Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

SHOCK ANAFILAKSIS

Penyusun :
Anindya Rezquyta Amelia
030.15.025

Pembimbing :
dr. I Nyoman Adnyana Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI 2019 –13 JULI 2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :


"Shock Anafilaksis "

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Dasar Ilmu Anestesi Rumah Sakit ngkatan Laut Dr. Mintoharjo"
Periode 10 Juni 2019 - 13 Juli 2019

Disusun Oleh:

Anindya Rezquyta Amelia


030.15.025

Jakarta 10 Juni 2019

Mengetahui,

Dokter Pembimbing
dr. I Nyoman Adnyana Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah referat dengan judul "Shock
Anafilaksis." Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo periode
10 Juni 2019 – 13 Juli 2019.

Penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bimbingan berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih
terutama kepada dr. I Nyoman Adnyaya Sp.An selaku pembimbing atas pengarahannya
selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Ilmu Anestesi. Penulis juga berterimakasih
kepada orangtua, seluruh dokter dan staff Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut
Dr. Mintoharjo, serta teman-teman kepaniteraan klinik ilmu anestesi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk melengkapi referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, profesi, dan
masyarakat luas.

Jakarta, Juni 2019

Anindya Rezquyta A.
030.15.025

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT ...................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2


2.1 Definisi ..................................................................................... 2
2.2 Faktor Predisposisi dan Etiologi .............................................. 2
2.3 Patofisiologi.............................................................................. 4
2.4 Manifestasi Klinis...................................................................... 7
2.5 Diagnosis .................................................................................. 10
2.6 Penatalaksanaan........................................................................ 13

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Syok merupakan suatu sindroma klinik yang mempunyai ciri-ciri berupa


hipotensi,takikardi,kulit yang terasa dingin,sianosis
perifer,hiperventilasi,perubahan status mental dan penurunan pembentukan
urin. Pada umumnya syok terjadi akibat berbagai keadaan yang
menyebabkan berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung
(misalnya serangan jantung), atau gagal jantung, volume darah yang rendah
(akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembulih
darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Anaphylaxis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti Ana adalah jauh
dan phylaxis adalah perlindungan. Jadi menurut Bahasa, Anaphylaxis
berarti menghilangkan perlindungan. Definisi anafilaksis sendiri adalah
reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa system organ terutama
kardiovaskular,respirasi, kutan dan gastroinstestinal yang merupakan reaksi
imunologis yang di dahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya
sudah tersensitisasi.
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan
termasuk reaksi Hipersensitivitas tipe I pada manusia dan mamalia pada
umumnya yang berpotensial fatal dan menimbulkan reaksi multiorgan yang
disebabkan oleh dilepasnya mediator-mediator inflamasi dari mast cells dan
basophil. Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid.
Gejala,terapi dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau
basophil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE.
Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-
kira 1500-2000 kematian pertahun. Kasus nonfatal lebih sering muncung,
yakni sekitar 0,2% dari populasi tiap tahunnya. Di perkirakan 1-15% dari
populasi Amerika Serikat berada dalam resiko mendapatkan reaksi
anafilaksis atau reaksi anafilaktoid, rata-rata reaksi anafilaksis akibat
makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin dan 0,5-5% untuk
gigitan serangga.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anafilaksis merupakan reaksis sistemik akut dengan reaksi hipersensitivitas


tipe cepat yang dapat melibatkan seluruh organ dan berpotensi mengancam jiwa.
Anafilaksis dapat menyebabkan syok karena gabungan proses patofisiologi distributive
dan hipovolemik. Anafilaksis terjadi akibat aktivitas sel mast dan basophil melalui
immunoglobulin E yang mengikat alergen tertentu, dan kemudian menghasilkan
pelepaasan imunostimulator dan protein vasoaktif, disertai dengan vasodilatasi sistemik
hebat dan kebocoran vascular difus.

Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas


generalista atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri
dibagi menjadi tiga, alergi, non alergi, dan idiopatik.Anafilaksis alergi terjadi bila
diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-
IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo alergi(atau anafilaktoid) diperantarai
penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu anafilaksis yang tidak
diketahui penyebabnya. 5

2.2 Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah: 5,7
 Sifat alergen
 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma

 Jalur pemberian obat


Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih
sedikit kemungkinannyamenimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak
berat, meskipunreaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi
setelahmenelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama

2
dankedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.
 Riwayat atopi
Pada studi berbasis populasi di OlmstedCounty, 53% dari pasien anafilaksis
memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi
merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi
terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak
didapati pada reaksi terhadappenisilin dan gigitan serangga.
 Kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1,
asam folat, agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen
biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh
obat-obatan herbal.
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan
reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara
1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang setelah
dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji
kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis.
Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti
masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi
anafilaksis.

3
Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid

2.3 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas

tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase

sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk

pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit

dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan

ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.8,9,10

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan

ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi

Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig

E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast

(Mastosit) dan basofil.8,9,10

4
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang

sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan

memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain

histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di

sebut dengan istilah preformed mediators.8,9,10

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran

sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi

beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor

adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator

yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ

tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas

kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot

polos.

Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik

menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan

menyebabkan bronkokonstriksi.8,9,10

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan

aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan

tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada

hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang

membahayakan penderita.10

5
6
2.4 Manifestasi Klinis

Reaksi anafilaksis pada dasarnya bermanifestasi pada kulit, saluran pernapasan,


saluran pencernaan dan system kardiovaskular. Anafilaksis diklasifikasikan
berdasarkan derajat keparahan I-IV, tergantung pada intensitas gejala klinis

Tabel Derajat Keparahan Reaksi Anafilaksis

Derajat Kulit Abdomen Jalan Napas Sistem


Kardiovaskular

I Gatal - - -

Merah

Urtikaria

Angioedema

II Gatal Mual Rinore Takikardi

Merah Kram Sesak Hipertensi

Urtikaria Dispneu Aritmia

Angioedema

III Gatal Muntah Edema laring Syok

Merah Defekasi Bronkospasme

Urtikaria Sianosis

Angioedema

IV Gatal Muntah Henti napas Henti jantung

Merah Defekasi

Urtikaria

Angioedema

Gejala-gejala anafilaksis biasanya muncul secara akut dan dapat berkembang


dengan sangat cepat. Dalam arti gejala dapat mengalami perburukan dalam beberapa
menit dan dapat mengakibatkan kematian. Namun, reaksi juga dapat terhenti secara

7
spontan pada tahap apapun dan menurun secara spontan. Pada derajat I, perkembangan
dan dinamika reaksi lebih lanjut sulit untuk diperkirakan. Gejala dapat terjadi baik
secara stimultan atau berurutan. Dapat terjadi reaksi utama kardiovaskular tanpa
didahului manifestasi klinis pernapasan sebelumnya. Terkadang dapat juga terjadi
perjalanan reaksi yang berkepanjangan atau bifasik dengan gejala ulangan 6-24 jam
setelah terapi awal berhasil. Selain itu dapat juga muncul reaksi anafilaksis tertunda
yang dapat terjadi dimana gejala muncul beberapa jam setelah paparan alergen.11

Pada fase awal anafilaksis, dapat muncul gejala atau tanda prodromal ringan,
seperti gatal atau terbakar pada telapak tangan dan telapak kaki atau di area genital, rasa
logam pada lidah, perasaan takut,sakit kepaala, atau disorientasi. Anak-anak kecil yag
tidak dapat mengungkapkan perasaan ini secara khusus dan bermanifestasi tersebut
dapat muncul sebagai gelisah atau perilaku menarik diri bahkan sebelum terjadi tanda-
tanda objektif.

Dalam anafilaksis sebagian besar kulit dan selaput lender memunculkan


manifestasi seperti pruritus, eritema (kemerahan) serta urtikaria dan angioedema.
Manifestasi tersebut dapat terjadi di area kulit yang tidak mengalami kontak langsung
dengan alergen (penyebaran sistemik). Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva,
edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners,
yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak 9,10

Pada saluran napas bagian atas, pasien sering mengeluhkan rasa terbakar,
kesemutan atau gatal pada lidah atau langit-langit mulut sebagai gejalaa awal. Pada
orofaring, dapat diamati pembengkakan uvula dan lidah. Tanda-tanda klinis lainnya
adalah suara serak, disfagia dengan salivasi, atau stridor inspirasi. Edema laring dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas yang diikuti dengan hipoksia yang mengancam
jiwa dalam periode waktu yang singkat.

Pada paru-paru, khususnya untuk pasien dengan asma dapat terjadi


bronkokonstriktor dan dyspnea. Tanda-tanda klinis berupa wheezing, ekspirasi
memanjang dan peningkatan laju pernapasan. Obstruksi bronkial merupakan gejala
utama dalam reaksi yang mengancam jiwa, terutama pada anak-anak dan remaja.
Derajat asma pasien juga berkorelasi langsung dengan tingkat keparahan reaksi
anafilaksis.

8
Gejala gastrointestinal yang dapt terjadi antara lain nyeri kram perut, mual,
muntah dan diare. Mungkin juga ditemukan peningkatan motilitas usus dengan
meteorismus, dorongan untuk buang air besar dan bahkan inkotinensia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine
(oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. Pada anak-anak, gejala oral ringan atau kemerahan perioral
disertai muntah mungkin merupakan satu-satunya gejala anafilaksis yang disebabkan
oleh makanan.

Karena vasodilatasi dan peningkayan permeabilitas pembuluh darah, maka


terjadi kehilangan cairan ke ruang ekstravaskuler yang berakibat hemokonsentrasi dan
hypovolemia, diikuti oleh hipotensi arteri dan takikardi. Gejala jantung yang terjadi
antara lain aritmia, bradikardi, atau infark miokard.

Gejala sistem saraf pusat antara lain gelisah, perilaku menarik diri, nyeri kepala,
kejang,gangguan dan kehilangan kesadaran. Depresi sumsum tulang yang
menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi
pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan
metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan
perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.

9
2.5 Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau

lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis

maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu

kriteria.12

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga

beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya

bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir,

lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,

bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan

darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia).12

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak

setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga

beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik

kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula);

Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,

penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan

(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten

(misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).12

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada

alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada

bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik

10
kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah

awal.12

Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut 13:

1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala

- Pasien terlihat baik atau tidak baik

- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih

lambat dari onset

- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan

lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan lebih cepat onsetnya dari trigger

ingesti oral.

- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami “sense of impending”

2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems

Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.

Airway Problem :

- Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak

(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa

tenggorokan tertutup.

- Suara Hoarse

- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami

obstruksi.

Breathing Problems :

- Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas

- Wheezing

- Pasien menjadi lelah

- Kebingungan karena hipoksia

11
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign

- Respiratory arrest

Circulation problem

- Tanda syok, pucat, berkeringat.

- Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)

- Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness), kolaps.

- Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran

- Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah

walaupun individu dengan normal arteri kononer.

- Cardiac arrest

3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa

Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.

- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.

- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya

- Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.

- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar,

merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.

- Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih

dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan

tenggorokan.

12
2.6 Penatalaksanaan

Setelah terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah terpapar alergen baik

peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan

adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga

menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki

diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam

usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.6,7,8

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari

tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.

o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak

ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan

leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu

dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula

ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus

segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,

atau trakeotomi.

o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada

tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke

hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan

terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami

sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus

diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.

o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis

atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.6,7,8

13
Medikamentosa

Adrenalin merupakan obat yang paling penting dalam mengatasi shock

anafilakis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan

pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung.

Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang

poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan

basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan

mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh

darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan

darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Adrenalin harus diberikan

kepada semua pasiem dengan manifestasi yang mengancam jiwa. 7,11,12

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun

sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan

syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian

intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan

lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg)

untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang

beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan

perbaikan.3,4,6,8

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan

tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia.

Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi

injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam

injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin

1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat

14
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari

pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama

beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok

anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara

penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang

cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut.7,8,11

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat

yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.

Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan

peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan

mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan

merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat

diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat

diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg)

harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila

penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai

gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah

dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam

selama 48 jam.7,8,13

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya

digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis

atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan

menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt

diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12

15
jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB

setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.7,8

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-

7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau

aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9%

dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator

aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak

0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.7,8

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan

vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml

dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60

mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai

dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol

bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin

0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose 5%. 3,7,8

Terapi Cairan.

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk

koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan

utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan

darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan

antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan

permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan

kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma.

Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40%

16
dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan

jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.14

Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama

dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,

volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk

meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 14

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik

dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa

dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin

sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh

dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi

dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,

tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam

sampai keadaan fungsi membaik.

Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,

kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan

komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak

permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema

menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah

dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus

dirawat di rumah sakit.16

17
Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

18
BAB III

KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok

anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat

tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu

makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat

meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat,

riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam

hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada

vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat

terjadi pada satu atau lebih organ target.

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu dalam

mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan

tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan

penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan

resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis;

monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara

intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Apabila

ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi

anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and critical care
medicine. In : belval b, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. 5th ed. USA: 2013

2. Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Cardona V, et al. International Consensus
on (ICON) Anaphylaxis.World Allergy Organization Journal.2014;7:9

3. Price Sylvia, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Edisi 6. EGC,


Jakarta, 2006

4. Muhiman, Muhardi, dkk, Anestesiologi, Staf Pengajar Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, Cetakan Pertama, 1989.
5. Soenarjo, Jatmiko Dwi H. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi, Semarang. 2010

6. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.


2008; Chapter 88, hal 1948-1963.2.
7. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-14455.
8. Brown AF. Anaphylactic shock: mechanisms and treatment. Journal of
Accident & Emergency Medicine. 1995;12 (2):89-100.
9. Ring, J, et all. Guidelines for acute therapy and management of anaphylaxis.
Allergo journal international: 2013 : 23(3): 96-112

10. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
11. Simons FER. Anaphylaxis. JACI. 2010:125(2):2.p.161-81.
12. Working group of the resuscitation council (UK). Emergency treatment of
anaphylactic reactions : guidelines for heathcare provider. Resucitaion council.
2008

13. McHugh D. Anaphylactic Shock. Emergency Medicine Journal. 1996:13:150.


14. Brown SGA, Mullins RJ, Gold MS. Anaphylaxis: Diagnosis and Management:
Med J Aust.2006: 185(5):283-89.

20

Anda mungkin juga menyukai