Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

NEUROPATI DIABETIKUM

Dibuat oleh:

Muhammad Reza Ma’rifatullah

NPM 1102016136

Pembimbing:

Kolonel CKM dr. Antun Subono, Sp.S, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RUMAH SAKIT TK.II MOH. RIDWAN MEURAKSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 31 JANUARI - 26 FEBRUARI 2022


BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering
ditemukan pada diabetes melitus. Resiko yang dihadapi pasien DM dengan ND ialah infeksi
berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang
menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian.

ND paling sering terjadi pada yang berumur lebih dari 50 tahun, lebih jarang pada yang
berumur kurang dari 30 tahun dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak. Prevalensi ND
dalam berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa
10-20% pasien saat ditegakkan DM telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetika
ini akan meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan
setelah menderita diabetes setelah 25 tahun, prevalensi neuropati diabetika akan mencapai 50%.

Dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor primer terjadinya ND. Faktor
metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap terjadinya neuropati
diabetik, tetapi teori lain yang diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve growth factor.
Ada yang menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga
berhubungan dengan resiko kardiovaskular yang potensial masih dapat dimodifikasi.

Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya
dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis
saraf yang terkena lesi.

Mengingat terjadinya ND merupakan rangkaian proses yang dinamis dan bergantung


pada banyak faktor, maka pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya merupakan bagian
dari pengelolaan diabetes secara keseluruhan.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi

Neuropati diabetik adalah munculnya gejala dan tanda-tanda disfungsi saraf tepi pada
penderita DM, setelah penyebab lain disingkirkan. Manifestasi ND dapat subklinik maupun
klinik dan sangat bervariasi. Tidak ada ND tunggal.

Oleh karena menyangkut saraf tepi, maka gangguannya dapat melibatkan saraf aferen
(sensorik) dan sistem eferen. Sistem saraf eferen termasuk sistem somatik dan otonomik.
Neuron sistem somatik menyampaikan informasi dari susunan saraf pusat (SSP) kepada otot-
oto skeletal, sistem otonomik (SO) menyampaikan informasi dari SSP kepada otot polos, otot
jantung, dan kelenjar. Dalam SO banyak organ tubuh mendapat inervasi kembar. Serabut
saraf parasimpatis mengatur fungsi tubuh untuk lebih istirahat (contoh: mengosongkan vesica
urinaria), sedangkan serabut simpatis mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik.

2.2 Etiologi

Kejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi, di
atas nilai normal) berkepanjangan. Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme
abnormal yang menghasilkan timbunan produk-produk akhir glukosa (sorbitol dan advance
glycosilation end products/AGEs). Bahan-bahan tersebut mengganggu transmisi sinyal sel-
sel saraf, menurunkan kemampuan saraf membuang radikal bebas, dan juga merusak sel saraf
secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemia juga mengganggu peredaran darah ke
sistem saraf.

2.3 Patologi
Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetik ini terdapat pada sel-sel
Schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung pada derajat dan
lamanya mengidap DM. Perubahan patologis dasar dalam hubungannya dengan patofisiologi
neuropati meliputi demielinisasi segmental, degenerasi aksonal dan degenerasi Wallerian.

2.3.1 Demielinisasi Segmental

Segmen-segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang


akson masih dalam keadaan utuh. Meskipun demieliniasi telah terjadi secara luas,
namun seringkali aksonnya tidak mengalami perubahan degeneratif. Seringkali
setelah mengalami demielinisasi, serabut saraf menunjukkan adanya proses
regenerasi berupa remielinisasi, jumlah sel Schwann akan bertambah banyak. Jika
proses patologis tersebut berlangsung secara kronis dengan proses demielinisasi
dan remielinisasi yang berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang konsentrik
dari sel Schwann, sehingga satu struktur seperti lapisan bawang merah yang
disebut onion bulb, yang dengan palpasi akan teraba benjolan-benjolan pada saraf.

2.3.2 Degenerasi Aksonal

Penyebab degenerasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolik atau


toksik sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme badan sel, transpor
aksonal serta fungsi-fungsi lainnya. Bagian ujung distal akson yang pertama
mengalami degenerasi dan apabila proses terus berlanjut degenerasi akan berjalan
ke arah proksimal. Proses ini menimbulkan suatu keadaan yang dikenal sebagai
dying back neuropathy.

2.3.3 Degenerasi Wallerian

Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang


menyebabkan terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh
suatu proses degenerasi aksonal di sebelah distal tempat terjadinya perlukaan,
yang kemudian diikuti terputusnya mielin secara sekunder. Proses tersebut
dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Kelainan mulai timbul antara 12-36 jam
setelah terjadi perlukaan saraf. Perubahan awal didapatkan pada akson yang
terletak di dalam atau di sekitar nodus Ranvier sepanjang saraf disebelah distal
dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama juga terjadi pada akson di sekeliling
nodus Ranvier tepat di sebelah proksimal dari tempat perlukaan. Sel Schwann
pada bagian ini akan mengalami proloferasi hebat. Makrofag endoneuron akan
membantu sel Schwann dalam menghancurkan mielin yang rusak.

2.4 Epidemiologi

ND paling sering terjadi pada yang berumur lebih dari 50 tahun, lebih jarang pada yang
berumur kurang dari 30 tahun dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak. Dyck dan teman-
temannya mempelajari diabetes di Rochester, Minnesota dan menemukan bahwa 54% tipe 1
(insulin-dependent) dan 45% tipe 2 (noninsulin-dependent) mengalami polineuropati.

Neuropati muncul pada 7,5% pasien yang didiagnosis dengan DM. Lebih dari
setengahnya adalah distal simetris polineuropati. Tidak ada predileksi ras yang khusus untuk
diabetik neuropati. Tetapi orang yang berkulit hitam lebih besar untuk terjadi komplikasi
sekunder dari neuropati diabetik, seperti amputasi dari extremitas bawah dibandingkan orang
berkulit putih. DM mengenai baik pria maupun wanita sama jumlahnya. Walaupun, pasien pria
dengan tipe 2 diabetes dapat terkena polineuropati lebih awal dibandingkan wanita. Neuropati
diabetik biasanya lebih sering terjadi pada orang tua.

2.5 Patofisiologi

Beberapa faktor yang menyebabkan neuropati diabetik :


1. Faktor Vaskuler

Pada pasien DM yang lama seringkali sudah terjadi mikroangiopati yang


menjadi dasar komplikasi kronik DM berupa retinopati, nefropati dan neuropati.
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan
kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas
oksidatif yang disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas ini membuat
kerusakan endotel vascular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi
vasodilatasi mikrovaskular sehingga menurunkan penyediaan darah pada saraf yang
terkena. Mekanisme kelainan mikovaskular tersebut dapat melalui penebalan membran
basalis yang menyebabkan kerusakan blood nerve barrier; thrombosis pada arteriol
intraneural; peningkatan agregrasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas eritrosit;
berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vascular; pembengkakan
dan demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Proses iskemik ini juga
menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktivitas Na-K-ATPase yang akhirnya
menimbulkan degenerasi akson.

2. Faktor Metabolik

Kondisi hiperglikemia menyebabkan glukosa dan metabolitnya dipakai oleh


beberapa jalur. Beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan dampak negative
hiperglikemia adalah:

2a. Penumpukan sorbitol (Polyol pathway)

Hiperglikemia menyebabkan kadar glukosa intraseluler yang


meningkat, sehingga terjadi kejenuhan (saturation) dari jalur glikolitik
yang biasanya digunakan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas
jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang
merubah glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh
sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa
dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas.
Salah satu kemungkinannya adalah akibat akumulasi sorbitol dalam sel
saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga
mengakibatkan edem saraf. Reaksi poliol ini juga menyebabkan turunnya
persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor penting dalam
metabolisme oksidatif. Karena NADPH merupakan kofaktor untuk
glutathion dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor
tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan
penurunan nitric oxide (NO). Penurunan NO mengakibatkan vasodilatasi
berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya
mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik.

2b. Penurunan kadar mioinositol


Mioinositol berperan dalam transmisi impuls, transport elektrolit,
dan sekresi peptida. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya
mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan
akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotic yang akan
merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC).
Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na
intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol
masuk ke dalam saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada
saraf. Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis
neuropati perifer diabetika. Hiperglikemia di dalam sel meningkatkan
sintesis atau pembentukan diacylglyserol (DAG) dan selanjutnya
peningkatan protein kinase C. Protein kinase juga diaktifkan oleh stress
oksidatif dan advanced glycosilation products (AGEs). Aktivasi protein
kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular, gangguan
sintesis nitric oxyde (NO) dan perubahan aliran darah.

2c. Glikosilasi non enzimatik

Kondisi hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan


terjadinya proses glikosilasi protein dengan hasil akhir terbentuknya
advanced glycosilated end products (AGEs) dimana AGEs sangat toksik
dan merusak protein tubuh, termasuk sel saraf. Glikosilasi dari protein
saraf ini akan menyebabkan terbentuknya glycosilated myelin yang
mempunyai reseptor spesifik dan akan difagositosis oleh makrofag.
Serangan sel-sel makrofag tersebut akan menyebabkan hilangnya mielin
pada saraf tepi, dengan akibat terjadinya gangguan fungsi sel saraf
tersebut.

C. Faktor Autoimun

Peran antibodi berperan dalam mekanisme patogenesis neuropati diabetik


adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian penyandang DM.
Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik
dan sensorik yang bisa dideteksi dengan immunofloresens indirek. Neuropati
autoimun bisa terjadi karena perubahan imunogenik dari sel endotel kapiler.1

D. Peran Nerve Growth Factor (NGF)

NGF berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap serabut saraf dan
neuron simpatis. Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga transport
aksonal yang retrograde (dari organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan
kadar NGF pada kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small
fibers sensory neuropathy.

Gambar 1.

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala tergantung dari tipe neuropati dan tergantung dari saraf mana yang terkena. Gejala
biasanya tidak terlalu kelihatan pada awalnya, dan biasanya gejala karena kerusakan saraf baru
terlihat beberapa tahun kemudian. Gejala dapat meliputi sistem saraf sensorik, motorik dan
otonom. Pada beberapa orang dengan neuropati fokal, onset nyerinya dapat tiba-tiba dan berat.
Gejala neuropati perifer antara lain :

- Rasa tebal atau kurang merasakan nyeri atau suhu

- Rasa seperti kesemutan, seperti terbakar atau seperti ditusuk-tusuk

- Nyeri yang tajam terasa di jari kaki, kaki, tungkai, tangan, lengan dan jari tangan

- Kehilangan keseimbangan dan koordinasi

- Mengecilnya otot-otot kaki dan tangan

- Rasa tebal, kesemutan atau nyeri di telapak kaki, kaki, tangan, telapak tangan dan jari-jari

- Gangguan pencernaan seperti mual, muntah

- Masalah miksi (inkontinensia urin)

- Disfungsi ereksi

- Disesthesia (penurunan atau hilangnya sensibilitas ke tubuh)

2.7 Klasifikasi Neuropati Diabetika

1. Simetris

1a. Distal sensory polineuropati

Bentuk ini paling banyak dijumpai dengan gejala-gejala yang sifatnya


simetris dan berlangsung kronis. Pada permulaan biasanya gangguan pada serabut-
serabut halus (small fiber) ditemukan gejala sensibilitas, dapat berupa parestesi, rasa
tebal, rasa nyeri, rasa panas seperti terbakar dan rasa keram pada bagian distal
tungkai. Hipalgesia/analgesia dapat berupa sarung tangan atau kaos kaki (glove and
stocking) dan kondisi seperti ini memudahkan terjadinya  trauma/ulkus pada kaki,
keluhan ini menjalar ke bagian tungkai dan jari kaki dan makin buruk saat malam
hari.

Degenerasi serabut-serabut kasar (large fiber) menyebabkan gangguan


proprioseptif seperti berkurangnya rasa vibrasi/gangguan rasa posisi dapat pula
ditemukan, kadang-kadang ataksia dapat dijumpai. Lebih jauh bisa pula timbul
kelainan motorik seperti atrofi, refleks tendo menurun sampai menghilang pada
bagian distal dari ekstremitas.

Refleks Achilles tidak ada dan kadang-kadang refleks patella juga tidak
terdapat refleks. Hilangnya refleks tersebut dapat menyebabkan perubahan cara
berjalan dan dapat terjadi deformitas pada kaki seperti hammertoes. Terdapat
kelemahan otot, tetapi pada beberapa pasien distal sensory neuropathy dikombinasi
dengan kelemahan pada bagian proximal. Selain itu, juga ditemukan ataksia dan
atoni dari kandung kemih.

Gambar 2. Neuropati

1b. Neuropati otonom

Pada neuropati otonom, meliputi kombinasi dari disfungsi pupil dan


lakrimal, reflex vascular, diare nocturnal yang disebabkan kerusakan pada
esophagus dapat menyebabkan kesukaran menelan sedangkan kerusakan pada
usus menyebabkan konstipasi bergantian dengan diare yang sering dan tak
terkontrol terutama pada malam hari dan karena hal ini dapat menyebabkan
turunnya berat badan., atonik pada traktus gastrointestinal (gastroparesis), dan
dilatasi kandung kemih, impotensi seksual, dan hipotensi postural.3 Hipotensi
postural disebabkan karena kerusakan saraf di system kardiovaskuler sehingga
menganggu kemampuan badan untuk mengatur tekanan darah dan denyut jantung
sehingga tekanan darah dapat turun dengan mendadak setelah duduk atau berdiri
dan dapat menyebabkan penderita pingsan.

Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, mengurus


tekanan darah dan mengatur gula darah. Juga mengenai organ dalam yang
menyebabkan gangguan pada pencernaan, pernapasan, miksi, respons seksual dan
penglihatan. Manifestasi gangguan saraf otonom berupa hiperhidrosis, diare
noktural, atoni kandung kemih.

1c. Simetric proximal lower limb motor neuropathy (amyotrophy)

Menurut Asbury, proximal neuropati merupakan variasi diabetik


radikulopati, yakni kelemahan pada otot dari pelvic girdle yang terjadi secara
pelan-pelan dalam beberapa hari atau minggu. Gejala awal berupa timbulnya rasa
nyeri seakan-akan ditusuk pisau di daerah lumbosakral dan meluas ke paha secara
simetris bilateral. Lebih jauh bisa timbul kelemahan otot femoral sampai atrofi
sehingga penderita kalau jalan sering jatuh.

Bisa pula gejala-gejala timbul asimetri yang dikenal dengan asimetrik /


“focal peripheral neuropathy”. Adanya atrofi ini menyebabkan keadaan ini
disebut pula sebagai “diabetic amyotrophy” oleh karena ada anggapan bahwa lesi
terdapat pada kornu anterior. Ada pula yang menyebut sebagai femoral
neuropathy atau sacral plexopathy.

Biasanya proximal neuropathy dijumpai pada penderita diabetes yang


berumur 50 tahun ke atas, dimana terdapat penurunan berat badan yang menyolok
dan gangguan metabolik yang hebat. Otot yang sering diserang ialah kuadriceps
femoris, ileopsoas dan abduktur paha. Laki-laki lebih banyak dijumpai daripada
perempuan dan dijumpai pada penderita dengan kontrol gula yang jelek. Prognosa
baik bila gangguan metabolik dikoreksi pada waktunya.
2. Asimetris

2a. Cranial Mononeuropati

Kelainan pada cranial mononeuropati ini disebabkan karena pada awalnya


terjadi iskemik yang didapatkan pada degenerasi Wallerian dan pada degenerasi aksonal
dimana terjadi dying back type neuropati.

Terjadinya diabetik oftalmoplegia biasa sering terjadi. Terjadi kerusakan pada


N.III, N.IV dan N.VI. Pada hasil autopsi yang dikerjakan oleh Dreyfus dll ditemukan
lesi infark ditengah pada retroorbital pada N.III. Biasanya cranial mononeuropati terjadi
karena adanya infark pada saraf yang terjadi pada patologi neuropati diabetik.

2b. Truncal Neuropathy / Nyeri Radikular

Bisa berupa brachial dan lumbar plexopathy. Nyeri radikuler dan anestesia
mengikuti dermatom. Biasa dijumpai pada penderita diabetes yang berumur tua. Radiks
anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen intravertebrale. Berkas
itu dinamakan saraf spinal. Baik iritasi pada serabut-serabut sensorik di bagian radiks
posterior maupun di bagian saraf spinal itu membangkitkan nyeri radikular. Nyeri
radikular yaitu nyeri yang terasa berpangkal pada tingkat tulang belakang tertentu dan
menjalar sepanjang kawasan dermatomal radiks posterior yang bersangkutan.

Medula spinalis yang terkena paling sering adalah lumbal. Nyeri yang dirasakan
dapat berat, dimulai dari punggung bawah dan menjalar ke bagian tungkai bawah pada
satu sisi tungkai. Refleks patella akan hilang pada tungkai yang terkena neuropati.
Hiperestesia sering ditemukan pada nyeri radikular.

2c. Entrapment syndromes

Pada penderita diabetes biasanya juga terjadi kompresi saraf (entrapment


syndromes) antara lain sindrom terowongan karpal (Carpal Tunnel Syndrome) yang
seringkali terjadi dan menyebabkan rasa tebal dan kesemutan di tangan dan kadang-
kadang disertai kelemahan atau nyeri. CTS termasuk ke dalam polineuropati diabetik
sensori. Ini disebabkan karena adanya patofisologi dari neuropatik diabetik itu
sendiri, seperti glikolisis, jalur poliol dan lain-lain. CTS ini disebabkan karena gula
darah yang tinggi sehingga protein di tendon menjadi glikosilasi, glukosa menempel
pada protein tendo sehingga menginflamasi tendo dan tendo jadi berkurang
gerakannya.

2.8 Pemeriksaan

Pemeriksaan pada neuropati diabetik yaitu pemeriksaan fisik, dimana diperiksa


tekanan darah, denyut jantung, kekuatan otot, refleks, dan raba halus. Pemeriksaan kaki yang
komprehensif yaitu dengan cara memeriksa kulit, apakah ada luka atau tidak.

2.8.1 Pemeriksaan penunjang :

a. Pemeriksaan Laboratorium

Periksa laboratorium untuk mengetahui apakah gula darah dan HbA1c pada
diabetes tidak terkontrol dengan baik atau yang belum diketahui.

b. Pemeriksaan Imaging
 CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternative untuk menyingkirkan
lesi kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada
radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati torakoabdominal.
 MRI digunakan untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi
kompresi dan infark pada kelumpuhan n.okulomotorius
c. Elektromiografi (EMG)

KHS motorik dimonitor dengan amplitude dari CMAP (Componed Muscle


Action Potensials) atau diukur kecepatan hantar saraf motoriknya. Kelainan hantar
saraf menggambarkan kehilangan serabut saraf yang bermielin yang berdiameter
besar dan biasanya tungkai lebih sering terkena dibandingkan lengan. Hal ini
mencerminkan degenerasi serabut saraf berdiameter besar, yang tergantung dari
panjangnya saraf.

KHS motorik tak boleh menurun lebih dari 50% dibandingkan dengan nilai
rata-rata normal
Kelainan pada kecepatan hantar sensorimotorik dapat ditemukan pada pasien
diabetes, walaupun secara klinis belum ada gejala polineuropati distal simetris.
Abnormalitas kecepatan hantar saraf umumnya ditemukan di saraf sensorik
(N.suralis, N.peroneus dan N.medianus)

EMG menunjukkan bagaimana respons otot terhadap signal elektris yang


ditransmisi oleh saraf dan ini dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan KHS.
Pemeriksaan EMG pada otot-otot distal pada ekstremitas bawah menunjukkan adanya
denervasi dalam bentuk PSW (positive sharp waves) dan fibrilasi (spontaneous
discharges). Perubahan re-inervasi seperti unit potensial yang mempunyai amplitude
tinggi, duration yang panjang mencerminkan adanya suatu gangguan yang kronis.
Kelainan pada otot-otot paraspinal dengan pemeriksaan dengan jarum menunjukkan
spontaneous discharges, yang ditemukan secara bilateral dan menunjukkan suatu
poliradikulopati.

2.9 Pencegahan
1. Pemeriksaan berkala untuk glukosa darah
2. Pengendalian Glukosa Darah
Hal yang pertama dapat dilakukan adalah pengendalian glukosa darah dan
monitor HbA1c ssecara berkala dan dijaga kadar HbA1c agar dipertahankan dibawah 7%.
Di samping itu pengendalian factor metabolic lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid
sebagai komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan.
3. Diet dan olahraga teratur

2.10 Penatalaksanaan

Non medika mentosa

a. Foot Hygiene

Penderita neuropati harus memperhatikan dan merawat kakinya dengan


seksama. Hilangnya perasaan di kaki, bila ada lecet dan luka yang tidak diketahui
dapat menjadi suatu ulkus atau mengalami infeksi. Gangguan dalam sirkulasi darah
juga akan meningkatkan resiko terjadinya ulkus pada kaki.
Karena hal itu, perawatan kaki harus dilakukan secara benar dan hati-hati
untuk mencegah terjadinya amputasi. Caranya adalah :

- Kaki harus dibersihkan setiap hari dengan menggunakan air hangat. Harus
dihindari pembasahan kaki yang berlebihan dan harus menggunakan handuk yang
lembut dan kaki dikeringkan secara hati-hati terutama diantara jari-jari kaki.
- Kaki dan jari kaki harus diperiksa setiap hari dengan mencari apakah ada luka,
kemerahan, pembengkakan.
- Harus selalu memakai sepatu atau sandal untuk melindungi kaki jangan sampai
luka dan kulit harus dicegah agar jangan sampai terjadi iritasi.
- Pemakaian sepatu yang cocok dan harus diperhatikan bagian dalamnya agar
supaya tidak ada ujung-ujungnya yang tajam dan dapat melukai kaki.
b. Diet agar mencapai berat badan ideal
c. Fisioterapi
- TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah stimulasi listrik yang
digunakan untuk menghilangkan nyeri, yang digunakan frekuensi rendah untuk
menyembuhkan kaku, mobilisasi, menghilangkan nyeri neuropatik, menurunkan
edema dan memperbaiki ulkus pada kaki.
- Program exercise, dapat mencegah terjadinya kontraktur, spasme otot dan atrofi
otot. Dapat melakukan olahraga seperti berenang dan sepeda.

Medika Mentosa

Pengobatan sebaiknya diberikan untuk memperbaiki neuropati atau berlanjutnya


komplikasi dari DM. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah kontrol glikemik dimana
dengan upaya menurunkan gula darah ke level yang normal untuk mencegah kerusakan yang
lebih lanjut; diperlukan monitoring gula darah, pengaturan diet dan exercise. Kontrol gula darah
yang ketat bisa menurunkan resiko neuropati 60% dalam 5 tahun.

Terapi kausatif :

 Aldose reduktase inhibitor


Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa, dengan cara memblok pemecahan glukosa
yang spesifik melalui jalur poliol. Diberikan tolrestat 200 mg/hari.

 Asam alfa lipoik (ALA)


Merupakan zat antioksidan yang sangat kuat. Dapat meningkatkan fungsi
endotel vaskuler. ALA merupakan antioksidan enzimatik yang penting yaitu
glutation yang berfungsi juga sebagai antihiperglikemik sehingga dapat
menurunkan glukosa sampai 50% bila diberikan dalam dosis 1200 mg iv per hari.
ALA juga dapat menurunkan glycosylated hemoglobin melalui penurunan gula
darah.
 Imunoglobulin (IVIg)

Intravena immunoglobulin adalah kumpulan plasma donor yang


digunakan untuk penyakit autoimun. IVIg merupakan immunoglobulin yang
berasal dari darah donor dengan titer antibodi yang tinggi terhadap antigen
tertentu seperti virus dan toksin. Diharapkan kumpulan berbagai antibodi ini
memiliki efek netralisasi terhadap system imun pasien. IVIg dosis besar
(2g/kgBB) terbukti efektif untuk berbagai keadaan penyakit imun. Efek
immunomoduler IVIg adalah inhibisi complement deposition dan neutralisasi
sitokin. Tersedia dalam larutan 5 dan 10% dan bubuk 2,5 g, 5 g, 10 g dan 12 g
untuk injeksi. Efek samping yang dapat timbul adalah mialgia, takikardi, sakit
kepala, nausea dan hipotensi.

Terapi yang dapat diberikan untuk mengurangi nyeri yaitu :

 NSAID

Menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat


menjadi PGG2 menjadi terganggu. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform
disebut COX-1 dan COX-2. Berfungsi sebagai antiinflamasi. Obat yang diberkan
berupa ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200 mg 2x/hari. Efek samping yang sering
adalah tukak lambung yang kadang disertai anemia karena perdarahan lambung.
 Antidepresan Trisiklik (TCA)
Anti-depresan memiliki efek memblok reuptake dari serotonin dan
norepinefrin di SSP, sehingga meningkatkan aktifitas dari system modulasi nyeri
endogen.

Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi


transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat
pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik.
Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT
(autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT
dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi
aktivitas adenilsiklasi. Sehingga akan menyebabkan nyeri berkurang.

TCA meliputi imipiramine, amitriptilin, dan nortriptilin. Obat-obatan ini


efektif untuk menurukan nyeri tetapi dapat menimbulkan efek samping berupa dose-
dependent. Salah satu efek samping TCA yaitu bersifat toksik. Ditandai dengan
hiperpireksia, hipertensi, konvulsi dan koma. Pada keracunan dapat menimbulkan
gangguan konduksi jantung dan aritmia. Pada dosis yang rendah dapat digunakan
untuk neuropati, keracunan jarang untuk dosis rendah. Yang lebih sering digunakan
adalah amitriptilin. Amitriptilin tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan 25 mg, dan
dalam bentuk larutan suntik 100 mg/10mL. Dosis permulaan 75 mg sehari.

 Serotonin-norepinefrin reuptake inhibitors (SSNRI)

SSNRI yaitu duloxetine disetujui untuk pengobatan neuropati diabetik, dan


juga venlafaxine juga dapat digunakan. Dengan menargetan serotonin dan
norepinefrin, obat ini dapat mengobati nyeri yang timbul karena neuropati diabetik
dan juga mengobati depresi jika ada.

Duloxetine diindikasikan untuk penanganan nyeri neuropatik yang


berhubungan dengan ND, walaupun mekanisme kerjanya dalam mengurangi nyeri
belum sepenuhnya dipahami. Hal ini mungkin berhubungan dengan kemampuannya
untuk meningkatkan aktivitas norepinephrin dan 5-HT pada sistem saraf pusat,
duloxetine umumnya dapat ditoleransi dengan baik, dosis yang dianjurkan yaitu
duloxetine diberikan sekali sehari dengan dosis 60 mg, walaupun pada dosis 120
mg/hari menunjukkan keamanan dan keefektifannya.

 Antiepileptic drugs (AED)

Pemanjangan dari saraf C nosiseptor dapat menyebabkan pengeluaran glutamate


yang bekerja pada reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) di medulla spinalis.
Aktivasi dari reseptor NMDA menyebabkan neuron pada medulla spinalis menjadi
lebih responsive, yang mengakibatkan sensitisasi sentral. Pengaktifan itu dapat
mengakibatkan sel merespon terhadap nyeri. Maka dari itu, anti epilepsy dapat
digunakan untuk menghilangkan nyeri pada neuropati karena salah satu kerja
antiepilepsi adalah penurunan ekstimasi glutamate melalui blok reseptor NMDA.

AED, khususnya gabapentin dan pregabalin adalah first line pengobatan pada
neuropati. Gabapentin dibandingkan amitriptilin dari segi efek dan efek samping
lebih minimal. Efek samping yang dapat muncul adalah sedasi. 10-11 Gabapentin
merupakan suatu analog GABA yang berperan dalam metabolism GABA.
Gabapentin menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re-uptake.
Dosis gabapentin (dewasa dan anak > 12 tahun) adalah 900-1800 mg/hari. Efek
sampingnya berupa ataxia, pusing, sakit kepala, somnolen dan tremor.

Pregabalin diindikasikan pada penanganan nyeri neuropatik untuk ND dan


juga PHN. Mekanisme kerja dari pregabalin diyakini sama dengan gabapentin.
Pregabalin, memblok Ca2+ masuk pada ujung saraf dan mengurangi pelepasan
neurotransmitter. Pada penderita ND yang nyeri, dosis maksimum yang
direkomendasikan dari pregabalin adalah 100 mg tiga kali sehari (300mg/hari). Pada
pasien dengan creatinin clearance ≥ 60 ml/min, dosis seharusnya mulai pada 50 mg
tiga kali sehari (150mg/hari) dan dapat ditingkatkan hingga 300mg/hari dalam 1
minggu berdasarkan keampuhan dan daya toleransi dari penderita.
Obat anti-epilepsy (AED) memiliki kemampuan mengurangi eksitabilitas
membran dan menekan terjadinya impuls saraf abnormal pada neuron. Hal ini
terutama berperan menekan proses yang terjadi pada sensitisasi, sehingga sering
digunakan pada nyeri neuropatik.

Terapi tambahan :

 Metilkobalamin

Merupakan satu-satunya derivate aktif dari vitamin B12 yang mempunyai


efek merangsang proteosintesis sel-sel Schwann dan dengan jalan transmetilasi
dapat menyebabkan mielogenesis dan regenerasi akson saraf dan memperbaiki
transmisi sinaps. Mempromosi sintesa fosfatidilkolin yang memperbaiki aktivitas
Na-K-ATPase. Dengan jalan transmetilasi dapat menyebabkan mielogenesis dan
menstimulasi regenerasi akson saraf dan memperbaiki transmisi pada saraf. Dosis
3x250 ug metilkobalamin.

2.11 Prognosis
Tipe diabetes melitus yang diberikan akan mempengaruhi diagnosis neuropati diabetik.
Pada NIDDM prognosis tentu lebih baik daripada tipe IDDM. Lama dan beratnya diabetes
melitus serta lama dan beratnya diabetes melitus serta lama dan beratnya keluhan neuropati yang
dialami, dan apakah sudah mengenai saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis
neuropati diabetik
BAB III

Penutup

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM dengan prevalensi dan
manifestasi klinis amat bervariasi. Dari beberapa factor terjadinya DM yang berperan pada
mekanisme patogenik neuropati diabetik, hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen
factor metabolic merupakan dasar utama pathogenesis neuropati diabetik.

Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan neuropati diabetik pada pasien DM,
yang penting ialah diagnosis diikuti pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-
baiknya. Juga perlu diperhatikan pengobatan yang diterapkan dalam upaya penyembuhan.
Daftar Pustaka

1. Subekti I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.h.1902-4
2. Sunaryo.M. Polineuropati Diabetika. Diunduh dari
http://eprints.undip.ac.id/30687/3/Bab_2.pdf
3. National Diabetes Information Clearinghouse. Diabetic Neuropathies: The Nerve
Damage of Diabetes. Diunduh dari
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/neuropathies/neuropathies.pdf,
4. Priyantono T. Faktor-faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Timbulnya
Polineuropati pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi 2005. Diunduh dari
http://eprints.undip.ac.id/15006/1/2005FK4175.pdf
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Nasional 1 Diagnostik dan
Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair;
2011.h.33-6
6. Wibowo S, Gofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Jakarta : Penerbit Salemba Medika;
2001.h.145-7
7. Adams and Victors. Principles of Neurology. United States of America : Palatino;
2009.p.1277-9,1319
8. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta : Dian Rakyat;
2010.h.121-2
9. Vinik I, Casellini C, Nevoret MV. Diabetic Neuropathies. Edisi December 2011.
Diunduh dari http://www.endotext.org/diabetes/diabetes31/diabetes31.htm
10. HA King. Neuropati Diabetic. Diunduh dari http://www.answers.com/topic/diabetic-
neuropathy
11. Gunawan SG, Setiabudy R. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2006.h.172-
4, 230-3

Anda mungkin juga menyukai