Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

“HIV PADA ANAK DAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV


DARI IBU KE ANAK”

Pembimbing :
dr. Desiana, Sp.A

Disusun Oleh :
Dini Maulidina (2014730020)

KEPANITERAAN KLINIK PEDIATRI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat, rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan tugas referat “HIV PADA ANAK DAN PENCEGAHAN
PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK” ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak yang membaca referat ini, agar penulis dapat mengkoreksi diri dan dapat
membuat referat yang lebih baik di lain kesempatan.
Demikianlah referat ini dibuat sebagi pemenuhan tugas dari kegiatan klinis stase
Pediatri/IKA (Ilmu Kesehatan Anak di RSIJ Cempaka Putih serta untuk menambah
pengetahuan bagi penulis dan khususnya bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 26 Juni 2018

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Human Immunodeficiency virus (HIV) adalah virus berjenis RNA yang menyerang sel
yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia sehingga mengakibatkan
kekebalan tubuh menurun. Sementara itu, Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
adalah kumpulan gejala dan infeksi pada manusia akibat dari gangguan spesifik terhadap
sistem imunitas/defisiensi imunitas seluler disebabkan infeksi HIV dengan kata lain AIDS
merupakan stadium lanjut dari infeksi HIV yang ditandai oleh kumpulan gejala klinis berat
berupa berbagai infeksi oportunistis. Anak yang terinfeksi HIV belum tentu menderita
AIDS. Anak terinfeksi HIV yang mendapatkan pengobatan teratur sejak dini dapat
bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Di seluruh dunia, tingkat infeksi HIV terus meningkat sekitar 1.000 anak yang baru
terinfeksi HIV setiap hari pada tahun 2009, sebagian besar berasal dari negara terbatas
sumber daya.(Nelson) Selain itu, karena sebagian besar ibu yang terinfeksi HIV meninggal
karena AIDS, 13 juta anak menjadi yatim piatu dan sekitar 19 juta akan mengalaminya
pada tahun 2010.
Infeksi HIV pada anak-anak berkembang lebih cepat daripada orang dewasa, dan hingga
setengah dari anak-anak yang tidak diobati meninggal dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Perkembangan cepat ini berkorelasi dengan load virus yang lebih tinggi dan penipisan lebih
cepat dari limfosit CD4 yang terinfeksi pada bayi dan anak-anak daripada orang dewasa.
Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menujukkan bahwa sekitar 3 persen
dari penderita HIV-AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 3 persen dari penderita
HIV-AIDS di Indonesia adalah anak-anak berusia dibawah 14 tahun.
Maka dari itu, tes diagnostik yang akurat dan ketersediaan obat ampuh untuk menghambat
replikasi HIV secara dramatis telah meningkatkan kemampuan untuk mencegah dan
mengendalikan penyakit yang merusak ini.

1.2.Tujuan
Mengenali dan memahami penyakit HIV-AIDS dari definisi, etiologi, cara penularannya,
epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnostik, pedoman penerapan terapi HIV
pada anak, dan PMTCT agar meningkatkan kemampuan untuk mencegah dan
mengendalikan penyakit yang merusak ini.

3
BAB II
ISI

2.1.Etiologi
Ada 2 tipe penyebab HIV-AIDS yaitu HIV-1 dan HIV-2. Keduanya termasuk famili
Retroviridae dan termasuk dalam genus Lentivirus, yang termasuk virus sitopatik yang
menyebabkan beragam penyakit pada beberapa spesies hewan. Genom HIV-1 mengandung
2 salinan RNA untai tunggal yang berukuran 9.2 kb. HIV-1 merupakan penyebab utama
AIDS yang merupakan bentuk virus yang paling virulen, prevalensinya lebih banyak dan
bermutasi lebih cepat. HIV-2 menyebabkan penyakit serupa dengan HIV-1.
Patogenesisnya lebih rendah dibandingkan dengan HIV-1. (Mandal at,al).

Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelov yang terdiri dari glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari
protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti
terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase.
Bagian envelope yang teridiri atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting
pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor
spesifik CD4 dari sel host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
membrane selubung yang mengandung protein.
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah Salinan Deoxyribo
Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA tersebut ang
memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapat

4
bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang
digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara
lain: reserve transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk
kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus.
Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS.
Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai
dengan adanya penurunan drastic sel T dari darah tepi.

2.2.Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2009, 2,5 juta
anak di seluruh dunia hidup dengan infeksi HIV-1, 90% dari mereka berasal dari Afrika
Sub-Sahara. Sementara antara 2004 dan 2009 jumlah anak global yang lahir dengan HIV
menurun 24% dan kematian akibat penyakit terkait AIDS di antara anak-anak usia <15
tahun menurun sebesar 19%, masih 370.000 anak (<15 thn) baru terinfeksi HIV di 2009
saja. Di seluruh dunia, 50% orang yang terinfeksi HIV adalah perempuan, sebagian besar
yang terinfeksi melalui kontak heteroseksual di tahun-tahun masa subur mereka.
Sepanjang 2009, diperkirakan 16,6 juta anak menjadi yatim piatu karena AIDS, yang
didefinisikan sebagai memiliki satu atau kedua orang tua meninggal karena AIDS.
Di Indonesia terdapat penurunan jumlah penyakit HIV sebanyak 25% dari tahun 2016
sampai Maret 2017. Dari 41.250 HIV pada tahun 2016 menjadi 10.376 HIV. Dan terdapat
penurunan sebesar 8,9% penyakit AIDS dari 7.185 AIDS tahun 2016 menjadi 678 AIDS.

5
Jika dilihat dari kelompok umur dari tahun 2010 hingga 2017 terdapat penurunan yang
tidak signifikan, lebih pada stabil. Dengan kelompok usia untuk anak-anak (4 tahun, 5-
14 tahun, dan 15-19 tahun)

2.3. Transmisi
Penularan HIV-1 terjadi melalui kontak seksual, paparan parenteral terhadap darah, atau
transmisi vertikal dari ibu ke anak. Rute utama infeksi pada populasi pediatrik adalah
transmisi vertikal, terhitung untuk hampir semua kasus baru. Tingkat penularan HIV dari
ibu ke anak bervariasi di berbagai bagian. Pengobatan perinatal pada ibu terinfeksi HIV
dengan obat antiretroviral telah secara dramatis menurunkan angka ini menjadi <2% pada
wanita hamil dengan terapi yang efektif.
Penularan HIV secara vertikal (risiko bayi tertular dari ibu HIV) dapat terjadi sebelum
melahirkan (intrauterine) (5-10%), selama melahirkan (intrapartum) (10-20%), atau
setelah melahirkan (melalui menyusui) (5-20%). Penularan intrauterine telah disarankan
untuk identifikasi HIV dengan kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) di jaringan
janin sedini 10 minggu. Secara umum diterima bahwa 30-40% bayi baru lahir terinfeksi
dalam rahim, karena persentase bayi ini memiliki bukti laboratorium infeksi (kultur viral
positif atau PCR) dalam minggu pertama kehidupan.
Presentase tertinggi anak terinfeksi HIV yaitu selama melahirkan (10-20%). Dibuktikan
oleh fakta bahwa 60-70% bayi yang terinfeksi tidak menunjukkan virus yang dapat
dideteksi sampai setelah 1 minggu usia. Mekanisme penularan tampaknya dari paparan
darah yang terinfeksi dan sekresi servikovaginal di jalan lahir, di mana HIV ditemukan
dalam titer tinggi selama kehamilan.

6
Risiko penularan melalui menyusui pada wanita yang terinfeksi kronis adalah sekitar 9-
16% tetapi 29-53% pada wanita yang mendapatkan HIV postnatal, menunjukkan bahwa
viremia yang dialami ibu selama infeksi primer setidaknya tiga kali lipat risiko penularan.
Maka dari itu, bagi wanita untuk mengganti susu formula bayi untuk ASI jika mereka
diketahui terinfeksi HIV atau berisiko untuk paparan seksual atau parenteral yang terus-
menerus terhadap HIV. Namun, WHO merekomendasikan bahwa di negara-negara
berkembang di mana penyakit lain (diare, pneumonia, malnutrisi) secara substansial
berkontribusi terhadap angka kematian bayi yang tinggi, manfaat pemberian ASI lebih
besar daripada risiko penularan HIV, dan perempuan yang terinfeksi HIV di negara
berkembang harus menyusui bayi mereka setidaknya selama 6 bulan pertama kehidupan.
Beberapa faktor risiko memengaruhi tingkat penularan vertikal: kelahiran prematur (usia
kehamilan <34 minggu), jumlah CD4 antenatal ibu yang rendah, dan penggunaan obat-
obatan rekreasional selama kehamilan. Dalam populasi pediatrik, transmisi seksual jarang
terjadi, tetapi sejumlah kecil kasus yang disebabkan oleh pelecehan seksual telah
dilaporkan. Kontak seksual adalah rute penularan utama pada populasi remaja, terhitung
untuk sebagian besar kasus.

2.4. Patogenesis
Siklus hidup HIV berawal dari virus HIV yang bebas lalu mengikatkan diri pada sel dan
menembus sel dan mengosongkan isinya dalam sel yang disebut dengan menginfeksikan
sel dalam tubuh manusia. Faktor tambahan (co-receptor) diperlukan untuk fusi HIV dan
masuk ke dalam sel. Faktor-faktor ini termasuk kemokin CXCR4 (fusi) dan CCR5. Lalu
kode genetic HIV (RNA) diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. Enzim
ini berada dalam sel. DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi oleh enzim
Integrase. Ketika sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan, dan
membuat bahan baku untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel
yang terinfeksi dengan proses yang disebut budding (tonjolan) dimana virus yang belum
matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi. Virus baru menjadi matang: bahan baku
dipotong oleh enzim protease dan dirakit menjadi virus yang siap bekerja.

7
Infeksi HIV memengaruhi sebagian besar sistem kekebalan dan mengganggu homeostasis.
Dalam kebanyakan kasus, infeksi awal disebabkan oleh sejumlah kecil virus tunggal. Oleh
karena itu, penyakit dapat dicegah dengan obat atau vaksin profilaksis. Ketika mukosa
berfungsi sebagai pintu masuk untuk HIV, sel-sel pertama yang terpengaruh adalah sel
dendritik. Sel-sel ini mengumpulkan dan memproses antigen yang diperkenalkan dari
perifer dan mengangkutnya ke jaringan limfoid. HIV tidak menginfeksi sel dendritik tetapi
mengikat ke molekul permukaan DC-SIGN, memungkinkan virus bertahan sampai
mencapai jaringan limfatik. Dalam jaringan limfatik (misalnya, lamina propria, kelenjar
getah bening), virus secara selektif berikatan dengan sel yang mengekspresikan molekul
CD4 di permukaannya, terutama limfosit T pembantu (sel T CD4 +) dan sel-sel garis
keturunan monosit-makrofag. Biasanya, CD4 + limfosit bermigrasi ke jaringan limfatik
sebagai respons terhadap antigen virus dan kemudian menjadi aktif dan berkembang biak,
membuat mereka sangat rentan terhadap infeksi HIV. Migrasi dan penumpukan sel CD4
yang didorong oleh gen ini di dalam jaringan limfoid disebut dengan fase kedua atau fase
laten dapat berkontribusi pada karakteristik limfadenopati umum dari sindrom retroviral
akut pada orang dewasa dan remaja.
Ketika replikasi HIV mencapai ambang (biasanya dalam 3-6 minggu dari saat infeksi),
ledakan viremia plasma terjadi. Viremia yang intens ini menyebabkan gejala seperti flu
atau mono-nucleosis (demam, ruam, limfadenopati, artralgia) pada 50-70% orang dewasa

8
yang terinfeksi. Dengan pembentukan respon imun seluler dan humoral dalam 2-4 bulan,
viral load dalam darah menurun secara substansial, dan pasien memasuki fase ditandai
dengan kurangnya gejala dan kembalinya sel CD4 ke tingkat yang hanya sedikit menurun.
Replikasi HIV-1 pada anak-anak tidak memiliki manifestasi klinis yang jelas. Apakah diuji
oleh isolasi virus atau PCR untuk urutan asam nukleat asam, kurang dari 40% bayi yang
terinfeksi HIV menunjukkan bukti adanya virus saat lahir. Beban virus meningkat hingga
1-4 bulan, dan hampir semua bayi terinfeksi HIV memiliki HIV-1 yang terdeteksi dalam
darah perifer pada usia 4 bulan.
Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi HIV yang asimptomatik
atau pasien yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala atau symptom untuk beberapa
tahun yang akan datang. Di fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian
besar sel T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T
dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin
menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah 90% dari
jumlah sel T diseluruh.
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan merangsang
produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya penyakit menjadi progresif
dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat destruksi sel T dalam jaringan
limfoid perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga dibawah
200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di bagian lain dalam tubuh
meningkat. Pasien menderita infeksi opportunistic, cachexia, keganasan dan degenerasi
susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th menyebabkan pasien peka terhadap berbagai
jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif terhadap virus onkogenik.

2.5. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi HIV sangat bervariasi di antara bayi, anak-anak, dan remaja.
Pada kebanyakan bayi, pemeriksaan fisik saat lahir adalah normal. Gejala awal mungkin
hampir tidak kentara, seperti limfadenopati dan hepatosplenomegali, atau nonspesies,
seperti kegagalan untuk berkembang, diare kronis atau berulang, gejala pernapasan, atau
sariawan, dan mungkin dapat dibedakan hanya dengan persisten mereka. Sedangkan
sistemik dan paru-paru yang umum di Amerika Serikat dan Eropa, diare kronis, wasting,
dan malnutrisi yang parah mendominasi di Afrika. Manifestasi klinis ditemukan lebih
sering pada anak-anak dibandingkan orang dewasa dengan infeksi HIV termasuk infeksi

9
bakteri berulang, pembengkakan parotis kronis, pneumonia interstitial limfositik (LIP),
dan onset awal kerusakan neurologis progresif.
Sistem klasifikasi HIV digunakan untuk mengkategorikan tahap penyakit pediatrik dengan
menggunakan 2 parameter: status klinis dan tingkat gangguan imunologi. Di antara
kategori klinis, kategori A (gejala ringan) termasuk anak-anak dengan setidaknya 2 gejala
ringan seperti limfadenopati, parotiitis, hepatomegali, splenomegali, dermatitis, dan
sinusitis berulang atau persisten atau otitis media (Tabel 268-2). Kategori B (gejala
sedang) termasuk anak-anak dengan LIP, sariawan orofaring menetap untuk > 2 bulan,
diare berulang atau kronis, demam berkelanjutan untuk > 1 bulan, hepatitis, stomatitis
berulang, HSV esophagitis, pneumonitis HSV, varicella diseminata ( yaitu, dengan
keterlibatan visceral), kardiomegali, atau nefropati (lihat Tabel 268-2). Kategori C (gejala
berat) termasuk anak-anak dengan infeksi oportunistik (mis. Esofagus atau kandidiasis
saluran pernapasan bawah, cryptosporidiosis (> 1 bulan), infeksi mikobakteri atau
cytomegalovirus disebarluaskan, pneumonia Pneumocystis, atau toksoplasmosis serebral
[onset> 1 bulan usia ]), infeksi bakteri berulang (sepsis, meningitis, pneumonia),
ensefalopati, keganasan, dan penurunan berat badan yang berat.

1. Kategori N (tanpa gejala)


Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat
suatu gejala kategori A.
2. Kategori A (gejala klinis ringan)
Terdapat dua atau lebih gejala berikut, tanpa gejala kategori B dan C
a. Limfadenopati ( 0.5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1 tempat)
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
d. Dermatitis
e. Parotitis
f. Infeksi saluran napas atas, atau otitis media berulang atau menetap.
3. Kategori B (gejala klinis sedang)
Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C
a. Anemia ( 8 gr/dL), neutropenia (< 1000/mm3), atau trombositopenia (<
100.000/mm3) menetap  30 hari.
b. Meningitis bakterialis, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal)

10
c. Kandidiasis orolaring menetap > 2 bulan pada anak usai > 6 bulan
d. Kardiomiopati
e. Infeksi sitomegalovirus dengan awitan usia < 1 bulan
f. Diare berulang atau kronik
g. Hepatitis
h. Stomatitis herpes simplek (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun)
i. Bronkhitis, pneumonitis, atau esophagitis HSV dengan awitan usia < 1tahun
j. Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau > 1 dermatom
k. Leiomiosarkoma
l. Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid paru
m. Nefropati
n. Nokardiosis
o. Demam > 1 bulan
p. Toksoplasmosis dengan awitan usia < 1 bulan
q. Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi)
4. Kategori C (gejala klinis berat)
Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis
interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B.

2.6. Diagnosis
A. Diagnosis Klinis (WHO)
Gambaran klinis infeksi HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV-
positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama
kehidupannya. Anak dengan HIV-positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau
dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa
tahun. Bayi dan anak memerlukan tes HIV bila:
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis
atau berulang, ditemukan trush (eritema pseudomembran putih di langit-langit
mulut, gusi, dan mukosa pipi) juga apabila meluas sampai di bagian belakang
kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esophagus, limfadenopati

11
generalisata,hepatomegaly tanpa penyebab.).

2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan perlakuan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/ anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi
HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orang tua meninggal oleh sebab yang
tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfuse berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual
Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/ wali yang memiliki
hak hokum atas anak tersebut (contoh nenek/,kakek/orang tua asuh, bila orang tua
kandung meninggal atau tidak ada.)
B. Diagnosis Infeksi HIV Pada Anak
A. Prinsip diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak
a. Uji virologis
- Digunakan untuk mendiagnosis klinik (biasanya setelah umur 6 minggu),
dan harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan
cara yang sama seperti uji serologis.
- Direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur <18 bulan

12
- Yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif mengggunakan darah plasma EDTA
atau Dried Blood Spoot (DBS), bila tidak tersedia HIV DNA dapat
digunakan HIV RNA kuantitatif (viral load) menggunakan plasma EDTA.
- Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan diperiksa dengan
waktu tercepat yang mampu laksana sesudahnya.
- Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif
maka terapi ARV harus segera dimulai. Pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua
b. Uji Serologis
- Harus menggunakan sensitivitas minimal 99% dan spesifisitas 98% dengan
penguasaan kualitas prosedur dan standarisasi kondisi laboratorium.
Umur <18 bulan: digunakan uji untuk menentukan ada tidaknya pajanan
HIV
Umur >18 bulan digunakan untuk uji diagnostik konfirmasi.
- Anak umur < 18 bulan terpajan HIV tampak sehat dan belum dilakukan uji
virologis, dianjurkan untuk dilakukan uji serologis pada umur 9 bulan.
- Anak < 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga disebabkan oleh infeksi
HIV harus menjalani, dan jika positif diikuti dengan uji virologis.
- Anak <18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan oleh infeksi HIV tetapi
uji virologis yang tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif
- Anak yang berumur >18 yang masih mendapat ASI, prosedur diagnostic
dilakukan tanpa perlu menghentikan pemberianASI
- Anak > 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana dilakukan pada orang
dewasa.
Agar pelaksana di lapangan tidak ragu, berikut ini skenario klinis dalam
memilih perangkat diagnosis yang tepat:

13
 Mulai kehamilan trisemester ketiga, antibody maternal ditransfer secara pasif
kepada janin, termasuk antibody terhadap HIV, yang dapat terdeteksi sampai anak
18 bulan. Oleh karena itu pada anak berumur < 18 bulan yang dilakukan uji antibodi
HIV dan menunjukkan hasil reaktif, tidak serta merta berarti anak tersebut terinfeksi
HIV.
 Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan
uji virologis HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya. Anak dengan
hasil uji virologi HIV positif pada usia berapapun, artinya terkena infeksi HIV.
 ASI dapat mengandung virus HIV bebas atau sel yang terinfeksi HIV. Konsekuensi
dan mendapat ASI adalah adanya risiko terpajan HIV, sehingga penetapan infeksi

14
HIV baru dapat dilaksanakan bila pemeriksaan dilakukan ATAU diulang setelah
ASI dihentikan > 6 minggu.

B. Bagan diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan pajanan HIV tidak diketahui

15
Catatan:
Idealnya dilakukan pengulangan uji virologi HIV pada spesimen yang berbeda untuk
konfirmasi hasil positif yang pertama. Pada keadaan yang terbatas, uji antibody HIV
dapat dilakukan setelah usia 18 bulan untuk konfirmasi infeksi HIV.

Bagan 2.1 Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak < 18 bulan idealnya dilakukan pengulangan uji
virologis HIV pada specimen yang berbeda untuk konfirmasi hasil positif yang pertama

C. Diagnosis presumtif HIV pada anak < 18 bulan


Bila anak < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium
untuk PCR HIV tidak tersedia, tenaga kesehatan diharapkan mampu menegakkan
diagnosis dengan cara DIAGNOSIS PRESUMATIF.

Minimal ada 2 gejala berikut:


Bila ada 1 kriteria beriku:
 Oral thrush
 PCP, meningitis
 Pneumonia berat
kriptokokus, ATAU  Sepsis berat
kandidiasis esophagus
 Kematian ibu yang
 Toksoplasmosis
berkaitan dengan HIV
 Malnutrisi berat yang
atau penyakit HIV yang
tidak membaik dengan
lanjut pada ibu
pengobatan standar.
 CD4+ <20%

D. Diagnosis HIV pada anak >18 bulan


Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada
orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat
tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah
dihentikan selama >6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi
utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI
sebelum dilakukan diagnosis HIV.

16
E. Profilaksis Kotrimoksazol (CTX)

Bagan 2.2 Pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
(bagian dari pencegahan penularan HIV dari ibu ke Anak/ PPIA)

Pasien dan keluarga harus diedukasi bahwa kotrimoksazol tidak mengobati atau
menyembuhkan infeksi HIV. Kotrimoksazol tidak menggantikan kebutuhan terapi
antiretroviral. Kotrimoksazol mencegah infeksi yang umum terjadi pada bayi yang
terpajan HIV dan anak imunokompromais, dengan tingkat mortalitas tinggi.
Meminum kotrimoksazol harus teratur.

17
Penghentian terapi profilaksis bila:
 Untuk bayi atau anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi (dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau antibody pada usia
sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah status ditetapkan (sesingkatnya
umur 6 bulan atau sampai umur 1 tahun)
 Untuk anak yang terinfeksi HIV:
- Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau diteruskan
seumur hidup tanpa penghentian
- Umur 1 sampai 5 tahun profilaksis diberikan seumur hidup.
- Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4 <350 sel,
maka dapat diteruskan seumur hidupatau dihentikan bila CD4 > 350 sel/ml
setelah minum ARV 6 bulan. Bila dimulai pada stadium 3 dan 4 maka
profilaksis dihentikan jika CD4> 200 sel/ml.

F. Kriteria Pemberian Antiretroviral Therapy (ART)


1. Penetapan Kriteria Klinis
Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian stadium
klinis menurut WHO. Penilaian stadium ini ditetapkan menurut kondisi klinis
paling berat yang pernah dialami.

18
19
2. Penetapan kelas imunodefisiensi
Kelas imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, terutama
nilai persentase pada anak umur < 5 tahun.

Keterangan:
- Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau
Penggantian obat.
- Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan
persentase CD4. Bila  5 tahun, nilai CD4 absolut dapat digunakan.
- Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1 tahun
sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun
atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi mortalitas,
karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4 yang tinggi.
3. Indikasi terapi ARV menggunakan kombinasi kriteria klinis dan imunologis
Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi untuk
mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin.

a. Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistik yang terdeteksi harus


didahulukan

20
b. Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan CD4 untuk memantau hasil pengobatan.
Catatan:
- Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4,
sehingga harus segera dimulai terapi ARV
- Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4
setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih
muda.
4. Rekomendasi ARV
A. Panduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI).

Tabel Penggolongan obat ARV yang direkomendasikan untuk anak di


fasilitas dengan sumber daya terbatas.

21
Tabel Kemungkinan rejimen pengobatan lini pertama untuk anak
B. Dosis obat ARV
ZDV (AZT) Pediatrik (rentang dosis 90 mg/180mg/m2 LPB)
(Zidovudine, Retrovir) Oral: 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 7-7mg/KgBB/1x

3TC Pediatrik 4 mg/KgBB, 2x sehari -> dosis terapi


(Lamivudine, Viracept) Adolesen BB < 50 Kg: 2 mg/KgBB 2x sehari
BB> 50 Kg: 2x150 mg/hari

NFV Pediatrik 20-30 mg/KgBB, dapat sampai 45


(Nevirapine) mg/KgBB, 3x sehari
Adolesen 2x1250 mg/hari
NVP Pediatrik:
(Nevirapine, viramune) a. 14 Hari pertama: inisial 5 mg/KgBB sekali
sehari (max 200 mg)
b. 14 hari kedua dosis 5 mg/KgBB/dosis
2xsehari
c. Selanjutnya dosis 7 mg/KgBB/dosis 2xsehari
untuk anak < 8 tahun
d. > 8 tahun dosis 1x200 mg sehari selama 14
hari
Stavudin 1 mg/KgBB? Dosis diberikan 2 kali sehari
(d4T/Stavir)
Efavirenz (Sustiva) Anak  3 tahun: 10 - < 15 Kg= 200 mg, 15-< 20 Kg=
250 mg, 20-<25 Kg=300 mg, 25-32.5 Kg= 350 mg,
32.5-<40= 400 mg

22
TMP/SMX Profilaksis 2.5 mg TMP/KgBB, 2xsehari, 3 hari
(Kotrimoksazol) seminggu
Untuk Pneumocystis
carinii

C. Pemberian terapi Antireroviral pada ibu hamil/dewasa


Pada pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV
nasional yaitu memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV
dengan jumlah CD4  500 sel/mm3, pedoman ini memberikan prioritas
untuk memulai ART bagi mereka dengan penyakit HIV berat (stadium
klinis 3 atau 4) atau jumlah  350 sel/mm3. Hal ini juga dianjurkan untuk
memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV
dengan penyakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menuyusi dengan
HIV.
Rekomendasi WHO 2013 pemberian ARV pada ibu hamil dan menyusui
HIV:
1. Semua wanita hamil dan menyusi HIV harus memulai triple ARV yang
harus dipertahankan selama terdapat risiko penularan dari ibu ke anak.
Wanita yang memenuhi kriteria (CD4  500 sel/mm3 atau stadium klinis
3 atau 4) dan mendapatkan pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur
hidup.
2. Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan
menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur
hidup.
3. Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk
pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama
risiko penularan (setelah saat kehamilan, proses melahirkan, dan
menyusui selesai) dari ibu ke anak risiko telah berhenti.
Kontraindikasi pemberian ZDV, ZDV+3TC yaitu alergi obat, Hb < 7 g/dL,
neutropenia (<750 sel/mm3), disfungsi hepar atau ginjal yang berat.

23
Rekomendasi WHO 2013
First-line ART Preferred first-line Alternative
regiments
Adults AZT+3TC+EFV
(including pregnant AZT+3TC+NVP
and breastfeeding TDF+3TC (or
women and adults with TDF+ 3TC(or FTC) FTC)+ NVP
TB and HBV +EFV
coinfection)
Adolescents (10 to 19 AZT+3TC+EFV
years)  35 Kg AZT+3TC+NVP
TDF+3TC (or
FTC)+ NVP
ABC+3TC+EFV
(or NVP)

Rekomendasi WHO 2010

24
D. Alur pemberian Terapi Antiretroviral

1. Indikasi pemberian ART adalah sama seperti orang dewasa menurut


WHO 2010 jika stadium 1 dan 2 dengan < 350 sel/mm3, atau stadium 3
dan 4 tanpa memandang jumlah CD4, atau pasien dengan koinfeksi TB
atau koinfeksi dengan hepatitis B kronik aktif.
2. Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui sebelum umur kehamilannya
14 minggu, jika ada indikasi untuk segera diberikan ART, maka kita
berikan ART. Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu
hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan
sesuai
3. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan
 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium
klinisnya.
4. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang
persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu.

25
5. Pemantauan Setelah mulai mendapat ARV

- Pasien anak yang diberi ARV dengan cepat bertambah berat dan tingginya
sesuai dengan pertumbuhan, karenanya perhitungan dosis harus dilakukan
setiap Kontrol. Dosis yang terlalu rendah akan berpotensi menimbulkan
resistensi.
- Obat yang diminum bersamaan harus dievaluasi setiap kali kunjungan;
seperti apakah kotrimoksazol diminum (pada anak yang terindikasi) atau
ada obat lain yang potensial berinteraksi dengan ARV.
- Kepatuhan minum obat ditanyakan dengan cara menanyakan dosis yang
terlewat dan waktu anak minum obat. Yang ideal adalah menghitung sisa
tablet atau puyer.
- Pemantauan kadar hemoglobin (Hb) dan leukosit harus dilakukan bila anak
menerima AZT pada bulan 1 dan ke 3.
- Tes kehamilan harus dimintakan pada remaja putri yang akan mendapatkan
EFV dengan konseling yang tepat pada keluarga.

26
- Pemantauan CD4 dianjurkan dilakukan pada saat awal diagnosis dan setiap
6 bulan sesudahnya. Bila pemeriksaan CD4 tidak tersedia, gunakan
parameter klinis untuk pemantauan.
- Saat ini pemeriksaan VL belum menjadi syarat untuk memulai ARV
ataupun pemantauan. Tetapi VL dapat digunakan untuk mendiagnosis HIV,
memastikan kegagalan klinis dan imunlogis sebelum mengganti ke lini dua.
6. Pemantauan Respon Terhadap ARV
Pengamatan 6 bulan pertama pada kasus dalam terapi ARV merupakan masa
penting. Diharapkan terjadi perbaikan klinis dan imunologis tetapi juga harus
diwaspadai kemungkinan toksisitas obat dan/atau Immune Reconstitution
Syndrome (IRIS). Beberapa anak gagal mencapai perbaikan dan bahkan
menunjukkan tanda deteriorasi klinik.
Komplikasi yang terjadi pada minggu-minggu pertama umumnya lebih banyak
ditemukan pada anak defisiensi imun berat. Selain itu ada anak yang
menunjukkan eskaserbasi infeksi subklinis yang selama ini sudah ada seperti
contohnya TB, sehingga tampak seperti ada deteriorasi klinis, hal ini bukan
berarti karena kegagalan terapi tetapi karena keberhasilan mengembalikan
fungsi sistem imun.
Oleh karena itu penting untuk mengamati hasil terapi lebih lama sebelum
menilai efektivitas paduan pengobatan yang dipilih dan mempertimbangkan
terjadinya IRIS. Pada waktu penting ini yang perlu dilakukan adalah
mendukung kepatuhan berobat dan bukan mengganti obat.

27
7. Efek samping pengobatan antiretroviral
Obat Efek Samping Komentar
NUCLEOSIDE ANALOGUE REVERSE TRANSCRIPTE INHIBITORS
(NRTI)
Lamivudine 3TC Sakit kepala, nyeri Mudah ditoleransi
perut, pankreatitis
Stavudine d4T Sakit kepala, nyeri Suspense dalam jumlah
perut, nueropati besar, kapsul dapat
dibuka
Zidovudine ZDV Sakit kepala, anemia Jangan gunakan dengan
(AZT) d4T (efek antiretroviral
antagonis)
Abacavir ABC Reaksi hipersensitivitas Tablet dapat digerus
demam,
mucositis,ruam:
hentikan pengobatan
Didanosine ddl Pankreatitis, neuropati Beri antacid pada
perifer, diare dan nyeri lambung yang kosong
perut yang kosong.
NON-NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTE INHIBITORS (NNRTI)

Efavirenz EFV Mimpi aneh, Minum pada malam


mengantuk, ruam hari. Hindari minum
obat dengan makanan
berlemak
Nevirapine NVP Ruam, keracunan hati Pemberiaan besamaan
dengan rimpasin,
tingkatkan dosis NVP-
30% atau hindari
penggunaanya interaksi
obat.
PROTEIN INHIBITORS (PI)

28
Lopinavir/ritonavir Diare, mual Minum bersama
(LPV/r) makanan, rasa pahit
Nelfinavir NFV Diare, muntah, ruam Minum Bersama
makanan
Saquinavir SQV Diare, raasa tidak enak Minum dalam waktu 2
di perut jam setelah makan
8. Definisi dan CD4 untuk kegagalan ART pada anak (setelah pemberian ARV 6
bulan)
Kriteria Klinis Kriteria CD4
 Tidak adanya atau penuruna  Kembalinya CD4 % jika < 6
pertumbuhan pada anak tahun (% atau hitung CD4
dengan respons pertumbuhan jika umur  6 tahun) pada
awal terhadap ARV atau dibawah data dasar
sebelum terapi, tanpa ada
penyebab lainnya
 Hilangnya  CD4% turun  50% dari
neurodevelopmental puncak jika < 6 tahun ( %
milestones atau mulainya atau nilai absolut jika umur
gejala ensefalopati  6 tahun), tanpa ada
penyebab yang lain
 Keadaan pada stadium klinis 4
yang baru atau kambuh

9. Mengubah pengobatan
Obat perlu diganti dengan yang lain jika terdapat:
a. Keadaan toksik, sepert:
 Sindrom Stevens Johnson
 Keracunan hati yang berat
 Perdarahan yang berat
b. Interaksi obat (pengobatan. Tuberculosis dengan rimpasin mengganggu
NVP atau PI)
c. Kemungkinan ketidak-patuhan pasien jika dia tidak dapat mentoleransi
rejimen obat.

29
Tabel berikut membantu kita untuk mengambil keputusan:

Catatan:
Sesuai stadium klinis. 3 dan 4 WHO, kejadian IO baru didefinisikan sebagai
infeksi oportunistik yang baru atau penyakit yang biasanya berhubungan
dengan HIV.
10. Rencana Mengubah ke paduan lini kedua
a. Jika tidak tersedia CD4 rutin atau pemeriksaan virologi, keputusan tentang
kegagalan pengobatan harus dibuat berdasarkan:
 Kemajuan klinis
 Penurunan CD4 sebagaimana ditunjukkan pada tabel diatas
b. Pada umumnya, pasien harus menerima ART selama 6 bulan atau lebih dan
masalah kepatuhan harus diatasi sebelum menentukan kegagalan
pengobatan dan mengubah rejimen ARV.
c. Keadaan memburuk karena immune reconstitution syndrome (IRIS), bukan
merupakan alasan untuk mengubah pengobatan.

30
11. Rejimen pengobatan lini kedua

Catatan:
- Tujuan pemberian paduan lini kedua adalah untuk mencapai respons klinis
dan imunologis (CD4), tetapi responsnya tidak sebaik pada paduan lini
pertama karena sudah terjadi resistensi silang diantara obat ARV.
- Sebelum pindah ke lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-benar dinilai.
- Anak dengan paduan lini keduapun gagal, terapi penelamatan yang efektif
masih sulit dilakukan. Konsultasi dengan panel ahli diperlukan.
- Untuk paduan berbasis ritonavir-boosted PI, pemeriksaan lipid trigliserida
dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL dilakukan setiap 6-12 bulan.
12. Penanganan Lainnya untuk anak dengan HIV-Positif
A. Imunisasi
a. Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi
belum menunjukkan gejala, harus diberikan semua jenis vaksin yang
diperlukan (sesuai jadwal imunisasi nasional), termasuk BCG.
Berhubung sebagian besar anak dengan dengan HIV positif mempunyai
respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi
harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan.
b. Jangan diberi vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah
menunjukkan gejala
c. Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada
gejala atau tidak) tambahan imunisasi campak pada umur 6 bulan, selain
yang dianjurkan pada umur 9 bulan/

31
B. Pencegahan dengan Kotrimoksazol
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pencegahan ini terbukti sangat
efektif pada bayi dan anak dengan infeksi HIV untuk menurunkan angka
kematian yang disebabkan oleh pneumonia berat.
C. Nutrisi
a. Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan asupan
energi maereka
b. Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus dianjurkan untuk
makan berbagai variasi makanan yang menjamin asupan mikronutrien.
Pada stadium lanjut dan sudah terjadi emasiasi, perbaikan nutrisi harus
dilakukan dengan hati-hati, secara individual. Perbaikan nutrisi terjadi
lebih lambat dibandingkan dengan penderita malnutrisi tanpa infeksi
HIV.
13. Transmisi HIV dan Menyusui
Transmisi HIV bisa terjadi selama kehamilan, melahirkan, atau melalui
menyusui. Cara terbaik untuk mencegah penularan adalah pencegahan infeksi
HIV secara umum, terutama pada ibu hamil dan mencegah kehamilan tidak
terencana pada ibu dengan HIV positif. Jika wanita dengan HIV positf hamil,
ia harus diberi pelayanan yang meliputi pencegahan dengan obat ARV (dan
pengobatan jika ada indikasi klinis), praktek obstetric yang lebih aman, dan
konseling serta dukungan tentang pemberian makanan bayi.
Terdapat bukti bahwa risiko tambahan terhadap penularan HIV melalui
pemberian ASI antara 5-20%. HIV dapat ditularkan melalui ASI selama proses
laktasi, sehingga tingkat infkesi pada bayi yang menyusu meningkat seiring
dengan lamanya menyusu.
Hal ini harus dilakukan oleh konseler yang terlatih dan berpengalaman:
- Jika anak diketahui terinfeksi HIV dan sedang mendapat ASI, semangati ibu
untuk melanjutkan menyusui
- Jika ibu diketahui HIV positif dan status HIV anak tidak diketahui, harus
dilakukan konseling bagi ibu mengenai keuntungan dari menyusi dan begitu
juga tentang risiko penularan HIV malalui pemberian ASI. Jika susu
pengganti dapat diterima, layak diberikan, mampu dibeli, berkelanjutan, dan
aman (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable and Safe = AFASS)
dapat direkomendasikan untuk tidak melanjutkan pemberian ASI.

32
Sebaliknya pemberian ASI ekslusif harus diberikan jika anak berumur < 6
bulan dan menyusui harus dihentikan segera setelah kondisi diatas
terpenuhi.
14. Indikasi Rawat
15. Pemberian
- Gizi buruk
- Infeksi berat/sepsis
- Pneumonia
- Diare Kronis dengan dehidrasi
16. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV
secara komprehensif dan berkesinambungan dalam empat komponen (prong)
sebagai berikut:
a. Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada bayi adalah dengan mencegah perempuas usia reproduksi tertular HIV.
Untuk menghindari penularan HIV, dikenal dengan konsep “ABCDE”:
A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
sebelum menikah
B (Be faithful): Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
C (Condom): Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
kondom
D (Drug no): Dilarang menggunakan narkoba
E (Education): Edukasi diberikan mengenai HIV, cara penularan,
pencegahan, dan pengobatanya.
b. Prong 2: Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan
seksama sebelum memutuskan ingin punya anak. Perempuan HIV
memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan
menyusi, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat
keadaan daya tahan tubuh yang rendah dana man untuk bayi terhadap
penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi.
c. Prong 3: Mencegah penularan HIV dari Ibu ke Bayi

33
Mencangkup langkah-langkah berikut:
1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis
2. Menegakkan diagnosis HIV dan/atau sifilis
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV)
4. Konseling persalinan dan KB pasca persalinan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta
KB
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pascapersalinan
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial, dan keperawatan bagi ibu
selama hamil, bersalin, da bayinya.
d. Prong 4: Dukungan Psikologis, sosial, Medis dan Perawatan
17. Prognosis
Dengan pemberian antiretroviral, angka morbiditas dan mortalitas akan
menurun. Dengan pemberian ARV jangka Panjang, teratur, disiplin: penularan
HIV ibu-anak turun 2%.
Pemberian ARV dapat menurunkan 4.2 juta kematian

34
PMTCT menurunkan 800.000 infeksi baru pada anak per tahun

Infeksi HIV pada bayi menyebutkan prognosis yang sangat buruk dengan angka
harapan hidup setelah didiagnosis 9.4 bulan. Namun penelitian selanjutnya
menunjukkan angka harapan hidup yang lebih baik (median 60-120 bulan).
Tanpa obat pencegahan, dua pertiga bayi yang tertular HIV dari ibunya tetap
asimptomatik sampai usia sekolah dan perjalanan penyakitnya perlahan-lahan.
20-30% sisanya penyakit lebih progresif dan sudah bermanifestasi pada tahun
pertama.
Prognosis penyakit pada anak HIV/AIDS akan lebih buruk jika menderita lebih
dari satu jenis infeksi oportunistik dibandingkan dengan hanya menderita satu
infeksi oportunistik saja. Misalnya, pada anak HIV/AIDS yang menderita
infeksi PCP dan CMV maka prognosis penyakit akan lebih buruk pada anak
HIV/AIDS yang menderita infeksi kombinasi.
78% bayi yang terinfeksi HIV sudah menunjukkan gejala klinis menjelang usia
2 tahun dan biasanya 3-4 tahun kemudian meninggal.

35
BAB III

PENUTUP

1. Penderita Infeksi HIV/AIDS di Indonesia terutama pada usia produktif mulai


meningkat
2. Masalah Infeksi HIV/AIDS pada anak sudah harus mendapat perhatian yang khusus
3. Kepatuhan dalam pengobatan sangat diperlukan dalam penatalaksanaan HIV/AIDS
4. Tes diagnostik yang akurat dan ketersediaan obat ampuh untuk menghambat replikasi
HIV secara dramatis telah meningkatkan kemampuan untuk mencegah dan
mengendalikan penyakit yang merusak ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM. Nelson Textbook of Pediatric 20th Edition International Edition.


Elsevier Inc.2016.
2. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Indonesia Jilid II. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2011
3. Sudigdo Sastroasmoro. Panduan Pelayanan Medis Departemen Kesehatan Anak.
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.2007
4. Tim Adaptasi Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pocket of
Hospital Care for Children, Guidelines for the Management of Common Illnesses with
Limited Resources (Judul Asli). 2009
5. Kurniati Nia (Ed). Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak. Kementrian Kesehatan
republik Indonesia.2014
6. Subuh Mohamad. Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan
Sifilis Dari Ibu ke Anak.Kementrian Kesehatan RI. 2015
7. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak. Jakarta: Kemenkes
8. Eunice, dkk. Outcomes of prevention of mother to child transmission of the human
immunodeficiency virus-1 in rurual Kenya.2015. akses ncbi.nlm.nih.gov
9. Lhotska L. Cost of Replacement Feeding Options. Dalam HIV and Infant Feeding:
Implementation of Guidelines, A report of the UNICEF-UNAIDS-WHO technical
consultation on HIV and Infant Feeding Geneva, 20-22 April 1998.
10. Fallon J,dkk. Human immunodeficiency virus infection in Children. J pediatric.1989:1-
30
11. Prober CG, dkk. Medical Management of newborns and infnts borns and infants born
to immunodeficiency virus-seropositive mothers. J Pediatr Infect Dis 1991;10:684-695
12. Bor et al. Increases in adult life expectancy in rural South Africa: Valuing the scale-up
of HIV treatment. Science, 2013,339:961-965
13. Mary Ann, et al. Prognosis of Children with HIV-1 Infection Starting Antiretroviral
therapy in Southern Africa: A Collaborative Analysisi of Treatment Program.2014
33(6):608-616 Pediatr Infect Dis J. akses ncbi.nlm.nih.gov
14. World Health Organization Consolidated guideines on the use of antiretroviral drugs
for treating HIV infection. Akses www.who.int diambil 10 Juli 2018.

37
15. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan. Pedoman nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi
antiretroviral pada orang dewasa. 2011

38

Anda mungkin juga menyukai