Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan Rubonucleat
Acid (RNA) yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia yaitu
sel darah putih dan menyebabkan Aqciured Immunodeficiency Symndrome (AIDS). AIDS
dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili Retroviridae.
AIDS merupakan tahap akhir dari inveksi HIV (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Perkembangan epidemi HIV-AIDS di dunia telah menyebabkan HIV-AIDS menjadi
masalah global dan merupakan salah satu masalah Kesehatan masyarakat Indonesia. Kasus.
Saat ini, HIV AIDS sudah menyebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/ kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan
April 2017 telah mencapai 242.699 orang, jumlah kumulatif AIDS sampai dengan April
2017 sebanyak 87.453 orang, dan terdapat 14.754 orang telah meninggal akibat penyakit ini.
Persentase kumulatif HIV tertinggi pada kelompok umur 25-49 tahun (69.6%), kemudian
diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17.6%). Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada
kelompok umur 20-29 tahun (31.4%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun
(30.6%). Hal tersebut menunjukkan bahwa infeksi HIV paling banyak terjadi pada kelompok
usia produktif (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Data estimasi
UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi
HIV dan tanpa pengobatan. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang
terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua (Kemetrian Kesehatan 2012).
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai
intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya untuk
mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak adalah dengan melaksanakan kegiatan
4 prong yang merujuk pada rekomendasi WHO tahun 2010, dimana pada dasarnya semua
ibu hamil ditawarkan tes HIV, pemberian antiretroviral (ARV) pada ibu hamil HIV positif,
pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan HIV positif, pemilihan persalinan aman
untuk ibu hamil HIV positif, dan pemberian makanan terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu
HIV positif (Kementrian Kesehatan RI, 2012).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis susun maka perumusan masalah
penyusunan makalah ini adalah ;
1.2.1 Apakah Pengertian HIV/AIDS ?
1.2.2 Bagaimana Proses Penularan HIV/AIDS ke Janin ?
1.2.3 Bagaimana Cara Penegakan Diagnosa HIV/AIDS ?
1.2.4 Bagaimana Penatalaksanaan untuk Janin dan Bayi Baru Lahir pada Ibu dengan
HIV/ AIDS ?
1.2.5 Bagaimana Pencegahan Penularan HIV/AIDS Pada Janin ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah ;
1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian HIV/AIDS
1.3.2 Untuk Mengetahui Proses Penularan HIV/AIDS ke Janin
1.3.3 Untuk Mengetahui Cara Penegakan Diagnosa HIV/AIDS
1.3.4 Untuk Mengetahui
1.3.5 Penatalaksanaan untuk Janin dan Bayi Baru Lahir pada Ibu dengan HIV/ AIDS
1.3.6 Untuk Mengetahui Pencegahan Penularan HIV/AIDS Pada Janin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV/AIDS


Menurut WHO (2013) HIV merupakan singkatan dari Human Immuno
Deficiency Virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat untuk
berkembang biak dan kemudian merusaknya. Menurut Soedarmo (2008)
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya
infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi
imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human
immunodeficiency virus.
2.2 Penularan HIV/AIDS ke Janin
2.2.1 Secara umum, HIV dapat ditularkan melalui 3 cara yakni ;
a. Melalui hubungan seksual
Merupakan jalur utama penularan HIV/AIDS yang paling umum
ditemukan. Virus dapat ditularkan dari seseorang yang sudah terkena
HIV kepada mitra seksualnya (pria ke wanita, wanita ke pria, pria ke
pria) melalui hubungan seksual tanpa pengaman (kondom).
b. Parenteral (produk darah)
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah atau produk darah,
atau penggunaan alat – alat yang sudah dikotori darah seperti jarum
suntik, jarum tato, tindik, dan sebagainya.
c. Perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya,
penularan melalui ibu kepada anaknya. Transmisi vertikal dapat
terjadi secara transplasental, antepartum, maupun postpartum.
Mekanisme transmisi intauterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini
dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi masuk kedalam
plasenta. Transmisi intrapartum terjadi akibat adanya lesi pada kulit
atau mukosa bayi atau tertelannya darah ibu selama proses kelahiran.
Beberapa faktor resiko infeksi antepartum adalah ketuban pecah dini,
lahir per vaginam. Transmisi postpartum dapat juga melalui ASI yakni
pada usia bayi menyusui, pola pemberian ASI, kesehatan payudara
ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi. Seorang bayi yang baru lahir
akan 21 membawa antibodi ibunya, begitupun kemungkinan positif
dan negatifnya bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa
parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang ibu.
2.2.2 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu
ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1. Faktor Ibu
a. Jumlah virus (viral load), Jumlah virus HIV dalam darah ibu
saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air
susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi
sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml)
dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b. Jumlah Sel CD4, Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih
berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel
CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
c. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan
asupan seperti asam folat, vitamin D, kalsium, zat besi, mineral
selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin akibatntya
dapat meningkatkan risiko ibu 22 untuk menderita penyakit
infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil, Penyakit infeksi seperti sifilis,
infeksi menular seksual,infeksi saluran reproduksi lainnya,
malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara, Gangguan pada payudara ibu dan
penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara
dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI sehingga
tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi
dapat disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir
prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya
belum berkembang dengan baik.
b. Periode pemberian ASI, Semakin lama ibu menyusui, risiko
penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
c. Adanya luka dimulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih
berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
3. Faktor obstetric
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah
a. Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vagina lebih
besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria).
b. Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung,
risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena
semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan
meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat
dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu.
Tabel 1. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi
Faktor Ibu Faktor Bayi Faktor
Obstetrik
Kadar HIV (Viral Prematuritas dan Jenis persalinan
load) berat bayi saat lahir
Kadar CD4 Lama menyusui Lama persalinan
Status gizi ibu Lama dimulut bayi Adanya ketuban
(jika ASI) pecah dini
Penyakit infeksi Tindakan
saat hamil episiotomy,ekstra
ksi vacum dan
forcep
Masalah pada
payudara (ASI)

2.2.3 Waktu dan resiko penularan HIV dari ibu ke Anak


Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu
dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta
melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi
ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta,
sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu
ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat
menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan
penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko
penularan 15-30% terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan
peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa
nifas dan menyusui.

Tabel 2. Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak


Waktu Resiko
Selama hamil 5-10 %
Bersalin 10-20 %
Menyusui (ASI) 5-20 %
Resiko Penularan keseluruhan 20-5 %
A

A Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan


HIV menjadi 20- 30% dan akan berkurang jika ibu mendapatkan
pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka pendek dan ASI
eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara
eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA
yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari
2%.
Tabel 3. Resiko penularan HIV dari ibu ke anak saat hamil, bersalin dan
menyusui

Masa Kehamilan Persalinan Postpartum melalui ASI


0-14 mg 1% Selama 8 0-6 bulan 7%
14-16 mg 4%
Persalina %
6-24 bulan 3%
n
36 mg 12 %
kelahiran

2.3 Penegakan Diagnosa HIV/AIDS


2.3.1 Manifestasi Klinis
Secara umum, gejala dan tanda yang dialami oleh ODHA
merupakan gejala dan tanda sistemik meliputi demam, sakit tenggorokan,
kehilangan berat badan > 10%, myalgia, kemerahan pada kulit, diare
(terus menerus atau intermiten) lebih dari satu bulan, mual, muntah,
limfadenopati dan berkeringat di malam hari, kulit kering yang luas,
infeksi jamur (kandidiasis oral ataupun vagina, dermatitis seboroik),
infeksi virus (herpes zoster, herpes genital), gangguan pernafasan (batuk
lebih dari satu bulan, sesak nafas, tuberkulosis, penumonia berulang,
sinusitis kronis atau berulang) dan gangguan neurologis (nyeri kepala
terus menerus dan tidak diketahui penyebabnya, kejang demam, atau
menurunnya fungsi kognitif).
Gejala dan tanda yang dialami biasanya tergantung pada fase klinis
ODHA mulai dari infeksi primer, fase asimptomatik, simptomatik hingga
stadium lanjut.
Tabel 4. Gejala dan Tanda Pada ODHA Berdasarkan Fase Klini
Fase Klinis HIV Pasien Dewasa dan Remaja Pasien Bayi dan Anak
- Asimptomatik
- Asimptomatik (inta,
- Sindrom retroviral akut
peri atau post partum)
Infeksi primer (demam, nyari kepala,
- Sindrom retroviral
malaise dan limfadenopati
akut
luas)
- Asimptomatis - Asimptomatik
Stadium klinis 1 - Limfadenopati meluas - Limfsadenopati
persisten meluas persisten
- Berat badan (BB) menurun - Hepatomegali
yang sebabnya tidak dapat persisten
dijelaskan - Pruritic papular
- Infeksi saluran nafas eruption (PPE)
Stadium Klinis 2 berulang (sinusitis, - Ulkus mulut
faringitis, tonsilitis) berkurang
- Herpes zoster - Infeksi jamur kuku
- Infeksi jamur kuku - ISPA kronis dan
- Dermatitis seboroik berulang
Stadium Klinis 3 - BB menurun (>10%) - Malnutrisi sedang
- Diare kronis lebih dari 1 yang tidak respon
bulan dengan terapi standar
- Kandidiasis oral persisten - Diare persisten >14
- Gingivitis, stomatitis yang hari
akut - Demam persisten
- Infeksi bakteri yang berat (>37.50C intermiten

- Anemia, neutropenia maupun tetap selama

dan/atau trombositopenia lebih dari 1 bulan)

yang tak dapat diterangkan - Kandidiasis oral

sebabnya persisten (setelah

- TB paru umur 6-8 minggu)


- Pnemonia berulang
- Anemia, neutropenia
dan/atau
trombositopenia yang
tak dapat diterangkan
sebabnya
- TB paru
- Gangguan tumbuh
kembang yang berat
yg tdk dapat
- HIV wasting syndrome (BB
dijelaskan sebabnya
berkurang >10% disertai
- Pneumonia
diare kronik >1 bulan dan
pneumocytis
demam berkepanjangan)
- Infeksi bakteri berat
- Pneumonia pneumocytis
yang berulang
- Infeksi herpes simpleks
- Infeksi herpes
Stadium Klinis 4 kronis
simpleks kronis
- TB ekstra paru
- Infeksi CMV
- Sarkoma kaposi
(retinitis atau infeksi
- Infeksi CMV
organ lain) setelah
- Septikemia berulang
usia 1 bulan
- Kandidiasis esofagus
- TB ekstra paru
- Toksoplasmosis SSP
- Sarkoma kaposi
- Toksoplasmosis SSP
setelah usia 1 bulan

2.3.2 Penegakan Diagnosa


Selain dengan mengetahui tanda dan gejala yang dialami pasien,
penegakan diagnosis HIV/AIDS dilakukan dengan melakukan beberapa
uji laboratorium. Diagnosis infeksi HIV dapat dilakukan dengan metode
langsung dan tidak langsung. Metode secara tidak langsung diantaranya
adalah dengan melakukan biakan virus, antigen virus (p24), dan asam
nukleat virus. Namun karena metode tersebut dinilai lebih beresiko, maka
biasanya diagnosis dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
pengujian adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi
pada infeksi HIV ini tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan
adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime
Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot.
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan
dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis
pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA, serta
selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Untuk
pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yanng
tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3)
menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi (≥99%).
Gambar 1. Bagan alur pemeriksaan laboratorium infeksi HIV dewasa
Tabel 5. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1

Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV, yaitu konseling dan
tes HIV sukarela (KTS-VCT), dan tes HIV dan konseling atas inisiatif
petugas kesehatan (KTIP). KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk
dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan
harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien
yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga infeksi HIV, pasien dari
kelompok beresiko (penasun, PSK (pekerja seks komersial), LSL (lelaki
seks dengan lelaki)), pasien IMS (infeksi menular seksual) dan seluruh
pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran an pemeriksaan tes
HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan
informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan sema pihak
menjaga kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality).
Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan ;
a. Deteksi anti-HIV1 melalui metode pemeriksaan ELISA
Pemeriksaan HIV ini direkomendasikan pada individu yang
diduga terinfeksi HIV karena termasuk ke dalam kelompok yang
berisiko atau sudah menunjukan gejala HIV. Waktu minimal untuk
pembentukan antibodi yaitu 3-4 minggu sejak paparan awal dan pada
sebagian besar penderita (>95%) antibodi baru terbentuk setelah 6
bulan pasca paparan awal. Masa sebelum terdeteksinya antibodi
disebut dengan “periode jendela” dan pada masa itu hanya dapat
dilakukan pemeriksaan antigen p24 ataupun PCR.
Jika hasil pemeriksaan ELISA menunjukan hasil positif, maka
pengujian diulang sebanyak 2 kali, jika salah satu atau kedua tes
pengulangan menunjukkan hasil reaktif maka dilakukan uji
konfirmasi untuk menentukan diagnosa akhir. Uji konfimasi ini
biasanya menggunakan metode western blot. Jika pada uji konfirmasi
hasilnya meragukan maka orang tersebut harus melakukan pengujian
ulang 4 minggu kemudian. Individu yang positif terinfeksi HIV
dilakukan monitoring dengan menggunakan 2 biomarker utama yaitu
jumlah viral load plasma dan CD4.
b. Viral Load Plasma
Kecepatan pengingkatan viral load (bukan jumlah absolut
virus) dapat dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi
HIV. Viral load mengkuantifikasi derajat viremia dengan mengukur
jumlah kopi RNA virus dalam. Pada 3 tahun pertama setelah
serokonversi, viral load berubah seolah hanya pada pasien yang
berkembang ke arah AIDS, setelah masa tersebut, perubahan viarl
load dapat dideteksi baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya,
baru keduanya dapat dipakai sebagai petanda progesivitas penyakit.
Penurunan viral load dilaporkan dalam bentuk logaritma 10. Respon
klinis yang diharapkan adalah penurunan viral load lebih besar dari
0.5 log10.
c. Jumlah CD4
Karena HIV menyerang dan menyebabkan destruksi sel yang
memiliki reseptor CD4, maka jumlah limfosit CD4 (sel T helper)
dalam darah merupakan data penting dalam menggambarkan
progresivitas penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata 100 sel/tahun. Kadar CD4 limfosit pada orang dewasa
normal adalah 500-1600 cells/mm3, atau 40-70% dari total limfosit.
Anak-anak memiliki kadar CD4 bervariasi dan tergantung usia, anak
dengan usia kecil memiliki CD4 yang lebih tinggi.
2.3.3 Prinsip Diagnosis Inveksi HIV Pada Bayi dan Anak
a. Uji Virologis
1. Uji virologis digunakan untuk menegakkan diagnosis klinik
(biasanya setelah umur 6 minggu), dan harus memiliki sensitivitas
minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti
uji serologis.
2. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak
berumur < 18 bulan.
3. Uji virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif menggunakan
darah plasma EDTA atau Dried Blood Spot (DBS), bila tidak
tersedia HIV DNA dapat digunakan HIV RNA kuantitatif (viral
load, VL) mengunakan plasma EDTA.
4. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk
diperiksa dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau
waktu tercepat yang
5. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya
positif maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang
sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk
pemeriksaan uji virologis kedua.
6. Hasil pemeriksaan virologis harus segera diberikan pada tempat
pelayanan, maksimal 4 minggu sejak sampel darah diambil. Hasil
positif harus segera diikuti dengan inisiasi ARV.
b. Uji Serologis
1. Uji serologis yang digunakan harus memenuhi sensitivitas
minimal 99% dan spesifisitas minimal 98% dengan pengawasan
kualitas prosedur dan standardisasi kondisi laboratorium dengan
strategi seperti pada pemeriksaan serologis dewasa.
a) Umur <18 bulan – digunakan sebagai uji untuk menentukan
ada tidaknya pajanan HIV
b) Umur >18 bulan – digunakan sebagai uji diagnostik
konfirmasi
2. Anak umur < 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat dan
belum dilakukan uji virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji
serologis pada umur 9 bulan. Bila hasil uji tersebut positif harus
segera diikuti dengan pemeriksaan uji virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV. Jika uji
serologis positif dan uji virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan uji serologis ulang pada usia 18
bulan.
3. Anak umur < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga
disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani uji serologis dan
jika positif diikuti dengan uji virologis.
4. Pada anak umur< 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh
infeksi HIV tetapi uji virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis
ditegakkan menggunakan diagnosis presumtif.
5. Pada anak umur < 18 bulan yang masih mendapat ASI, prosedur
diagnostik dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberian ASI.
6. Anak yang berumur > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana
yang dilakukan pada orang dewasa.
7. Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18
bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus
atau komponennya. Anak dengan hasil uji virologi HIV positif
pada usia berapapun, artinya terkena infeksi HIV.
8. ASI dapat mengandung virus HIV bebas atau sel yang terinfeksi
HIV. Konsekuensi dari mendapat ASI adalah adanya risiko
terpajan HIV, sehingga penetapan infeksi HIV baru dapat
dilaksanakan bila pemeriksaan dilakukan ATAU diulang setelah
ASI dihentikan > 6 minggu.
Agar pelaksana di lapangan tidak ragu, berikut ini skenario klinis
dalam memilih perangkat diagnosis yang tepat.
c. Diagnosis presumtif HIV pada anak< 18 bulan
Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi
HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia,
tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan
cara diagnosa secara persumtif.
1. Menurut definisi Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI):
a) Oral thrush adalah lapisan putih kekuningan di atas mukosa
yang normal atau kemerahan (pseudomembran), atau bercak
merah di lidah, langit-langit mulut atau tepi mulut, disertai
rasa nyeri. Tidak bereaksi dengan pengobatan antifungal
topikal.
b) Pneumonia adalah batuk atau sesak napas pada anak dengan
gambaran chest indrawing, stridor atau tanda bahaya seperti
letargik atau penurunan kesadaran, tidak dapat minum atau
menyusu, muntah, dan adanya kejang selama episode sakit
sekarang. Membaik dengan pengobatan antibiotik.
c) Sepsis adalah demam atau hipotermia pada bayi muda
dengan tanda yang berat seperti bernapas cepat, chest
indrawing, ubun-ubun besar membonjol, letargi, gerakan
berkurang, tidak mau minum atau menyusu, kejang, dan lain-
lain.
2. Pemeriksaan uji HIV cepat (rapid test) dengan hasil reaktif harus
dilanjutkan dengan 2 tes serologi yang lain.
3. Bila hasil pemeriksaan tes serologi lanjutan tetap reaktif, pasien
harus segera mendapat obat ARV
d. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan
Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan
uji HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih
mendapat ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat
diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6
minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi utama.
Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI
sebelum dilakukan diagnosis HIV.
2.4 Penatalaksanaan Bagi Bayi dari Ibu dengan HIV/AIDS
Pertolongan persalinan pada bayi baru lahir dari ibu yang mengidap
HIV/AIDS seperti pada pertolongan persalinan normal dengan menerapkan
universal precaution. Bila obat antiretroviral tersedia dapat diberikan kepada
bayi. Saat ini obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada
neonatus adalah Zidovudine selama 6 minggu atau Niverapine sebanyak satu kali
pemberian. Adapun terapi selanjutnya adalah ;
2.4.1 Pengobatan Antiretroviral
Sampai sekarang masih belum ada obat yang dapat menyembuhkan
infeksi HIV, obat yang ada hanya dapat memperpanjang kehidupan. Obat
antiretroviral yang dipakai pada bayi/anak adalah Zidovudine. Obat
tersebut diberikan bila sudah terdapat gejala seperti infeksi oportunistik,
sepsis, gagal tumbuh, ensefalopati progresif, jumlah trombosit
<75.000/mm3 selama 2 minggu, atau terdapat penurunan status
imunologis. Pemantauan status imunologis yang dipakai adalah jumlah sel
CD4 atau kadar immunoglobulin <250mg/mm3. Jumlah sel CD4 untuk
umur < 1 tahun, 1-2, 3-6, dan > 6 tahun berturut-turut adalah <1750,
<1000, <750/mm3, dan <500/mm3. Pengobatan diberikan seumur hidup.
Dosis pada bayi < 4 minggu adalah 3 mg/kg BB per oral setiap 6 jam,
untuk anak lebih besar 180 mg/m2, dosis dikurangi menjadi 90-120
mg/m2 setiap 6 jam apabila terdapat tanda-tanda efek samping atau
intoleransi seperti kadar Hemoglobin dan jumlah leukosit menurun, atau
adanya gejala mual.
Untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadi infeksi
Pneumocytis crinii diberikan trimethropin sulfamethoxazole dengan dosis
150 mg/m2 dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari berturut setiap minggu.
Bila terdapat hipogammaglobulinemia (IgG<250 mg/dl) atau
adanya infeksi berulang diberikan Imunoglobulin intravena dengan dosis
400 mg/kg BB per 4 minggu. Pengobatan sebaiknya oleh dokter anak yang
telah memperdalam tentang pengobatan AIDS pada anak.
a. Dosis ARV Profilaksis

b. Profilaksis Infeksi Oportunistik


Pemberian Cotrimoxazole profilaksis harus diberikan untuk
semua bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sejak uasia 6
minggu sampai infeksi HIV pada anak dapat disingkirkan. Dosis
4-6 mg TMP/kg BB, setiap 24 jam.
2.4.2 Pemberian Makanan/Nutrisi
Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi
melalui ASI adalah sebanyak 15% . kemungkinan trasmisi vertikal
intrapartum dapat diturunkan sampai 2-4% dengan menggunakan cara
pencegahan seperti pemberian antiretrovirus, persalinan secara seksio
sesaria, maka sebaiknya bayi tidak mendapat ASI. Namun perlu
dipertimbangkan bahwa pemberian pengganti ASI jangan berdampak lebih
buruk. Analisa dari data yang diperoleh membuktikan bahwa di negara
yang angka kematian pascaneontal adalah 90 per seribu, bila penggunaan
susu formula mencapai 10% akan terjadi kenaikan 13% pada angka
kematian bayi dan apabila penggunaan susu formula mencapai 100%
angka kematian bayi naik sebanyak 59%.
Penelitian lain menunjukkan bahwa di daerah dengan hygiene yang
buruk, angka kematian karena diare pada anak usia 8 hari sampai 12 bulan
adalah 14 kali pada mereka yang tidak mendapatkan ASI dibandingkan
yang mendapat ASI. Lagipula pada masyarakat yang kebiasaan menyusui
itu lumrah, maka ibu yang tidak menyusui bayinya akan ketahuan bahwa
ia menderita sesuatu sehingga tidak dibolehkan menyusui. Perlu
dipertimbangkan juga biaya pengadaan makanan pengganti ini.
Bila bayi tidak mendapat ASI maka susu formula yang dibutuhkan
adalah untuk 6 bulan pertama bayi membutuhkan 92 liter atau 20 kg susu.
Pada usia antara 6-12 bulan apabila makanan bayi masih 1/2 diperoleh
dari susu dan pada usia 12-24 bulan masih 1/3 diperoleh dari susu maka
antara 6-24 bulan susu formula yang dibutuhkan adalah 255 liter atau 43
kg. Jadi dari 0 sampai 24 bulan dibutuhkan sekitar 63 kg susu formula.
Biaya tersebut cukup besar. Belum lagi biaya untuk air bersih dan bahan
bakar dan biaya untuk perawatan kesehatan oleh karena bayi yang tidak
mendapat ASI lebih sering sakit.
Makanan yang dibuat sendiri akan lebih murah seperti yang
dilaksanakan di Bangladesh biaya formula yang dibuat di rumah hanya
60% dari biaya susu kaleng. Maka apabila ibu bukan pengidap HIV/AIDS
atau statusnya tidak diketahui maka ibu tetap dianjurkan untuk
memberikan ASI. Nutrisi terbaik untuk Bayi yaitu mengandung nutrien
yang sangat penting, sesuai kebutuhan bayi berdasarkan usia kehamilan,
spesifik untuk setiap individu (bayi tidak mengalami alergi), mengandung
imunoglobulin, terdapat sel imunokompeten.
Nutrisi untuk Bayi yang lahir dari Ibu Terinfeksi HIV :
a. Nutrisi untuk bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV adalah Susu
Formula untuk mencegah penularan.
b. Nutrisi ASI bersama susu formula dihindarkan karena memiliki risiko
penularan tertinggi.
Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa
alternative yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah
mendapat penjelasan perlu didukung.
Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan
memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar,
misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan dengan
pemberian melalui botol. Di negara berkembang sewajarnya makanan
alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan.
Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara
eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi
diberikan makanan alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan sampai
luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula diberikan
ASI bersama susu formula karena susu formula akan menyebabkan virus
dalam ASI lebih mudah masuk.
2.4.3 Imunisasi
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV
melalui transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi
respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu
di negara-negara berkembang tetap diajurkan untuk memberikan vaksinasi
rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun
dianjurkan untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup
misalnya BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio
vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang
bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi campak juga masih dianjurkan
oleh karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini
lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak.
2.4.4 Dukungan psikologis
Selain pemberian nutrisi yang baik bayi memerlukan kasih sayang
yang kadang-kadang kurang bila bayi tidak disusukan ibunya. Perawatan
anak seperti pada anak lain. Hindari jangan sampai terluka. Bilamana
sampai terluka rawat lukanya sedemikian dengan mengusahakan agar si
penolong terhindar dari penularan melalui darah. Pakai sarung tangan dari
latex dan tutup luka dengan menggunakan verban. Darah yang tercecer di
lantai dapat dibersihkan dengan larutan desinfektan. Popok dapat
direndam dengan deterjen. Perlu mendapat dukungan ibu, sebab ibu dapat
mengalami stres karena penyakitnya sendiri maupun infeksi berulang yang
diderita anaknya.
2.5 Pencegahan HIV/AIDS Pada Janin
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilaksanakan melalui kegiatan
komprehensif yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu:
a. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun)
b. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif
c. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya
d. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada
ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya

2.5.1 Pencegahan Penularan Virus HIV pada Perempuan Usia Reproduksi


Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya
penularan HIV pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada
perempuan usia reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan
primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini,
yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila
terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah,
termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya
yang terinfeksi HIV.
Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan
dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV dan AIDS, dan penyakit
IMS dan di dalam koridor kesehatan reproduksi. Isi pesan yang
disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan adat istiadat
setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan
komprehensif terkait HIV dan AIDS dikalangan remaja semakin baik.
Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah
penularan HIV menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:
a. A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi orang yang belum menikah
b. B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan)
c. C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom
d. D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
2.5.2 Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV
Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi
yang dikandungnya jika hamil.Karena itu, ODHA perempuan disarankan
untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana
kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan. Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi
yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan
membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual
yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak
direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi
aborsi.
Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan
kontrasepsi yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan
kondom untuk mencegah penularan HIV dan IMS. Sedangkan perempuan
dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi
disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap
menggunakan kondom.
Kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV
dapat merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak
terinfeksi HIV. Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang
lengkap tentang berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, terkait
kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak terinfeksi
HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan
HIV yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk
hamil akan menerima ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan
terapi ARV, jumlah virus HIV di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak
terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV dari ibu ke anak menjadi kecil,
artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki anak HIV negatif.
Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah
berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu
diingatkan walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian
penggunaan kondom harus tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk
pencegahan penularan HIV pada pasangannya.
Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu dengan HIV antara lain:
a. Mengadakan KIE tentang HIV dan AIDS dan perilaku seks aman
b. Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan
c. Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS
d. Melakukan promosi penggunaan kondom
e. Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB
dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat
f. Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV
yang ingin merencanakan kehamilan.
2.5.3 Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah
terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang
komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut:
a. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV
Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu
hamil untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya
untuk mencegah penularan HIV ke bayinya, memperoleh pengobatan
ARV sedini mungkin, dukungan psikologis, informasi dan
pengetahuan tentang HIV dan AIDS.
b. Diagnosis HIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara
virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis
(mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan
diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah
pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau
ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial
dengan menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal
preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi
kriteria sensitivitas dan spesifitas. Hasil pemeriksaan dinyatakan
reaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2 (A2), dan reagen
3 (A3) ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen yang
digunakan berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas, merujuk pada
Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan
Infeksi Oportunistik, Kementerian Kesehatan (SK Menkes Nomor
241/Menkes/SK/IV/2006).
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya
indeterminate, tes diagnostik HIV dapat diulang dengan bahan baru
yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes
ulang menjelang persalinan (32-36 minggu).
c. Pemberian Terapi Antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan
HIV dan AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di
dalam tubuh dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap
hidup layaknya orang sehat. Terapi ARV bertujuan untuk:
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan
dengan HIV
3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
4. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh
5. Menekan replikasi virus secara maksimal.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti
Pedoman Tata laksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan
dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 4) dan mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
1. Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV.
2. Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum
hamilan, dan pasien sudah mendapatkan ART, maka saat hamil
ART tetap diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat
sebelum hamil.
3. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur
kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART.
Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga
umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan
sesuai dengan kondisi klinis ibu.
4. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur
kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai
CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai
dengan kondisi klinis ibu.
5. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang
persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan
kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang lain.
d. Persalinan aman
Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah
menurunkan risiko penularanHIV dari ibu ke bayi, serta risiko
terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien lainnya.
Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ib u. Risiko
penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup
aman bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam
bulan dan/atau viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu
ke- 36.
e. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak
Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling
tentang risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak
perawatan antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan
oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap. Pilihan
apapun yang diambil oleh ibu harus didukung.
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar
HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam
Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization
(WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk
kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif
artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu
lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI
dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan
pemberian makanan padat. Bila ibu tidak dapat memberikan ASI
eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu
formula untuk menghindari mixed feeding.
f. Mengatur kehamilan dan Keluarga Berencana
Seperti telah disebutkan pada Prong 2, semua jenis kontrasepsi
yang dipilih oleh ibu dengan HIV harus selalu disertai penggunaan
kondom untuk mencegah IMS dan HIV. Kontrasepsi pada
ibu/perempuan HIV positif:
1. Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat
menggunakan kontrasepsi jangka panjang.
2. Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih
kontrasepsi mantap.
g. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak
Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir
selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT
atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Selanjutnya anak dapat
diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis
4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1 tahun atau
sampai diagnosis HIV ditegakkan.
h. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Pemeriksaan serologis anti-HIV dan pemeriksaan virologis HIV
RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat dilakukan
lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif,
maka harus diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah
ada di Indonesia dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
HIV pada anak usia di bawah 18 bulan. Pemeriksaan tersebut harus
dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6
minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV
DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau
partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di
Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (Early Infant
Diagnosis, EID).
2.5.4 Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan kepada Ibu dengan
HIV beserta Anak dan Keluarganya
Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tidak berhenti
setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia
membutuhkan dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang
waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan menghadapi masalah stigma
dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status
HIV ibu sangat penting dijaga. Dukungan juga harus diberikan kepada
anak dan keluarganya. Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu
dengan HIV akan bersikap optimis dan bersemangat mengisi
kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif untuk
senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku sehat
agar tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.

Anda mungkin juga menyukai