Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEGAWATAN ANAK DENGAN KASUS


ASFIKSIA

Fasilitator:
Ilya Krisnana, S.Kep.Ns., M.Kep.
Disusun Oleh:
Kelompok 3 (Kelas A.1, Program A-15)

1. Ervina Hanif Anugra Akbar 131411133021


2. Bunga Nur Rahmawati 131511133031
3. Dinda Salmahella 131511133039
4. Rizka Maudy Julianti 131511133051
5. Oktiana Duwi Firani 131511133061
6. Siti Lusiyanti 131511133073
7. Dilruba Umi Shalihah 131511133097
8. Siti Maisaroh Binti Wandi Yanti 131511133100
9. Annisa Prabaningrum 131511133129

S1 ILMU PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Kegawatan Anak Dengan Kasus Asfiksia”.
Adapun pembuatan makalah ini dilakukan sebagai pemenuhan untuk nilai
tugas darimata kuliah Keperawatan Kritis II. Pada kesempatan ini juga tak lupa
penulis sampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih kepada:
1. Ilya Krisnana, S.Kep.Ns., M.Kep.selaku fasilitator SGD kelompok 3 kelasA-1
Keperawatan Kritis II
2. Teman-teman SGD Kelompok 3, dan teman-teman kelas A-1 yang senantiasa
saling mensuport walaupun tugas skripsi sedang melanda, dan
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-
persatu.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.Akantetapi, penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi perbaikandi masa mendatang. Terima kasih.

Surabaya, 20 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat................................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3
2.2 Teori Asfiksia.......................................................................................................3
2.2.1 Definisi asfiksia............................................................................................3
2.2.2 Etiologi asfiksia............................................................................................4
2.2.3 Patofisiologi asfiksia....................................................................................6
2.2.4 Manifestasi klinis asfiksia............................................................................9
2.2.5 WOC asfiksia................................................................................................10
2.2.6 Pemeriksaan diagnostik asfiksia...................................................................11
2.2.7 Penatalaksanaan asfiksia..............................................................................13
2.2.8 Komplikasi asfiksia......................................................................................21
2.2.9 Asuhan keperawatan teoritis.........................................................................22
BAB 3 PENUTUP..............................................................................................................27
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................27
3.2 Saran.....................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan
28 hari. Pada masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar
dari kehidupan di dalam rahim dan terjadi pematangan organ
hampir pada semua sistem. Bayi hingga usia kurang satu bulan
merupakan golongan umur yang memiliki risiko gangguan
kesehatan paling tinggi, berbagai masalah kesehatan bisa muncul.
Sehingga tanpa penanganan yang tepat, bisa berakibat fatal.
Neonatal dengan komplikasi adalah neonatal dengan penyakit dan
atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan dan atau
kematian, seperti asfiksia (Kementerian Kesehatan, 2015).
Komplikasi yang menjadi penyebab kematian terbanyak yaitu
asfiksia, bayi berat lahir rendah, dan infeksi (Riskesdas, 2007).
Asfiksia saat lahir menjadi penyebab kurang lebih 23% dari sekitar
4 juta kematian neonatus di seluruh dunia setiah tahunnya
(Kitamura et al, 2010).
Asfiksia neonatorum merupakan kegawat daruratan pada bayi
baru lahir berupa depresi pernapasan yang berlanjut sehingga
menimbulkan berbagai komplikasi. Sekitar 10% bayi baru lahir
membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas saat lahir; dan
kurang dari 1% membutuhkan tindakan resusitasi ekstensif agar
selamat. Sebaiknya kurang lebih 90% bayi baru lahir menjalani
transisi dari kehidupan intrauterin ke ekstra uterin tanpa kesulitan.
Komplikasi ini sebetulnya dapat dicegah dan ditangani,
namun terkendala oleh akses ke pelayanan kesehatan,
kemampuan tenaga kesehatan, keadaan sosial ekonomi, sistem
rujukan yang belum berjalan dengan baik, terlambatnya deteksi
dini, dan kesadaran orang tua untuk mencari pertolongan
kesehatan. Penanganan neonatal dengan komplikasi adalah
penanganan terhadap neonatal sakit dan atau neonatal dengan
kelainan atau komplikasi/ kegawatdaruratan yang mendapat

1
pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan
atau perawat) terlatih baik dirumah, sarana pelayanan kesehatan
dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan
sesuai standar antara lain manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir,
atau standar operasional pelayanan lainnya (Kementerian
Kesehatan, 2015).
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa definisi dari asfiksia?
2) Apa penyebab dari asfiksia?
3) Bagaimana patofisiologi dari asfiksia?
4) Bagaimana tanda dan gejala dari asfiksia?
5) Bagaimana WOC dari asfiksia?
6) Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada asfiksia?
7) Bagaimana tatalaksana pasien dengan asfiksia?
8) Bagaimana komplikasi dari asfiksia?
9) Bagaimana prognosis dari asfiksia?
10) Bagaimana penyusunan askep umum pada asfiksia?
1.3 Tujuan
1) Dapat memahami definisi dari asfiksia
2) Dapat memahami penyebab dari asfiksia
3) Dapat memahami patofisiologi dari asfiksia
4) Dapat memahami tanda dan gejala dari asfiksia
5) Dapat memahami WOC dari asfiksia
6) Dapat memahami pemeriksaan diagnostik pada asfiksia
7) Dapat memahami tatalaksana pasien dengan asfiksia
8) Dapat memahami komplikasi dari asfiksia
9) Dapat memahami prognosis dari asfiksia
10) Dapat memahami, menyusun askep, serta dapat memberikan asuhan perawatan
yang baik pada asfiksia
1.4 Manfaat
Para pembaca dan mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep tentang
penyakit asfiksia khususnya untuk mahasiswa keperawatan dapat memberikan
asuhan keperawatan yang tepat.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Teori Asfiksia
2.2.1 Definisi asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) menurut IDAI (Ikatatan Dokter Anak
Indonesia) adalah kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir
atau beberapa saat setelah lahir (Prambudi, 2013). Menurut AAP asfiksia
adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2 pada udara
respirasi, yang ditandai dengan:
1. Asidosis (pH < 7,0) pada darah arteri umbilikalis
2. Nilai APGAR setelah menit ke-5 tetap 0-3
3. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemia
ensefalopati)
4. Gangguan multiorgan sistem (Prambudi. 2013).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir dengan
asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor
terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir (BBL) terhadap
kehidupan uterin (Grabiel Duc, 1971).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2
dan asidosis. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat
mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga
dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. Pada bayi
yang mengalami kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan
yang cepat dalam periode yang singkat. Apabila asfiksia
berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung

3
juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular
berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki
periode apnea yang dikenal sebagai apnea primer. Perlu
diketahui bahwa kondisi pernafasan megap-megap dan tonus
otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-obat yang
diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan
dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang
terjadinya pernafasan spontan. Apabila asfiksia berlanjut, bayi
akan menunjukkan pernafasan megap-megap yang dalam,
denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai
menurun dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan
makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode
apnea yang disebut apnea sekunder (Saifuddin, 2009).
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir. Seringkali bayi yang
sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia
sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama atau
sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
Dengan demikian asfiksia adalah keadaan dimana bayi
tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur. Bayi
dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan
mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan
tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan
bayi selama atau sesudah persalinan.
2.2.2 Etiologi asfiksia
1) Gangguan sirkulasi janin
a. Gangguan aliran pada tali pusat
- Lilitan tali pusat
- Tekanan pada tali pusat/ kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
- Ketuban telah pecah
- Kehamilan lewat waktu

4
b. Pengaruh obat
- Karena narkose (obat bius) saat persalinan
2) Faktor ibu
- Gangguan His : tetania uteri-hipertoni
- Hipertensi pada ibu hamil
- Gangguan pertukaran nutrisi/ O2
- Hipoksia. Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia hipoksia janin dengan
segala akibatnya. Hipoksia ibu dapat terjadi karena hipoventilasi akibat
pemberian analgetika atau anestesi dalam gangguan kontraksi uterus, hipotensi
mendadak karena perdarahan, hipertensi karena eklamsia, penyakit jantung
dan lain-lain.
3) Faktor plasenta
- Solusio plasenta
- Pendarahan pada plasenta previa
- Plasenta tidak menempel pada tempatnya
Sedangkan menurut Pitsawong & Panichkul, 2011, etiologi asfiksia berkaitan
dengan kondisi ibu baik saat antepartum, intrapartum maupun saat postpartum. Ibu
dengan gangguan metabolik saat kehamilan misalnya anemia, gangguan hepar dan
ginjal, hipertensi dan diabetes mellitus memiliki risiko terjadi asfiksia yang lebih
tinggi daripada ibu tanpa gangguan metabolik. Bayi prematur dan bayi dengan
berat badan kurang dari 2500 gram juga dapat meningkatkan risiko asfiksia sebesar
2,8 kali dibandingkan dengan kelahiran cukup bulan. Hal tersebut terjadi karena
ada hubungan dengan kondisi organ-organ yang belum matang pada bayi prematur
terutama organ pernafasan. Selain itu komplikasi intrapartum seperti
korioamnionitis, oligohidramnion, KPP > 12 jam, dan partus lama juga merupakan
faktor risiko terjadinya asfiksia.

Tabel risiko asfiksia neonatorum

Faktor Risiko Antepartum Faktor Risiko Intrapartum Faktor Risiko Janin


 Primipara  Malpresentasi  Prematuritas
 Penyakit pada Ibu:  Partus lama  BBLR
- Demam saat  Persalinan yang sulit  Pertumbuhan janin
kehamilan dan traumatic terhambat

5
- Hipertensi dalam  Mekoneum dalam  Kelainan kongenital
kehamilan ketuban
- Anemia  Ketuban pecah dini
- Diabetes Mellitus  Induksi oksitosin
- Penyakit hati dan  Prolaps tali pusat
ginjal
- Penyakit kolagen dan
pembuluh darah
 Perdarahan antepartum
 Riwayat kematian
neonatus sebelumnya
 Penggunaan sedasi,
anelgesik atau anastesi

2.2.3 Patofisiologi asfiksia


1. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi
pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh darah yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru
akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah berkurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran darah pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveolus oleh pembuluh darah di

6
vena pulmonalis dan darah yang mengandung oksigen kembali ke bagian jantung
kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan
keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru
mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya
melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak
oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tarikan pertama dan tarikan napas yang
dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan
paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen
masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-
abu/biru menjadi kemerahan (Helmy, 2014).

2. Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi


Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah
lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapar berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam
paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik).
Selain itu kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di
paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga
terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada
beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru
sudah terisi degan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertention
Newborn, disingkat menjadi PPHN) (Helmy, 2014).
3. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-
parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
7
interstisisal di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke atreriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetap konstriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-
organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah yang mengakibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan,
akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ
tubuh lain, atau kematian.
Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih
tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak,
otot dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot
jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan; takipnea (pernapasan cepat) karena
kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di
dalam darah (Helmy, 2014).
4. Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam
kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnea primer.

8
Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan

menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus


berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnea sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan
kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.
Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnea primer dan sekunder,
namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan
mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu.
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah
apnea primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnea
sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan
apnea sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan.
Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi
baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal
peningkatan frekuensi jantung.
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang
membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah
jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan
obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi (Helmy, 2014).
2.2.4 Manifestasi klinis asfiksia
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-
tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini:

9
1) DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur

2) Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

3) Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ
lain
4) Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen

5) Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen


pada otot-otot jantung atau sel-sel otak
6) Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung,
kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta
sebelum dan selama proses persalinan
7) Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru
atau nafas tidak teratur/megap-megap
8) Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah

9) Penurunan terhadap spinkters

10) Pucat (Depkes RI, 2007)

Faktor Ibu Faktor Janin Faktor Plasenta


(Hipoksia, gangguan pertukaran (Gangguan aliran pada tali pusat, (Solusio plasenta, perdarahan pada
nutrisi/O2, hipertensi pada ibu pengaruh obat) plasenta previa)
2.2.5 WOC asfiksia
hamil)

Gangguan pertukaran gas/ pengangkutan O2 terutama organ vital

Gangguan
Pertukaran Gas
Asfiksia

Pola Nafas Tidak


Pernafasan cepat, apnea Pengisian udara alveolus tidak adekuat
Efektif

↓O2 dan ↑ CO2, diikuti asidosis ↑ Resistensi pembuluh


respiratorik darah paru

Bila proses berlanjut metabolisme sel berlangsung dalam suasana anaerob

Sirkulasi paru & tubuh


Proses glikolisis lain terganggu
10

Bila proses berlanjut metabolisme sel berlangsung dalam suasana anaerob


Sumber utama glikogen terutama di jantung dan paru-paru berkurang,
produksi asam organik meningkat asidosis metabolik

Berlangsung terus menerus perubahan kardiovaskular


Risiko Penurunan
Perfusi jantung
Kekurangan O2 terus berlanjut
Kegagalan fungsi miokardium.
Kegagalan ↑ curah jantung, Suplai glukosa otak ↓
↓ tekanan darah
Hipotermia

Metabolisme
Aliran darah ke seluruh organ
otak↓ATP ↓
berkurang, termasuk otot jantung

Henti jantung Kelemahan jantung Kekurangan perfusi oksigen dan


oksigenasi jaringan

Asfiksia Kelemahan Kekurangan perfusi oksigen dan Metabolisme otak↓ATP ↓


jantung oksigenasi jaringan

Fungsi otak terganggu


Kerusakan jaringan otak, organ
tubuh lain hingga kematian
Kejang

Kekurangan O2 pada Otak kekurangan O2 Kekurangan O2 Kekurangan O2 di


otak, otot & organ lain pada otot jantung/ dalam darah
sel otak

Depresi pernafasan
Tonus otot buruk Sianosis
Bradikardia

11
Defisiensi Pengetahuan
Ibu khawatir dengan
kondisi bayinya

Ansietas

2.2.6 Pemeriksaan diagnostik asfiksia

Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009)
pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan
oleh tiga hal penting, yaitu :
a. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi
bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas
tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik
dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.
b. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan denyutan
umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini
merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
c. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer
(akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari.
Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi
berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen
lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi SSP
pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan
neuromuscular yang tidak berhubungan.

12
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah
bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir.
Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut
jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang
harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1
menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang
mengalami depresi berat.
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal
resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu
tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan
lebih (Saifuddin, 2009).
2. Diagnosis
Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Denyut jantung janin.
Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120 – 160 kali per menit; selama
his frekeunsi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekeunsi turun sampai di bawah 100 per menit di luar his, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya. Di beberapa klinik elektrokardiograf
janin digunakan untuk terus-menerus mengawasi keadaan denyut jantung dalam
persalinan.
2. Mekonium di dalam air ketuban.

13
Mekonium pada presentasi-sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi – kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-
kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat
dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin.
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-
nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di
bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.
Diagnosis gawat-jaanin sangat penting untuk daapaat menyelamatkaan dan
dengan demikian membatasi morbiditas dan mortalitas perinatal. Selain itu kelahiran
bayi yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan
asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan
tersebut (Aminullah, 2002).
2.2.7 Penatalaksanaan asfiksia

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa,
walaupun mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus.
Bayi baru lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan
atau tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk
membantu bayi memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
Menganggap bahwa seorang bayi menderita apnu primer dan memberikan
stimulasi yang kurang efektif hanya akan memperlambat pemberian oksigen dan
meningkatkan resiko kerusakan otak. Sangat penting untuk disadari bahwa pada bayi
yang mengalami apnu sekunder, semakin lama kita menunda upaya pernapasan
buatan, semakin lama bayi memulai pernapasan spontan. Penundaan dalam
melakukan upaya pernapasan buatan, walaupun singkat, dapat berakibat
keterlambatan pernapasan yang spontan dan teratur. Perhatikanlah bahwa semakin
lama bayi berada dalam apnu sekunder, semakin besar kemungkinan terjadinya
kerusakan otak.
Penyebab apa pun yang merupakan latar belakang depresi ini, segera sesudah
tali pusat dijepit, bayi yang mengalami depresi dan tidak mampu melalui pernapasan
spontan yang memadai akan mengalami hipoksia yang semakin berat dan secara

14
progresif menjadi asfiksia. Resusitasi yang efektif dapat merangsang pernapasan awal
dan mencegah asfiksia progresif. Resusitasi bertujuan memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat – alat vital lainnya (Saifuddin,2009).
Antisipasi, persiapan adekuat, evaluasi akurat dan inisiasi bantuan sangatlah
penting dalam kesuksesan resusitasi neonatus. Pada setiap kelahiran harus ada
setidaknya satu orang yang bertanggung jawab pada bayi baru lahir. Orang tersebut
harus mampu untuk memulai resusitasi, termasuk pemberian ventilasi tekanan positif
dan kompresi dada. Orang ini atau orang lain yang datang harus memiliki kemampuan
melakukan resusitasi neonatus secara komplit, termasuk melakukan intubasi
endotrakheal dan memberikan obat-obatan. Bila dengan mempertimbangkan faktor
risiko, sebelum bayi lahir diidentifikasi bahwa akan membutuhkan resusitasi maka
diperlukan tenaga terampil tambahan dan persiapan alat resusitasi. Bayi prematur
(usia gestasi < 37 minggu) membutuhkan persiapan khusus. Bayi prematur memiliki
paru imatur yang kemungkinan lebih sulit diventilasi dan mudah mengalami
kerusakan karena ventilasi tekanan positif serta memiliki pembuluh darah imatur
dalam otak yang mudah mengalami perdarahan Selain itu, bayi premature memiliki
volume darah sedikit yang meningkatkan risiko syok hipovolemik dan kulit tipis serta
area permukaan tubuh yang luas sehingga mempercepat kehilangan panas dan rentan
terhadap infeksi. Apabila diperkirakan bayi akan memerlukan tindakan resusitasi,
sebaiknya sebelumnya dimintakan informed consent. Definisi informed consent
adalah persetujuan tertulis dari penderita atau orangtua/wali nya tentang suatu
tindakan medis setelah mendapatkan penjelasan dari petugas kesehatan yang
berwenang. Tindakan resusitasi dasar pada bayi dengan depresi pernapasan adalah
tindakan gawat darurat. Dalam hal gawat darurat mungkin informed consent dapat
ditunda setelah tindakan. Setelah kondisi bayi stabil namun memerlukan perawatan
lanjutan, dokter perlu melakukan informed consent. Lebih baik lagi apabila informed
consent dimintakan sebelumnya apabila diperkirakan akan memerlukan tindakan
Oleh karena itu untuk menentukan butuh resusitasi atau tidak, semua bayi
perlu penilaian awal dan harus dipastikan bahwa setiap langkah dilakukan dengan
benar dan efektif sebelum ke langkah berikutnya. Secara garis besar pelaksanaan
resusitasi mengikuti algoritma resusitasi neonatal.
Berikut ini akan ditampilkan diagram alur untuk menentukan apakah terhadap
bayi yang lahir diperlukan resusitasi atau tidak.
15
Langkah-langkah resusitasi neonates
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan:
 Apakah bayi cukup bulan?
 Apakah bayi bernapas atau menangis?
 Apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

16
1. Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer) dalam keadaan
telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi
seluruh tubuh.
Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi hipotermi
dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan
merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti
penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar
panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan
adalah alas penghangat.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan
pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi. Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan untuk mencegah
aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan mekoneum sebelum lahirnya
bahu (intrapartum suctioning), namun bukti penelitian dari beberapa senter
menunjukkan bahwa cara ini tidak menunjukkan efek yang bermakna dalam
mencegah aspirasi mekonium.
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada
keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,
tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera
dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian
dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glotis.

17
Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak bugar,
pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi tanpa
mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang
benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.
Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi
belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung,
tubuh atau ekstremitas bayi.
Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir semua
rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder, rangsangan
apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya cukup satu
atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada punggung. Jangan
membuang waktu yang berharga dengan terus menerus memberikan
rangsangan taktil.
Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya
ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan,
frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar
30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah
berikutnya.
2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
 Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.
 Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan
ventilasi harus sesuai.
 Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.
 Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir,
membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm
H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya
compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur
apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.

18
 Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti
bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti
menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik
nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan
diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumothoraks.
 Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman
ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam
lambung.
 Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan
stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi
mendapat ventilasi yang benar.
 Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang, kurangi
tekanan dengan mengurangi meremas balon. Apabila dada kurang berkembang,
mungkin disebabkan oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang
sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup tekanan.
Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2009).
3. Kompresi dada
 Teknik kompresi dada ada 2 cara:
a. Teknik ibu jari (lebih dipilih)
o Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan
menopang punggung
o Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten
o Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner
b. Teknik dua jari
o Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum,
tangan lainnya menopang punggung
o Tidak tergantung
o Lebih mudah untuk pemberian obat
c. Kedalaman dan tekanan
o Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada
o Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung
maksimum

19
d. Koordinasi VTP dan kompresi dada
1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik
Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per
menit). Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat,
pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga - pompa-…” (Prambudi,
2013).
4. Intubasi Endotrakeal
Cara:
a. Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi
 Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah
 Berikan O2 aliran bebas selama prosedur
b. Langkah 2: Memasukkan laringoskopi
 Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah
 Geser lidah ke sebelah kiri mulut
 Masukkan daun sampai batas pangkal lidah
c. Langkah 3: Angkat daun laringoskop
 Angkat sedikit daun laringoskop
 Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya
 Lihat daerah farings
 Jangan mengungkit daun
d. Langkah 4: Melihat tanda anatomis
 Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi glottis (huruf “V”
terbalik)
 Tekan krikoid agar glotis terlihat
 Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi
e. Langkah 5: Memasukkan pipa
 Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa pada arah
horizontal
 Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka
 Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada di batas pita suara
 Batas waktu tindakan 20 detik(Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan
dan berikan VTP)
f. Langkah 6: mencabut laringoskop
20
 Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kea rah langit-langit mulut bayi, cabut
laringoskop dengan hati-hati.
 Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet.(Prambudi, 2013).
5. Obat-obatan dan cairan:
a. Epinefrin
 Larutan = 1 : 10.000
 Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang disiapkan)
 Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV
 Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 ml (semprit lebih besar diperlukan
untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0 mL/kg.
 Kecepatan = secepat mungkinJangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.
b. Bikarbonat Natrium 4,2%
c. Dekstron 10%
d. Nalokson (Prambudi, 2013).
2.2.8 Komplikasi asfiksia
Bayi yang membutuhkan VTP berkepanjangan, intubasi, dan
atau kompresi dada kemungkinan mengalami stress berat dan
beresiko mengalami disfungsi multiorgan (Tabel 3) yang
mungkin tidak terlihat sehingga bayi perlu dirawat di ruang
perawatan lanjutan.

21
2.2.9 Asuhan keperawatan teoritis

A.    Pengkajian
1.    Biodata
Terdiri dari nama, umur/ tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa, jumlah
saudara dan identitas orang tua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi karena
berkaitan dengan diagnosa Asfiksia Neonatorum.
2.   Keluhan Utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas
3.   Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak bayi belakang
kaki atau sungsang
4.   Kebutuhan dasar
a. Pola Nutrisi
Pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral, karena organ tubuh terutama
lambung belum sempurna, selain itu juga bertujuan untuk mencegah terjadinya
aspirasi pneumonia
b. Pola Eliminasi
Umumnya klien mengalami gangguan BAB karena organ tubuh terutama
pencernaan belum sempurna
c. Kebersihan diri
Perawat dan keluarga pasien harus menjaga kebersihan pasien, terutama saat BAB
dan BAK, saat BAB dan BAK harus diganti popoknya
d. Pola tidur
Biasanya istirahat tidur kurang karena sesak nafas
5.  Pemeriksaan FISIK
a. Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak nafas,
pergerakan tremor, reflek tendon hiperaktif dan ini terjadi pada stadium pertama.
b. Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis, pada bayi preterm terdapat lanugo dan verniks.
c. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih cekung, sutura
belum menutup dan kelihatan masih bergerak

22
d. Mata
Warna konjungtiva anemis/ tidak anemis, tidak ada bleeding konjungtiva, warna
sclera tidak kuning, pupil menunjukkan refleksi terhadap cahaya.
e. Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya pernafasan cuping hidung
dan terdapat penumpukan lendir.
f. Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan frekwensi pernafasan
yang cepat
g. Abdomen
Bentuk silindris, hepar bayi terletak 1-2 cm dibawah arcus costae pada garis papilla
mamae, lien tidak teraba, perut buncit berarti adanya asites/ tumor, perut cekung
adanya hernia diafragma, bising usus timbul 1-2 jam setelah masa kelahiran bayi,
sering terdapat retensi karena GI Tract belum sempurna.
h. Umbilikus
Tali pusat layu, perhatikan ada perdarahan/tidak, adanya tanda- tanda infeksi pada
tali pusat.

i. Genitalia
Pada neonatus aterm testis harus turun, lihat adakah kelainan letak muara uretra pada
neonatus laki-laki, neonatus perempuan lihat labia mayor dan labia minor, adanya
sekresi mucus keputihan, kadang perdarahan.
j. Anus
Perhatikan adanya darah dalam tinja, frekuensi buang air besar serta warna dari
faeces.

k. Ekstrimitas
Warna biru, gerakan lemah, akral dingin, perhatikan adanya patah tulang atau
adanya kelumpuhan saraf atau keadaan jari-jari tangan serta jumlahnya.

l. Neurology / reflek
Reflek Morrow : Kaget bila dikejutkan (tangan menggenggam).

m. Thorax

23
Bentuk simetris, terdapat tarikan intercostal, perhatikan suara wheezing dan ronchi,
frekuensi bunyi jantung lebih dari 100 x/menit.

Primary Survey :
1) Airway : Bayi tidak menangis atau tidak ada usaha untuk bernafas pada
asfiksia berat, kadang-kadang terasa hembusan nafas pada asfiksia ringan.
2) Breathing: Apnea pada asfiksia berat
3) Circulation : HR <100x/menit, HR>100x/menit pada asfiksia ringan
4) Disability : Tonus ototlemah
5) Exposure : Seluruh tubuh berwarna biru, pucat, sianosis, cairan ketuban
ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada tubuh bayi, BBLR (berat
badan lahir rendah)
6) APGAR : Asfiksia berat bernilai 0-3, asfiksia sedang 4-6, asfiksia ringan 7-9,
bayi normal bernilai 10 (Ghaiet al 2010)
Menurut Henderson& Jones:

a. Bayi dengan nilai APGAR sangat rendah tampak pucat, terkulai, tidak ada
usaha napas, tidak berespon terhadap suksion oral dan nadi sangat lambat.
b. Bayi dengan nilai APGAR 4-7 memiliki nadi dibawah 100 kali permenit,
pernapasan tidak teratur dan kulit berwarna biru. Terdapat beberapa respon
terhadap suksion dan beberapa tonus otot. Bayi ini dapat berespon dengan baik
terhadap stimulasi.
c. Bayidengannilai APGAR >7 mempunyaiiramajantung normal, bernapas dan
beresponterhadap stimulus.

APGAR Score

TANDA 0 1 2

Appearanc
Biru, pucat Badan pucat tungkai biru Semuanya merah muda
e

Pulse Tidak teraba < 100 >100

Grimace Tidak ada Lambat Menangis kuat

Activity Lemah/ Gerakan sedikit/ fleksi Aktif/ fleksi tungkai baik/

24
lumpuh tungkai reaksi melawan

Respirator
Tidak ada Lambat, tidak teratur Baik, menangis kuat
y

Tabel 2.2 Penilaian APGAR score

B. Pemeriksaan Diagnostik
a. Peningkatan metabolisme atau mixed acidemia (pH <7) yang dinilai dari sampel
plasenta jika didapatkan, hasilasidosis pada darah tali pusat jika PaO 2<50 mmH2O,
PaCO2>55 mmH2O
b. Asfiksia pada periode intrapartum (dan pada periode antepartum) dapat dideteksi
dengan monitoring denyut jantung janin (fetal heart rate) lewat CTG dan USG serta
penilaian dari sampel darah untuk memeriksa tingkat keasaman darah (pH of scalp
blood)
C.    Diagnosa Keperawatan
1) Domain 4. Aktivitas/ Istirahat. Kelas 4. Respons Kardiovaskular/ Pulmonal
Ketidakefektifan pola napas b.d Hiperventilasi (00032)
2) Domain 11 : Keamanan/ Perlindungan. Kelas 6. Termoregulasi
Hipotermia b.d Peningkatan kebutuhan oksigen(00006)
3) Domain 5 : Presepsi/ Kognisi. Kelas 4. Kognisi Defisiensi Pengetahuan b.d Kurang
Informasi (00126)
D.    Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC
.
1 Domain 4. Aktivitas/ Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan nafas
Istirahat. Kelas 4. keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan
Respons Kardiovaskular/ diharapkan pola nafas menjadi melakukan pengisapan lendir.
Pulmonal efektif.
Kriteria hasil : 2. Pantau status pernafasan dan oksigenasi
Ketidakefektifan pola 1. Pasien menunjukkan sesuai dengan kebutuhan.
napas b.d Hiperventilasi pola nafas yang efektif.
(00032) 3. Auskultasi jalan nafas untuk mengetahui
2. Ekspansi dada simetris. adanya penurunanventilasi.

3. Tidak ada bunyi nafas 4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemeriksaan


tambahan. AGD dan pemakaian alat bantu nafas

4. Kecepatan dan irama 5. Siapkan pasie nuntuk ventilasi mekanik bila


respirasi dalam batas perlu.
normal 6. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan.

25
2 Domain 11 : Setelah dilakukan tindakan Perawatan Hipotermi
Keamanan/Perlindungan. keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Hindarkan pasien dari kedinginan dan
Kelas 6. Termoregulasi diharapkan suhu tubuh bayi tempatkan pada lingkungan yang hangat.
normal, dengan Kriteria hasil :
Hipotermia b.d 1. Temperatur badan 2. Monitor gejala yang berhubungan dengan
Peningkatan kebutuhan dalam batas normal. hipotermi, misal fatigue, apatis, perubahan
oksigen (00006) warna kulit dll.
2. Tidak terjadi distress
pernafasan. 3. Monitor temperatur dan warna kulit.

3. Tidak gelisah. 4. Monitor TTV.

4. Perubahan warna kulit. 5. Monitor adanya bradikardi.

5. Bilirubin dalam batas 6. Monitor status pernafasan.


normal.
Temperatur Regulasi
1. Monitor temperatur BBL setiap 2 jam sampai
suhu stabil.
2. Jaga temperatur suhu tubuh bayi agar tetap
hangat.
3. Tempatkan BBL pada inkubator bila perlu.
3 Domain 5 : Setelah dilakukan tindakan Teaching : Disease Proses
Presepsi/Kognisi. Kelas 4. keperawatan selama 3 x 24 jam 1. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
Kognisi Defisiensi diharapkan defisiensi pengetahuan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
Pengetahuan b.d Kurang teratasi, dengan Kriteria hasil : dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
Informasi (00126) 1. Keluarga menyatakan
pemahaman tentang 2. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul
penyakit, kondisi, prognosis, pada penyakit, dengan cara yang tepat
dan program pengobatan
3. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara
2. Keluarga mampu yang tepat
melaksakan prosedur yang
dijelaskan secara benar 4. Sediakani nformasi pada pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
3. Keluarga mampu
menjelaskan kembali apa 5. Sediakan bagi keluarga atau SO informasi
yang dijelaskan perawat/ tim tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
kesehatan lainnya 6. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa
yang akan datang dan atau proses pengontrolan
penyakit

7. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

E. Evaluasi

a. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam masalah keperawatan


ketidakefektifan pola nafas teratasi

26
b. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam masalah keperawatan
hipotermi teratasi
c. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah keperawatan
defisiensi pengetahuan teratasi

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas dengan
spontan dan teratur segera setelah lahir. Untuk menentukan derajat asfiksia dapat
menggunakan APGAR score. Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan pada bayi dengan
asfiksia diperlukan perawatan dan penatalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga dapat
mencegah terjadinya komplikasi / keadaan bayi yang bertambah buruk. Sehingga bayi
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bayi dengan asfiksia pertolongan pertamanya dapat di lakukan dengan tindakan
Resusitasi. Resusitasi (respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi
yang adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital lainnya. Asfiksasi neonatorum paling
banyak terjadi pada pada bayi dalam persalinan pretern.
3.2 Saran
Penting bagi seorang tenaga kesehatan, termasuk perawat dalam melakukan
penanganan secara cepat dan tepat dengan memperhatikan tanda-tanda kegawatan ABO
Incompability dan asfiksia sehingga diharapkan perawat mampu secara profesional
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dan mampu mencegah serta tidak
memperburuk kondisi dari asfiksia.

27
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi
neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006
Belmore, J., & Tomlinson, D. (2010). Fatigue. In D. Tomlinson & N. E. Kline(Eds.),
Pediatric Oncology NursingAdvanced Clinical Handbook (2nd ed.).Springer Heidelberg
Dordrecht London New York.
International Child Health Review Collaboration (ICHRC) (2012). 3.5. Manajemen Bayi
dengan Asfiksia Perinatal. Diakses dari http://www.ichrc.org/35-manajemen-bayi-
dengan-asfiksia-perinatal pada 21/02/2019
Radityo, AN (2011). Asfiksia Neonatrum Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Gagal Ginjal
Akut. Tesis: Universitas Diponegoro.
http://ners.unair.ac.id/materikuliah/ASFIKSIA%20PADA%20BAYI%20BARU
%20LAHIR.pdf

28

Anda mungkin juga menyukai