Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

MALARIA

DISUSUN OLEH:
Anindya Rezquyta Amelia
030.15.025

PEMBIMBING:
dr.Afifah, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 25 MARET – 1 JUNI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
PERSETUJUAN

REFERAT

Judul:

MALARIA

Penyusun:

Anindya Rezquyta Amelia - 03015025

Telah disetujui oleh

Pembimbing

dr. Afifah, Sp.PD


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Allah SWT , karena atas berkat-Nya saya dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Malaria”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama kepada dr. Afifah. Sp.PD
selaku pembimbing dalam referat ini, dokter beserta staf SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Budhi Asih, dan rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih
atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh
karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan referat ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama
dalam bidang ilmu penyakit dalam
.

Jakarta, 2019

Penyusun

Anindya Rezquyta Amelia


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
PERSETUJUAN………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
2.1.3 Etiologi
2.1.4 Siklus Hidup
2.1.5 Patogenesis
2.1.6 Jenis Malaria
2.1.7 Manifestasi Klinis
2.1.8 Diagnosis
2.1.9 Tatalaksana
2.1.10 Kemoprofilaksis
2.1.11 Komplikasi
2.1.12 Prognosis
3. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2012-2015……………………


Gambar 2.2 Siklus hidup Plasmodium malaria………………………………….
Gambar 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Manifestas Klinis Malaria
Gambar 2.4 Manifestasi Klinis Infeksi Plasmodium
Gambar 2.5 Stadium Parasit P. Falciparum hapusan darah tebal tipis……………….

Gambar 2.6 Stadium-stadium dalam siklus hidup P. falciparum pada hapusan

darah tipis………………………………………………………………….
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Gambaran klinis dan laboratorium pada malaria berat 15


Tabel 2.2 Pengobatan Malaria falsiparum menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin 17
Tabel 2.3 Pengobatan Malaria vivaks menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin 18
Tabel 2.4 Pengobatan infeksi campur P.falciparum+P.vivax/P.ovale 18
Tabel 2.5 Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil 19
Tabel 2.6 Pengobatan malaria vivaks pada ibu hamil 19
Tabel 2.7 Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi
malaria P. falciparum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang memberikan morbiditas yang
cukup tinggi di dunia, dan merupakan infeksi yang ke-3 teratas dalam jumlah kematian
terutama di daerah tropis dan sub tropis. Malaria juga merupakan salah satu penyakit menular
yangmasih menjadi salah satu masalah di Indonesia khususnya di beberapa wilayah yang
dinyatakan masih endemis terutama di luar Pulau Jawa. Plasmodium Falciparum adalah
spesies paling dominan dengan 120 juta kasus baru pertahun, dan lebih dari satu juta kematian
pertahun secara global. Hal ini disebabkan karena malaria masih merupakan penyakit menular
yang dapat menyebabkan kematian pada kelompok berrisiko tinggi yaitu bayi, balita, dan ibu
hamil dan secara langsung dapat menurunkan produktivitas kerja. 1,2,3

Di Indonesia, sekitar 38% populasi tinggal di daerah berisiko tinggi malaria dan
dilaporkan sebanyak 38.000 orang meninggal setiap tahun karena malaria berat. Pemerintah
memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama
pada rakyat yang hidup di daerah terpencil. Hal ini tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor: 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
tahun 2015 - 2019 dimana malaria termasuk penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi.4,5

Upaya eliminasi malaria dilakukan secara bertahap dari kabupaten/kota,provinsi, dari


satu pulau ke atau beberapa pulau hingga akhirnya mencakup seluruh Indonesia yang bertujuan
untuk menekan angka kesakitan dan kematian dan dilakukan melalui program pemberantasan
malaria yang kegiatannya meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan
pengendalian vektor yang ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria.6,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Malaria
2.1.1 Definisi
Penyakit Malaria (malaria disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit Plasmodium (P. falciparum, P. vivax, P. ovale, atau P. malariae, P. knowlesi) di dalam
eritrosit atau jaringan (stadium ekstra eritrositik) yang ditandai dengan demam, anemia dan
pembesaran limpa, menggigil. 1,8 .
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 2017, diperkirakan terdapat 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh dunia.
Pada tahun 2017,wilayah Afrika masih menanggung beban morbiditas malaria terbesar, dengan
200 juta kasus (92%), diikuti oleh wilayah Asia Tenggara (5%) dan wilayah Mediterania Timur
(2%). 9
Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium. Parasit ini disebarkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi, yang disebut "vektor malaria." Ada 5 spesies
parasit yang menyebabkan malaria pada manusia, dan 2 spesies yaitu P. falciparum dan P.
vivax merupakan ancaman terbesar. Pada tahun 2017, P. falciparum menyumbang 99,7% dari
perkiraan kasus malaria di Wilayah Afrika, serta dalam sebagian besar kasus di wilayah di Asia
Tenggara (62,8%), Mediterania Timur (69%) dan Pasifik Barat (71,9%). P. vivax adalah parasit
utama di Amerika, mewakili 74,1% kasus malaria.9
Di Indonesia, sekitar 35% populasi tinggal di daerah berisiko tinggi malaria, serta
dilaporkan sebanyak 38.000 orang meninggal setiap tahun disebabkan oleh malaria berat.
Pemerintah masih memandang malaria sebagai ancaman terhadap status kesehatan masyarakat
terutama pada rakyat yang hidup di daerah terpencil.4
Suatu daerah dikatakan endemis malaria jika secara konstan angka kejadian malaria
dapat diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun. Morbiditas malaria
pada suatu wilayah ditentukan dengan Annual Parasite Incidence (API) per tahun. API
merupakan jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk dalam satu tahun. 6
Gambar 2.1. Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2012-2015

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa kasus malaria lebih banyak terkonsentrasi
di wilayah timur Indonesia. Kabupaten/ Kota endemis di wilayah Kalimantan dan Sulawesi
menunjukan adanya penurunan dalam empat tahun terakhir.6

Klasifikasi dari epidemiologi malaria dapat juga menggunakan parameter ukur spleen rate
(angka limpa) atau parasite rate (angka parasit) ditentukan pada pemeriksaaan anak-anak usia
2-9 tahun., yaitu sebagai berikut:1

 Hipoendemik : spleen rate atau parasite rate 0-10%


 Mesoendemik : spleen rate atau parasite rate 10-50%
 Hiperendemik : spleen rate atau parasite rate 50-75%
 Holoendemik : spleen rate atau parasite rate > 75%, dewasa biasanya rendah.
2.1.3 Etiologi

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium.


Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Terdapat lima spesies Plasmodium
yang ditransmisikan dari manusia ke manusia yaitu P. falciparum, P. vivax, P. ovale, dan P.
malariae. Baru-baru ini, ditemukan peningkatan infeksi manusia dengan parasit malaria
monyet yaitu P. knowlesi yang dilaporkan dari kawasan hutan di Asia Tenggara khususnya
pulau Kalimantan.5,10
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut sebagai malaria tertiana,
P.malariae merupakan penyebab penyakit malariaw atau malaria kuartana, P.ovale
merupakan penyebab penyakit malaria ovale dan P. falciparum menyebabkan malaria
falsiparum atau malaria tropikana.
Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terinfeksi malaria adalah:
1. Ras atau suku bangsa
Prevalensi Hemoglobin S (HbS) pada penduduk Afrika cukup tinggi sehingga lebih tahan
terhadap infeksi P.falciparum karena HbS menghambat perkembangbiakan P.falciparum.
2. Kurangnya enzim tertentu.
Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD) memberikan perlindungan
terhadap infeksi P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim G6PD ini merupakan penyakit
genetik dengan manifestasi utama pada wanita.
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang
masuk atau menghalangi perkembangbiakannya
4. Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas tempat tinggalnya.
5. Jenis dan strain Plasmodium.
6. Status gizi.
7. Sudah minum obat anti malaria.
8. Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain).
9. Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis, dan lain-lain.
2.1.4 Siklus Hidup
Siklus hidup malaria melibatkan infeksi siklus manusia dan nyamuk Anopheles betina.
Pada manusia, parasit tumbuh dan berkembang biak pertama kali di sel hati dan kemudian
di sel darah merah . Pada awalnya nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi sporozoit
inoculates menggigit manusia dan akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah
dimana dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan menginfeksi sel hati serta tumbuh
menjadi skizon hati yang bila pecah akan melepaskan 10.000 – 30.000 merozoit ke sirkulasi
darah1.
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale sebagian tropozoit hati tidak langsung
berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit.
Tahap hipnozoit dapat bertahan dalam hati selama berminggu-minggu bahkan bertahun tahun
dan apabila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps
(kekambuhan) dengan menginvasi aliran darah. Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni. Setelah replikasi awal ini dalam hati (skizogoni exo-erythrocytic), plasmodium
akan menyerang eritrosit dan mengalami perkawinan aseksual dalam eritrosit (erythrocytic
schizogony). Merozoit yang menginfeksi sel darah merah akan berubah menjadi trofozoit tahap
cincin dan tumbuh menjadi skizon (8 sampai 30 merozoit), yang mana bila pecah melepaskan
merozoit dan dapat menginfeksi sel darah merah lain. Setelah 2 sampai 3 siklus skizogoni
darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual
yaitu gametosit jantan dan betina.
Pada tahap Gametosit yakni jantan (microgametocytes) dan betina (macrogametocytes)
didalam darah tertelan oleh nyamuk Anopheles selama menghisap darah, perkawinan parasit
di nyamuk dikenal sebagai siklus sporogoni. Sementara di perut nyamuk, mikrogamet yang
menembus makrogamet menghasilkan zigot. Zigot tersebut nantinya akan menjadi motil dan
memanjang (ookinet) kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar
lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista. Ookista yang masak/matang akan
mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap menginfeksi
manusia. 11,12
Gambar 2.2. Siklus Hidup Plasmodium

2.1.5 Patogenesis

Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam


sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutknya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual parasite dalam eritrosit yang berpotensi (EP) inilah yang bertanggung jawab
dalam pathogenesis terjadinya malaria pada manusia. Patogenesis malaria yang banyak diteliti
adalah patogenesis malaria yang disebabkan oleh P. Falciparum1. Patogenesis malaria
dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor pejamu (Host). Yang termasuk dalam faktor parasit
adalah intensitas transmisi, densitas penyakit, dan virulensi penyakit. Sedangkan yang masuk
dalam faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status
nutrisi, dan status imunologi 13.

EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan
stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen
RESA (Ring-erythrocyte surface antigen) yang menghilang setelah parasite masuk stadium
matur. Permukaan membrean EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk
knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila
EP tersebut berubah menjadi merozoit, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI atau
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari
makrofag.1
Sitoaderensi adalah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan eritrosit
vaskular. Perelekatan terjadi molekul adhesif yang terletak dipermukaan knob EP melekat
dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di permukaan endotel vaskular. Sekuenstrasi
adalah sitoaderen menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam
eritrosit matur tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut EP matur yang mengalami
sekuenstrasi. Sedangkan Rosetting adalah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau
lebih eritrosit yang tidak mengandung parasit. 14 Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah
lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoaderen.
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin 1
(IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF-γ). Dari beberapa penelitian
dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat
seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa
komplikasi kadar TNF-α, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian
hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal
atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya
diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free radical dalam kaskade ini
seperti nitrit oksida (NO) sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat. 1
Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator NO baik dalam menimbulkan malaria
berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru memberikan efek protektif
karena membatasi perkembangan parasite dan menurunkan efek molekuladesi. Diduga
produksi NO local di organ terutama otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ
tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu, memberikan perlindungan
terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan malaria berat,
ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrit dan nitrat total pada cairan serebrospinal. Anak-anak
penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar arginine yang rendah. Masalah peran
sitokin proinflamaasi dan NO pada pathogenesis malaria berat masih kontroversial, banyak
hipotesis yang belum dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling
bertentangan.1
2.1.6 Jenis Malaria

Terdapat lima parasit penyebab malaria pada manusia, yaitu 5

1. Malaria Falsiparum

Disebabkan oleh Plasmodium falciparum . Gejala demam timbul intermiten dan dapat
kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang menyebabkan
kematian. Hal ini disebabkan dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam
jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh.

2. Malaria Vivaks

Disebabkan oleh Plasmodium vivax . Gejala demam berulang dengan interval bebas
demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax .

3. Malaria Ovale

Disebabkan oleh Plasmodium ovale . Manifestasi klinis biasanya bersifat ringan. Pola
demam seperti pada malaria vivaks.

4. Malaria Malariae

Disebabkan oleh Plasmodium malariae . Gejala demam berulang dengan interval bebas
demam 3 hari.

5. Malaria Knowlesi

Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi . Gejala demam menyerupai malaria falsiparum

2.1.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan tingginya transmisi
infeksi malaria. Derajat keparahan infeksi dipengaruhi ileh jenis Plasmodium (P. falciparum
sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhada pengobatan),
umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan
kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya.1

Gambar 2.3. Faktor yang Mempengaruhi Manifestas Klinis Malaria

Gejala-gejala awal atau disebut juga gejala prodormal, tidak begitu spesifik,
yaitu sakit kepala, lesu, malaise, perut tidak enak, anoreksia, diare ringan, nyeri tulang
dan otot. Gejala-gejala prodormal kemudian diikuti oleh gejala klasik malaria, atau
biasa disebut dengan trias malaria (demam, anemia, dan splenomegali) yang memiliki
karakteristik demam sebagai berikut :
a. Periode dingin:
Pada periode ini pasien mulai merasakan kedinginan hebat diikuti dengan
menggigil seluruh tubuh, gigi gemeretak,diikuti dengan kulit dingin, kering, pucat
dan sianosis. Pasien berusaha membungkus diri dengan selimut. Periode ini
berlangsung selama 15 menit sampai satu jam.
b. Periode panas:
Pada periode ini suhu tubuh meningkat sampai 40°C atau lebih, kulit panas dan
kering, dan muka memerah. Periode ini berlangsung selama dua jam bahkan bisa
mencapai enam jam.
c. Periode berkeringat:
Periode ini pasien mulai berkeringat, mulai dari temporal diikuti seluruh tubuh.
Suhu tubuh menurun dengan cepat dan penderita merasa tubuhnya sehat kembali
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa
mekanisme terjadinya anemia ialah: destruksi eritrosit oleh parasit, hambatan sementara
eritropoiesis, hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen,
eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran
limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari
dari serangan infeksi akut, limpa menjadi membesar, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan
organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria.1
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria adalah:1
 Serangan primer yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi
serangan parkosismal yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat.
Serangan paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari jumlah parasit dan
keadaan imunitas penderita.
 Periode laten yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
 Rekrudesensi yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi berupa berulangnya
gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering disebut relaps waktu
panjang.
 Rekurens yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnya serangan primer.
 Relaps atau rechute yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama
dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi primer atau setelah periode yang
lama dari masa laten (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh
oleh bentuk di luar eritrosit pada malaria vivaks atau ovale.

Gambar 2.4. Manifestasi Klinis Infeksi Plasmodium


2.1.8 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis saja bervariasi dan tidak spesifik sehingga penegakan diagnosis
berdasarkan gejala klinis mempunyai spesifisitas yang rendah. Adanya riwayat/anamnesa
penderita tentang asal apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke daerah
malaria sangat membantu dalam memperkirankan adanya infeksi malaria. WHO
merekomendasikan diagnosis berdasarkan gejala klinis dengan 2 petunjuk:5,8
- Bila risiko infeksi malaria rendah, kemungkinan transmisi malaria minimal, diagnosis
berdasarkan adanya demam selama 3 hari dan tidak ditemukan penyebab infeksi
lainnya.
- Bila penderita risiko malaria tinggi, dan transmisi malaria sangat tinggi, diagnosis
berdasarkan adanya demam satu hari disertai adanya anemia, pada anak sering ditandai
dengan pucat di telapak tangan.

Diagnosis pasti dengan menemukan adanya parasit malaria ditegakkan dengan


pemeriksaan mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan dibantu dengan
Rapid Diagnostic Test (RDT).1
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:5
a. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria.
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.

Pada pemeriksaan fisik sangat penting diperhatikan5


a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali)

Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
b. Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di Puskesmas/lapangan/ rumah
sakit/laboratorium klinik untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.

c. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test)


Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan
menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu
dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT
tidak digunakan untuk mengevaluasi pengobatan. Rapid Diagnostic Test (RDT)
dapat digunakan bila pemeriksaan miksroskopis tidak tersedia. RDT untuk
mendeteksi pfHRP2 dapat berguna untuk pasien yang tidak mendapatkan terapi anti
malaria secara komplit, dimana hasil apusan darah menunjukkan negatif. Pada
pasien dengan klinis malaria berat tetapi pemeriksaan apusan darah serial awalnya
negatif, harus dilakukan pemeriksaan apusan darah serial dengan interval 6-12 jam
atau menggunakan RDT (dianjurkan yang mendeteksi pfHRP2). Apabila kedua
pemeriksaan negatif, maka diagnosis malaria sangat tidak dipertimbangkan. Pada
daerah endemis P. vivax dan pemeriksaan mikroskopis tidak tersedia, disarankan
menggunakan RDT yang mampu mendeteksi antigen P. vivax (antigen pLDH dari
P. vivax) atau antigen malaria (pan-pLDH atau aldolase).10

Untuk melihat kepadatan parasit, ada dua metode yang digunakan yaitu semi-
kuantitatif dan kuantitatif. Metode yang biasa digunakan adalah metode semi-
kuantitatif dengan rincian:
(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)

(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)

(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1000 LPB)

(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 1000 LPB)


Sedangkan untuk metode kuantitatif, pada SDr tebal menghitung jumlah parasit/200
leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah jumlah parasit/1000 eritrosit

Gambar 2.5. Stadium Parasit P. Falciparum hapusan darah tebal tipis15

Gambar 2.6 Stadium-stadium dalam siklus hidup P. falciparum pada apusan darah tipis.
A: Bentuk cincin (tropozoid awal). B: Schizont matur, jarang terlihat di sediaan apus
darah perifer karena sekuestrasi mikrovaskular. C: Gametosid, bentuk pisang.11
Malaria berat disebabkan oleh Plasmodium falsiparum. Selain Plasmodium Falsifarum
malaria berat juga dapat disebabkan oleh P. Vivax dan P. Knowlesi.1 Pada Plasmodium
falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan
temuan hasil laboratorium

Tabel 2.1 Gambaran klinis dan laboratorium pada malaria berat5,10


Gambaran klinis Gambaran laboratorium
Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
<3)
Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) Asidosis metabolik (bikarbonat plasma
<15 mmol/L)
Kejang berulang-lebih dari dua episode Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis
dalam 24 jam tinggi, <7gr% untuk endemis sedang-
rendah), pada dewasa Hb<7gr% atau
hematokrit <15%)
Distres pernafasan Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit
atau 100.000 parasit /μL di daerah
endemis rendah atau > 5% eritrosit atau
100.0000 parasit /μl di daerah endemis
tinggi)
Gagal sirkulasi atau syok: pengisian Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
kapiler > 3 detik, tekanan sistolik
Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan Hemoglobinuria
kepadatan parasit >100.000)
Hemoglobinuria Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum
>3 mg%)
Perdarahan spontan abnormal
Edema paru (radiologi, saturasi oksigen
<92%)
2.1.9 Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh


semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal
untuk mendapat kesembuhan kilinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan.
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena bersifat
iritasi lambung, oleh sebab itu penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat
anti malaria.7
Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan pemberian ACT. Pemberian
kombinasi ini untuk meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi. Malaria tanpa
komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara oral. Malaria berat diobati dengan injeksi
Artesunat dilanjutkan dengan ACT oral. DHP diindikasikan untuk terapi malaria falsiparum
dan vivaks tanpa komplikasi dan sangat efektif mengobati malaria ovale, knowlesi dan
malariae. DHP digunakan pula sebagai pengobatan lanjutan pada malaria berat setelah pasien
mampu mentoleransi obat oral. DHP diabsorbsi baik lewat saluran pencernaan, akan mencapai
kadar puncak di plasma 1-3 jam dan waktu paruh 1 hari untuk dehidroartemisin dan 3-6 jam
dengan waktu paruh 2-4 minggu untuk piperaquine. Secara umum DHP ditoleransi dengan baik
oleh tubuh, efek samping ringan berupa mual, muntah dan diare anoreksia, anemia, pusing,
sakit kepala, gangguan tidur dan batuk. Piperaquine diduga menyebabkan pemanjangan
interval QT pada elektrokardiografi. Di samping itu diberikan primakuin sebagai gametosidal
dan hipnozoidal.5,10
Pengobatan malaria tanpa komplikasi.
1) Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT ditambah
primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks,
Primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan
dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25
mg /kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan
malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini:
Tabel 2.2 Pengobatan Malaria falsiparum menurut berat badan dengan DHP dan Primakuin 5

Tabel 2.3 Pengobatan Malaria vivaks menurut berat badan dengan DHP dan Primakuin 5

Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat
badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.

a. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel pengobatan), maka
dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan.

b. Apabila pasien P. falciparum dengan BB >80 kg datang kembali dalam waktu 2 bulan
setelah pemberian obat dan pemeriksaan Sediaan Darah masih positif P. falciparum maka
diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3 hari.
2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps

Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan dengan regimen ACT yang sama
tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.

3) Pengobatan malaria ovale Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu
DHP ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan
untuk malaria vivaks.

4) Pengobatan malaria malariae

Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin

5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale

Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan
dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Tabel 2.4 Pengobatan infeksi campur P.falciparum P.vivax/P.ovale dengan DHP + Primakuin 5

Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan, apabila penimbangan berat
badan tidak dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.
Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan (pada tabel pengobatan), maka
dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan. Untuk anak dengan obesitas gunakan
dosis berdasarkan berat badan ideal. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
Metode pengobatan pada ibu hamil prinsipnya sama dengan pengobatan pada orang
dewasa. Perbedaannya adalah pemberian obat malaria disesuaikan berdasarkan umur
kehamilan. ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan primakuin tidak boleh
diberikan sama sekali pada ibu hamil.5
Tabel 2.5 Pengobatan malaria falsiparum pada ibu hamil8

Tabel 2.6 Pengobatan malaria vivaks pada ibu hamil8

Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit (RS) atau puskesmas
perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga kurang memadai, misalnya jika dibutuhkan fasilitas
dialisis, maka penderita harus dirujuk ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap. Prognosis
malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.

Untuk pengobatan di Puskesmas / klini non–perawatan adalah pemberian artemeter


intramuscular 3,2mg/kgBB dan segera rujuk ke fasilitas dengan rawat inap. Untuk pengobatan
di klinik perawatan atau rumah sakit, terapi pilihan pertama adalah artesunat intravena. Dosis
yang diberikan adalah 2,4 mg/kgBB sebanyak 3 kali (jam 0,12,24) dilanjutkan dengan dosis
yang sama setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah
bisa minum obat, berikan ACT 3 hari dan primakuin (sesuai jenis plasmodiumnya). Artesunat
parenteral tersedia dalam vial yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk
membuat 1 ml larutan natrium artesunat. Kemudian diencerkan dengan dextrose 5% atau NaCl
0,9% sebanyak 5 ml sehingga didapat konsentrasi 60 mg / 6 ml (10 mg/ml). Obat diberikan
secara bolus perlahan-lahan.8
Alternatif terapi adalah artemeter intramuskular dengan dosis 3,2 mg/kgBB pada hari
pertama dan dilanjutkan dengan 1,6 mg/kgBB satu kali seari sampai penderita mampu minum
obat. Apabila penderita sudah bisa minum obat , berikan ACT 3 hari dan primakuin (sesuai
jenis plasmodiumnya). Artemeter diberikan secara intramuscular dan tersedia dalam ampul
yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak.8
Alternatif lainnya adalah kina drip. Untuk dewasa, loading dose sebesar 20 mg/kgBB
dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. 4 jam
kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. 4 jam berikutnya diberikan kina
dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9%. 4 jam
selanjutnya hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi
dosis rumatan seperti diatas sampai penderita dapat minum kina per oral. Bila sudah dapat
minum obat, pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis 10
mg/kgBB/kali diberkan tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin
pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari dihitung
sejak pemberian kina perinfus yang pertama. Pada anak, dosis kina HCl 25% perinfus dosis 10
mg/kgBB (bila umur <2 bulan: 6-8 mg/kgBB) diencerkan dengan dextrose 5% atau NaCl 0,9%
sebanyak 5-10 cc/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat
minum obat. Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi jantung dan
dapat menimbulkan kematian.8
Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan kina HCl drip
intravena pada trimester 1 dan artesunat/artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3.8
Dosis derivat artemisin tidak perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan hati. Namun kina dapat terakumulasi pada organ vital oleh karena itu pasien malaria
berat yang mengalami gangguan ginjal dan hati atau tidak ada perbaikan dalam 48 jam, dosis
kina diturunkan sepertiga sampai 10 mg/kgBB setiap 12 jam. Kina tidak dieliminasi dengan
dialysis sehinga tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan dialisis.16
Pada penderita rawat jalan evaluasi pengobatan dilakukan pada hari ke 3, 7, 14, 21
dan 28 dengan pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara mikroskopis. Apabila terdapat
perburukan gejala klinis selama masa pengobatan dan evaluasi, penderita segera dianjurkan
datang kembali tanpa menunggu jadwal tersebut di atas. Sedangkan pada penderita rawat
inap evaluasi pengobatan dilakukan setiap hari dengan pemeriksaan klinis dan darah malaria
hingga klinis membaik dan hasil mikroskopis negatif. Evaluasi pengobatan dilanjutkan pada
hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara mikroskopis.5

2.1.10 Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga bila
terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang
bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis,
peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain Untuk kelompok atau individu yang akan
bepergian/tugas dalam jangka waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personaI protection
seperti pemakaian kelambu, repellent, kawat kassa dan Iain-lain. 2 Sehubungan dengan laporan
tingginya tingkat resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin
menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2
mg/kgbb selama tidak Iebih dari 4-6 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak
umur < 8 tahun dan ibu hamil. Kemoprofilaksis untuk Plasmodium vivax dapat diberikan
klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb setiap minggu. Obat tersebut diminum satu minggu sebelum
masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali. Dianjurkan tidak menggunakan
klorokuin lebih dan 3-6 bulan.7
2.1.11 Komplikasi
Komplikasi pada malaria berat dapat mencapai renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut.
Pada kehamilan dapat menimbulkan abortus spontan, pertumbuhan janin terhambat (IUGR),
BBLR, malaria kongenital (<5% pada bayi dan ibu terinfeksi), malaria berat pada ibu, kematian
ibu dan janin.8

Tabel 2.7 Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi malaria P.
falciparum8
2.1.12 Progonosis
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan
pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan
pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %. Prognosis
malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ.
Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %, mortalitas dengan kegagalan 4
atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis
malaria berat yaitu:1,8
- Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Malaria ( malaria disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit Plasmodium (P. falciparum, P. vivax, P. ovale, atau P. malariae, P. knowlesi) di
dalam eritrosit atau jaringan (stadium ekstra eritrositik) yang ditandai dengan demam, anemia
dan pembesaran limpa, menggigil.

Pada tahun 2017, diperkirakan terdapat 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh
dunia. Di Indonesia, sekitar 35% populasi tinggal di daerah berisiko tinggi malaria, serta
dilaporkan sebanyak 38.000 orang meninggal setiap tahun disebabkan oleh malaria berat.

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, dan tingginya transmisi
infeksi malaria. Derajat keparahan infeksi dipengaruhi ileh jenis Plasmodium (P. falciparum
sering memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhada pengobatan), umur
(usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan
,nutrisi, kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya.
Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan
darah secara mikroskopik atau Rapid Diagnostik Test (RDT).
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh
semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun tujuan pengobatan radikal
untuk mendapat kesembuhan kilinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan.
Prognosis malaria berat tergantung dari kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN. Malaria. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M,


Setiati S. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid I. Jakarta:
InternaPublishing; 2014.
2. Ramdja M, Mekanisme Resistensi Plasmodium Falsiparum Terhadap Klorokuin.
MEDIKA. No. XI, Tahun ke XXIII. Jakarta, ; Hal: 873.
3. Hakim L, Malaria Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator ;2011;3(2) : 107-16
4. Soedarto. Malaria: Referensi Mutakhir. Jakarta: Sagung Seto; 2011.
5. Samad I, Theodora M, Mulyani PS (ed). Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria.
Jakarta: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI;
2017.
6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Malaria. Jakata: Kemenkes:2016;
1-8
7. Kartono M. Nyamuk Anopheles: Vektor Penyakit Malaria. MEDIKA. No.XX, tahun
XXIX. Jakarta, 2003; 615
8. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DI (ed). Malaria. Penatalaksanaan
di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Interna Publsihing; 2015.
9. WHO. World Malaria Report 2018. [Internet]. Who.int. 2018 [disitasi 30 Maret
2019] diakses dari: https://www.who.int/malaria/publications/world-malaria-report-
2018/en/
10. WHO. Guidelines for The Treatment of Malaria. 3rd ed. Geneva: World Health
Organization; 2015.
11. CDC. Malaria - About Malaria - Biology [Internet]. Cdc.gov. 2019 [disitasi 30 Maret
2019]. Diakses dari: https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/index.html
12. Harijanto PN. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, manifestasi Klinis & Penanganan.
Jakarta: EGC; 2003
13. Daneshvar C, Davis TME, Cox-Singh J, Rafa’ee MZ, Zakaria SK, Divis PCS, et al.
Clinical and Laboratory Features of Human Plasmodium knowlesi Infection. Clin
Infect Dis.2009: 49(6):852-6
15. Natalia D. Peranan Trombosit Dalam Patogenesis Malaria. 2014: 37(3):219–25.
16. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria.Jakarta:
KEMENKES: 2011: 1-50
17. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010.

Anda mungkin juga menyukai