Anda di halaman 1dari 38

PREEKLAMPSIA BERAT

LAPORAN KASUS

disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya


SMF Ilmu Penyakit Obstetri dan Ginekologi RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Bagus Aditya Ansharullah
182011101009

Pembimbing
dr. Dion Juniar Fitra, Sp.OG

SMF ILMU PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 3
2.1 Definisi ........................................................................................... 3
2.2Epidemiologi................................................................................... 4
2.3 Etiologi ........................................................................................... 5
2.4 Faktor Risiko................................................................................. 9
2.5 Patofisiologi ................................................................................... 11
2.6 Gejala Klinis .................................................................................. 15
2.7 Diagnosis ........................................................................................ 15
2.8 Diagnosis Banding ........................................................................ 16
2.9 Penatalaksanaan ........................................................................... 17
2.10 Komplikasi .................................................................................. 23
2.11 Prognosis...................................................................................... 23
BAB 3. TINJAUAN KASUS ....................................................................... 24
3.1 Identitas Pasien ............................................................................. 24
3.2 Anamnesis ...................................................................................... 24
3.3 Pemeriksaan Umum ..................................................................... 26
3.4 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 26
3.5 Resume ........................................................................................... 27
3.6 Diagnosis Kerja ............................................................................. 28
3.7 Planning ......................................................................................... 28
3.8 Observasi. ...................................................................................... 29
3.9 Hasil Laboratorium .............................................................. 32
3.10 Penatalaksanaan ......................................................................... 32
3.10 Diagnosis Keluar ......................................................................... 33
3.11 Prognosis...................................................................................... 33

ii
BAB 4. PEMBAHASAN .......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 36

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan


serius di Indonesia dan belum bisa terselesaikan sampai saat ini. AKI di Indonesia
merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Tahun 2012, Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mencatat kenaikan AKI yang
signifikan yaitu dari 228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2015 adalah 305 per 100.000
kelahiran hidup yang mana menempatkan Indonesia pada peringkat ke-10 di dunia
dan peringkat ke–2 di ASEAN sebagai negara dengan angka kematian ibu
terbanyak. Hal ini menandakan bahwa angka kematian ibu di Indonesia masih
jauh dari target yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yaitu 102 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
Jawa Timur menjadi salah satu dari 5 besar provinsi yang menyumbang
angka kematian terbesar atau 50% angka kematian Ibu di Indonesia (Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten). Selama tahun 2014
didapatkan 567 kematian Ibu di Jawa Timur dengan proporsi kematian terbanyak
di kota Surabaya (39 kematian).
Banyak faktor yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu di
Indonesia, salah satunya adalah hipertensi, yang termasuk didalamnya adalah
preeklampsia. Pada tahun 2014, didapatkan proporsi penyebab terbanyak angka
kematian Ibu di Jawa Timur adalah Preeklampsia-eklampsia (29,9%).
Hipertensi pada kehamilan merupakan salah satu penyulit kehamilan yang
paling umum terjadi. Sebagian besar negara masih mengaitkan kematian maternal
akibat komplikasi obstetrik sebanyak 18.5% dengan hipertensi pada kehamilan.5,6
Selain memberikan efek buruk bagi ibu, hipertensi pada kehamilan juga
mempengaruhi hasil luaran janin seperti kecil masa kehamilan, asfiksia, dan
prematuritas.7 Selain menyebabkan morbiditas pada ibu, preeklampsia juga bisa
menyebabkan morbiditas pada janin yang berada dalam kandungan ibu yang
menderita preeklampsia.10 Efek dari preeklampsia terhadap janin sangat besar
2

karena pada preeklampsia terjadi implantasi plasenta yang tidak sempurna


sehingga menyebabkan buruknya aliran darah dari ibu ke janin. Akibat dari hal
tersebut adalah terjadinya dampak terhadap janin yang berada dalam kandungan
ibu.11 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai
kasus preeklamsia yang merupakan salah satu penyumbang terbanyak AKI di
Indonesia dan dapat menyebabkan dampak buruk terhadap hasil luaran janin
(kecil masa kehamilan, asfiksia, prematuritas) yang dilahirkan tersebut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah


sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka
waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal),
jantung (penyakit jantung koroner), dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak
dideteksi secara dini dan mendapat pengobatan yang memadai (Infodatin, 2014).
Menurut National High Blood Pressure Education Program Working
Group on High Blood Pressure in Pregnancy, terdapat 4 jenis hipertensi dalam
kehamilan. Keempat jenis hipertensi dalam kehamilan tersebut antara lain
hipertensi kronis, hipertensi kronis superimposed preeclampsia, hipertensi
gestasional, preeklampsia dan eklampsia.
Hipertensi Kronis didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi sebelum
kehamilan atau didapatkan pada usia kehamilan < 20 minggu dan hipertensi
menetap hingga > 12 minggu setelah persalinan.
Hipertensi Kronis superimposed preeklampsia yaitu suatu kondisi dimana
didapatkan kondisi hipertensi kronis yang memberat dengan tanda-tanda
preeklampsia setelah usia kehamilan ≥ 20 minggu.
Hipertensi gestasional yaitu hipertensi yang baru terjadi pada usia
kehamilan ≥20 minggu tanpa disertai gangguan organ dan tidak menetap > 12
minggu setelah persalinan. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan tekanan darah
≥140/90 mmHg, tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah
normal di usia kehamilan <12 minggu, tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes
celup urin), dan diagnosis pasti ditegakkan pascapersalinan.
Preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada usia
kehamilan ≥ 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Diagnosis preeklampsia
4

dapat ditegakkan apabila ditemukan adanya tekanan darah ≥140/90 mmHg dna
minimal salah satu dari adanya proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥+2 dipstik,
serum kreatinin > 1,1 mg/dl, edema paru, peningkatan fungsi liver (lebih dari dua
kali dan atau diserai nyeri epigastrial/kuadran kanan atas), trombosit < 100. 000,
nyeri kepala dan gangguan penglihatan, serta gangguan pertumbuhan janin.
Setelah menegakkan diagnosis preeklampsia, perlu dilakukan klasifikasi
apakah pada preeklampsia itu terjadi gejala berat (selanjutnya dapat disebut
Preeklampsia Berat) jika pada diagnosis preeklampsia tersebut, didapatkan adanya
TD ≥ 160/110, Serum kreatinin > 1,1 mg / dl, Peningkatan fungsi liver (lebih dari
dua kali dan atau disertai nyeri epigastrial / kuadran kanan atas), Trombosit
<100.000, Nyeri kepala dan gangguan penglihatan, Gangguan pertumbuhan janin.
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan
preeklampsia yang sebelumnya telah menunjukan gejala-gejala preeklampsia.3
Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul
serangan kejang yang diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering pada
primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia
dibedakan eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum
(eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum).

2.2 Epidemiologi

Menurut Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pada tahun


2016, tiga penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan (30%),
hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan
kasus preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di
negara maju. Prevalensi preeklampsia di negara maju adalah 1,3% - 6%,
sedangkan di negara berkembang mencapai 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di
Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3% dari kasus pada
kehamilan dan cenderung tidak ada penurunan bermakna dalam dua dekade
terakhir.
5

Menurut Gumilar et al. tahun 2016 jika melihat dari angka absolut AKI, Jawa
Timur masih menjadi salah satu satu dari 5 besar provinsi yang menyumbang
angka kematian ibu terbesar dari total 50% angka kematian Ibu di Indonesia
bersama Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten. Selama tahun
2014 didapatkan 567 kematian Ibu di Jawa Timur dengan proporsi kematian
terbanyak di kota Surabaya (39 kematian).
Berbagai strategi dan kebijakan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah,
dinas kesehatan dan beberapa instansi terkait telah dilakukan namun belum cukup
untuk menurunkan angka kematian akibat dari preeklampsia. Masalah yang sering
terjadi di lapangan adalah banyaknya variasi prosedur dan protokol yang
menyebabkan kebingungan dari berbagai pihak pelayanan kesehatan untuk
melakukan tatalaksana tertentu karena tidak didasari oleh landasan teori dan
pemahaman yang cukup baik. Selain itu kurangnya kesiapan sarana dan prasarana
di daerah menjadi penyebab utama masih rendahnya respon penanganan untuk
preeklampsia pada ibu hamil (Noroyono, 2016).

2.3 Etiologi

Sampai saat ini belum ada teori yang dapat menerangkan secara pasti
mengenai penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil. Menurut
Cunningham et al. tahun 2014 penyebab dari preeclampsia dikarakteristikan oleh
adanya abnormalitas di pembuluh darah berupa jejas sel endotel vaskular diikuti
vasospasme, transudasi plasma, serta sekuel iskemik dan trombotik.
Berikut adalah beberapa teori yang menerangkan proses terjadinya
preeklampsia menurut Saiffudin et al., tahun 2014 :
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium menjadi arteri arkuarta dan memberi cabang ke arteri
radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis kemudian
memberi cabang ke arteri spiralis. Kemudian dengan sebab yang belum jelas,
terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya
6

sehingga matriks lapisan tersebut menjadi kendor dan diikuti oleh degenerasi
lapisan otot arteri spiralis. Hal ini akan mempermudah distensi dan vasodilatasi
arteri spiralis. Distensi dan vasodolatasi lumen arteri spiralis berdampak pada
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada region sirkulasi uteroplasenta. Akibatnya, perfusi ke jaringan janin
meningkat sehingga dapat mendukung pertumbuhan janin. Proses ini disebut
dengan remodeling arteri spiralis.
Pada kejadian hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis mengalami
vasokonstriksi relative yang berlanjut pada kegagalan remodelling arteri spiralis
sehingga sirkulasi uteroplasenta akan menurun dan terjadi proses hipoksia dan
iskemia plasenta. Dengan berkurangnya aliran darah akibat iskemi, jaringan
sekitar plasenta akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gangguan organ
pada preeklampsia (Cunningham et al., 2014).

b. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas dan Disfungsi Endotel


Teori ini menjelaskan tentang proses iskemia pada plasenta akibat proses
remodeling arteri spiralis. Plasenta yang iskemik dan hipoksik akan
menghasilkan bahan oksidan atau radikal bebas. Salah satu oksidan penting yang
dihasilkan adalah radikal hidroksil yang bersifat toksik khususnya terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran
sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak kemudian akan merusak membran sel, nukleus, dan protein sel
endotel.
Pada kondisi awal proses destruksi ini masih dapat dikompensasi dengan
adanya produksi bahan antioksidan pada tubuh contohnya vitamin E. Sehingga
terjadi dominasi kadar oksidan peroksida yang lebih tinggi. Peroksida lemak
sebagai oksidan yang sangat toksik ini akan beredar di di seluruh tubuh dan
merusak membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan
7

terganggunya fungsi endotel, keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu
terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi endotel, akan terjadi
gangguan metabolisme prostaglandin dan terjadi agregasi platelet pada daerah
endotel yang mengalami kerusakan (Saiffudin et al., 2014). Karena gangguan
metabolisme prostaglandin, pada saat yang sama agregasi platelet memproduksi
tromboksan A2, suatu vasokonstriktor kuat, maka cenderung meningkatkan
sensitivitas terhadap angiotensin II yang mengakibatkan vasokonstriksi dan
menimbulkan hipertensi (Cunningham et al., 2014). Selain itu juga disfungsi
endotel mengakibatkan perubahan khas pada endotel kapiler glomerulus,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi bahan-bahan
vasopressor, dan peningkatan faktor koagulasi (Saiffudin et al., 2014).

c. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


Pada plasenta ibu yang mengalami preeklampsia terjadi penurunan ekspresi
HLA-G. Berkurangnya HLA-G ini di desidua daerah plasenta, menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangatlah penting agar jaringan
desidua menjadi lunak dan gembur, sehingga memudahkan terjadinya dilatasi
arteri spiralis (Saiffudin et al., 2014).

d. Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada kehamilan normal pembuluh darah cenderung refrakter atau tidak peka
terhadap bahan-bahan vasopresor karena sintesis prostaglandin jenis prostasiklin
(PGI2) pada sel endotel yang melindungi pembuluh darah dari bahan-bahan
tersebut. Pada kondisi preeklampsia, sintesis dari prostasiklin ini menurun
sehingga pembuluh darah akan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasopresor sehingga lebih peka terhadap bahan tersebut dan muncul respon
vasokonstriksi (Saiffudin et al., 2014).

e. Teori Genetik
Preeklampsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Risiko
insiden preeklampsia meningkat 20-40% pada anak dari ibu yang pernah
8

mengalami preklampsia, 11-37% pada saudara perempuan seorang penderita


preeklampsia, dan 22-47% pada saudari kembar. Mungkin keadaan ini
merupakan akibat interaksi ratusan gen yang diwariskan dan dapat mengendalikan
sejumlah besar fungsi metabolik dan enzimatik di sistem organ (Cunningham et
al., 2014).

f. Teori Defisiensi Gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penilitian terakhir
menunjkkan bahwa konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia.
Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tak jenuh yang dapat menghambat
produksi tromboksanA2 dan aktivasi trombosit sehingga mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah (Saiffudin et al., 2014). Penelitian oleh John dkk pada tahun 2002
juga menunjukkan bahwa diet buah dan sayur akan membantu meningkatkan
kadar bahan antioksidan di tubuh dan membantu menurunkan peningkatan
tekanan darah. Penelitian oleh Zhang dkk tahun 2002 juga menunjukkan
insidensipreeklampsia meningkat sebanyak 2 kali lipat pada wanita yang
mengonsumsi asam askorbat < 85 mg per hari. Penelitian ini diikuti oleh
penelitian dari Vilar dkk pada tahun 2006 yang menunjukkan hasil bahwa
suplementasi kalsium pada daerah dengan konsumsi kalsium rendah tidak
berkaitan erat dengan insidensi preeklampsia di daerah tersebut (Cunningham et
al., 2014).

2.4 Faktor Risiko


Wanita hamil dengan usia muda dan wanita nulipara lebih mudah terkena
preeklampsia, sedangkan wanita dengan usia lebih tua berisiko mengalami
hipertensi kronis dengan preeclampsia superimposed. Hal ini diduga berkaitan
erat dengan faktor genetik dari ras dan etnis dimana dari kasus preeklampsia yang
muncul sebanyak 5% adalah wanita berkulit putih, 9% dari wanita Hispania, dan
11% dari wanita Afrika-Amerika. Faktor lain yang mempengaruhi meliputi
9

pengaruh lingkungan, sosioekonomi, musim, obesitas, kehamilan ganda, usia ibu,


dan adanya sindroma metabolik (Cunningham et al., 2014).
1) Umur ibu > 35 tahun
Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insiden preeklampsia meningkat
sebesar > 3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi
hipertensi yang menetap (Manuaba, 2004). Risiko preeklampsia pada kehamilan
kedua dan seterusnya akan meningkat dengan pertambahan usia ibu yaitu
sebanyak 1,3 kali lipat setiap 5 tahun pertambahan umur (Noroyono, 2016).
2) Nulipara
Wanita nulipara memiliki risiko 3 kali lipat lebih tinggi terkena
preeklampsia (Noroyono, 2016)
3) Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
merupakan salah satu faktor risiko utama dimana dapat berisiko hingga 7 kali lipat
kembali terkena preeklampsia dan juga berkaitan dengan preeklampsia berat,
preeklampsia onset dini, serta dampak perinatal yang buruk (Noroyono, 2016)
4) Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma (Noroyono, 2016).
5) Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Risiko timbulnya
preeklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan
kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak antar kehamilan) (Noroyono, 2016).
6) Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko timbulnya
preeklampsia hingga 3 kali lipat (Noroyono, 2016). Diduga adanya suatu sifat
resesif yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia
10

merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
anak wanita dari ibu penderita preeklampsia atau mempunyai riwayat
preeklampsia dalam keluarga (Manuaba, 2004)

7) Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko timbulnya preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa lebih
lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan kehamilan duplet (Noroyono, 2016).
8) IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil (Noroyono, 2016)
9) Hipertensi kronik
Pada penelitian yang dilakukan Chappell dkk tahun 2008 yang melibatkan
861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeclampsia
superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah preeklampsia
onset dini (<34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.
Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat
dinilai secara dini sebagai prediktor timbulnya preeclampsia superimposed pada
wanita dengan hipertensi kronik yaitu riwayat preeklampsia sebelumnya, penyakit
ginjal kronis, merokok, obesitas, TD diastolik > 80 mmHg, dan TD sistolik > 130
mmHg (Noroyono, 2016).
10) Penyakit Ginjal
Risiko preeklampsia akan semakin meningkat seiring dengan tingkat
keparahan dari penyakit ginjal yang diderita oleh wanita hamil tersebut
(Noroyono, 2016)
11) Sindrom antifosfolipid (APS)
Dari 2 studi kasus kontrol yang dilakukan oleh Duckitt tahun 2005
menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin,
antikoagulan lupus atau keduanya) di tubuh akan meningkatkan risiko
timbulnyapreeklampsia hingga 10 kali lipat (Noroyono, 2016).
11

12) Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio


Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko diduga akibat dari maladaptasi imun
(Noroyono, 2016)
13) Obesitas sebelum hamil
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko timbulnya
meningkat dengan semakin tingginya Indeks Massa Tubuh (IMT).Obesitas juga
sangat berhubungan dengan resistensi insulin juga merupakan faktor risiko
preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko timbulnya preeklampsia sebanyak
2,47 kali lipat. Pada studi kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelo dan Belizan
pada 878.680 kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada
kehamilan di populasi wanita yang kurus (BMI < 19,8) adalah 2,6% dibandingkan
10,1% pada populasi wanita yang gemuk (BMI > 29,0) (Noroyono, 2016)
14) Indeks masa tubuh > 30
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m² menjadi 13,3% pada wanita dengan
Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m² (Manuaba, 2004).
15) Tekanan darah diastolic > 80 mmHg
16) Proteinuria dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam.

2.5 Patofisiologi
Meskipun penyebab jelas dari preeklampsia masih belum diketahui, bukti
timbulnya manifestasi klinis preeklampsia mulai tampak sejak awal kehamilan,
berupa gejala yang samar-samar hingga muncul dengan jelas secara klinis di
kemudian hari. Jika preeklampsia tidak dideteksi dan ditangani sejak dini maka
akan menimbulkan komplikasi pada organ tubuh mulai dari komplikasi yang
ringan hingga mengancam nyawa dari ibu maupun janin. Mekanisme terjadinya
preeklampsia diduga akibat dari vasospasme, disfungsi endotel, dan iskemia pada
pembuluh darah (Cunningham, et al., 2014).
12

Mekanisme vasospasme pada pembuluh darah disebabkan oleh


meningkatnya aktivasi bahan-bahan vasopresor seperti angiotensin II dan
endothelin yang jumlahnya cenderung mendominasi pada wanita hamil diikuti
oleh menurunnya produksi bahan-bahan vasodilator seperti nictric oxide dan
prostasiklin. Bahan-bahan vasopresor tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi
dan meningkatkan resistensi perifer pembuluh darah sehingga terjadi hipertensi.
Pada saat yang sama akibat dari vasokonstriksi yang berlebihan akan terjadi stress
oksidatif pada pembuluh darah sehingga menimbulkan jejas pada sel endotel
kemudian terjadi kebocoran cairan ke intertisial dimana darah termasuk platelet
dan fibrinogen akan terdeposit di region subendotel. Hal ini akan menyebabkan
perubahan struktur maupun obstruksi pada pembuluh darah yang kemudian
berlanjut dengan penurunan aliran darah. Penurunan aliran darah ini akan
mengakibatkan iskemia dan berakhir dengan nekrosis pada jaringan pembuluh
darah. Jika terjadi pada sistem organ di tubuh maka akan mengakibatkan
kerusakan dari sistem organ tersebut (Cunningham et al., 2014).
Proteinuria masuk dalam kriteria minimal dalam penegakkan diagnosis
preeklampsia. Pada kehamilan normal, aliran darah ginjal dan glomerular
filtration rate (GFR) umumnya meningkat. Namun, pada kondisi preeklampsisa
akibat dari stres oksidatif pada pembuluh darah juga mengakibatkan perubahan
anatomis maupun fungsi fisiologis ginjal dimana terjadi peningkatan dari arteriol
aferen ginjal dan endoteliosis glomerulus akan menyebabkan obstruksi pada
fungsi filtrasi glomerulus. Hal ini akan mengakibatkan penurunan perfusi ginjal
dan GFR. Perubahan degeneratif dalam glomerulus menyebabkan kehilangan
protein melalui urin. Rasio albumin/globulin dalam urin pasien preeklampsia-
eklamsia kira-kira 3:1. (Benson & Pernoll, 2013).
Pengaruh dari preeklampsia berefek pada berbagai sistem organ yaitu :
a. Sistem Kardiovaskular
Pada sistem kardiovaskular terjadi gangguan pada fungsinya disebabkan
oleh peningkatan afterload cairan akibat hipertensi, penurunan preload akibat
vasokonstriksi secara menyeluruh dan peningkatan permeabilitias vaskuler
sehingga terjadi kondisi hipovolemia, serta aktivasi zat-zat endothelial yang
13

menyebabkan ekstravasasi cairan ke lumen ekstraseluler, terutama ke paru-paru


(Roberts, 2013).

b. Perubahan pada sistem hematologi


Pada preeklampsia yang berat akibat dari jejas pada endotel disertai dengan
adherensi dan deposit fibrin dan platelet dapat terjadi hemolisis (ditandai dengan
peningkatan LDH dan haptoglobin pada serum darah). Selain itu akibat dari
peningkatan dari agregasi platelet juga mengakibatkan tubuh masuk pada kondisi
trombositopenia. Menurut penelitian dari Leduc pada tahun 1992 semakin rendah
jumlah platelet maka tingkat kematian janin dan ibu akan meningkat
(Cunningham et al., 2014). Pada kebanyakan kasus umumnya persalinan tetap
dilanjutkan. Setelah proses persalinan trombositopenia akan terjadi selama hari
pertama dan kedua kemudian jumlah trombosit akan meningkat secara progresif
menuju tingkat normal dalam 3 sampai 5 hari. Namun, pada beberapa kasus PEB
yang disertai dengan komplikasi HELLP syndrome platelet akan terus menurun
setelah persalinan (Roberts, 2013).
c. Gangguan Ginjal
Pada kehamilanan normal aliran darah ginjal dan fungsi filtrasi glomerulus
umumnya akan meningkat. Namun pada kondisi preeklampsia akan terjadi
perubahan secara anatomis maupun dari fisiologis dimana perfusi ke ginjal dan
filtrasi glomerulus akan menurun disebabkan oleh penurunan volume plasma,
peningkatan resistensi arteriolaferen ginjal, dan endoteliosis glomerulus yang
menyebabkan hambatan pada saluran di ginjal. Hal ini dapat dibuktikan dengan
peningkatan serum kreatinin> 1,1 mg/ml. Pada kebanyakan wanita dengan
preeklampsia juga terjadi oliguria diikuti peningkatan konsentrasi natrium, asam
urat, dan kalsium di urin pada pemeriksaan laboratorium. Hal ini dapat terjadi
karena kegagalan pada fungsi filtrasi maupun reabsorbsi pada ginjal (Roberts,
2013).
14

d. Gangguan Hati
Pada hepar, akibat dari iskemia pada pembuluh darah, dapat terjadi infark
kemudian diikuti perdarahan di regioperiportal hepar. Pada infark dan perdarahan
yang parah dapat terjadi hematoma pada hepar. Gangguan pada hepar dapat
dideteksi dengan adanya nyeri perut di regioepigastrik dan kuadran kanan atas
juga kenaikan serum transaminase pada pemeriksaan laboratorium (Roberts,
2013).
e. Gangguan pada sistem respirasi
Pada wanita dengan preeklampsia, akibat dari jejas pada endotel dan
peningkatan permeabilitas vaskuler, dapat terjadi ekstravasasi cairan ke lumen
ekstraseluler termasuk dalam paru-paru. Pemberian cairan berlebih pada wanita
preeklampsia dapat memperparah kondisi tersebut dan menyebabkan edema pada
paru-paru (Roberts, 2013).
f. Gangguan neurologis
Pada wanita dengan preeklampsia dapat terjadi gangguan neurologis. Ada 2
teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya gangguan neurologis tersebut. Teori
yang pertama menyatakan bahwa disfungsi endotel akibat dari hipertensi akan
menyebabkan overregulasi pada pembuluh darah di otak yang menyebabkan
vasospasme. Hal ini akan berlanjut dengan penurunan aliran darah ke otak, edema
sitotoksik, dan infark pada jaringan otak.
Teori yang kedua menyatakan akibat peningkatan tekanan darah sistemik
secara tiba-tiba terutama di daerah kapiler otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik, hiperperfusi, serta ekstravasasi sel darah dan plasma yang
kemudian berlanjut dengan edema vasogenik. Regio yang paling sering terkena
dampak pada preeclampsia adalah region korteks pariteooksipital otak. Perubahan
ini dapat dideteksi dengan munculnya manifestasi klinis berupa nyeri kepala dan
scotomata (akibat dari hiperperfusi pada lobus oksipital otak), kejang (akibat
pelepasan berlebih dari neurotransmiter otak dan eksitasi berlebih pada jaringan
saraf), kebutaan, dan edema serebrigeneralisata (Roberts, 2013).
g. Gangguan sirkulasi uteroplasenta
15

Defek pada invasi trofoblas pada wanita dengan preeklampsia akan


menyebabkan gangguan sirkulasi dari ibu ke janin. Hal ini dapat berakibat dengan
restriksi pada pertumbuhan janin (Roberts, 2013).

2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis yang timbul pada preeklampsia adalah :
a. Hipertensi;
b. Gangguan pada fungsi ginjal berupa oliguria, anuria, dan proteinuria;
c. Gejala neurologis yaitu sakit kepala, gangguan penglihatan, gangguan
kesadaran;
d. Edema perifer;
e. Nyeri di region epigastrik abdomen atau di kuadran kanan atas abdomen;
f. Sesak; dan
g. Gangguan pertumbuhan janin.

2.7 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat dapat ditegakkan jika ada diagnosis
preeklampsia disertai salah satu dari kriteria klinis pemberatan preeklampsia
tersebut yaitu :
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama;
b. Proteinuria :kadar proteinurin ≥300 mg dalam 24 jam atau pada tes urindipstik
menunjukkan protein positif ≥1.
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu
dibawah ini:
a. Trombositopenia: trombosit < 100.000/mikroliter;
16

b. Gangguan ginjal:kreatinin serum > 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan


kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak adakelainan
ginjal lainnya;
c. Gangguan liver : peningkatan serum transaminase 2 kali kadar normal dan atau
adanya nyeri regioepigastrik / kuadran kanan atas abdomen;
d. Edema paru;
e. Gangguan neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus; atau
f. Gangguan sirkulasi uteroplasenta: oligohidramnion, fetal growth restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity
(ARDV).

2.8 Diagnosis Banding


a. Hipertensi Kronik
Hipertensi yang terjadi sebelum kehamilan atau muncul pada usia
kehamilan < 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali terdiagnosa setelah usia
kehamilan > 20 minggu dan menetap hingga >12 minggu pasca persalinan.
b. Hipertensi Kronik dengan Preeklampsia Superimposed
Hipertensi kronik yang memberat disertai dengan tanda-tanda preeclampsia
pada usia kehamilan ≥ 20 minggu.
c. Hipertensi gestasional
Hipertensi yang baru terjadi pada usia kehamilan ≥ 20 minggu tanpa disertai
tanda – tanda preeklampsia dan tidak menetap > 12 minggu setelah persalinan dan
disebut juga transient hypertension.
d. Sindroma HELLP
Ialah preeklampsia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan
enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopenia. Sindroma HELLP didahului
dengan :
1) Keluhan yang tidak khas yaitu malaise, lemah, nyeri kepala , mual, muntah.
2) Terdapat tanda gejala preeklampsia,
3) Tanda hemolisis intravaskuler (kenaikan LDH, AST dan bilirubin indirek)
4) Tanda disfungsi sel hepar (kenaikan ALT, AST, LDH)
17

5) Trombositopenia (≤ 150.000/ml)

2.9 Penatalaksanaan
Pengelolaan preeklampsia mencakup :
-
Pencegahan kejang
-
Pengobatan hipertensi
-
Pengelolaan cairan
-
Pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat
-
Waktu yang tepat untuk persalinan
Penderita preeklampsia berat (PEB) harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri) (Moeloek, 2006).
1. Pengelolaan Cairan
Penderita preeklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oliguria sehingga pengelolaan cairan sangat penting. Oleh karena itu
monitoring input dan output cairan harus diukur secara tepat. Cairan diberikan
dapat berupa:
a) RD5% atau cairan garam fisiologis jumlah tetetsan <125 cc/jam atau
b) D5% yang dimana tiap 1 liter diselingi RL (60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
jika produksi < 30cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500cc/24 jam.
2. Pencegahan dan Pengelolaan Kejang
Obat anti kejang berupa:
a) MgSO4
Magnesium sulfat menghambat dan menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serabut saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan
pertama untuk anti kejang pada preeklampsia
18

Cara pemberian:
1. Alternatif 1 (Pemberian kombinasi iv dan im) (untuk Faskes primer, sekunder
dan tersier)
Loading dose
 Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest)
 Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing – masing pada bokong
kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1mL Lidokain 2%
untuk mengurangi nyeri.
Maintenance Dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian setiap 6
jam.

2. Alternatif 2 (Pemberian iv saja) (hanya untuk Faskes sekunder dan tersier)


Initial Dose
 Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest).
 Dilanjutkan Syringe pump atau infusion pump
Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau 6g
(MgSO4 40%) diencerkan dengan 15cc aquabidest dan berikan selama 6
jam.
 Atau dilanjutkan Infusion Drip *
Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau 6g
(MgSO4 40%) diencerkan dengan 500cc kristaloid dan berikan selama 6
jam (28 tetes / menit)
19

3. Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO4


Tambahan 2g iv bolus (MgSO4 20%) 10cc (jika tersedia MgSO4 40%,
berikan 5cc diencerkan dengan 5cc aquabidest). Berikan selama 2 – 5 menit,
dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang kembali beri diazepam

Syarat pemberian MgSO4 :


Laju nafas > 12x/menit, refleks patela (+), produksi urin 100cc/4jam
sebelum pemberian, tersedianya Calcium Glukonas 10% 1g (10cc) iv sebagai
antidotum.

Evaluasi syarat pemberian MgSO4:


Setiap akan memberikan maintenance dose (im intermitent) pada
ALTERNATIF 1 dan setiap jam jika menggunakan ALTERNATIF 2 (syringe
pump / infusion pump, continuous pump)
MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir
(jika terjadi kejang postpartum)

Pengobatan Hipertensi
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/105 atau MAP <
125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.

1. Antihipertensi lini pertama


Nifedipin  dosis 10-20 mg per oral diulangi setelah 30 menit, maksimum
120 mg dalam 24 jam / 5-10 mg setiap 8 jam. Dapat diberikan bersama
metildopa 250-500mg setiap 8 jam

2. Antihipertensi lini kedua


Sodium nitroprusside  0,25
20

Penanganan Aktif
Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas
perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli
berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34
minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk
mencegah progresifitas PEB.

Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu
maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:
 Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten
 setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b. tanda dan gejala impending eklampsia
c. gangguan fungsi hepar
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan ≥ 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom
HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk
PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan
janinnya. Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan
terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian
juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan
21

kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. Ahmed M dkk pada sebuah
review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi kehamilan adalah terapi efektif
untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan anti kejang,
magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK juga mencatat
bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara
vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.

Penanganan ekspektatif
Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum
cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan
sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia
kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan
ibu
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien
PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi
kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat
mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB
dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih
disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson
dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan
usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid
mempercepat pematangan paru. Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga
menunda kelahiran pasien dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio
lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan ketidakmatangan paru. Banyak peneliti
lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada
kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan hasil
perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB
22

dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4,
hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau
ketat di ruang rawat inap. Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena
indikasi ibu dan janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok
penanganan aktif diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien
pada kelompok ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu.
Odendaal dkk juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok
dengan penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan Witlin dkk
melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan
peningkatan usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif. Sedangkan
Haddad B37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia kehamilan 24-33
minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada
kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara
angka kematian ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan
penanganan PEB secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu
menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu
(Saifuddin et al., 2014).

Pada pasien dengan PEB, sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam


dengan beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Penderita belum inpartu
1. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥ 8
2. Dalam melakukan induksi persalinan, bila perlu dapat dilakukan
pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah
mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan
dianggap gagal dan harus disusul dengan pembedahan sesar.
3. Pembedahan sesar dapat dilakukan jika tidak ada indikasi untuk
persalinan pervaginam atau bila induksi persalinan gagal, terjadi
maternal distress, terjadi fetal distress, atau umur kehamilan <33
minggu.
b. Bila penderita sudah inpartu
23

1. Perjalan persalinan diikuti dengan grafik Friedman


2. Memperpendek kala II
3. Pembedahan secara SC dilakukan bila terdapat maternal distress dan
fetal distress.
4. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar.
5. Anastesi: regional anastesia, epidural anastesia. Tidak dianjurkan
anastesia umum.

2.10 Komplikasi

Komplikasi terberat kematian pada ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsi. Komplikasi yang
biasa terjadi :
a. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
b. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.
c. Nekrosis hati, akibat vasospasme arteriol di hepar.
d. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, elevated liver enzymes dan low platelet
count.
e. Gangguan ginjal.
f. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
g. Prematuritas, dismaturitas, kematian janin intrauterin.

2.11 Prognosis
Prognosis dari ibu dan janin pada pasien preeklampsia tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam proses skrining dan penanganannya. Penanganan
dan skrining yang cepat dan tepat dapat meningkatkan kemungkinan selamatnya
ibu maupun janin.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N
Umur : 30 Tahun
Suku : Madura
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jember
MRS : 25-12-2019
Tanggal Pemeriksaan : 26-12-2019

3.2 Anamnesis

Pasien datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas Mangli
jam 01.45 dengan G2P1001Ab000 gr 40-41 mgg J/T/H + Kala 1 Fasa Laten +
PEB.
a. Keluhan Utama : Pasien sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh sesak sejak 25 Desember
2019 pukul 18.00. Pasien merasa keluar cairan jernih pukul 09.00 (25
Desember 2019). Kemudian pasien pergi ke puskesmas pukul 13.00 (25
Desember 2019). Di puskesmas Pasien diperiksa dalam didapatkan ø
sebesar 2 cm, DJJ 144x/menit dan tekanan darah 140/90 mmHg proteinuri
+2, lalu pasien di injeksi MgSO4 loading dose pukul 19.00. Pasien dirujuk
ke RSDS pukul 00.40 karena PEB. Di PONEK IGD RSD dr. Soebandi
tekanan darah pasien 140/90.
25

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Asma : disangkal
Alergi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Asma : disangkal
Alergi : disangkal
e. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Siklus : ± tiap 28 hari, teratur
Lama : 7 hari
Dismenorhea : tidak dirasakan nyeri selama haid
HPHT : 13 Maret 2019
HPL : 20 Desember 2019
f. Riwayat Perkawinan
Menikah : 1 kali
Lama menikah : 9 tahun
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
1. Perempuan/ 8 tahun/ spontan/ dukun/ 3000gr/
2. Hamil ini
h. Riwayat KB
Suntik 3 bulan
i. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pola makan pasien sehari-hari baik
dan teratur. Pasien mengaku tidak memiliki kecenderungan mengonsumsi jenis
makanan tertentu. Pasien tidak memiliki kebiasaan minum alkohol dan
merokok. Hubungan pasien dengan keluarga serta lingkungan sekitar baik.
26

3.3 Pemeriksaan Umum

Tinggi badan : 156 cm


Berat badan : 60 kg
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Suhu (axiller) : 36,6 °C
RR : 26 x / menit

3.4 Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Kepala : Oedem kelopak mata - / -
Konjunctivaanemis - / -
Sclera icterus - / -
Sianosis (-)
Dyspnea (+)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
Pulmo : Suara nafas
Simetris +/+, vesikuler +/+, Rhonkhi +/+ , Wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)
Abdomen : BU (+) dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat + + oedema - -
+ + + +
27

b. Status Obstetri
Mammae :kolostrum (-), hiperpigmentasi areola mammae,
penonjolan glandula mammae (-)
Abdomen : Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)
Auskultasi : DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 35
cm, punggung kiri, dengan presentasi
kepala, masuk pintu atas
panggul (PAP). His (+) 2x10’15”
Genitalia : VT ø 2 cm, efficement 25%, ketuban (+), letak kepala,
bidang Hodge 1, posisi porsio medial dengan konsistensi
lunak, denominatior UUK jam 1, ukuran panggul dalam
batas normal.
TBJ : 3565 gr

3.5 Resume

Ibu usia 30 tahun datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas
jam 01.45 dengan G2P2002Ab000 uk 40-41 mgg inpartu Kala I fase laten dengan
PEB.
Pasien merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh sesak sejak 25 Desember
2019 pukul 18.00. Pasien merasa keluar cairan jernih pukul 09.00 (25 Desember
2019). Kemudian pasien pergi ke puskesmas pukul 13.00 (25 Desember 2019). Di
puskesmas Pasien diperiksa dalam didapatkan ø sebesar 2 cm, DJJ 144x/menit
dan tekanan darah 140/90 mmHg proteinuri +2, lalu pasien di injeksi MgSO4
loading dose pukul 15.00. Pasien dirujuk ke RSDS pukul 05.10 karena PEB. Di
PONEK IGD RSD dr. Soebandi tekanan darah pasien 140/90.
28

3.6 Diagnosis Kerja

G2P1001Ab000 gr 40-41 mgg janin T/H Inpartu Kala 1 Fase Laten + PEB

3.7 Planning

 Edukasi :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
tindakan yang dilakukan, serta prognosisnya
 Diagnostik :
 DL, KK, UL
 TTV
 NST
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Terapi :
 Infus RL
 Nifedipin 3x10 mg
 Dopamet 3x250 mg
 Injeksi MgSO4 40% maintenance dose I.M
 Evaluasi tiap 4 jam
 Pro OD jika NST baik
 Obstetri
 Terminasi Kehamilan
 Monitoring :
 Keluhan pasien
 TTV
 DJJ
29

3.8 Observasi

Tanggal Jam Estima SOAP TD N RR Tax


si urine (mmHg) (x/mn (x/mnt) (°C)
t)
26/12/2019 01.00 - VT Ø 2 cm, 140/110 84 20 36,8
eff 25%, ket
(+), kepala H
I, his
2x10’15”,
DJJ
124x/menit

26/12/2019 01.00 1200 cc his 2x10’15”, 140/100 84 20 36,5


DJJ
132x/menit

- Injeksi
MgSO4
40% I.M
(Boka)
- Pro Induksi
Persalinan

26/12/2019 06.00 VT Ø 3 cm, 160/90 88 20 36,5


eff 25%, ket
(+), kepala H
I, his
2x10’20”,
DJJ
136x/menit
26/12/2019 07.00 Pro SC 150/90 84 20 36,6
Injeksi
MGSO4 40%
IM

26/12/2019 10.00 Lahir bayi 130/90 88 20 36,6


30

perempuan,
langsung
menangis,
ketuban
keruh, AS
7-8, BB
3000, PB 55
cm

13.00 450 ml - Observasi 130/90 92 20 36,5


TTV
- Injeksi
MgSO4
40% I.M
(Boki)
19.00 600cc - Observasi 130/90 88 20 36,6
TTV
- Injeksi
MgSO4
40% I.M
(Boka)
27/12/2019 01.00 500 - Observasi 140/100 90 20 36,8
TTV
- Injeksi
MgSO4
40% (Boki)
- p.o
Nifedipine
tab10mg
Dopamet tab
500mg
27/12/2019 07.00 S/ Tidak ada 120/80 76 20 36,8
keluhan

O/ KU:cukup
Kes: CM
K/L a/i/c/d=-
/-/-/-
Abd: 2 jari
31

bawah pusat,
uc baik

Ge:lochea (+)
rubra

A/
P2002 Post
Partus SC ai
PEB H1

P/ Cefadroxyl
3x500 mg
Nifedipin
3x10mg
Asam
mefenamat
3x500mg
KRS

3.9 Hasil Laboratorium

DL UL

Hb : 10,0 Protein : positip 2


Lekosit: 10,5 Blood Makros : positip 3
Hematokrit: 29,8
Trombosit: 243

3.10 Penatalaksanaan

Terapi post SC
1. Antrain 3x1
2. As. Tranexamat 3x1
32

3. Metroclopramide 3x1
4. Anbacim 2x1
 Terapi :
 Injeksi MgSO4 40% loading dose I.M
 Nifedipine tab 3x10 mg P.O
 Cefadroxyl 3x500 mg P.O
 Asam Mefenamat 3x500mg P.O
 Monitoring :
 Keluhan pasien
 Fluksus
 TTV
 Kontraksi uterus
 Urine output

3.11 Diagnosis Keluar

P2002 SC ai PEB H3

3.12 Prognosis

Quo ad vitam: bonam


Quo ad functionam: bonam
33

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis preeklampsia dalam kehamilan dapat ditegakkan berdasarkan


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Berikut adalah
perbandingan antara teori dan temuan klinis yang dijumpai pada pasien yang
mendukung diagnose terjadinya preeklampsia.

No. Teori Pasien


1. Anamnesis -
a. Riwayat keluarga preeklampsia
b. Primigravida
c. Kehamilan kembar
d. Primitua sekunder (jarak antar kehamilan >
10 tahun)
e. Usia > 35 tahun
f. Body Mass Index (BB/{TB}2 > 30) /
obesitas
g. Mean Arterial Pressure ({Sistolik + 2
Diastolik}/3) > 90
h. Riwayat Hipertensi dalam Kehamilan
i. Hipertensi Kronis
j. Kelainan Ginjal
k. Diabetes
l. Penyakit Autoimun
2. Penegakkan diagnosis preeklampsia harus - Tekanan Darah:
memenuhi kkriteria minimal sebagai berikut: 140/90
 Hipertensi: tekanan darah minimal 140 - Proteinuria: + 2
mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik - Edema Paru
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
34

menit menggunakan lengan yang sama;


 Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥ 2+
dipstik
 Serum kreatinin > 1,1 mg/dl
 Edema paru
 Peningkatan fungsi liver (lebih dari dua kali
atau disertai nyeri epigastrial / kuadran
kanan atas)
 Trombosit < 100.000
 Nyeri kepala dan gangguan penglihatan
 Gangguan pertumbuhan janin
Diagnosis preeklampsia berat dapat
ditegakkan jika ada diagnosis
preeklampsia disertai salah satu dari
kriteria klinis pemberatan preeklampsia
tersebut, yaitu:
 TD ≥ 160/110
 Proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥ +2
dipstik
 Serum kreatinin > 1,1 mg/dl
 Peningkatan fungsi liver (lebih dari dua kali
atau disertai nyeri epigastrial / kuadran
kanan atas)
 Trombosit < 100.000
 Nyeri kepala dan gangguan penglihatan
 Gangguan pertumbuhan janin
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Barry, Chris. 2011. Hypertension in Pregnancy The Management of


Hypertensive Disorders During Pregnancy. Edisi Pertama Cetakan Kedua.
London : Royal College of Obstetrics and Gynecologists.

2. Benson, R. C., & Pernoll, M. L. (2013). Buku Saku Obstetri dan


Ginekologi (9 ed.). (S. S. Primarianti, & T. Resmisari, Eds.) Jakarta: EGC.

3. Cunningham, F. G., Lenevo, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J.


S., Hoffman, B. L. 2014. Williams Obstetrics (24th ed.). United States:
McGraw-Hill Education.

4. Gumilar D., Prof.dr. Erry, Sp.OG (K). 2017. Rekomendasi Preeklampsia-


Eklampsia dan Perdarahan Pasca Persalinan. Surabaya : Satgas Penakib.

5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Survei Demografi dan


Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan Indonesia.

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan


Indonesia 2014. Jakarta: Kementrian Kesehatan Indonesia.

7. Manuaba, I. B. (2004). Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi.


Jakarta: EGC.

8. Moeloek, Prof. Dr. dr. Anfasa, Sp. OG, KFER. 2006. Standar Pelayanan
Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia.

9. Pusat Data dan lnformasi Kementerian Kesehatan Rl. Hipertensi. Jakarta:


Infodatin Pusat Data dan lnformasi Kementerian Kesehatan Rl; 2014.
10. Roberts, James M. 2013. Hypertension in Pregnancy. Edisi Pertama.
Washington DC : American College of Obstetrics and Gynecologists.

11. Saiffudin, dr. Abdul Bari , M.P.H., Sp. OG. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi
Ke IV.Jakarta: PT. Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo.

12. Wibowo, DR. dr. Noroyono, Sp. OG (K). 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. Jakarta :
POGI.

Anda mungkin juga menyukai