Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN KASUS

P2A0 Post Sectio Caesarea atas Indikasi Bekas Sectio


Caesarea dengan B20

Disusun oleh :

Megan Grishelda Purnomo

1102016116

Pembimbing :
dr. Yedi Fourdiana Sukardi, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 16 MEI – 25 JUNI 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena hanya dengan rahmat dan rarunia-Nya sehingga laporan
presentasi kasus “P2A0 Post Sectio Caesarea atas indikasi Bekas Sectio
Caesarea dengan B20” dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan adanya laporan presentasi kasus “P2A0 Post Sectio
Caesarea atas indikasi Bekas Sectio Caesarea dengan B20” ini, penulis
sungguh mengharapkan ini semua dapat menjadi masukan bersama dan
dapat berguna bagi para rekan sejawat dalam memberikan
pelayanannya kepada pasien. Penulisan laporan kasus ini disusun dalam
rangka tugas dalam menjalani kepaniteraan di Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi.
Demikian laporan kasus ini penulis susun dengan sebaik-baiknya,
apabila ada yang kurang berkenan, penulis mohon maaf. Penulis
berharap penulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bekasi, 1 Juni 2022

Megan Grishelda Purnomo

1
BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus golongan


RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia.
Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV
memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya
AIDS.1 HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari
orang yang terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan
vagina. HIV juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama
kehamilan dan persalinan. Transmisi secara vertikal dari ibu ke anak
merupakan sumber utama penularan infeksi HIV pada anak. 2 Di Indonesia,
kasus HIV AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama sebelas
tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai puncaknya pada
tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan data WHO tahun
2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia Pasifik. Untuk kasus
AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214
kasus.2 Peningkatan transmisi dapat dilihat berdasarkan status klinis,
imunologis dan virologis maternal. Kehamilan dapat meningkatkan
progresi imunosupresi dan penyakit maternal. Penularan dari ibu HIV ke
janin/bayinya terjadi melalui plasenta selama kehamilan, jalan lahir saat
persalinan dan ASI pada menyusui.1 Risiko penularan human
immunodeficiency virus (HIV) dari ibu ke anak selama kehamilan,
persalinan, dan menyusui setinggi 25-30% jika tidak ada pengobatan.
Dengan penerapan tes HIV,konseling, pengobatan antiretroviral, persalinan
dengan operasi sectio caesaria, diharapkan dapat menurunkan penularan
vertikal.9

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi HIV dalam Kehamilan


2.1.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan
RNA yang spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia.
Penurunan sistem kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV
memudahkan berbagai infeksi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya
AIDS.1
AIDS (Acquired immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan
gejala dan tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan
(oportunistik) karena penurunan sistem imun. Dengan demikian orang yang
terinfeksi HIV secara alamiah tanpa pengobatan mudah mengalami infeksi
tumpangan akan berlanjut menjadi AIDS. Orang dengan HIV AIDS sering
disebut ODHA. ODHA mudah terinfeksi berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal melawan kuman
yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat
disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit serta dapat
menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran cema/usus, paru- paru
dan otak. Beberapa kondisi degeneratif dan keganasan juga mungkin
cenderung timbul akibat terjadinya perubahan intraseluler.1
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari
orang yang terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan
vagina. HIV juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama
kehamilan dan persalinan. Orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak
sehari-hari seperti mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi
benda pribadi, makanan, atau air.2

2.1.2 Epidemiologi
The Joint United Nations Program on HIV/ AIDS (UNAIDS)
melaporkan pada akhir tahun 2016 terdapat 36,7 juta orang di dunia hidup
dengan infeksi HIV, 2,1 juta di antaranya berusia kurang dari 15 tahun.
Diperkirakan pula bahwa 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV setiap

3
tahunnya dan 1,4 juta wanita dengan infeksi HIV hamil setiap tahun.
Meskipun prevalensi HIV di Asia terus berkurang, infeksi HIV merupakan
salah satu penyulit pada kehamilan yang paling sering terjadi di beberapa
negara. Peningkatan jumlah ODHIV pada populasi wanita terutama pada
usia reproduktif akan cenderung meningkatkan jumlah kehamilan dengan
HIV.3
Di Indonesia, kasus HIV AIDS terus meningkat dari tahun ke
tahun. Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia
mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di
regional Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun
terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214kasus.2
Angka prevalensi HIV nasional untuk kelompok usia 15 tahun ke
atas diestimasi sebesar 0,33% pada tahun 2015. Estimasi prevalensi HIV
provinsi berkisar dari 0,1% hingga lebih dari 2,0%; sepuluh provinsi
tertinggi yang dilaporkan memiliki jumlah kumulatif AIDS terbanyak
adalah provinsi Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera
Utara. Selama lima tahun (2011-2015) rasio kasus HIV laki-laki dan
perempuan adalah 1 berbanding 1,2-1,5. Peningkatan jumlah ODHIV
pada populasi wanita terutama pada usia reproduktif akan cenderung
meningkatkan jumlah kehamilan dengan HIV. Case Fatality Rate (CFR)
AIDS di Indonesia terus turun dari 13,86% pada tahun 2014 hingga
mencapai 0,46% pada tahun 2018.4

2.1.3 Cara Penularan


Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut:1
a. Hubungan seksual: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV
memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak
memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya.
Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan
HIV, baik genital, oral maupun anal.
b. Kontak dengan darah dan produknya, jaringan atau organ yang
terinfeksi HIV: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi
4
darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit)
dan transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui
penggunaan peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan
yang tidak aman, misalnya penggunaan alat suntik bersama pada
penasun, tato dan tindik tidak steril. Kontak langsung luka kulit
atau membran mukosa dengan darah terinfeksi HIV atau cairan
tubuh yang mengandung darah.
c. Penularan dari ibu HIV ke janin/bayinya: penularan HIV dari ibu
ke janin/bayi/anak terjadi melalui plasenta selama kehamilan, jalan
lahir saat persalinan dan ASI pada menyusui.

2.1.4 Faktor Resiko


Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu:1
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan
faktor yang paling utama terjadinya penularan HIV dari ibu
ke anak: semakin tinggi jumlahnya, semakin besar
kemungkinan penularannya, khususnya pada
saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.
b. Hitung CD4: ibu dengan hitung CD4 yang rendah,
khususnya bila jumlah sel CD4 di bawah 350 juL,
menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak
sel limfosit yang pecah/rusak. Hitung CD4 tidak selalu
berbanding terbalik dengan viral load. Pada fase awal
keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya
bisa rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-
retrovirus(ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah
serta kekurangan zat gizi terutama protein, vitamin dan
mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk
mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar
HIV dalam darah ibu, sehingga menambah risiko penularan
ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS misalnya sifilis,
5
infeksi organ reproduksi, malaria dan tibuerkulosis berisiko
meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga risiko
penularan HIV kepada bayi semakin besar.

e. Masalah pada payudara: Terdapat putting payudara yang


lecet, mastitis dan abses pada payudara akan meningkatkan
risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
2. Faktor Bayi1
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah rentan
tertular HIV karena system organ dan kekebalan tubuh
belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI
Risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi
Risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
3. Faktor Tindakan Obsterik1
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak
terjadi pada saat persalinan, karena tekanan pada
plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan
terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah bayi.
Selain itu, bayi terpapar darah dan lenidir ibu di jalan
lahir. Faktorfaktor yang dapat meningkatkan risiko
penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah
sebagaiberikut:
a. Jenis persalinan
Risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih
besar daripada persalinan seksio, karena bayi akan
terkena darah dan cairan vagina ketika melewati
jalan lahir sebagai cara virus HIV dari ibu masuk ke
dalam tubuhnya; namun seksio sesaria memberikan
banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan

6
Semakin lama proses persalinan, risiko penularan
HIV dari ibu ke anak juga semakin tinggi, karena
kontak antara bayi dengan darah/lender ibu semakin
lama.
c. Ketuban pecah dini
Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum
persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua
kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
empat jam.
d. Tindakan persalinan
Episiotomy, ekstraksi vakum dan forsep
meningkatkan risiko penularan HIV.

2.1.5 Diagnosis
Tes HIV harus mengikuti prinsip berupa 5 komponen dasar yang
telah disepakati secara global yaitu 5C (informed consent, confidentiality,
counseling, correct test results, connections to care, treatment and
prevention services). Prinsip 5C harus diterapkan pada semua model
layanan testing dan konseling (TK) HIV.5

1. Tes diagnosis HIV


Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode
pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis.
a. Metode pemeriksaan serologi
Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan
serologis. Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering
digunakan adalah rapid immunochromatography test (tes
cepat) dan EIA (enzyme immunoassay). Secara umum tujuan
pemeriksaan tes cepat dan EIA adalah sama, yaitu mendeteksi
antibodi saja (generasi pertama) atau antigen dan antibodi
(generasi ketiga dan keempat). Metode western blot sudah
tidak digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV lagi
di Indonesia.
b. Metode pemeriksaan virologis

7
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA
HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara
kualitatif di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis
HIV pada bayi. Pada daerah yang tidak memiliki sarana
pemeriksaan DNA HIV, untuk menegakkan diagnosis dapat
menggunakan pemeriksaan RNA HIV yang bersifat
kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai sarana
pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah kering
(dried blood spot [DBS]).

Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada:


1) Bayi berusia dibawah 18 bulan
2) Infeksi HIV primer
3) Kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif
namun gejalaklinis sangat mendukung ke arah AIDS
4) Konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil
laboratorium yang berbeda

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila:


1) Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau
reagenberbeda menunjukan hasil reaktif
2) Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV

2. Diagnosis infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan


Mortalitas tertinggi balita terinfeksi HIV yang tidak
mendapatkan terapi terjadi pada usia pertama kehidupan. Diagnosis
dini merupakan salah satu upaya untuk menghindari kematian
tersebut. Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak berusia <18
bulan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan tes virologis.
Uji serologis tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
definitif infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan karena terdapat
transfer transplasental antibodi maternal terhadap HIV.
Spesifitas PCR RNA HIV mencapai 100% saat lahir, usia 1,
3, dan 6 bulan. Spesifitas tersebut tidak berbeda dengan spesifitas

8
PCR DNA HIV. Uji yang dilakukan segera saat lahir akan
mendeteksi bayi yang terinfeksi intrauterin. Uji PCR RNA HIV
dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 25-85% pada
usia satu minggu pertama; 89% pada usia satu bulan;90-100% pada
usia 2- 3. Uji PCR DNA HIV mempunyai spesifitas sebesar 99,8%
saat lahir, dan 100% pada usia 1,3, dan 6 bulan. Uji PCR DNA HIV
dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 20-55% pada
usia satu minggu pertama; 90% pada usia 2-4 minggu; 100% pada
usia 3-6 bulan.

Penentuan saat pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosis


infeksi HIV pada bayi ditentukan oleh beberapa faktor, di
antaranya estimasi saat infeksi terjadi (intrauterin, intrapartum,
pasca-natal), sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga uji yang
digunakan; risiko mortalitas terhadap usia; dan retensi
pemeriksaan sampai dengan tata laksana. World Health
Organization merekomendasikan pemeriksaan uji virologis
pertama dilakukan pada usia 4-6 minggu. Bayi dengan risiko tinggi
harus mendapatkan pemeriksaan PCR tambahan pada saat lahir
dan usia 4 bulan(jika hasil PCR pertama negatif).
Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan PCR DNA dan
RNA untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV yang dilakukan
segera saat lahir memiliki hasil yang tidak begitu baik.
Pemeriksaan virologis pada usia 1-2 bulan bertujuan untuk
memaksimalkan deteksi infeksi HIV pada bayi. Penelitian
terhadap 1567 bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV yang
membandingkan akurasi uji PCR RNA HIV dan PCR DNA
HIV mendapatkan akurasi keduanya serupa dengan masing-masing
sensitivitas sebesar 100% pada usia 3 bulan. Sensitivitas terendah
didapatkan pada saat pemeriksaan segera setelah lahir (PCR DNA
HIV: 55%; PCR RNA HIV: 58%) dan meningkat pada usia 1
bulan (89%) dan 3 bulan (100%). Pada fasilitas kesehatan yang
tidak memiliki akses uji virologis HIV, diagnosis presumtif infeksi
HIV ditegakkan pada anak berusia <18 bulan apabila didapatkan

9
kelainan terkait HIV disertai hasil serologis HIV yang seropositif.
Kriteria diagnosis presumtif infeksi HIV memiliki sensitifitasdan spesifisitas sebesar ma
bulan. Penegakan diagnosis infeksi HIV presumtif harus segera
dikonfirmasi secepatnya menggunakan uji virologis (PCR
DNA HIV) atau uji serologis setelah anak berusia >18 bulan.

3. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa


Terdapat tiga jenis tes antibodi untuk menegakkan diagnosis
HIV pada anak >18 bulan, remaja, dan dewasa. Hasil pemeriksaan
anti-HIV dapat berupa reaktif, non-reaktif (negatif), dan tidak
dapat ditentukan(inkonklusif).
Hasil yang belum terkonfirmasi didapatkan jika tes HIV
pertama reaktif namun pemeriksaan tambahan tidak dilakukan pada
kunjungan yang sama untuk konfirmasi diagnosis HIV. Hal ini
terjadi pada daerah yang menerapkan satu kali pemeriksaan, suatu
pendekatan yang dinamakan “tes untuk triase”. Konselor dan
penyedia layanan tes bertanggung jawab menjelaskan bahwa hasil
yang didapatkan bukan merupakan diagnosis HIV dan memerlukan
konfirmasi serta merujuk klien dengan hasil reaktif ke tempat
dimana diagnosis HIV dapat ditentukan. Pasien dimotivasi untuk
sesegera mungkin ke fasilitas pemeriksaan selanjutnya.
4. Tes ulang pada periode jendela
Pada sebagian besar kondisi, konseling pasca-tes
menganjurkan pasien dengan hasil tes HIV negatif untuk
melakukan tes ulang. Tes ulang dimaksudkan untuk mengeluarkan
kemungkinan infeksi akut pada periode yang terlalu dini untuk
melakukan tes diagnostik (periode jendela). Meski demikian tes
ulang hanya perlu dilakukan pada individu dengan HIV negatif
yang baru saja mendapat atau sedang memiliki risiko pajanan.
Pada beberapa orang terduga terpapar secara spesifik atau
berisiko tinggi dapat disarankan tes ulang setelah 4 hingga 6
minggu. Orang berisiko tinggi seperti populasi kunci, dianjurkan
melakukan tes ulang secara regular setiap tahun. Tes ulang
memberikan kesempatan untuk memberikan kepastian diagnosis
10
HIV secara dini dan untuk mendapatkan edukasi mengenai
pencegahan HIV.
Pada daerah dengan prevalens tinggi, tes ulang HIV pada
wanita hamil dapat dilakukan pada kehamilan lanjut, persalinan,
atau sesegera mungkin setelah persalinan.5

Gambar 1. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV


Dewasa6

11
Tabel 1. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1

2.1.6 Manifestasi Klinis


Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV:1
a. Fase 1
Masa jendela (window period) — tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masa belum ditemukan
antibodi anti-HIV. Pada masa jendela yang biasanya
berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak
infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV
kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala
infeksi akut berupa demam, nyeri tenggorokan, pembesaran
kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit kepala,
bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan
mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase "flu-
fike syndrome" ini terjadi akibat serokonversi dalam darah,
saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada infeksi primer
HIV.
b. Fase II
Masa laten yang bisa tanpa gejala tanda (asimtomatik) hingga
gejala ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil
yang positif, walaupun gejala penyakit belum timbul.
Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan HIV
kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung
selama 2-3 tahun;

12
sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung
selama5-8 tahun.
c. Fase III
Masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan
kekebalan tubuh yang telah menurun drastis sehingga
mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik,
berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut.

Stadium Klinis Infeksi HIV Menurut WHO1


World Health Organization menyatakan stadium klinis infeksi
HIV yang dapat digunakan untuk memandu tatalaksana penderita
HIV secara komprehensif berkesinambungan jika tes cepat HIV
(rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen secara serial (strategi
tiga serial) menunjukkan hasil reaktif. Stadium klinis ini berguna
untuk memandu tatalaksana penderita HIV secara komprehensif
dan berkesinambungan.

Tabel 2. Stadium klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut


WHO
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Sakit Stadium 4
Asimtomatik Sakit Sedang Sakit Berat
Ringan (AIDS)
BB Tidak ada Penurunan Penurunan BB >10% Sindroma
penurunan BB BB 5-10% wasting
HIV
Gejala Tidak ada • Luka di • Kandidiasis oral atau Kandidiasis
gejala atau sekitar vaginal esophageal
hanya bibir • Oral hairy leukoplakia Herpes simpleks
Limfadenopati • Ruam • Diare, demam yang ulseratif lebih
generalisata kulit yang tidak tahu dari satu bulan
persisten gatal penyebabnya lebih dari Limfoma
• Herpes satu bulan Sarcoma karopsi
zoster

13
dalam 5 • Infeksi bacterial yang Kanker serviks
tahun berat (pneumoni, dsb) infasif
terakhir • TB paru dalam satu Retinitis
• ISPA tahun terakhir cytomegalovirus
berulang
• Ulkus
mulut
berulang
TB limfodenopati Pneumonia
Gingivitis/periodontitis pnemosistis
ulseratif nekrotika akut TB ekstra paru
Abses otak
tokoplasmosis
Meningitis
kriptokokus
Ecefalopati HIV
Gangguan
fungsi
neurologis dan
tidak oleh
penyebab
lain, sering kali
membaik
dengan ARV.

Di Indonesia, untuk meningkatkan kewaspadaan,


memudahkan penanganan, dan penggolongan dalam pencatatan
serta pelaporan, maka stadium klinis 1 dan 2 dikelompokkan
sebagai HIV sedangkan stadium klinis 3 dan 4 dikelompokkan
sebagai AIDS.
Sesuai kewenangannya dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2014 Tentang Praktik Kedokteran, pasal 35, maka setiap
dokter akan menegakkan diagnosis berdasarkan hasil wawancara

14
anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental serta pemeriksaan
penunjang yang ditentukannya, lalu akan ditindaklanjuti dengan
penatalaksanaan dan pengobatan pasien atau ibu hamil.
Berdasarkan kompetensi kemarnpuan penanganan maka stadium
klinis 1 dan 2 serta stadium 3-4 yang stabil dimasukkan sebagai
SKDI 4A menurut Keputusan Menterí Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02MENKES51412015 Tentang Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama, dan telah diperkuat dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07MENKES902019
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
HIV.1

2.1.7. Penatalaksanaan
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral, dan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama serta Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07Menkes/902/019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV, maka pengampu
penatalaksanaan dan pengobatan HIV AIDS Tanpa Komplikasi termasuk pada
ibu hamil dan pemberian ARV adalah Dokter Umum di FKTP. Semua ibu
hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang jumlah CD4,
karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang
dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, opsi B+). Untuk memulai
terapi ARV perludipertimbangkan hal-hal berikut:
a. Kewenangan dokter ke 5 dalam Undang-undang Praktik Kedokteran pasal
35
b. Edukasi bagi ODHA dalam terapi ARV, mengenai ketepatan waktu,
kepatuhan dan kepedulian terhadap diri sendiri, anak yang dikandung seda
pasangan
c. Penetapan stadium klinis sangat penting untuk menduga ada tidaknya
infeksi oportunistik. Pada stadium klinis 1 tanpa infeksi oportunistik dan
15
stadium 2 masalah terutama pada kulit, maka terapi ARV segera diberikan.
d. Pada stadium 3 yang terdapat TBC dan Stadium 4 dengan wasting
syndrome dII, sebaiknya segura dirujuk ke RS dengan pendampingan agar
DPJP dapat melakukan penanganan terhadap infeksi oportunistik
bersamaan dengan terapi ARV pada lbu hamil. Pada ibu hamil dengan
tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai kondisi
klinis pasien memungkinkan (kira-kira dita minggu sampai dua bufan)
dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV atan sesuai keputusan
pertimbangan keahlian DPJP. Setelah odha stabil terapi ARV dilanjutkan
lagi oieh dokter di Puskesmas atau FKTP.
e. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 atau jika
mampu memeriksa CD4 <200, tujuan utamanya untuk pencegahan primer
terhadap infeksi PCP dan toksoplasmosis, infeksi bakteri (pneumonia,
diare) dan juga berguna untuk mencegah malaria pada ODHA di daerah
endemis.

Pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR,


yaitu sebagai berikut:
a. Siap: menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV
terhadap infeksi HIV.
b. Adherence: kepatuhan minum obat
c. Disiplin: minum obat dan kontrol ke dokter
d. Aktif: menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi
e. Rutin: memeriksakan diri sesuai anjuran dokter

Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil


dengan HIV:
a. Paduan obat ARV sama yaitu: TDF(300mg) + 3TC (300mg) +
EFV(600mg). Tersedia dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap Fixed
Dose Combinadon (FDC) atau lepasan terpisah.

b. KDT atau FDC terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik
karena diminum hanya sekali sehari, dibandingkan sediaan lepasan
atau terpisah.
c. Untuk perempuan HIV yang diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat
16
yang sarna seperti saat sebelum hamil.
d. Untuk ibu hamil diketahui HIV saat pemeriksaan kehamilan, segera
diberikan ARV tanga meiihat umur kehamilan, berapapun stadium
klinisnya dan nilai CD4 nya.
e. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan,
segera diberikan ARV.
f. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV
Iainnya.
g. Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
Tabel 3. Pemberian obat ARV pada ibu hamil1
No Kondisi Rekomendasi Pengobatan
1. • ODHA hamil, segera TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV*
terapi ARV (600mg)
• ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
belum mendapat (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
terapi ARV, lakukan TDF (1x300mg). + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
tes, bila hasil reaktif + NVP (2x200mg)
berikan ARV AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFC
(1x600mg)
2. ODHA sedang • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3. ODHA hamil dengan TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg)
Hepatitis B yang + EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
+ EFV (2x200mg)
4. ODHA hamil dengan Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan.
tuberkulosis aktif Bila belum diberikan, maka OAT diberikan
terlebih dahulu sebelum pemberian ARV
Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan
dan tuberculosis sudah stabil: TDF + 3TC+ EFV

17
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudine; 3TC: lamifudin; FTC: emtricitabine;
NVP: nevirapine; EFV: efavirenz; TDF: tenovofir
*EFV tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama

Tabel 4. Efek samping obat dan kontraindikasi pemberian ARV1

Nama
Efek Samping Kontraindikasi
Obat
AZT Anemia (makin lama. Pajanan makin • Alergi obat
berat, namun reversible) • Hb < 7 g/dL
Mual, sakit kepala, myalgia, insomnia • Netropenia (<750 sel/mm3)
• Disfungsi hati dan ginjal
NVP • Hepatotoksik (perlu observasi klinis • Alergi terhadap
dalam 12 minggu pertama) benzodiazepine
• Ruam kulit • Disfungsi hati
TDF • Nefrotoksik (perlu observasi klinis • Disfungsi ginjal
selama 6 bulan pertama

Wanita hamil yang sebelumnya tidak pernah melakukan skrining HIV


dan datang ke ruang persalinan dan persalinan sangat membutuhkan tes
HIV yang cepat pada saat masuk. Jika tes HIV cepat positif dicatat, dan
pasien ini dianggap dalam persalinan aktif atau persalinan dijamin untuk
indikasi kebidanan lain, maka segera menerapkan intervensi untuk
mengurangi penularan HIV intrapartum, yang mencakup kombinasi
pemberian ibu paling sedikit 3 jam terapi AZT intravena sebelum
persalinan sesar dan profilaksis bayi pascakelahiran dengan rejimen
kombinasi ARV ganda dan nevirapine.7

Rencana Persalinan Ibu Terinfeksi HIV


Wanita hamil yang terinfeksi HIV dengan viral load lebih dari
1.000 pada wanita hampir melahirkan, terlepas dari terapi antiretroviral
antepartum, atau yang kadarnya tidak diketahui, harus diberi konseling
mengenai manfaat persalinan sesar terjadwal pada 38 minggu kehamilan
untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak. Pasien-pasien ini juga
harus menerima zidovudine intravena (ZDV), idealnya 3 jam sebelum

18
operasi sebagai dosis pemuatan intravena 1 jam (2 mg/kg), diikuti dengan
cairan infus selama 2 jam (1 mg/kg/jam) sampai persalinan untuk
mencapai kadar obat dalam darah ibu dan janin.8
Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Untuk itu
penting sekali dipastikan bahwa viral load HIV ibu tidak terdeteksi,
sehingga asuhan persalinan normal pervaginam dapat dilakukan dengan
kewaspadaan standar. Hal hal yang perlu diperhatikan pada persalinan
normal untuk ibu bersalin HIV antara lain: ibu telah mendapat pengobatan
ARV minimal enam bulan dan atau viral load tidak terdeteksi (undetected)
yaitu kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36.8 Dalam praktik
kontemporer saat merawat ibu hamil dengan ARV dan memantau viral load
untuk menilai respon terapi, tidak ada bukti bahwa persalinan sesar elektif
menawarkan perlindungan tambahan terhadap penularan dari ibu ke anak
pada perempuan hamil dengan kehamilan tidak terdeteksi atau bahkan
rendah (50-999 salinan)/mL) viral load ibu.8
Bagi wanita dengan viral load <50 kopi/mL tanpa kontraindikasi
obstetrik, disarankan persalinan per vaginam. Bagi wanita dengan viral
load > 400 kopi/mL, disarankan persalinan dengan sectio caesarea. Untuk
wanita dengan viral load 50–399 kopi/mL pada usia gestasi 36 minggu
sectio caesarea dapat dipertimbangkan sesuai perkiraan viral load, lama
terapi, faktor obstetrik, dan pertimbangan pasien. Bagi wanita dengan
riwayat sectio caesarea dan viral load kurang dari 50 kopi/mL, dapat
dicoba persalinan per vaginam. Saat sectio caesarea yang disarankan
adalah pada usia gestasi 38 hingga 39 minggu. kondisi ibu mengonsumsi
ARV dan tersupresi virusnya, tidak meningkatkan risiko transmisi
perinatal. Bila ibu masih dalam kondisi viremia, tindakan amniotomi,
penggunaan vakum atau forsep, dan episiotomi dihindari karena
berpotensi meningkatkan risiko transmisi.6 Kelahiran sesar sebelum awal
persalinan dapat mencegah mikrotransfusi yang terjadi dengan kontraksi
uterus, dan menghindari persalinan pervaginam menghilangkan pajanan
virus dalam sekresi servikovaginal dan darah pada saat persalinan.9
Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV harus mendapat ARV
profilaksis (zidovudine) sejak umur 12 jam selama 6 minggu yang
19
kemudian dilanjutkan dengan profilaksis kotrimoksazol hingga diagnosis
HIV dapat disingkirkan atau usia 12 bulan; pemeriksaan PCR HIV pada
bayi dilakukan pada saat lahir, usia 1 bulan, 3-4 bulan, dan 18 bulan. Perlu
dipantau efek jangka pendek dan jangka panjang, efek samping termasuk
gangguan perkembangan bayi. Pemberian ASI ibu dengan HIV pada
dasarnya dikontraindikasikan. Namun, apabila susu formula tidak dapat
diberikan karena alasan ekonomi, ASI diberikan secara eksklusif tanpa
campuran susu formula. Hal ini harus sudah disampaikan sedini mungkin
semenjak perawatan antenatal. Di beberapa daerah, seperti Afrika Selatan,
pemberian ASI eksklusif diperbolehkan dengan catatan ibu atau anak
mendapat obat antiretroviral. Pemberian ASI eksklusif saja pada 6 bulan
pertama berhubungan dengan penurunan transmisi tiga sampai empat kali
dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI dan susu formula atau
makanan lain.10
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan
Metode Keuntungan Kerugian
Persalinan
Pervaginam 1. Mudah dilakukan di sarana Risiko penularan pada bayi
kesehatan yang terbatas relative tinggi 10-20%, kecuali ibu
2. Masa pemulihan pasca telah minum ARV teratur ³6 bulan
persalinan singkat atau diketahui kadar viral load
3. Biaya rendah <1000 kopi/mm3 pada minggu ke-
36
Seksio 1. Risiko penularan yang 1. Lama perawatan bagi ibu lebih
cesaria
rendah (2-4%) atau dapat panjang
elektif
mengurangi risiko 2. Perlu sarana dan fasilitas
penularan sampai 50-66% pendukung yang lebih memadai
2. Terencana pada minggu 3. Risiko komplikasi selama operas
ke38 dan pasca operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi anestesi
5. Biaya lebih mahal

2.1.8. Pencegahan
Pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke anak (PPIA)
20
didefinisikan sebagai intervensi pencegahan infeksi HIV dari ibu kepada bayi.
Intervensi pencegahan tersebut meliputi penanganan komprehensif dan
berkelanjutan pada perempuan dengan HIV sejak sebelum kehamilan hingga
setelah kehamilan serta termasuk penanganan bayi lahir dari ibu HIV. Empat
pilar pendekatan komprehensif untuk mencegah transmisi vertikal HIV
yang dikenal denganProng, yaitu:1
• Prong 1 : Pencegahan primer infeksi HIV pada wanita usia reproduksi
• Prong 2 : Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita
terinfeksi HIV
• Prong 3 : Pencegahan transmisi vertikal HIV dari ibu kepada bayi
• Prong 4 : Penyediaan terapi, perawatan dan dukungan yang baik bagi
ibu dengan HIV, serta anak dan keluarganya.

a. Promosi kesehatan dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan


edukasi(KIE) tentang pencegahan infeksi HIV1
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dengan strategi advokasi,
pemberdayaan masyarakat dan kemitraan yang ditujukan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat deteksi dini
penularan HIV, sifilis dan hepatitis B; meningkatkan pengetahuan dan
tanggung jawab ibu hamil, ibu nifas, pasangan, keluarga dan
masyarakat juga untuk kesehatan bayinya, PHBS, pemberian makanan
pada bayi, serta meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga keluarga
sehat sejak dalam kehamilan, sesuai dengan tujuan akhir promosi kesehatan
yaitu kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat secara mandiri dan
menjadi agen perubahan baik di bidang kesehatan bagi keluarga,
lingkungan sekitar, masyarakat, bangsa dan negara untuk menjamin
generasi masa depan yang berkualitas, bebas dari ancaman dan gangguan
penyakit. Serta infeksi menular langsung. Konseling HIV menjadi salah
satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak. Ibu hamil
diberikan penjelasan tentang risiko penularan HIV dari ibu ke janinnya,
dan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani
tes HIV atau tidak. Apabila ibu hamil tersebut HIV positif maka dicegah
agar tidak terjadi penularan HIV dari ibu ke janin, namun sebaliknya
apabila ibu hamil tersebut HIV negatif maka diberikan bimbingan untuk
tetap HIV negatif selama kehamilannya, menyusui dan seterusnya.11
21
Screening HIV AIDS pada ibu hamil merupakan bagian dari antenatal
terpadu. Sebagai kelengkapan ANC Terpadu, ibu hamil akan dilakukan
pengecekan laboratorium secara lengkap. Pasien diminta persetujuannya
untuk bersedia melakukan screening HIV AIDS, jika pasien setuju
selanjutnya akan menandatangani informed consent. Pasien dilakukan
penapisan atau screening menggunakan formulir tes HIV AIDS lalu
dibuatkan surat pengantar ke laboratorium dan pasien menandatangani
kembali persetujuan pemeriksaan laboratorium.12
b. Pencegahan penularan penyakit menular langsung (PML) HIV dari ibu ke
bayi 1
1. Promosi kesehatan reproduksi sehat, perencanaan keluarga sehat,
perencanaan kehamilan dan perencanaan masa depan keluarga sehat
2. Melakukan deteksi dini HIV pada perempuan usia subur serta
penanganan dini yang tepat dan tuntas bagi perempuan HIV.
3. Layanan antenatal terpadu berkualitas bagi setiap ibu hamil dengan
melakukan deteksi dini dan penanganan dini yang tepat bagi setiap
perempuan hamil terhadap HIV serta contact tracing pasangan
seksual.
4. Memastikan tidak ada penularan HIV dari ibu ke anak dengan cara
pengobatan setiap ibu hamil HIV segera setelah penegakkan
diagnosis.
5. Dukungan bagi setiap orang dan keluarga terdampak HIV.

c. Pencegahan penularan infeksi HIV pada wanita usia subur1


1. Melakukan perilaku seksual aman
2. Tidak menggunakan jarum suntik bergantian atau tidak steril yang
berisiko menularkan penyakit infeksi menular lewat transfer darah
3. Apabila terinfeksi IMS, HIV dan Hepatitis B, maka pasangan wajib
periksa dan dilakukan penanganan yang tepat untuk menghindari
fenomena pingpong dan atau superinfeksi
4. Petugas kesehatan wajib menerapkan kewaspadaan standar agar tidak
terjadi penularan horizontal non seksual
5. Setial. Petugas kesehatan diberikan hak untuk melakukan skrining
HIV, sifilis, dan hepatitis B bagi dirinya sendiri untuk memastikan

22
dapat diberikannya profilaksis pasca pajanan dan menghilangkan
stigma dan diskriminasi pada tenaga kesehatan.

d. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan


terinfeksi Semua wanita terinfeksi HIV usia reproduktif harus mencari
konseling sebelum memikirkan kehamilan, sehingga pembahasan rinci
tentang melahirkan dapat dilakukan. Fokus utama kegiatan harus
mencakup pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (mother to child
transmission/MTCT).7

e. Kegiatan yang dilakukan meliputi pencegahan dan atau penundaan


kehamilan pada ibu dengan PML melalui konseling dan penyediaan
sarana kontrasepsi yang aman dan efektif, dan perencanaan dan persiapan
kehamilan yang tepat jika ibu ingin hamil. Seorang perempuan terinfeksí
HIV, maka terapi ARV segera dapat diberikan dan kehamilan dapat
direncanakan setelah viral load tidak terdeteksi dan kekebalan tubuh
memadaí. Deteksi dini penyakit menular langsung HIV pada ibu hamil.1

2.2 Kontrasepsi pada wanita dengan B20


Pilihan kontrasepsi berdasarkan urutan prioritas untuk perempuan HIV
sebaiknya sebagai berikut:1
1. Kontrasepsi mantap atau sterilisasi: dengan adanya risiko penularan HIV ke
bayi, bila ibu dengan HIV sudah memiliki jumlah anak yang cukup,
dipertimbangkan kontrasepsi mantap
2. Kontrasepsi jangka panjang dapat menggunakan Diagram Lingkaran
Kriteria Kelayakan Medis WHO dalam Penggunaan Kontrasepsi:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metode ini disarankan bila
risiko IMS rendah dan pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya
pemasangan dilakukan segara setelah plasenta lahir, walaupun tidak
tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat
pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian
khusus bita ada keluhan efek samping, seperti nyeri dan perdarahan
b. Hormonal:
• Pil KB kombinasi
Aman dan efeklif untuk perempuan dengan HIV yang tidak dalam
terapi obat ARV (dan obat lain) yang dapat meningkatkan enzim
23
hati (NVP atau EFV), karena ARV tersebut dapat menurunkan
efektivitas pil KB kombinasi.
• Pil progestin
Tidak direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang
dalam terapi obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil
progestin.
• Suntik progestin jangka Panjang
DMPA dapat digunakan bagi perempuan HIV yang dalam terapi
ARV tanpa kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme
DMPA tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat
diberikan setiap 12 minggu iv.
• Implan
Implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan
aman, namun tidak dapat digunakan pada perempuan HIV dalam
terapi ARV.
Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV.
Progesteron mempunyai efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV.
Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada pengguna polifarmasi
(misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosís), karena semua
kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati, demikian juga ARV.
Penggunaan keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.
Kontrasepsi hormonal yang efektif untuk perempuan dengan HIV
adalah suntik progestin jangka panjang DMPA. ARV akan
menurunkan efektifitas kontrasepsi hormonal lainnya.
Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan penularan IMS.
termasuk HIV dan Hepatitis B bila digunakan secara konsisten dengan
cara pemakaian yang henar. Oleh karena itu kondom harus digunakan
oleh semua pasangan, baik salah satu maupun yang keduanya
terinfeksi. Kondom tidak melindungi infeksi yang berasal dari ulkus lesi
pada bagian yang tidak tertutup kondom. Walaupun telah menggunakan
kondom, perempuan dengan HIV dianjurkan untuk menggunakan
metoda kontrasepsi lain untuk pencegahan kehamilan (perlindungan
ganda).
Bila ODHA dan pasangannya ingin merencanakan kehamilan,
24
maka:
a. Pastikan status HIV pasangan diketahui, positif atau negative
b. ODHA dalam terapi ARV teratur dan tidak terputus obat. Bila
terdapat Infeksi Oportunistik (IO), lakukan tatalaksana IO sesuai
pedoman terapi (PNPK) tatalaksana HIV.
c. Pemeriksaan viral load (VL), untuk mengetahui apakah sudah
tersupresi (virus HIV tidak terdeteksi)
• Bila VL tidak terdeteksi atau 1000 kopilmL, senggama tanpa
kondom dapat dilakukan, pada masa subur
• Bila VL masih terdeteksi, tetap menggunakan kondom selama
senggama dan minum ARV secara teratur dan disiplin sampai
viraload tidak terdeteksi.
Tujuan terapi ARV dini untuk mencegah kerusakan sistem dan
jaringan, dengan demikian kerentanan terhadap infeksi oportunistik
dapat dicegah dan jumlah CD4 tetap tinggi. Pada pengobatan dini,
sesuai HPTN 052 maka setelah pengobatan patuh minimal 6 bulan dan
diteruskan seumur hidup, maka viral load setelah 6 bulan tersebut bisa
mencapai level tidak terdeteksi (secara program bila jumlah VL 1000
kopi/mL), maka risiko kemungkinan penularan HIV dari ibu ke bayi
rendah. Sekalipun demikian, terapi profilaksis pada bayi dari ibu HIV
tetap diberikan sesuai ketentuan. Penolakan atas anjuran upaya
pengobatan dan perubahan perilaku aman wajib dilakukan secara
tertulis di rekam medis.1

2.3 Sectio Caesarea

2.3.1 Definisi Sectio Caesarea

Sectio caesarea adalah persalinan janin melalui sayatan perut terbuka


(laparotomi) dan sayatan di dalam uterus (histerotomi). 14 Sectio caesarea (SC)
merupakan intervensi penyelamatan jiwa untuk komplikasi spesifik selama kehamilan
dan persalinan yang harus tersedia bagi semua wanita yang membutuhkan. SC juga
memberikan peningkatan risiko kematian ibu danmorbiditas akut yang parah dan risiko
yang lebih tinggi untuk hasil yang merugikan pada kehamilan berikutnya dibandingkan
dengan kelahiran pervaginam.15

25
2.3.2 Insidensi Sectio Caesarea
Sekarang ini adalah operasi paling umum yang dilakukan di Amerika Serikat, dengan
lebih dari 1 juta wanita melahirkan melalui operasi caesar setiap tahun. Angka
persalinan caesar naik dari 5% pada tahun 1970 menjadi 31.9% pada tahun 2016.
Meskipun ada upaya berkelanjutan untuk mengurangi angka operasi caesar, para ahli
tidak mengantisipasi penurunan yang signifikan setidaknya selama satu atau dua
dekade.14 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan tingkat SC 10%-15%
dari semua kelahiran hidup.16 Alasan terus meningkatnya angka operasi caesar tidak
sepenuhnya dipahami, namunbeberapa penjelasannya antara lain sebagai berikut:15
1. Wanita memiliki lebih sedikit anak, oleh karena itu, persentase kelahiran yang
lebih besar di antara nulipara, yang berisiko lebih tinggi untuk kelahiran caesar.
2. Usia ibu rata-rata meningkat, dan wanita yang lebih tua, terutama nulipara,
berada pada peningkatan risiko kelahiran caesar.
3. Penggunaan pemantauan janin elektronik tersebar luas. Teknik ini dikaitkan
dengan peningkatan angka kelahiran caesar dibandingkan dengan auskultasi
denyut jantung janin intermiten.
4. Sebagian besar janin dengan posisi sungsang sekarang dilahirkan melalui operasi
caesar. Kekhawatiran akan cedera janin, serta jarangnya presentasi sungsang
memenuhi kriteria untuk percobaan persalinan, hampir menjamin bahwa
sebagian besar akan dilahirkan melalui operasi caesar.
5. Frekuensi persalinan forceps dan vakum menurun.
6. Tingkat induksi persalinan terus meningkat, dan persalinan induksi, terutama di
antara nulipara, meningkatkan angka kelahiran caesar.
7. Prevalensi obesitas telah meningkat secara dramatis, dan obesitas meningkatkan
risiko kelahiran caesar.
8. Angka kelahiran caesar untuk wanita dengan preeklamsia telah meningkat,
sedangkan angka induksi persalinan untuk pasien ini telah menurun.
9. Kelahiran pervaginam setelah operasi Caesar VBAC (Vaginal birth after
cesarean) telah menurun dari 28 persen pada tahun 1996 menjadi 8 persen pada
tahun 2007.

10. Persalinan caesar elektif semakin banyak dilakukan untuk berbagai indikasi
termasuk kekhawatiran akan cedera dasar panggul yang terkait dengan kelahiran
pervaginam, kelahiran prematur yang diindikasikan secara medis, pengurangan
risiko cedera janin, dan untuk permintaan ibu.
26
2.3.3 Klasifikasi
Di antara sistem yang ada yang digunakan untuk mengklasifikasikan operasi caesar,
klasifikasi 10 kelompok (juga dikenal sebagai klasifikasi Robson) telah banyak
digunakan di banyak negara dalam beberapa tahun terakhir. Diusulkan oleh Dr
Michael Robson pada tahun 2001, sistem stratifikasi wanita menurut karakteristik
obstetrik mereka, sehingga memungkinkan perbandingan tingkat operasi caesar
dengan faktor perancu yang lebih sedikit.18

Gambar 2. Klasifikasi group dengan indikasi SC18

2.3.4 Indikasi Sectio Caesarea

Indikasi dilakukannya sectio caesarea ini cukup banyak, namun indikasi paling
sering dilakukannya sectio caesarea yaitu sekitar 85%, antara lain karena adanya
riwayat sectio caesarea sebelumnya, adanya distosia persalinan, terjadinya gawat
janin, serta letak sungsang. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2013, sebanyak 9,8% persalinan dengan metode sectio
caesarea dimana proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di
27
Sulawesi Tenggara (3,3%).16

Terdapat beberapa alasan mengapa janin tidak dapat dan tidak


diperbolehkan dilahirkan pervaginam. Beberapa indikasi bersifat tetap karena
persalinan pervaginam dapat berbahaya pada skenario klinis khusus. Berikut
merupakan indikasi sectio caesarea berdasarkan faktor ibu, uterus dan janin:
A. Indikasi maternal
 Riwayat sectio caesarea sebelumnya
 Permintaan ibu
 Gagal induksi
 Deformitas pelvis atau disproporsi sepalopelvik
 Riwayat trauma perineum
 Riwayat operasi rekonstruktuf pelvis atau anal/rectum
 Infeksi herpes simplex atau HIV
 Penyakit jantung atau paru
 Aneurisma serebri atau malformasi arteriovenus
 Menderita penyakit yang membutuhkan operasi intrabdomen
 Sesarea perimortem.14,15
B. Indikasi uterus/anatomi
 Plasenta abnormal
 Riwayat histerektomi, miomektomi
 Riwayat luka insisi uterus yang terbuka
 Kanker serviks invasif
 Riwayat trakelektomi
 Massa obstruktif pada alat kelamin
 Riwayat operasi ikat mulut rahim permanen (cervical cerclage).14,15
C. Indikasi Janin
 Status janin yang abnormal (kelainan tali pusar, denyut jantung abnormal)
 Prolaps tali pusar
 Kegagalan persalinan pervaginam
 Malpresentasi
 Makrosomia
 Kelainan bawaan
 Trombositopenia.14,15
28
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada tahun 1999
dan 2004 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk
persalinan pervaginal pada bekas sectio caesarea. Menurut Cunningham FG (2001)
kriteria seleksinya adalah berikut:
a. Riwayat 1 atau 2 kali sectio caesarea dengan insisi segmen bawah rahim.
b. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik
c. Tidak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus
d. Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinandan
sectio caesarea emergensi.
e. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani sectio caesarea darurat14,16,18
Menurut Cunningham FG (2001) kriteria yang masih kontroversi adalah:
a. Parut uterus yang tidak diketahui
b. Parut uterus pada segmen bawah rahim vertikal
c. Kehamilan kembar
d. Letak sungsang
e. Kehamilan lewat waktu
f. Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram14,18
Sementara berdasarkan POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia),
dilakukan persalinan pervaginam jika: 17

a. Imbang feto pelvik baik


b. Perjalanan persalinan normal
Untuk memprediksi keberhasilan penanganan persalinan pervaginal bekas sectio caesarea,
beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Adapun skoring yang ditentukan untuk
memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas sectio caesarea adalah sebagai
berikut:14,18

29
Tabel 5. Skor VBAC menurut Flamm dan Geiger (1997)

No Karakteristik Skor
1 Usia < 40 tahun 2
2 Riwayat persalinan pervaginal
- sebelum dan sesudah seksio sesarea 4
- persalinan pervaginal sesudah seksio sesarea 2

- persalinan pervaginal sebelum seksio sesarea 1


0
- tidak ada
3 1
Alasan lain seksio sesarea terdahulu
4
Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah Sakit dalam keadaan
5
Inpartu:
2
- 75 %
1
- 25 – 75 % 0
- < 25 % 1
Dilatasi serviks > 4 cm

Interpretasi:

Skor Angka Keberhasilan

0-2 42-49%
3 59-60%
4 64-67%
5 77-79%
6 88-89%
7 93%
8-10 95-99%
total 74-75%
Tabel 6. Skor VBAC menurut Weinstein Factor

No. Tidak Ya
1. Bishop Score 4 0 4
2. Riwayat persalinan pervaginal sebelum sectio caesarea 0 2
3. Indikasi sectio caesarea yang lalu
• Malpresentasi, Preeklampsi/Eklampsi, Kembar 0 6

30
HAP, PRM, Persalinan Prematur 0 5

Fetal Distres, CPD, Prolapsus tali pusat 0 4

Makrosemia, IUGR 0 3

2.3.5 Kontraindikasi Sectio Caesarea


Tidak terdapat kontraindikasi medis terhadap sectio caesarea. Sectio caesarea
merupakan pilihan ketika pasien wanita hamil meninggal atau dalam kondisi kritis atau
janin meninggal atau dalam kondisi kritis. Kondisi ideal untuk dilakukannya sectio
caesarea adalah adanya obat-obatan anestesi dan antibiotic disertai dengan alat- alat yang
memadai. Tidak adanya hal-hal tersebut bukan merupakan kontraindikasi seksio sesaria.
Secara bioetika, sectio caesarea dikontraindikasikan jika pasien menolak tindakan
tersebut.14

2.3.6 Persiapan Sectio caesarea

Persiapan pasien sebelum operasi meliputi:


a. Terangkan prosedur yang akan dilakukan pada pasien (Informed
Consent). Jika pasien tidak sadar, terangkan pada keluarganya.
Dapatkan persetujuan tindakan medik
b. Cek kemungkinan alergi dan riwayat medik lain yang diperlukan
c. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik awal yang baik merupakan
langkah esensial setiap pembedahan
d. Berikan perawatan perioperatif
a. Pencegahan Infeksi
Pemberian antimikroba sebelum insisi bedah telah terbukti
menurunkan tingkat infeksi pascaoperasi tanpa efek neonatus yang
merugikan dibandingkan dengan pemberian obat setelah penjepitan
tali pusat. Untuk alasan ini, American College of Obstetricians and
Gynecologists merekomendasikan agar profilaksis diberikan dalam
waktu 60 menit sebelum dimulainya persalinan caesar yang
direncanakan. Untuk persalinan darurat, profilaksis harus diberikan
sesegera mungkin.17
e. Siapkan contoh darah untuk pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah
f. Jika diperkirakan diperlukan, minta darah terlebih dahulu
31
g. Pemeriksaan laboratorium diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan.
Apabila umur semakin tua diperlukan pemeriksaan EKG dan foto toraks

h. Cuci dan bersihkan lapangan insisi dengan sabun dan air


i. Janganlah mencukur rambut pubis karena hal ini dapat menambah
risiko infeksi luka

j. Rambut pubis hanya dipotong/dipendekkan kalau diperlukan


k. Pantau dan catat tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu)
l. Berikan pramedikasi yang sesuai
m. Berikan antasid untuk mengurangi keasaman lambung (sodium sitrat 0,3%
atau Mg trisilikat 300 mg), sebaiknya pasien harus puasa 4 jam
sebelumnya
n. Pasang kateter dan monitor pengeluaran urin
o. Pastikan semua informasi sudah disampaikan pada seluruh tim bedah, baik
dokter obgin maupun dokter anestesi sudah memeriksa keadaan pasien
sebelum operasi.17

2.3.7 Prosedur Tindakan Sectio Cesarea

Insisi Abdomen
Dalam kebidanan, biasanya garis tengah vertikal atau sayatan melintang suprapubik
dipilih untuk laparotomi. Entri perut melintang adalah dengan sayatan Pfannenstiel atau
Maylard. Dari jumlah tersebut, sayatan Pfannenstiel dipilih paling sering untuk kelahiran
caesar. Sayatan melintang mengikuti garis Langer dari ketegangan kulit, dan hasil
kosmetik yang superior dibandingkan dengan sayatan vertikal dapat dicapai. Selain itu,
penurunan tingkat nyeri pasca operasi, dehiscence luka fasia, dan hernia insisional
dibandingkan dengan entri vertikal adalah keuntungan. Penggunaan sayatan Pfannenstiel,
bagaimanapun, sering tidak dianjurkan untuk kasus-kasus di mana ruang operasi yang
besar sangat penting atau di mana akses ke perut bagian atas mungkin diperlukan. Karena
lapisan yang dibuat selama sayatan aponeurosis oblik internal dan eksternal dengan
sayatan melintang, cairan purulen dapat terkumpul di antara lapisan tersebut. Oleh
karena itu, kasus dengan risiko infeksi yang tinggi dapat mendukung sayatan garis
tengah. Terakhir, struktur neurovaskular, yang meliputi nervus ilioinguinal dan
iliohypogastricus serta pembuluh darah epigastrika superfisial dan inferior, sering
dijumpai dengan insisi transversal. Logikanya, perdarahan, hematoma luka, dan gangguan

32
neurologis mungkin lebih sering mempersulit sayatan ini dibandingkan dengan sayatan
vertikal. Dengan kelahiran caesar berulang, masuk kembali melalui sayatan Pfannenstiel
biasanya lebih memakan waktu dan sulit karena jaringan parut.17 Sebuah penelitian baru-
baru ini menunjukkan bahwa sayatan garis tengah mungkin terbukti menguntungkan bagi
wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) di atas 40, meskipun penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan ini. Dua jenis sayatan perut melintang –
Pfannenstiel dan Joel-Cohen – telah dibandingkan dalam beberapa penelitian yang
meneliti hasil pascaoperasi jangka pendek. Kedua teknik tersebut terdiri dari kombinasi
teknik bedah untuk membuka berbagai lapisan perut.21 Sayatan Pfannenstiel terletak dua
lebar jari di atas simfisis pubis, jaringan subkutan disayat tajam dengan pisau bedah, fasia
dipotong terbuka dengan gunting dan dipisahkan dari otot di bawahnya, dan peritoneum
dibuka dan melebar tajam dengan gunting.21
Sayatan Maylard berbeda terutama dari Pfannenstiel dalam hal perut otot rektus
abdominis ditranseksi secara horizontal untuk memperlebar ruang operasi. Secara teknis
lebih sulit karena diperlukan isolasi dan ligasi arteri epigastrika inferior, yang terletak
lateral dari otot perut ini.17 Insisi Joel-Cohen ditempatkan 3 cm di bawah garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior, jaringan subkutan dan fasia diinsisi hanya
di garis tengah, insisi fasia diperpanjang dengan ujung gunting di bawah jaringan lemak,
otot rektus dipisahkan oleh traksi manual, dan peritoneum dimasukkan secara melintang
dengan ujung jari.21

Gambar 3. Variasi Insisi Dinding Abdomen22

33
Studi telah menyimpulkan bahwa metode Joel-Cohen menyebabkan morbiditas pasca
operasi secara signifikan lebih sedikit, termasuk demam, nyeri, dan penggunaananalgesik;
waktu operasi yang lebih pendek; dan durasi rawat inap pasca operasi yang lebih
pendek.21

Gambar 4. Keuntungan Insisi Midline dan Transversa untuk Persalinan Caesar23

Gambar 5. Insisi Joel-Cohen20

Untuk mencapai persalinan caesar, ahli bedah harus melintasi semua lapisan yang
memisahkannya dari janin. Pertama, kulit disayat, diikuti oleh jaringan subkutan. 14
Diseksi tajam dilanjutkan melalui lapisan subkutan ke fasia. Pembuluh darah epigastrium
superfisial biasanya dapat diidentifikasi di tengah antara kulit dan fasia, beberapa
sentimeter dari garis tengah, dan terkoagulasi. Jika robek, jahitan ini dapat diikat dengan
jahitan usus polos 3-0 atau dikoagulasi dengan pisau bedah listrik. 16 Lapisan berikutnya

34
adalah fasia yang melapisi otot rektus abdominis. Fasia abdomen anterior biasanya terdiri
dari dua lapisan. Satu terdiri dari aponeurosis dari otot rektus miring eksternal, dan yang
lainnya adalah lapisan menyatu yang berisi aponeurosis abdominis transversal dan otot
miring internal.14 Setelah fasia diinsisi, tepi fasia inferior dijepit dengan klem yang sesuai
dan diangkat oleh asisten saat operator memisahkan selubung fasia dari otot rektus di
bawahnya baik secara tumpul atau tajam sampai batas superior simfisis pubis tercapai.
Setiap pembuluh darah yang mengalir di antara selubung dan otot dijepit, dipotong, dan
diikat, atau digumpalkan dengan pisau bedah listrik. Selanjutnya, tepi fasia superior
digenggam dan sekalilagi, pemisahan fasia dari otot rektus selesai. Hemostasis yang teliti
sangat penting untuk menurunkan tingkat infeksi dan perdarahan. Pemisahan fasia
dilakukan cukup dekat ke umbilikus untuk memungkinkan insisi longitudinal garis tengah
peritoneum yang memadai. Otot rektus abdominis dan piramidalis kemudian dipisahkan di
garis tengah dengan diseksi tajam dan tumpul untuk memperlihatkan fasia transversalis
dan peritoneum.16 Setelah memisahkan otot rektus, yang berjalan dari cephalad ke caudal,
ahli bedah memasuki rongga perut melalui peritoneum parietal.14 Fasia transversalis dan
lemak preperitoneal dibedah dengan hati-hati untuk mencapai peritoneum di bawahnya.
Peritoneum dekat ujung atas sayatan dibuka dengan hati- hati, baik secara tumpul atau
dengan mengangkatnya dengan dua hemostat yang ditempatkan sekitar 2 cm. Lipatan
peritoneum di antara klem diperiksa dan dipalpasi untuk memastikan bahwa omentum,
usus, atau kandung kemih tidak berdekatan.

Peritoneum kemudian diinsisi. Sayatan diperluas ke superior ke kutub atas sayatandan


ke bawah tepat di atas refleksi peritoneum di atas kandung kemih.16

35
Gambar 6. Insisi Abdomen20
Pada wanita hamil, tidak seperti pada pasien tidak hamil, uterus sering ditemukan pada
titik ini segera setelah masuk ke perut. Jika pasien memiliki penyakit adhesif dari operasi
sebelumnya, ahli bedah mungkin menemukan adhesi yang melibatkan struktur seperti
omentum, usus, dinding perut anterior, kandung kemih, dan aspek anterior uterus. Setelah
mengidentifikasi uterus, ahli bedah kemudian dapat mengidentifikasi peritoneum
vesicouterine, atau vesicouterine serosa, yang menghubungkan kandung kemih dan uterus.
Jika ahli bedah ingin membuat flap kandung kemih, ia harus menorehkan peritoneum
vesicouterine. Pada pasien dengan operasi caesar sebelumnya, kandung kemih mungkin
menjadi sulit untuk dipisahkan dari uterus.14 Pembuatan flap kandung kemih secara efektif
memindahkan kandung kemih menjauh dari lokasi histerotomi yang direncanakan dan
mencegah laserasi kandung kemih jika ekstensi histerotomi inferior yang tidak diinginkan
terjadi selama pelahiran janin.16 Namun, dalam beberapa percobaan, kelalaian dari flap
kandung kemih menurunkan waktu operasi dan tidak meningkatkan komplikasi seperti
hematuria, nyeri, atau infeksi saluran kemih. Cedera kandung kemih jarang terjadi, dan
penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi apakah kelalaian flap kandung kemih
mengubah insiden cedera kandung kemih.14

Gambar 7. Pembuatan Bladder Flap20


Setelah sayatan awal ini, gunting dimasukkan di antara serosa vesikouterina dan
miometrium segmen bawah uterus. Gunting didorong ke lateral dari garis tengah di setiap

36
sisi untuk lebih membuka peritoneum visceral dan mengekspos miometrium. Insisi
peritoneal transversal ini meluas hampir sepanjang segmen bawah uterus. Saat margin
lateral di setiap sisi didekati, gunting diarahkan agak lebih cephalad (Gambar 8). Tepi
bawah peritoneum terangkat, dan kandung kemih secara perlahan dipisahkan dari
miometrium di bawahnya dengan diseksi tumpul atau tajam di dalam ruang vesikouterina
ini (Gambar 9).16

Gambar 8. Serosa vesicouterine yang longgar di atas refleksi kandung kemih dijepit
dengan forsep dan diinsisi dengan gunting Metzenbaum (Atas). Serosa longgar di atas
margin atas kandung kemih ditinggikan dan diinsisi secara lateral(Bawah)16

37
Gambar 9. Penampang melintang menunjukkan diseksi tumpul kandung kemih dari
uterus untuk mengekspos segmen bawah uterus16

Histerotomi

Uterus terdiri dari lapisan serosa luar (perimetrium), lapisan otot (miometrium), dan
lapisan mukosa bagian dalam (endometrium). Ketiga lapisan ini diinsisi untuk membuat
insisi uterus atau histerotomi. Penting untuk diingat bahwa pembuluh darah uterus berjalan
bersama dengan aspek lateral uterus di kedua sisi, dan perawatan harus dilakukan untuk
menghindari kerusakan pembuluh darah ini ketika sayatan uterus dibuat atau diperpanjang
- arteri uterina bercabang dari anterior. pembagian arteri iliaka interna. Aliran darah
melalui arteri ini delapan kali lebih cepat selama kehamilan, dengan aliran unilateral lebih
dari 300 mililiter per menit pada 36 minggu. Arteri uterina melintasi ureter di anterior dan
masuk ke uterus pada ligamen kardinal. Arteri uterina beranastomosis di ligamentum
latum dengan arteri ovarika, yang muncul dari aorta abdominalis.14

Insisi Uterus

Uterus dapat diinsisi dengan berbagai teknik. Masing-masing dimulai dengan


menggunakan pisau bedah untuk menyayat melintang segmen bawah uterus yang terbuka
sejauh 1 sampai 2 cm di garis tengah (Gambar 10). Ini harus dilakukan dengan hati-hati
untuk menghindari laserasi janin. Entri tumpul yang hati-hati menggunakan hemostat atau
ujung jari untuk membelah otot dapat membantu. Setelah uterus dibuka, sayatan dapat
diperpanjang hanya dengan melebarkan sayatan, menggunakan tekanan lateral dan sedikit
ke atas yang diterapkan dengan masing- masing jari telunjuk (Gambar 11). Sebagai
alternatif, jika segmen bawah uterus tebal, maka pemotongan ke samping dan kemudian
sedikit ke atas dengan gunting perban akan memperpanjang sayatan. Yang penting, ketika
gunting digunakan, jari telunjuk dan jari tengah tangan yang tidak dominan harus
38
diinsinuasi di bawah miometrium dan di atas bagian janin untuk mencegah laserasi janin.
Membandingkan ekstensi tumpul dan tajam dari insisi uterus awal, ekstensi tajam
dikaitkan dengan peningkatan perkiraan kehilangan darah, tetapi perubahan hematokrit
pasca operasi, kebutuhan transfusi, dan tingkat infeksi tidak berbeda.16

Gambar 10. Miometrium disayat dengan hati-hati untuk menghindari pemotongan


kepala janin16

Gambar 11. Setelah memasuki rongga uterus, sayatan diperpanjang ke lateraldengan


jari atau dengan gunting perban (inset)16

39
Gambar 12. Ekstensi Cephalad-caudad Insisi Uterus20
Histerotomi vertikal rendah dapat menjadi pilihan jika ekstraksi janin bermasalah
diantisipasi, terutama dalam kasus presentasi sungsang. Sayatan melintang rendah juga
dapat diperpanjang secara vertikal untuk membuat sayatan "T," "U," atau "J" untuk
memberikan ruang tambahan.14 Dalam kasus tersebut, salah satu sudut sayatan histerotomi
diperpanjang cephalad ke bagian kontraktil myometrium–sayatan J. Jika ini selesai secara
bilateral, sayatan U terbentuk. Terakhir, beberapa lebih suka memperpanjang di garis
tengah—sayatan T. Seperti yang diharapkan, ini telah dikaitkan dengan kehilangan darah
intraoperatif yang lebih tinggi.16

Persalinan Fetus

Dalam presentasi kepala, tangan dimasukkan ke dalam rongga uterus antara simfisis dan
kepala janin. Kepala diangkat dengan lembut dengan jari dan telapak tangan melalui
sayatan. Setelah kepala memasuki sayatan, pelahiran dapat dibantu oleh tekanan fundus
transabdominal sederhana (Gambar 13).16

40
Gambar 13. Persalinan Kepala Fetus16
Setelah persalinan lama dengan disproporsi sefalopelvik, kepala janin mungkin terjepit di
jalan lahir. Situasi ini dapat berakibat buruk, dan ada tiga pertimbangan untuk
penyampaiannya. Pertama, metode "push" dapat digunakan. Dengan ini, tekanan ke atas
yang diberikan oleh tangan di vagina oleh asisten akan membantu mengeluarkan kepala
dan memungkinkan persalinannya di atas simfisis. Menghilangkan impaksi kepala seperti
itu meningkatkan risiko ekstensi histerotomi dan kehilangan darah terkait serta fraktur
tengkorak janin. Sebagai alternatif, metode "pull" digunakan di mana kaki janin
digenggam dan dilahirkan melalui lubang histerotomi. Janin kemudian dilahirkan dengan
traksi saat seseorang akan menyelesaikan ekstraksi sungsang. Dukungan untuk
pendekatan terakhir ini hanya datang dari uji coba acak kecil dan seri kasus. Terakhir,
sayatan histerotomi vertikal rendah, yang akan memberikan lebih banyak ruang untuk
teknik "pull", dapat dipilih. Jika sayatan melintang rendah telah dibuat, maka ini dapat
diperluas ke sayatan J-,U-, atau T untuk ruangan. 16

41
Gambar 14. Persalinan Kepala Fetus20
Sebaliknya, pada wanita tanpa persalinan, kepala janin mungkin tidak terbentuk dan tanpa
titik kepala yang menonjol. Kepala bundar mungkin sulit diangkat melalui insisi uterus di
segmen bawah yang relatif tebal yang tidak dilemahkan oleh persalinan. Dalam kasus
seperti itu, baik forsep atau alat vakum dapat digunakan untuk melahirkan kepala janin
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15.16

42
Gambar 15. (A) Bilah forsep caesar pertama ditempatkan. (B) Traksi sedikit ke atas dan
ke luar digunakan untuk mengangkat kepala melalui sayatan16
Setelah kepala lahir, jari harus melewati leher janin untuk menentukan apakah jari tersebut
dikelilingi oleh satu atau lebih tali pusat. Jika gulungan tali pusar terasa, itu harus
diselipkan di atas kepala. Kepala diputar ke posisi melintang oksiput, yang menyelaraskan
diameter bisacromial janin secara vertikal. Sisi kepala digenggam dengan dua tangan, dan
traksi ke bawah yang lembut diterapkan sampai bahu anterior memasuki insisi
histerotomi. Selanjutnya, dengan gerakan ke atas, bahu posterior dilahirkan. Selama
pelahiran, gaya yang tiba-tiba atau kuat dihindari untuk mencegah cedera pleksus
brakialis. Dengan traksi ke luar yang stabil, bagian tubuh lainnya kemudian dengan
mudah mengikuti. Tekanan fundus yang lembut dapat membantu ini.16

Gambar 16. Bahu anterior (A) dan kemudian posterior (B) dilahirkan16

43
Setelah lahir, infus intravena yang mengandung dua ampul atau 20 unit oksitosin per liter
kristaloid diinfuskan dengan kecepatan 10 mL/menit. Beberapa lebih suka dosis infus
yang lebih tinggi, namun, dosis bolus dihindari karena hipotensi terkait.16 Setelah
melahirkan janin, tali pusat dijepit dan dipotong dua kali. Penjepitan tali pusat dapat
ditunda jika status ibu dan janin memungkinkan, dan jika diinginkan oleh ahli bedah.
Tinjauan sistematis penundaan penjepitan tali pusat pada bayi prematur menunjukkan
penurunan mortalitas di rumah sakit, penurunan insiden skor Apgar yang rendah pada
1 menit tetapi tidak 5 menit, tidak ada perubahan dalam ukuranhasil lainnya (intubasi,
perdarahan intraventrikular, enterokolitis nekrotikans, dll), dan risiko potensial untuk
polisitemia dan hiperbilirubinemia yang diinduksi. 14 Persalinan Plasenta
Setelah tali pusat dipotong, darah tali pusat dapat diambil jika perlu atau diinginkan.
Plasenta kemudian dilahirkan; ini dapat dicapai melalui pengangkatan manual atau secara
spontan melalui traksi tali pusat dan pijat fundus. Karena data menunjukkan pengurangan
kehilangan darah operasi dan penurunan infeksi jika persalinan plasenta spontan adalah
pilihan yang dipilih, teknik ini lebih disukai jika skenario klinis memungkinkan. Setelah
melahirkan plasenta, uterus dibersihkan dengan spons laparotomi yang lembab.14
Sayatan uterus diamati untuk setiap situs perdarahan hebat. Ini harus segera dijepit dengan
Pennington atau forsep cincin. Plasenta kemudian dilahirkan kecuali jika sudah dilakukan
secara spontan. Banyak ahli bedah lebih memilih pengangkatan manual, tetapi pelahiran
spontan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 17, bersama dengan beberapa traksi tali
pusat dapat mengurangi risiko kehilangan darah dan infeksi operatif. Pijat fundus dapat
dimulai segera setelah janin dilahirkan untuk mempercepat pemisahan dan pelahiran
plasenta.16
Segera setelah pelahiran dan inspeksi plasenta, kavum uteri disedot dan dibersihkan
dengan spons kasa untuk menghilangkan selaput ketuban, vernix, dan bekuan darah.
Sebelumnya, jari dengan sarung tangan ganda atau forsep cincin yang ditempatkan
melalui sayatan histerotomi digunakan untuk melebarkan serviks yang seolah-olah
tertutup. Praktik ini tidak meningkatkan tingkat infeksi dari potensi hematometra dan tidak
direkomendasikan.16

44
Gambar 17. Plasenta menonjol melalui sayatan uterus saat uterus berkontraksi. Tangan
dengan lembut memijat fundus untuk membantu pemisahan plasenta16

Gambar 18. Persalinan Plasenta20

Perbaikan Uterus

Setelah pelahiran plasenta, uterus diangkat melalui sayatan ke dinding perut yang tertutup,
dan fundus ditutupi dengan spons laparotomi yang dibasahi. Meskipun beberapa dokter
lebih memilih untuk menghindari eksteriorisasi uterus seperti itu, sering kali memiliki
manfaat yang lebih besar daripada kerugiannya. Misalnya, uterus yang rileks dan atonik
dapat dikenali dengan cepat dan pijatan diterapkan. Sayatan dan titik pendarahan lebih
mudah divisualisasikan dan diperbaiki, terutama jika sudah ada ekstensi. Paparan adneksa
lebih baik, dan dengan demikian, sterilisasi tuba lebih mudah. Kerugian utama adalah
ketidaknyamanan dan muntah yang disebabkan oleh traksi pada persalinan caesar yang
dilakukan dengan analgesia regional. Yang penting, tingkat morbiditas demam atau

45
kehilangan darah tampaknya tidak meningkat dengan eksteriorisasi uterus.16 Sebelum
penutupan histerotomi, pembuluh darah besar yang sebelumnya dijepit dapat diligasi
secara terpisah atau dimasukkan ke dalam penutupan insisi yang sedang berjalan. Salah
satu sudut insisi uterus dipegang untuk menstabilkan dan mengarahkan insisi. Sayatan
uterus kemudian ditutup dengan satu atau dua lapis jahitan yang dapat diserap No. 0 atau
No. 1 terus menerus (Gambar 19). Jahitan kromik digunakan oleh banyak orang, tetapi
beberapa lebih memilih jahitan sintetis yang dapat diserap dengan lambat. Penutupan
satu lapis biasanya lebih cepat dan tidak terkait dengan tingkat infeksi atau transfusi
yang lebih tinggi.16

Gambar 19. Tepi potongan insisi uterus didekati dengan jahitan running-lock yang
ditambatkan pada kedua sudut insisi16

46
Gambar 20. Penutupan Uterus20
Adhesi

Setelah pelahiran caesar, perlengketan biasanya terbentuk di dalam ruang vesikouterina


atau antara dinding perut anterior dan uterus. Dan dengan setiap kehamilan berturut-turut,
persentase wanita yang terkena dan tingkat keparahan adhesi meningkat. Adhesi dapat
secara signifikan memperpanjang waktu sayatan hingga persalinan dan total waktu
operasi. Secara intuitif, jaringan parut dapat dikurangi dengan menangani jaringan dengan
hati-hati, mencapai hemostasis, dan meminimalkan iskemia jaringan, infeksi, dan reaksi
benda asing. Data yang bertentangan mengenai penutupan flap kandung kemih
(peritoneum visceral) atau rongga perut (peritoneum parietal) dan pengaruhnya pada
adhesi berikutnya. Beberapa catatan mendapat manfaat dari penutupan satu, tetapi tidak
yang lain, atau tidak keduanya.16

47
Gambar 21. NonClosure Peritoneum20

Penutupan Abdomen
Spons laparotomi dikeluarkan, dan talang parakolik serta cul-de-sac disedot dengan hati-
hati dari darah dan cairan amnion. Beberapa ahli bedah mengairi selokan dan jalan buntu,
terutama jika ada infeksi atau mekonium. Irigasi rutin pada wanita berisiko rendah,
bagaimanapun, menyebabkan mual intraoperatif yang lebih besar dan tanpa tingkat
infeksi pasca operasi yang lebih rendah.16 Langkah ini dapat dihilangkan jika uterus belum
dieksteriorisasi. Dengan uterus kembali ke perut, perut kembali dibersihkan dari darah dan
gumpalan. Bantuan berbagai retraktor dapat memberikan paparan talang parakolik. Irigasi
intrabdominal sebelum penutupan telah terbukti meningkatkan mual selama operasi dan
tidak meningkatkan kembalinya fungsi gastrointestinal atau kejadian morbiditas infeksi.
Dengan blade kandung kemih dimasukkan kembali, perbaikan histerotomi kembali
divisualisasikan dan dibuat hemostatik jika perlu. Bilah kandung kemih dilepas lagi.14
Setelah jumlah spons dan instrumen ditemukan benar, sayatan perut ditutup berlapis-
lapis. Banyak ahli bedah mengabaikan penutupan peritoneum parietal. Saat setiap
lapisan ditutup, lokasi perdarahan ditempatkan, dijepit, dan diikat atau dikoagulasi dengan
pisau bedah listrik. Otot rektus abdominis dibiarkan jatuh ke tempatnya. Dengan diastasis
yang signifikan, otot rektus dapat didekati dengan satu atau dua jahitan angka delapan
dengan jahitan usus kromik 0 atau No.1. Fasia rektus di atasnya ditutup dengan teknik
nonlocking berkelanjutan dengan jahitan yang dapat diserap secara lambat. Pada pasien
dengan risiko infeksi yang lebih tinggi, mungkin ada nilai teoretis dalam memilih jahitan
monofilamen di sini daripada bahan yang dikepang.16
48
Jaringan subkutan biasanya tidak perlu ditutup jika ketebalannya kurang dari 2 cm.
Namun, dengan lapisan yang lebih tebal, penutupan dianjurkan untuk meminimalkan
pembentukan seroma dan hematoma, yang dapat menyebabkan infeksi dan/atau gangguan
pada luka. Penambahan drainase subkutan tidak mencegah komplikasi luka yang
signifikan. Kulit ditutup dengan jahitan subkutikular menggunakan jahitan 4-0 yang dapat
diserap tertunda atau dengan staples. Sebagai perbandingan, hasil kosmetik akhir dan
tingkat infeksi tampak serupa, penjahitan kulit membutuhkan waktu lebih lama, tetapi
tingkat pemisahan luka lebih tinggi dengan staples.16

Gambar 22. Penutupan Rectus Sheath20

Gambar 23. Penutupan Lemak Subkutan20

49
Gambar 24. Penutupan sayatan klasik. Setengah lebih dalam (A) dan setengahdangkal
(B) dari sayatan ditutup dengan cara berjalan16

Berikut ini adalah ringkasan dari empat metode operasi umum:14


1. Metode Pfannenstiel-Kerr
a. Sayatan kulit Pfannenstiel.
b. Diseksi tajam lapisan subkutan.
c. Perpanjangan yang tajam dari pembukaan fasia.
d. Tajam masuk ke dalam peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara manual.
g. Penutupan uterus satu lapis yang terputus.
h. Penutupan peritoneum.
i. Penutupan fasia yang terputus.
j. Jahitan kulit terus menerus.
2. Metode Joel-Cohen
a. Sayatan kulit Joel-Cohen.
b. Diseksi tumpul pada lapisan subkutan.
c. Perpanjangan tumpul dari pembukaan fasia.
d. Tumpul masuk ke peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara spontan.
g. Penutupan uterus satu lapis yang terputus.
h. Peritoneum tidak tertutup.

50
i. Penutupan fasia yang terputus.
j. Jahitan kulit terus menerus.
3. Metode Misgav-Ladach
a. Sayatan kulit Joel-Cohen.
b. Diseksi tumpul pada lapisan subkutan.
c. Perpanjangan tumpul dari pembukaan fasia.
d. Masuknya tumpul ke peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara manual.
g. Penutupan uterus satu lapis berjalan.
h. Peritoneum tidak tertutup.
i. Penutupan fasia yang terus menerus.
j. Penutupan jahitan kasur pada kulit.
4. Metode Misgav-Ladach Termodifikasi
a. Sayatan kulit Pfannenstiel.
b. Diseksi tumpul pada lapisan subkutan.
c. Perpanjangan tumpul dari pembukaan fasia.
d. Masuknya tumpul ke peritoneum.
e. Superfisial tajam kemudian tumpul masuk ke dalam uterus.
f. Pengangkatan plasenta secara spontan.
g. Penutupan uterus satu lapis berjalan.
h. Penutupan peritoneum.
i. Penutupan fasia yang terus menerus.
j. Jahitan kulit terus menerus.

MONITORING
Hal yang perlu menjadi pengamatan pasca operasi sebagai berikut:14

 Tanda-tanda vital ibu.


 Tanda-tanda vital bayi baru lahir.
 Gejala dan/atau tanda infeksi.
 Gejala dan/atau tanda-tanda pembengkakan payudara.
 Output urin ibu.
 Involusi uterus.

51
 Tingkat rawat jalan wanita.
 Pembalut luka.
 Jumlah kehilangan darah.
 Jumlah darah dan/atau cairan serosa dari saluran pembuangan, jika ada.

2.3.8 Komplikasi Sectio caesarea

Komplikasi Jangka Pendek


1. Maternal
a. Mortalitas
b. Emboli cairan ketuban
c. Tromboemboli vena
d. Infeksi
e. Cedera traumatis pada kandung kemih atau usus
f. Nyeri pasca operasi
Komplikasi Jangka Panjang
1. Maternal
a. Perlengketan abdomen
b. Plasenta praevia
c. Plasenta akreta
d. Histerektomi peripartum
e. Ruptur uteri
f. Inkontinensia urin dan usus

Cara lahir—yaitu, kelahiran vagina spontan, diinduksi, ditambah, atau instrumental (atau
kombinasi dari semuanya) versus SC—dapat memengaruhi perkembangan neonatal dan
kesehatan masa depan, dan memahami hubungan potensial ini dapat

menginformasikan intervensi. Ada tiga mekanisme biologis yang telah dihipotesiskan


untuk menjelaskan bagaimana cara kelahiran dapat mempengaruhi hasil klinis pada anak-
anak.15
Yang pertama dari hipotesis ini adalah bahwa transfer yang tidak memadai dari
mikrobioma ibu ke bayi yang lahir oleh SC menyebabkan perkembangan imunologi yang
berubah. Meskipun cara kelahiran hanya satu aspek yang menentukan komposisi
mikroflora bayi (seperti pada kulit dan saluran usus), data menunjukkan bahwa
pengurangan paparan mikrobiota ibu dari bayi yang lahir dengan SC bisa menjadi penting
dalam minggu-minggu pertama kelahiran. kehidupan. Telah diusulkan bahwa efek cara
52
lahir pada mikrobiota usus bayi dapat bertahan selama beberapa tahun setelah lahir.15
Hipotesis kedua adalah bahwa pengurangan paparan intrapartum terhadap kekuatan
mekanik dan hormon stres selama SC melewati banyak rangsangan fisiologis penting yang
diprakarsai oleh kelahiran pervaginam. Paparan hormon stres ibu dan kekuatan fisik
persalinan dan perjalanan melalui jalan lahir memberikan isyarat perkembangan penting
bagi janin dalam persiapan kehidupan ekstrauterin. Misalnya, peningkatan konsentrasi
hormon stres dianggap sebagai sinyal penting pada bayi untuk perkembangan sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal, pematangan sistem kekebalan, pematangan paru-paru dan
organ, dan neurogenesis. Pada bayi yang lahir dengan SC, tidak adanya pemicu ini selama
masa perkembangan yang penting ini mungkin lebih diperparah dengan lamanya
kehamilan yang biasanya lebih pendek yang ada pada SC yang direncanakan yang terjadi
sebelum usia kehamilan 40 minggu.15

Hipotesis terakhir adalah bahwa modifikasi epigenetik yang berbeda dari ekspresi gen
antara metode kelahiran mempengaruhi kesehatan bayi di masa depan. Dampak
Epigenetik dari kolaborasi penelitian Persalinan mendalilkan bahwa penggunaan oksitosin
sintetis, antibiotik, atau SC intrapartum memiliki beberapa efek pada proses remodeling
epigenom neonatal yang memiliki konsekuensi bagi kesehatan keturunannya. Hipotesis
ini belum sepenuhnya diselidiki, dan ada data yang tidak memadai untuk mendukung
hipotesis ini.15

2.3.9 Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang, oleh
karena kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah,
indikasi dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah-
rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah
kurang dari 2 per 100. Nasib janin yang tertolong secara sectio caesarea sangat tergantung
dari keadaan sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara-negara dengan
pengawasan antenatal yang baik fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian
perinatal sekitar 4 – 7 %.14

53
BAB IV
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS
Nama : Ny. I
Umur : 28 tahun
Tanggal lahir : 25 Februari 1994
Pendidikan terakhir : SMK
Agama : Islam
Alamat : Bekasi
Suku : Jawa
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk rumah sakit : 14 Mei 2022 pukul 00.30 WIBNama
suami : Tn. A
Usia : 40 tahun
Pendidikan terakhir : SMK
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Wiraswasta

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis secara auto-anamnesis kepada pasien pada tanggal 18 Mei 2022
3.2.1 Keluhan Utama
HIV (+) sebelum persalinan
3.2.2 Keluhan Tambahan
Tidak ada
3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P1A0 hamil 38 minggu rujukan dari RS Permata datang ke RSUD
Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Mei 2022 dikarenakan hasil pemeriksaan
serologi pasien menunjukan hasil HIV (+). Pasien mengaku baru mengetahui
bahwa dirinya menderita HIV saat dilakukan pemeriksaan untuk persiapan
persalinan. Pasien mengaku tidak mengetahui darimana ia tertular HIV. Pada
suami pasien belum dilakukan pemeriksaan serologi HIV.

54
Pasien mengeluhkan mules-mules sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Mules dirasakan hilang timbul tanpa disertai keluar darah ataupun air-air dari
jalan lahir. Riwayat perdarahan, keluar air ketuban, demam disangkal oleh pasien.

Selama kehamilan, pasien mengeluhkan mudah lelah. Saat ini keluhan seperti
demam, nyeri kepala, batuk, pilek, lemas, ruam kulit, sering sariawan dan
penurunan berat badan disangkal. Pasien mengaku masih sering berhubungan
seksual selama kehamilan. Pada hari ketiga perawatan di RSUD Kabupaten
Bekasi dilakukan persalinan secara Sectio Caesarea pada pasien.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya pasien melahirkan anak pertamanya secara sectio caesaria.
Riwayat infeksi HIV sebelumnya, dan infeksi menular seksual lainnya
disangkal.
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat infeksi HIV dan infeksi menular seksual lainnya disangkal.
3.2.6 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak memiliki riwayat pengobatan rutin. Selama masa
kehamilan pasien mendapat suplement berupa tablet penambah darah dan asam
folat dari klinik bidan.
3.2.7 Riwayat Kebiasaan

Pasien saat ini merupakan seorang ibu rumah tangga, selama


kehamilan ini pasien membatasi aktivitas yang memberatkan pasien. Pasien
mengaku rutin mengonsumsi daging, sayur, dan buah setiap hari. Riwayat
berganti-ganti pasangan, penggunaan jarum suntik ataupun penyalahgunaan
zat- zat terlarang disangkal.

3.2.8 Riwayat Menstruasi


Menarche usia : 14 tahun
Siklus haid : Teratur, 30 hari
Lama haid : 6-7 hari
Jumlah : 2-3 pembalut/hari
Keluhan : tidak terdapat keluhan saat menstruasi

55
3.2.9 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah pertama kali umur 23 tahun, menikah hanya 1 kali.

3.2.10 Riwayat KB
Jenis KB : Pil KB

Lama pemakaian : 2 tahun

Keluhan : Tidak ada


3.2.11 Riwayat Obstetri
Tabel 7. Riwayat Persalinan Pasien

Tahun Usia Jenis Anak Anak


No Penolong Penyulit
partus kehamilan persalinan JK BB sekarang
1 2017 9 bulan SC Dokter Panggul Lk 3,2 Hidup
sempit
kg
2 2022 9 bulan SC Dokter Bekas SC + Pr 3,4 Hidup
HIV (+)
kg

3.2.12 Antenatal Care


Pasien rutin memeriksakan kehamilannya setiap 1 bulan 1x di klinik bidan.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2022
a. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Antropometri
Berat Badan (BB) : 60 kg
Tinggi Badan : 162 cm
IMT : 22,9 (Normoweight)
4. Tanda Vital
TD : 120/80 mmHg
HR : 94x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,8 0C
SpO2 : 99% room air

56
b. Status Generalis
1. Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah dicabut, berwarna hitam.
2. Mata : Konjuntiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
3. Wajah : Chloasma gravidarum (-/-)
4. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-),trakea di tengah
5. Thorax
Paru : Gerakan dada simetris, vesikuler simetris (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)


6. Abdomen : status obstetrikus
7. Genitalia : status obstetrikus
8. Ekstremitas : Edema tungkai (-/-), CRT<2 detik.
c. Status Obstetri
A. Pemeriksaan Luar
i. Inspeksi

Wajah : chloasma gravidarum (-), edema (-)


Abdomen : cembung, linea nigra (-), striae gravidarum (-).
ii. Palpasi
TFU : 2 jari dibawah umbilikus.
Leopold I : Tidak dilakukan
Leopold II : Tidak dilakukan
Leopold III : Tidak dilakukan
Leopold IV : Tidak dilakukan

d. Status Ginekologi
1. Pemeriksaan Luar : Tidak dilakukan
2. Inspekulo : Tidak dilakukan
3. Pemeriksaan Dalam : Tidak dilakukan

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Darah
Pada tanggal 14 Mei 2022 09:47 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 12,9 g/dL 12.0 – 16.0
57
Hematokrit 36 (L) % 38 - 47
Eritrosit 4.32 10^6/μL 4.20 – 5.40
MCV 83 fL 80 – 96
MCH 30 Pg/mL 28 – 33
MCHC 36 g/dL 33 – 36
Trombosit 228 103/μL 150 – 450
Leukosit 8.2 103/μL 5.0 – 10.0

Hitung Jenis

Basofil 0 % 0-1
Eusinofil 2 % 1–6
Neutrofil 68 % 50 – 70
Limfosit 22 % 20 – 40
NLR 3.09 <= 5.80
%
Monosit 8 2–9
Laju Endap Darah 36 (H) mm/jam < 15
(LED)
Kimia Klinik
SGOT 20 U/L < 32
SGPT 12 U/L < 31
Ureum Kreatinin
Ureum 17 mg/dL 15 – 40

Kreatinin 0.7 mg/dL 0.51 – 0.95


eGFR 119.3 mL/min/1.73m^2 >60 ml/
min/1.73m^2

Golongan darah + Rhesus


Golongan darah B
Rhesus (+) Positif
Serologi
HIV Reagen 1 Reaktif Non Reaktif
HIV Reagen 2 Reaktif Non Reaktif

58
Pada tanggal 17 Mei 2022 07:28 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.0 g/dL 12.0 – 16.0
Hematokrit 38 % 38 - 47
Eritrosit 5.28 106/μL 4.20 – 5.40
Leukosit 11,2 (H) 103/μL 5.0 – 10.0

3.5 RESUME
Pasien G2P1A0 hamil 38 minggu rujukan dari RS Permata datang ke RSUD
Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Mei 2022 dikarenakan hasil pemeriksaan
serologi pasien menunjukan hasil HIV (+). Pasien mengaku baru mengetahui
bahwa dirinya menderita HIV saat dilakukan pemeriksaan untuk persiapan
persalinan. Pasien mengaku tidak mengetahui darimana ia tertular HIV. Pada
suami pasien belum dilakukan pemeriksaan serologi HIV. Pasien mengeluhkan
mules-mules sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Mules dirasakan hilang
timbul tanpa disertai keluar darah ataupun air-air dari jalan lahir. Pada hari ketiga
perawatan di RSUD Kabupaten Bekasi dilakukan persalinan secara Sectio
Caesarea pada pasien.

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan


antropometri indeks massa tubuh (IMT) 22,9 (Normoweight) dan pemeriksaan
fisik status generalis dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium pada tanggal
14/5/2022 ditemukan penurunan Hematokrit (36%), peningkatan LED (36
mm/jam), pada pemeriksaan serologi didapatkan HIV Reagen 1 dan HIV Reagen
2 (Reaktif). Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17/5/2022 ditemukan
peningkatan Leukosit (11.200).

3.6 DIAGNOSIS KERJA


P2A0 Post Sectio Caesarea atas indikasi Bekas Sectio Caesarea dengan B20

3.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa

 Infus Ringer Laktat 500cc/8jam.

59
 AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah 2
minggu 2x200mg).

Non – Medikamentosa
 Observasi keadaan umum dan tanda – tanda vital pasien.
 Observasi bekas luka operasi pasien.
Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pasien.
3.8 PROGNOSIS
 Quo Ad Vitam: Dubia ad bonam
 Quo Ad Functionam: Dubia ad bonam
 Quo Ad Sanactionam: Dubia

60
ANALISA KASUS

A. Bagaimana penegakkan diagnosis pada kasus ini?

P2A0 Post Sectio Caesarea atas indikasi Bekas Sectio Caesarea dengan B20

• P2A0 Post Sectio Caesarea atas indikasi bekas sectio caesaria

Kasus:

Pada pasien saat ini merupakan kelahiran anak kedua secara sectio caesarea atas
indikasi bekas sectio caesarea. Sebelumnya pasien melahirkan anak pertama pada
tahun 2017 juga dengan sectio caesarea.

Teori:

Indikasi Sectio Caesarea menurut Gary Cuningham (2005: 595-600)yaitu:


1) Riwayat Sectio Caesarea
Selama bertahun - tahun, uterus yang memiliki jaringan parut dianggap
merupakan kontraindikasi untuk melahirkan pervaginam karena
kekhawatiranakan terjadinya rupture uteri. Pasien dengan jaringan parut yang
melintang yang terbatas pada segmen bawah uterus kecil kemungkinan
mengalami robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya.
2) Distosia Persalinan
Keadaan in adalah indikasi tersering untuk sectio caesarea.
3) Gawat Janin
4) Presentasi Bokong
Janin presentasi bokong mengalami peningkatan resiko prolaps tali pusat dan
terperangkapnya kepala apabila dilahirkan pervaginam dibandingkan dengan
janin presentasi kepala.
• B20

Berdasarkan anamnesis, pada pasien belum terdapat gejala HIV, maka pasien
berada pada stadium 1 asimtomatik.

61
Teori:
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Sakit Stadium 4
Asimtomatik Sakit Sedang Sakit Berat
Ringan (AIDS)
BB Tidak ada Penurunan Penurunan BB >10% Sindroma wasting
penurunan BB BB 5-10% HIV

Gejala Tidak ada • Luka di • Kandidiasis oral atau Kandidiasis


gejala atau sekitar vaginal esophageal
hanya bibir • Oral hairy leukoplakia Herpes simpleks
Limfadenopati • Ruam • Diare, demam yang ulseratif lebih
generalisata kulit yang tidak tahu dari satu bulan
persisten gatal penyebabnya lebih dari Limfoma
• Herpes satu bulan Sarcoma karopsi
zoster

Stadium klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Kasus:

Berdasarkan pemeriksaan penunjang, pasien terinfeksi HIV dengan hasil


pemeriksaan serologi HIV Reagen 1 dan HIV Reagen 2 Reaktif.

Teori:
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Pada hasil pemeriksaan
antibodi HIV (A1, A2, A3) yang memberikan hasil positif ketiganya, maka pasien
terdiagnosis pasti infeksi HIV. (Rimawi BH, et al. 2016).

62
B. Apakah penatalaksanaan HIV pada pasien ini sudah tepat?
Tatalaksana pasien ini pada umumnya sudah tepat. Diagnosis kerja pada pasien ini
adalah P2A0 post Sectio Caesarea atas indikasi Sectio Caesarea dengan B20,
sehingga pada pasien ini dilakukan perencanaan tatalaksana :
Medikamentosa

 Infus Ringer Laktat 500cc/8jam.


 AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah 2 minggu
2x200mg).
Non – Medikamentosa
 Observasi keadaan umum dan tanda – tanda vital pasien.
 Observasi bekas luka operasi pasien.
Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit pasien.

Teori:
 Paduan obat ARV sama yaitu: TDF(300mg) + 3TC (300mg) +
EFV(600mg). Tersedia dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap Fixed
Dose Combinadon (FDC) atau lepasan terpisah.

 KDT atau FDC terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik
karena diminum hanya sekali sehari, dibandingkan sediaan lepasan
atau terpisah.
 Untuk perempuan HIV yang diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat
yang sarna seperti saat sebelum hamil.
 Untuk ibu hamil diketahui HIV saat pemeriksaan kehamilan, segera
63
diberikan ARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun stadium
klinisnya dan nilai CD4 nya.
 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan,
segera diberikan ARV.
 Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV
Iainnya.
Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
No Kondisi Rekomendasi Pengobatan
1. • ODHA hamil, segera TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV*
terapi ARV (600mg)
• ODHA datang pada Alternatif:
masa persalinan dan AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP
belum mendapat (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)
terapi ARV, lakukan TDF (1x300mg). + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
tes, bila hasil reaktif + NVP (2x200mg)
berikan ARV AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFC
(1x600mg)
2. ODHA sedang • Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan
menggunakan ARV dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3. ODHA hamil dengan TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg)
Hepatitis B yang + EFV (1x600mg) atau
memerlukan terapi TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg)
+ EFV (2x200mg)

C. Apakah etiologi HIV pada kasus ini?

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus golongan RNA yang


spesifik menyerang sistem imun/kekebalan tubuh manusia. Penurunan sistem
kekebalan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV memudahkan berbagai infeksi,
sehingga dapat menyebabkan timbulnya AIDS.1

Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut:


 Hubungan seksual: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak memungkinkan penularan,
64
terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang
berisiko dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal.
 Kontak dengan darah dan produknya, jaringan atau organ yang terinfeksi
HIV: penularan HIV dapat terjadi melalui kontaminasi darah seperti
transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ
yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis yang
tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan alat
suntik bersama pada penasun, tato dan tindik tidak steril. Kontak langsung
luka kulit atau membran mukosa dengan darah terinfeksi HIV atau cairan
tubuh yang mengandung darah.
 Penularan dari ibu HIV ke janin/bayinya: penularan HIV dari ibu ke
janin/bayi/anak terjadi melalui plasenta selama kehamilan, jalan lahir saat
persalinan dan ASI pada menyusui. (Kementrian Kesehatan RI. 2019.)

D. Apakah pada pasien ini boleh untuk hamil kembali?

Bila ODHA dan pasangannya ingin merencanakan kehamilan, maka:1

a. Pastikan status HIV pasangan diketahui, positif atau negative

b. ODHA dalam terapi ARV teratur dan tidak terputus obat. Bila terdapat Infeksi
Oportunistik (IO), lakukan tatalaksana IO sesuai pedoman terapi (PNPK)
tatalaksana HIV.

c. Pemeriksaan viral load (VL), untuk mengetahui apakah sudah tersupresi (virus
HIV tidak terdeteksi)
• Bila VL tidak terdeteksi atau 1000 kopi/mL, senggama tanpa kondom dapat
dilakukan, pada masa subur
• Bila VL masih terdeteksi, tetap menggunakan kondom selama senggama dan
minum ARV secara teratur dan disiplin sampai viraload tidak terdeteksi.
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup. (Kementrian Kesehatan RI.2019.)

65
KESIMPULAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus


yang termasuk dalam retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit,
yang dikenal dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).1
Transmisi secara vertikal dari ibu ke anak merupakan sumber utama
penularan infeksi HIV pada anak. Peningkatan transmisi dapat dilihat
berdasarkan status klinis, imunologis dan virologis maternal. Kehamilan
dapat meningkatkan progresi imunosupresi dan penyakit maternal. Ibu
hamil yang terinfeksi virus HIV juga dapat meningkatkan resiko
komplikasi pada kehamilannya.13 Risiko penularan human
immunodeficiency virus (HIV) dari ibu ke anak selama kehamilan,
persalinan, dan menyusui setinggi 25-30% jika tidak ada pengobatan.
Dengan penerapan tes HIV,konseling, pengobatan antiretroviral, persalinan
melalui operasi caesar sebelum persalinan, dan mencegah menyusui,
penularan vertikal menurun hingga kurang dari 2% di Amerika Serikat.9
Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan
kesehatan ibu dan anak. Ibu hamil diberikan penjelasan tentang risiko
penularan HIV dari ibu ke janinnya.13

SARAN

 Anjuran untuk melakukan pemeriksaan CD4 dan Viral Load


pada pasien.

 Edukasi kepada pasien mengenai pencegahan penularan penyakit


menular langsung (PML) HIV dari ibu ke bayi.
 Edukasi kepada pasien untuk melakukan pencegahan
kehamilan yang tidak direncanakan.
 Edukasi kepada pasien mengenai pilihan kontrasepsi berdasarkan
urutan prioritas untuk perempuan dengan HIV.

66
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman Program Pencegahan Penularan HIV, Sifilis


& Hepatitis B dari Ibu ke Anak. Kementrian Kesehatan RI. 2019.
2. Kemenkes RI. Infodatin. HIV & AIDS. Kementrian Kesehatan RI. 2020.
3. Peterson AT, dkk. HIV in Pregnancy. Medscape. 2020. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1385488-overview#a4
4. Hartanto, Marianto. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dalam Kehamilan. Continuing Medical Education IDI. 2019; vol. 46:
h. 346-351.
5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2019. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana HIV.
6. Rimawi BH, et al. Managemetn of HIV Infection during Pregnancy in
the United States: Updated Evidence-Based Recommendations ad
Future. Potential Practices. Hindawi Publishing Corporation. 2016.
7. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Kementrian Kesehatan RI.
2011.
8. Committee on Obstetric Practice HIV Expert Work Group. Labor and
Delivery Management of Women With Human Immunodeficiency
Virus Infection. The American College of Obstetricians and
Gynecologist. 2018; vol 132: hal. e131-e137.
9. Peterson AT, dkk. HIV in Pregnancy. Medscape. 2020. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/1385488overview#a4
10. Hartanto, Marianto. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dalam Kehamilan. Continuing Medical Education IDI. 2019; vol. 46:
h. 346-351.
11. Kementrian Kesehatan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Kementrian Kesehatan RI.
2010.
12. Novika AG, Setyaningsih D. Pelaksanaan Layanan Screening HIV
AIDS pada Ibu Hamil di Banguntapan Bantul. Seminar Nasional
UNRIYO. 2019: h.211218.

67
13. Novika AG, Setyaningsih D. Pelaksanaan Layanan Screening HIV
AIDS pada Ibu Hamil di Banguntapan Bantul. Seminar Nasional
UNRIYO. 2019: h.211218.
14. Sung S & Mahdy H. 2021. Cesarean Section. [Updated 2021 Aug 25].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Available from: (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546707/).
Accessed on 1st June 2022.
15. Sandall J, Triber RIM, Avery L, Mola G, Visser GHA, Homer CSE, et
al. 2018. Optimising caesarean section use 2: Short-term and long-
term effects of caesarean section on the health of women and children.
Lancet 2018; 392: 1349– 57.
16. Taha Z, Hassan AA, Wikkeling-Scott L & Papandreou D. 2019.
Prevalence and Associated Factors of Caesarean Section and its Impact
on Early Initiation of Breastfeeding in Abu Dhabi, United Arab
Emirates. Nutrients 2019, 11, 2723; doi:10.3390/nu11112723.
17. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, et al.
2014. Williams Obstetrics 24th Edition. New York: McGraw-Hill
Education.
18. WHO. 2015. WHO Statement on Caesarean Section Rates. [Internet].
Available from:
(https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/161442/WHO_RHR_
15.02_eng.pdf). Accessed on 1st June 2022.

19. Norwitz ER & Schorge JO. 2013. Obstetrics and Gynecology at a


Glance 4thEdition. UK: Wiley-Blackwell.
20. Hills F. 2016. Caesarean Section: Step by Step. [Internet] Available
from:(https://www.ogmagazine.org.au/18/4-18/caesarean-section-
step-step/). Accessed on 1st June 2022
21. Aabakke AJM. 2014. Surgical Techniques for Caesarean Section:
Short- and Long-term Consequences. PhD Thesis. The Faculty of
Health and Medical Sciences University of Copenhagen.
22. Stjernholm YV. 2018. Chapter 7: Caesarean Section: Reasons for and
Actions to Prevent Unnecessary Caesareans.
(http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.76582.)

68
23. Maaløe N, Aabakker AJM & Secher NJ. 2013. Midline versus
transverse incision for cesarean delivery in low-income countries. Int J
Gynaecol Obstet. 2014Apr;125(1):1

69

Anda mungkin juga menyukai