BAB I
PENDAHULUAN
bertambah banyak, bahkan cenderung lebih cepat dan pesat. Menjadi lansia tidak
terlepas dari proses penuaan, dimana seiring bertambahnya umur tubuh akan
terkena masalah kesehatan seperti adanya Penyakit Tidak Menular (PTM) yang
PTM yang banyak ditemukan pada lansia antara lain Artritis, Hipertensi, Stroke,
Kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan Diabetes Melitus (DM).
masalah kesehatan pada lansia di Indonesia saat ini (Kemenkes RI, 2018).
terdapat 415 juta jiwa di seluruh dunia menderita DM tipe 2, diperkirakan akan
meningkat menjadi 642 juta jiwa (55%) pada tahun 2040 dan lebih dari 30%
menempati urutan ke-7 di dunia yang banyak menderita DM tipe 2 (8,5%) dan
diperkirakan akan meningkat menjadi urutan ke-6 pada tahun 2040 (Hutabarat, 2018).
(5,5%) dan umur 65-74 tahun (4,8%) pada tahun 2013, meningkat pada umur 55-64
tahun (19,6%) dan umur 65-74 tahun (19,6%) pada tahun 2018 (Kemenkes, 2018). Di
Indonesia, jumlah tertinggi penderita DM tipe 2 berada di DKI Jakarta (5,9%), Jawa
Timur (5,0%), dan Jawa Barat (4,9%) . Di Jawa Barat prevalensi DM tipe 2 pada
umur 45-64 tahun sebesar 5,23%. Jumlah tertinggi DM tipe 2 di Jawa Barat terdapat
usia pertengahan (middle age) berusia antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia
antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) berusia antara 75-90 tahun, dan usia sangat
tua (very old) berusia diatas 90 tahun (Ningrum, 2017). Menurut Sudoyo (2010)
dalam Hutabarat (2018), menyebutkan bahwa usia tua sangat erat kaitannya dengan
maka risiko memiliki penyakit DM tipe 2 semakin tinggi. DM tipe 2 merupakan suatu
penyakit kronik yang disebabkan menurunnya sensitivitas insulin pada lansia yang
tidak dapat disembuhkan dan memerlukan pengobatan seumur hidup. Namun dapat
dengan lima pilar pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi nutrisi medis, latihan
jasmani, terapi farmakologi, dan pemantauan glukosa darah mandiri (Perkeni, 2012).
Pengelolaan DM tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik dalam waktu lama dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi akut dan kronik yang dapat membuat lansia tidak
mampu lagi beraktivitas atau bekerja seperti biasa dan memberikan beban bagi
keluarga. Selain itu, lansia yang lama menderita DM tipe 2 dengan komplikasi secara
signifikan berdampak pada penurunan kualitas hidup yang dapat mempengaruhi UHH
yang dapat mempengaruhi kesehatan secara umum dalam pelaksanaan peran dan
Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), kualitas hidup terdiri dari
empat dimensi antara lain dimensi kesehatan fisik, dimensi kesejahteraan psikologis,
dimensi hubungan sosial, dan dimensi hubungan dengan lingkungan. Kualitas hidup
merupakan tujuan utama dari setiap pengobatan atau intervensi keperawatan dan
merupakan kebutuhan bagi seseorang untuk bertahan hidup, tetapi dalam keadaan
kematian apabila individu tersebut memiliki kualitas hidup yang kurang baik
Kualitas hidup yang kurang baik dapat memperburuk gangguan metabolik, baik
secara langsung melalui stres hormonal ataupun tidak langsung melalui komplikasi.
Kualitas hidup akan baik ketika lansia mulai menerima tentang penyakit yang
4
dideritanya dan patuh pada proses pengobatan yang akan dijalaninya. Faktor- faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2 menurut Rubin & Peyrot
(1999) dalam Ratnawati (2016) adalah faktor demografi meliputi jenis kelamin, usia,
menderita dan komplikasi, serta faktor psikososial meliputi efikasi diri dan dukungan
sosial. Namun menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor penting
tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi
diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta
untuk mampu melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan
glukosa darah, mengurangi risiko komplikasi dan peningkatan kualitas hidup (Hunt,
et al., 2011).
Efikasi diri sangatlah penting dimiliki oleh lansia penderita DM tipe 2 untuk
mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Sebagaimana penelitian Ngurah (2014),
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien penderita DM tipe 2 memiliki efikasi diri
yang baik (60,40%) dan dilaporkan memiliki kualitas hidup yang baik meskipun
menderita DM tipe 2. Selain itu, efikasi diri dalam melakukan manajemen diri juga
5
Sari, Yamin, dan Santoso (2018), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
semakin baik efikasi diri maka semakin meningkat perilaku pasien dalam melakukan
manajemen diri yang berpengaruh pada kualitas hidup yang lebih baik. Efikasi diri
pada pasien DM tipe 2 dalam pendekatan manajemen diri difokuskan pada keyakinan
penyakit DM tipe 2 masuk kedalam 5 besar PTM pada lansia yang mengalami
peningkatan, dimana pada tahun 2017 terdapat 10.479 jiwa meningkat menjadi
11.262 jiwa pada tahun 2018. Di Kabupaten Garut, puskesmas dengan penyakit DM
tipe 2 terbanyak pada lansia tahun 2018 berada di Puskesmas Siliwangi (Dinkes Kab.
Garut, 2018).
lansia cukup tinggi, untuk DM tipe 2 pada tahun 2018 berada diperingkat kedua
sebanyak 450 jiwa setelah hipertensi sebanyak 1.111 jiwa. Meskipun DM tipe 2
berada diperingkat kedua tetapi dilihat dari angka penurunannya lebih sedikit
menurun sebesar 11,2% sedangkan kasus hipertensi menurun sebesar 41,4%. Jumlah
kunjungan lansia penderita DM tipe 2 pada tahun 2018 sebanyak 450 jiwa dengan
sering merasa cemas, tidak yakin mampu memeriksa glukosa darah mandiri dan tidak
yakin mampu menjaga pola makan sendiri, sedangkan 3 lansia lainnya mengatakan
merasa puas dengan dukungan dari keluarga, sering merasa hidupnya masih berarti,
yakin mampu berolahraga secara rutin dan yakin mampu dapat mengatur minum obat
“Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup pada Lansia Penderita Diabetes
masalah penelitiannya adalah “Adakah Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan kualitas
1.3.2.1 Mengidentifikasi efikasi diri pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2 di
1.3.2.2 Mengidentifikasi kualitas hidup pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2
1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia
tahun 2019.
dijadikan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan efikasi
diri dan kualitas hidup pada lansia penderita DM tipe 2 untuk menghindari dari risiko
efikasi diri pada lansia penderita DM tipe 2 dalam melakukan perawatan dan
hidup agar tidak terjadi penurunan UHH dan peningkatan angka kesakitan pada
lansia.
BAB II
Lanjut usia (lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak
tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya
menjadi tua. Lansia merupakan suatu proses yang alami, semua orang akan
mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang
terakhir, dimana manusia akan mengalami penurunan fisik, mental, dan sosial secara
bertahap. Laju penurunan fungsi-fungsi tersebut dipengaruhi oleh cara lansia dalam
memungkinkan terjadinya harapan hidup lansia menjadi rendah (Widodo, dkk., 2016).
Menurut Sudoyo (2010) dalam Hutabarat (2018), menyebutkan bahwa usia tua sangat
9
tinggi.
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut
kelompok, meliputi kelompok usia pertengahan (middle age) berusia antara 45-59
tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) berusia
antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) berusia diatas 90 tahun (Ningrum,
2017)
pralansia berusia antara 45-59 tahun, 2) lansia berusia 60 tahun atau lebih, 3) lansia
risiko tinggi berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan, 4) lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu
lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga
1) Teori Biologi
Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang terprogram oleh
molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi,
contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan
Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus
c) Teori stres
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau
usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
2) Teori Psikologis
11
kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit
meliputi:
1) Perubahan Fisik
a) Sel: jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan
intraseluler menurun
(atrofi otot).
g) Vesika urinaria: otot-otot melemah dan retensi urine. Prostat: hipertrofi pada
75% lansia.
pendengaran.
l) Kulit: keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, elastisitas menurun, dan
2) Perubahan sosial
c) Teman: ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan
meninggal.
3) Perubahan Psikologis
kecemasan.
merupakan suatu proses yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang wajar
dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang, dimana semua orang berharap
akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama
Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara
serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut,
tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut sebagai
penyakit degeneratif (Maryam, 2012). Proses menua yang berlangsung setelah usia
tubuh yang dapat mengalami penurunan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan
2018)
toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka DM tipe
2) Etiologi
disebabkan oleh naiknya kadar glukosa darah akibat penurunan fungsi insulin
pada pankreas, dimana hormon insulin yang dihasilkan tidak berfungsi dengan
15
baik sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat. DM tipe 2 ini terjadi
sebanyak 90-95%, yang lebih umum terjadi pada usia >30 tahun (Lara & Atik,
2016).
3) Faktor Risiko
faktor, yaitu:
a) Usia
lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi
c) Aktivitas Fisik
Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh
tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin
tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka kadar glukosa
d) Hipertensi
16
e) Kolestrol
4) Manifestasi Klinis
glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul
pengeluaran urin.
Akibat volume urine yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan
kalori negatif dan berat badan berkurang, rasa lapar mungkin akan timbul
akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein,
e) Gangguan penglihatan
Disebabkan oleh katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa
oleh hiperglikemia.
f) Gatal/bisul
jamur.
g) Gangguan ereksi
5) Diagnosis DM Tipe 2
sebagainya.
Biasanya ada keluhan poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
serta disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.
1) Gula darah puasa >126 mg/dl, puasa artinya tidak ada intake kalori 8 jam
3) Kadar tes toleransi glukosa oral (TGOT) setelah makan >200 mg/dl (11,1
mmol/L).
HbA1c ≥6,5%.
6) Komplikasi DM tipe 2
Keadaan DM tipe 2 merupakan suatu kondisi yang berjalan lama atau tidak
dapat disembuhkan yang dapat menyerang semua organ tubuh manusia dan
menimbulkan berbagai keluhan dan komplikasi apabila kadar glukosa darah tidak
a) Komplikasi Akut
kematian. Kondisi berbahaya ini dapat dipicu oleh infeksi atau penyakit lain
b) Komplikasi Kronis
karena adanya penyumbatan pada pembuluh darah besar seperti jantung dan
semua jenis saraf, termasuk perifer (sensori motorik), otonom, dan saraf
7) Manajemen Terapeutik
20
pasien (Mulyani, 2016). Menurut Perkeni (2012), manajemen diri diabetes terdiri
a) Program edukasi
kualitas hidup.
Pengaturan pola makan bagi penderita DM tipe 2 yang benar adalah dengan
menerapkan tiga hal yaitu waktu makan, jenis makanan yang dikonsumsi,
dan jumlah porsi dalam setiap kali makan harus sesuai. Waktu makan adalah
jarak antara jam makan utama dengan jam menikmati snack. Mengatur jenis
protein, 25-30% lemak, dan Natrium 6-7 gr (1 sendok teh). Saat mengatur
21
jumlah makan setiap hari dengan porsi yang sama karena makan juga akan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan
tonus otot juga dapat diperbaiki dengan berolahraga. Selain itu, bermanfaat
durasi, dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada penderita
DM tipe 2 adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan
intensitas ringan dan sedang serta lama latihan fisik yang baik adalah 30-60
menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani
d) Terapi farmakologi
dan atau insulin. Ada dua jenis OHO diantaranya obat pemicu sekresi insulin
penghambat glikosidase).
Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), kualitas hidup merupakan
persepsi individu dalam hidupnya yang ditinjau dari konteks budaya, perilaku
dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan,
harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang. Kualitas hidup yang
budaya dan sistem nilai. Dengan demikian proses kesehatan dan kondisi penyakit
sebagai sesuatu yang berjalan secara kontinyu yang berkaitan dengan ekonomi,
Kualitas hidup lansia bisa diartikan sebagai kondisi fungsional lansia berada
Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang lansia untuk bisa
dan perlakuan yang wajar dari lingkungan lansia tersebut, lingkungan yang
lansia dan tersedianya media atau sarana bagi lansia untuk mengaktualisasi
Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), merumuskan empat
obat-obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan
juga terkait dengan dimensi fisik, dimana individu dapat melakukan suatu
aktivitas dengan baik bila individu tersebut sehat secara mental. Kesejahteraan
24
Hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih dimana
Menurut Rubin & Peyrot (1999) dalam Rartnawati (2016), terdapat tiga faktor
1) Demografi
a) Umur
25
dimana semakin tua umur seseorang maka akan semakin menurun kualitas
hidupnya, karena semakin tua seseorang akan semakin tidak produktif dan
b) Jenis Kelamin
laki-laki secara bermakna. Hal ini dimungkinkan karena laki-laki lebih bisa
c) Status Pendidikan
kualitas hidup yang rendah, sedangkan yang berpendidikan SMP dan SMA
pengalaman yang cukup dan dapat memenajemen diri dengan baik serta
d) Status Pernikahan
2.
2) Medis
a) Lama Menderita
penderita DM tipe 2 yang lama menderita 1-5 tahun memiliki kualitas hidup
yang rendah. Hal ini sangat tergantung pada perawatan diri dan pengobatan.
b) Komplikasi
semakin parah.
27
3) Psikososial
a) Dukungan Sosial
ketenangan dan kenyamanan, sehingga terhindar dari efek stres yang dapat
b) Efikasi Diri
Menurut Bandura dalam Bunga & Indra (2015), efikasi diri merupakan salah
psikologis.
penilaian hasil medis dari pengobatan penyakit kronik seperti pada DM tipe 2.
Persepsi individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan serta
Kualitas hidup terkait respon terhadap pengobatan khusus dapat menjadi salah satu
dikaji untuk menilai tekanan personal dalam melakukan manajemen penyakitnya dan
Instrumen kualitas hidup yang dibuat oleh WHO yaitu World Health
dari WHOQOL-100 yang lebih praktis, terdiri dari 26 item pertanyaan mencakup
Indonesia oleh Sekarwiri (2008) dalam Miarsih (2015), dengan nilai validitas
Menurut Bandura (1997) dalam Kusuma (2013), dari semua pemikiran yang
mempengaruhi fungsi manusia dan merupakan bagian penting dari teori kognitif
sosial adalah efikasi diri. Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan
yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi diri pada
dasarnya adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan atau penghargaan
melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil
29
yang diinginkan. Selain itu, efikasi diri mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir,
Efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat sumber
informasi. Dimana pada dasarnya keempat hal tersebut adalah stimulasi atau kejadian
tersebut:
pencapaian prestasi)
Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena
Mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu.
Melalui model ini, efikasi diri dapat meningkat terutama jika ia merasa memiliki
kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
menjadi subjek belajarnya. Peningkatan efikasi diri akan menjadi efektif jika
antara individu dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi
dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model (Ratnawati, 2016).
menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari lingkungannya atau
Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi efikasi diri. Gejolak
emosi, kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang
dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang
fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Karena itu, efikasi diri tinggi
biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan, sedangkan efikasi
diri yang rendah ditandai dengan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi
(Ratnawati, 2016).
Menurut Bandura (1997) dalam Ariani (2011), efikasi diri dapat terbentuk dan
1) Proses Kognitif
Efikasi diri mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau
sebelum melakukan suatu tindakan, seseorang dengan efikasi diri yang tinggi akan
2) Proses Motivasional
Seseorang juga dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. Disamping itu,
3) Proses Afektif
Efikasi diri juga berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Keyakinan
depresi yang dapat diatasi, seseorang yang percaya bahwa dia dapat
pikir, namun seseorang yang percaya bahwa dia tidak dapat mengatasi ancaman
maka dia akan mengalami kecemasan yang tinggi. Efikasi diri untuk mengontrol
32
proses berpikir merupakan faktor kunci dalam mengatur pikiran akibat stres dan
depresi.
4) Proses Seleksi
Ketiga proses pengembangan efikasi diri berupa proses kognitif, motivasional, dan
performansi, yaitu:
1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi
oleh seseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini berimplikasi
orang lain pada umumnya akan lebih mampu meningkatkan efikasi diri seseorang.
keyakinan individu akan kemampuan yang dimilikinya. Harapan yang rendah bisa
disebabkan karena adanya kegagalan, tetapi seseorang dengan harapan yang tinggi
Efikasi diri merupakan konsep yang dikembangkan oleh Bandura dalam teori
sosial kognitif. Hampir semua peneliti menggunakan model yang dibentuk oleh
Bandura sebagai dasar untuk pengukuran efikasi diri. Sebagian besar peneliti juga
kekuatan dimana penilaian yang dilakukan untuk menilai kapasitas mereka sendiri
yang dikaitkan dengan perubahan perilaku yang diharapkan. Penilaian ini sangat
komplikasi kesehatan.
Bagget (1999) dalam Ariani (2011), yang terdiri dari 20 item pernyataan mencakup
kadar glukosa darah, perawatan kaki, obat, diet, dan tingkat aktifitas fisik. Namun
pada penelitian yang dilakukan oleh Sturt, et al., (2010), mengeluarkan lima item
pernyataan yaitu item 8 dan 18 karena mempunyai arti ganda dan item 5, 14, dan 15
dalam Ariani (2011), berdasarkan tiga pilihan jawaban Skala Likert dengan nilai
Keadaan DM tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik dalam waktu lama akan
individu dalam hidupnya yang ditinjau dari konteks budaya, perilaku dan sistem nilai
dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang
ditetapkan dan perhatian seseorang. Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik
(2016), kualitas hidup terdiri dari empat dimensi, antara lain dimensi kesehatan fisik,
dengan lingkungan. Menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor
dalam mengelola perawatan diri pada pasien DM tipe 2 (Purwanti, 2014). Efikasi diri
kualitas hidup yang lebih baik. Sebagaimana penelitian Ngurah (2014), menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien penderita DM tipe 2 memiliki efikasi diri yang baik
(60,40%) dan dilaporkan memiliki kualitas hidup yang baik meskipun menderita DM
tipe 2. Selain itu, efikasi diri dalam melakukan manajemen diri juga berpengaruh
terhadap kualitas hidup. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sari, Yamin,
dan Santoso (2018), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara self-
35
management dan self-efficacy pada pasien DM tipe 2 (p=0,000), artinya semakin baik
efikasi diri maka semakin meningkat perilaku pasien dalam melakukan manajemen
diri yang berpengaruh pada kualitas hidup yang lebih baik. Efikasi diri pada pasien
Menurut WHO (2004), kualitas hidup terdiri dari empat dimensi antara lain
dan dimensi hubungan dengan lingkungan (Lara & Atik, 2016). Faktor- faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2 menurut Rubin & Peyrot (1999)
dalam Ratnawati (2016) adalah faktor demografi meliputi jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, dan status pernikahan, kemudian faktor medis meliputi lama menderita
dan komplikasi, dan faktor psikososial meliputi efikasi diri dan dukungan sosial.
Namun Menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor penting yang
dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai
yang diharapkan. Pada lansia penderita DM tipe 2, berfokus pada keyakinannya untuk
kualitas hidup (Hunt, et al., 2011). Adanya efikasi diri yang baik dalam melakukan
pengelolaan DM akan berpengaruh terhadap kualitas hidup yang baik disertai dengan
kadar glukosa darah terkontrol, tetapi sebaliknya efikasi diri yang kurang baik dalam
kurang baik disertai dengan kadar glukosa darah tidak terkontrol secara optimal
sehingga terjadi hiperglikemia yang akan berisiko terjadi komplikasi apabila tidak
Secara garis besarnya alur penelitian ini dapat dilihat bagan tersebut di bawah
ini:
37
Bagan 2.1
Kerangka Pemikiran
Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup pada Lansia Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2019
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas
hidup:
1) Faktor Demografi
a) Umur
b) Jenis Kelamin
c) Status Pendidikan
d) Status Pernikahan
2) Faktor Medis
a) Lama menderita
b) Komplikasi
Kualitas hidup:
3) Faktor Psikososial
1) Kesehatan fisik
a) Dukungan sosial
2) Kesejahteraan Baik
b) Efikasi Diri psikologis
3) Hubungan sosial
4) Manajemen Diri Kurang baik
4) Hubungan dengan
Diabetes
lingkungan
: Diteliti
: Tidak diteliti
: Alur penelitian
(Diadopsi dari WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016); diadopsi dan dimodifikasi dari Rubin & Peyrot
(1999) dalam Ratnawati (2016), Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), dan Hunt, et al., (2011))
38
Ha : Terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia
Tahun 2019.
Ho : Tidak terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan
antara dua variabel yang diteliti (Rahmat, 2013). Adapun desain penelitian
independen dan dependen serta diukur atau dikumpulkan dalam satu waktu secara
hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia penderita DM Tipe 2
Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013). Variabel yang dikaji dalam
penelitian ini terdiri atas variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas hidup
dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2012). Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 3.1
Definisi Operasional
N Variabel Definisi Operasional Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala
o Ukur Ukur
1 2 3 4 5 6 7
1. Efikasi Keyakinan subjektif Kuesioner Mengisi 1) Baik, bila Ordinal
Diri lansia penderita DM tipe kuesioner skor ≥
2 atas kemampuannya dengan mean/
dalam mengatasi pernyataan median
permasalahan atau tugas, tertutup 2) Kurang
serta melakukan tindakan menggunakan baik bila
yang diperlukan untuk tiga pilihan skor <
mencapai tujuan yang jawaban Skala mean/
diinginkan Likert median
41
1 2 3 4 5 6 7
2. Kualitas Persepsi lansia penderita Kuesioner Mengisi 1) Baik bila Ordinal
Hidup DM tipe 2 dalam kuesioner skor ≥
menjalani kehidupan dengan mean/
berdasarkan dimensi pertanyaan median
kesehatan fisik, tertutup 2) Kurang
psikologis, hubungan menggunakan baik bila
sosial, dan hubungan lima pilihan skor <
dengan lingkungan. jawaban Skala mean/
Likert median
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
(Sugiyono, 2013). Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia penderita DM tipe
kunjungan.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2013). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah
Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2018. Adapun besar sampel dalam penelitian ini
berikut:
42
Z 21−α / 2 x P(1−P)
n=
d2
Keterangan:
n = Besar sampel
P = Proporsi prevalensi
Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut tahun 2018 adalah 26% maka nilai P=0,26
1,96 2 x 0,26(1−0,26)
n=
0,12
0,73
n=
0,01
n=73
Jadi jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah 73 lansia
penderita DM tipe 2.
Dalam penelitian ini, sampel yang diambil yaitu yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi
oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Sedangkan kriteria
eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel.
43
Subjek penelitian yang digunakan adalah subjek yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Kriteria Inklusi
2) Kriteria Eksklusi
mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan
yaitu pada lansia yang pertamakali datang ke Puskesmas Siliwangi dan memenuhi
kriteria inklusi, maka dijadikan sebagai responden pertama dan berlaku berurutan
Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan
1) Data Primer
memilih jawabannya.
2) Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari data yang ada di Dinas
Kesehatan Kabupaten Garut dan data dari Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut
1) Efikasi Diri
Scale (DMSES) UK dari penelitian Sturt, et al., (2010) yang telah diterjemahkan
dan pernah digunakan di Indonesia oleh Isomonah (2008) dalam Ariani (2011).
pernyataan positif yang terdiri dari 15 item pernyataan meliputi pemeriksaan gula
darah (3 item), diet (7 item), olah raga dan perawatan umum (3 item), serta terapi
melakukan atau kadang tidak mampu (2 poin) dan tidak mampu melakukan (1
poin). Hasil dari jawaban dikategorikan menjadi dua, yaitu efikasi diri baik dan
2) Kualitas Hidup
(8 item). Selain itu, pertanyaan pada instrumen ini dibagi menjadi pertanyaan
dan 26). Semua pertanyaan berdasarkan pada Skala Likert dengan lima pilihan
46
jawaban dengan hasil jawaban kualitas hidup baik dan kualitas hidup kurang
baik. Adapun respon jawaban pengukuran kualitas hidup seperti tampak pada
Tabel 3.2
Respon Jawaban Pengukuran Kualitas Hidup
Pertanyaa Jenis Jawaban Penilaian
n
1, 15 Sangat Buruk, Buruk, Biasa – Biasa saja, Baik, Sangat 1-2-3-4-5
Baik
2, 16-25 Sangat Tidak Memuaskan, Tidak Memuaskan, Biasa – 1-2-3-4-5
Biasa saja, Memuaskan, Sangat Memuaskan
3-4 Tidak Sama Sekali, Sedikit, Sedang, Sering, Sangat Sering 5-4-3-2-1
5-14 Tidak Sama Sekali, Sedikit, Sedang, Sering, Sangat Sering 1-2-3-4-5
26 Tidak Pernah, Jarang, Cukup Sering, Sangat Sering, Selalu 5-4-3-2-1
Sumber: Miarsih (2015)
yang telah ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jika telah sesuai maka
mengenai maksud penelitian ini. Bila calon responden setuju menjadi responden
responden untuk mengisi mulai dari data demografi, kuesioner efikasi diri dan
responden untuk memberikan tambahan informasi bila ada hal yang belum jelas.
diperiksa kembali oleh peneliti untuk melihat kemungkinan bila ada kekurangan
dalam pengisian atau ada jawaban yang tidak jelas. Setelah data selesai diperika dan
tidak ada kekurangan, selanjutnya data diolah dan dianalisis oleh peneliti
menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20.0 for
windows.
1) Efikasi Diri
Untuk instrumen efikasi diri tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas
2) Kualitas Hidup
Untuk instrumen kualitas hidup tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas
1) Editing
Peneliti melakukan editing untuk memastikan bahwa data yang diperoleh adalah
bersih, yaitu data tersebut telah direvisi, relevan, dan dapat dibaca dengan baik.
Hal ini dilakukan dengan meneliti tiap lembar kuesioner pada waktu penerimaan
2) Coding
peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf
menjadi data angka atau bilangan. Hal ini untuk mempermudah peneliti dalam
Tabel 3.3
Pengkodean Data Kategori
No Kategori Hasil Ukur Kode
1. Demografi:
1) Umur 1) 45-59 2
2) 60-74 1
4) Analyzing
struktur data dengan memproses data kedalam perangkat lunak agar data bisa
dianalisa lebih lanjut sesuai dengan tujuan yang telah dibuat oleh peneliti.
5) Cleaning
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan,
benar-benar sesuai.
Rancangan analisis hasil data merupakan bagian yang sangat penting untuk
hasil penelitian yang menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
analisa univariat adalah variabel bebas yaitu efikasi diri dan variabel terikat yaitu
kualitas hidup yang akan dianalisa menggunakan program SPSS versi 20.0 for
windows.
1) Efikasi Diri
penggunaan median apabila data berdistribusi tidak normal. Adapun kriteria hasil
2) Kualitas Hidup
penggunaan median apabila data berdistribusi tidak normal. Adapun kriteria hasil
Kriteria penilaian untuk efikasi diri dan kualitas hidup dilakukan dengan
sebagai berikut:
f
P= x 100 %
n
Keterangan:
P = Persentase
n = Jumlah responden
variabel dependen dan variabel independen. Uji statistik yang dilakukan dalam
analisa bivariat yaitu uji Chi-square (x2) karena skala ukur kedua variabel adalah
(fo−fh)2
X 2 =∑
fh
Keterangan:
X2 : Chi-square
fo : Frekuensi observasi
masing-masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori dengan nilai kemaknaan
a) Jika P≤0,05 maka Ha gagal ditolak, artinya menunjukkan hasil signifikan atau
b) Jika P>0,05 maka Ho diterima, artinya menunjukkan hasil tidak signifikan atau
3) Menetapkan masalah
7) Perbaikan proposal
2) Sidang skripsi
DAFTAR PUSTAKA
Al-kahfi, Rina. 2016. Pengaruh Efikasi Diri dan Dukungan Keluarga terhadap
Pencegahan Kaki Diabetik pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus Tipe 2 di
RSUD Dr. H, Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Dinamika Kesehatan, Vol. 7
No.2
Ariani, Yusra. 2011. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2
dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD. H. Adam Malik Medan. Tesis.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Bunga, Beatriks & Indra Yohanes. 2015. Efikasi Diri dan Pengukurannya pada Usia
Lanjut. Melalui<https://www.researchgate.net/publication/324007016>
[18/01/2019]
Dinkes Provinsi Jawa Barat. 2017. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Tahun 2017. Jawa Barat: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
55
Dinkes Kabupaten Garut. 2018. Laporan Data Kesakitan Lansia Tahun 2018.
Kabupaten Garut: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut
Gunardi, Saiful & Catur. 2018. Pengaruh Empat Variabel terhadap Kualitas Hidup
Lansia Penderita Diabetes Melitus tipe II. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, Vol. 8 No. 3
Hunt, Caralise W, et al. 2011. Relationship Among Self-efficacy, Social Support,
Social Problem-solving, and Self-management Behaviors of People Living with
Type 2 Diabetes in Rural Alabama. Melalui<https://www.researchgate.net
/publication/ 230712511>[18/01/2019]
Hutabarat. 2018. Hubungan Komplikasi Diabetes Melitus dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 2 No. 2
Kemenkes RI. 2018. Hasil Utama Riskesdas Tahun 2018.
Melalui<http://www.depkes.
go.id/resources/download/infoterkini/hasilriskesdas-2018.pdf> [17/12/2018]
Kusuma, Henni. 2013. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Persadia Salatiga. Jurnal Keperawatan Medikal
Bedah, Vol. 1 No. 2: 132-141
Laili, Nurul. 2017. Hubungan Diabetes Self-management dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RS. Amelia Pare Kediri. Melalui<
https://www.researchgate.net/publication/323284340>[20/01/2019]
Lara, Aviana & Atik Choirul H. 2016. Hubungan Pendidikan, Kebiasaan Olahraga,
dan Pola Makan dengan Kualitas Hidup Lansia di Puskesmas Wonokromo
Surabaya. Jurnal Promkes, Vol. 4 No. 1
Maryam, R. Siti. 2012. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika
Miarsih, Isra. 2015. Gambaran Kualitas Hidup Wanita Lanjut Usia yang Mengikuti
Senam Gerak Latih Otak di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi Bandung.
Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Mulyani, Nunung Sri. 2016. Hubungan Self-management Pasien Diabetes Melitus
Tipe II dengan Kadar Gula Darah di Rumah Sakit Kota Banda Aceh. SEL
Jurnal Penelitian Kesehatan, Vol.3 No. 2: 56-63
56
Ngurah, I Gusti Ketut. 2014. Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.
Melalui<http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA
%20KEPERAWATAN/DESEMBER%202014/>[20/01/2019]
Ningrum, dkk. 2017. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia
(Studi Kasus: Kelurahan Sukamiskin Bandung). Junral Keperawatan BSI, Vol.
5 No. 2
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Kedua Edisi
Revisi. Jakarta: Rineke Cipta
Perkeni. 2012. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Semarang: PB Perkeni
Purwanti, Lina Ema. 2014. Hubungan Motivasi dengan Kualitas Hidup Pasien DM
Tipe 2 dalam Melakukan Perawatan Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas
Ponorogo Utara. GASTER
Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut. 2018. Laporan Lanjut Usia Tahun 2018.
Kabupaten Garut: Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut
Price & Sylvia Anderson. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Rahman, Handono. 2017. Efikasi Diri, Kepatuhan, dan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 (Self-efficacy, Adherence, and Quality of Life of
Patients with Type 2 Diabetes). E-jurnal Pustaka Kesehatan, Vol. 5 No. 1
Rahmat. 2013. Statistika Penelitian. Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia
Ramadhani, Dwi Yuniar. 2016. Karakteristik, Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri
pada Lanjut Usia Diabetes Melitus Tipe 2 di Kelurahan Padangsari, Semarang.
Jurnal Ners LENTERA, Vol. 4 No. 2
Ratnawati, Novia. 2016. Hubungan Efikasi Diri terhadap Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Melalui <
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/6419/>[20/01/2019]
Raudatussalamah & Fitri. 2012. Psikologi Kesehatan. Pekanbaru: AL-Mujtahadah
Press
Rohmah, dkk. 2012. Kualitas Hidup Lansia. Jurnal Keperawaran, Vol. 3 No. 2
57
Sari, Yamin, & Santoso. 2018. Hubungan Self-management dan Self-efficacy pada
Pasien Diabetes Melitus di Kota Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, Vol. 6 No.
1, ISSN 2338-7246 e-ISSN 2528-2239
Siwiutami, Fitria. 2017. Gambaran Kualitas Hidup pada Penyandang Diabetes
Melitus di Wilayah Puskesmas Purwosari Surakarta.
Melalui<http://eprints.ums.ac.id /57246/>[18/02/2019]
Suardana, I Ketut. 2015. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kualitas
Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas IV Denpasar Selatan.
Jurnal Skala Husada, Vol 12 No. 1
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Edisi 4.
Bandung: CV Alfabeta
Sutikno, Ekawati. 2011. Hubungan Fungsi Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia.
Tesis. Melalui<https://eprints.uns.ac.id/8489/1/193181011201112361.pdf>
[01/03/2019]
Sturt, Jackie, et al. 2010. Validity and Reliability of The DMSES UK: A Measure of
Self-efficacy for Type 2 Diabetes Self-management. Melalui<
http://wrap.warwick.ac.uk/3292/1/WRAP_Sturt_Reliability_and_validity.pdf>[
18/03/2019]
Trisnawati, Shara Kurnia, & Soedijono. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2013. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1)
Wahyuni, Yuli. 2014. Kualitas Hidup berdasarkan Karakteristik Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Jurnal Keperawatan Padjajaran, Vol. 2 No. 1
Widodo, Hariadi, dkk. 2016. Hubungan Interaksi Sosial dengan Kualitas Hidup pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Dinamika
Kesehatan, Vol. 7 No. 1
Yusra, A. 2011. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta. Tesis, Melalui<http://lib.ui.ac.id/file?file=digital?
20280162T%20Aini%20Yusra.pdf>[18/02/2019]
Zainuddin, Mhd. 2015. Hubungan Stres dengan Kualitas Hidup Penderita Diabetes
Melitus tipe 2. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 2 No. 1
58