Disusun oleh :
1102016116
Pembimbing :
dr. Yedi Fourdiana Sukardi, Sp.OG
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
The Joint United Nations Program on HIV/ AIDS (UNAIDS)
melaporkan pada akhir tahun 2016 terdapat 36,7 juta orang di dunia hidup
dengan infeksi HIV, 2,1 juta di antaranya berusia kurang dari 15 tahun.
Diperkirakan pula bahwa 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV setiap
3
tahunnya dan 1,4 juta wanita dengan infeksi HIV hamil setiap tahun.
Meskipun prevalensi HIV di Asia terus berkurang, infeksi HIV merupakan
salah satu penyulit pada kehamilan yang paling sering terjadi di beberapa
negara. Peningkatan jumlah ODHIV pada populasi wanita terutama pada
usia reproduktif akan cenderung meningkatkan jumlah kehamilan dengan
HIV.3
Di Indonesia, kasus HIV AIDS terus meningkat dari tahun ke
tahun. Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia
mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di
regional Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun
terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214kasus.2
Angka prevalensi HIV nasional untuk kelompok usia 15 tahun ke
atas diestimasi sebesar 0,33% pada tahun 2015. Estimasi prevalensi HIV
provinsi berkisar dari 0,1% hingga lebih dari 2,0%; sepuluh provinsi
tertinggi yang dilaporkan memiliki jumlah kumulatif AIDS terbanyak
adalah provinsi Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Utara. Selama lima tahun (2011-2015) rasio kasus HIV laki-laki dan
perempuan adalah 1 berbanding 1,2-1,5. Peningkatan jumlah ODHIV
pada populasi wanita terutama pada usia reproduktif akan cenderung
meningkatkan jumlah kehamilan dengan HIV. Case Fatality Rate (CFR)
AIDS di Indonesia terus turun dari 13,86% pada tahun 2014 hingga
mencapai 0,46% pada tahun 2018.4
6
Semakin lama proses persalinan, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena
kontak antara bayi dengan darah/lender ibu semakin
lama.
c. Ketuban pecah dini
Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum
persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua
kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
empat jam.
d. Tindakan persalinan
Episiotomy, ekstraksi vakum dan forsep
meningkatkan risiko penularan HIV.
2.1.5 Diagnosis
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang
telah disepakati secara global yaitu 5C (informed consent, confidentiality,
counseling, correct test results, connections to care, treatment and
prevention services). Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model
layanan testing dan konseling (TK) HIV.5
7
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA
HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara
kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis
HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana
pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat
menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang bersifat
kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana
pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering
(dried blood spot [DBS]).
8
PCR DNA HIV. Uji yang dilakukan segera saat lahir akan
mendeteksi bayi yang terinfeksi intrauterin. Uji PCR RNA HIV
dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 25-85% pada
usia satu minggu pertama; 89% pada usia satu bulan;90-100% pada
usia 2- 3. Uji PCR DNA HIV mempunyai spesifitas sebesar 99,8%
saat lahir, dan 100% pada usia 1,3, dan 6 bulan. Uji PCR DNA HIV
dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 20-55% pada
usia satu minggu pertama; 90% pada usia 2-4 minggu; 100% pada
usia 3-6 bulan.
9
kelainan terkait HIV disertai hasil serologis HIV yang seropositif.
Kriteria diagnosis presumtif infeksi HIV memiliki sensitifitasdan spesifisitas sebesar ma
bulan. Penegakan diagnosis infeksi HIV presumtif harus segera
dikonfirmasi secepatnya menggunakan uji virologis (PCR
DNA HIV) atau uji serologis setelah anak berusia >18 bulan.
11
Tabel 1. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1
12
sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung
selama5-8 tahun.
c. Fase III
Masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan
kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga
mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik,
berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut.
13
dalam 5 • Infeksi bacterial yang Kanker serviks
tahun berat (pneumoni, dsb) infasif
terakhir • TB paru dalam satu Retinitis
• ISPA tahun terakhir cytomegalovirus
berulang
• Ulkus
mulut
berulang
TB limfodenopati Pneumonia
Gingivitis/periodontitis pnemosistis
ulseratif nekrotika akut TB ekstra paru
Abses otak
tokoplasmosis
Meningitis
kriptokokus
Ecefalopati HIV
Gangguan
fungsi
neurologis dan
tidak oleh
penyebab
lain, sering kali
membaik
dengan ARV.
14
anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental serta pemeriksaan
penunjang yang ditentukannya, lalu akan ditindaklanjuti dengan
penatalaksanaan dan pengobatan pasien atau ibu hamil.
Berdasarkan kompetensi kemarnpuan penanganan maka stadium
klinis 1 dan 2 serta stadium 3-4 yang stabil dimasukkan sebagai
SKDI 4A menurut Keputusan Menterí Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02MENKES51412015 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama, dan telah diperkuat dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07MENKES902019
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
HIV.1
2.1.7. Penatalaksanaan
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral, dan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama serta Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07Menkes/902/019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV, maka pengampu
penatalaksanaan dan pengobatan HIV AIDS Tanpa Komplikasi termasuk pada
ibu hamil dan pemberian ARV adalah Dokter Umum di FKTP. Semua ibu
hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang jumlah CD4,
karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang
dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, opsi B+). Untuk memulai
terapi ARV perludipertimbangkan hal-hal berikut:
a. Kewenangan dokter ke 5 dalam Undang-undang Praktik Kedokteran pasal
35
b. Edukasi bagi ODHA dalam terapi ARV, mengenai ketepatan waktu,
kepatuhan dan kepedulian terhadap diri sendiri, anak yang dikandung seda
pasangan
c. Penetapan stadium klinis sangat penting untuk menduga ada tidaknya
infeksi oportunistik. Pada stadium klinis 1 tanpa infeksi oportunistik dan
15
stadium 2 masalah terutama pada kulit, maka terapi ARV segera diberikan.
d. Pada stadium 3 yang terdapat TBC dan Stadium 4 dengan wasting
syndrome dII, sebaiknya segura dirujuk ke RS dengan pendampingan agar
DPJP dapat melakukan penanganan terhadap infeksi oportunistik
bersamaan dengan terapi ARV pada lbu hamil. Pada ibu hamil dengan
tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai kondisi
klinis pasien memungkinkan (kira-kira dita minggu sampai dua bufan)
dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV atan sesuai keputusan
pertimbangan keahlian DPJP. Setelah odha stabil terapi ARV dilanjutkan
lagi oieh dokter di Puskesmas atau FKTP.
e. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 atau jika
mampu memeriksa CD4 <200, tujuan utamanya untuk pencegahan primer
terhadap infeksi PCP dan toksoplasmosis, infeksi bakteri (pneumonia,
diare) dan juga berguna untuk mencegah malaria pada ODHA di daerah
endemis.
b. KDT atau FDC terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik
karena diminum hanya sekali sehari, dibandingkan sediaan lepasan
atau terpisah.
c. Untuk perempuan HIV yang diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat
16
yang sarna seperti saat sebelum hamil.
d. Untuk ibu hamil diketahui HIV saat pemeriksaan kehamilan, segera
diberikan ARV tanga meiihat umur kehamilan, berapapun stadium
klinisnya dan nilai CD4 nya.
e. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan,
segera diberikan ARV.
f. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV
Iainnya.
g. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
Tabel 3. Pemberian obat ARV pada ibu hamil1
No Kondisi Rekomendasi Pengobatan
1. • ODHA hamil, segera TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV*
terapi ARV (600mg)
• ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
belum mendapat (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
terapi ARV, lakukan TDF (1x300mg). + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
tes, bila hasil reaktif + NVP (2x200mg)
berikan ARV AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFC
(1x600mg)
2. ODHA sedang • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3. ODHA hamil dengan TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg)
Hepatitis B yang + EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
+ EFV (2x200mg)
4. ODHA hamil dengan Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan.
tuberkulosis aktif Bila belum diberikan, maka OAT diberikan
terlebih dahulu sebelum pemberian ARV
Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan
dan tuberculosis sudah stabil: TDF + 3TC+ EFV
17
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudine; 3TC: lamifudin; FTC: emtricitabine;
NVP: nevirapine; EFV: efavirenz; TDF: tenovofir
*EFV tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama
Nama
Efek Samping Kontraindikasi
Obat
AZT Anemia (makin lama. Pajanan makin • Alergi obat
berat, namun reversible) • Hb < 7 g/dL
Mual, sakit kepala, myalgia, insomnia • Netropenia (<750 sel/mm3)
• Disfungsi hati dan ginjal
NVP • Hepatotoksik (perlu observasi klinis • Alergi terhadap
dalam 12 minggu pertama) benzodiazepine
• Ruam kulit • Disfungsi hati
TDF • Nefrotoksik (perlu observasi klinis • Disfungsi ginjal
selama 6 bulan pertama
18
operasi sebagai dosis pemuatan intravena 1 jam (2 mg/kg), diikuti dengan
cairan infus selama 2 jam (1 mg/kg/jam) sampai persalinan untuk
mencapai kadar obat dalam darah ibu dan janin.8
Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Untuk itu
penting sekali dipastikan bahwa viral load HIV ibu tidak terdeteksi,
sehingga asuhan persalinan normal pervaginam dapat dilakukan dengan
kewaspadaan standar. Hal hal yang perlu diperhatikan pada persalinan
normal untuk ibu bersalin HIV antara lain: ibu telah mendapat pengobatan
ARV minimal enam bulan dan atau viral load tidak terdeteksi (undetected)
yaitu kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36.8 Dalam praktik
kontemporer saat merawat ibu hamil dengan ARV dan memantau viral load
untuk menilai respon terapi, tidak ada bukti bahwa persalinan sesar elektif
menawarkan perlindungan tambahan terhadap penularan dari ibu ke anak
pada perempuan hamil dengan kehamilan tidak terdeteksi atau bahkan
rendah (50-999 salinan)/mL) viral load ibu.8
Bagi wanita dengan viral load <50 kopi/mL tanpa kontraindikasi
obstetrik, disarankan persalinan per vaginam. Bagi wanita dengan viral
load > 400 kopi/mL, disarankan persalinan dengan sectio caesarea. Untuk
wanita dengan viral load 50–399 kopi/mL pada usia gestasi 36 minggu
sectio caesarea dapat dipertimbangkan sesuai perkiraan viral load, lama
terapi, faktor obstetrik, dan pertimbangan pasien. Bagi wanita dengan
riwayat sectio caesarea dan viral load kurang dari 50 kopi/mL, dapat
dicoba persalinan per vaginam. Saat sectio caesarea yang disarankan
adalah pada usia gestasi 38 hingga 39 minggu. kondisi ibu mengonsumsi
ARV dan tersupresi virusnya, tidak meningkatkan risiko transmisi
perinatal. Bila ibu masih dalam kondisi viremia, tindakan amniotomi,
penggunaan vakum atau forsep, dan episiotomi dihindari karena
berpotensi meningkatkan risiko transmisi.6 Kelahiran sesar sebelum awal
persalinan dapat mencegah mikrotransfusi yang terjadi dengan kontraksi
uterus, dan menghindari persalinan pervaginam menghilangkan pajanan
virus dalam sekresi servikovaginal dan darah pada saat persalinan.9
Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV harus mendapat ARV
profilaksis (zidovudine) sejak umur 12 jam selama 6 minggu yang
19
kemudian dilanjutkan dengan profilaksis kotrimoksazol hingga diagnosis
HIV dapat disingkirkan atau usia 12 bulan; pemeriksaan PCR HIV pada
bayi dilakukan pada saat lahir, usia 1 bulan, 3-4 bulan, dan 18 bulan. Perlu
dipantau efek jangka pendek dan jangka panjang, efek samping termasuk
gangguan perkembangan bayi. Pemberian ASI ibu dengan HIV pada
dasarnya dikontraindikasikan. Namun, apabila susu formula tidak dapat
diberikan karena alasan ekonomi, ASI diberikan secara eksklusif tanpa
campuran susu formula. Hal ini harus sudah disampaikan sedini mungkin
semenjak perawatan antenatal. Di beberapa daerah, seperti Afrika Selatan,
pemberian ASI eksklusif diperbolehkan dengan catatan ibu atau anak
mendapat obat antiretroviral. Pemberian ASI eksklusif saja pada 6 bulan
pertama berhubungan dengan penurunan transmisi tiga sampai empat kali
dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI dan susu formula atau
makanan lain.10
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Metode Keuntungan Kerugian
Persalinan
Pervaginam 1. Mudah dilakukan di sarana Risiko penularan pada bayi
kesehatan yang terbatas relative tinggi 10-20%, kecuali ibu
2. Masa pemulihan pasca telah minum ARV teratur ³6 bulan
persalinan singkat atau diketahui kadar viral load
3. Biaya rendah <1000 kopi/mm3 pada minggu ke-
36
Seksio 1. Risiko penularan yang 1. Lama perawatan bagi ibu lebih
cesaria
rendah (2-4%) atau dapat panjang
elektif
mengurangi risiko 2. Perlu sarana dan fasilitas
penularan sampai 50-66% pendukung yang lebih memadai
2. Terencana pada minggu 3. Risiko komplikasi selama operas
ke38 dan pasca operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi anestesi
5. Biaya lebih mahal
2.1.8. Pencegahan
Pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak (PPIA)
20
didefinisikan sebagai intervensi pencegahan infeksi HIV dari ibu kepada bayi.
Intervensi pencegahan tersebut meliputi penanganan komprehensif dan
berkelanjutan pada perempuan dengan HIV sejak sebelum kehamilan hingga
setelah kehamilan serta termasuk penanganan bayi lahir dari ibu HIV. Empat
pilar pendekatan komprehensif untuk mencegah transmisi vertikal HIV
yang dikenal denganProng, yaitu:1
• Prong 1 : Pencegahan primer infeksi HIV pada wanita usia reproduksi
• Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita
terinfeksi HIV
• Prong 3 : Pencegahan transmisi vertikal HIV dari ibu kepada bayi
• Prong 4 : Penyediaan terapi, perawatan dan dukungan yang baik bagi
ibu dengan HIV, serta anak dan keluarganya.
22
dapat diberikannya profilaksis pasca pajanan dan menghilangkan
stigma dan diskriminasi pada tenaga kesehatan.
25
2.3.2 Insidensi Sectio Caesarea
Sekarang ini adalah operasi paling umum yang dilakukan di Amerika Serikat, dengan
lebih dari 1 juta wanita melahirkan melalui operasi caesar setiap tahun. Angka
persalinan caesar naik dari 5% pada tahun 1970 menjadi 31.9% pada tahun 2016.
Meskipun ada upaya berkelanjutan untuk mengurangi angka operasi caesar, para ahli
tidak mengantisipasi penurunan yang signifikan setidaknya selama satu atau dua
dekade.14 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan tingkat SC 10%-15%
dari semua kelahiran hidup.16 Alasan terus meningkatnya angka operasi caesar tidak
sepenuhnya dipahami, namunbeberapa penjelasannya antara lain sebagai berikut:15
1. Wanita memiliki lebih sedikit anak, oleh karena itu, persentase kelahiran yang
lebih besar di antara nulipara, yang berisiko lebih tinggi untuk kelahiran caesar.
2. Usia ibu rata-rata meningkat, dan wanita yang lebih tua, terutama nulipara,
berada pada peningkatan risiko kelahiran caesar.
3. Penggunaan pemantauan janin elektronik tersebar luas. Teknik ini dikaitkan
dengan peningkatan angka kelahiran caesar dibandingkan dengan auskultasi
denyut jantung janin intermiten.
4. Sebagian besar janin dengan posisi sungsang sekarang dilahirkan melalui operasi
caesar. Kekhawatiran akan cedera janin, serta jarangnya presentasi sungsang
memenuhi kriteria untuk percobaan persalinan, hampir menjamin bahwa
sebagian besar akan dilahirkan melalui operasi caesar.
5. Frekuensi persalinan forceps dan vakum menurun.
6. Tingkat induksi persalinan terus meningkat, dan persalinan induksi, terutama di
antara nulipara, meningkatkan angka kelahiran caesar.
7. Prevalensi obesitas telah meningkat secara dramatis, dan obesitas meningkatkan
risiko kelahiran caesar.
8. Angka kelahiran caesar untuk wanita dengan preeklamsia telah meningkat,
sedangkan angka induksi persalinan untuk pasien ini telah menurun.
9. Kelahiran pervaginam setelah operasi Caesar VBAC (Vaginal birth after
cesarean) telah menurun dari 28 persen pada tahun 1996 menjadi 8 persen pada
tahun 2007.
10. Persalinan caesar elektif semakin banyak dilakukan untuk berbagai indikasi
termasuk kekhawatiran akan cedera dasar panggul yang terkait dengan kelahiran
pervaginam, kelahiran prematur yang diindikasikan secara medis, pengurangan
risiko cedera janin, dan untuk permintaan ibu.
26
2.3.3 Klasifikasi
Di antara sistem yang ada yang digunakan untuk mengklasifikasikan operasi caesar,
klasifikasi 10 kelompok (juga dikenal sebagai klasifikasi Robson) telah banyak
digunakan di banyak negara dalam beberapa tahun terakhir. Diusulkan oleh Dr
Michael Robson pada tahun 2001, sistem stratifikasi wanita menurut karakteristik
obstetrik mereka, sehingga memungkinkan perbandingan tingkat operasi caesar
dengan faktor perancu yang lebih sedikit.18
Indikasi dilakukannya sectio caesarea ini cukup banyak, namun indikasi paling
sering dilakukannya sectio caesarea yaitu sekitar 85%, antara lain karena adanya
riwayat sectio caesarea sebelumnya, adanya distosia persalinan, terjadinya gawat
janin, serta letak sungsang. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2013, sebanyak 9,8% persalinan dengan metode sectio
caesarea dimana proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di
27
Sulawesi Tenggara (3,3%).16
29
Tabel 5. Skor VBAC menurut Flamm dan Geiger (1997)
No Karakteristik Skor
1 Usia < 40 tahun 2
2 Riwayat persalinan pervaginal
- sebelum dan sesudah seksio sesarea 4
- persalinan pervaginal sesudah seksio sesarea 2
Interpretasi:
0-2 42-49%
3 59-60%
4 64-67%
5 77-79%
6 88-89%
7 93%
8-10 95-99%
total 74-75%
Tabel 6. Skor VBAC menurut Weinstein Factor
No. Tidak Ya
1. Bishop Score 4 0 4
2. Riwayat persalinan pervaginal sebelum sectio caesarea 0 2
3. Indikasi sectio caesarea yang lalu
• Malpresentasi, Preeklampsi/Eklampsi, Kembar 0 6
30
HAP, PRM, Persalinan Prematur 0 5
•
Fetal Distres, CPD, Prolapsus tali pusat 0 4
•
Makrosemia, IUGR 0 3
•
Insisi Abdomen
Dalam kebidanan, biasanya garis tengah vertikal atau sayatan melintang suprapubik
dipilih untuk laparotomi. Entri perut melintang adalah dengan sayatan Pfannenstiel atau
Maylard. Dari jumlah tersebut, sayatan Pfannenstiel dipilih paling sering untuk kelahiran
caesar. Sayatan melintang mengikuti garis Langer dari ketegangan kulit, dan hasil
kosmetik yang superior dibandingkan dengan sayatan vertikal dapat dicapai. Selain itu,
penurunan tingkat nyeri pasca operasi, dehiscence luka fasia, dan hernia insisional
dibandingkan dengan entri vertikal adalah keuntungan. Penggunaan sayatan Pfannenstiel,
bagaimanapun, sering tidak dianjurkan untuk kasus-kasus di mana ruang operasi yang
besar sangat penting atau di mana akses ke perut bagian atas mungkin diperlukan. Karena
lapisan yang dibuat selama sayatan aponeurosis oblik internal dan eksternal dengan
sayatan melintang, cairan purulen dapat terkumpul di antara lapisan tersebut. Oleh
karena itu, kasus dengan risiko infeksi yang tinggi dapat mendukung sayatan garis
tengah. Terakhir, struktur neurovaskular, yang meliputi nervus ilioinguinal dan
iliohypogastricus serta pembuluh darah epigastrika superfisial dan inferior, sering
dijumpai dengan insisi transversal. Logikanya, perdarahan, hematoma luka, dan gangguan
32
neurologis mungkin lebih sering mempersulit sayatan ini dibandingkan dengan sayatan
vertikal. Dengan kelahiran caesar berulang, masuk kembali melalui sayatan Pfannenstiel
biasanya lebih memakan waktu dan sulit karena jaringan parut.17 Sebuah penelitian baru-
baru ini menunjukkan bahwa sayatan garis tengah mungkin terbukti menguntungkan bagi
wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) di atas 40, meskipun penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini. Dua jenis sayatan perut melintang –
Pfannenstiel dan Joel-Cohen – telah dibandingkan dalam beberapa penelitian yang
meneliti hasil pascaoperasi jangka pendek. Kedua teknik tersebut terdiri dari kombinasi
teknik bedah untuk membuka berbagai lapisan perut.21 Sayatan Pfannenstiel terletak dua
lebar jari di atas simfisis pubis, jaringan subkutan disayat tajam dengan pisau bedah, fasia
dipotong terbuka dengan gunting dan dipisahkan dari otot di bawahnya, dan peritoneum
dibuka dan melebar tajam dengan gunting.21
Sayatan Maylard berbeda terutama dari Pfannenstiel dalam hal perut otot rektus
abdominis ditranseksi secara horizontal untuk memperlebar ruang operasi. Secara teknis
lebih sulit karena diperlukan isolasi dan ligasi arteri epigastrika inferior, yang terletak
lateral dari otot perut ini.17 Insisi Joel-Cohen ditempatkan 3 cm di bawah garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior, jaringan subkutan dan fasia diinsisi hanya
di garis tengah, insisi fasia diperpanjang dengan ujung gunting di bawah jaringan lemak,
otot rektus dipisahkan oleh traksi manual, dan peritoneum dimasukkan secara melintang
dengan ujung jari.21
33
Studi telah menyimpulkan bahwa metode Joel-Cohen menyebabkan morbiditas pasca
operasi secara signifikan lebih sedikit, termasuk demam, nyeri, dan penggunaananalgesik;
waktu operasi yang lebih pendek; dan durasi rawat inap pasca operasi yang lebih
pendek.21
Untuk mencapai persalinan caesar, ahli bedah harus melintasi semua lapisan yang
memisahkannya dari janin. Pertama, kulit disayat, diikuti oleh jaringan subkutan. 14
Diseksi tajam dilanjutkan melalui lapisan subkutan ke fasia. Pembuluh darah epigastrium
superfisial biasanya dapat diidentifikasi di tengah antara kulit dan fasia, beberapa
sentimeter dari garis tengah, dan terkoagulasi. Jika robek, jahitan ini dapat diikat dengan
jahitan usus polos 3-0 atau dikoagulasi dengan pisau bedah listrik. 16 Lapisan berikutnya
34
adalah fasia yang melapisi otot rektus abdominis. Fasia abdomen anterior biasanya terdiri
dari dua lapisan. Satu terdiri dari aponeurosis dari otot rektus miring eksternal, dan yang
lainnya adalah lapisan menyatu yang berisi aponeurosis abdominis transversal dan otot
miring internal.14 Setelah fasia diinsisi, tepi fasia inferior dijepit dengan klem yang sesuai
dan diangkat oleh asisten saat operator memisahkan selubung fasia dari otot rektus di
bawahnya baik secara tumpul atau tajam sampai batas superior simfisis pubis tercapai.
Setiap pembuluh darah yang mengalir di antara selubung dan otot dijepit, dipotong, dan
diikat, atau digumpalkan dengan pisau bedah listrik. Selanjutnya, tepi fasia superior
digenggam dan sekalilagi, pemisahan fasia dari otot rektus selesai. Hemostasis yang teliti
sangat penting untuk menurunkan tingkat infeksi dan perdarahan. Pemisahan fasia
dilakukan cukup dekat ke umbilikus untuk memungkinkan insisi longitudinal garis tengah
peritoneum yang memadai. Otot rektus abdominis dan piramidalis kemudian dipisahkan di
garis tengah dengan diseksi tajam dan tumpul untuk memperlihatkan fasia transversalis
dan peritoneum.16 Setelah memisahkan otot rektus, yang berjalan dari cephalad ke caudal,
ahli bedah memasuki rongga perut melalui peritoneum parietal.14 Fasia transversalis dan
lemak preperitoneal dibedah dengan hati-hati untuk mencapai peritoneum di bawahnya.
Peritoneum dekat ujung atas sayatan dibuka dengan hati- hati, baik secara tumpul atau
dengan mengangkatnya dengan dua hemostat yang ditempatkan sekitar 2 cm. Lipatan
peritoneum di antara klem diperiksa dan dipalpasi untuk memastikan bahwa omentum,
usus, atau kandung kemih tidak berdekatan.
35
Gambar 6. Insisi Abdomen20
Pada wanita hamil, tidak seperti pada pasien tidak hamil, uterus sering ditemukan pada
titik ini segera setelah masuk ke perut. Jika pasien memiliki penyakit adhesif dari operasi
sebelumnya, ahli bedah mungkin menemukan adhesi yang melibatkan struktur seperti
omentum, usus, dinding perut anterior, kandung kemih, dan aspek anterior uterus. Setelah
mengidentifikasi uterus, ahli bedah kemudian dapat mengidentifikasi peritoneum
vesicouterine, atau vesicouterine serosa, yang menghubungkan kandung kemih dan uterus.
Jika ahli bedah ingin membuat flap kandung kemih, ia harus menorehkan peritoneum
vesicouterine. Pada pasien dengan operasi caesar sebelumnya, kandung kemih mungkin
menjadi sulit untuk dipisahkan dari uterus.14 Pembuatan flap kandung kemih secara efektif
memindahkan kandung kemih menjauh dari lokasi histerotomi yang direncanakan dan
mencegah laserasi kandung kemih jika ekstensi histerotomi inferior yang tidak diinginkan
terjadi selama pelahiran janin.16 Namun, dalam beberapa percobaan, kelalaian dari flap
kandung kemih menurunkan waktu operasi dan tidak meningkatkan komplikasi seperti
hematuria, nyeri, atau infeksi saluran kemih. Cedera kandung kemih jarang terjadi, dan
penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi apakah kelalaian flap kandung kemih
mengubah insiden cedera kandung kemih.14
36
sisi untuk lebih membuka peritoneum visceral dan mengekspos miometrium. Insisi
peritoneal transversal ini meluas hampir sepanjang segmen bawah uterus. Saat margin
lateral di setiap sisi didekati, gunting diarahkan agak lebih cephalad (Gambar 8). Tepi
bawah peritoneum terangkat, dan kandung kemih secara perlahan dipisahkan dari
miometrium di bawahnya dengan diseksi tumpul atau tajam di dalam ruang vesikouterina
ini (Gambar 9).16
Gambar 8. Serosa vesicouterine yang longgar di atas refleksi kandung kemih dijepit
dengan forsep dan diinsisi dengan gunting Metzenbaum (Atas). Serosa longgar di atas
margin atas kandung kemih ditinggikan dan diinsisi secara lateral(Bawah)16
37
Gambar 9. Penampang melintang menunjukkan diseksi tumpul kandung kemih dari
uterus untuk mengekspos segmen bawah uterus16
Histerotomi
Uterus terdiri dari lapisan serosa luar (perimetrium), lapisan otot (miometrium), dan
lapisan mukosa bagian dalam (endometrium). Ketiga lapisan ini diinsisi untuk membuat
insisi uterus atau histerotomi. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah uterus berjalan
bersama dengan aspek lateral uterus di kedua sisi, dan perawatan harus dilakukan untuk
menghindari kerusakan pembuluh darah ini ketika sayatan uterus dibuat atau diperpanjang
- arteri uterina bercabang dari anterior. pembagian arteri iliaka interna. Aliran darah
melalui arteri ini delapan kali lebih cepat selama kehamilan, dengan aliran unilateral lebih
dari 300 mililiter per menit pada 36 minggu. Arteri uterina melintasi ureter di anterior dan
masuk ke uterus pada ligamen kardinal. Arteri uterina beranastomosis di ligamentum
latum dengan arteri ovarika, yang muncul dari aorta abdominalis.14
Insisi Uterus
39
Gambar 12. Ekstensi Cephalad-caudad Insisi Uterus20
Histerotomi vertikal rendah dapat menjadi pilihan jika ekstraksi janin bermasalah
diantisipasi, terutama dalam kasus presentasi sungsang. Sayatan melintang rendah juga
dapat diperpanjang secara vertikal untuk membuat sayatan "T," "U," atau "J" untuk
memberikan ruang tambahan.14 Dalam kasus tersebut, salah satu sudut sayatan histerotomi
diperpanjang cephalad ke bagian kontraktil myometrium–sayatan J. Jika ini selesai secara
bilateral, sayatan U terbentuk. Terakhir, beberapa lebih suka memperpanjang di garis
tengah—sayatan T. Seperti yang diharapkan, ini telah dikaitkan dengan kehilangan darah
intraoperatif yang lebih tinggi.16
Persalinan Fetus
Dalam presentasi kepala, tangan dimasukkan ke dalam rongga uterus antara simfisis dan
kepala janin. Kepala diangkat dengan lembut dengan jari dan telapak tangan melalui
sayatan. Setelah kepala memasuki sayatan, pelahiran dapat dibantu oleh tekanan fundus
transabdominal sederhana (Gambar 13).16
40
Gambar 13. Persalinan Kepala Fetus16
Setelah persalinan lama dengan disproporsi sefalopelvik, kepala janin mungkin terjepit di
jalan lahir. Situasi ini dapat berakibat buruk, dan ada tiga pertimbangan untuk
penyampaiannya. Pertama, metode "push" dapat digunakan. Dengan ini, tekanan ke atas
yang diberikan oleh tangan di vagina oleh asisten akan membantu mengeluarkan kepala
dan memungkinkan persalinannya di atas simfisis. Menghilangkan impaksi kepala seperti
itu meningkatkan risiko ekstensi histerotomi dan kehilangan darah terkait serta fraktur
tengkorak janin. Sebagai alternatif, metode "pull" digunakan di mana kaki janin
digenggam dan dilahirkan melalui lubang histerotomi. Janin kemudian dilahirkan dengan
traksi saat seseorang akan menyelesaikan ekstraksi sungsang. Dukungan untuk
pendekatan terakhir ini hanya datang dari uji coba acak kecil dan seri kasus. Terakhir,
sayatan histerotomi vertikal rendah, yang akan memberikan lebih banyak ruang untuk
teknik "pull", dapat dipilih. Jika sayatan melintang rendah telah dibuat, maka ini dapat
diperluas ke sayatan J-,U-, atau T untuk ruangan. 16
41
Gambar 14. Persalinan Kepala Fetus20
Sebaliknya, pada wanita tanpa persalinan, kepala janin mungkin tidak terbentuk dan tanpa
titik kepala yang menonjol. Kepala bundar mungkin sulit diangkat melalui insisi uterus di
segmen bawah yang relatif tebal yang tidak dilemahkan oleh persalinan. Dalam kasus
seperti itu, baik forsep atau alat vakum dapat digunakan untuk melahirkan kepala janin
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15.16
42
Gambar 15. (A) Bilah forsep caesar pertama ditempatkan. (B) Traksi sedikit ke atas dan
ke luar digunakan untuk mengangkat kepala melalui sayatan16
Setelah kepala lahir, jari harus melewati leher janin untuk menentukan apakah jari tersebut
dikelilingi oleh satu atau lebih tali pusat. Jika gulungan tali pusar terasa, itu harus
diselipkan di atas kepala. Kepala diputar ke posisi melintang oksiput, yang menyelaraskan
diameter bisacromial janin secara vertikal. Sisi kepala digenggam dengan dua tangan, dan
traksi ke bawah yang lembut diterapkan sampai bahu anterior memasuki insisi
histerotomi. Selanjutnya, dengan gerakan ke atas, bahu posterior dilahirkan. Selama
pelahiran, gaya yang tiba-tiba atau kuat dihindari untuk mencegah cedera pleksus
brakialis. Dengan traksi ke luar yang stabil, bagian tubuh lainnya kemudian dengan
mudah mengikuti. Tekanan fundus yang lembut dapat membantu ini.16
Gambar 16. Bahu anterior (A) dan kemudian posterior (B) dilahirkan16
43
Setelah lahir, infus intravena yang mengandung dua ampul atau 20 unit oksitosin per liter
kristaloid diinfuskan dengan kecepatan 10 mL/menit. Beberapa lebih suka dosis infus
yang lebih tinggi, namun, dosis bolus dihindari karena hipotensi terkait.16 Setelah
melahirkan janin, tali pusat dijepit dan dipotong dua kali. Penjepitan tali pusat dapat
ditunda jika status ibu dan janin memungkinkan, dan jika diinginkan oleh ahli bedah.
Tinjauan sistematis penundaan penjepitan tali pusat pada bayi prematur menunjukkan
penurunan mortalitas di rumah sakit, penurunan insiden skor Apgar yang rendah pada
1 menit tetapi tidak 5 menit, tidak ada perubahan dalam ukuranhasil lainnya (intubasi,
perdarahan intraventrikular, enterokolitis nekrotikans, dll), dan risiko potensial untuk
polisitemia dan hiperbilirubinemia yang diinduksi. 14 Persalinan Plasenta
Setelah tali pusat dipotong, darah tali pusat dapat diambil jika perlu atau diinginkan.
Plasenta kemudian dilahirkan; ini dapat dicapai melalui pengangkatan manual atau secara
spontan melalui traksi tali pusat dan pijat fundus. Karena data menunjukkan pengurangan
kehilangan darah operasi dan penurunan infeksi jika persalinan plasenta spontan adalah
pilihan yang dipilih, teknik ini lebih disukai jika skenario klinis memungkinkan. Setelah
melahirkan plasenta, uterus dibersihkan dengan spons laparotomi yang lembab.14
Sayatan uterus diamati untuk setiap situs perdarahan hebat. Ini harus segera dijepit dengan
Pennington atau forsep cincin. Plasenta kemudian dilahirkan kecuali jika sudah dilakukan
secara spontan. Banyak ahli bedah lebih memilih pengangkatan manual, tetapi pelahiran
spontan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17, bersama dengan beberapa traksi tali
pusat dapat mengurangi risiko kehilangan darah dan infeksi operatif. Pijat fundus dapat
dimulai segera setelah janin dilahirkan untuk mempercepat pemisahan dan pelahiran
plasenta.16
Segera setelah pelahiran dan inspeksi plasenta, kavum uteri disedot dan dibersihkan
dengan spons kasa untuk menghilangkan selaput ketuban, vernix, dan bekuan darah.
Sebelumnya, jari dengan sarung tangan ganda atau forsep cincin yang ditempatkan
melalui sayatan histerotomi digunakan untuk melebarkan serviks yang seolah-olah
tertutup. Praktik ini tidak meningkatkan tingkat infeksi dari potensi hematometra dan tidak
direkomendasikan.16
44
Gambar 17. Plasenta menonjol melalui sayatan uterus saat uterus berkontraksi. Tangan
dengan lembut memijat fundus untuk membantu pemisahan plasenta16
Perbaikan Uterus
Setelah pelahiran plasenta, uterus diangkat melalui sayatan ke dinding perut yang tertutup,
dan fundus ditutupi dengan spons laparotomi yang dibasahi. Meskipun beberapa dokter
lebih memilih untuk menghindari eksteriorisasi uterus seperti itu, sering kali memiliki
manfaat yang lebih besar daripada kerugiannya. Misalnya, uterus yang rileks dan atonik
dapat dikenali dengan cepat dan pijatan diterapkan. Sayatan dan titik pendarahan lebih
mudah divisualisasikan dan diperbaiki, terutama jika sudah ada ekstensi. Paparan adneksa
lebih baik, dan dengan demikian, sterilisasi tuba lebih mudah. Kerugian utama adalah
ketidaknyamanan dan muntah yang disebabkan oleh traksi pada persalinan caesar yang
dilakukan dengan analgesia regional. Yang penting, tingkat morbiditas demam atau
45
kehilangan darah tampaknya tidak meningkat dengan eksteriorisasi uterus.16 Sebelum
penutupan histerotomi, pembuluh darah besar yang sebelumnya dijepit dapat diligasi
secara terpisah atau dimasukkan ke dalam penutupan insisi yang sedang berjalan. Salah
satu sudut insisi uterus dipegang untuk menstabilkan dan mengarahkan insisi. Sayatan
uterus kemudian ditutup dengan satu atau dua lapis jahitan yang dapat diserap No. 0 atau
No. 1 terus menerus (Gambar 19). Jahitan kromik digunakan oleh banyak orang, tetapi
beberapa lebih memilih jahitan sintetis yang dapat diserap dengan lambat. Penutupan
satu lapis biasanya lebih cepat dan tidak terkait dengan tingkat infeksi atau transfusi
yang lebih tinggi.16
Gambar 19. Tepi potongan insisi uterus didekati dengan jahitan running-lock yang
ditambatkan pada kedua sudut insisi16
46
Gambar 20. Penutupan Uterus20
Adhesi
47
Gambar 21. NonClosure Peritoneum20
Penutupan Abdomen
Spons laparotomi dikeluarkan, dan talang parakolik serta cul-de-sac disedot dengan hati-
hati dari darah dan cairan amnion. Beberapa ahli bedah mengairi selokan dan jalan buntu,
terutama jika ada infeksi atau mekonium. Irigasi rutin pada wanita berisiko rendah,
bagaimanapun, menyebabkan mual intraoperatif yang lebih besar dan tanpa tingkat
infeksi pasca operasi yang lebih rendah.16 Langkah ini dapat dihilangkan jika uterus belum
dieksteriorisasi. Dengan uterus kembali ke perut, perut kembali dibersihkan dari darah dan
gumpalan. Bantuan berbagai retraktor dapat memberikan paparan talang parakolik. Irigasi
intrabdominal sebelum penutupan telah terbukti meningkatkan mual selama operasi dan
tidak meningkatkan kembalinya fungsi gastrointestinal atau kejadian morbiditas infeksi.
Dengan blade kandung kemih dimasukkan kembali, perbaikan histerotomi kembali
divisualisasikan dan dibuat hemostatik jika perlu. Bilah kandung kemih dilepas lagi.14
Setelah jumlah spons dan instrumen ditemukan benar, sayatan perut ditutup berlapis-
lapis. Banyak ahli bedah mengabaikan penutupan peritoneum parietal. Saat setiap
lapisan ditutup, lokasi perdarahan ditempatkan, dijepit, dan diikat atau dikoagulasi dengan
pisau bedah listrik. Otot rektus abdominis dibiarkan jatuh ke tempatnya. Dengan diastasis
yang signifikan, otot rektus dapat didekati dengan satu atau dua jahitan angka delapan
dengan jahitan usus kromik 0 atau No.1. Fasia rektus di atasnya ditutup dengan teknik
nonlocking berkelanjutan dengan jahitan yang dapat diserap secara lambat. Pada pasien
dengan risiko infeksi yang lebih tinggi, mungkin ada nilai teoretis dalam memilih jahitan
monofilamen di sini daripada bahan yang dikepang.16
48
Jaringan subkutan biasanya tidak perlu ditutup jika ketebalannya kurang dari 2 cm.
Namun, dengan lapisan yang lebih tebal, penutupan dianjurkan untuk meminimalkan
pembentukan seroma dan hematoma, yang dapat menyebabkan infeksi dan/atau gangguan
pada luka. Penambahan drainase subkutan tidak mencegah komplikasi luka yang
signifikan. Kulit ditutup dengan jahitan subkutikular menggunakan jahitan 4-0 yang dapat
diserap tertunda atau dengan staples. Sebagai perbandingan, hasil kosmetik akhir dan
tingkat infeksi tampak serupa, penjahitan kulit membutuhkan waktu lebih lama, tetapi
tingkat pemisahan luka lebih tinggi dengan staples.16
49
Gambar 24. Penutupan sayatan klasik. Setengah lebih dalam (A) dan setengahdangkal
(B) dari sayatan ditutup dengan cara berjalan16
50
i. Penutupan fasia yang terputus.
j. Jahitan kulit terus menerus.
3. Metode Misgav-Ladach
a. Sayatan kulit Joel-Cohen.
b. Diseksi tumpul pada lapisan subkutan.
c. Perpanjangan tumpul dari pembukaan fasia.
d. Masuknya tumpul ke peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara manual.
g. Penutupan uterus satu lapis berjalan.
h. Peritoneum tidak tertutup.
i. Penutupan fasia yang terus menerus.
j. Penutupan jahitan kasur pada kulit.
4. Metode Misgav-Ladach Termodifikasi
a. Sayatan kulit Pfannenstiel.
b. Diseksi tumpul pada lapisan subkutan.
c. Perpanjangan tumpul dari pembukaan fasia.
d. Masuknya tumpul ke peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara spontan.
g. Penutupan uterus satu lapis berjalan.
h. Penutupan peritoneum.
i. Penutupan fasia yang terus menerus.
j. Jahitan kulit terus menerus.
MONITORING
Hal yang perlu menjadi pengamatan pasca operasi sebagai berikut:14
51
Tingkat rawat jalan wanita.
Pembalut luka.
Jumlah kehilangan darah.
Jumlah darah dan/atau cairan serosa dari saluran pembuangan, jika ada.
Cara lahir—yaitu, kelahiran vagina spontan, diinduksi, ditambah, atau instrumental (atau
kombinasi dari semuanya) versus SC—dapat memengaruhi perkembangan neonatal dan
kesehatan masa depan, dan memahami hubungan potensial ini dapat
Hipotesis terakhir adalah bahwa modifikasi epigenetik yang berbeda dari ekspresi gen
antara metode kelahiran mempengaruhi kesehatan bayi di masa depan. Dampak
Epigenetik dari kolaborasi penelitian Persalinan mendalilkan bahwa penggunaan oksitosin
sintetis, antibiotik, atau SC intrapartum memiliki beberapa efek pada proses remodeling
epigenom neonatal yang memiliki konsekuensi bagi kesehatan keturunannya. Hipotesis
ini belum sepenuhnya diselidiki, dan ada data yang tidak memadai untuk mendukung
hipotesis ini.15
2.3.9 Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang, oleh
karena kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah,
indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah-
rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah
kurang dari 2 per 100. Nasib janin yang tertolong secara sectio caesarea sangat tergantung
dari keadaan sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan
pengawasan antenatal yang baik fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian
perinatal sekitar 4 – 7 %.14
53
BAB IV
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama : Ny. I
Umur : 28 tahun
Tanggal lahir : 25 Februari 1994
Pendidikan terakhir : SMK
Agama : Islam
Alamat : Bekasi
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk rumah sakit : 14 Mei 2022 pukul 00.30 WIBNama
suami : Tn. A
Usia : 40 tahun
Pendidikan terakhir : SMK
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis secara auto-anamnesis kepada pasien pada tanggal 18 Mei 2022
3.2.1 Keluhan Utama
HIV (+) sebelum persalinan
3.2.2 Keluhan Tambahan
Tidak ada
3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P1A0 hamil 38 minggu rujukan dari RS Permata datang ke RSUD
Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Mei 2022 dikarenakan hasil pemeriksaan
serologi pasien menunjukan hasil HIV (+). Pasien mengaku baru mengetahui
bahwa dirinya menderita HIV saat dilakukan pemeriksaan untuk persiapan
persalinan. Pasien mengaku tidak mengetahui darimana ia tertular HIV. Pada
suami pasien belum dilakukan pemeriksaan serologi HIV.
54
Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Mules dirasakan hilang timbul tanpa disertai keluar darah ataupun air-air dari
jalan lahir. Riwayat perdarahan, keluar air ketuban, demam disangkal oleh pasien.
Selama kehamilan, pasien mengeluhkan mudah lelah. Saat ini keluhan seperti
demam, nyeri kepala, batuk, pilek, lemas, ruam kulit, sering sariawan dan
penurunan berat badan disangkal. Pasien mengaku masih sering berhubungan
seksual selama kehamilan. Pada hari ketiga perawatan di RSUD Kabupaten
Bekasi dilakukan persalinan secara Sectio Caesarea pada pasien.
55
3.2.9 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah pertama kali umur 23 tahun, menikah hanya 1 kali.
3.2.10 Riwayat KB
Jenis KB : Pil KB
56
b. Status Generalis
1. Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut, berwarna hitam.
2. Mata : Konjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
3. Wajah : Chloasma gravidarum (-/-)
4. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),trakea di tengah
5. Thorax
Paru : Gerakan dada simetris, vesikuler simetris (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
d. Status Ginekologi
1. Pemeriksaan Luar : Tidak dilakukan
2. Inspekulo : Tidak dilakukan
3. Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eusinofil 2 % 1–6
Neutrofil 68 % 50 – 70
Limfosit 22 % 20 – 40
NLR 3.09 <= 5.80
%
Monosit 8 2–9
Laju Endap Darah 36 (H) mm/jam < 15
(LED)
Kimia Klinik
SGOT 20 U/L < 32
SGPT 12 U/L < 31
Ureum Kreatinin
Ureum 17 mg/dL 15 – 40
58
Pada tanggal 17 Mei 2022 07:28 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.0 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 38 % 38 - 47
Eritrosit 5.28 106/μL 4.20 – 5.40
Leukosit 11,2 (H) 103/μL 5.0 – 10.0
3.5 RESUME
Pasien G2P1A0 hamil 38 minggu rujukan dari RS Permata datang ke RSUD
Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Mei 2022 dikarenakan hasil pemeriksaan
serologi pasien menunjukan hasil HIV (+). Pasien mengaku baru mengetahui
bahwa dirinya menderita HIV saat dilakukan pemeriksaan untuk persiapan
persalinan. Pasien mengaku tidak mengetahui darimana ia tertular HIV. Pada
suami pasien belum dilakukan pemeriksaan serologi HIV. Pasien mengeluhkan
mules-mules sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Mules dirasakan hilang
timbul tanpa disertai keluar darah ataupun air-air dari jalan lahir. Pada hari ketiga
perawatan di RSUD Kabupaten Bekasi dilakukan persalinan secara Sectio
Caesarea pada pasien.
3.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
59
AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah 2
minggu 2x200mg).
Non – Medikamentosa
Observasi keadaan umum dan tanda – tanda vital pasien.
Observasi bekas luka operasi pasien.
Edukasi
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pasien.
3.8 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam: Dubia ad bonam
Quo Ad Functionam: Dubia ad bonam
Quo Ad Sanactionam: Dubia
60
ANALISA KASUS
P2A0 Post Sectio Caesarea atas indikasi Bekas Sectio Caesarea dengan B20
Kasus:
Pada pasien saat ini merupakan kelahiran anak kedua secara sectio caesarea atas
indikasi bekas sectio caesarea. Sebelumnya pasien melahirkan anak pertama pada
tahun 2017 juga dengan sectio caesarea.
Teori:
Berdasarkan anamnesis, pada pasien belum terdapat gejala HIV, maka pasien
berada pada stadium 1 asimtomatik.
61
Teori:
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Sakit Stadium 4
Asimtomatik Sakit Sedang Sakit Berat
Ringan (AIDS)
BB Tidak ada Penurunan Penurunan BB >10% Sindroma wasting
penurunan BB BB 5-10% HIV
Kasus:
Teori:
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Pada hasil pemeriksaan
antibodi HIV (A1, A2, A3) yang memberikan hasil positif ketiganya, maka pasien
terdiagnosis pasti infeksi HIV. (Rimawi BH, et al. 2016).
62
B. Apakah penatalaksanaan HIV pada pasien ini sudah tepat?
Tatalaksana pasien ini pada umumnya sudah tepat. Diagnosis kerja pada pasien ini
adalah P2A0 post Sectio Caesarea atas indikasi Sectio Caesarea dengan B20,
sehingga pada pasien ini dilakukan perencanaan tatalaksana :
Medikamentosa
Teori:
Paduan obat ARV sama yaitu: TDF(300mg) + 3TC (300mg) +
EFV(600mg). Tersedia dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap Fixed
Dose Combinadon (FDC) atau lepasan terpisah.
KDT atau FDC terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik
karena diminum hanya sekali sehari, dibandingkan sediaan lepasan
atau terpisah.
Untuk perempuan HIV yang diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat
yang sarna seperti saat sebelum hamil.
Untuk ibu hamil diketahui HIV saat pemeriksaan kehamilan, segera
63
diberikan ARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun stadium
klinisnya dan nilai CD4 nya.
Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan,
segera diberikan ARV.
Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV
Iainnya.
Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
No Kondisi Rekomendasi Pengobatan
1. • ODHA hamil, segera TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV*
terapi ARV (600mg)
• ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
belum mendapat (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
terapi ARV, lakukan TDF (1x300mg). + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
tes, bila hasil reaktif + NVP (2x200mg)
berikan ARV AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFC
(1x600mg)
2. ODHA sedang • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3. ODHA hamil dengan TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg)
Hepatitis B yang + EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
+ EFV (2x200mg)
b. ODHA dalam terapi ARV teratur dan tidak terputus obat. Bila terdapat Infeksi
Oportunistik (IO), lakukan tatalaksana IO sesuai pedoman terapi (PNPK)
tatalaksana HIV.
c. Pemeriksaan viral load (VL), untuk mengetahui apakah sudah tersupresi (virus
HIV tidak terdeteksi)
• Bila VL tidak terdeteksi atau 1000 kopi/mL, senggama tanpa kondom dapat
dilakukan, pada masa subur
• Bila VL masih terdeteksi, tetap menggunakan kondom selama senggama dan
minum ARV secara teratur dan disiplin sampai viraload tidak terdeteksi.
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup. (Kementrian Kesehatan RI.2019.)
65
KESIMPULAN
SARAN
66
DAFTAR PUSTAKA
67
13. Novika AG, Setyaningsih D. Pelaksanaan Layanan Screening HIV
AIDS pada Ibu Hamil di Banguntapan Bantul. Seminar Nasional
UNRIYO. 2019: h.211218.
14. Sung S & Mahdy H. 2021. Cesarean Section. [Updated 2021 Aug 25].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Available from: (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546707/).
Accessed on 1st June 2022.
15. Sandall J, Triber RIM, Avery L, Mola G, Visser GHA, Homer CSE, et
al. 2018. Optimising caesarean section use 2: Short-term and long-
term effects of caesarean section on the health of women and children.
Lancet 2018; 392: 1349– 57.
16. Taha Z, Hassan AA, Wikkeling-Scott L & Papandreou D. 2019.
Prevalence and Associated Factors of Caesarean Section and its Impact
on Early Initiation of Breastfeeding in Abu Dhabi, United Arab
Emirates. Nutrients 2019, 11, 2723; doi:10.3390/nu11112723.
17. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, et al.
2014. Williams Obstetrics 24th Edition. New York: McGraw-Hill
Education.
18. WHO. 2015. WHO Statement on Caesarean Section Rates. [Internet].
Available from:
(https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_
15.02_eng.pdf). Accessed on 1st June 2022.
68
23. Maaløe N, Aabakker AJM & Secher NJ. 2013. Midline versus
transverse incision for cesarean delivery in low-income countries. Int J
Gynaecol Obstet. 2014Apr;125(1):1
69