SHOCK ANAFILAKSIS
Penyusun :
Anindya Rezquyta Amelia
030.15.025
Pembimbing :
dr. I Nyoman Adnyana Sp.An
1
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
dr. I Nyoman Adnyana Sp.An
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah referat dengan judul "Shock
Anafilaksis." Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintoharjo periode
10 Juni 2019 – 13 Juli 2019.
Penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bimbingan berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih
terutama kepada dr. I Nyoman Adnyaya Sp.An selaku pembimbing atas pengarahannya
selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Ilmu Anestesi. Penulis juga berterimakasih
kepada orangtua, seluruh dokter dan staff Ilmu Anestesi Rumah Sakit Angkatan Laut
Dr. Mintoharjo, serta teman-teman kepaniteraan klinik ilmu anestesi.
Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk melengkapi referat ini.
Semoga referat ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, profesi, dan
masyarakat luas.
Anindya Rezquyta A.
030.15.025
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN REFERAT ...................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah: 5,7
Sifat alergen
Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma
2
dankedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.
Riwayat atopi
Pada studi berbasis populasi di OlmstedCounty, 53% dari pasien anafilaksis
memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi
merupakan faktor risiko untukreaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi olehlatihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi
terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak
didapati pada reaksi terhadappenisilin dan gigitan serangga.
Kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid,OAT, vitamin B1,
asam folat, agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen
biologis seperti antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh
obat-obatan herbal.
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian
media kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan
reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara
1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang setelah
dipakainya media kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji
kulit (terutama intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis.
Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti
masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi
anafilaksis.
3
Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid
2.3 Patofisiologi
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan
E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
4
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor
adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin
polos.
menyebabkan bronkokonstriksi.8,9,10
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita.10
5
6
2.4 Manifestasi Klinis
I Gatal - - -
Merah
Urtikaria
Angioedema
Angioedema
Urtikaria Sianosis
Angioedema
Merah Defekasi
Urtikaria
Angioedema
7
spontan pada tahap apapun dan menurun secara spontan. Pada derajat I, perkembangan
dan dinamika reaksi lebih lanjut sulit untuk diperkirakan. Gejala dapat terjadi baik
secara stimultan atau berurutan. Dapat terjadi reaksi utama kardiovaskular tanpa
didahului manifestasi klinis pernapasan sebelumnya. Terkadang dapat juga terjadi
perjalanan reaksi yang berkepanjangan atau bifasik dengan gejala ulangan 6-24 jam
setelah terapi awal berhasil. Selain itu dapat juga muncul reaksi anafilaksis tertunda
yang dapat terjadi dimana gejala muncul beberapa jam setelah paparan alergen.11
Pada fase awal anafilaksis, dapat muncul gejala atau tanda prodromal ringan,
seperti gatal atau terbakar pada telapak tangan dan telapak kaki atau di area genital, rasa
logam pada lidah, perasaan takut,sakit kepaala, atau disorientasi. Anak-anak kecil yag
tidak dapat mengungkapkan perasaan ini secara khusus dan bermanifestasi tersebut
dapat muncul sebagai gelisah atau perilaku menarik diri bahkan sebelum terjadi tanda-
tanda objektif.
Pada saluran napas bagian atas, pasien sering mengeluhkan rasa terbakar,
kesemutan atau gatal pada lidah atau langit-langit mulut sebagai gejalaa awal. Pada
orofaring, dapat diamati pembengkakan uvula dan lidah. Tanda-tanda klinis lainnya
adalah suara serak, disfagia dengan salivasi, atau stridor inspirasi. Edema laring dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas yang diikuti dengan hipoksia yang mengancam
jiwa dalam periode waktu yang singkat.
8
Gejala gastrointestinal yang dapt terjadi antara lain nyeri kram perut, mual,
muntah dan diare. Mungkin juga ditemukan peningkatan motilitas usus dengan
meteorismus, dorongan untuk buang air besar dan bahkan inkotinensia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine
(oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. Pada anak-anak, gejala oral ringan atau kemerahan perioral
disertai muntah mungkin merupakan satu-satunya gejala anafilaksis yang disebabkan
oleh makanan.
Gejala sistem saraf pusat antara lain gelisah, perilaku menarik diri, nyeri kepala,
kejang,gangguan dan kehilangan kesadaran. Depresi sumsum tulang yang
menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi
pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan
metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan
perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob
menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.
9
2.5 Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis
maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu
kriteria.12
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya
lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia,
sinkop, inkontinensia).12
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada
bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan
darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik
10
kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah
awal.12
- Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih
- Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan
lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan lebih cepat onsetnya dari trigger
ingesti oral.
Airway Problem :
tenggorokan tertutup.
- Suara Hoarse
- Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami
obstruksi.
Breathing Problems :
- Wheezing
11
- Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
- Respiratory arrest
Circulation problem
- Cardiac arrest
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi anafilaksis.
- Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar,
dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan
tenggorokan.
12
2.6 Penatalaksanaan
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
atau trakeotomi.
o Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis
13
Medikamentosa
Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang
poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan
darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan
darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek. Adrenalin harus diberikan
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan
intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan
lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg)
untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang
beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan
perbaikan.3,4,6,8
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia.
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi
injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
14
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari
beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok
anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara
penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg)
harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila
selama 48 jam.7,8,13
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya
digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis
menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt
diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12
15
jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB
7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator
aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml
dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai
dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol
bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan
antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan
kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma.
Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40%
16
dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan
volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi
dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan,
tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak
menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus
17
Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis
18
BAB III
KESIMPULAN
Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok
anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat
tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu
makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat
meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat,
hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada
vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu dalam
mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan
tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan
penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan
resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis;
monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara
intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and critical care
medicine. In : belval b, Lebowitz H. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology. 5th ed. USA: 2013
2. Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Cardona V, et al. International Consensus
on (ICON) Anaphylaxis.World Allergy Organization Journal.2014;7:9
10. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
11. Simons FER. Anaphylaxis. JACI. 2010:125(2):2.p.161-81.
12. Working group of the resuscitation council (UK). Emergency treatment of
anaphylactic reactions : guidelines for heathcare provider. Resucitaion council.
2008
20