Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN KASUS

G1P0A0 GRAVIDA 32 – 33 MINGGU DENGAN PEB

Disusun Oleh :

Ayu Sugiarti

1102016036

Pembimbing :

dr. Nandi Nurhadi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 22 AGUSTUS – 29 OKTOBER 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman karena atas
rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “G1P0A0
GRAVIDA 32 – 33 MINGGU DENGAN PEB”
Penulisan laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh
kepanitraan klinik di bagian obstetrik dan ginekologi di RSUD Kabupaten Bekasi. Penulis
menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan dan
dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu, terutama kepada dr.
Nandi Nurhadi, Sp.OG yang telah memberikan arahan serta bimbingan ditengah kesibukan
dan padatnya aktivias beliau.
Penulis menyadari penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan laporan kasus ini. Akhir kata penulis
berharap penulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bekasi, 17 September 2022

Ayu Sugiarti

2
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5
2.1 PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA......................................................................5
2.1.1 DEFINISI.....................................................................................................................5
2.1.2 EPIDEMIOLOGI.........................................................................................................5
2.1.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI..........................................................................6
2.1.4 FAKTOR RESIKO....................................................................................................16
2.1.5 KLASIFIKASI...........................................................................................................17
2.1.6 MANIFESTASI KLINIS...........................................................................................19
2.1.7 TATALAKSANA......................................................................................................20
2.1.8 KOMPLIKASI...........................................................................................................27
2.1.9 PENCEGAHAN........................................................................................................28
2.1.10 PROGNOSIS.............................................................................................................30
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................................35
3.1 IDENTITAS PASIEN................................................................................................35
3.2 ANAMNESIS............................................................................................................35
3.3 PEMERIKSAAN FISIK............................................................................................37
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG...............................................................................38
3.5 RESUME...................................................................................................................41
3.6 DIAGNOSIS..............................................................................................................41
3.7 RENCANA PEMERIKSAAN...................................................................................41
3.8 RENCANA PENATALAKSANAAN.......................................................................41
3.9 PROGNOSIS.............................................................................................................42
3.10 FOLLOW UP.............................................................................................................42
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................................43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................47
5.1 KESIMPULAN.........................................................................................................47

3
5.2 SARAN......................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................48

4
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyuiit kehamilan dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia
mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan masih cukup tinggi. Hipertensi dalam
kehamilan diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik, preeklampsia-eklampsia, hipertensi
kronik dengan superimposed preeklampsia, dan hipertensi gestasional.1
Preeklampsia adalah suatu penyakit multifaktorial dan multisistemik spesifik pada
kehamilan yang dengan adanya hipertensi yang berhubungan dengan proteinuria yang
dimanifestasikan terjadinya hipertensi pada wanita hamil setelah minggu ke-20 kehamilan
yang sebelumnya normotensif.2 Sedangkan eklampsia adalah adanya kejang pada pasien
dengan preeklampsia dimana kejang yang timbul tidak disebabkan oleh penyebab lain.3,4
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah semua kematian dalam ruang lingkup tersebut di
setiap 100.000 kelahiran hidup.6 Di Indonesia jumlah kematian ibu yang dihimpun dari
pencatatan program kesehatan keluarga di Kementerian Kesehatan pada tahun 2020
menunjukkan 4.627 kematian di Indonesia. Berdasarkan penyebab, sebagian besar kematian
ibu pada tahun 2020 disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus, hipertensi dalam
kehamilan sebanyak 1.110 kasus, dan gangguan sistem peredaran darah sebanyak 230 kasus.6

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA


2.1.1 DEFINISI
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 - 15 % penyuiit kehamilan dan
merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu
bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan masih
cukup tinggi. Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik,
preeklampsia-eklampsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia, dan
hipertensi gestasional.1
Preeklampsia adalah suatu penyakit multifaktorial dan multisistemik spesifik
pada kehamilan yang secara klasik didiagnosis dengan adanya hipertensi yang
berhubungan dengan proteinuria yang dimanifestasikan terjadinya hipertensi pada
wanita hamil setelah minggu ke-20 kehamilan yang sebelumnya normotensif.2
Eklampsia didefinisikan sebagai kelainan akut pada preeklamsia (Hipertensi
pada usia kehamilan >20 minggu dengan proteinuria dengan atau tanpa disfungsi
organ) yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan
kesadaraan (gangguan sistem saraf pusat) dan yang tidak disebabkan oleh penyebab
lain.3,4 definisi lain eklampsia adalah adanya kejang tambahan pada wanita dengan
preeklamsia yang tidak dijelaskan oleh kelainan neurologis. Eklampsia terjadi pada
0,5% sampai 4% pasien dengan preeklamsia.5

2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah semua kematian perempuan selama periode
kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan, persalinan, dan
nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab lain seperti kecelakaan atau
insidental. Angka Kematian Ibu (AKI) adalah semua kematian dalam ruang lingkup
tersebut di setiap 100.000 kelahiran hidup.6
Jumlah kematian ibu yang dihimpun dari pencatatan program kesehatan keluarga
di Kementerian Kesehatan pada tahun 2020 menunjukkan 4.627 kematian di
Indonesia. Jumlah ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2019 sebesar
4.221 kematian. Berdasarkan penyebab, sebagian besar kematian ibu pada tahun 2020
disebabkan oleh perdarahan sebanyak 1.330 kasus, hipertensi dalam kehamilan

6
sebanyak 1.110 kasus, dan gangguan sistem peredaran darah sebanyak 230
kasus.6

2.1.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Penyebab eklampsia masih belum diketahui dengan pasti. Terdapat teori yang
diduga sebagai peningkatan permeabilitas sawar otak selama preeklampsia yang
menyebabkan perubahan aliran darah otak karena gangguan autoregulasi.7
Terdapat dua mekanisme terjadinya eclampsia yang berasal dari proses
preeklamsia. Patogenesis preeklamsia terkait dengan plasentasi abnormal. Pada
kehamilan normal, sitotrofoblas janin bermigrasi ke dalam rahim ibu dan
menyebabkan remodeling pembuluh darah endometrium untuk suplai darah plasenta.
Pada preeklamsia, invasi ke sitotrofoblas tidak memadai, sehingga menyebabkan
remodeling arteri spiralis yang buruk yang mengurangi suplai darah ke plasenta.
Suplai darah yang abnormal menyebabkan peningkatan resistensi arteri uterina dan
vasokonstriks yang menyebabkan iskemia plasenta dan stres oksidatif. Radikal bebas
dan sitokin, seperti faktor vascular endothelial growth factor-1 (VEGF-1) dilepaskan
akibat dari stres oksidatif, yang menyebabkan kerusakan endotel. Selain itu, protein
angiogenik atau proinflamasi berkontribusi negatif terhadap fungsi endotel ibu.
Gangguan endotel tidak hanya terjadi di lokasi rahim tetapi juga di endotel serebral,
yang menyebabkan gangguan neurologis, termasuk eklampsia. Mekanisme lain yang
menyebabkan eklampsia adalah peningkatan tekanan darah dari preeklamsia
menyebabkan disfungsi autoregulasi dari pembuluh darah otak, yang menyebabkan
hipoperfusi, kerusakan endotel, atau edema.7,8
Patofisiologi kejang eklampsia tidak diketahui tetapi dapat terjadi ketika tekanan
arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure) melebihi kapasitas autoregulasi serebral, yang
menyebabkan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial. Kejang eklamptik
juga dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan fokus
perdarahandi korteks otak. Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat
motorik di daerahlobus frontalis. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi
kejang adalah sebagai berikut : Edema serebral, perdarahan serebral, infark serebral,
vasospasme serebral pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler, koagulopati
intravaskuler serebral, ensefalopati hipertensi.9
Kejang pada eklampsia harus dipikirkan kemungkinan kejang akibat penyakit
lain. OIeh karena itu, diagnosis banding eklampsia menjadi sangat Penting, misalnya
perdarahan otak, hipertensi, lesi otak, kelainan metabolik, meningitis, epilepsi
7
iatrogenik. Eklampsia selalu didahului oleh preeklampsia. Perawatan praratal
untuk kehamilan dengan predisposisi preeklampsia perlu ketat dilakukan agar dapar.
Dikenal sedini mungkin gejala-gejala prodoma eklampsia. sering dijumpai perempuan
hamil yang tampak sehat mendadak menjadi kejang-keiang eklampsia, karena tidak
terdeteksi adanya preeklampsia sebelumnya.1
Kejang-kejang dimulai dengan kejang tonik. Tanda-tanda kejang tonik ialah
dengan dimulainya gerakan kejang berupa twitching dari otot-otot muka khususnya
sekitar mulur, yang beberapa detik kemudian disusul kontraksi otot-otot tubuh yang
menegang, sehingga seluruh tubuh menjadi kaku. Pada keadaan ini wajah penderita
mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fieksi, tangan menggenggam,
kedua tungkai dalam posisi inaerse. Semua otot tubuh pada saat ini dalam keadaan
kontraksi tonik. Keadaan ini berlangsung 15 - 30 detik. Kejang tonik ini segera
disusul dengan kejang klonik. Kejang klonik dimulai dengan terbukanya rahang
secara tiba- tiba dan tertutup kembali dengan kuat disertai pula dengan terbuka dan
tertutupnya kelopak mata. Kemudian disusul dengan kontraksi intermiten pada oror-
orot muka dan otot-otot seluruh tubuh. Begitu kuat kontraksi otot-otot tubuh ini
sehingga seringkali penderita terlempar dari tempat tidur. Seringkali pula lidah
tergigit akibat kontraksi otot rahang yang terbuka dan tertutup dengan kuat. Dari
mulut keluar liur berbusa yang kadang-kadang disertai bercakbercak darah. Wajah
tampak membengkak karena kongesti dan pada konjungtiva mata dijumpai bintik-
bintik perdarahan.1
Pada waktu timbul kejang, diafragma terfiksir, sehingga pernapasan tertahan,
keiang klonik berlangsung kurang lebih 1 menit. Setelah itu berangsur-angsur kejang
melemah, dan akhirnya penderita diam tidak bergerak. lama kejang klonik ini kurang
lebih 1 menit, kemudian berangsur-angsur kontraksi melemah dan akhirnya berhenti
serta penderita iatuh ke dalam koma. Pada waktu timbul kejang, tekanan darah dengan
cepat meningkat. Demikian juga suhu badan meningkat, yang mungkin oleh karena
gangguan serebral. Penderita mengalami inkontinensia disertai dengan oliguria atau
anuria dan kadang-kadang terjadi aspirasi bahan muntah.1
Terdapat beberapa teori penyebab preeklamsia antara lain : 1,10
1. Teori genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipeibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang

8
mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia
pula,

9
sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia. Bukti yang
mendukung berperan faktor genetic pada kejadian preeklampsia dan eclampsia
adalah peningkatan Human Leukocyte Antigen (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa penelitian melaporkan hubungan antara
histokompatibilitas antigen HLA- DR4 dan proteinuria hipertensi yang memiliki
risiko lebih tinggi perkembangan preeklampsi- eklampisia dan intra uterine growth
restricted (IUGR).

2. Teori invasi trofoblas abnormal


Pada kehamilan normal, Rahim dan plasenta mendapatkan aliran darahdari
cabang-cabang A. uterine dan A. ovarika. Kedua pemuluh darah tersebut
menembus myometrium berupa A. arkuata dan memberi cabang A. radialis yang
menembus endometrium menjadi A. basalis dan memberi cabang A. spiralis.

Gambar 1. Gambaran skematis implantasi plasenta normal dengan


plasenta abnormal(preeklampsia)9

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasitrofoblas ke
dalam lapisan otot A. spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi a. spiralis, invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar
a. spiralis, sehingga jaringan matrijks menjadi gembur dan memudahkan lumen a.
spiralis mengalami distensi dan dilatasi, distensi dan vasodilatasi lumen a. spiralis
ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vascular dan
peningkatan aliran darah padadaerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin
pertumbuhan janindengan baik. Proses ini dinamakan “remodelling arteri spiralis”.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot a. spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot a. spiralis
10
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen a. spiralis tidak memungkinkan

11
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, a. spiralis relative mengalami
vasokontriksi dan terjadi hipoksia dan iskemi plasenta.

3. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


 Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan “remodelling arteri spiralis”, dengan akibatplasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau
atom/molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu
oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang
sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.
Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena
oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal
hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan toksin yang
beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut“toxaemia”.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak
asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan
merusak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu
diimbangi dengan produksi antioksidan.

 Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilaan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khsusnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E
pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan
beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel
endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida
lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat
rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida
lemak.

12
 Disfungsi sel endotel
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi
kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut
“disfungsiendotel” (endothelialdysfunction) . Pada waktu terjadi kerusakan sel
endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel maka akan terjadi:
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salaah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnnya produksi prostasiklin
(PGE2): suatu vasodilatator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat – tempat di lapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin
(lebih tinggi vasodilator). Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi
dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi
kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular
endotheliosis)
- Peningkatan permeabilitas kapilar.

- Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin. KadarNO


(vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.

1. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Hasil konsepsi yang merupakan “benda asing” bagi tubuh ibu, dapat
memicu sistem imun maternal untuk bekerja lebih pada target, yaitu hasil konsepsi
itu sendiri. Secara logika, seharusnnya terjadi penolakan dari tubuh ibu terhadap
janin yang dikandungnya, namun pada kehamilan normal terjadi suatu mekanisme
adaptasi yang diperankan oleh “human leucocyte antigen–G“(HLA). HLA
berperan dalam modulasi respon imun yang menyebabkan tropoblas tidak dapat
dikenali oleh sistem imun ibu, sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik.
Hipotesis pathogenesis HDK selanjutnya adalah terdapat penurunan HLA yang

13
berdampak

14
pada terjadinya gangguan homeostasis atau keseimbangan hemodinamik ibu saat
hamil. Selain HLA, jugaterdapat hipotesis mengenai induksi sitokin pro-inflamasi.
Studi menunjukkan bahwa peningkatan sel T CD4 + dan penurunan Treg selama
kehamilan menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi, endotelin (ET-1),
spesies oksigen reaktif (ROS), dan autoantibodi agonis terhadap Angiotensin II
(Ang II), reseptor tipe 1 (AT1- AA). Semua faktor tersebut, secara bersama-sama
memainkan peran penting dalam meningkatkan tekanan darah selama kehamilan.

2. Teori adaptasi kardiovaskularor


Dalam sistem kardiovaskular, endotel berperan penting untuk mengontrol
aliran darah dan tahanan perifer. Peran tersebut difasilitasi oleh mediator kimiawi
yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kimiawi, dan fisik yang
bersifat vasodilator, contohnya adalah Nitrit Oksida (NO). Selain itu endotel juga
berperan dalam proses trombosis dan hemostasis,dengan demikian peran endotel
bukan saja sebagai barier mekanik antaraplasma intravaskuler dengan cairan
ekstravaskuler, tetapi mempunyai fungsi yang kompleks mengontrol diameter
pembuluh darah, aliran darah serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya
itulah sel endotel harus mampumerespon situasi stress fisik (tekanan oksigen) yang
buruk atau situasi patologik yang buruk, seperti iskemik dan hipoksia. Pada
preeklampsia, terjadi kerusakan endotel maka fungsi endotel sebagai barier
mekanik hilang sehinggaterjadi kebocoran endotel yang beakibat ekstravasasi
cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel untuk memproduksi
PGI2 dan NO juga menurun, sehingga terjadi vasokonstriksi dengan akibat
peningkatan tekanan darah.

3. Teori defisiensi gizi


Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa preeklampsia dan
eklampsia berhubungan dengan adanya defisiensi beberapa mikronutrien, misalnya
kekurangan asam folat, vitamin C dan E, kalsium dan asam lemak tak jenuh.
Defisiensi asam folat dapat menyebabkan disfungsi endotel dan aterosklerosis
melalui kondisi hiperhomosisteinemia. Homosistein merupakanasam amino yang
mengandung gugus S yang dibentuk dalam proses metabolisme metionin.
Pembentukan homosistein ini melalui 2 jalur, jalur pertama yaitu jalur remetilasi
dimana homosistein dibentuk dengan bergabungnya gugus metil yang diberikan
oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor metil, reaksi ini dikatalisator oleh
15
vitamin B12 dan enzim metionin sintase. Bila asam folat kurang maka terjadi
kekurangan 5 metil

16
4. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam
sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-
sisaproses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.
Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang
timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia
terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik
trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada
plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan
ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilannormal. Respons inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbuikan gejala-gejala
preeklampsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat
produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan
"aktivitas leukosit yang sangat tinggi" pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh
Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular
pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.
Etiopatogenesis HDK hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak
teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pathogenesis preeklampsia-eklampsi dipengaruhi oleh genetic, imunologi, dan
interaksi faktor lingkungan.1,11
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan
perfusi plasenta dan sindrom maternal.

17
Gambar 2. Skema patogenesis preeklampsia12

AT1-AA, autoantibodies to angiotensin receptor 1; COMT, catechol-O-


methyltransferase; HTN, hypertension; LFT, liver function test; PlGF1, placental growth
factor 1; PRES, posterior reversible encephalopathy syndrome; sEng, soluble endoglin;
sFlt-1, soluble fms–like tyrosine kinase 1; sVEGFR1, soluble vascular endothelial
growth factor receptor 1; VEGF, vascular endothelial growthfactor.

1. Tahap pertama : terjadi selama 20 minggu pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi
perkembangan abnormal remodelling dinding arteri spiralis di uterus yang
berkontribusi terhadap iskemia plasenta.
2. Tahap kedua : Plasenta yang iskemik kemudian melepaskan substansi (faktor
antiangiogenik) kedalam sirkulasi maternal yang berkontribusi pada
kerusakanendotel dan menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap kedua
disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan
elemenpokok respons inflamasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.

Hingga saat ini, mekanisme terjadinya preeklamsia belum diketahui secara


pasti. Namun, secara keseluruhan terdapat empat konsep yang secara rinci membahas
hipotesis terjadinya preeklamsia, yaitu :3
1. Vasospasme
Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah sehingga
timbul hipertensi. Pada saat bersamaan kerusakan sel endotel menyebabkan
kebocoran interstisial tempat lewatnya komponen-komponen darah, termasuk
trombosit dan fibrinogen, yang kemudian tertimbun di subendotel. Dengan
berkurangnya aliran darah akibat maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar
akan menyebabkan nekrosis, perdarahan dan gangguan end-organ lain yang khas

18
untuk

19
sindrom preeklampsia.

Gambar 3. Faktor risiko berkontribudi dalam disfungsi plasenta awal (Stage I)13.
disfungsi plasenta menyebabkan pelepasan faktor anti angiogenik yang berlanjut menjadi
kerusakan organ (Stage II). Garis panah tebal menunjukkan progresifitas penyakit. Garis
panah putus-putus menunjukkan efek sistem sarafsimpatik pada organ resprektif. Ang II =
angiotensin II; ER = reticulumendoplasma; HA = sakit kepala; HIF = faktor transkripsi
hipoksia; NO= nitric oxide; PIGF = placental growth facgor; PRES = Posterior reversible
encephalopathy syndrome; RAAS = Renin angiotensin aldosterone system; sEng =
soluble endoglin; SFlt = soluble fms-like tyrosine kinase; SNS = sistemsyaraf simpatetik;
TFG = transforming growth factor; VEGF = vascular endothelial growth factor

2. Aktivasi sel endotel


Aktivasi sel endotel telah menjadi pusat dari pemahaman kontemporer mengenai
patogenesis preeklampsia. Pada skema ini, faktor-faktor yang tidak diketahui
kemungkinan berasal dari plasenta yang mencetuskan terjadinyaaktivasi dan
disfungsi sel endotel vaskular. Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan
sel endotel menumpulkan respons otot polos pembuluh darahterhadap agonis
dengan cara melepaskan nitrat oksidan. Sel endotel yang rusak atau teraktivasi
dapat menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan mensekresikan substansi yang
memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitivitas terhadap vasopressor. Bukti ini
dilengkapi oleh perubahan khas pada morfologi endotel kapiler glomerulus,
peningkatan permeabilitas kapiler, dan peningkatan kadar zat-zat terkait aktivasi
endotel dalam darah.
a. Peningkatan respon vasopressor
20
Perempuan hamil secara normal mengalami penurunan kesensitifan terhadap
vasopressor. Namun, pada perempuan hamil dengan preeklampsiadini
mengalami peningkatan reaktivasi vaskular terhadap norepinefrin
danangiotensin II.

b. Prostaglandin
Sejumlah prostanoid diduga menjadi pusat patofisiologi sindrom preeklampsia.
Jika dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostaglandin endotel
(PGI2) menurun pada preeklampsia. Efek ini tampaknya dimediasi oleh
fosfolipase A2. Pada saat yang sama sekresi tromboksan A2 oleh trombosit
meningkat dan rasio prostasiklin : tromboksan A2 menurun dan hasilnya adalah
cenderung meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II yang diinfuskan
pada akhirnyamenyebabkan vasokonstriksi.

c. Nitrat oksida
Merupakan vasodilator poten yang disintesis oleh sel endotel. Pada
preeklampsia terjadi penurunan drastis nitrat oksida sehingga menyebabkan
meningkatnya tekanan arteri rerata, menurunkan laju jantung dan membalikkan
ketidaksensitifan terhadap vasopressor yang diinduksikehamilan. dimana nitrat
oksida ini memiliki fungsi untuk menjaga kondisinormal pembuluh darah agar
tetap berdilatasi dan bertekanan darah agar aliran darah uteroplasenta tetap baik.
Namun ketika keadaannya menurun keadaan tersebut tidak bisa dipertahankan.

3. Endotelin
Peptida 21-asam amino ini merupakan vasokonstriktor poten dan endothelin-1(ET-
1) merupakan isoform utama yang dihasilkan oleh endotel manusia. Kadar ET-1
dalam plasma meningkat pada perempuan hamil normotensif, tetapi perempuan
dengan preeklampsia memiliki kadar ET-1 yang bahkan lebihtinggi. Peningkatan
ini tampaknya berasal dari kerusakan sel endotel sistemik.Tatalaksana wanita hamil
yang mengalami preeklampsia dengan magnesium sulfat menurunkan kadar ET-1.

4. Protein Angiogenik dan Antiangiogenik


Pembentukan vaskularisasi plasenta sudah tampak sejak 21 hari pasca- konsepsi.
Kelompok vascular endothelial growth factor (VEGF) dan produk gen
angiopoietin (Ang) merupakan yang paling banyak diteliti. Istilah
ketidakseimbangan angiogenik digunakan untuk menggambarkan jumlah
21
berlebihan faktor antiangiogenik yang diduga dirangsang oleh hipoksia yang
memburuk pada permukaan kontak

22
uteroplasenta. Jaringan trofoblas pada perempuan dengan preeklampsia
menghasilkan sedikitnya dua peptida antiangiogenik secara berlebihan, yang
selanjutnya memasuki sirkulasi maternal yang kadarnya dalam darah ibu akan
menurun drastis pasca-lahir:
a. Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) merupakan varian reseptor Flt- 1 untuk

placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth factor


(VEGF). Peningkatan kadar sFlt-1 pada sirkulasi ibu akanmenginaktifkan dan
menurunkan kadar PIGF dan VEGF bebas dalamsirkulasi sehingga terjadi
disfungsi endotel. Kadar sFlt-1 mulai meningkat pada serum ibu berbulan-bulan
sebelum preeklampsia menjadi nyata.
b. Soluble Endoglin (sEng) merupakan molekul 65-kDa yang dihasilkan plasenta
dan menyekat endoglin disebut juga CD105 yang merupakankoreseptor famili
TGF-β. Bentuk endoglin terlarut ini menghambat berbagai isotop TGF-β untuk
berikatan dengan reseptor di endotel sehingga menyebabkan penurunan
vasodilatasi yang bergantung nitrat oksida endotelial. Kadar sEng mulai
meningkat pada serum ibu berbulan-bulan sebelum preeklampsia menjadi nyata.

2.1.4 FAKTOR RESIKO


Faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan dapat dikelompokkan sebagai
berikut :1
1. Primigravida, primiparernims.
2. Hipeqplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, diabetes mellitus, hydrops fetalis,
bayi besar
3. Kehamilan multiple/kehamilan ganda
Wanita dengan kehamilan kembar memiliki tingkat hipertensi gestasional dan
preeklamsi yang lebih tinggi. Peningkatan massa plasenta selama kehamilan
kembar dapat menyebabkan peningkatan tingkat sirkulasi fms yang merupakan
penanda antiangiogenik dan memainkan peran penting dalam preeklamsi awitan
dini.
4. Umur yang ekstrim
Usia diatas 40 tahun dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya
preeklamsia/eklampsia. Survei WHO melaporkan bahwa wanita berusia diatas 35
tahun berisiko tinggi untuk mengalami preeklamsi meskipun tidak sampai terjadi
eklamsi.
5. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eclampsia
23
Preeklamsi adalah kelaiann kompleks yang diwariskan dalam pola
keluarga. Plasenta sebagai peran sentral dalam pathogenesis preeklamsi dengan
demikianmenyiratkan bahwa gen janin yang diturunkan dapat memainkan peran
dalam perkembangan penyakit. Risiko preeklamsi akan meningkat pada anak
dari seorang ibu dengan riwayat kehamilan preeklamsi dan wanita dengan
Riwayatkeluarga hipertensi atau diabetes.
6. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
Diabetes pra kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko preeklamsi 2-4 kali
lipat. Wanira dengan hipertensi kronis memiliki risiko preeklamsi superimposed 8
kali lipat. Preeklamsi dapat sering terjadi pada wanita hamil dengan penyakit ginjal
kronis, lupus nefropati, dan nefropati diabetic. Sebuah metaanalisis mengevaluasi
hiperlipidemia dan risiko preeklamsi bahwa peningkatan kadar kolesterol total,
non- high density lipoprotein (HDL)-C dan trigliserida selama seluruh trimester
kehamilan.
7. Obesitas
Klasifikasi risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama dibagi
menjadi 2 yaitu resiko sedang dan resiko tinggi, antara lain sebagai berikut
 Resiko sedang : Nullipara, obesitas (IMT >30 kg/m2), Riwayat
preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan, dan usia > 35 tahun
 Resiko tinggi : Riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis,
DM tipe 1 atau 2, dan penyakit autoimun seperti SLE

2.1.5 KLASIFIKASI
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum) yang didasarkan
saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada kehamilan trimester terakhir
dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran.3,5
Eklampsia adalah bagian dari spektrum hipertensi dalam kehamilan, sebagaimana
ditentukan oleh NHBPEP (National High Blood Pressure Education Program),
klasifikasinya adalah sebagai berikut:8,14
Hipertensi gestasional ditandai dengan TD 140/90 mmHg atau lebih untuk
pertama kali selama kehamilan, tidak ada proteinuria, tekanan darah kembali normal
kurang dari 12 minggu post partum.
Hipertensi kronis ditandai oleh (1) TD 140/90 mmHg atau lebih sebelum
kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu, tidak disebabkan oleh
24
penyakit trofoblas gestasional atau (2) hipertensi yang pertamakali didiagnosis
setelah usia gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu post partum.
Preeklampsia ditandai dengan kriteria minimum yaitu : TD 140/90 mmHg atau
lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita dengan TD normal sebelumnya dan
proteinuria (≥ 0,3 gr protein dalam spesimen urin 24 jam atau ≥ 300mg/24 jam atau
≥ +1 pada pemeriksaan carik celup).
Kemungkinan preeklampsia menjadi meningkat ketika : TD ≥ 160/110 mmHg,
proteinuria 2,0 gr/24 jam atau ≥ +2 pada pemeriksaan carik celup kreatinin serum
>1,2 mg/dL, kecuali memang sebelumnya diketahui meningkat, trombositopenia
(<100.000/μL), hemolisis mikroangiopatik; peningkatan laktat dehydrogenase
(LDH), peningkatan kadar transaminase serum, nyeri kepala yang persisten atau
gangguan serebral atau visual lainnya dan nyeri epigastrik persisten

Eklampsia ditandai dengan kejang yang bukan disebabkan oleh penyebab lain
pada perempuan dengan preeklampsia. Eklampsia dibedakan berdasarkan timbulnya
serangan menjadi eclampsia gravidarum (antepartum), eclampsia partuirentrum
(intrapartum, dan eclampsia peuerperale (postpartum).3

Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan transaminase serum dan


trombositopenia) mungkin merupakan hasil dari preeklampsia berat,
meskipunbeberapa penulis percaya bahwa kondisi ini memiliki etiologi yang tidak
berhubungan. Sindrom ini telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas ibudan
perinatal yang sangat tinggi dan dapat muncul tanpa hipertensi atau dalambeberapa
kasus, tanpa proteinuria.

Preeklampsia merupakan jenis HDK yang memiliki diagnosis khusus, yaitu


terbagi menjadi preeklampsia ringan (PER), berat (PEB), dan preeklampsia atipikal.
Kriteria diagnosis PER adalah sebagai berikut:
 Hipertensi
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110 Kenaikan tekanan darah
sistolik ≥ 30 mmHg, Kenaikan tekanan darah diastolik ≥ 15 mmHg
 Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2.
Diagnosis preeklampsia berat (PEB) ditegakkan bila didapatkan satu atau lebih
gejala sebagai berikut:15
 Tekanan darah ≥160/110 mmHg pada kejadian yang berbeda
 Hitung trombosit <100,000 per mikroliter
25
 Insufisiensi renal di mana kreatinin serum >1.1 mg/dl (97.2 μmol/l)
 Edema pulmonal
 Gejala/onset baru gangguan serebral atau visual

Preeklampsia atipikal ditegakkan apabila terjadi hipertensi gestasional dengan1 gejala


dibawah ini :16
 Gejala preeklampsia
 HELLP Syndrome (Hemolysis, thrombocytopenia, elevated liver enzyme)

2.1.6 MANIFESTASI KLINIS


Eklampsia adalah suatu proses penyakit yang terutama berkaitan dengan
diagnosis preeklamsia dan dapat terjadi antepartum, selama persalinan, dan sampai 6
minggu post partum. Wanita dengan eklampsia umumnya muncul setelah usia
kehamilan 20 minggu, dengan sebagian besar kasus terjadi setelah usia kehamilan 28
minggu. Temuan pemeriksaan fisik yang khas untuk eklampsia adalah kejang tonik-
klonik umum, yang biasanya berlangsung selama 60 hingga 90 detik. Keadaan postiktal
serin muncul setelah aktivitas kejang. Pasien dapat memiliki gejala peringatan (warning
symptomps) seperti sakit kepala, perubahan visual, sakit perut, dan peningkatan tekanan
darah sebelum timbulnya aktivitas kejang.7,8
Pasien dengan eklampsia datang dengan kejang tonik-klonik umum. Evaluasi
untuk eklampsia dipusatkan di sekitar diagnosis preeklamsia karena merupakan
komplikasi yang mengancam jiwa dari proses penyakit ini.
Diagnosis preeklamsia terutama dipusatkan pada tekanan darah karena pasien
mengalami hipertensi onset baru setelah usia kehamilan 20 minggu. Pasien dengan
tekanan darah >140/90 mmHg memenuhi kriteria hipertensi onset baru. Selain tekanan
darah tinggi, pasien juga memiliki salah satu dari berikut: proteinuria, disfungsi ginjal,
disfungsi hati, gejala sistem saraf pusat, edema paru, dan trombositopenia. Proteinuria
tidak lagi penting untuk diagnosis preeklamsia; namun, kriteria ini seringkali masih
dimasukkan dalam diagnosis saat ini. Proteinuria didefinisikan sebagai setidaknya
300mg protein dalam sampel urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin urin 0,3 atau lebih
besar.
Laboratorium penting lainnya termasuk fungsi hati untuk menilai fungsi hati,
pemeriksaan darah lengkap untuk menilai fungsi trombosit, dan profil metabolisme
dasar untuk menilai LFG dan fungsi ginjal. Tingkat transaminase > 2x batas atas
normal dengan atau tanpa nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium konsisten
26
dengan

27
preeklamsia. Kadar trombosit yang lebih besar dari 100.000 juga termasuk dalam
diagnosis preeklamsia.
Adanya edema paru pada rontgen dada atau pemeriksaan dalam hubungannya
dengan peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan preeklamsia. Gejala saraf pusat
yang terkait dengan diagnosis preeklamsia termasuk sakit kepala dan gangguan
penglihatan.
Pencitraan ultrasonografi dengan ultrasonografi Doppler berguna untuk menilai
efek preeklamsia pada janin, seperti hambatan pertumbuhan intrauterin. Ultrasonografi
juga berguna untuk memantau komplikasi lebih lanjut seperti solusio plasenta. Tes non-
stres janin harus dilakukan untuk menilai janin antepartum.

2.1.7 TATALAKSANA
Penatalaksanaan definitif untuk hipertensi dalam kehamilan adalah persalinan
karena plasenta adalah agen penyebab sehingga persalinan plasenta akan menyebabkan
resolusi proses penyakit. Tujuan penatalaksanaan preeklamsia antara lain: (1)
Menstabilkan hipertensi dan mencegah perkembangannya menjadi preeklamsia berat.
(2) Mencegah komplikasi. (3) Mencegah eklampsia. (4) Persalinan bayi yang sehat
dalam waktu yang optimal. (5) Pemulihan kesehatan ibu nifas.

Manajemen Ekspektatif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran


perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan
tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian
morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio caesaria atau
solusio plasenta. Sebaliknya, manajemen ekspektatif dapat memperpanjang usia
kehamilan serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membrane hialin,
necroting enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama
perawatan. Berat lahir bayi rata-rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun
insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi
neonatal serta kematian neonatal.

Manajemen Aktif
Indikasi pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai berikut:
 Kehamilan >34 minggu
28
 Adanya gejala impending eclampsia
 Gagal perawatan konservatif
 Diduga solusio plasenta
 Adanya fetal distress/gawat janin
 IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
 Terjadi oligohidramnion
 Tanda-tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit yang cepat

Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat berdasarkan POGI


tahun 2016 adalah sebagai berikut:

 Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus PEB dengan usia kehamilan


kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
 Manajemen ekspektatif pada PEB juga direkomendasikan untuk melakukan
perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif
bagi maternal dan neonatal.
 Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif PEB, pemberian kortikosteroid
direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin.
 Pasien dengan PEB direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama
melakukan perawatan ekspektatif.

Gambar 4. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat4


29
Gambar 5. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat4

Magnesium Sulfat (MgSO4)


Eklamsia merupakan ancaman langsung bagi ibu dan janin dan telat dikaitkan
dengan lesi pada daerah di otak. Risiko morbiditas jangka pendek dan segera muncul
merupakan hal yang harus menjadi fokus pentingnya pencegahan kejang selama
kehamilan dan preeklampsia. Konsentrasi serum normal Mg2+ pada manusia adalah 1,8
– 3,0 mg/dL dan target kisaran terapi pengobatan sebagai anti kejang pada preeklampsi
adalah meningkatkan kadar Mg2+ serum menjadi 4,2 – 8,4 mg/dL.
Preparat MgSO4 berupa cairan biasanya diberikan secara intramuskular,
intravena, titrasi atau kombinasi. Meskipun menjadi obat yang paling banyak diberikan
untuk profilaksis kejang pada kasus preeklampsia, penggunaannya dikaitkan dengan
efek samping yang berpotensi serius termasuk kelumpuhan otot pernapasan.
Hipermagnesemia menyebabkan kelemahan otot, tetapi dapat berkembang menjadi
kelumpuhan penuh jika cukup berat. Mekanisme kelumpuhan otot disebabkan
terjadinya kompetitif inhibitor ion kalsium oleh ion magnesium pada sel otot. Seperti
diketahui ion kalsium dibutuhkan dalam proses kontraksi sehingga otot dapat
berkontraksi karena terhambatnya pelepasan asetilkolin.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat
juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang
apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.3
Beberapa penelitian menjelaskan mekanisme MgSO4 yang bertindak sebagai
profilaksis kejang eklampsia pada wanita dengan preeklampsia. Gangguan sawar darah
otak adalah konsekuensi dari beberapa patologi dan proses penyakit yang mungkin
30
menjadi pusat serangan kejang eklampsia, dan merupakan target terapi potensial
MgSO4. Penelitian telah menunjukkan bahwa pengobatan MgSO4 mengurangi
permeabilitas sawar darah otak. Efek perlindungan ini dalam kondisi patologis yang
dapat meningkatkan permeabilitas kemungkinan karena aksi antagonis kalsium yaitu
Mg2+.
Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang atau kejang
berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis yang digunakan:4
1. Loading Dose (Initial Dose)
4 gram MgSO4 IV (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%) selama 5-10 menit.

2. Maintenance Dose
Diberikan IV 6 gram MgSO4 dalam larutan Ringer Laktat (RL) per 6 jam atau 1-2
gram/jam, atau diberikan 4-5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram IM tiap 4-6 jam. Dosis pemeliharaan dilanjutkan selama 24 jam postpartum
atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan
pemberian magnesium sulfat.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:4


1.
Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu Ca glukonas 10% 1 g
diberikan IV, selama 10 menit
2.
Refleks patella (+) kuat
3.
Frekuensi pernapasan >16 kali/menit, tidak ada tanda distress pernapasan
4.
Produksi urin >30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)

MgSO4 dihentikan bila:4


1. Ada tanda-tanda intoksitasi

2. Setelah 24 jam postpartum atau 24 jam setelah kejang terakhir

3. Dalam 6 jam postpartum sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Antihipertensi
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat, atau
tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg. Target penurunan
tekanan darah adalah tekanan darah sistolik <160 mmHg dan diastolik <110 mmHg.
Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting, hidralazine
dan labetalol parenteral. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah
31
nitrogliserin, metildopa, labetalol.

32
Pilihan obat antihipertensi meliputi:3

1. Diuretik
Diuretik meningkatkan ekskresi urin tubuh dengan membantu ginjal
mengeluarkan garam dan air yang berlebihan dari jaringan tubuh dan darah. Diuretik
tidak diberikan secara rutin kecuali bila ada edema paru-paru, gagal jantung
kongestif atau edema anasarka. Pemberian diuretik dapat merugikan yaitu
memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.
 Diuretik loop : furosemide
 Diuretik tiazid : hidroklorotiazid, klorotiazid
 Diuretik hemat kalium : spironolakton

2. Calcium Channel Blocker (CCB)


Berfungsi untuk memblokir masuknya kalium sel otot dinding arteri.

a. Nifedipin
Merupakan salah satu CCB yang digunakan untuk mencegah persalinan preterm
(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Nifedipin dapat menurunkan perfusi dari
uteroplasenta. Selain itu, berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang
selektif dan bersifat natriuretic, serta meningkatkan produksi urin. Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulangi setiap 15-30 menit, dengan
dosis maksimum 30 mg (maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan
MABP <20%. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena dapat
menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin.

b. Nikardipin
Merupakan CCB parenteral, yang mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan
menurunkan tekanan darah dengan efektif dalam 20 menit (lama kerja 4-6 jam).
Merupakan lini kedua yang dapat diberikan jika pada setelah nifedipin dan
metildopa tidak ada perubahan atau diberikan bila tekanan darah ≥180/110
mmHg atau pada hipertensi emergensi. Efek samping yang paling sering
dilaporkan adalah sakit kepala. Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui
infus yaitu 5 mg/jam dan dapat dititrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial rata-rata sebesar
25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan disesuaikan dengan respon.

33
3. Agonis Reseptor Alfa
Obat terpilih adalah metildopa karena safety margin yang luas (paling aman).
Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) dan merupakan obat antihipertensi
yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Walaupun metildopa bekerja terutama pada SSP, namun juga memiliki sedikit efek
perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi
nadi, cardiac output dan aliran darah ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping
pada ibu antara lain; letargi, mulut kering, sedatif, drug induced hepatitis.
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg, per oral, 2-3 kali sehari,
dengan dosis maksimum 3000 mg/hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah
obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.
Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intravena 250-500 mg tiap 6 jam
sampai maksimum 100 mg tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat
melalui plasenta pada jumlah tertentu disekresikan di ASI.
Penatalaksanaan eklampsia pada prinsipnya adalah untuk mencegah dan juga
menghentikan kejang secepatnya, mempertahankan fungsi organ vital, koreksi
terhadap terjadinya hipoksia dan asidosis,mengendalikan tekanan darah dalam batas
aman pengakhiran, dan mencegah serta mengatasi penyulit untuk mencapai
stabilisasikeadaan ibu seoptimal mungkin.
Perawatan dasar eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi
fungsi vital yaitu dengan manajemen Airway, Breathing dan Circulation (ABC),
mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah
trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya
pada wakiu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan
cara yang tepar. Perawatan medikamentosa dan perawaran suportif eklampsia,
merupakan perawatan yang sangar penting. Tujuan utama pengobatan
medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan
mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi, mencapai stabilisasi ibu seoptimal
mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang repat.1
Kejang eklampsia adalah keadaan darurat medis dan memerlukan perawatan
segera untuk mencegah kematian pada ibu dan janin. Pasien yang kejang secara aktif
harus mengamankan jalan napasnya untuk mencegah aspirasi. Pasien harus
ditempatkan di sisi kirinya, dan suction harus diterapkan untuk membantu sekresi
oral.Alat bantu jalan napas lainnya juga harus tersedia jika pasien memburuk dan

34
memerlukan intubasi.

35
Magnesium sulfat harus diberikan untuk mengontrol kejang danmerupakan
pengobatan lini pertama untuk kejang eklampsia. Dosis pemuatan 4-6 gram harus
diberikan secara intravena selama 15-20 menit. Dosis pemeliharaan 2 g per jam
selanjutnya harus diberikan. Pengobatan magnesium harus dilanjutkan setidaknya 24
jam setelah kejang terakhir pasien. Perhatian khusus harus diberikan saat
memberikan obat ini karena dapat menyebabkan toksisitas dan menyebabkan
kelumpuhan pernapasan, depresi sistem saraf pusat, dan henti jantung. Sangat
penting untuk memantau refleks, fungsi kreatinin, dan keluaran urin dengan
pemberian magnesium. Obat antiepilepsi lainnya termasuk diazepam atau fenitoin,
benzodiazepin dan barbiturat digunakan untuk kejang refrakter yang tidak responsif
terhadap magnesium.Levetiracetam atau asam valproat adalah alternatif untuk pasien
dengan miastenia gravis dengan eklampsia karena magnesium dan fenitoin
menyebabkan peningkatan kelemahan otot, yang dapat menyebabkan krisis
miastenia.3,4 Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia berat. Pengobatan suponif rerurama ditujukan
untuk grngguan fungsi organ organ penting, misalnya tindakan-tindakan untuk
memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru-paru, mengatur tekanan darah,
mincegah dekompensasi kordis.1

4. Sikap Dasar
Semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin. Pertimbangannya adalah keselamatan ibu. Kehamilan
diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi hemodinamika dan metabolism ibu, cara
terminasi dengan prinsip trauma ibu seminimal mungkin.
Prioritas pertama adalah jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Perawatan
multidisiplin sangat penting karena beberapa orang diperlukan untuk stabilisasi
segera. Intervensi termasuk penilaian jalan napas dan menempatkan pasien dalam
posisi dekubitus lateral (untuk menghindari aspirasi). Pertahankan oksigenasi dengan
oksigen tambahan melalui masker 8 hingga 10 L/menit. Pantau tanda-tanda vital dan
nilai oksimetri nadi. Perawatan suportif termasuk memasukkan bilah lidah di antara
gigi (menghindari menginduksi refleks muntah) dan mencegah cedera ibu.10

5. Pengobatan Obstetrik / persalinan


Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri
tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan harus dilakukan
36
secepatnya, tetapi hanya jika ibu dalam keadaan stabil. Persalinan diakhiri bila sudah
mencapai stabilitas hemodinamika dan metabolism ibu. Pada perawatan pasca
persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam sebaiknya dilakukan monitoring ttv
secara intensif.

Manajemen Pascapersalinan
Profilaksis eklampsia8
Magnesium harus dilanjutkan selama setidaknya 12 jam dan sering selama sekitar
24 jam atau setidaknya peningkatan output urin ibu (misalnya,> 100 mL/jam). Pada
beberapa kasus preeklamsia berat, eklampsia, HELLP atau oliguria berkelanjutan, atau
komplikasi lain, magnesium mungkin perlu dilanjutkan selama >24 jam. Preeklamsia
dapat memperburuk postpartum. Edema selalu memburuk, dan wanita harus menyadari
hal ini. Eklampsia masih dapat terjadi terutama pada 48 jam pertamapascapersalinan
bahkan sampai 14 hari pascapersalinan.

Asuhan Ibu dengan Eklampsia


1. Segera istirahat baring selama 1⁄2-1 jam nilai kembali tekanan darah,
nadi,pernafasan, reflek patella, denyut jantung janin, dan diuresis
2. Berikan infus terapi MgSO4 dengan catatan reflek patella harus (+), pernafasanlebih
dari 16 kali per menit serta diuresis baik.
3. Ambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap(DL),
kimia klinik, dan urinalisis.
4. Bila dalam 2 jam setelah pemberian obat anti kejang tekanan darah tidak turunbisa
diberikan obat antihipertensi parenteral atau oral
5. Bila pasien sudah tenang, bisa dinilai keadaan kehamilan pasien dan monitorDjj
6. Tentukan cara untuk terminasi kehamilan

2.1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi preeklamsia dapat berpengaruh baik terhadap ibu maupun janin.
Risiko komplikasi berhubungan dengan beratnya preeklamsia, durasi penyakit, dan
derajat proteinuria.3
Ibu
1. Selama Kehamilan
Eklampsia (2%) lebih banyak terjadi pada kasus akut dibandingkan pada kasus subakut,
accidental hemorrhage, solusio plasenta, oliguria dan anuria, penglihatan kabur dan
bahkan kebutaan, persalinan prematur, sindrom HELLP, perdarahan
37
serebral, acute respiratory distress syndrome (ARDS).
2. Selama Persalinan
Eklamsia dan perdarahan postpartum yang mungkin terkait dengan kegagalan
koagulasi.
3. Puerperium
Eklamsia biasanya terjadi dalam waktu 48 jam, syok-kolaps vasomotor nifas
dikaitkan dengan punurunan konsentrasi natrium dan klorida karena penurunan tiba-
tiba tingkat kortikosteroid, sepsis karena peningkatan insiden induksi, gangguan
operasi dan vitalitas rendah.17
Janin
Risiko janin berhubungan dengan beratnya preeklampsia, durasi penyakit dan derajat
proteinuria. Bahaya yang mungkin terjadi diantaranya adalah: intrauterine fetal death
(IUFD) akibat spasme sirkulasi uteroplasenta yang menyebabkan perdarahan tak
disengaja, intrauterine growth restriction (IUGR) karena insufisiensi plasenta kronis,
asfiksia serta prematuritas baik karena onset prematur spontan persalinan atau karena
induksi prematur. Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus sehingga
tonus ototuterus meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan vasospasme arterioli
pada myometrium makin terjepit. Aliran darah menuju retroplasenter makin berkurang
sehingga dampaknya pada denyut jantung janin seperti terjadi takikardi, kompensasi
takikardi dan selanjutnya diikuti bradikardi.17

2.1.9 PENCEGAHAN
Yang dimaksud pencegahan ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia
pada perempuan hamil yang mempunyai risiko terjadinya preeklampsia. Preeklampsia
adalah suatu sindroma dari proses implantasi sehingga tidak secara keseluruhan dapat
dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan nonmedikal dan medikal antara lain
sebagai berikut :1
 Pencegahan dengan nonmedikal
Pencegahan nonmedikal ialah pencegahan dengan tidak memberikan obat. Cara
yang paling sederhana ialah melakukan tirah baring. Di Indonesia tirah baring masih
diperlukan pada mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya preeklampsia
meskipun tirah baring tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia dan
mencegah persalinan preterm. Restriksi garam tidak terbukti dapat mencegah
terjadinya preeklampsia. Hendaknya diet ditambah suplemen yang mengandung (a)
minyak ikan
38
yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PUFA, (b)
antioksidan: vitamin C, vitamin E, B-karoten, CoQro, N-Asetilsistein, asam lipoik,
dan (c) elemen logam berat: zlnc, magnesium, kalsium.

 Pencegahan dengan medikal


Pencegahan dapat pula dilakukan dengan pemberian obat meskipun belum ada bukti
yang kuat dan sahih. Pemberian diuretik tidak terbukti mencegah ter;'adinya
preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia. Antihipertensi tidak terbukti
mencegah terjadinya preeklampsia. Pemberian kalsium: 1.500 - 2.000 mg/hari dapat
dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya preeklampsia. Selain itu dapat
pula diberikan zinc 2OO mg/hari, magnesium 365 mg/hari. Obat antitrombotik yang
dianggap dapat mencegah preeklampsia ialah aspirin dosis rendah rata-rata di bawah
100 mg/hari, atau dipiridamole. Dapat juga diberikan obat-obat antioksidan,
misalnya vitamin C, vitamin E, B-karoten, CoQro, N-Asetilsistein, asam lipoik.

Kejadian eklampsi terjadi akibat preeklampsi. Sehingga harus dilakukan


tindakanpencegahan agar tidak terjadi eklampsi. Pencegahan yang
direkomendasikan pada PNPK Preeklampsia 2016, yaitu:
a. Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita
hamil sejak awal kehamilannya
b. Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan untuk
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah
sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu
c. Suplementasi kalsium minimal 1 gr/hari direkomendasikan terutama
padawanita dengan asupan kalsium yang rendah sebagai prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya preeklampsia
d. Pemberian antioksidan vitamin C dan vitamin E dianggap tidak efektif serta
tirah baring dan pembatasan garam terbukti tidak bermanfaat dalam
pencegahan terjadinya preeklampsia.

Kejadian Eklampsia juga dapat dicegah dengan pemberian berikut :


 Magnesium sulfat
Magnesium adalah obat pilihan untuk pencegahan eclampsia. Dibandingkan
dengan plasebo atau tanpa antikonvulsan, magnesium sulfat dikaitkan dengan
penurunan 59%risiko eclampsia..

39
 Aspirin
Aspirin bekerja menghambat sintesis tromboksan sambil mempertahankansintesis
prostasiklin dinding pembuluh darah, yang secara teoritis dapat meningkatkan
aliran darah uteroplasenta dan pertumbuhan janin. Dibandingkan dengan plasebo
atau tanpa pengobatan, agen antiplatelet, seperti aspirin dosis rendah (75-150
mg/hari), diberikan kepada wanita dengan faktor risiko preeklamsia ( terutama
onset dini atau preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya) dikaitkan dengan
penurunan 17% risiko preeklamsia. indikasi untuk aspirin dosis rendah termasuk
wanita dengan riwayatpreeklamsia, kehamilan multifetal, CHTN, diabetes
mellitus tipe I atau II, penyakit ginjal, dan penyakit autoimun (sindrom
antifosfolipid, lupus eritematosus sistemik).
 Pencegahan dengan USG Doppler uterus abnormal.
Impedansi aliran di arteri uterina biasanya menurun seiring dengan kemajuan
kehamilan. Peningkatan impedansi untuk usia kehamilan mencerminkan
resistensi hilir yang tinggi karena defek diferensiasi trofoblas, yang menyebabkan
preeklamsia dan insufisiensi plasenta. Doppler arteri uterina abnormal pada
trimester kedua telahdikaitkan dengan peningkatan risiko preeklamsia.
 Kalsium.
Dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan, suplementasi kalsium
dikaitkan dengan penurunan 35% dalam kejadian tekanan darah tinggi dan
pengurangan 55% dalam risiko preeklamsia seperti yang ditunjukkan dalam
meta- analisis dari 13 studi, 15.730 wanita.

2.1.10 PROGNOSIS
Gangguan hipertensi, termasuk preeklamsia dan eklampsia, mempengaruhi 10%
kehamilan di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Meskipun kemajuan dalam manajemen
medis, tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal di seluruh
dunia. Sementara tingkat eklampsia secara khusus telah menurun, itu masih merupakan
komplikasi yang sangat serius pada kehamilan. 7 Bila penderita tidak terlambat dalam
pemberian pengobatan, maka geiala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya
diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini
merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian.1

40
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang
sudah mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eclampsia juga tergolong
buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang kondisi
bayi sudah sangat inferior.1

41
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Pasien Suami
Nama Ny. A Tn. J
Usia 27 tahun 27 tahun
Alamat Kp. Tambun, Tambun Selatan, Bekasi
Pekerjaan IRT Karyawan
Pendidikan terakhir SMA SMK
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Tanggal masuk RS 27 Agustus 2022
Tanggal pemeriksaan 01 September 2022

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan suami pasien pada tanggal 27
Agustus 2022 di ruang VK pukul 11.30WIB
1. Keluhan Utama
Pandangan kabur atau berkunang-kunang sejak 1 bulan SMRS.

2. Keluhan Tambahan
Pusing dan perut terasa kencang dirasakan hilang timbul

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien Ny.A usia 27 tahun, G1P0A0 dengan usia kehamilan 32 minggu datang ke
IGD Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 27 Agustus 2022 pukul 11.30
WIB dengan keluhan pandangan kunang – kunang atau kabur dirasakan sejak satu
bulan SMRS. Keluhan lain juga dirasakan seperti Pusing dan perut terasa kencang
yang hilang timbul. Pasien mengatakan mempunyai riwayat hipertensi sejak usia
kehamilan 7 bulan. Keluhan seperti mual, muntah, sesak dan kejang disangkal.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat diabetes mellitus disangkal

42
 Riwayat infeksi menular seksual disangkal
 Riwayat alergi disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat diabetes mellitus diderita oleh ayah pasien
 Riwayat infeksi menular seksual disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok, konsumsi alkohol dan jamu – jamuan disangkal. Pasien makan 3
kali sehari dengan nasi dan lauk seperti tahu, tempe, ayam dll.

STATUS REPRODUKSI
7. Riwayat Menstruasi
 Menarche : 11 tahun
 Siklus haid : 2-3 bulan sekali
 Durasi : 14 hari
 Jumlah darah : 7-8 pembalut/hari
 Keluhan saat haid : Tidak ada
8. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah pertama kali usia 22 tahun, menikah hanya 1 kali dengan
usia pernikahan saat ini 5 tahun.
9. Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi.
10. Riwayat Obstetri
 Paritas : G1P0A0, gravida 32 - 33 minggu
 Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 21 Januari 2022
 Hari Perkiraan Lahir (HPL) : 28 Oktober 2022
 Usia kehamilan berdasarkan HPHT : 32 minggu 2 hari

Tabel 1.1 Riwayat Persalinan Pasien

Te Usia Pen Jenis Anak Kead


Peny Nif
No Tahun m Keha olo Persa JK BB PB aan
ulit as
pat milan ng linan Anak

43
1. 2022 Kehamilan saat ini

44
11. Riwayat Asuhan Antenatal (ANC)
Trimester I : 1x kontrol
Trimester II : 1x kontrol
Trimester III : 2x kontrol

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 201/128 mmHg
- Nadi : 109 x/menit
- Pernapasan : 21 x/menit
- SpO2 : 98%
- Suhu : 36,6˚C
Status Gizi :
- Berat Badan : 102,3 kg
- Tinggi Badan : 164 cm
b. Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Pupil bulat isokor, 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-)
 Mulut : Mukosa mulut basah, faring hiperemis (-), tonsil T1-
T1, hiperemis (-), bibir sianosis (-)
 THT : Normal, sekret (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
 Leher : Trakea di medial, pembesaran tiroid atau KGB (-)
 Thoraks
Inspeksi : Normochest, pergerakan dinding dada simetris, AP:T (1:2)
Palpasi : Fremitus vokal dan taktil paru kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, BJ I –
II reguler, bising (-)

45
 Abdomen : Status obstetrikus
 Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
Ekstremitas bawah : Akral hangat +/+, edema +/+, CRT < 2 detik,
refleks patella (+)

c. Status Obstetri
1. Pemeriksaan Luar
a. Inspeksi
Wajah : Chloasma gravidarum (+)
Payudara : Membesar (+/+), areola melebar dan hiperpigmentasi (+/+),
papilla mammae menonjol (+/+)
Abdomen : Tampak cembung gravida, linea nigra (+)

b. Palpasi
TFU : 28 cm
TBJ klinis : (28 – 12) x 155 = 2480 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, bulat, tidak melenting, kesan
bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang, kesan punggung
disebelah kanan dan bagian kecil-kecil menonjol,
kesan ekstremitas disebelah kiri
Leopold III : Teraba bagian kerasa, melenting, kesan kepala
Leopold IV : Bagian terbawah janin belum memasuki PAP
c. Auskultasi
DJJ : 153 x/menit
2. Pemeriksaan Dalam (VT)
Tidak dilakukan

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium ( 27 agustus 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,8 g/dL 12,0 – 16,0
Hematokrit 38 % 38,0 – 47,0

46
Eritrosit 5.01 10^6 /µL 4,20 – 5,40

MCV 76 (H) fL 80 – 96
MCH 26 (H) Pg/mL 28 – 33
MCHC 34 g/dL 33 – 36
Trombosit 350 10^3 /µL 150 – 450

Leukosit 9.2 10^3/µL 5,0 – 10,0

Hitung Jenis
Basofil 0 % 0,0 – 1,0
Eosinofil 1 % 1,0 – 6,0
Neutrofil 70 % 50 – 70
Limfosit 24 % 20 - 40
NLR 2.92 <= 5.80
Monosit 5 % 2–9
LED 57 (H) mm/jam < 15
Kimia Klinik
SGOT (AST) 36 (H) U/L < 32
SGPT (ALT) 32 (H) U/L < 31
Ureum 5 (L) mg/dL 15 – 40
Kreatinin 0.4 (L) mg/dL 0.51 – 0.95
eGFR 143.2 mL/min/1.73m^2 > 60
Glukosa Sewaktu 178 (H) mg/dL 80 - 170
Asam urat 6.4 Mg/dL 2.6 – 5.8

HEMATOLOGI
Golongan darah B
Rhesus (+) Positif
HEMOSTASIS
PT
PT (Pasien) 9.1 (L) Detik 10.3 – 12.9
PT (Kontrol) 11.1 Detik 9.2 – 12.5
APTT

47
APTT (Pasien) 27.3 Detik 25.8 – 33.7
APTT (Kontrol) 35.0 Detik 28.4 – 38.4
ANTI HIV Penyaring
HIV reagen 1 Non reaktif
Petanda Hepatitis
Globulin Non reaktif

URINALISA
Urin Lengkap
Makroskopis
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih
Kimia Urin
pH 6.0 4.6 – 8.0
Berat Jenis 1.015 1.001 – 1.035
Glukosa (urin) (-) Negatif (-) Negatif
Protein Urin Positif 3 mg/dL Negatif
Urobilinogen 0.2 EU/dL < 1.0
Darah Samar (urin) (-) Negatif (-) Negatif
Bilirubin (-) Negatif (-) Negatif
Nitrit (-) Negatif (-) Negatif
Keton (-) Negatif (-) Negatif
Leukosit Esterase (-) Negatif (-) Negatif

Sedimen
Eritrosit 0-3 /LPB <5
Leukosit 2-3 /LPB <5
Sel Epitel Positif 1 /LPB 1+
Kristal Negatif
Silinder Negatif
Bakteria (-) Negatif Negatif
IMUNOLOGI
PCR SARS-CoV-2 (-) Negatif Negatif

48
3.5 RESUME
Pasien Ny.A usia 27 tahun, G1P0A0 dengan usia kehamilan 32 minggu datang ke IGD
Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal 27 Agustus 2022 pukul 11.30 WIB
dengan keluhan pandangan kunang – kunang atau kabur dirasakan sejak satu bulan
SMRS. Keluhan lain juga dirasakan seperti pusing dan perut terasa kencang juga
dirasakan hilang timbul. Pasien mengeluhkan mempunyai riwayat hipertensi sejak usia
kehamilan 7 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit sedang DENGAN
TD 210/128 mmHg. Pada pemeriksaan obstetrics didapartkan Chloasma gravidarum,
payudara membesar, areola melebar dan hiperpigmentasi, papilla mammae menonjol,
Tampak cembung gravida, linea nigra, DJJ 153x/menit. Pada pemeriksaan leopold
didapatkan TFU 28 cm, bagian atas bokong, punggung kanan, bagian bawah kepala dan
konvergen. Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan peningkatan LED, SGOT,
SGPT, glukosa sewaktu dan asam urat, serta terdapat penurunan nilai MCH, MCV, PT,
kreatinin, eGFR. Pada pemeriksaan urinalisa didapatkan proteinuria +3.

3.6 DIAGNOSIS
Ibu : G1P0A0 gravida 32 - 33 minggu dengan PEB
Janin : Janin tunggal, Hidup, Intra Uterin, Presentasi kepala, DJJ
147x/menit

3.7 RENCANA PEMERIKSAAN


 Urinalisa
 Pemeriksaan darah lengkap
 Kimia klinik
 USG

3.8 RENCANA PENATALAKSANAAN


 Pasang kateter urin
 Drip IV MgSO4 40% (12 g MgSO4) dalam 500cc RL/6 jam
 Dopamet 3 X 500mg
 Amlodipine 3 X 5 mg
 Inj. Dexametasone 2 amp/8 jam
 Rencana persalian sectio caesarea (SC)
 Rencana persalian sectio caesarea (SC)

49
 KIE: Edukasi pasien dan keluarga terkait diagnosis serta rencana tindakan yang akan
dilakukan

3.9 PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam


Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

3.10 FOLLOW UP

01 September 20222 pukul 15.30 WIB

S : Nyeri post SC
O:
 KU : tampak sakit sedang
 TD : 100/70 mmHg
 HR : 90 x/menit
 RR : 20 x/menit
 SpO2 : 98%

A : Post SC atas indikasi G1P0A0 H 32 – 33 minggu dengan PEB

P:
 Inj. Ceftriaxone 1 gr
 Inj. Syntocikon 10 iu
 Dopamet 3 x 500 mg
 Amlodipin 2 X 500 mg

50
BAB IV
ANALISIS KASUS

1. Bagaimana penegakkan diagnosis pada pasien ini?


 Pasien sedang dalam kehamilan pertama. Berdasarkan anamnesis mengenai
HPHT pasien yaitu pada tanggal 21 januari 2022
- Rumus Naegle didapatkan taksiran persalinan yaitu 28 Oktober 2022. Pasien
datang dan diperiksa pada tanggal 27 Agustusi 2022 sehingga usia kehamilan
yaitu 32 minggu 2 hari.
 Berdasarkan anamnesis pasien Ny.A Pasien Ny.A datang dengan keluhan
pandangan kunang – kunang atau kabur dirasakan sejak satu bulan SMRS.
Keluhan lain juga dirasakan seperti pusing dan perut terasa kencang juga
dirasakan hilang timbul. Pasien mengeluhkan mempunyai riwayat hipertensi sejak
usia kehamilan 7 bulan. Pada pemeriksaan urinalisa didapatkan proteinuria +3.
- Preeklampsia adalah suatu penyakit multifaktorial dan multisistemik spesifik
pada kehamilan yang secara klasik didiagnosis dengan adanya hipertensi yang
berhubungan dengan proteinuria pada wanita hamil setelah minggu ke-20
kehamilan yang sebelumnya normotensif.

2. Apakah penyebab keluhan pada pasien ini?

• Berdasarkan anamnesis pasien Ny.A datang dengan keluhan pandangan kunang –


kunang atau kabur dirasakan sejak satu bulan SMRS. Keluhan lain juga dirasakan
seperti pusing dan perut terasa kencang juga dirasakan hilang timbul. Pasien
mengeluhkan mempunyai riwayat hipertensi sejak usia kehamilan 7 bulan. Pada
pemeriksaan urinalisa didapatkan proteinuria +3.
- Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan
tanda dibawah ini:
 TD ≥ 160/90 mmHg.
 Proteinuria: 2 5 gr/jumlah urin selama 24 jam
 Oliguria: produksi urin < 400-500 ml/24 jam
 Kenaikan kreatinin serum
 Edema par dan cyanosis
 Gangguan otak dan visus
 Gangguan fungsi hati

51
 Trombositopenia:<100.000cell/mm'
 Sindrom Hemolysis Elevated Liver Enzym Low Platelet Count (HELLP)

3. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?


 Pasang kateter urin
 Drip IV MgSO4 40% (12 g MgSO4) dalam 500cc RL/6 jam
 Dopamet 3 X 500mg
 Amlodipine 3 X 5 mg
 Inj. Dexametasone 2 amp/8 jam
 Rencana persalian sectio caesarea (SC)
 KIE: Edukasi pasien dan keluarga terkait diagnosis serta rencana tindakan yang akan
dilakukan

Teori

Pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suprotif terhadap


penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan
 Loading Dose : 4 gram MgSO4 IV (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%) selama
5-10 menit
 Maintenance Dose : Diberikan IV 6 gram MgSO4 dalam larutan Ringer Laktat (RL)
per 6 jam atau 1-2 gram/jam, atau diberikan 4-5 gram IM. Selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gram IM tiap 4-6 jam.
 Antihipertensi › nifedipine 10-20 mg peroral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
 Manajemen aktif > bila umur kehamilan > 37 minggu, tanda-tanda impending
eklampsia, terapi konservatif gagal
 Manajemen konservatif > kehamilan preterm < 37 minggu, tidak disertai tanda-tanda
impending eclampsia

52
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Preeklampsia adalah suatu penyakit pada kehamilan dengan adanya hipertensi yang
berhubungan dengan proteinuria yang terjadinya hipertensi setelah minggu ke-20
kehamilan yang sebelumnya normotensif. Sedangkan eklampsia adalah adanya kejang
pada pasien dengan preeklampsia dimana kejang yang timbul tidak disebabkan oleh
penyebab lain. Tujuan utama pengobatan medikamentosa eklampsia ialah mencegah dan
menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya krisis hipertensi,
mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat
dan dengan cara yang repat.

5.2 SARAN
Preeklampsia ataupun eklampsia merupakan salah satu penyebab kematian ibu
dimana eclampsia adalah suatu keadaan darurat. Oleh karena itu diperlukannya skrining
risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil sejak awal kehamilannya untuk
meminimalisir terjadinya preeklampsia ataupun eklampsia.

54
DAFTAR PUSTAKA
1. Saifuddin A, Rcahimhadhi, T. et al. Ilmu Kebidanan Sarwono Edisi Keempat. 2010.
Jakarta
2. Peracoli J Carlos, Borges V, et al. Pre-eclampsia/Eclampsia. Rev Bras Ginecol Obstet.
2019. Vol. 41:318 – 332.
https://www.scielo.br/j/rbgo/a/ddQkrYC6mvhYQv4bxZXRDcT/?format=pdf&lang=en
diakses pada 18 Januari 2022
3. Cunningham F, Leveno K, Bloom S et al. Williams Obstetrics, 25E. New York, N.Y.:
McGraw Hill Medical; 2018.
4. POGI. PNPK Diagnosis dan Tatalaksana Preeklampsia. 2016. 1–48 p.
5. Cunningham F, Leveno K, Bloom S et al. Williams Obstetrics, 25Ed, Hypertension
Disorder in Pregnancy. New York, N.Y.: McGraw Hill Medical; 2018.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020.
2020. Jakarta : Kemenkes RI. Hal. 99 - 100.
7. Berghella, V. (Ed.). (2017). Maternal-fetal evidence based guidelines. CRC Press.
8. Clark T. Johnson, Jennifer L. Hallock, et al. The Johns Hopkins Manual of Gynecology
and Obstetrics 5 Edition. 2015. The John Hopkins Medical Institution, Baltimore,
th

Maryland.
9. American College of Obstetrics and Gynecology [ACOG]. Practice Bulletin No. 202
Summary: Gestational Hypertension and Preeclampsia. ObstetGynecol. 2019;133:211–
214.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. 2013. h.114
11. Phipps E, Prasanna D, Brima W, Jim B. Preeclampsia: Updates in Pathogenesis,
Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol. 2016 Jun 6;11(6):1102-13. doi:
10.2215/CJN.12081115. Epub 2016 Apr 19. PMID: 27094609; PMCID: PMC4891761.
12. Ives CW, Sinkey R, Rajapreyar I, Tita ATN, Oparil S. Preeclampsia-Pathophysiology and
Clinical Presentations: JACC State-of-the-Art Review. J Am Coll Cardiol. 2020 Oct
6;76(14):1690-1702. doi: 10.1016/j.jacc.2020.08.014. PMID: 33004135.
13. Lim Kee-Hak. Preeclampsia. 2018. https://emedicine.medscape.com/article/1476919-
overview#a2 diakses pada 18 Januari 2022.
14. Phipps EA, Thadhani R, Benzing T, Karumanchi SA. Pre-eclampsia: pathogenesis, novel
diagnostics and therapies. Pubmed Central. 2019; 15(5): 275–289. doi:10.1038/s41581-
019-0119-6
15. Sreelakshmi K, Ashwini h P. Atypical Preeclampsia: A Review. J Gynecol Women’s
Health. 2018: 2(5):555849. DOI: 10.19080/JGWH.2018.12.555849.
16. Dutta D. DC Dutta’s textbook of obstetrics. 8th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) LTD; 2016.
17. Arulkumaran S, Ledger W, Denny L, Doumouchtsis S, editors. Oxford Textbook of
Obstetrics and Gynaecology. Oxford University Press; 2019 Dec 23

55

Anda mungkin juga menyukai