruh
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks
(Kartikawati, 2011)
l. Genetic
C. Patofisiologis
Bentuk ringan (displasia ringan dan sedang) mempunyai
angka regresi yangtinggi. Waktu yang diperlukan dari displasia
menjadi karsinoma insitu (KIS) berkisarantara 1-7 tahun,
sedangkan waktu yang diperlukan dari karsinoma insitu menjadi

14
invasif adalah 3-20 tahun. Proses perkembangan kanker serviks
berlangsung lambat, diawali adanya perubahan displasia yang
perlahan-lahan menjadi progresif. Displasia ini dapat muncul bila
ada aktivitas regenerasi epitel yang meningkat misalnya akibat
trauma mekanik atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri dan
gangguan keseimbangan hormon.
Dalam jangka waktu 7-10 tahun perkembangan tersebut menjadi
bentuk preinvasif berkembang menjadi invasif pada stroma serviks
dengan adanya proses keganasan. Perluasan lesi di serviks dapat
menimbulkan luka, pertumbuhan yang eksofitik atau dapat
berinfiltrasi ke kanalis serviks. Lesi dapat meluas ke forniks,
jaringan pada serviks, parametria dan akhirnya dapat menginvasi
ke rektum dan atauvesika urinaria. Virus DNA ini menyerang epitel
permukaan serviks pada sel basalzona transformasi, dibantu oleh
faktor risiko lain mengakibatkan perubahan gen pada molekul vital
yang tidak dapat diperbaiki, menetap, dan kehilangan sifat serta
kontrol pertumbuhan sel normal sehingga terjadi keganasan
(Brunner & Sudart, 2010).
Kanker serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-
columnar junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi
ektoserviks (porsio) dan endoservikskanalis serviks, dimana secara
histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel
skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid
atau kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh
faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SCJ
berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita
berusia di atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis serviks. Oleh
karena itu pada wanita muda, SCJ yang berada di luar ostium uteri
eksternum inirentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan
displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual

15
tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau
retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada
epitel serviks, epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel
skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar.
Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut
proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa
pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik
terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat
pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.
Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi.
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai
salah satu factor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada
proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke
dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan
terjadinya mutasi sel, sel yang mengalami mutasi tersebut dapat
berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel
yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia
sedang, displasia berat dan karsinoma insitu dan kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan
karsinoma insitu dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker
(Prawirohardjo, 2014).
D. Klasifikasi
Secara histology kanker serviks dibagi berdasarkan asal selnya
1. Dari sel epitel
a. Sel besar tanpa pertandukan
b. Sel besar dengan pertandukan
c. Sel kecil
d. Karsinoma verukosa.
e. Adenoma malignum.

16
f. Mosinosum
g. Papillaris
h. Endometrioid
i. Sel jernih
j. Kistik adenoid
k. Karsinoma sem stem (sel glassy).
2. Dari jaringan mesenkhim
a. Karsinoma sarcoma
b. Rabdomiosarkoma embrional
3. Tumor duktus gartnerDiagnosis
E. Stadium Kanker Serviks
Setelah diagnosis kanker serviks ditegakkan berdasarkan
hasil pemeriksaan histopatologi jaringan biopsy, dilanjutkan
dengan stadium. Stadium kanker serviks ditentukan melalui
pemeriksaan klinik dan sebaiknya pemeriksaan dilakukan dibawah
pengaruh anestesi umum. Ztadium tidak dipengaruhi adanya
penyebaran penyakit yang ditemui setelah tindakan bedah atau
setelah diberikan tindakan terapi. Penentuan stadium ini harus
mempunyai hubungan dengan kondisi klinis, didukung oleh bukti-
bukti klinis.
Stadium kanker seriks menurut FIGO 2000 (Anwar, 2011)
1. Stadium 0 : karsinoma insitu, karsinoma intraepitelia
2. Stadium 1 : karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran
ke korpus uteri diabaikan)
3. Stadium 1A : invasi kanker serviks ke stroma hanya dapat
didiagnosakan secara miskroskopik walau dengan invasi yang
superficial dikelompokkan pada stadium 1B.
4. Stadium 1A1 : invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih
3,0 mmdan lebar horizontal lesi tidal lebih 7 mm.
5. Stadium 1 A2 : invasi ke stroma lebih dari 3 mm tapi kuarng
dari 5 mm dan perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm.

17
6. Stadium 1 B : lesi tampak terbatas pada serviks atau secara
mikroskopik lesi lebih luas dari stadium 1 A2.
7. Stasium 1 B1 : lesi yang nampak tidak lebih dari 4 cm dari
diameter terbesar Stadium 1 B2 : lesi yang nampak lebih dari 4
cm dari diameter terbesar.
8. Stadium II : tumor telah menginvasi di luar uterus, tetapi
belum mengenai dinding Panggul atau sepertiga distal/bawah
vagina.
9. Stadium II A : tanpa invasi ke parametrium.
10. Stadium II B : sudah menginvesi parametrium
11. Stadium III : tumor telah meluar ke dinding Panggul dan atau
mengenai sepertiga bawah vagina dan atau menyebabkan
hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal
12. Stadium III A : tumor telah meluas ke sepertiga bawah vagina
dan tidak invasi ke parametrium tidak sampai dinding Panggul
13. Stadium III B : tumor telah meluas ke dinding Panggul dan
atau menyebabkan hiDronefrosis
14. Stadium IV : tumor meluas ke luar dari organ reproduksi
15. Stadium IV A : tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih
atau rektum dan atau ke luar dari rongga Panggul minor
Stadium IV B : metastasis jauh penyakit mikroinvasif: invasi
stroma dengan kedalaman 3 mm atau kurang dari membran
basalis epitel tapa invasi ke rongga pembuluh limfe/darah atau
melekat dengan lesi kanker serviks
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat di lakukan adalah
(Novelia, 2017):
1) Pembedahan atau operasi
Pembedahan merupakan pilihan untuk perempuan dengan
kanker serviks stadium I dan II.
a) Trakelektomi radikal (Radical Trachelectomy)

18
Mengambil leher rahim, bagian dari vagina dan kelenjar
getah bening di panggul. Pilihan ini dilakukan untuk
perempuan dengan tumor kecil yang ingin mencoba untuk
hamil dikemudian hari.
b) Histerektomi total: mengangakat leher rahim dan rahim
c) Histerektomi radikal: mengangkat leher rahim, beberapa
jaringan disekitar leher rahim, rahim, dan bagian dari
vagina
d) Saluran telur dan ovarium: mengangkat kedua saluran tuba
dan ovarium. Pembedahan ini disebut salpingo-
ooforektomi.
e) Kelenjar getah bening: mengambil kelenjar getah bening
dekat tumor untuk melihat apakah mengandung leher
rahim. Jika sel kanker telah histerektomy total dan radikal
mencapai kelenjar getah bening, itu berarti penyakit ini
mungkin telah menyebar ke bagian lain dari tubuh.
2) Radioterapi
Hal ini juga dapat digunakan setelah operasi untuk
menghancurkan sel-sel kanker apa pun yang masih di daerah
tersebut. Perempuan dengan kanker yang menyerang bagian-
bagian selain kenker serviks mungkin perlu diterapi radiasi dan
kemoterapi. Terapi radiasi menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel kanker. Terapi ini mempengaruhi sel-
sel di daerah yang diobati. Ada dua jenis terapi ini, yaitu:
a. Terapi radiasi eksternal
Sebuah mesin besar akan mengarahkan radiasi pada
panggul atau jaringan lain di mana kanker telah menyebar.
Pengobatan biasanya diberikan di rumah sakit. Penderita
mungkin menerima radiasi eksternal 5 hari seminggu
selama beberapa minggu. Setiap pengobatan hanya
memakan waktu beberapa menit.

19
b. Terapi radiasi internal
Sebuah tabung tipis yang ditempatkan di dalam vagina.
Suatu zat radioaktif dimasukkan ke dalam tabung tersebut.
Penderita mungkin harus tinggal di rumah sakit sementara
sumber radioaktif masih berada di tempatnya (sampai 3
hari). Efek samping tergantung terutama pada seberapa
banyak radiasi diberikan dan tubuh bagian mana yang di
terapi. Radiasi pada perut dan panggul dapat menyebabkan
mual, muntah, diare, atau masalah eliminasi. Penderita
mungkin kehilangan rambut di daerah genital. Selain itu,
kulit penderita di daerah yang dirawat menjadi merah,
kering, dan tender.
3) Kemoterapi
Diberikan sebelum operasi untuk memperkecil ukuran kanker
yang akan di operasi atau sesudah operasi untuk membersihkan
sisa-sisa sel kanker. Kadang dikombinasikan dengan terapi
radiasi tapi kadang juga tidak. Kemoterapi ini biasanya
diberikan dalam tablet/pil, suntikan, atau infus. Jadwal
pemberian ada yang setiap hari, sekali seminggu atau bahkan
sekali sebulan.Efek samping yang terjadi terutama tergantung
pada jenis obat-obatan yang diberikan dan seberapa banyak.
Kemoterapi membunuh sel-sel kanker yang tumbuh cepat,
terapi juga dapat membahayakan sel-sel normal yang
membelah dengan cepat, yaitu:
a. Sel darah: bila kemoterapi menurunkan kadar sel darah
merah yang sehat, penderita akan lebih mudah terkena
infeksi, mudah memar atau berdarah, dan merasa sangat
lemah dan lelah.
b. Sel-sel pada akar rambut: kemoterapi dapat menyebabkan
rambut rontok. Rambu tpenderita yang hilang akan tumbuh

20
lagi, tetapi kemungkinan mengalami perubahan warna dan
tekstur.
c. Sel yang melapisi saluran pencernaan: kemoterapi
menurunkan nafsu makan, mual-mual dan muntah, diare,
atau infeksi pada mulut dan bibir. Efek samping lainnya
termasuk ruam kulit, kesemutan atau mati rasa di tangan
dan kaki, masalah pendengaran, kehilangan keseimbangan,
nyeri sendi, atau kaki bengkak..
2.2.4 Diabetes Melitus Gestasional
A. Pengertian
Diabetes Melitus Gestasional Pada Kehamilan
Pengertian diabetes melitus gestasional (dm) pada kehamilan
diabetes melitus adalah penyakit kelainan metabolisme dimana
tubuh penderita tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat
gula (glukosa) dalamdarahnya. Penderita Diabetes Melitus (DM)
tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup sehingga
terjadi kesalahan terjadi kelebihan gula dalam tubuh (Rukiyah,
2014)
B. Gejala umum Diabetes Melitus Gestasional
a. Banyak kencing (poliuria)
b. Haus dan banyak minum (polidipsia),lapar (polifagia).
c. Letih,lesu.
d. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
e. Lemah badan, kesumutan, gatal, pandangan kabur
f. Peningkatan abnormal kandungan gula dalam darah
C. Etiologi
a. Metabolisme glukosa pada kehamilan
1. Janin menggunakan glukosa dari aliran darah ibu pada
kecepatan konstan. Wanita yang hamil mungkin megalami
gejala hipoglemia.

21
2. Gula darah puasa (GDP) normal pada kehamilan adalah
65mg/dl.
3. Gula darah satu jam pascaprandial meningkat setelah 20
minggu krena peningkatan hormon tertentu yang bersifat
antagonis terhadap insulin dan membuatnya kurang efektif.
a. Laktogen plasenta manusia ( human placental lactogen)
b. Kortisol
c. Esterogen
d. Progesteron
b. Kebutuhan insulin berubah selama kehamilan
1. Pada 20 minggu pertama kehamilan, kebutuhan insulin
menurun karena:
a. Bayi menggunakan glukosa dari aliran darah ibu pada
kecepatan konstan, meskipun hormon yang menetralkan
kerja insulin belum di produksi dalam jumlah yang
signifikan.
b. Mual muntah biasa terjadi sehingga asupan makanan ibu
kurang dari normal.
2. Terdapat peningkatan kebutuhan insulin pada 20 minggu
terakhir. Bila pankreas ibu tidak memproduksi insulin
tambahan ini, glukosa dari makanan yang ibu makan tidak
dapat digunakan oleh sel-sel ibu yang mengakibatkan
hiperglikemia dan ketosis.
D. Efek pada janin
1. Karena hiperglikemia pada ibu penderita diabetes, pankreas
bayi terstimulasi menjadi hiperinsulinisme yang
meningkatkan sintesis glikogen, lipogenesis, dan sintesis
protein, mengakibatkan makrosomia.
2. Pada ibu mungkin relatif asimtomatik karena vitamin hamil
sering mengeluh lapar, haus, dan poliuria. Namun tanpa

22
terapi, janin dalamkeadaan terancam. Selain makrosomia,
terdapat peningkatan insidens komplikasi perinatal, seperti :
a. Bayi lahir mati
b. Trauma lahir
c. Hipoglikemia neonatal
E.Klasifikasi menurut WHO
a. Diabetes Gestasional : merupakan diabetes melitus yang di
diagnosa untuk pertama kali selaam kehamilan.
b. Overt Diabetes :
1. Tipe 1. Insulin Dependent Diabetes
Melitus (IDDM) di mana diabetes telah
ada dari usia muda. Ini mrupakan bentuk
diabetes yang berat.
2. Tipe 2. Non Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM) yang merupakan dibetes yang
terjadi pada orang tua / dewasa, obesitas.
Merupakan diabetes bentuk sedang.
3. Gangguan Toleransi Glucosa, yang
merupakan diabetes bentuk ringan
F.Komplikasi
1. Ibu
a. Polihidramion bisa terjadi tanpa sebab yang tidak
diketahui: keadaan ini dapat berkembang menjadi ketuban
pecah dini (KPD),kegawatan nafas.
b. Kemungkinan terjadi preeklamsia meningkat empat kali.
c. Infeksi lebih sering terjadi dan mungkin menjadi lebih
berat.
d. Seksio sesaria lebih umum terjadi karena makrosomia
janin, kegawatan janin, dan kondisi yang memburuk pada
minggu terakhir kehamilan.

23
e. Lebih sering terjadi pendarahan pascapartum.
f. Komplikasi vasekular (mis,retinopati proliferasi dn
nefropati), khususnya individu yang sudah lama menderita
Diabetes
2. Janin
a. Makrosomia : dapat menyebabkan cedera lahir bila
perlahiran pervaginam
b. Hipoglikemia : Akibat putus hubungan yang tiba-tiba dari
ibu hipergklemia
c. Hipoklasemia :Akibat asfiksia, prematuritas, atau berbagi
macamkemungkinan lain
d. Gawat nafas idiopatik. Faktor –faktor yang menyebabkan :
1. Insidens bedah sesar yang tinggi.
2. Desakan pelahiran sebelum cukup bulan untuk
mengurangi mortalitas.
3. Morbiditas janin: sebesar 5-10% pada janin mengalami
malformasi kongenital dan 3% lainnya normal:
kelainan yang umumterjadi adalah defek septum
ventrikel dan gangguan saraf.
G. Penatalaksanan
1. Pencegahan
a. Anjurkan kunjungan yang teratur.
b. Periksa BB, TD, dan Kadar Glukosa setiap kunjungan
pranatal 2. Motivasi diet yang baik, mencakup
1. Penambahan BB
2. Diet tinggi-protein, seimbang-baik
2. Penanganan
a. Pengobatan medik dan berkerjasama dengan ahli
penyakit dalam Pemberian insulin
b. Penangan obsetrik :

24
1. Penanganan berdasarkan pertimbangan beratnya
penyakit, lama penderitaan, umur, paritas, riwayat
persalinan terdahulu dan ada tidaknya komplikasi.
2. Penyakit tidak berat persalinan biasa
3. Bila agak berat memerlukan insulin, induksi
persalinan lebih dini 36- 38 minggu.
4. Diabetes agak berat dengan komplikasi
(preeklampsi, hidramion dll), riwayat persalinan
yang lalu buruk. Induksi persalinan/ SC lebih dini.
5. Dalam pengawasan persalinan monitir janin
dengan baik (DDJ, EKG, USG)
6. Untuk kehamilan yang mengancam ibu dan janin
sarankan tubektomi (Ashari,2017).
2.2.5 Hipertiroidi pada Kehamilan
A. Pengertian Hipertitoid
Hipertiroid adalah suatu kondisi dimana suatu kelenjar
tiroid yang terlalu aktif menghasilkan suatu jumlah yang
berlebihan dari hormon-hormon tiroid yang beredar dalam darah.
Hipertiroid pada kehamilan (morbus basodowi) adalah hiperfungsi
kelenjar tiroid ditandai dengan naiknya metabolism basal 15-20%,
kadang kala disertai pembesaran ringan kelenjar tiroid.

25
B. Tanda Gejala Hipertiroid
ORGAN TANDA GEJALA
Susunan Saraf Labil/emosian, menangis tanpa
alasan yang jelas (iritabel)
psikosis, tremor, nervosatis, sulit
tidur, sulit konsentrasi
Mata Pandangan ganda, melotot
Kelenjar Thyroid Pembesaran tiroid
Jantung dan Paru Sesak nafas (dyspnea),
hipertensi, aritmia, berdebar –
debar, gagal jantung, tekanan
nadi meningkat (takikardi)
Saluran Cerna Sering BAB, lapar, banyak
makan, haus, muntah, berat
badan turun cepat, toleransi obat
Sistem Reproduksi Tingkat kesuburan menurun,
menstruasi berkurang, tidak
haid, libido menurun
Darah – limfatik Limfositosis, anemi, pembesaran
limpa, pembesaran kelenjar
limfe leher
Tulang Osteoporosis, epifisis cepat
menutup, nyeri tulang
Otot Lemah badan (thyrotoxic
periodic paralysis), reflex
meningkat, hiperkenesis, mudah
lelah, tangan gemetar

26
C. Etiologi Hipertiroid
Penyebab terjadinya hipertiroid antara lain :
1) Penyakit Graves : Penyakit tiroid autoimun yang antibodinya
merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon berlebihan
2) Toxic Multinodular Goiter : Beberapa nodul di dalam tiroid
menghasilkan terlalu banyak hormone tiroid dan berada di luar
kendali TSH (thyroid stimulating hormone).
3) Hipertiroid sekunder : Adanya perlawanan hipofisa terhadap
hormon tiroid, sehingga kelenjar hipofisa menghasilkan terlalu
banyak TSH
4) Tiroidit
5) Pemakaian Yodium secara Berlebihan
6) Pengaruh Obat-obatan Tertentu
7) Abnormalitas Pengeluaran TSH
D. Dampak Hipertiroid
Hipertiroid dapat berdampak pada ibu hamil dan janin. Ibu
hamil dengan hipertiroid memiliki resiko mengalami preeklampsia.
Sedangkan pada janin dapat mengakibatkan IUGR, prematuritas,
tirotoksikosis, goiter, hipotiroid, dan keguguran.
E. Diagnosis Hipertiroid
Diagnosis umum hipertiroid antara lain :
1. Pada kasus yang jelas diagnose klinis kehamilan dengan
hiperteroid mudah di tegakkan
2. Sebaiknya pada ksus yang ringan secara klinis maupun
laboratorium sulit untuk membuat diagnosis
3. Diagnosis hipertiroidisme harus selalu dikonfirmasi oleh
pengukuran FT4 dan TSH
Diagnosis prenatal antara lain :
1. Pemantauan janin dengan ultrasonografi (usg)
2. Konsultasi dengan spesialis kandungan atau dengan konsultan
fetomaternal sebaiknya dilakukan. Pemantauan meliputi

27
ultrasonografi untuk denyut jantung, pertumbuhan, volum cairan
amnion, dan goiter janin
F. Penatalaksanaan
1) Obat anti Tiroid
 Untuk mengatasi hipertiroid dapat digunakan obat anti
tiroid.
 Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis hormon
tiroid.
 Sintesis ini dihambat dengan mereduksi iodin
organifikasi dan kopling dari MIT dan DIT pada jalur
sintesis hormone tiroid. Obat golongan ini adalah
Propylthiouracil (PTU) dan Methimazole (MMI).
 Penggunaan obat anti-tiroid Propylthiouracil (PTU)
hanya terbatas pada trimester pertama, setelah itu
penggunaan Methimazole direkomendasikan.
2) Adrenergic beta blocker
 Penggunaan obat adrenergic beta blocker seperti
propranolol dengan dosis 20-40 mg setiap 6-8 jam
ditujukan untuk menghilangkan gejala adrenergik yang
ditimbulkan akibat hipertiroid.
 Gejalanya berupa tremor, takikardi, gelisah. Obat ini
harus diturunkan penggunaannya seiring dengan indikasi
klinis.
 Penggunaan obat beta blocker jangka panjang
berdampak pada kejadian Kecil masa kehamilan,
kelahiran prematur, kematian perinatal, bradikardia
janin, dan hipoglikemia neonatal
3) Pembedahan atau tiroidektomi
Pembedahan pada kehamilan lebih beresiko dibandingkan
dengan terapi obat. Hal ini berkaitan dengan abortus spontan
atau persalinan prematur.

28
2.2.6 Hemoroid pada Kehamilan
A. Pengertian Hemoroid
Varises vena rektal dan mungkin pertama kali muncul
selama kehamilan karena tekanan vena panggul meningkat.
Hemorrhoid sering terjadi selama kehamilan yang sebagian besar
disebabkan oleh konstipasi dan peningkatantekanan dalam vena di
bawah rahim yang membesar.
B. Fisiologi Hemoroid
Progesterone menginduksi relaksasi pada dinding vena
rektum dengan bersamaan membesarnya uterus menyebabkan
penyumbatan vena panggul. Hemorrhoid dapat terjadi kapan saja
selama kehamilan, tetapi kemungkinan besar ada di trimester
ketiga. Ibu hamil sangat rentan menderita hemoroid karena
meningkatnya kadar hormon kehamilan yang melemahkan dinding
vena bagian anus. Banyak ibu hamil yang mendertita hemoroid
setelah 6 bulan usia kehamilan karena adanya peningkatan tekanan
vena di area panggul.
C. Klasifikasi Hemoroid
i. Hemorhoid Internal
Hemorhoid yang terjadi di atas linea dentata, timbul dari
pleksus hemoroid superior dan ditutupi oleh selaput lendir yang
dipersarafi oleh epitel kolumnar dan mengalir ke sirkulasi portal.
ii. Hemorhoid Eksternal
Hemorhoid yang ditemukan di sebelah distal dari linea
dentata, ditutupi zona anoderm,timbul dari pleksus hemoroidalis
inferior rektum dan mengalir ke vena cava dan ditutupi oleh
skuamosaepitel.
3. Hemorhoid eksterna akut. Bentuk akut berupa pembengkakan
bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan
hematoma.

29
4. Hemorhoid eksterna kronik. Disebut juga skin tags, berupa
satu atau lebih lipatan kulit yang terdiri dari jaringan
penyambung sedikit pembuluh darah. Sering merupakan
kelanjutan dari hemorhoid eksterna yang mengalami
trombosis.
D. Patogenesis Hemoroid
Hemorhoid adalah suatu bantalan jaringan ikat di bawah
lapisan epitel saluran anus. Bantalan ini merupakan bagian normal
dari anorektum manusia dan telah ada sejak dalam rahim. Bantalan
ini juga memberi informasi sensorik penting dalam membedakan
benda padat, cair atau gas. Secara teoritis, manusia memiliki 3 buah
bantalan pada posterior kanan, anterior kanan, dan lateral kiri.
Apabila bantalan mengalami pembesaran hingga menonjol keluar,
mengalami trombosis hingga nyeri, atau mengalami perdarahan,
maka timbul suatu keadaan patologis yang disebut ’Penyakit
hemorhoid’.
E. Etiologi dan Faktor Risiko Hemoroid
Penyebab hemorhoid secara pasti tidak diketahui, konstipasi
kronis dan mengejan saat defekasi dapat berperan penting.
Mengejan secara terus-menerus dan BAB yang keras menyebabkan
pembesaran dan prolaps sekunder bantalan pembuluh darah
hemorhoidalis. Jika mengejan terus menerus, pembuluh darah
menjadi berdilatasi secara progresif dan jaringan submukosa
kehilangan perlekatan normalnya dengan sfingter interna di
bawahnya, yang menyebabkan prolaps hemorhoid yang klasik dan
berdarah.
Menurut Marvin L Corman, ada empat teori mayor yang
berhubungan dengan faktor penyebab timbulnya hemorhoid:
1. Adanya dilatasi abnormal dari vena di dalam pleksus vena
hemorroidalis interna, yang merupakan percabangan dari vena
hemorroid superior dan tengah.

30
2. Adanya distensi abnormal dari anastomosis arteriovena yang
lokasinya sama dengan pembengkakan anus.
5. Perubahan tempat atau prolaps dari pembengkakan anus
6. Adanya kerusakan dari sistem jaringan penghubung
F. Gejala Hemoroid
a). Gejala terkait berkisar dari gatal dubur, sampai perdarahan
ringan atau berat hingga nyeri hebat pada trombosisambeien.
b). Gumpalan di dalam eksternal ambeien menyebabkan rasa sakit
yang parah dan bisa berdarah jika menggumpal mengikis
melalui kulit di atasnya.
c). Berbeda dengan ambeien luar, ambeien dalam biasanya
berdarah tanpa rasa sakit dan jika mereka prolaps melaluianus,
mereka mungkin hadir dengan perasaan tidak nyaman,gatal dan,
dengan rasa sakit
G. Diagnosis Hemoroid
Diagnosis hemorhoid ditegakkan dengan penilaian secara
subyektif dan obyektif. Penilaian subyektif mencakup anamnesis.
Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang
keras, yang membutuhkan tekanan abdominal yang meninggi
(mengejan), pasien sering duduk lama di WC, dan dapat disertai
rasa nyeri bila terjadi peradangan. Secara garis besar anamnesis
meliputi :
a) Riwayat penyakit, antara lain :
1. Riwayat keluarga
2. Riwayat penderita
3. Multiparitas
4. Peningkatan usia
5. Obesitas
6. Sembelit atau mengejan saat buang air besar
7. Duduk untuk jangka waktu yang lama

31
b) Keluhan prolaps perianal atau benjolan, rasa tidak nyaman, sakit,
atau bengkak.
c) Klien dapat mengeluh perdarahan perianal
1. Tanpa rasa sakit, perdarahan merah terang pada permukaan
kotoran pada saat buang air besar (diagnosis hemorhoid
interna)
2. Perdarahan spontan (diagnosis hemorhoid interna dan
eksterna yang besar)
Setelah dilakukan penilaian subyektif, dilanjutkan dengan
penilaian obyektif, yang meliputi :
1. Inspeksi
2. Rectal Toucher (Colok Dubur)
3. Anoskopi
4. Proktosigmoidoskopi
5. Pemeriksaan Feses
6. Pemeriksaan laboratorium darah

2.2.7 Servik Inkompeten


A. Pengertian Inkompetensi Serviks
Inkompetensi serviks adalah ketidakmampuan serviks
dalam mempertahankan janin, tanpa disertai tanda dan gejala
kontraksi uterus dan persalinan, sebelum kehamilan minggu ke 37.
Inkopentesi sekviks yang tidak disertai nyeri dan dapat
menyebabkan prolapse membran, ketuban oecah dini atau
kelahiran premature. Inkopetensi serviks dikenal sebagai penyebab
keguguran terlambat atau disebut juga late miscarriage. Penipisan
pada serviks (effacement) dan dilatasi terjadi sebelum waktunya
tanpa rasa sakit, sehingga mengakibatkan seluruh atau sebagian
produk konsepsi keluar tanpa adanya kontraksi uterus (Pulungan et
al., 2020).

32
Selama kehamilan, serviks (mulut rahim) akan menutup
akibat adanya gumpalan lender. Terkadang serviks akan mulai
membuka sebelum masa kehamilan berakhir, biasanya hal ini
terjadi pada bulan ketiga atau kemepat. Hal ini disebut serviks
inkompetensi. Suatu pembukaan dari serviks akan mengakibatkan
kantong amnion menonjol keluar saluran vagina dan pecah
sehingga dapat mengakibatkan keguguran. Pada wanita dalam
presentasi kecil dengan kehamilan yang jauh dari aterm, serviks
yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi bukan sebagai
akibat dari peningkatan aktivitas uterus, melainkan akibat dari
kelemahan intrinsic uterus sehingga menyebabkan ketuban pecah
(Astuti & Ertiana, 2018).
Serviks inkompeten ditandai oleh pembukaan serviks tanpa
nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga, disertai
dengan prolapse dan penggelembungan membrane ke dalam
vagina, diikuti oleh rupture membran dan ekspulsi janin imatur.
Kecuali jika diterapi dengan efektif, rangkaian kejadian ini
cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Meskipun
penyebabnya inkompeten serviks belum jelas, namun riwayat
trauma pada serviks (dilatasi dan kuretase, konisasi, kauterisasi)
tampaknya merupakan faktor pada banyak kasus. Pada kasus-kasus
lain yang berperan adalah kelainan perkembangan serviks,
termasuk akibat pajanan dietilstilbestrol in utero (Leveno et al.,
2002).
B. Gejala Inkompetensi Serviks :
a). Panggul terasa pegal yang disebabkan karena tekanan pada
Rahim
b). Sakit punggung bawah
c). Kram perut ringan
d). Warna cairan keputihan tidak wajar (warna putih, kuning atau
kecoklatan)

33
e). Bercak darah
C. Penyebab Inkompetensi Serviks
Penyebab inkompetensi serviks belum jelas namun riwayat
trauma pada serviks (dilatasi dan kuretase, konisasi, kauterisasi
atau amputasi) tampaknya merupakan faktor pada banyak kasus.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa etiologi dari inkompetensi
serviks sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Diduga 3 faktor
yang memegang peranan penting dalam terjadinya inkompetensi
serviks, yaitu :
a). Faktor kongenital
Akibat perkembangan abnormal jaringan fibromuskular
serviks menyebabkan kelemahan serviks tersebut. Kelainan ini
jarang ditemukan. Pada primigravida yang tidak pernah
mengalami trauma pada serviks jarang menderita kelainan ini.
b). Faktor akuisita
Akibat trauma sebelumnya pada serviks uteri yang
mencapai ostium uteri internum, misalnya pada persalinan
normal, tindakan cunam yang traumatik, kesulitan ekstraksi
bahu, seksio sesaria di daerah serviks yang terlalu rendah,
dilatasi dan kuretase berlebihan, amputasi serviks, konisasi
ataupun kauterisasi. Kelainan ini lebih sering ditemukan.
c). Faktor fisiologik
Hal ini ditandai dengan pembukaan serviks normal
akibat kontraksi uterus yang abnormal. Dikemukakan bahwa
ibu-ibu hamil yang menggunakan dietilstilbestrol akan
berakibat janin perempuan yang dikandungnya mempunyai
resiko tinggi untuk menderita inkompetensi serviks.
D. Diagnosis
Diagnosis inkompetensi serviks umumnya dimulai dari
kecurigaan dalam anamnesis. Seringkali, pasien dengan
inkompetensi serviks memiliki riwayat persalinan persalinan

34
premature pada kehamilan sebelumnya. Selain itu, mengeluhkan
rasa ditekan pada pelvis, nyeri pinggang. Pengukuran panjang
serviks menggunakan USG transvaginam, serta pengukuran kadar
fetal fibronectin (fFN) dapat membantu penegakan diagnosis
(Pulungan et al., 2020). Menurut Manuaba et al (2007) diagnosis
inkompetensi serviks antara laian anamnesis abortous atau
persalinan premature yang berulang, dijumpai serviks yang
terbuka, ketuban menonjol, dan mudah pecah.
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkompetensi serviks adalah dengan
tindakan cervical cerclage dan pemberian progesteron.
F. Terapi Farmakologis
American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan pemberian progesteron pada
wanita dengan riwayat kelahiran prematur untuk menurunkan
risiko rekurensi di kehamilan berikutnya. Progesteron biasanya
diberikan pada usia kehamilan 16-24 minggu dan dilanjutkan
hingga usia kehamilan 36 minggu. Suntik hormone progesterone
ini bertujuan untuk menguatkan jaringan serviks dan rahim agar
tidak terjadi inkompetensi serviks. Suntik progesteron biasanya
tidak selalu efektif untuk semua kasus inkompetensi serviks,
terlebih bila ibu mengandung bayi kembar atau lebih.
a) Ikat Serviks (Cervix Cerclage)
Tindakan cervical cerclage adalah meletakan jahitan atau
pita (tape) di sekeliling serviks untuk mengencangkan dan
menjaga serviks tetap tertutup. Prosedur ini umumnya dilakukan
di akhir trimester pertama atau awal trimester kedua, kemudian
dilepaskan pada minggu ke-37. Cervical cerclage atau sirklase
serviks dapat dilakukan secara transvaginal dan transabdominal.
Dua teknik yang umum digunakan adalah teknik McDonald dan
Shirodkar. Tidak didapati data yang menyatakan salah satu

35
teknik lebih unggul dari yang lainya. Sirklase serviks dapat
dibagi menjadi sirklase profilaksis dan terapeutik. Sirklase
profilaksis dilakukan secara elektif pada wanita yang berisiko
tinggi mengalami inkompetensi serviks berdasarkan riwayat
obstetri dan telah terbuki terdapat pemendekan serviks yang
disertai dengan dilatasi. Sirklase profilaksis normalnya
dilaksanakan antara usia kehamilan 12–14 minggu dan dilepas
secara elektif di usia kehamilan 36-38 minggu. American
College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG)
merekomendasikan sirklase serviks profilaksis dilakukan hanya
pada wanita dengan riwayat keguguran, karena tidak ditemukan
manfaat bermakna pada wanita dengan serviks yang pendek.
Sirklase terapeutik umumnya dilakukan pada keadaan gawat
darurat. Indikasi sirklase terapeutik adalah adanya tanda klinis
atau hasil USG yang menunjukkan dilatasi serviks >2 cm tanpa
adanya kontraksi. Penting untuk memastikan tidak ada gejala
korioamnionitis sebelum melakukan tindakan. Beberapa peneliti
menganjurkan untuk melakukan amniosintesis sebelum sirklase
terapeutik, namun belum ada studi yang mengonfirmasi manfaat
dari pendekatan ini
Jika serviks pada ibu hamil mulai terbuka atau
memendek dari yang seharusnya, maka dokter akan melakukan
prosedur lanjutan yaitu cervix cerclage. Sebelum dilakukan
prosedur cervix cerclage untuk inkompeten serviks, dokter akan
memantau kandungan ibu hamil dengan menggunakan
menggunakan USG setiap pemeriksaan. USG berguna untuk
memeriksa panjang leher rahim, dilakukan setiap dua minggu
dari minggu ke-15 sampai minggu ke-24. Prosedur ikat serviks
dilakukan dengan cara memasukkan alat berupa spekulum ke
dalam vagina. Saat memasukkan alat ini, spekulum dimasukkan
bersama USG untuk melihat dengan jelas bagian serviks mana

36
yang akan diikat dan dijahit. Berikut merupakan contoh gambar
Cerlage tipe jahitan McDonald (dengan jahitan seperti dompet,
tidak ada diseksi dan terletak pada os serviks eksterna)dan
Shirodkar (dengan jahitan tunggal, memerlukan diseksi dan
letaknya berdekatan os serviks interna)
Setelah prosedur jahitan karena inkompetensi serviks ini
selesai, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan USG lagi
untuk memeriksa kondisi bayi yang ada di dalam kandungan.
Efek yang ditimbulkan setelah menjalani prosedur ikat rahim,
ibu hamil kemungkinan dapat mengalami keluar bercak darah,
kram, dan nyeri saat kencing. Setelah menjalani prosedur ini,
ibu hamil dianjurkan tidak boleh berhubungan seks selama
seminggu, ini bertujuan untuk memastikan vagina dan serviks
telah pulih dari trauma. Beberapa wanita mungkin perlu
dipasangkan cerclage darurat pada kehamilan lanjut jika terjadi
perubahan seperti pembukaan atau pemendekan serviks. Jika
sudah ada riwayat pemasangan cerclage darurat pada kehamilan,
selanjutnya juga wanita ini akan memerlukan pemasangan
cerclage pada serviksnya.
b) Terapi Non-Farmakologis
Terapi nonfarmakologis pada kasus inkompetensi serviks
adalah dengan pembatasan aktivitas, tirah baring, dan istirahat
panggul. Hal tersebut sering disarankan klinisi, namun belum
terbukti efikasinya secara ilmiah dalam pengobatan
inkompetensi serviks.

37
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fetomaternal merupakan salah satu cabang sub spesialisasi ilmu
kedokteran Obstetri Ginekologi yang menganalisa perkembangan dan
kondisi janin. Fetomaternal diagnostik adalah metode yang dapat
diandalkan untuk memantau secara dini kondisi kesehatan kandungan
sehingga bayi lahir dengan baik dan proses persalinan berjalan lancar.
Fetomaternal adalah sub spesialisasi dari bagian kandungan dan
kebidanan (obstetri dan ginekologi). Sub spesialisasi ini berfokus pada
deteksi dan mendignosis kelainan pada fetal (janin) dan maternal (ibu).
Pemeriksaan ini meliputi deteksi dini fetal abnormalitas, deteksi
keguguran, dan stillbirth, kelahiran prematur dan skrining kelainan
kromosom.
Dengan mengetahui kondisi janin sedini mungkin, ibu hamil
mendapatkan penanganan khusus agar proses kehamilan berjalan lancar.
Selain itu, proses persalinan dapat dipersiapkan agar sesuai dengan kondisi
kehamilan. Fetomaternal Diagnostik menggunakan teknologi USG 4D
dengan dokter dan tim medis berpengalaman.
3.2 Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembacanya dan
khususnya bagi mahasiswa Poltekkes Kemenkes bisa menjadi bahan
referensi untuk penyusunan makalah/ Karya Tulis Ilmiah selanjutnya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, et al. 2014. Treatment and Prevention of Rh Isoimmunization.India.


Society of Fetal Medicine DOI : 10.1007/s40556-014-0013-z
Arnold, K. C., & Flint, C. J. (2017). Management of Alloimmunization
During Pregnancy. In K. C. Arnold & C. J. Flint, Obstetrics
Essentials (pp. 33–37). Springer International Publishing.
https://doi.org/10.1007/978-3-319- 57675-6_6
Arosa, F. (2017). Mengenal Penyakit Hemolitik Pada Bayi Baru Lahir. Jurnal
Riset Kesehatan, 5(2), 104.
Chacham, S., Reddy, D. S., Reddy, U. N., Khan, W., Nandita, S., Anumula,
S., Sravani, J., & Adil, F. (2016). Neonatal Outcomes of Rh-
Negative Pregnancies in a Tertiary Level Neonatal Intensive
Care Unit: A Prospective Study. Journal of Comprehensive
Pediatrics, 7(3). https://doi.org/10.17795/compreped-36573.
Deswita, Fiana dkk. 2019.Penyakit Tiroid pada Kehamilan: Diagnosis dan
Manajemen. Ilmu Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung
Djokomoeljanto R. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme In:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. 4 ed. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 2007:1933-43
Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Guyton AC. Guyton Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3 ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996: 667-740,
Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya: Himpunan
Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi
Indonesia
https://doi.org/10.31983/jrk.v5i2.1836
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560488/#article-28508.s2
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s40556-014-0013-
z.pdfTreatment and Prevention of Rh Isoimmunization. DOI
10.1007/s40556-014-0013-z
Infodatin.2015.Situasi dan analisis penyakit tiroid.Jakarta : Pusat Data
Informasi Kementrian RI
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2004. Kepaniteraan Klinik Obstetri dan
Ginekologi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Manurung, N. (2017). Sistem Endokrin. Deepublish.
Maryanti, D. (2019). Monograf Kelainan Bawaan. Deepublish.

39
Naga, Sholeh S, 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam.
Jogjakarta : Diva Press.
Nikmah, Zanu Miftahun. 2020. Algazel, Bayi Tangguhku – Perjuangan
Melawan Mitochondrial Disease. Yogyakarta: Siletto Book
Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Rasida Ning Atiqoh, S. Tr. K. (2020). Kupas Tuntas Hiperemesis
Gravidarum (Mual Muntah Berlebih Dalam Kehamilan). One
Peach Media.
Rukiyah, Yeyeh. 2014. Asuhan kebidanan patologi kebidanan. Jakarta :trans
info media
S, Yuvens & B, Pribakti. 2020. Kehamilan Pada Wanita Rhesus Negatif.
Banjarmasin: Jurnal Medika.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Jakarta :
EGC.
Sinclair, C. (2010). Buku Saku Kebidanan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sinclair. (2009). Buku Saku Kebidanan. EGC
Suparman Erna, 2021. Hipertiroid dalam Kehamilan. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Sam Ratulangi-
RSUD.Prof.Dr.R.D.Koundou
Suparman, E. (2021). Hipertiroid dalam Kehamilan. E-CliniC, 9(2), 479–485.
https://doi.org/10.35790/ecl.v9i2.34907

40

Anda mungkin juga menyukai