LAPORAN KASUS
Oleh
Bagus Aditya Ansharullah
182011101009
Pembimbing
dr. Dion Juniar Fitra, Sp.OG
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….. 3
2.1 Definisi ........................................................................................... 3
2.2Epidemiologi................................................................................... 4
2.3 Etiologi ........................................................................................... 5
2.4 Faktor Risiko................................................................................. 9
2.5 Patofisiologi ................................................................................... 11
2.6 Gejala Klinis .................................................................................. 15
2.7 Diagnosis ........................................................................................ 15
2.8 Diagnosis Banding ........................................................................ 16
2.9 Penatalaksanaan ........................................................................... 17
2.10 Komplikasi .................................................................................. 23
2.11 Prognosis...................................................................................... 23
BAB 3. TINJAUAN KASUS ....................................................................... 24
3.1 Identitas Pasien ............................................................................. 24
3.2 Anamnesis ...................................................................................... 24
3.3 Pemeriksaan Umum ..................................................................... 26
3.4 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 26
3.5 Resume ........................................................................................... 27
3.6 Diagnosis Kerja ............................................................................. 28
3.7 Planning ......................................................................................... 28
3.8 Observasi. ...................................................................................... 29
3.9 Hasil Laboratorium .............................................................. 32
3.10 Penatalaksanaan ......................................................................... 32
3.10 Diagnosis Keluar ......................................................................... 33
3.11 Prognosis...................................................................................... 33
ii
BAB 4. PEMBAHASAN .......................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 36
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
dapat ditegakkan apabila ditemukan adanya tekanan darah ≥140/90 mmHg dna
minimal salah satu dari adanya proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥+2 dipstik,
serum kreatinin > 1,1 mg/dl, edema paru, peningkatan fungsi liver (lebih dari dua
kali dan atau diserai nyeri epigastrial/kuadran kanan atas), trombosit < 100. 000,
nyeri kepala dan gangguan penglihatan, serta gangguan pertumbuhan janin.
Setelah menegakkan diagnosis preeklampsia, perlu dilakukan klasifikasi
apakah pada preeklampsia itu terjadi gejala berat (selanjutnya dapat disebut
Preeklampsia Berat) jika pada diagnosis preeklampsia tersebut, didapatkan adanya
TD ≥ 160/110, Serum kreatinin > 1,1 mg / dl, Peningkatan fungsi liver (lebih dari
dua kali dan atau disertai nyeri epigastrial / kuadran kanan atas), Trombosit
<100.000, Nyeri kepala dan gangguan penglihatan, Gangguan pertumbuhan janin.
Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan
preeklampsia yang sebelumnya telah menunjukan gejala-gejala preeklampsia.3
Eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut
dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa
didahului oleh tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul
serangan kejang yang diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering pada
primigravida daripada multipara. Tergantung dari saat timbulnya eklampsia
dibedakan eklampsia gravidarum (eklampsia antepartum), eklampsia parturientum
(eklampsia intrapartum), dan eklampsia puerperale (eklampsia postpartum).
2.2 Epidemiologi
Menurut Gumilar et al. tahun 2016 jika melihat dari angka absolut AKI, Jawa
Timur masih menjadi salah satu satu dari 5 besar provinsi yang menyumbang
angka kematian ibu terbesar dari total 50% angka kematian Ibu di Indonesia
bersama Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten. Selama tahun
2014 didapatkan 567 kematian Ibu di Jawa Timur dengan proporsi kematian
terbanyak di kota Surabaya (39 kematian).
Berbagai strategi dan kebijakan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah,
dinas kesehatan dan beberapa instansi terkait telah dilakukan namun belum cukup
untuk menurunkan angka kematian akibat dari preeklampsia. Masalah yang sering
terjadi di lapangan adalah banyaknya variasi prosedur dan protokol yang
menyebabkan kebingungan dari berbagai pihak pelayanan kesehatan untuk
melakukan tatalaksana tertentu karena tidak didasari oleh landasan teori dan
pemahaman yang cukup baik. Selain itu kurangnya kesiapan sarana dan prasarana
di daerah menjadi penyebab utama masih rendahnya respon penanganan untuk
preeklampsia pada ibu hamil (Noroyono, 2016).
2.3 Etiologi
Sampai saat ini belum ada teori yang dapat menerangkan secara pasti
mengenai penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil. Menurut
Cunningham et al. tahun 2014 penyebab dari preeclampsia dikarakteristikan oleh
adanya abnormalitas di pembuluh darah berupa jejas sel endotel vaskular diikuti
vasospasme, transudasi plasma, serta sekuel iskemik dan trombotik.
Berikut adalah beberapa teori yang menerangkan proses terjadinya
preeklampsia menurut Saiffudin et al., tahun 2014 :
a. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium menjadi arteri arkuarta dan memberi cabang ke arteri
radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis kemudian
memberi cabang ke arteri spiralis. Kemudian dengan sebab yang belum jelas,
terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya
6
sehingga matriks lapisan tersebut menjadi kendor dan diikuti oleh degenerasi
lapisan otot arteri spiralis. Hal ini akan mempermudah distensi dan vasodilatasi
arteri spiralis. Distensi dan vasodolatasi lumen arteri spiralis berdampak pada
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran
darah pada region sirkulasi uteroplasenta. Akibatnya, perfusi ke jaringan janin
meningkat sehingga dapat mendukung pertumbuhan janin. Proses ini disebut
dengan remodeling arteri spiralis.
Pada kejadian hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi trofoblas
pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis mengalami
vasokonstriksi relative yang berlanjut pada kegagalan remodelling arteri spiralis
sehingga sirkulasi uteroplasenta akan menurun dan terjadi proses hipoksia dan
iskemia plasenta. Dengan berkurangnya aliran darah akibat iskemi, jaringan
sekitar plasenta akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gangguan organ
pada preeklampsia (Cunningham et al., 2014).
terganggunya fungsi endotel, keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu
terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi endotel, akan terjadi
gangguan metabolisme prostaglandin dan terjadi agregasi platelet pada daerah
endotel yang mengalami kerusakan (Saiffudin et al., 2014). Karena gangguan
metabolisme prostaglandin, pada saat yang sama agregasi platelet memproduksi
tromboksan A2, suatu vasokonstriktor kuat, maka cenderung meningkatkan
sensitivitas terhadap angiotensin II yang mengakibatkan vasokonstriksi dan
menimbulkan hipertensi (Cunningham et al., 2014). Selain itu juga disfungsi
endotel mengakibatkan perubahan khas pada endotel kapiler glomerulus,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan produksi bahan-bahan
vasopressor, dan peningkatan faktor koagulasi (Saiffudin et al., 2014).
e. Teori Genetik
Preeklampsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Risiko
insiden preeklampsia meningkat 20-40% pada anak dari ibu yang pernah
8
merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
anak wanita dari ibu penderita preeklampsia atau mempunyai riwayat
preeklampsia dalam keluarga (Manuaba, 2004)
7) Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko timbulnya preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa lebih
lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat
dibandingkan kehamilan duplet (Noroyono, 2016).
8) IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes
terjadi sebelum hamil (Noroyono, 2016)
9) Hipertensi kronik
Pada penelitian yang dilakukan Chappell dkk tahun 2008 yang melibatkan
861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan insiden preeclampsia
superimposed sebesar 22% (n=180) dan hampir setengahnya adalah preeklampsia
onset dini (<34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.
Pada penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa ada 7 faktor risiko yang dapat
dinilai secara dini sebagai prediktor timbulnya preeclampsia superimposed pada
wanita dengan hipertensi kronik yaitu riwayat preeklampsia sebelumnya, penyakit
ginjal kronis, merokok, obesitas, TD diastolik > 80 mmHg, dan TD sistolik > 130
mmHg (Noroyono, 2016).
10) Penyakit Ginjal
Risiko preeklampsia akan semakin meningkat seiring dengan tingkat
keparahan dari penyakit ginjal yang diderita oleh wanita hamil tersebut
(Noroyono, 2016)
11) Sindrom antifosfolipid (APS)
Dari 2 studi kasus kontrol yang dilakukan oleh Duckitt tahun 2005
menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin,
antikoagulan lupus atau keduanya) di tubuh akan meningkatkan risiko
timbulnyapreeklampsia hingga 10 kali lipat (Noroyono, 2016).
11
2.5 Patofisiologi
Meskipun penyebab jelas dari preeklampsia masih belum diketahui, bukti
timbulnya manifestasi klinis preeklampsia mulai tampak sejak awal kehamilan,
berupa gejala yang samar-samar hingga muncul dengan jelas secara klinis di
kemudian hari. Jika preeklampsia tidak dideteksi dan ditangani sejak dini maka
akan menimbulkan komplikasi pada organ tubuh mulai dari komplikasi yang
ringan hingga mengancam nyawa dari ibu maupun janin. Mekanisme terjadinya
preeklampsia diduga akibat dari vasospasme, disfungsi endotel, dan iskemia pada
pembuluh darah (Cunningham, et al., 2014).
12
d. Gangguan Hati
Pada hepar, akibat dari iskemia pada pembuluh darah, dapat terjadi infark
kemudian diikuti perdarahan di regioperiportal hepar. Pada infark dan perdarahan
yang parah dapat terjadi hematoma pada hepar. Gangguan pada hepar dapat
dideteksi dengan adanya nyeri perut di regioepigastrik dan kuadran kanan atas
juga kenaikan serum transaminase pada pemeriksaan laboratorium (Roberts,
2013).
e. Gangguan pada sistem respirasi
Pada wanita dengan preeklampsia, akibat dari jejas pada endotel dan
peningkatan permeabilitas vaskuler, dapat terjadi ekstravasasi cairan ke lumen
ekstraseluler termasuk dalam paru-paru. Pemberian cairan berlebih pada wanita
preeklampsia dapat memperparah kondisi tersebut dan menyebabkan edema pada
paru-paru (Roberts, 2013).
f. Gangguan neurologis
Pada wanita dengan preeklampsia dapat terjadi gangguan neurologis. Ada 2
teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya gangguan neurologis tersebut. Teori
yang pertama menyatakan bahwa disfungsi endotel akibat dari hipertensi akan
menyebabkan overregulasi pada pembuluh darah di otak yang menyebabkan
vasospasme. Hal ini akan berlanjut dengan penurunan aliran darah ke otak, edema
sitotoksik, dan infark pada jaringan otak.
Teori yang kedua menyatakan akibat peningkatan tekanan darah sistemik
secara tiba-tiba terutama di daerah kapiler otak akan menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik, hiperperfusi, serta ekstravasasi sel darah dan plasma yang
kemudian berlanjut dengan edema vasogenik. Regio yang paling sering terkena
dampak pada preeclampsia adalah region korteks pariteooksipital otak. Perubahan
ini dapat dideteksi dengan munculnya manifestasi klinis berupa nyeri kepala dan
scotomata (akibat dari hiperperfusi pada lobus oksipital otak), kejang (akibat
pelepasan berlebih dari neurotransmiter otak dan eksitasi berlebih pada jaringan
saraf), kebutaan, dan edema serebrigeneralisata (Roberts, 2013).
g. Gangguan sirkulasi uteroplasenta
15
2.7 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia berat dapat ditegakkan jika ada diagnosis
preeklampsia disertai salah satu dari kriteria klinis pemberatan preeklampsia
tersebut yaitu :
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama;
b. Proteinuria :kadar proteinurin ≥300 mg dalam 24 jam atau pada tes urindipstik
menunjukkan protein positif ≥1.
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu
dibawah ini:
a. Trombositopenia: trombosit < 100.000/mikroliter;
16
5) Trombositopenia (≤ 150.000/ml)
2.9 Penatalaksanaan
Pengelolaan preeklampsia mencakup :
-
Pencegahan kejang
-
Pengobatan hipertensi
-
Pengelolaan cairan
-
Pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat
-
Waktu yang tepat untuk persalinan
Penderita preeklampsia berat (PEB) harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri) (Moeloek, 2006).
1. Pengelolaan Cairan
Penderita preeklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oliguria sehingga pengelolaan cairan sangat penting. Oleh karena itu
monitoring input dan output cairan harus diukur secara tepat. Cairan diberikan
dapat berupa:
a) RD5% atau cairan garam fisiologis jumlah tetetsan <125 cc/jam atau
b) D5% yang dimana tiap 1 liter diselingi RL (60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
jika produksi < 30cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500cc/24 jam.
2. Pencegahan dan Pengelolaan Kejang
Obat anti kejang berupa:
a) MgSO4
Magnesium sulfat menghambat dan menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serabut saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibitor antara ion kalsium dan ion
magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja
magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan
pertama untuk anti kejang pada preeklampsia
18
Cara pemberian:
1. Alternatif 1 (Pemberian kombinasi iv dan im) (untuk Faskes primer, sekunder
dan tersier)
Loading dose
Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia
MgSO4 40%, berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest)
Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing – masing pada bokong
kanan dan kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1mL Lidokain 2%
untuk mengurangi nyeri.
Maintenance Dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian setiap 6
jam.
Pengobatan Hipertensi
Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <160/105 atau MAP <
125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
Penanganan Aktif
Kehamilan dengan PEB sering dihubungkan dengan peningkatan mortalitas
perinatal dan peningkatan morbiditas serta mortalitas ibu. Sehingga beberapa ahli
berpendapat untuk terminasi kehamilan setelah usia kehamilan mencapai 34
minggu. Terminasi kehamilan adalah terapi definitif yang terbaik untuk ibu untuk
mencegah progresifitas PEB.
Indikasi untuk penatalaksanaan aktif pada PEB dilihat baik indikasi pada ibu
maupun janin:
1. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada ibu:
a. kegagalan terapi medikamentosa:
Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan
darah yang persisten
setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa, terjadi
kenaikan desakan darah yang persisten
b. tanda dan gejala impending eklampsia
c. gangguan fungsi hepar
d. gangguan fungsi ginjal
e. dicurigai terjadi solusio plasenta
f. timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, dan perdarahan
g. umur kehamilan ≥ 37 minggu
h. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) berdasarkan pemeriksaan USG
timbulnya oligohidramnion
2. Indikasi penatalaksanaan PEB aktif pada janin
3. Indikasi lain yaitu trombositopenia progresif yang menjurus ke sindrom
HELLP (hemolytic anemia, elevated liver enzymes, and low platelet count).
Dalam ACOG Practice Bulletin mencatat terminasi sebagai terapi untuk
PEB. Akan tetapi, keputusan untuk terminasi harus melihat keadaan ibu dan
janinnya. Sementara Nowitz ER dkk membuat ketentuan penanganan PEB dengan
terminasi kehamilan dilakukan ketika diagnosis PEB ditegakkan. Hasil penelitian
juga menyebutkan tidak ada keuntungan terhadap ibu untuk melanjutkan
21
kehamilan jika diagnosis PEB telah ditegakkan. Ahmed M dkk pada sebuah
review terhadap PEB melaporkan bahwa terminasi kehamilan adalah terapi efektif
untuk PEB. Sebelum terminasi, pasien telah diberikan dengan anti kejang,
magnesium sulfat, dan pemberian antihipertensi. Wagner LK juga mencatat
bahwa terminasi adalah terapi efektif untuk PEB. Pemilihan terminasi secara
vaginal lebih diutamakan untuk menghindari faktor stres dari operasi sesar.
Penanganan ekspektatif
Terdapat kontroversi mengenai terminasi kehamilan pada PEB yang belum
cukup bulan. Beberapa ahli berpendapat untuk memperpanjang usia kehamilan
sampai seaterm mungkin sampai tercapainya pematangan paru atau sampai usia
kehamilan di atas 37 minggu. Adapun penatalaksanaan ekspektatif bertujuan:
1. Mempertahankan kehamilan sehingga mencapai umur kehamilan yang
memenuhi syarat janin dapat dilahirkan
2. Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan
ibu
Berdasarkan luaran ibu dan anak, berdasarkan usia kehamilan, pada pasien
PEB yang timbul dengan usia kehamilan dibawah 24 minggu, terminasi
kehamilan lebih diutamakan untuk menghindari komplikasi yang dapat
mengancam nyawa ibu (misalnya perdarahan otak). Sedangkan pada pasien PEB
dengan usia kehamilan 25 sampai 34 minggu, penanganan ekspektatif lebih
disarankan.
Penelitian awal mengenai terapi ekspektatif ini dilakukan oleh Nochimson
dan Petrie pada tahun 1979. Mereka menunda kelahiran pada pasien PEB dengan
usia kehamilan 27-33 minggu selama 48 jam untuk memberi waktu kerja steroid
mempercepat pematangan paru. Kemudian Rick dkk pada tahun 1980 juga
menunda kelahiran pasien dengan PEB selama 48-72 jam bila diketahui rasio
lecitin/spingomyelin (L/S) menunjukkan ketidakmatangan paru. Banyak peneliti
lain yang juga meneliti efektifitas penatalaksanaan ekspektatif ini terutama pada
kehamilan preterm. Di antaranya yaitu Odendaal dkk yang melaporkan hasil
perbandingan penatalaksanaan ekspektatif dan aktif pada 58 wanita dengan PEB
22
dengan usia kehamilan 28-34 minggu. Pasien ini diterapi dengan MgSO4,
hidralazine, dan kortikosteroid untuk pematangan paru. Semua pasien dipantau
ketat di ruang rawat inap. Dua puluh dari 58 pasien mengalami terminasi karena
indikasi ibu dan janin setelah 48 jam dirawat inap. Pasien dengan kelompok
penanganan aktif diterminasi kehamilannya setelah 72 jam, sedangkan pasien
pada kelompok ekspektatif melahirkan pada usia kehamilan rata-rata 34 minggu.
Odendaal dkk juga menemukan penurunan komplikasi perinatal pada kelompok
dengan penanganan ekspektatif. Penelitian lain yang dilakukan Witlin dkk
melaporkan peningkatan angka pertumbuhan janin terhambat yang sejalan dengan
peningkatan usia kehamilan selama penanganan secara ekspektatif. Sedangkan
Haddad B37 dkk yang meneliti 239 penderita PEB dengan usia kehamilan 24-33
minggu mendapatkan 13 kematian perinatal dengan rincian 12 bayi pada
kelompok aktif dan 1 kematian perinatal pada kelompok ekspektatif. Sementara
angka kematian ibu sama pada kedua kelompok. Penelitian ini menyimpulkan
penanganan PEB secara ekspektatif pada usia kehamilan 24-33 minggu
menghasilkan luaran perinatal yang lebih baik dengan risiko minimal pada ibu
(Saifuddin et al., 2014).
2.10 Komplikasi
Komplikasi terberat kematian pada ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsi. Komplikasi yang
biasa terjadi :
a. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi
b. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.
c. Nekrosis hati, akibat vasospasme arteriol di hepar.
d. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis, elevated liver enzymes dan low platelet
count.
e. Gangguan ginjal.
f. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC).
g. Prematuritas, dismaturitas, kematian janin intrauterin.
2.11 Prognosis
Prognosis dari ibu dan janin pada pasien preeklampsia tergantung dari
kecepatan dan ketepatan dalam proses skrining dan penanganannya. Penanganan
dan skrining yang cepat dan tepat dapat meningkatkan kemungkinan selamatnya
ibu maupun janin.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.2 Anamnesis
Pasien datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas Mangli
jam 01.45 dengan G2P1001Ab000 gr 40-41 mgg J/T/H + Kala 1 Fasa Laten +
PEB.
a. Keluhan Utama : Pasien sesak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh sesak sejak 25 Desember
2019 pukul 18.00. Pasien merasa keluar cairan jernih pukul 09.00 (25
Desember 2019). Kemudian pasien pergi ke puskesmas pukul 13.00 (25
Desember 2019). Di puskesmas Pasien diperiksa dalam didapatkan ø
sebesar 2 cm, DJJ 144x/menit dan tekanan darah 140/90 mmHg proteinuri
+2, lalu pasien di injeksi MgSO4 loading dose pukul 19.00. Pasien dirujuk
ke RSDS pukul 00.40 karena PEB. Di PONEK IGD RSD dr. Soebandi
tekanan darah pasien 140/90.
25
a. Status Generalis
Kepala : Oedem kelopak mata - / -
Konjunctivaanemis - / -
Sclera icterus - / -
Sianosis (-)
Dyspnea (+)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
Pulmo : Suara nafas
Simetris +/+, vesikuler +/+, Rhonkhi +/+ , Wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)
Abdomen : BU (+) dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat + + oedema - -
+ + + +
27
b. Status Obstetri
Mammae :kolostrum (-), hiperpigmentasi areola mammae,
penonjolan glandula mammae (-)
Abdomen : Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)
Auskultasi : DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 35
cm, punggung kiri, dengan presentasi
kepala, masuk pintu atas
panggul (PAP). His (+) 2x10’15”
Genitalia : VT ø 2 cm, efficement 25%, ketuban (+), letak kepala,
bidang Hodge 1, posisi porsio medial dengan konsistensi
lunak, denominatior UUK jam 1, ukuran panggul dalam
batas normal.
TBJ : 3565 gr
3.5 Resume
Ibu usia 30 tahun datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas
jam 01.45 dengan G2P2002Ab000 uk 40-41 mgg inpartu Kala I fase laten dengan
PEB.
Pasien merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh sesak sejak 25 Desember
2019 pukul 18.00. Pasien merasa keluar cairan jernih pukul 09.00 (25 Desember
2019). Kemudian pasien pergi ke puskesmas pukul 13.00 (25 Desember 2019). Di
puskesmas Pasien diperiksa dalam didapatkan ø sebesar 2 cm, DJJ 144x/menit
dan tekanan darah 140/90 mmHg proteinuri +2, lalu pasien di injeksi MgSO4
loading dose pukul 15.00. Pasien dirujuk ke RSDS pukul 05.10 karena PEB. Di
PONEK IGD RSD dr. Soebandi tekanan darah pasien 140/90.
28
G2P1001Ab000 gr 40-41 mgg janin T/H Inpartu Kala 1 Fase Laten + PEB
3.7 Planning
Edukasi :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien,
tindakan yang dilakukan, serta prognosisnya
Diagnostik :
DL, KK, UL
TTV
NST
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Terapi :
Infus RL
Nifedipin 3x10 mg
Dopamet 3x250 mg
Injeksi MgSO4 40% maintenance dose I.M
Evaluasi tiap 4 jam
Pro OD jika NST baik
Obstetri
Terminasi Kehamilan
Monitoring :
Keluhan pasien
TTV
DJJ
29
3.8 Observasi
- Injeksi
MgSO4
40% I.M
(Boka)
- Pro Induksi
Persalinan
perempuan,
langsung
menangis,
ketuban
keruh, AS
7-8, BB
3000, PB 55
cm
O/ KU:cukup
Kes: CM
K/L a/i/c/d=-
/-/-/-
Abd: 2 jari
31
bawah pusat,
uc baik
Ge:lochea (+)
rubra
A/
P2002 Post
Partus SC ai
PEB H1
P/ Cefadroxyl
3x500 mg
Nifedipin
3x10mg
Asam
mefenamat
3x500mg
KRS
DL UL
3.10 Penatalaksanaan
Terapi post SC
1. Antrain 3x1
2. As. Tranexamat 3x1
32
3. Metroclopramide 3x1
4. Anbacim 2x1
Terapi :
Injeksi MgSO4 40% loading dose I.M
Nifedipine tab 3x10 mg P.O
Cefadroxyl 3x500 mg P.O
Asam Mefenamat 3x500mg P.O
Monitoring :
Keluhan pasien
Fluksus
TTV
Kontraksi uterus
Urine output
P2002 SC ai PEB H3
3.12 Prognosis
BAB IV
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
8. Moeloek, Prof. Dr. dr. Anfasa, Sp. OG, KFER. 2006. Standar Pelayanan
Medik Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia.
11. Saiffudin, dr. Abdul Bari , M.P.H., Sp. OG. 2014. Ilmu Kebidanan Edisi
Ke IV.Jakarta: PT. Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo.
12. Wibowo, DR. dr. Noroyono, Sp. OG (K). 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. Jakarta :
POGI.