Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI BARU LAHIR (BBL)

DENGAN IBU HIV

OLEH

KELOMPOK I

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang dapat


menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Virus HIV, dapat
menyerang kekebalan tubuh manusia. Virus ini dapat ditransmisikan melalui
hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah, dan transmisi dari
ibu ke bayi baik selama proses intrapartum, perinatal, atau berasal dari ASI ibu.
Kondisi prematuritas dengan berat bayi lahir rendah pada neonates dapat
meningkatkan risiko infeksi dalam persalinan karena menipisnya barrier
pertahanan kulit dan sistem imun tubuh.
Pada tahun 2009 sebanyak 1,4 juta wanita hamil di negara berpendapatan
menengah dan rendah terdiagnosa HIV. Lebih dari 90% infeksi HIV pada bayi
dan anak ditransmisikan oleh ibu selama kehamilan, kelahiran, atau ASI. Tanpa
diberikan intervensi apapun, sebanyak 15-45% bayi yang lahir dari ibu dengan
HIV menjadi terinfeksi. Sekitar 50% bayi yang terinfeksi HIV dari ibunya
meninggal sebelum usia 2 tahun. Indonesia mengalami peningkatan epidemic
HIV/AIDS, dimana proporsi perempuan yang mengalami HIV/AIDS meningkat
dari 34% pada tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011. Akibatnya, Kementrian
Kesehatan telah memproyeksikan peningkatan infeksi HIV pada bayi dan anak-
anak.
Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal
dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu bersalin
(intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI).7 Tidak semua ibu
pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. HIV tidak
melalui barier plasenta. Transmisi vertikal terjadi sekitar 15-40%, sebelum
penggunaan obat antiretrovirus. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan insidens
pemberian ASI. Diperkirakan risiko transmisi melalui ASI adalah 15%. Apabila
ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat menyusui maka risiko tersebut
meningkat sampai 25 % (Pediatri & Suradi, 2003).
Mengingat tingginya kejadian transmisi virus HIV dari ibu ke bayi, maka
penting bagi perawat untuk memahami proses penyakit, sehingga bisa
memberikan asuhan keperawatan profesional yang holistik baik terhadap bayi, ibu
dan keluarganya.
1.2. Tujuan
1. Tujuan umum
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa memahami konsep asuhan
keperawatan pada bayi baru lahir dengan ibu positif HIV+
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan penularan penyakit HIV dari Ibu ke Bayi
b. Menjelaskan pengkajian pada bayi dengan ibu HIV+
c. Menjelaskan diagnosis keperawatan pada bayi dengan ibu HIV+
d. Menjelaskan rencana asuhan keperawatan pada bayi dengan ibu HIV+
e. Menjelaskan implementasi keperawatan pada bayi dengan ibu HIV+
f. Menjelaskan evaluasi keperawatan pada bayi dengan ibu HIV+
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep HIV-AIDS
1. Definisi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang
mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk
membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV
menginfeksi sel-sel sistem imun tubuh, juga menghancurkan atau merusak sel
limfosit T helper atau sel limfosit pembawa faktor T4 (CD4) yang dapat
berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang
menunjukan adanya kelemahan/ kerusakan/ penurunan daya tahan tubuh yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang(Nursalam.,
Kurniawati, D.Ninuk., Misutarno & Solikhah, 2018).
2. Penularan HIV/AIDS
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan dapat menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, darah mengenai selaput lendir
vagina, penis, dubur, atau mulut, sehingga HIV yang terdapat dalam
cairan tersebut masuk ke aliran darah (Kasper dkk, 2015)
b. Ibu terhadap bayi
c. Darah dan produksi darah yang tercemar HIV
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
3. Pathofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung CD4. Limfosit T4 merupakan sel utama yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Setelah
virus HIV mengikatkan diri pada CD4, virus mulai masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya. Kemudian, enzim virus tersebut merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA (sel target). Selanjutnya, sel yang berkembang
biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV jenis ini dapat bersifat
irreversible dan berlangsug seumur hidup. Virus HIV tidak segera meyebabkan
kematian, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi agar ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita yang lambat laun akan merusak limfosit T4.
Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan
masa “window period”. Setelah beberapa bulan baru akan terlihat gejala klinis
dari HIV.

Gejala yang terjadi dapat berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan


kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk. Secara bertahap sistem kekebalan
tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekealan tubuh
rusak. Jika kekebalan tubuh rusak, maka akan menyebabkan daya tahan tubuh
berkurang bahkan hilang.
2.2 Penularan HIV dari Ibu Kepada Bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi saat kehamilan (in utero) melalui placenta,
selama persalinan (Intrapartum), dan pasca partum melalui ASI (Kemenkes RI,
2012; WHO, 2017). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01%-0,7% (Oyeledun dkk., 2017). Bila ibu baru
terinfeksi dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak
20%-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya
mencapai 50% (Oyeledun dkk., 2017). Penularan juga terjadi selama proses
persalinan melalui transfusi feto-maternal atau kontak antara kulit atau membran
mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily, 2004
dalam Nursalam, et al, 2018). Semakin lama proses kelahiran, semakin besar
risiko penularan, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan operasi sectio
caesaria (WHO, 2017). Transmisi lain terjadi selama periode postpartum melalui
ASI, risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10% (Lily, 2004
dalam Nursalam, 2018).
Berikut tabel waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak

WAKTU RISIKO

Kehamilan 5-10%

Persalinan 10-20%

Menyusui 5-20%

Risiko penularan keseluruhan 20-50%

Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012)

Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke bayi (Kemenkes
RI, 2012) adalah
a. Faktor Ibu
a. Jumah virus (Viral load) dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui,
Resiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1,000 kopi/ml)dan sebaliknya jika kadar HIV di atas
100,000kopi/ml.
b. Jumlah sel CD4, semakin rendah jumlah sel CD4 rendah, semakin tinggi
resiko penularan HIV ke bayi.
c. Status gizi selama hamil. Berat badan rendah serta kekurangan
vitamindan mineral selama hamil meningkatkan resiko infeksi ibu untuk
menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virusdan
resiko penularan HIV ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama hamil seperti sifilis, infeksi menular,seksual,
infeksi saluran reproduksi lainnya, seperti malaria, dan tuberkulusis,
beresiko meningkatkan jumlah virusdan resiko penularan HIV ke bayi.
e. Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti masitis, abses, dan
luka di puting payudara dapat meningkatkan resiko penularan HIV
melalui asi.
b. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi lahir prematur
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena
sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan
baik.
b. Periode pemberian ASI: semakin lama ibu menyusui, risiko penukaran
HIV ke bayi akan semakinn besar.
c. Adanya luka di mulut bayi: bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko
tertular HIV ketika diberikan ASI
c. Faktor Obstetrik
a. Jenis persalinan: persalinan pervaginam lebih berisiko dari pada
persalinan melalui bedah sesar atau SC
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi semakin tinggi, sehingga semakin lama
terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam.
d. Tindakan episiotomy, ekstraksi vakum, dan forsep, meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpontensi melukai ibu atau bayi.
2.3 Periode Penulaan HIV pada Ibu Hamil
1. Periode Prenatal
Wanita yang termasuk dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV
mncakup :
a. Wanita atau pasangannya berasal dari wilayah geografis dimana HIV
merupakan suatu penyakit yang umum terjadi di daerah tersebut
b. Wanita dan atau pasangannya menggunakan obat-obatan yang
disuntikkan melalui pembuluh darah
c. Wanita yang menerima transfuse darah dari pengidap HIV
d. Wanita yang positif terjangkit HIV
2. Periode Intrapartum
Cara kelahiran didasarkan hanya pada pertimbangan obstetrik karena virus
melalui plasenta pada awal kehamilan. Fokus utama pada fase ini adalah
perlindungan pada pelaku perawatan yang membantu proses persalinan
3. Periode Postpartum
Pengaruh infeksi pada bayi berasal dari virus pada plasenta. Ketika infeksi
HIV menjadi semakin aktif akan banyak infeksi lain yang biasa menyertai
pada orang dewasa terjadi juga pada bayi. Komplikasi HIV yang menyertai
mencakup Enchepalopati, Microchephalli, Defisit Kognitif, Central Nervous
System (CNS) Lhympoma, gagal pernafasan.
2.4 Pencegahan Transmisi Vertikal

Pencegahan transmisi vertikal dari ibu ke bayi dapat dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu
1. Pencegahan Primer
Pendekatan yang paling efektif untuk mencegah transmisi vertikal adalah
pencegahan pada wanita usia subur. Konseling sukarela, rahasia, dan
pemeriksaan darah adalah cara mendeteksi pengidap HIV secara dini.
Pencegahan primer juga mencakup mengubah perilaku seksual dengan
menerapkan prinsip ABCDE, yaitu
a. A (Abstinence), artinya tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum
menikah
b. B (Be Faithful), artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
(tidak berganti-ganti pasangan seks)
c. C (Condom), artinya cegah penularan HIV melalui hubungan seks
dengan menggunakan kondom
d. D (Drug No), artinya dilarang menggunakan narkoba
e. E (Equipment), artinya pakai alat-alat yang bersih, steril, sekali pakai,
dan tidak bergantian.
2. Pencegahan Sekunder
a. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV+
Pada dasarnya perempuan dengan HIV+ tidak disarankan untuk hamil.
Penggunaan alat kontrasepsi yang dianjurkan adalah sama seperti ibu
HIV negatif, namun harus sesuia dengan kondisi klinis ibu. Program KB
yang paling efektif untuk perempuan HIV+ adalah kontrasepsi mantap
untuk mencegah kehamilannya dan penggunaan kondom untuk
mencegah penularan HIV.
b. Mencegah terjadinya penularan HIV dari Ibu Hamil HIV+ ke bayi yang
dikandungnya (Kemenkes, 2012)
 Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan test HIV
 Diagnosis HIV
 Pemberian terapi Antiretroviral
 Persalinan yang aman
 Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak
 Menunda dan mengatur kehamilan
 Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazole pada anak
 Pemeriksaan diagnostik pada bayi/ anak

Tata laksana pemberian ARV selama kehamilan, persalinan, dan setelah


melahirkan (Kesehatan et al., 2014) yaitu

 Protokol pemberian ARV mengikuti PERMENKES RI No. 87


Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan Antiretroviral (Paduan
pilihan: TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Paduan alternatif: AZT +
3TC + EFV (atau NVP) TDF + 3TC (atau FTC) + NVP)
 Untuk PPIA, kehamilan adalah indikasi pemberian ARV, tanpa
melihat nilai CD4
 Jika perempuan HIV+ sudah menerima ARV, maka pemberiannya
diteruskan seumur hidup
 Perempuan HIV+ dewasa yang sudah mendapatkan ARV, saat
hamil: teruskan ARV dengan regimen yang sama.
 Perempuan HIV+ yang diketahui statusnya pada saat kehamilannya
< 14 minggu, dan belum ada indikasi pemberian ARV, maka ARV
ditunda sampai usia kehamilan > 14 minggu.
 Jika terdiagnostik HIV pada usia kehamilan > 14 minggu, maka
ARV langsung diberiakan
 Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI
eksklusif maupun susu formula, diberi Zidovudin (4 mg/kg BB/12
jam) dalam 12 jam pertama selama enam minggu.
 Imunisasi pada bayi dan anak HIV tetap diberikan termasuk vaksin
hidup (BCG, Polio oral, dan campak), dengan syarat bayi/anak
belum menunjukkan gejala sakit. Bila anak sudah menunjukkan
gejala klinis infeksi terkait HIV, maka vaksin hidup tidak dapat
diberikan
c. Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu
HIV+ beserta bayi dan keluarganya
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV
a. ELISA
ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Tes ELISA telah
menggunakan antigen recombinan, yang sangat spesifik terhadap
envelope dan core.
b. Western blot
Western blot digunakan untuk menentukan kadar relatif dari suatu
protein dalam suatu campuran dari berbagai jenis protein. Biasanya
protein HIV yang diguakan adalah jenis antigen dengan makna klinik,
gp120 dan gp41. Western blot mempunyai spesitifitas tinggi, yaitu
99,6%-100%.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Kegunaan tes PCR yaitu sebagai tes HIV pada bayi.
d. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun :
a. Hematokrit
b. LED
c. CD4 Limfosit
d. Rasio CD4/CD Limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin
2.6 Konsep Asuhan Keperawatan pada Bayi Baru Lahir dengan Ibu HIV+
1. Pengkajian
A. Data Demografi

B. Riwayat penyakit HIV


C. Riwayat pengobatan HIV (ARV)
D. Riwayat Kelahiran Lalu
Tahun BB Keadaan Jenis Tempat
JK Komplikasi
lahir lahir bayi persalinan lahir

E. Status Gravida Ibu (Riwayat kehamilan ini, Usia kehamilan, ANC ,


Komplikasi antenatal)
F. Riwayat Persalinan (tempat persalinan, penolong, jenis persalinan, proses
persalinan, lamanya ketuban pecah, kondisi ketuban, episiotomy, dan
status kesehatan ibu)
G. Kondisi bayi saat lahir (APGAR, Antropometri, placenta dan tali pusat)
H. Pemeriksaan Fisik Ibu dan Bayi (Head to Toe)
I. Pemeriksaan penunjang (PRC untuk bayi)
J. Penatalaksaan bayi denga ibu HIV+ (Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam)
K. Dukungan suami atau keluarga dekat
2. Diagnosis Keperawatan
A. Risiko infeksi (bayi) b/d faktor risiko peningkatan paparan organisme
patogen lingkungan. Kondisi klinis terkait: Ibu HIV+
B. Diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit ibu: HIV
positif
C. Risiko gangguan pertumbuhan berhubungan dengan faktor risiko penyakit
kronis (terpapar HIV)
3. Rencana Intervensi dan Implementasi
Diagnosis I:
Infection Control
a. Tingkatkan cara cuci tangan pada perawat dan orang tua
b. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
c. Pertahankan lingkungan aseptik setelah pemasangan alat
d. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (PRC bayi)
Infection Protection
a. Kaji tanda-tanda infeksi pada bayi
b. Lakukan perawatan tali pusat
c. Berikan PASI/ dorong intake nutrisi dan cairan
d. Kolaborasi pemberian ARV (Zidovudin 4 mg/kg BB/12 jam)
e. Kolaborasi pemberian Vaksin
Pressure Management
a. Kaji kulit, perhatikan area kemerahan atau tekanan
b. Jaga kebersihan kulit
c. Beri perawatan mulut
d. Beri perubahan posisi rutin
e. Mandikan bayi
f. Oleskan lotion atau minyak baby oil

Diagnosis II:
Bottle Feeding:
a. Monitor dan evaluasi refleks menelan sebelum memberikan susu
b. Pantau berat badan bayi
c. Ajarkan orang tua cara memberikan susu pada bayi
d. Instruksikan dan demontrasikan kepada orang tua teknik membersihkan
mulut bayi setelah bayi diberikan susu.
e. Jelaskan kepada ibu atau orang tua bayi bahwa saat ini pemberian
makanan bayi menggunakan susu formula.
4. Evaluasi
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

HIV menginfeksi sel-sel sistem imun tubuh, juga menghancurkan atau


merusak sel limfosit T helper atau sel limfosit pembawa faktor T4 (CD4) yang
dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala
yang menunjukan adanya kelemahan/ kerusakan/ penurunan daya tahan tubuh
yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang (Nursalam.,
Kurniawati, D.Ninuk., Misutarno & Solikhah, 2018)
Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal
dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu bersalin
(intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI). Transmisi vertikal terjadi
sekitar 15-40%, sebelum penggunaan obat antiretrovirus. Perbedaan ini terjadi
karena perbedaan insidens pemberian ASI. Diperkirakan risiko transmisi melalui
ASI adalah 15%. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat
menyusui maka risiko tersebut meningkat sampai 25 % (Pediatri & Suradi, 2003)
Penatalakasanan bayi baru lahir dengan ibu positif HIV adalah dengan
pemberian ARV bagi ibu selama kehamilan, saat melahirkan, dan pasca
melahirkan serta bayi langsung mendapat ARV setelah lahir. Penanganan yang
tepat pada tiga fase ini, sangat penting dalam menekan terjadinya transmisi virus
HIV dari ibu ke bayi.
3.2 Saran

Perawat perlu belajar dan memahami konsep penyakit HIV, cara penularan,
dan penanganan yang tepat bagi pasien saat memberikan asuhan keperawatan.
Dukungan biopsikososial dari perawat dapat meningkatkan adaptasi positif dari
pasien dan keluarga penderita HIV/AIDS.
DAFTAR PUSTAKA
Kesehatan, K., Indonesia, R., Menteri, P., Republik, K., Pedoman, T., &
Antiretroviral, P. (2014). PERATURAN MENTERI KESEHATAN
Republik Indonesia Nomor Tentang Pedoman Antiretroviral.
Nursalam., Kurniawati, D.Ninuk., Misutarno & Solikhah, K. F. (2018). Asuhan
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. (P. P. & U. T. Lestari, Ed.)
(2nd ed.). Jakarta: Salemba Medika.
Pediatri, S., & Suradi, R. (2003). Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS,
4(6), 180–185.
World Health Organization. (2016). Consolidated Guidelines on the Use of
Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing HIV Infection:
recomendation for a Public Health Approach. 2nd ed. Genewa: WHO
WHO. (2017). Prevention HIV During Pregnancy and Breastfeeding in the
Context of Prep. Genewa: World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai