Disusun Oleh:
Pembimbing:
1
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Mahasiswa
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
4
ITP yang rekuren didefinisikan sebagai adanya episode trombositopenia >3
bulan dan terjadi 1-4% anak dengan ITP.2
C. Etiologi
Kelainan ini biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan
oleh respon sistem imun yang tidak tepat (inappropriate), yang biasanya terjadi 1-
4 minggu setelah infeksi virus, yaitu pada 50-65% kasus ITP pada anak. Infeksi
virus yang sering berhubungan dengan ITP diantaranya virus Epstein-Barr dan
HIV. Virus Epstein-Barr terkait dengan ITP biasanya dalam waktu singkat,
sedangkan HIV yang terkait dengan ITP biasanya kronik.(2) Selain itu juga ada
hubungannya dengan infeksi virus yang lain seperti sitomegalovirus, rubella,
varicella-zooster virus, hepatitis A, B, dan C. Namun demikian. Tidak ada
hubungannya antara beratnya penyakit infeksi virus dengan derajat
trombositopenia.3
Pada pengamatan diketahui bahwa seorang ibu yang menderita ITP baik aktif
maupun sedang dalam masa remisi sering melahirkan anak yang kemudian
menderia ITP. Keadaan ini kemudian menimbulkan dugaan bahwa adanya suatu
faktor humoral dari ibu yang masuk ke darah bayi. Diketahui pula pada beberapa
pasien anemia hemolitik autoimun yang sering mendapat episode dari ITP
(sindrom Evan) menunjukkan adanya faktor autoimun sebagai penyebab.
Selanjutnya respon yang baik terhadap steroid dan splenektomi menunjukkan pula
bahwa penyakit ini disebabkan adanya suatu antibodi antitrombosit. Karena
etiologinya saat ini sudah diketahui lewat mekanisme imun, maka ITP disebut
sebagai purpura trombositopenik imun.2,3
D. Patofisiologi
5
menghasilkan sampai 1000 trombosit. Jumlah trombosit normal yaitu 150-400 x
109/l.4
ITP disebabkan karena peningkatan penghancuran dini trombosit yang
terutama terjadi di limpa, sumsum tulang dan paru. Keadaan ini terjadi setelah
suatu infeksi, dengan terbentuknya kompleks imun yang kemudian melekat pada
permukaan trombosit dan akhirnya terjadi opsonisasi dan penghancuran trombosit
oleh fagosit.4
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein
yang terdapat pada membran trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit
yang diselimuti antibodi (antibody-coated platelets) tersebut dilakukan oleh
makrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial lainnya.3,4
Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP.
Sedangkan kadar trombopoitin dalam plasma, yang merupakan progenitor
proliferasi dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti,
terutama pada ITP kronis.3,4
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan
kronis, menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi
terjadinya trombositopenia di antara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya
bahwa penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibodi yang dibentuk
saat terjadi respon imun terhadapt infeksi bakteri/virus atau pada imunisasi, yang
bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Mediator-mediator lain yang
meningkat selama terjadinya respon imun terhadap infeksi, dapat berperan dalam
terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada ITP kronis
mungkin telah terjadi gangguan dalam regulasi sistem imun seperti pada penyakit
autoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibodi spesifik terhadap
trombosit.3,4
Hal tersebut di atas yang menjelaskan mengapa beberapa cara pengobatan
terbaru yang digunakan dalam penatalaksanaan ITP memiliki efektifitas terbatas,
disebabkan mereka gagal mencapai target spesifik jalur imunologis yang
bertanggung jawab pada perubahan produksi dan destruksi dari trombosit.
6
Pada penyakit ini, yang juga dikenal sebagai penyakit Werholf’s, terdapat
difisiensi keping darah (trombosit) di darah perifer. Karena tidak terbentuk
gumpalan trombosit pada pembuluh darah yang cedera, waktu perdarahan
memanjang. Pembentukan trombin terjadi lambat dan bekuan darah yang
terbentuk lunak dan tidak saling melekat erat. Didapati juga sebagai tambahan,
disfungsi kapiler yang belum dimengerti benar mekanismenya.5
Saat ini telah didapati bukti yang meyakinkan bahwa sindrom ITP akibat
destruksi trombosit yang diperantai proses imunologis dan salah satu teori yang
ada yang dapat menerangkan ITP berdasarkan kasus yang terbanyak adalah
pendestruksian trombosit oleh sistem kekebalan (imun), karena dapat menurunkan
jumlah trombosit (trombositopenia). Antigen membran trombosit yang dikenal
dan menjadi sasaran pengrusakan sistem imun adalah PLA-1 dan HLA. Semua
7
individu mengandung HLA yang spesifik untuk dirinya sendiri (hanya 98%
manusia yang sel trombositnya mengandung Ag PLA-1). 5
Sistem kekebalan yang berperan dalam menghancurkan trombosit adalah Ab
anti-trombosit, sistem komplemen, sel fagosit dan sistem Retikulo Endotelial
(RES). Terbentuknya Kompleks Imun (KI), dapat meningkatkan clearance
trombosit oleh sistem monosit-makrofag sebagai sel fagosit, melalui mekanisme
chemotaxis, attachment fagositosis/endocitosis, intracell process/engulf dan
exoxytosis. 5
Platelet survival. Trombosit, fragmen sitoplasmik anuklear berasal dari
megakariosit sumsum tulang, beredar dalam darah selama 7-10 hari hingga
akhirnya dibuang oleh sistem retikuloendotelial atau beragregrasi di lokasi cedera
subendotelial pada pembuluh darah. Usia trombosit pada ITP berkurang drastis.
Semkin rendah jumlah trombosit semakin rendah pula usia edarnya. Berdasarkan
penelittian, berkurangnya usia trombosit merupakan akibat proses ektrisnsik dari
trombosit. 5,6
Peran antibodi trombosit. Trombositopenia pada ITP merupakan akibat dari
kerja autoantibodi terhadap trombosit. Ab anti-trombosit digolongkan atas
alloantibody terutama terhadap Ag trombosit yaitu Ag PLA-1 dan Ag HLA. Dua
persen populasi tanpa PLA-1. Bila mereka mendapat transfusi trombosit yang
mengandung PLA-1, dapat terjadi purpura pasca transfusi (PPT). Karena pasca
transfusi tersebut, resipien berespon mensintesa antibodi anti PLA-1 (donor).
Ikatan antara antibodi anti PLA-1 dengan PLA-1 pada trombosit donor
membentuk KI. KI tersebut dihancurkan melalui dua mekanisme. Pertama, terjadi
sitolisis oleh komplemen karena reaksi KI dengan komplemen. Kedua, KI yang
telah diopsonisasi komplemen meningkatkan daya kemotaksis. Attachment
monosit-makrofag memfagositosis serta menghancurkan KI (anti trombosit). KI
tersebut juga dapat menempel pada trombosit resipien pada reseptor Fc-R
sehingga berfungsi sebagai faktor kemotaksis. Sistem monosit-makrofag
memfagositosis trombosit resipien tersebut. Kemudian, dihancurkan dalam
phegolisozym oleh enzim dan peroxide atau SRE. Ibu hamil yang trombositnya
tidak mengandung PLA-1, dapat disensitisasi oleh trombosit janinnya yang
8
mempunyai PLA-1 (dari ayah). Dengan ini, ibu akan berespon mesintesa IgG anti
PLA-1 dan ditransfer lewat plasenta ke janin, sehingga menimbulkan Neonatal
Isoimmune Thrombocytopenia (NIT). 5
Peran proses imunologis lainnya. Kemungkinan adanya proses imunologis
yang cell-mediated pada ITP muncul karena penelitian yang membuktikan
kapasitas trombosit dari pasien ITP kronik menginduksi transformasi limfosit
secara in vitro. Satu hingga empat minggu setelah terkena infeksi virus biasa,
sebagian kecil anak membentuk suatu autoantibodi terhadap permukaan
trombosit. Target antigenik utama dari antibodi tersebut pada ITP akut masih
belum diketahui. adanya riwayat infeksi virus didapatkan pada 50-65% kasus ITP
pada anak. Frekuensi dimana kejadian ITP akut yang didahului oleh infeksi virus
dan adanya periode latent karakteristik (1-4 minggu) antara infeksi akut tersebut
dengan onset trombositopenia menimbulkan dugaan adanya kompleks antigen-
antibodi viral, dibanding autoantibodi trombosit, yang bertanggung jawab
terhadap sensitisasi dan destruksi trombosit pada bentuk akut yang self-limited.
Alasan mengapa sebagian anak merespon suatu infeksi biasa dengan penyakit
autoimune masih belum jelas. Bisa dikatakan hampir semua virus penyebab
infeksi telah dihubungkan dengan ITP termasuk virus Epstein-Barr (EBV) dan
HIV. 6,7
Peran lien. Lien sebagai organ retikuloendotelial sistem berperan sebagai filter
bagi sel-sel darah termasuk trombosit yang bertugas membuang sel-sel tersebut
dari sirkulasi begitu waktu edarnya habis. Fagositosis trombosit oleh leukosit
splenikus telah dibuktikan secara in vitro. Setelah antibodi dan permukaan
trombosit berikatan, antibody-coated platelets dalam sirkulasi dikenali oleh
reseptor Fc pada makrofag spenikus, difagositosis dan dihancurkan. Terdapat data
bahwa faktor-faktor yang terlibat dalam destruksi trombosit pada ITP serupa
dengan yang mengakibatkan destruksi eritrosit yang dirusak oleh antibodi.
Fagositosis retikuloendotelial ini dapat dihambat oleh kortikosteroid dan
difasilitasi oleh hormon estrogen. Kini muncul dugaan bahwa limpa selain
menampung trobosit-terikat antibodi, juga berperan penting sebagai tempat
pembentukan antibodi trombosit. 5,6,7
9
Peran gangguan trombopoiesis. Antibodi yang terdapat pada ITP mungkin
berinteraksi dengan megakariosit. Salah satunya yang mendukung teori tersebut
adalah ditemukannya imunoglobulin di permukaan megakariosit melalui
pemeriksaan imunofluoresensi. Pada ITP dapat terjadi peningkatan trombopoiesis
walaupun tetap tidak mampu mengatasi kecepatan penghancuran yang ada. 5,6
Peran cedera vaskuler. Diduga faktor vaskular berperan dalam ITP karena
perdarahan pada ITP lebih menyulitkan dibanding dengan trombositopenia
sekunder dengan derajat keparahan yang sama, misalnya anemia aplastik.
Peran disfungsi trombosit. Defek yang biasanya timbul adalah defisiensi reaksi
pelepasan yang bisa jadi merupakan akibat dari interaksi trombosit dengan
antibodi IgG atau kompleks imun.
E. Klasifikasi
Berdasarkan onset penyakit ITP dibedakan tipe akut dan kronik
a. ITP akut.
Kejadiaannya kurang atau sama dengan 6 bulan. ITP akut sering dijumpai pada
anak, jarang pada dewasa. Onset penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi
mengawaliterjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-
anak (rubeoladan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus.
Virus yang paling banyak diindetifikasi adalah varicella zooster dan ebstein barr.
Manifestasi perdarahanITP akut pada anak biasanya ringan, perdarahn intrakranial
terjadi kurangdari 1% pasien. Pada ITP dewasa bentuk akut jarang terjadi, namun
dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP akut
pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60%
sembuh dalam 4-6 minggudan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.5
b. ITP kronik
Kejadiaannya lebih dari 6 bulan. Onset ITP kronik biasanya tidak menentu,
riwayat perdarahan sering ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien
jarang terjadidan perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat
10
berlangsung beberapahari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau
terus menerus.Manifestasi perdarahanITP berupa ekimosis, petekie, purpura. Pada
umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit.
Secara umum bila pasien denganAT > 50.000/ml maka biasanya asimptomatik,
AT 30.000-50.000/ml terdapat lukamemar/hematom, AT 10.000-30.000/ml
terdapat perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada luka,
AT < 10.000/ml terjadi perdarahan mukosa(epistaksis, perdarahan gastrointestinal
dan genitourinaria) dan resiko perdarahansistem saraf pusat.4,5
F. Gejala klinis
Awitan biasanya akut. Memar dan ruam petekie menyeluruh terjadi 1-4
minggu setelah infeksi virus atau pada beberapa kasus tidak ada penyakit yang
mendahului. Gambaran klasik pada ITP ialah mengenai anak yang sebelumnya
sehat dan mendadak timbul petekie, purpura, dan ekimosis yang dapat tersebar ke
seluruh tubuh, biasanya asimetris, dan mungkin mencolok di tungkai bawah.(3,4,5)
Keadaan ini kadang-kadang dapat dijumpai pada selaput lendir terutama hidung
dan mulut sehingga dapat terjadi epistaksis dan perdarahan gusi dan bahkan tanpa
kelainan kulit.2,4
Gejala lainnya ialah perdarahan traktus genitourinarius (menoragia,
hematuria), traktus digestivus (hematemesis, melena), pada mata (konjungtiva,
retina) dan yang terberat namun agak jarang terjadi ialah perdarahan pada SSP
(perdarahan subdural dan lain-lain). Pada pemeriksaan fisik umumnya tidak
banyak dijumpai kelainan kecuali adanya petekie dan ekimosis. Mungkin pula
ditemukan demam ringan bila terdapat perdarahan berat atau perdarahan traktus
gastrointestinal. Renjatan (shock) dapat terjadi bila kehilangan darah banyak.2,4
11
Gambar 2. Gejala Klinis ITP. (Dalam: Cines DB, Blanchette VS, Chir B. Immune
Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002 March 28; 346:995-1008).9
12
None Tidak ada gejala selain jumlah trombosit yang rendah
Ringan Memar dan petekie
Sesekali epistaksis ringan
Sangat sedikit atau tidak ada gangguan dengan kehidupan sehari-
hari
Sedang Manifestasi kulit yang lebih berat dengan beberapa lesi di mukosa
Berat Epistaksis dan menoragia yang lebih berat
Episode perdarahan (epistaksis, melena, dan/atau menoragia) yang
memerlukan perawatan rumah sakit dengan/atau tanpa transfusi
darah
Gangguan serius yang mempengaruhi kualitas hidup
G. Pemeriksaan penunjang
13
pendapat di antara para ahli. Umumnya pemeriksan ini dilakukan pada kasus yang
meragukan, namun tidak pada kasus-kasus dengan manifestasi klinis yang khas.
Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah nampak dengan
trombositopeni saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam
pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan
pada kasus-kasus yang tidak khas, misalnya pada:8
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas,
penuruunan berat badan, kelemahan , nyeri tulang, pembesaran hati dan atau
limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leokosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau
yang gagal diterapi denan immunoglobulin intravena.
H. Diagnosis
14
(trombositopeni). Pemeriksaan laboratorium lainnya dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopeni yang lain.
Biasanya pasien ITP merupakan anak sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung
(epistaksis).1,2,3,7
Lama terjadinya perdarahan pada ITP dapat membantu membedakan antara
ITP akut dan kronis. Tidak didapatkan gejala sistemik dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu
juga dicari riwayat imunisasi, riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain
yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak
didapatkan.4,6
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan
tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan
konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan
kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan
atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak
dengan ITP.
Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien
didapatkan anemia ringan karena perdarahan yang dialaminya. Trombosit yang
imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien.
Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
trombositopenia yang lain.(4,6) Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan
dengan eritematous lupus sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau
limfoma, defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C, dan
pengobatan dengan heparin atau quinidin.
Pada anak yang berumur kurang dari tiga bulan, kemungkinan suatu
trombositopenia kongenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier
perdarahan sering lebih hebat dari jumlah trombosit yang diduga (contohnya,
perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit 30.000/mm3). Pada sindrom
Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari normal, sedangkan
15
pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan kongenital
lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP
adalah penyakit von Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand
abnormal agregasi trombosit dan trombositopenia.
Anak yang lebih tua dan mereka mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya
tanda-tanda dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifofolipid.
Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu
dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat
mengancam jiwa berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan
trombosis mikrovaskuler.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ITP pada anak terutama ITP akut masih menjadi topik
kontroversi. Sebagian dokter meyakini perjalanan penyakit alami yang ringan
penyakit tersebut dan menganjurkan pengobatan hanya untuk mereka yang
mengalami perdarahan secara klinis berupa mulai petekie dan atau purpura yang
banyak sampai perdarahan hebat yang mengancam jiwa. Sedangkan sebagian
yang lain menganjurkan tindakan dan pengobatan dini pada semua anak dengan
trombosit kurang dari 20.000-30.000/ mm3 tanpa menghiraukan tingkat
perdarahan.6
Sebagian besar penderita (hanya mengalami petekie atau purpura ringan), tidak
memerlukan pengobatan dan pada sekitar 30-70% pasien, jumlah trombosit akan
naik sendiri dalam waktu 3 minggu. Pemberian medikamentosa dibatasi untuk
hal-hal tertentu, misalnya perdarahan yang masih berlanjut dan cukup berat
(epistaksis, perdarahan saluran cerna, dll). Pendapat lain mengatakan bahwa
medikamentosa diberikan atas dasar jumlah trombosit. 10
Meskipun ITP pada anak umumnya bersifat akut dan biasanya membaik
dengan sendirinya dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, namun sejak
seperempat abad yang lalu terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli tentang
pemberian prednison secara rutin pada pasien ITP. Dengan diperkenalkannya
16
beberapa pengobatan baru akhir-akhir ini, semakin meramaikan perbedaan
pendapat tersebut. Yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah apakah
seharusnya pada semua pasien ITP, terutama anak-anak perlu diberikan
pengobatan.
Menurut The American Society of Hematology (ASH), bahwa anak dengan ITP
dan jumlah trombosit kurang dari 20x109/l dan perdarahan mukosa yang
signifikan, atau anak dengan jumlah trombosit kurang dari 10x109/l dan purpura,
diterapi dengan imunoglobulin intravena (IVIG) atau prednison oral.6
Sebaliknya, rekomendasi dari British Paediatric Haematology Working Group
mengatakan bahwa terapi anak dengan ITP harus berdasarkan gejala klinis, tidak
hanya berdasarkan jumlah trombosit.6
Pada umumnya ITP akut tidak memerlukan perawatan, namun perlu dihindari
aktifitas fisik yang keras dan traumatik. Perawatan diperlukan bila telah terjadi
perdarahan berat yang mengancam hidup penderita tanpa melihat jumlah
trombosit, atau yang memerlukan tindakan tertentu. Kadang-kadang perawatan
diberikan atas indikasi sosial. Selain itu juga perlu untuk menghindari obat yang
dapat menekan produksi dan atau merubah fungsinya, dan yang penting juga
adalah memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang
penyakitnya.1,4,6
Obat-obat yang dapat menyebabkan trombositopeni dapat dibagi menjadi:
1. Obat yang berhubungan dengan penurunan produksi trombosit:
- Kemoterapi
- Diuretik thiazide
- Alkohol
- Estrogen
- Kloramfenikol
- Radiasi terionisasi I
2. Obat-obatan yang berhubungan dengan destruksi trombosit
- Sulfonamid
- Quinidine
- Kinina
17
- Karbamazepin
- Asam Valproat
- Heparin
- Digoksin
3. Obat-obatan yang berhubungan dengan perubahan fungsi trombosit
- Aspirin
- Dipiridamol
Sebagain besar pasien ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit.
Suasana rumah sakit (bangsal anak) yang sibuk dan ribut tidak lebih baik dari
pada lingkungan rumah sendiri. Pasien dapat kontrol di poliklinik 1-2 kali
seminggu, dengan pemeriksaan darah lengkap dan jumlah trombosit. Bila jumlah
trombosit sudah mulai meningkat, biasanya dalam 1-2 minggu maka pemeriksaan
darah lengkap dan jumlah trombosit boleh dilakukan 2-3 minggu sekali sampai
kembali pada nilai normalnya.
Sebagian besar (80%) pasien biasanya dapat sembuh sempurna secara spontan
dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pada beberapa kasus ITP pada anak didapatkan
perdarahan kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau perdarahan internal yang
mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan segera.
Pengobatan yang biasa diberikan pada anak dengan ITP meliputi kortikosteroid
peroral, imunoglobulin intravena (IVIG), dan yang terakhir, anti-D untuk pasien
dengan rhesus D positif. Pengobatan-pengobatan tersebut di atas potensial
memberikan efek samping yang serius, sehingga penting bagi kita untuk
mempertimbangkan risiko-risiko tersebut agar tidak merugikan pasien (“primum
non nocere”). Oleh sebab itu pengobatan pada anak yang menderita ITP,
keputusan mengenai kapan dilakukan terapi, terapi apa yang akan digunakan dan
apakah perlu perawatan di rumah sakit atau tidak sebagian besar tetap berdasarkan
pada pengalaman pribadi, pendekatan filosofis, dan pertimbangan-pertimbangan
praktis.4,6
Sebagian besar dokter khawatir dengan jumlah trombosit yang rendah. Namun
sebenarnya pengobatan untuk meningkatkan jumlah trombosit walaupun dengan
18
jumlah trombosit yang sangat rendah (<10.000 mm 3) tidak selalu diperlukan.
Jumlah trombosit yang sedikit tersebut dapat berfungsi lebih efisien.
Steroid
Sebelum era IVIG, kortikosteroid peroral merupakan pengobaan utama pada
ITP karena dipercaya dapat menghambat penghancuran trombosit dalam sistem
retikuloendotelial dan mengurangi pembentukan antibodi terhadap trombosit oleh
limfosit B, serta mempupnyai efek stabilisasi kapiler yang dapat mengurangi
perdarahan.(1,4)
Sediaan glokokortikoid (prednison, prednisolon). Dosis yang biasa digunakan
ialah 1-2 mg/kgBB/hari selama kurang lebih 2-3 minggu. Penelitian terbaru
menunjukkan respon yang lebih cepat (secepat IVIG) dalam menaikkan jumlah
trombosit pada dosis prednison yang lebih tinggi (4 mg/KgBB/hari) jangka
pendek. Pilihan pengobatan ini mungkin yang paling sesuai untuk ITP pada anak
dengan gejala yang nyata dan mengganggu (sedang secara klinis).
Ada pula yang memakai dosis 10-30 mg/kgBB/hari, intravena, selama
beberapa hari. Pemberian steroid biasanya mempercepat kenaikan jumlah
trombosit, tetapi tidak mengubah morbiditas ataupun mortalitas.9,10
19
dilaporkan, namun penularan hepatitis C virus telah dilaporkan dengan hasil yang
cukup membahayakan. Oleh karena itu, sebaiknya IVIG tidak diberikan tanpa
indikasi yang jelas, apalagi kalau hanya untuk menaikkan jumlah trombosit saja.(4)
Dosis yang biasa digunakan pada IVIG adalah 0,4 gram/KgBB/hari selama 5
hari, namun penelitian terbaru menunjukkan lebih baik dan murah menggunakan
dosis yang lebih rendah yaitu dosis tunggal 0,8 gram/KgBB atau 0,25-0,5
gram/KgBB/hari selama 2 hari, dan memberikan efek samping yang lebih kecil
pula. Pengobatan dengan IVIG juga tidak mengurangi morbiditas ataupun
mortalitas.(4,9)
Imunoglobulin anti-D
Pengobatan dengan imunoglobulin anti-D efektif pada anak dengan rhesus
positif dan memiliki keuntungan yaitu berupa suntikan tunggal dalam waktu
singkat. Namun selain mahal, dilaporkan adanya hemolisis dan anemia yang
memerlukan transfusi darah setelah dilakukannya pengobatan ini.8,9
Terdapat beberapa penelitian yang membandingkan kombinasi dari beberapa
pilihan pengobatan meliputi tanpa terapi, prednison peroral, metilprednisolon
dosis tinggi, IVIG, dan imunoglobulin anti-D intravena. Dari penelitian-penelitian
di atas dapat disimpulkan adanya kemajuan yang pesat dalam beberapa tahun
untuk menetapkan cara tercepat meningkatkan jumlah trombosit pada pasien ITP.
Namun tidak ada penelititan yang menyinggung tentang toksisitas, biaya, dan
kesulitan-kesulitan dari pengobatan tersebut. Semua pengobatan di atas hanya
untuk meningkatkan jumlah trombosit yang rendah, tapi tidak mengobati penyakit
yang mendasarinya, sehingga kekambuhan sering terjadi.(4)
Meskipun proses kesembuhan secara spontan pada anak dengan ITP mungkin
dipercepat dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi atau IVIG, respon
tersebut sering hanya bersifat sementara dan tidak memberi perlindungan terhadap
komplikasi perdarahan hebat yang dapat mengancam jiwa. Juga tidak didapatkan
data yang menunjukkan bahwa pengobatan tersebut menurunkan kemungkinan
menjadi ITP kronis. Pemberian steroid jangka panjang sebaiknya dihindari karena
risiko efek samping yang mungkin lebih membahayakan penyakitnya sendiri.
20
Splenektomi
Dari berbagai laporan kasus, dengan observasi yang konsisten dan frekuensi
remisi setelah splenektomi serta hasil yang sama pada pasien dewasa,
menunjukkan bahwa splenektomi merupakan pengobatan efektif. Sekitar 72%
anak dengan ITP yang dilakukan splenektomi mengalami remisi lengkap. Namun
demikian splenektomi hanya dipertimbangakan untuk kasus dengan perdarahan
berulang yang gagal dengan pengobatan medikamentosa dan penyakitnya telah
berlangsung selama 12 bulan sejak diagnosa ditegakkan.(1,2,8)
Perlu diingat pula bahwa kematian pasca splenektomi akibat infeksi berat
(sepsis) dilaporkan sebesar 1 per 300 – 1000 pasien per tahun. Sebelum tindakan
splenektomi sebaiknya pasien diimunisasi terlebih dahulu terhadap haemophillus
influenzae B, pneumococcus dan meningococcus. Pemberian preparat Penisilin
pasca splenektomi juga dianjurkan untuk seumur hidup7,8
Indikasi splenektomi
- Resisten setelah pemberian kombinasi kortikosteroid dan obat
imunosupresif selama 2-3 bulan
- Remisi spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian
kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai berat.
- Penderita yang menunjukkan respons terhadap kortikosteroid namun
memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan keadaan klinis yang
baik tanpa adanya perdarahan.
21
immunoadsorption, alkaloid Vinca (vinkristin dan vinblastin), danazol, vitamin C,
dan siklofosfamid.(4) Transfusi trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak
efektif, karena trombosit yang ditransfusikan langsung dirusak.5,7
Pada keadaan tertentu, seperti adanya gejalan neurologis, perdarahan internal,
atau pembedahan darurat memerlukan intervensi segera. Metilprednisolon (30
mg/KgBB/hari maksimal 1 gram/hari selama 2-3 hari) sebaiknya diberikan secara
intravena dalam waktu 20-30 menit bersamaan dengan IVIG (1 gram/KgBB/hari
selama 2-3 hari) dan transfusi trombosit 2-3 kali lipat dari jumlah yang biasa
diberikan, vinkristin mungkin bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari terapi
kombinasi tersebut. Perlu dipertimbangkan pula untuk dilakukan splenektomi.
Pada keadaan dimana terjadi perdarahan hebat yang menetap, pemberian IVIG
dosis tinggi bisa diperpanjang sampai lima hari, bersamaan dengan transfusi
trombosit secara terus-menerus (1 unit tiap jam).
Pengobatan lain dengan menggunakan obat sitostatika seperti vinkristin,
siklofosfamid, azatrioprin, dan lainnya, pernah digunakan, tetapi hasilnya secara
keseluruhan tidak memuaskan, sedangkan toksisitasnya cukup berat. Pemberian
interferon dan danazol pada anak dengan ITP telah dilaporkan, namun demikian
hasilnya juga belum memuaskan. Demikian pula pengobatan dengan vitaminC.(1,8)
Pemahaman yang tepat tentang perjalanan alamiah ITP kronis pada anak
sangat bermanfaat bagi suatu pengobatan yang rasional untuk kelainan tersebut
yang masih kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa pasien ITP kronis akan
mengalami perdarahan berulang yang memerlukan splenektomi, infus IVIG yang
teratur, atau obat-obat imunosupresan. Namun pandangan tersebut ditentang oleh
beberapa kelompok peneliti yang berdasarkan suatu studi kasus yang besar
mendapatkan bahwa sebenarnya ITP kronis merupakan suatu kondisi yang ringan,
hanya sedikit di antara mereka yang mengalami perdarahan yang berat.5,7
Banyak di antara anak dengan ITP kronis dapat mempertahankan jumlah
trombosit mereka >30.000/ mm3 tanpa suatu terapi. Pada suatu pengamatan jangka
panjang anak dengan ITP kronis memperlihatkan bahwa kesembuhan dalam
jangka waktu yang lama masih bisa terjadi bahkan sampai usia >10 tahun.
22
Diperkirakan angka kesembuhan spontan setelah 15 tahun berkisar 61%, hampir
sama dengan 63% pada penelitian yang lain. 5,7
Karena ITP kronis umumnya ringan dan kesembuhan spontan kadang-kadang
masih bisa terjadi, maka pengobatan sifatnya individual. Kecuali splenektomi,
tidak ditemukan data yang memperlihatkan manfaat dari berbagai macam terapi
ITP kronis yang ada. Pada pasien yang mengalami perubahan kualitas hidup
karena trombositopenia yang berat dan perdarahan (atau ketakutan akan hal
tersebut pada sebagian pasien, orang tua, atau dokter yang merawat), perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan splenektomi.5,7
Banyak diantara pasien ITP kronis yang tidak sembuh, meskipun dengan
trombositopeni yang sedang tidak disertai klinis yang berarti. Sebagian besar
dapat hidup dengan perdarahan ringan pada kulit dan sedikit keterbatasan,
pengobatan sebaiknya diberikan jika diperlukan tindakan pembedahan dan
kecelakaan. 5,7
J. Komplikasi
23
jumlah trombosit sangat rendah (<10x109/l). Pada pasien ini perlu diidentifikasi
segera dan diterapi lebih agresif.4,6
K. Prognosis
Anak dengan yang didiagnosa menderita ITP memiliki prognosis yang baik.
Kira-kira 80% - 90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut, yang
akan pulih dengan jumlah trombosit yang normal dalam waktu 6 bulan.2,4,6
Pada ITP akut bergantung kepada penyakit primernya. Bila penyakit primernya
ringan, 90% akan sembuh secara spontan. Prognosis ITP kronik kurang baik,
terutama bila merupakan stadium praleukemia karena akan berakibat fatal. Pada
ITP kronik yang bukan merupakan stadium praleukemia, bila dilakukan
splenektomi pada waktunya akan didapatkan angka remisi sekitar 90%.6,10
DAFTAR PUSTAKA
24
4. Lilleyman JS. Pediatric Idiopathic Thrombocytopenic Purpura.
Pediatric Haematology Forum of the British Society for Haematology. Arch
DisChild 1994;71:251-3.
5. Chessells J. Chronic idiopathic thrombocytopenic purpura: primum non
nocere. Arch Dis Child 1989;64:1326-8.
6. Buchanan GR, Holtkamp CA. Prednison therapy for children with
newly diagnosed idiopathic thrombocytopenic purpura: A randomized
clinical trial. Am J Pediatr Hematol Oncol 1984;6:355-61.
7. Purnomo HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M.
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia,
Jakarta, 2012; 133-46.
8. Silverman MA. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura.
http://emedicine.medscape.com/article/779545-overview#a6. Diakses pada
tanggal 14 Desember 2015
10. http://www.medicaljournal-ias.org/Belgelerim/Belge/03-
OzsoyluMRWPTYEJCH 22259.pdf. Accessed on 2nd December2013.
11. http://www.osuem.com/downloads/resources/NEJM
%2B2002%2BITP.pdf. Accessed on 2nd December2013.
25