Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia terutama di bidang kesehatan

berdampak terhadap terjadinya peningkatan Umur Harapan Hidup (UHH).

Meningkatnya UHH menjadikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) semakin

bertambah banyak, bahkan cenderung lebih cepat dan pesat. Menjadi lansia tidak

terlepas dari proses penuaan, dimana seiring bertambahnya umur tubuh akan

mengalami penurunan fungsi fisiologisnya yang mengakibatkan menjadi rentan

terkena masalah kesehatan seperti adanya Penyakit Tidak Menular (PTM) yang

biasanya banyak ditemukan pada lansia (Gunardi & Catur, 2018).

PTM yang banyak ditemukan pada lansia antara lain Artritis, Hipertensi, Stroke,

Kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan Diabetes Melitus (DM).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, penyakit DM

mengalami peningkatan signifikan terutama untuk DM tipe 2 pada lansia

dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013, sehingga DM tipe 2 masih menjadi

masalah kesehatan pada lansia di Indonesia saat ini (Kemenkes RI, 2018).

Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015, menyebutkan

terdapat 415 juta jiwa di seluruh dunia menderita DM tipe 2, diperkirakan akan

meningkat menjadi 642 juta jiwa (55%) pada tahun 2040 dan lebih dari 30%

penderita DM tipe 2 berumur 60-69 tahun, serta menyebutkan bahwa Indonesia


2

menempati urutan ke-7 di dunia yang banyak menderita DM tipe 2 (8,5%) dan

diperkirakan akan meningkat menjadi urutan ke-6 pada tahun 2040 (Hutabarat, 2018).

Di Indonesia berdasarkan Riskesdas, prevalensi DM tipe 2 pada umur 55- 64 tahun

(5,5%) dan umur 65-74 tahun (4,8%) pada tahun 2013, meningkat pada umur 55-64

tahun (19,6%) dan umur 65-74 tahun (19,6%) pada tahun 2018 (Kemenkes, 2018). Di

Indonesia, jumlah tertinggi penderita DM tipe 2 berada di DKI Jakarta (5,9%), Jawa

Timur (5,0%), dan Jawa Barat (4,9%) . Di Jawa Barat prevalensi DM tipe 2 pada

umur 45-64 tahun sebesar 5,23%. Jumlah tertinggi DM tipe 2 di Jawa Barat terdapat

di Kabupaten Garut (9,3%), Kabupaten Cirebon (8,5%), dan Kabupaten Majalengka

(8,2%) (Dinkes Jabar, 2017).

Menurut World Health Organization (WHO), menggolongkan lansia

berdasarkan usia kronologis/biologis menjadi empat kelompok, meliputi kelompok

usia pertengahan (middle age) berusia antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia

antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) berusia antara 75-90 tahun, dan usia sangat

tua (very old) berusia diatas 90 tahun (Ningrum, 2017). Menurut Sudoyo (2010)

dalam Hutabarat (2018), menyebutkan bahwa usia tua sangat erat kaitannya dengan

peningkatan kadar glukosa darah, sehingga dengan bertambahnya usia seseorang

maka risiko memiliki penyakit DM tipe 2 semakin tinggi. DM tipe 2 merupakan suatu

penyakit kronik yang disebabkan menurunnya sensitivitas insulin pada lansia yang

tidak dapat disembuhkan dan memerlukan pengobatan seumur hidup. Namun dapat

dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan melakukan aktifitas manajemen diri


3

dengan lima pilar pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi nutrisi medis, latihan

jasmani, terapi farmakologi, dan pemantauan glukosa darah mandiri (Perkeni, 2012).

Pengelolaan DM tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik dalam waktu lama dapat

menyebabkan terjadinya komplikasi akut dan kronik yang dapat membuat lansia tidak

mampu lagi beraktivitas atau bekerja seperti biasa dan memberikan beban bagi

keluarga. Selain itu, lansia yang lama menderita DM tipe 2 dengan komplikasi secara

signifikan berdampak pada penurunan kualitas hidup yang dapat mempengaruhi UHH

lansia. Kualitas hidup merupakan persepsi seseorang tentang kondisi kesehatannya

yang dapat mempengaruhi kesehatan secara umum dalam pelaksanaan peran dan

fungsi fisik serta keadaan tubuh (Raudatussalamah & Fitri, 2012).

Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), kualitas hidup terdiri dari

empat dimensi antara lain dimensi kesehatan fisik, dimensi kesejahteraan psikologis,

dimensi hubungan sosial, dan dimensi hubungan dengan lingkungan. Kualitas hidup

merupakan tujuan utama dari setiap pengobatan atau intervensi keperawatan dan

merupakan kebutuhan bagi seseorang untuk bertahan hidup, tetapi dalam keadaan

tidak sehat dapat mengganggu kebahagiaan dan kestabilan individu, mempengaruhi

lama penyembuhan dan bahkan dapat memperparah kondisi penyakit hingga

kematian apabila individu tersebut memiliki kualitas hidup yang kurang baik

(Zainuddin, dkk., 2015).

Kualitas hidup yang kurang baik dapat memperburuk gangguan metabolik, baik

secara langsung melalui stres hormonal ataupun tidak langsung melalui komplikasi.

Kualitas hidup akan baik ketika lansia mulai menerima tentang penyakit yang
4

dideritanya dan patuh pada proses pengobatan yang akan dijalaninya. Faktor- faktor

yang mempengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2 menurut Rubin & Peyrot

(1999) dalam Ratnawati (2016) adalah faktor demografi meliputi jenis kelamin, usia,

tingkat pendidikan, status pernikahan, kemudian faktor medis meliputi lama

menderita dan komplikasi, serta faktor psikososial meliputi efikasi diri dan dukungan

sosial. Namun menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor penting

yang mempengaruhi kualitas hidup adalah efikasi diri.

Menurut Bandura (1997) dalam Al-Kahfi (2016), efikasi diri merupakan

keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas

tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi

diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta

kegigihan dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugas yang mencakup

kehidupan mereka. Pada lansia penderita DM tipe 2, berfokus pada keyakinannya

untuk mampu melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan

meningkatkan manajemen perawatan diri yang bertujuan untuk mengontrol kadar

glukosa darah, mengurangi risiko komplikasi dan peningkatan kualitas hidup (Hunt,

et al., 2011).

Efikasi diri sangatlah penting dimiliki oleh lansia penderita DM tipe 2 untuk

mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Sebagaimana penelitian Ngurah (2014),

menunjukkan bahwa sebagian besar pasien penderita DM tipe 2 memiliki efikasi diri

yang baik (60,40%) dan dilaporkan memiliki kualitas hidup yang baik meskipun

menderita DM tipe 2. Selain itu, efikasi diri dalam melakukan manajemen diri juga
5

berpengaruh terhadap kualitas hidup. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Sari, Yamin, dan Santoso (2018), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif

antara self-management dan self-efficacy pada pasien DM tipe 2 (p=0,000), artinya

semakin baik efikasi diri maka semakin meningkat perilaku pasien dalam melakukan

manajemen diri yang berpengaruh pada kualitas hidup yang lebih baik. Efikasi diri

pada pasien DM tipe 2 dalam pendekatan manajemen diri difokuskan pada keyakinan

akan kemampuannya untuk mengolah, merencanakan, dan memodifikasi perilaku

sehingga mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Ariani, 2011).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Garut,

penyakit DM tipe 2 masuk kedalam 5 besar PTM pada lansia yang mengalami

peningkatan, dimana pada tahun 2017 terdapat 10.479 jiwa meningkat menjadi

11.262 jiwa pada tahun 2018. Di Kabupaten Garut, puskesmas dengan penyakit DM

tipe 2 terbanyak pada lansia tahun 2018 berada di Puskesmas Siliwangi (Dinkes Kab.

Garut, 2018).

Puskesmas Siliwangi merupakan puskesmas dengan angka kejadian PTM pada

lansia cukup tinggi, untuk DM tipe 2 pada tahun 2018 berada diperingkat kedua

sebanyak 450 jiwa setelah hipertensi sebanyak 1.111 jiwa. Meskipun DM tipe 2

berada diperingkat kedua tetapi dilihat dari angka penurunannya lebih sedikit

dibandingkan dengan hipertensi, yaitu pada tahun 2017-2018 kasus DM tipe 2

menurun sebesar 11,2% sedangkan kasus hipertensi menurun sebesar 41,4%. Jumlah

kunjungan lansia penderita DM tipe 2 pada tahun 2018 sebanyak 450 jiwa dengan

rata-rata perbulan sebanyak 38 kunjungan (Puskesmas Siliwangi Kab. Garut, 2018).


6

Berdasarkan studi pendahuluan dengan melakukan wawancara pada 7 lansia

penderita DM tipe 2 yang berkunjung ke Puskesmas Siliwangi, 4 lansia mengatakan

kurang puas dengan kondisi kesehatannya yang sekarang, merasa penyakitnya

membatasi pekerjaannya, meskipun telah mengetahui penyakit yang dialami mereka

sering merasa cemas, tidak yakin mampu memeriksa glukosa darah mandiri dan tidak

yakin mampu menjaga pola makan sendiri, sedangkan 3 lansia lainnya mengatakan

merasa puas dengan dukungan dari keluarga, sering merasa hidupnya masih berarti,

yakin mampu berolahraga secara rutin dan yakin mampu dapat mengatur minum obat

yang ditentukan secara teratur.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai

“Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup pada Lansia Penderita Diabetes

Melitus Tipe 2 di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan

masalah penelitiannya adalah “Adakah Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup

pada Lansia Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Siliwangi Kabupaten

Garut Tahun 2019?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


7

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan kualitas

hidup pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Siliwangi

Kabupaten Garut tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengidentifikasi efikasi diri pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2 di

Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut tahun 2019.

1.3.2.2 Mengidentifikasi kualitas hidup pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2

di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut tahun 2019.

1.3.2.3 Mengidentifikasi hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia

penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut

tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4..1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu

pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan gerontik serta dapat

dijadikan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan efikasi

diri dan kualitas hidup pada lansia penderita DM tipe 2 untuk menghindari dari risiko

terjadinya komplikasi yang dapat berdampak pada penurunan UHH.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat

kebijakan kesehatan agar perawat pelaksana dapat meningkatkan pelayanan dalam


8

memberikan intervensi keperawatan dengan memperhatikan dan meningkatkan

efikasi diri pada lansia penderita DM tipe 2 dalam melakukan perawatan dan

pengobatannya sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah secara optimal,

mengurangi risiko terjadinya komplikasi dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas

hidup agar tidak terjadi penurunan UHH dan peningkatan angka kesakitan pada

lansia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Kualitas Hidup pada Lansia Penderita DM Tipe 2

2.1.1.1 Pengertian Lansia

Lanjut usia (lansia) adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak

tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya

menjadi tua. Lansia merupakan suatu proses yang alami, semua orang akan

mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang

terakhir, dimana manusia akan mengalami penurunan fisik, mental, dan sosial secara

bertahap. Laju penurunan fungsi-fungsi tersebut dipengaruhi oleh cara lansia dalam

mengatasi permasalah hidup yang dialami dan penurunan fungsi tersebut

memungkinkan terjadinya harapan hidup lansia menjadi rendah (Widodo, dkk., 2016).

Menurut Sudoyo (2010) dalam Hutabarat (2018), menyebutkan bahwa usia tua sangat
9

erat kaitannya dengan peningkatan kadar glukosa darah, sehingga dengan

bertambahnya usia seseorang maka risiko memiliki penyakit DM tipe 2 semakin

tinggi.

2.1.1.2 Batasan Lanjut Usia

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang

Penatalaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Usia Lanjut bahwa lansia

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut

WHO, menggolongkan lansia berdasarkan usia kronologis/biologis menjadi empat

kelompok, meliputi kelompok usia pertengahan (middle age) berusia antara 45-59

tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) berusia

antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) berusia diatas 90 tahun (Ningrum,

2017)

Menurut Maryam (2012), terdapat lima klasifikasi pada lansia, yaitu 1)

pralansia berusia antara 45-59 tahun, 2) lansia berusia 60 tahun atau lebih, 3) lansia

risiko tinggi berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

dengan masalah kesehatan, 4) lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu

melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, 5)

lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga

hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.1.3 Teori-teori Proses Penuaan

1) Teori Biologi

a) Teori genetik dan mutasi


10

Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang terprogram oleh

molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi,

contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan

kemampuan fungsi sel).

b) Immunology slow theory

Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus

ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

c) Teori stres

Teori stres mengungkapkan bahwa menua terjadi akibat hilangnya sel-sel

yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan

sel-sel tubuh lelah terpakai.

d) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas

(kelompok atom) menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

e) Teori rantai silang

Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau

usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini

menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

2) Teori Psikologis
11

Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan

kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit

untuk dipahami dan berinteraksi. Kurangnya motivasi pada lansia juga

berperan, dimana lansia akan menganggap bahwa dirinya merupakan beban

bagi orang lain dan keluarga.

2.1.1.4 Perubahan-perubahan pada Lansia

Menurut Maryam (2012), perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

meliputi:

1) Perubahan Fisik

a) Sel: jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan

intraseluler menurun

b) Kardiovaskuler: katup jantung menebal dan kaku, elastisitas pembuluh darah

menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga

tekanan darah meningkat.

c) Respirasi: otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas

paru menurun, dan terjadinya penyempitan pada bronkus.


12

d) Muskuloskeletal: cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh

(osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku

(atrofi otot).

e) Gastrointestinal: asam lambung menurun dan peristaltik menurun sehingga

daya absorbsi juga ikut menurun..

f) Genitourinaria: aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus

menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasi

urine ikut menurun.

g) Vesika urinaria: otot-otot melemah dan retensi urine. Prostat: hipertrofi pada

75% lansia.

h) Vagina: selaput lendir mengering dan sekresi menurun.

i) Pendengaran: membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan

pendengaran.

j) Penglihatan: respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap

menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.

k) Endokrin: produksi hormon menurun.

l) Kulit: keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, elastisitas menurun, dan

rambut memutih (uban).

2) Perubahan sosial

a) Peran: post power syndrome, single woman, dan single parent.

b) Keluarga empetiness: kesendirian dan kehampaan.


13

c) Teman: ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan akan

meninggal.

d) Ekonomi: kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia

dan income security.

e) Keamanan: jatuh, terpeleset.

3) Perubahan Psikologis

Perubahan psikologis pada lansia meliputi frustasi, kesepian, takut kehilangan

kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan

kecemasan.

2.1.1.5 Proses Menua

Menurut Hamid (2006) dalam Rohmah, dkk., (2012), proses menua

merupakan suatu proses yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang wajar

dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang, dimana semua orang berharap

akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama

anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang.

Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi

serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut,

tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut sebagai

penyakit degeneratif (Maryam, 2012). Proses menua yang berlangsung setelah usia

30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Komponen


14

tubuh yang dapat mengalami penurunan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan

hormon insulin. Penurunan fungsi pankreas dalam menghasilkan insulin dapat

menyebabkan kadar glukosa darah tidak terkendali sehingga terjadi peningkatan

glukosa darah (hiperglikemia) yang merupakan tanda dari DM tipe 2 (Hutabarat,

2018)

2.1.1.6 Diabetes Melitus Tipe 2

1) Pengertian Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya

toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka DM tipe

2 ditandai dengan hiperglikemia, aterosklerotik dan penyakit vaskuler

mikroangiopati, serta neuropati (Price & Sylvia, 2015). Sedangkan menurut

Ramadhani (2016), DM tipe 2 merupakan penyakit metabolik yang disebabkan

oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya di pankreas.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa DM tipe 2 merupakan

gangguan metabolisme dengan kumpulan gejala klinis yang disebabkan oleh

peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia akibat penurunan sekresi

insulin dan kerja insulin di pankreas.

2) Etiologi

Pada DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependen Diabetes Melitus)

disebabkan oleh naiknya kadar glukosa darah akibat penurunan fungsi insulin

pada pankreas, dimana hormon insulin yang dihasilkan tidak berfungsi dengan
15

baik sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat. DM tipe 2 ini terjadi

sebanyak 90-95%, yang lebih umum terjadi pada usia >30 tahun (Lara & Atik,

2016).

3) Faktor Risiko

Menurut Trisnawati & Soedijono (2013), DM tipe 2 disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu:

a) Usia

Peningkatan risiko terjadi seiring bertambahnya umur, khususnya pada usia

lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi

peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan

berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin.

b) Faktor keturunan (Genetik)

DM tipe 2 dapat diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita

DM tipe 2, karena kelainan gen mengakibatkan tubuhnya tak dapat

menghasilkan insulin dengan baik, sehingga kemungkinan memiliki risiko

tinggi terkena DM tipe 2 juga seperti anggota keluarganya yang lain.

c) Aktivitas Fisik

Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh

tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin

tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka kadar glukosa

dalam darah akan meningkat sehingga mengakibatkan DM tipe 2.

d) Hipertensi
16

Pengaruh hipertensi terhadap kejadian DM tipe 2 disebabkan oleh penebalan

pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi

menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari

dalam darah menjadi terganggu sehingga mengakibatkan DM tipe 2.

e) Kolestrol

Kadar kolestrol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas

sehingga terjadi lipotoksisitas yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan

sel beta pankreas yang akhirnya mengakibatkan DM Tipe 2.

4) Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada pasien DM tipe 2 menurut

Wijaya & Yessie (2013), yaitu:

a) Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)

Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar

glukosa plasma puasa normal atau toleransi glukosa setelah makan. Jika

hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul

glikosuria yang mengakibatkan diuresis osmotik sehingga meningkatkan

pengeluaran urin.

b) Polidipsia (peningkatan rasa haus)

Akibat volume urine yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan

dehidrasi eksternal. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air

intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke


17

plasma yang hipertonik (sangat peka). Dehidrasi intrasel merangsang

pengeluaran ADH (Antidiuretic Hormone) dan menimbulkan rasa haus.

c) Polifagia (rasa lapar)

Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan

kalori negatif dan berat badan berkurang, rasa lapar mungkin akan timbul

sebagai akibat kehilangan kalori.

d) Gangguan saraf tepi/kesemutan

Pada penderita DM tipe 2 regenerasi sel persarafan mengalami gangguan

akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein,

akibatnya banyak sel persarafan terutama perifer mengalami kerusakan.

e) Gangguan penglihatan

Disebabkan oleh katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa

oleh hiperglikemia.

f) Gatal/bisul

Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi didaerah ginjal. Lipatan

kulit seperti di ketiak dan dibawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya

jamur.

g) Gangguan ereksi

Penderita DM tipe 2 mengalami penurunan produksi hormon seksual akibat

kerusakan testosterone dan sistem yang berperan.


18

5) Diagnosis DM Tipe 2

Untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2 diperlukan berbagai pemeriksaan

seperti anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan lain

sebagainya.

a) Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Biasanya ada keluhan poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang

tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

serta disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.

b) Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah

1) Gula darah puasa >126 mg/dl, puasa artinya tidak ada intake kalori 8 jam

sebelum pemeriksaan dilakukan.

2) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl.

3) Kadar tes toleransi glukosa oral (TGOT) setelah makan >200 mg/dl (11,1

mmol/L).

4) Pemeriksaan glikosilat hemoglobin (HbA1C), terdiagnosis jika nilai

HbA1c ≥6,5%.

6) Komplikasi DM tipe 2

Keadaan DM tipe 2 merupakan suatu kondisi yang berjalan lama atau tidak

dapat disembuhkan yang dapat menyerang semua organ tubuh manusia dan

menimbulkan berbagai keluhan dan komplikasi apabila kadar glukosa darah tidak

terkendali dan tidak ditangani dengan baik (Hutabarat, 2018). Komplikasi-

komplikasi DM tipe 2 dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:


19

a) Komplikasi Akut

Komplikasi DM tipe 2 akut yang berhubungan dengan ketidakseimbangan

kadar glukosa darah dalam jangka pendek yaitu sindrom Hiperglikemia

Hyperosmolar Non Ketotik (HHNK). Sindrom HHNK dialami oleh orang

yang mengalami kadar glukosa sangat tinggi yang dapat menyebabkan

kematian. Kondisi berbahaya ini dapat dipicu oleh infeksi atau penyakit lain

yang lebih sering dialami penderita DM tipe 2, terutama orang tua.

b) Komplikasi Kronis

Komplikasi jangka panjang mempengaruhi hampir semua sistem tubuh dan

menjadi penyebab utama ketidakmampuan pasien. Kategori umum

komplikasi jangka panjang terdiri dari penyakit makrovaskuler yang terjadi

karena adanya penyumbatan pada pembuluh darah besar seperti jantung dan

otak yang sering menyebabkan kematian serta penyumbatan pembuluh darah

diekstremitas bawah yang mengakibatkan ganggren di kaki, dan penyakit

mikrovaskuler yang terjadi karena ada penyumbatan pembuluh darah kecil

seperti di ginjal yang dapat menyebabkan penderita pengalami gangguan

ginjal dan di mata mengakibatkan gangguan penglihatan bahkan kebutaan.

Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang mempengaruhi

semua jenis saraf, termasuk perifer (sensori motorik), otonom, dan saraf

pusat belakang. Proses terjadinya neuropati biasanya progresif terjadi

degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau baal.

7) Manajemen Terapeutik
20

DM tipe 2 dapat mempengaruhi seluruh aspek penderitanya dan memiliki

peningkatan resiko terjadinya komplikasi yang dapat mengancam jiwa apabila

tidak ditangani dan dilakukan pengontrolan yang tepat. Masalah-masalah tersebut

dapat diminimalkan dengan melakukan pengelolaan terhadap penyakitnya yaitu

dengan cara manajemen diri diabetes yang bertujuan untuk mencapai

pengontrolan gula darah secara optimal, mencegah terjadinya komplikasi, dan

memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup serta kesejahteraan

pasien (Mulyani, 2016). Menurut Perkeni (2012), manajemen diri diabetes terdiri

dari lima pilar utama yaitu:

a) Program edukasi

Edukasi adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan

keterampilan bagi pasien DM tipe 2 guna menunjang perubahan perilaku,

meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, sehingga tercapai

kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologis dan peningkatan

kualitas hidup.

b) Pengaturan pola makan (diet) atau terapi nutrisi medis

Pengaturan pola makan bagi penderita DM tipe 2 yang benar adalah dengan

menerapkan tiga hal yaitu waktu makan, jenis makanan yang dikonsumsi,

dan jumlah porsi dalam setiap kali makan harus sesuai. Waktu makan adalah

jarak antara jam makan utama dengan jam menikmati snack. Mengatur jenis

makan, sesuai dengan menu seimbang yaitu 50-60% karbohidrat, 15-20%

protein, 25-30% lemak, dan Natrium 6-7 gr (1 sendok teh). Saat mengatur
21

jumlah makan setiap hari dengan porsi yang sama karena makan juga akan

memenuhi kebutuhan kalori (Lara & Atik, 2016).

c) Aktifitas fisik & latihan jasmani

Latihan jasmani sangat penting dalam penatalaksanaan DM tipe 2 karena

dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan

glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan

tonus otot juga dapat diperbaiki dengan berolahraga. Selain itu, bermanfaat

untuk mengurangi stres dan mempertahankan kesegaran tubuh.

Prinsip latihan jasmani pada penderita DM tipe 2, yaitu: frekuensi, intensitas,

durasi, dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada penderita

DM tipe 2 adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan

intensitas ringan dan sedang serta lama latihan fisik yang baik adalah 30-60

menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani

endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti

jalan, jogging, dan bersepeda.

d) Terapi farmakologi

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat-obatan yang

digunakan untuk penderita DM tipe 2 yaitu Obat Hipoglikemik Oral (OHO),

dan atau insulin. Ada dua jenis OHO diantaranya obat pemicu sekresi insulin

(seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap


22

insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat absorbsi glukosa seperti

penghambat glikosidase).

e) Pemantauan glukosa darah mandiri

Pemantauan glukosa darah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

pengelolaan DM tipe 2. Pemantauan glukosa darah secara mandiri bertujuan

untuk mencapai penurunan HbA1c dengan tujuan utama mengurangi risiko

komplikasi dan mengidentifikasi adanya hipoglikemia.

2.1.1.7 Kualitas Hidup

1) Pengertian Kualitas Hidup

Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), kualitas hidup merupakan

persepsi individu dalam hidupnya yang ditinjau dari konteks budaya, perilaku

dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan,

harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang. Kualitas hidup yang

berhubungan dengan kesehatan didefinisikan sebagai pengukuran status

fungsional yang dirasakan, dampak, keterbatasan, kondisi dan perspektif

perawatan bahwa pasien dengan penyakit kronis terintegrasi dalam konteks

budaya dan sistem nilai. Dengan demikian proses kesehatan dan kondisi penyakit

sebagai sesuatu yang berjalan secara kontinyu yang berkaitan dengan ekonomi,

sosial budaya, pengalaman dan lifestyle/gaya hidup (Laili, 2017).

Kualitas hidup lansia bisa diartikan sebagai kondisi fungsional lansia berada

pada kondisi maksimum atau optimal, sehingga memungkinkan mereka bisa

menikmati masa tuanya dengan penuh makna, membahagiakan, dan berkualitas.


23

Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang lansia untuk bisa

tetap berguna dimasa tuanya, yakni kemampuan menyesuaikan diri dan

menerima segala perubahan dan kemunduran yang dialami, adanya penghargaan

dan perlakuan yang wajar dari lingkungan lansia tersebut, lingkungan yang

menghargai hak-hak lansia serta memahami kebutuhan dan kondisi psikologis

lansia dan tersedianya media atau sarana bagi lansia untuk mengaktualisasi

potensi dan kemampuan yang dimiliki (Sutikno, 2011).

2) Dimensi Kualitas Hidup

Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016), merumuskan empat

dimensi untuk mengetahui kualitas hidup individu, diantaranya:

a) Dimensi Kesehatan Fisik

Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan

aktivitas. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada

obat-obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan

ketidaknyamanan, tidur dan istirahat serta kapasitas kerja.

b) Dimensi Kesehatan Psikologis

Kesehatan psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental yang mengarah

pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri terhadap berbagai

tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya. Dimensi psikologis

juga terkait dengan dimensi fisik, dimana individu dapat melakukan suatu

aktivitas dengan baik bila individu tersebut sehat secara mental. Kesejahteraan
24

psikologis mencakup bodily image dan appearance, perasaan negatif,

perasaan positif, self esteem, berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi.

c) Dimensi Hubungan Sosial

Hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih dimana

tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi. Hubungan sosial

mencakup relasi personal, dukungan sosial, dan aktivitas seksual.

d) Dimensi Hubungan dengan Lingkungan

Dimensi lingkungan yaitu tempat individu tinggal, termasuk di dalamnya

keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas

kehidupan, termasuk sarana dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan.

Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber finansial, kebebasan,

keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan social care,

lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru

dan keterampilan, partisipasi dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau

kegiatan yang menyenangkan, lingkungan fisik, dan transportasi.

2.1.1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup

Menurut Rubin & Peyrot (1999) dalam Rartnawati (2016), terdapat tiga faktor

yang mempengaruhi kualitas hidup pada penderita DM tipe 2, yaitu:

1) Demografi

a) Umur
25

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2014), menyatakan

bahwa penderita DM tipe 2 pada kelompok umur madya (40-60 tahun)

mayoritas memiliki kualitas hidup yang rendah. Menurut Siwiutami (2017),

menyatakan bahwa usia seseorang dapat mempengaruhi kualitas hidup

dimana semakin tua umur seseorang maka akan semakin menurun kualitas

hidupnya, karena semakin tua seseorang akan semakin tidak produktif dan

dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kualitas hidup.

b) Jenis Kelamin

Menurut Gautam (2009) dalam Yusra (2011), penyakit DM tipe 2

memberikan efek yang kurang baik terhadap kualitas hidup. Wanita

mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien

laki-laki secara bermakna. Hal ini dimungkinkan karena laki-laki lebih bisa

menerima kenyataan dan bersikap lebih positif dibandingkan perempuan

sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup.

c) Status Pendidikan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siwiutami (2017), menyatakan

bahwa seseorang yang tidak sekolah dan yang berpendidikan SD memiliki

kualitas hidup yang rendah, sedangkan yang berpendidikan SMP dan SMA

memiliki kualitas hidup yang baik. Hal tersebut menunjukakn bahwa

semakin baik pendidikan seseorang maka semakin baik pula kualitas

hidupnya, dimana dengan pendidikan yang baik seseorang akan memiliki


26

pengalaman yang cukup dan dapat memenajemen diri dengan baik serta

akan meningkatkan kualitas hidup.

d) Status Pernikahan

Menurut Wahl, dkk., (2004) dalam Wahyuni (2014), menyatakan bahwa

baik pria maupun perempuan, individu dengan status menikah memiliki

kualitas hidup yang tinggi. Pengaruh status pernikahan tersebut dikaitkan

dengan dukungan keluarga yang merupakan indikator paling kuat dalam

memberikan dampak positif terhadap perawatan diri pada penderita DM tipe

2.

2) Medis

a) Lama Menderita

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siwiutami, menyatakan bahwa

penderita DM tipe 2 yang lama menderita 1-5 tahun memiliki kualitas hidup

yang rendah. Hal ini sangat tergantung pada perawatan diri dan pengobatan.

Pasien yang lama menyandang DM tipe 2 tanpa perawatan cenderung akan

memilki kualitas hidup yang rendah.

b) Komplikasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siwiutami (2017), menyatakan

bahwa penderita DM tipe 2 yang memiliki komplikasi dan tidak memiliki

komplikasi mayoritas memiliki kualitas hidup yang rendah. Menurunnya

kualitas hidup pada penderita DM tipe 2 dikarenakan penyakit yang diderita

semakin parah.
27

3) Psikososial

a) Dukungan Sosial

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana (2015), menyatakan

bahwa dukungan sosial keluarga penting dimiliki oleh penderita DM tipe 2,

dimana adanya dukungan sosial keluarga yang tinggi akan memberikan

ketenangan dan kenyamanan, sehingga terhindar dari efek stres yang dapat

menurunkan kualitas hidup.

b) Efikasi Diri

Menurut Bandura dalam Bunga & Indra (2015), efikasi diri merupakan salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup karena keyakinan

seseorang atas kemampuan yang dimiliki dalam merawat diri sehingga

berpengaruh pada peningkatan kesehatan. Selain itu efikasi diri memiliki

korelasi positif dengan self-esteem dan berdampak pada kesejahteraan

psikologis.

2.1.1.9 Pengukuran Kualitas Hidup

Pengukuran kualitas hidup diakui sebagai kriteria paling penting dalam

penilaian hasil medis dari pengobatan penyakit kronik seperti pada DM tipe 2.

Persepsi individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan serta

keterbatasannya menjadi penting sebagai evaluasi akhir terhadap pengobatan.

Kualitas hidup terkait respon terhadap pengobatan khusus dapat menjadi salah satu

faktor yang mempengaruhi individu untuk tetap memilih melanjutkan pengobatan

atau menghentikan pengobatannya. Terkait dengan pasien DM tipe 2, kualitas hidup


28

dikaji untuk menilai tekanan personal dalam melakukan manajemen penyakitnya dan

bagaimana tekanan tersebut dapat menurunkan kualitas hidup (Ariani, 2011).

Instrumen kualitas hidup yang dibuat oleh WHO yaitu World Health

Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF, yang mana merupakan ringkasan

dari WHOQOL-100 yang lebih praktis, terdiri dari 26 item pertanyaan mencakup

dimensi kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan hubungan dengan

lingkungan. Instrumen ini berdasarkan lima pilihan jawaban Skala Likert.

Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Dr Ratna Mardiati, Satya Joewana,

Dr Hartati Kurniadi, Isfandari, dan Riza Sarasvita, (WHO, 2014). Pengukuran

kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF pernah dilakukan penelitian di

Indonesia oleh Sekarwiri (2008) dalam Miarsih (2015), dengan nilai validitas

(rhitung=0,89-0,95) dan reliabilitas (r=0,66-0,87).

2.1.2 Efikasi Diri

2.1.2.1 Pengertian Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) dalam Kusuma (2013), dari semua pemikiran yang

mempengaruhi fungsi manusia dan merupakan bagian penting dari teori kognitif

sosial adalah efikasi diri. Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan

individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu

yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi diri pada

dasarnya adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan atau penghargaan

tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam

melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil
29

yang diinginkan. Selain itu, efikasi diri mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir,

merasa, memotivasi diri sendiri, dan bertindak (Purwanti, 2016).

2.1.2.2 Sumber-sumber Efikasi Diri

Efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat sumber

informasi. Dimana pada dasarnya keempat hal tersebut adalah stimulasi atau kejadian

yang dapat memberikan insipari atau pembangkit positif untuk berusaha

menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Adapun sumber-sumber efikasi

tersebut:

1) Enactive attainment and performanve accomplishment (pengalaman langsung dan

pencapaian prestasi)

Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri individu karena

didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu secara nyata berupa

keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman keberhasilan akan menaikkan efikasi diri

individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan menurunkannya. Pengalaman

keberhasilan dapat menaikkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi

kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan (Ratnawati, 2016).

2) Vucarious experience (pengalaman orang lain)

Mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu.

Melalui model ini, efikasi diri dapat meningkat terutama jika ia merasa memiliki

kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang

menjadi subjek belajarnya. Peningkatan efikasi diri akan menjadi efektif jika

subjek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karaktertistik


30

antara individu dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi

dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model (Ratnawati, 2016).

3) Verbal persuasion (persuasi verbal)

Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau

berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu

mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang yang senantiasa

diberikan keyakinan dengan dorongan untuk sukses, maka akan menunjukkan

perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat

menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari lingkungannya atau

mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan (Ariani, 2011).

4) Physiological and emosional state (kondisi fisik dan emosional)

Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi efikasi diri. Gejolak

emosi, kegelisahan yang mendalam, dan keadaan fisiologis yang lemah yang

dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang

tidak diinginkan. Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi

fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Karena itu, efikasi diri tinggi

biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stres dan kecemasan, sedangkan efikasi

diri yang rendah ditandai dengan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi

(Ratnawati, 2016).

2.1.2.3 Proses Pembentukan Efikasi Diri


31

Menurut Bandura (1997) dalam Ariani (2011), efikasi diri dapat terbentuk dan

berkembang melalui empat proses, yaitu:

1) Proses Kognitif

Efikasi diri mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau

menghambat perilaku seseorang. Sebagian besar individu akan berpikir dahulu

sebelum melakukan suatu tindakan, seseorang dengan efikasi diri yang tinggi akan

cenderung berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dan memiliki komitmen

untuk mempertahankan perilaku tersebut.

2) Proses Motivasional

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan melakukan perilaku yang

mempunyai tujuan didasari oleh aktifitas kognitif. Berdasarkan teori motivasi,

perilaku atau tindakan masa lalu berpengaruh terhadap motivasi seseorang.

Seseorang juga dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya. Disamping itu,

kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi

penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi dan pengaturan dirinya.

3) Proses Afektif

Efikasi diri juga berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Keyakinan

seseorang akan kemampuannya akan mempengaruhi seberapa besar stres atau

depresi yang dapat diatasi, seseorang yang percaya bahwa dia dapat

mengendalikan ancaman/masalah maka dia tidak akan mengalami gangguan pola

pikir, namun seseorang yang percaya bahwa dia tidak dapat mengatasi ancaman

maka dia akan mengalami kecemasan yang tinggi. Efikasi diri untuk mengontrol
32

proses berpikir merupakan faktor kunci dalam mengatur pikiran akibat stres dan

depresi.

4) Proses Seleksi

Ketiga proses pengembangan efikasi diri berupa proses kognitif, motivasional, dan

afektif memungkinkan seseorang untuk membentuk sebuah lingkungan yang

membantu dan mempertahankannya, dengan memilih lingkungan yang sesuai akan

membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan.

2.1.2.4 Dimensi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) dalam Ariani (2011), mengungkapkan terdapat tiga

dimensi efikasi diri yang masing-masing mempunyai implikasi penting di dalam

performansi, yaitu:

1) Magnitude (tingkat kesulitan tugas), berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi

oleh seseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini berimplikasi

pada pemilihan perilaku yang dipilih berdasarkan harapan keberhasilannya.

2) Generality (generatiltas), berkaitan dengan seberapa luas cakupan tingkah laku

yang diyakini mampu dilakukan. Berbagai pengalaman pribadi atau pengalaman

orang lain pada umumnya akan lebih mampu meningkatkan efikasi diri seseorang.

3) Strength (kekuatan), berfokus pada bagaimana kekuatan sebuah harapan atau

keyakinan individu akan kemampuan yang dimilikinya. Harapan yang rendah bisa

disebabkan karena adanya kegagalan, tetapi seseorang dengan harapan yang tinggi

akan tetap berusaha gigih meskipun mengalami kegagalan.


33

2.1.2.6 Pengukuran Efikasi Diri

Efikasi diri merupakan konsep yang dikembangkan oleh Bandura dalam teori

sosial kognitif. Hampir semua peneliti menggunakan model yang dibentuk oleh

Bandura sebagai dasar untuk pengukuran efikasi diri. Sebagian besar peneliti juga

mengadaptasi The Diabetes Management Self-Efficacy Scale for type 2 DM (DMSES)

UK, karena merupakan skala pengukuran efikasi diri yang dikembangkan

berdasarkan aktivitas perawatan mandiri yang harus dilakukan pasien DM tipe 2

dalam mengelola diabetes mereka. Penilaian DMSES mengarah pada dimensi

kekuatan dimana penilaian yang dilakukan untuk menilai kapasitas mereka sendiri

yang dikaitkan dengan perubahan perilaku yang diharapkan. Penilaian ini sangat

dibutuhkan dalam pengelolaan DM tipe 2 yang kompleks untuk mencegah terjadinya

komplikasi kesehatan.

Instrumen DMSES UK dikembangkan oleh Van der Bijl dan Shortride-

Bagget (1999) dalam Ariani (2011), yang terdiri dari 20 item pernyataan mencakup

kadar glukosa darah, perawatan kaki, obat, diet, dan tingkat aktifitas fisik. Namun

pada penelitian yang dilakukan oleh Sturt, et al., (2010), mengeluarkan lima item

pernyataan yaitu item 8 dan 18 karena mempunyai arti ganda dan item 5, 14, dan 15

karena terjadi pengulangan pernyataan, sehingga DMSES UK terdiri dari 15 item

pernyataan. Pengukuran DMSES UK yang terdiri dari 15 item pernyataan pernah

diterjemahkan dan digunakan untuk penelitian di Indonesia oleh Isomonah (2008)

dalam Ariani (2011), berdasarkan tiga pilihan jawaban Skala Likert dengan nilai

validitas (rhitung=0,206-0,751) dan reliabilitas (r=0,847).


34

2.1.2.7 Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup

Keadaan DM tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik dalam waktu lama akan

berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi yang akan berdampak pada penurunan

kualitas hidup. Menurunnya kualitas hidup dapat mempengaruhi UHH dan

peningkatan angka kematian (Rahman, 2017). Kualitas hidup merupakan persepsi

individu dalam hidupnya yang ditinjau dari konteks budaya, perilaku dan sistem nilai

dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang

ditetapkan dan perhatian seseorang. Menurut WHO (2004) dalam Lara & Atik

(2016), kualitas hidup terdiri dari empat dimensi, antara lain dimensi kesehatan fisik,

dimensi kesejahteraan psikologis, dimensi hubungan sosial, dan dimensi hubungan

dengan lingkungan. Menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor

penting yang mempengaruhi kualitas hidup adalah efikasi diri.

Efikasi diri adalah bentuk kepatuhan terhadap rejimen pengobatan dengan

mendorong proses kontrol diri untuk mempertahankan perilaku yang dibutuhkan

dalam mengelola perawatan diri pada pasien DM tipe 2 (Purwanti, 2014). Efikasi diri

sangatlah penting dimiliki oleh lansia penderita DM tipe 2 untuk mendapatkan

kualitas hidup yang lebih baik. Sebagaimana penelitian Ngurah (2014), menunjukkan

bahwa sebagian besar pasien penderita DM tipe 2 memiliki efikasi diri yang baik

(60,40%) dan dilaporkan memiliki kualitas hidup yang baik meskipun menderita DM

tipe 2. Selain itu, efikasi diri dalam melakukan manajemen diri juga berpengaruh

terhadap kualitas hidup. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sari, Yamin,

dan Santoso (2018), menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara self-
35

management dan self-efficacy pada pasien DM tipe 2 (p=0,000), artinya semakin baik

efikasi diri maka semakin meningkat perilaku pasien dalam melakukan manajemen

diri yang berpengaruh pada kualitas hidup yang lebih baik. Efikasi diri pada pasien

DM tipe 2 dalam pendekatan manajemen diri difokuskan pada keyakinan akan

kemampuannya untuk mengolah, merencanakan, dan memodifikasi perilaku sehingga

mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Ariani, 2011).

2.2 Kerangka Pemikiran

Menurut WHO (2004), kualitas hidup terdiri dari empat dimensi antara lain

dimensi kesehatan fisik, dimensi kesejahteraan psikologis, dimensi hubungan sosial,

dan dimensi hubungan dengan lingkungan (Lara & Atik, 2016). Faktor- faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup penderita DM tipe 2 menurut Rubin & Peyrot (1999)

dalam Ratnawati (2016) adalah faktor demografi meliputi jenis kelamin, usia, tingkat

pendidikan, dan status pernikahan, kemudian faktor medis meliputi lama menderita

dan komplikasi, dan faktor psikososial meliputi efikasi diri dan dukungan sosial.

Namun Menurut Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), faktor penting yang

mempengaruhi kualitas hidup adalah efikasi diri.

Efikasi diri adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur

dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai

yang diharapkan. Pada lansia penderita DM tipe 2, berfokus pada keyakinannya untuk

mampu melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan

meningkatkan manajemen diri diabetes yang bertujuan untuk mengontrol kadar


36

glukosa darah secara optimal, mengurangi risiko komplikasi dan meningkatkan

kualitas hidup (Hunt, et al., 2011). Adanya efikasi diri yang baik dalam melakukan

pengelolaan DM akan berpengaruh terhadap kualitas hidup yang baik disertai dengan

kadar glukosa darah terkontrol, tetapi sebaliknya efikasi diri yang kurang baik dalam

melakukan pengelolaan DM akan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya yang

kurang baik disertai dengan kadar glukosa darah tidak terkontrol secara optimal

sehingga terjadi hiperglikemia yang akan berisiko terjadi komplikasi apabila tidak

dikelola dengan baik dalam waktu lama.

Secara garis besarnya alur penelitian ini dapat dilihat bagan tersebut di bawah

ini:
37

Bagan 2.1
Kerangka Pemikiran
Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup pada Lansia Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2019

Faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas
hidup:
1) Faktor Demografi
a) Umur
b) Jenis Kelamin
c) Status Pendidikan
d) Status Pernikahan
2) Faktor Medis
a) Lama menderita
b) Komplikasi
Kualitas hidup:
3) Faktor Psikososial
1) Kesehatan fisik
a) Dukungan sosial
2) Kesejahteraan Baik
b) Efikasi Diri psikologis
3) Hubungan sosial
4) Manajemen Diri Kurang baik
4) Hubungan dengan
Diabetes
lingkungan

: Diteliti

: Tidak diteliti

: Alur penelitian

(Diadopsi dari WHO (2004) dalam Lara & Atik (2016); diadopsi dan dimodifikasi dari Rubin & Peyrot
(1999) dalam Ratnawati (2016), Bandura (1995) dalam Bunga & Indra (2015), dan Hunt, et al., (2011))
38

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ha : Terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia

penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut

Tahun 2019.

Ho : Tidak terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada

lansia penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Siliwangi Kabupaten

Garut tahun 2019.


39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis rancangan penelitian deskriptif korelasional

yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan

antara dua variabel yang diteliti (Rahmat, 2013). Adapun desain penelitian

menggunakan pendekatan cross sectional, dimana data yang menyangkut variabel

independen dan dependen serta diukur atau dikumpulkan dalam satu waktu secara

bersamaan (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini akan mengidentifikasi

hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup pada lansia penderita DM Tipe 2

di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2019.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau

kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013). Variabel yang dikaji dalam

penelitian ini terdiri atas variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen

(variabel terikat). Adapun variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:


40

3.2.1 Variabel Independen

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini

adalah efikasi diri pada lansia penderita DM tipe 2.

3.2.2 Variabel Dependen

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena

adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas hidup

pada lansia penderita DM tipe 2.

3.3 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2012). Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada

tabel 3.1 sebagai berikut:

Tabel 3.1
Definisi Operasional
N Variabel Definisi Operasional Alat Cara Ukur Hasil Ukur Skala
o Ukur Ukur
1 2 3 4 5 6 7
1. Efikasi Keyakinan subjektif Kuesioner Mengisi 1) Baik, bila Ordinal
Diri lansia penderita DM tipe kuesioner skor ≥
2 atas kemampuannya dengan mean/
dalam mengatasi pernyataan median
permasalahan atau tugas, tertutup 2) Kurang
serta melakukan tindakan menggunakan baik bila
yang diperlukan untuk tiga pilihan skor <
mencapai tujuan yang jawaban Skala mean/
diinginkan Likert median
41

1 2 3 4 5 6 7
2. Kualitas Persepsi lansia penderita Kuesioner Mengisi 1) Baik bila Ordinal
Hidup DM tipe 2 dalam kuesioner skor ≥
menjalani kehidupan dengan mean/
berdasarkan dimensi pertanyaan median
kesehatan fisik, tertutup 2) Kurang
psikologis, hubungan menggunakan baik bila
sosial, dan hubungan lima pilihan skor <
dengan lingkungan. jawaban Skala mean/
Likert median

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

(Sugiyono, 2013). Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia penderita DM tipe

2 yang berkunjung ke Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut tahun 2018 yang

tercatat sebanyak 450 lansia dengan rata-rata kunjungan perbulan sebanyak 38

kunjungan.

3.4.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2013). Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah

sebagian dari populasi lansia penderita DM tipe 2 yang berkunjung ke Puskesmas

Siliwangi Kabupaten Garut Tahun 2018. Adapun besar sampel dalam penelitian ini

menggunakan rumus Lameshow et al., (1990) dalam Notoatmodjo (2012), sebagai

berikut:
42

Z 21−α / 2 x P(1−P)
n=
d2

Keterangan:

n = Besar sampel

Z1-α/2 = Standar deviasi normal, biasanya (95%= 1,96)

P = Proporsi prevalensi

d = Derajat kesalahan yang masih dapat diterima (0,1)

Peneliti mendapat bahwa prevalensi pada lansia penderita DM tipe 2 di

Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut tahun 2018 adalah 26% maka nilai P=0,26

sehingga perhitungan sampel adalah:

1,96 2 x 0,26(1−0,26)
n=
0,12

0,73
n=
0,01

n=73

Jadi jumlah sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah 73 lansia

penderita DM tipe 2.

Dalam penelitian ini, sampel yang diambil yaitu yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Sedangkan kriteria

eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel.
43

Subjek penelitian yang digunakan adalah subjek yang memenuhi kriteria sebagai

berikut:

1) Kriteria Inklusi

a) Lansia berumur < 75 tahun menurut WHO

b) Tingkat pendidikan menengah kebawah (<SLTA/Sederajat)

c) Lama menderita ≤ 5 tahun

d) Dapat membaca, berkomunikasi dan mengerti bahasa Indonesia

e) Bersedia menjadi responden

2) Kriteria Eksklusi

a) Lansia yang tidak memiliki pasangan

b) Lansia yang memiliki komplikasi

c) Tidak bersedia menjadi responden

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non random sampling dengan

metode accidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan

mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan

konteks penelitian (Notoatmodjo, 2012). Pengambilan responden pada penelitian ini,

yaitu pada lansia yang pertamakali datang ke Puskesmas Siliwangi dan memenuhi

kriteria inklusi, maka dijadikan sebagai responden pertama dan berlaku berurutan

untuk responden selanjutnya.


44

3.5 Teknik Pengumpulan Data Penelitian

3.5.1 Sumber Data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan

sekunder, untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

1) Data Primer

Data primer pada penelitian ini diperolah dengan melakukan wawancara

kepada responden menggunakan kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti.

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberi seperangkat pertanyaan/pernyataan tertulis kepada responden untuk

dijawab (Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini digunakan kuesioner tertutup,

yaitu kuesioner yang sudah disediakan jawaban sehingga responden tinggal

memilih jawabannya.

2) Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari data yang ada di Dinas

Kesehatan Kabupaten Garut dan data dari Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut

tahun 2018 serta literature buku dan jurnal.

3.5.2 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner

tertutup. Adapun instrumen yang digunakan dari penelitian ini yaitu:


45

1) Efikasi Diri

Kuesioner efikasi diri diadopsi dari The Diabetes Management Self-Efficacy

Scale (DMSES) UK dari penelitian Sturt, et al., (2010) yang telah diterjemahkan

dan pernah digunakan di Indonesia oleh Isomonah (2008) dalam Ariani (2011).

DMSES didesain untuk mengukur efikasi diri pasien DM tipe 2, berupa

pernyataan positif yang terdiri dari 15 item pernyataan meliputi pemeriksaan gula

darah (3 item), diet (7 item), olah raga dan perawatan umum (3 item), serta terapi

pengobatan (2 item). Adapun pilihan jawaban menggunakan Skala Likert dengan

tiga pilihan jawaban yaitu mampu melakukan (3 poin), kadang mampu

melakukan atau kadang tidak mampu (2 poin) dan tidak mampu melakukan (1

poin). Hasil dari jawaban dikategorikan menjadi dua, yaitu efikasi diri baik dan

efikasi diri kurang baik.

2) Kualitas Hidup

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari WHOQOL-

BREF yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr Ratna

Mardiati, Satya Joewana, Dr Hartati Kurniadi, Isfandari, dan Riza Sarasvita

(WHO, 2014). Instrumen WHOQOL-BREF ini terdiri dari 26 item pertanyaan

meliputi kesehatan umum (2 item), kesehatan fisik (7 item), kesejahteraan

psikologis (6 item), hubungan sosial (3 item), dan hubungan dengan lingkungan

(8 item). Selain itu, pertanyaan pada instrumen ini dibagi menjadi pertanyaan

positif (pertanyaan nomor 1, 2, dan 5-25) dan negatif (pertanyaan nomor 3, 4,

dan 26). Semua pertanyaan berdasarkan pada Skala Likert dengan lima pilihan
46

jawaban dengan hasil jawaban kualitas hidup baik dan kualitas hidup kurang

baik. Adapun respon jawaban pengukuran kualitas hidup seperti tampak pada

tabel 3.2 dibawah ini:

Tabel 3.2
Respon Jawaban Pengukuran Kualitas Hidup
Pertanyaa Jenis Jawaban Penilaian
n
1, 15 Sangat Buruk, Buruk, Biasa – Biasa saja, Baik, Sangat 1-2-3-4-5
Baik
2, 16-25 Sangat Tidak Memuaskan, Tidak Memuaskan, Biasa – 1-2-3-4-5
Biasa saja, Memuaskan, Sangat Memuaskan
3-4 Tidak Sama Sekali, Sedikit, Sedang, Sering, Sangat Sering 5-4-3-2-1
5-14 Tidak Sama Sekali, Sedikit, Sedang, Sering, Sangat Sering 1-2-3-4-5
26 Tidak Pernah, Jarang, Cukup Sering, Sangat Sering, Selalu 5-4-3-2-1
Sumber: Miarsih (2015)

3.5.3 Tahapan Pengumpulan Data

Tahapan pengumpulan data dimulai dari peneliti mencari calon responden

yang telah ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, jika telah sesuai maka

peneliti melakukan pendekatan kepada calon responden dan memberikan penjelasan

mengenai maksud penelitian ini. Bila calon responden setuju menjadi responden

maka peneliti meminta kesediaan calon responden untuk menandatangani lembar

kesediaan menjadi responden (informed concent).

Selanjutnya, peneliti memberikan kuesioner kepada responden dan meminta

responden untuk mengisi mulai dari data demografi, kuesioner efikasi diri dan

kuesioner kualitas hidup. Selama pengisian kuesioner, peneliti mendampingi


47

responden untuk memberikan tambahan informasi bila ada hal yang belum jelas.

Setelah kuesioner selesai diisi, kemudian kuesioner tersebut dikumpulkan dan

diperiksa kembali oleh peneliti untuk melihat kemungkinan bila ada kekurangan

dalam pengisian atau ada jawaban yang tidak jelas. Setelah data selesai diperika dan

tidak ada kekurangan, selanjutnya data diolah dan dianalisis oleh peneliti

menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 20.0 for

windows.

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1) Efikasi Diri

Untuk instrumen efikasi diri tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas

karena sudah merupakan kuesioner baku. Berdasarkan penelitian Isomonah

(2008) dalam Ariani (2011), terkait kuesioner DMSES UK memiliki nilai

validitas (rhitung=0,34-0,71) dan nilai reliabilitas (r=0,904) (Ariani, 2011).

2) Kualitas Hidup

Untuk instrumen kualitas hidup tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas

karena sudah merupakan kuesioner baku. Berdasarkan penelitian Sekarwiri

(2008) dalam Miarsih (2015), terkait kuesioner WHOQOL-BREF memiliki nilai

validitas (rhitung=0,89-0,95) dan reliabilitas (r=0,66-0,87).

3.7 Rancangan Pengolahan dan Analisis Hasil Data Penelitian

3.7.1 Pengolahan Data


48

Menurut Notoatmodjo (2012), data yang dikumpulkan dapat diolah

menggunakan program komputer setelah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1) Editing

Peneliti melakukan editing untuk memastikan bahwa data yang diperoleh adalah

bersih, yaitu data tersebut telah direvisi, relevan, dan dapat dibaca dengan baik.

Hal ini dilakukan dengan meneliti tiap lembar kuesioner pada waktu penerimaan

dan pengumpulan data. Apabila terdapat kejanggalan dalam formulir kuesioner,

maka dikembalikan kepada responden untuk dilengkapi atau diperbaiki kembali.

2) Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng”kodean” atau “coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan. Hal ini untuk mempermudah peneliti dalam

menentukan analisis dan pemasukan data. Adapun pengkodean data dalam

penelitian ini seperti tampak pada tabel 3.3 dibawah ini:

Tabel 3.3
Pengkodean Data Kategori
No Kategori Hasil Ukur Kode
1. Demografi:
1) Umur 1) 45-59 2
2) 60-74 1

2) Jenis Kelamin 1) Laki-laki 2


2) Perempuan 1

3) Tingkat Pendidikan 1) SMA 4


2) SMP 3
3) SD 2
4) Tidak Sekolah 1
49

5) Lama Menderita 1) 5 Tahun 5


2) 4 Tahun 4
3) 3 Tahun 3
4) 2 Tahun 2
5) 1 Tahun 1

2. Efikasi Diri 1) Baik 2


2) Kurang Baik 1

3. Kualitas Hidup 1) Baik 2


2) Kurang Baik 1
3) Data Entry

Peneliti akan memasukkan data (data entry), yakni jawaban-jawaban dari

masing-masing responden dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) yang

kemudian dimasukkan ke dalam program SPSS versi 20.0 for windows.

4) Analyzing

Peneliti melakukan analyzing data yaitu kegiatan membuat dan merancang

struktur data dengan memproses data kedalam perangkat lunak agar data bisa

dianalisa lebih lanjut sesuai dengan tujuan yang telah dibuat oleh peneliti.

5) Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan,

kemudian peneliti melakukan pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi untuk memastikan bahwa data

benar-benar sesuai.

3.7.2 Analisis Data


50

Rancangan analisis hasil data merupakan bagian yang sangat penting untuk

mencapai tujuan, dimana tujuan pokok penelitian adalah menjawab pertanyaan-

pertanyaan peneliti dalam mengungkap fenomena (Nursalam, 2013). Adapun analisis

data yang akan dilakukan sebagai berikut:

3.7.2.1 Analisa Univariat

Analisa ini dilakukan untuk mendeskripsikan variabel dan sub-variabel dari

hasil penelitian yang menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini, variabel yang dideskripsikan melalui

analisa univariat adalah variabel bebas yaitu efikasi diri dan variabel terikat yaitu

kualitas hidup yang akan dianalisa menggunakan program SPSS versi 20.0 for

windows.

1) Efikasi Diri

Pengukuran data pada analisa efikasi diri menggunakan pemusatan data

mean/median. Penggunaan mean apabila data berdistribusi normal dan

penggunaan median apabila data berdistribusi tidak normal. Adapun kriteria hasil

ukur dari penelitian ini dikategorikan sebagai berikut:

a) Baik : Jika didapatkan hasil skor ≥ Mean/ Median

b) Kurang baik : Jika didapatkan hasil skor < Mean/ Median

2) Kualitas Hidup

Pengukuran data pada analisa kualitas hidup menggunakan pemusatan data

mean/median. Penggunaan mean apabila data berdistribusi normal dan


51

penggunaan median apabila data berdistribusi tidak normal. Adapun kriteria hasil

ukur dari penelitian ini dikategorikan sebagai berikut:

a) Baik : Jika didapatkan hasil skor ≥ Mean/ Median

b) Kurang baik : Jika didapatkan hasil skor < Mean/ Median

Kriteria penilaian untuk efikasi diri dan kualitas hidup dilakukan dengan

menjumlahkan seluruh skor yang diberikan oleh responden. Kemudian masing-

masing kategori dibuat persentase dengan menggunakan rumus distribusi proporsi

sebagai berikut:

f
P= x 100 %
n
Keterangan:

P = Persentase

f = Jumlah kategori tiap variabel

n = Jumlah responden

Data yang telah diprosentasikan sesuai rumus diatas, kemudian

diinterpretasikan menggunakan skala sebagai berikut:

1) 0% : Tidak seorang pun responden

2) 1 - 25% : Sebagian kecil responden

3) 26 - 49% : Hampir setengahnya responden

4) 50% : Setengahnya responden

5) 51 – 75% : Sebagian besar responden

6) 76 – 99% : Hampir seluruh responden


52

7) 100% : Seluruh responden (Arikunto, 2010)

3.7.2.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan dua variabel, yaitu

variabel dependen dan variabel independen. Uji statistik yang dilakukan dalam

analisa bivariat yaitu uji Chi-square (x2) karena skala ukur kedua variabel adalah

ordinal, maka uji hipotesis yang digunakan menggunakan rumus:

(fo−fh)2
X 2 =∑
fh

Keterangan:

X2 : Chi-square

fo : Frekuensi observasi

fh : Frekuensi harapan (Arikunto, 2010)

Hasil uji chi-square dapat menjelaskan hubungan dua variabel dimana

masing-masing terdiri dari beberapa golongan atau kategori dengan nilai kemaknaan

5% (p=0,05) dan derajat kepercayaan 95% dengan ketentuan:

a) Jika P≤0,05 maka Ha gagal ditolak, artinya menunjukkan hasil signifikan atau

terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup.

b) Jika P>0,05 maka Ho diterima, artinya menunjukkan hasil tidak signifikan atau

tidak terdapat hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup.

3.8 Langkah-langkah Penelitian


53

3.8.1 Tahap Persiapan

1) Memilih lokasi penelitian

2) Meminta izin ketempat penelitian dan melakukan studi pendahuluan

3) Menetapkan masalah

4) Melakukan studi kepustakaan

5) Mengajukan proposal penelitian dan bimbingan

6) Seminar proposal penelitian

7) Perbaikan proposal

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

1) Melakukan pengumpulan data

2) Pengecekan kelengkapan data

3) Mengolah dan menganalisa data

4) Pembahasan hasil dan penarikan kesimpulan

3.8.3 Tahap Akhir

1) Penyusunan laporan penelitian

2) Sidang skripsi

3.9 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut dan

pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2019.


54

DAFTAR PUSTAKA

Al-kahfi, Rina. 2016. Pengaruh Efikasi Diri dan Dukungan Keluarga terhadap
Pencegahan Kaki Diabetik pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Melitus Tipe 2 di
RSUD Dr. H, Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Dinamika Kesehatan, Vol. 7
No.2
Ariani, Yusra. 2011. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2
dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD. H. Adam Malik Medan. Tesis.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Bunga, Beatriks & Indra Yohanes. 2015. Efikasi Diri dan Pengukurannya pada Usia
Lanjut. Melalui<https://www.researchgate.net/publication/324007016>
[18/01/2019]
Dinkes Provinsi Jawa Barat. 2017. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
Tahun 2017. Jawa Barat: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat
55

Dinkes Kabupaten Garut. 2018. Laporan Data Kesakitan Lansia Tahun 2018.
Kabupaten Garut: Dinas Kesehatan Kabupaten Garut
Gunardi, Saiful & Catur. 2018. Pengaruh Empat Variabel terhadap Kualitas Hidup
Lansia Penderita Diabetes Melitus tipe II. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan
Indonesia, Vol. 8 No. 3
Hunt, Caralise W, et al. 2011. Relationship Among Self-efficacy, Social Support,
Social Problem-solving, and Self-management Behaviors of People Living with
Type 2 Diabetes in Rural Alabama. Melalui<https://www.researchgate.net
/publication/ 230712511>[18/01/2019]
Hutabarat. 2018. Hubungan Komplikasi Diabetes Melitus dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 2 No. 2
Kemenkes RI. 2018. Hasil Utama Riskesdas Tahun 2018.
Melalui<http://www.depkes.
go.id/resources/download/infoterkini/hasilriskesdas-2018.pdf> [17/12/2018]
Kusuma, Henni. 2013. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Persadia Salatiga. Jurnal Keperawatan Medikal
Bedah, Vol. 1 No. 2: 132-141
Laili, Nurul. 2017. Hubungan Diabetes Self-management dengan Kualitas Hidup
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RS. Amelia Pare Kediri. Melalui<
https://www.researchgate.net/publication/323284340>[20/01/2019]
Lara, Aviana & Atik Choirul H. 2016. Hubungan Pendidikan, Kebiasaan Olahraga,
dan Pola Makan dengan Kualitas Hidup Lansia di Puskesmas Wonokromo
Surabaya. Jurnal Promkes, Vol. 4 No. 1
Maryam, R. Siti. 2012. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika
Miarsih, Isra. 2015. Gambaran Kualitas Hidup Wanita Lanjut Usia yang Mengikuti
Senam Gerak Latih Otak di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi Bandung.
Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Mulyani, Nunung Sri. 2016. Hubungan Self-management Pasien Diabetes Melitus
Tipe II dengan Kadar Gula Darah di Rumah Sakit Kota Banda Aceh. SEL
Jurnal Penelitian Kesehatan, Vol.3 No. 2: 56-63
56

Ngurah, I Gusti Ketut. 2014. Efikasi Diri pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2.
Melalui<http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA
%20KEPERAWATAN/DESEMBER%202014/>[20/01/2019]
Ningrum, dkk. 2017. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia
(Studi Kasus: Kelurahan Sukamiskin Bandung). Junral Keperawatan BSI, Vol.
5 No. 2
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Kedua Edisi
Revisi. Jakarta: Rineke Cipta
Perkeni. 2012. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Semarang: PB Perkeni
Purwanti, Lina Ema. 2014. Hubungan Motivasi dengan Kualitas Hidup Pasien DM
Tipe 2 dalam Melakukan Perawatan Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas
Ponorogo Utara. GASTER
Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut. 2018. Laporan Lanjut Usia Tahun 2018.
Kabupaten Garut: Puskesmas Siliwangi Kabupaten Garut
Price & Sylvia Anderson. 2015. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Rahman, Handono. 2017. Efikasi Diri, Kepatuhan, dan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 (Self-efficacy, Adherence, and Quality of Life of
Patients with Type 2 Diabetes). E-jurnal Pustaka Kesehatan, Vol. 5 No. 1
Rahmat. 2013. Statistika Penelitian. Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia
Ramadhani, Dwi Yuniar. 2016. Karakteristik, Dukungan Keluarga dan Efikasi Diri
pada Lanjut Usia Diabetes Melitus Tipe 2 di Kelurahan Padangsari, Semarang.
Jurnal Ners LENTERA, Vol. 4 No. 2
Ratnawati, Novia. 2016. Hubungan Efikasi Diri terhadap Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Melalui <
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/6419/>[20/01/2019]
Raudatussalamah & Fitri. 2012. Psikologi Kesehatan. Pekanbaru: AL-Mujtahadah
Press
Rohmah, dkk. 2012. Kualitas Hidup Lansia. Jurnal Keperawaran, Vol. 3 No. 2
57

Sari, Yamin, & Santoso. 2018. Hubungan Self-management dan Self-efficacy pada
Pasien Diabetes Melitus di Kota Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, Vol. 6 No.
1, ISSN 2338-7246 e-ISSN 2528-2239
Siwiutami, Fitria. 2017. Gambaran Kualitas Hidup pada Penyandang Diabetes
Melitus di Wilayah Puskesmas Purwosari Surakarta.
Melalui<http://eprints.ums.ac.id /57246/>[18/02/2019]
Suardana, I Ketut. 2015. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kualitas
Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Puskesmas IV Denpasar Selatan.
Jurnal Skala Husada, Vol 12 No. 1
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Edisi 4.
Bandung: CV Alfabeta
Sutikno, Ekawati. 2011. Hubungan Fungsi Keluarga dengan Kualitas Hidup Lansia.
Tesis. Melalui<https://eprints.uns.ac.id/8489/1/193181011201112361.pdf>
[01/03/2019]
Sturt, Jackie, et al. 2010. Validity and Reliability of The DMSES UK: A Measure of
Self-efficacy for Type 2 Diabetes Self-management. Melalui<
http://wrap.warwick.ac.uk/3292/1/WRAP_Sturt_Reliability_and_validity.pdf>[
18/03/2019]
Trisnawati, Shara Kurnia, & Soedijono. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2013. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1)
Wahyuni, Yuli. 2014. Kualitas Hidup berdasarkan Karakteristik Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Jurnal Keperawatan Padjajaran, Vol. 2 No. 1
Widodo, Hariadi, dkk. 2016. Hubungan Interaksi Sosial dengan Kualitas Hidup pada
Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Dinamika
Kesehatan, Vol. 7 No. 1
Yusra, A. 2011. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta. Tesis, Melalui<http://lib.ui.ac.id/file?file=digital?
20280162T%20Aini%20Yusra.pdf>[18/02/2019]
Zainuddin, Mhd. 2015. Hubungan Stres dengan Kualitas Hidup Penderita Diabetes
Melitus tipe 2. Jurnal Online Mahasiswa, Vol. 2 No. 1
58

WHO. 2014. The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF.


Edisi terjemahan Bahasa Indonesia oleh Dr Ratna Mardianti, Sata Joewana,
Hartati Koesnadi, Insfandari, dan Riza Sarasvita.
Melalui<https://www.who.int/substance_abuse/research_tools/en/indonesian_w
hoqol.pdf>[15/03/2019]
WHO. 2004. The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-BREF.
Edisi Bahasa Inggris. Melalui<https://www.who.int/substance_abuse/ rese
arch_tools/en/english_whoqol.pdf>[16/03/2019]
Wijaya, Andra S & Yessie Mariza P. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Nusa Medika

Anda mungkin juga menyukai