Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

KONJUNGTIVIS ALERGI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Syiah Kuala
Rumat Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh:

Rauzah Munziah

Pembimbing:

dr. Saiful Basri, Sp. M

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2018

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ke hadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Konjungtivitis Alergi”.
Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW,
atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “Konjungtivitis Alergi”. Diajukan
sebagai salah satu tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik senior pada
bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala,
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Saiful Basri, Sp. M yang telah meluangkan waktunya untuk
memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Banda Aceh, Februari 2018

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi................................................................................. 3
2.2 Definisi.................................................................................. 5
2.3 Epidemiologi......................................................................... 5
2.4 Etiologi.................................................................................. 6
2.5 Patofisiologi.......................................................................... 6
2.6 Klasifikasi............................................................................. 7
2.7 Diagnosis............................................................................... 13
2.8 Tatalaksana............................................................................ 13
2.9 Prognosis dan Komplikasi.................................................... 15

BAB III LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien..................................................................... 16
3.2 Anamnesis ............................................................................ 16
3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................ 17
3.4 Foto Klinis............................................................................ 17
3.5 Status Oftalmologi................................................................ 18
3.6 Pemeriksaan Slitlamp........................................................... 19
3.7 Diagnosa Kerja..................................................................... 19
3.8 Tatalaksana........................................................................... 19
3.9 Prognosis.............................................................................. 19

BAB IV ANALISA KASUS......................................................................... 20

BAB V KESIMPULAN.............................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat


reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi
biasanya dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi
terhadap obat, bakteri dan toksik. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari
peradangan ringan seperti konjungtivitis alergi musiman atau bentuk kronik yang
berat seperti konjungtivitis alergi.1
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paling sering
dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai
oleh sistem imun.2 Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi
di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.3
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen
musiman yang tinggi. Di negara-negara maju, 20-30% populasi mempunyai
riwayat alergi, dan 50% individual tersebut mengidap konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah
mediteranian, Timur Tengah dan Afrika. Konjungtivitis vernal lebih sering
dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama usia muda (4-20
tahun). Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade.
Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian berkurang.
Konjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada dewasa muda.4
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis
vernal, konjungtivitis flikten, konjungtivitis iatrogenik, Sindrom steven Johnson
dan konjungtivitis atopik. Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai
dengan sub-kategorinya. Pada konjungtivitis alergi didapatkan keluhan utama
adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering
ditemukan kemosis berat. Pasien dengan konjungtivitis vernal sering
mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva
tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis
inferior.1

1
2

Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia


merupakan keluhan yang paling sering pada konjungtivitis atopik. Ditemukan
juga tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu.1
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin
topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya.1
Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi, seperti
terjadinya ulkus kornea dan infeksi sekunder. Kongjungtivitis alergi juga jarang
menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik
karena sebagian kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun dapat
pula prognosis dari konjungtivitis alergi ini menjadi buruk jika tidak ditangani
dengan baik.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan
epitel kornea di limbus. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian :
a. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra)
b. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)
c.Konjungtiva forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara
bagian posterior palpebra dan bola mata).5

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva6

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan
episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.5
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices
dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak

3
4

dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Konjungtiva bulbaris


melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya, kecuali di limbus
(tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Lipatan
konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris)
terlelak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa
binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel
superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang
mengandung baik elemen kulit dan membran mukosa.5
Konjungtiva forniks strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra.
Tetapi hubungan dengan jaringan dibawahnya lebih lemah dan membentuk
lekukan- lekukan. Juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu,
pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata.7
Jika dilihat dari segi histologinya, lapisan epitel konjungtiva terdiri dari
dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel
skuamosa.5
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah
bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis
inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada
radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.5
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur
5

dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar Krause berada di forniks atas dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar
Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.5

2.2 Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi
bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata
merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.7
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh
reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular.7

2.3 Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen
musiman yang tinggi. Konjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis
dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah dan Afrika. Konjungtivitis
vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama
usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama
2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian
berkurang. Konjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada dewasa muda.4

2.4 Etiologi

Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti6:


a. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara
c. Pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

2.5 Patofisiologi Konjungtivitis Alergi


Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda
asing ke dalam konjungtiva yang akan memicu suatu kompleks kejadian yang
dinamakan respon radang atau inflamasi. Masuknya benda asing ke dalam
konjungtiva tersebut pertama kali akan direspon oleh tubuh dengan
6

mengeluarkan air mata. Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga


akan menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran
darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini adalah a.ciliaris anterior dan a.
palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan
velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di
endotel vaskuler), terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit
dapat terikat pada endotel pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas
vaskuler (cairan masuk ke jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan
marginasi dan ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah membanjiri
jaringan kapiler, jaringan memerah (Rubor) dan memanas (Kalor), peningkatan
permeabilitas kapiler, masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan sehingga
terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema),
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan peningkatan
adhesi serta migrasi leukosit(terutama fagosit) dari kapiler ke jaringan.

Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator kimiawi


yakni:
1. Histamin
Dilepaskan oleh sel, merangsang vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
2. Lekotrin
Dihasilkan dari membran sel, meningkatkan kontraksi otot polos,
mendorong kemotaksis untuk netrofil.
3. Prostaglandin
Dihasilkan dari membran sel, meningkatkan vasodilatasi,
permeabilitas vaskuler, mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
4. Platelet Aggregating Factors
Menyebabkan agregasi platelet, mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
5. Kemokin

Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi.


Beberapa macam kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon
activation normal T cellexpressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant
protein).
7

6. Sitokin
Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang
memicu demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut oleh
hati, memicu peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang. Beberapa macam
sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF- a (tumor necrosis
factor alpha).
7. Mediator lain ( dihasilkan akibat proses fagositosis)
Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal.
Oksigen dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk
mikroorganisme. Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah
tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi
pada mata merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast.
Beta chemokins seperti eotaxin dan MIP- alpha diduga memulai aktifasi sel mast
pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi yang
akan mempersiapkan sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik.
Sel T yang berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan
merangsang produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan
dengan IgE reseptor pada permukaan sel mast. Kemudian memicu pelepasan
sitokin, prostaglandin dan platelet activating factor. Sel mast menyebabkan
peradangan dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika
histamin dilepaskan oleh sel mast, histamin akan berikatan dengan reseptor H1
pada ujung saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin
juga akan akan berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah
konjungtiva dan menyebabkan vasodilatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast
seperti chemokin, interleukin IL-8 terlibat dalam memicu netrofil. Sitokin
TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4, IL-6, IL-13 yang akan memicu
peningkatan sensitivitas.7

2.6 Klasifikasi Konjungtivitis Alergi


Konjungtivitis alergi terbagi dalam lima tipe yaitu8:
1. Konjungtivitis vernal
2. Konjungtivitis flikten
8

3. Konjungtivitis iatrogenik
4. Sindrom Steven Johnson
5. Konjungtivitis Atopik
2.6.1 Konjungtivitis Vernal
Konjungtivitis vernal reaksi hipersensitivitas (tipe 1) yang mengenai kedua
mata dan bersifat rekuren. Pada mata ditemukan papil besar dengan permukaan
rata pada konjungtiva tarsal, dengan rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi
eosinophil atau granula eosinophil, pada kornea terdapat keratitis,
neovaskularisasi dan tukak indolen.
Merupakan penyakit yang dapat rekuren dan bilateral terutama pada
musim panas. Mengenai pasien muda antara 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin
sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia 10 tahun. Penderita konjungtivitis
vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-
rumputan. Ada dua tipe konjungtivitis vernal:
a. Bentuk palpebra
Pada tipe palpebra ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior,
terdapat pertumbuhan papil yang besar atau cobblestone yang diliputi secret
yang mukoid. Konjungtiva inferior hiperemi dan edema dengan kelainan kornea
lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinis, papil besar ini tampak
sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler
di tengahnya.
b. Bentuk limbal
Pada tipe limbal terdapat hipertrofi pada limbus superior yang
dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin. Terdapat juga panus dengan
sedikit eosinophil.2Keratokonjungtivitis vernal ditandai dengan sensasi panas
dan gatal pada mata terutama apabila pasien berada di daerah yang panas.
Gejala lain termasuk fotofobia ringan, lakrimasi, sekret kental dapat ditarik
seperti benang dan kelopak mata terasa berat.5,9
Pada tipe palpebral, terdapat papil-papil besar/raksasa yg tersusun seperti
batu bata (cobble stones appearance). Cobble stones menonjol, tebal dan
kasar karena serbukan limfosit, plasma,eosinofil dan akumulasi kolagen dan
fibrosa. Hal ini dapat menggesek kornea sehingga timbul ulkus kornea.5,9

Pada tipe bulbar/limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena


9

massa putih keabuan. Kadang-kadang ada bintik-bintik putih (Horner-Trantas


dots), yang terdiri dari sebukan sel limfosit, eosinofil, sel plasma, basofil
serta proliferasi jaringan kolagen dan fibrosa yang semakin bertambah.5,9Pada
eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil
dan granula eosinofilik bebas.5

Gambar 2.2 Gambaran palpebra pada konjungtivitis vernal10

Gambar 2.3 Gambaran limbus pada konjungtivitis vernal10


2.6.2 Konjungtivitis Flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi terhadap bakteri
atau antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi
(hipersensitivitas tipe IV) terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma
venera, leismaniasis, infeksi parasit, dan infeksi ditempat lain dalam tubuh.
Kelainan ini lebih sering ditemukan pada anak-anak di daerah padat yang biasanya
dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas.
Biasanya kongjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang kadang
mengenai kedua mata. Pada konjungtiva terlihat sebagai bintik putih yang
dikelilingi daerah hiperemis.
Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengenai suatu
tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang
biasanya terletak didekat limbus. Biasanya abses ini menjalar kearah sentral atau
kornea dan lebih dari satu.
10

Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain daripada rasa
sakit, pasien juga akan merasa silau disertai blefarospasme.
Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan terjadi
kekambuhan. Keadaan akan lebih berat bila terkena kornea. Diagnosis banding
dari konjungtivitis flikten adalah pinguecula iritan, ulkus kornea, ocular rosazea
dan keratitis herpes simpleks.
Pengobatan pada konjungtivitis flikten adalah dengan diberi steroid
topikal, midriatika bila terjadi penyulit pada kornea, diberi kacamata hitam karena
adanya rasa silau yang sakit. Diperhatikan higiene mata dan diberi antibiotika
salep mata waktu tidur dan air mata buatan. Sebaiknya dicari penyebabnya seperti
adanya tuberculosis, blefaritis stafilokokus kronik dan lainnya. Penyulit yang
dapat timbul adalah menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya infeksi
sekunder sehingga timbul abses.

Gambar 2.4 Gambaran pada konjungtivitis flikten10


2.6.3 Konjungtivitis Iatrogenik
Konjungtivitis akibat pengobatan yang diberikan dokter. Berbagai obat
dapat memberikan efek samping pada tubuh, demikian pula pada mata yang dapat
terjadi dalam bentuk konjungitvitis.
2.6.4 Sindrom Steven Johnson
Sindrom Steven Johnson adalah suatu penyakit eritema multiform yang
berat (mayor). Penyakit ini sering ditemukan pada orang muda sekitar 35 tahun.
Penyebabnya diduga suatu reaksi alergi pada orang yang mempunyai predisposisi
alergi terhadap obat-obatan sulfonamide, barbiturat, salisila. Ada yang
beranggapan bahwa penyakit ini idiopatik dan sering ditemukan sesudah suatu
infeksi herpes simpleks.
11

Kelainan ditandai dengan lesi pada kulit dan mukosa. Kelainan pada kulit
berupa lesi eritema yang dapat timbul mendadak dan tersebar secara simetris.
Mata merah dengan demam dan kelemahan umum dan sakit pada sendi
merupakan keluhan penderita dengan sindrom Steven Johnson. Sindrom ini
disertai dengan gejala vesikel pada kulit, bula dan stomatitis ulseratif.
Pada mata terdapat vaskularisasi kornea, parut konjungtiva, konjungtiva
kering, simblefaron, tukak dan perforasi kornea dan dapat memberikan penyulit
endoftalmitis. Kelainan mukosa dapat berupa konjungtivitis pseudomembran.
Pada keadaan lanjut dapat terjadi kelainan, yang sangat menurunkan daya
penglihatan.
Pengobatan bersifat simptomatik dengan pengobatan umum berupa
kortikosteroid sistemik dan infus cairan antibiotik. Pengobatan lokal pada mata
berupa pembersihan sekret yang timbul, midriatika, steroid topikal dan mencegah
simblefaron. Pemberian kortikosteroid harus hati-jati terhadap adanya infeksi
herpes simpleks.
2.6.5 Konjungtivitis Atopik
Konjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga
kelopak mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Individu dengan
konjungtivitis atopik umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1,
tetapi imunitas selluler yang rendah. Oleh karena itu, pasien konjungtivitis
atopik beresiko untuk mendapat keratitis herpes simplex dan kolonisasi oleh
Staphylococcus Aureus.7
Gejala konjungtivitis atopik berupa sensasi terbakar, bertahi mata,
berlendir, merah, dan fotofobia. Pada pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan
konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla
raksasa tidak berkembang seperti pada konjungtivitis vernal dan lebih sering
terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papila raksasa pada konjungtivitis
vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat
muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi
berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan
vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan
bervaskularisasi dan ketajaman penglihatan menurun.5,9
12

Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma atau ekzema) pada
pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi
sejak bayi. Konjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami
eksaserbasi dan remisi. Seperti konjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung

kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.5,9 Kerokan konjungtiva


menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada
konjungtivitis vernal.5

Gambar 2.5 Gambaran infiltrat dan sikatrik


konjungtiva tarsal akibat konjungtivitis alergi atopik10

Gambar 2.6 Pemendekan forniks palpebra inferior10


2.7 Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis alergi didapatkan dari pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang, yaitu11:
a. Anamnesis
Anamnesis didapatkan dari keluhan pasien. Hal ini dapat berupa sensasi
gatal, rasa benda asing, mata merah, fotofobia, mata berair dan adanya sekret.
Keluhan yang dikatakan oleh pasien juga harus disertai dengan onset dan pencetus
terjadinya serangan.
b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan penilaian terhadap konjungtiva tarsal dan bulbi, limbus
serta kornea. Pada konjungtiva tarsal dinilai apakah ada tanda hiperemis,
pembengkakan, keadaan folikel dan keadaan papila. Pada konjungtiva bulbi
dinilai apakah ada hiperemis dan kemosis. Pada limbus juga dinilai apakah
terdapat Horner-Tartans dots dan pembengkakan. Sedangkan pada kornea juga
13

dinilai adapakah ada tanda komplikasi seperti keratitis dan ulkus kornea.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tes total serum IgE
antibodi untuk penilaian secara sistemik, dan juga menilai total IgE serum pada
air mata untuk penilaian secara lokal. Selain itu pada sekret juga dapat dinilai tipe
alergi yang terjadi yang ditandai dengan terdapatnya eosinofil.
Pada anamnesis diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun
keluarga pasien serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis
konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit
ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair,
kemerahan dan fotofobia.12

Gambar 2.7
Gambaran pada konjungtivitis alergi10
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan terutama menghindarkan penyebab pencetus penyakit dan
memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah yang
kemudian disusul dengan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada
kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik.8
Penatalaksanaan pada konjungtivitis vernal berupa:
a. Terapi lokalis
- Steroid topical : Penggunaannya efektif pada konjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati karena dapat menyebabkan glaukoma. Pemberian steroid dimulai
dengan pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan
terapi maintainance 3-4 kali sehari selama Selama 2 minggu. Steroid yang
sering dipakai adalah fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan
dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara
14

semua steroid tersebut.


- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
- Antihistamin topical
- Acetyl cysteine 0,5%
- Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik
- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain
- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal
atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
- Kaca mata gelap untuk fotofobia
- Kompres dingin dapat meringankan gejala
- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin7
Pada konjungtivitis atopik antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120
mg 2x sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg
waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat anti
radang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata
dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasma feresis
merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat,
mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman
penglihatannya.7,9

2.9 Prognosis dan Komplikasi


Prognosis penderita konjungtivitis alergi baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun apabila tidak ditangani
dengan baik maka akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi pada penyakit ini
yang paling sering adalah ulkus kornea dan infeksi sekunder.11
15

BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identifikasi

Nama : Nn. I
Umur : 19 tahun
Alamat : Seulimum
Pekerjaan : Siswi
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
CM : 1159093
Tanggal Pemeriksaan : 23 Januari 2018

2. Anamnesis (Autoanamnesis, 23 Januari 2018)

Keluhan Utama:

Mata berair

Riwayat Perjalanan Penyakit:

Pasien datang dengan keluhan utama mata sering berair. Keluhan sudah
dirasakan dikedua mata sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan terkadang disertai mata
merah, perih dan gatal. Riwayat operasi pada mata (-), kelainan pada permukaan
mata (-) serta pandangan berkabut (-). Riwayat hipertensi dan Diabetes Melitus
disangkal. Riwayat Atopi (+). Pasien mengaku keluhan semakin parah ketika
terkena debu.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat operasi pada mata (-)
 Riwayat memakai kacamata (-)
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)

15
16

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:


 Riwayat Atopi (+)
Riwayat Pemakaian Obat :
 Obat tetes mata yang didapatkan dari puskesmas terdekat, pasien
tidak mengingat nama obatnya.
Riwayat Kebiasaan Sosial :
 Sering membaca buku

3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC

Foto Klinis
Status
Oftalmologikus

OD OS

Visus 5/5 5/5

Kedudukan Bola Mata Orthoforia

Gerakan Bola Mata

Segmen Anterior

silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-) edema (-) Hiperemis (-) edema (-)

Konjungtiva tarsus superior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva tarsus inferior Papil (-) folikel (-) Papil (-) folikel (-)

Konjungtiva bulbi Hiperemis (+), Injeksi (-) Hiperemis (+), Injeksi (-)

Kornea Jernih Jernih

17
Bilik Mata Depan Sedang, jernih Sedang, jernih

Iris Kripta iris normal Kripta iris normal

Pupil Bulat, RC (+) Bulat, RC (+)

Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan slitlamp

Cilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan


Konjungtiva Hiperemis (+), Injeksi (-) Hiperemis (+), Injeksi (-)
Kornea Jernih Jernih
COA Darah (-) pus (-) Darah (-) pus (-)
Iris Warna coklat,kripta iris normal Warna coklat,kripta iris normal
Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Tonometri : Tidak dilakukan


Pemeriksaan Gonioskopi : Tidak dilakukan

4. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis Alergi

5. Penatalaksanaan
Conver 2% ED (Cromolyn Sodium )

Vernacel ED (Naphazoline Hydrochloride 0,25 mg, Pheniramine Maleate 3


mg)

Cetrizine 1 x 1

Sanbe tears (Dextran, Hypromellose)

6. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam

18
Quo ad sanactionam : Bonam

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Zainoel Abidin, Banda Aceh


dengan keluhan utama mata sering berair, Keluhan sudah dirasakan dikedua mata
sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan terkadang disertai mata merah, perih dan gatal.
Riwayat operasi pada mata (-), kelainan pada permukaan mata (-) serta pandangan
berkabut (-). Riwayat hipertensi dan Diabetes Melitus disangkal. Riwayat Atopi
(+). Pasien mengaku gatal semakin terasa ketika terkena debu. Dari pemeriksaan
fisik tampak hiperemis pada konjungtiva bulbi. Dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik maka pasien ini diagnosis dengan konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan
oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun
sellular.7Konjungtivitis alergi dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
keluhan pasien berupa sensasi gatal, rasa benda asing, mata merah, fotofobia,
mata berair dan adanya sekret. Keluhan yang dikatakan oleh pasien juga harus
disertai dengan onset dan pencetus terjadinya serangan.
Dari pemeriksaan fisik dilakukan penilaian terhadap konjungtiva tarsal
dan bulbi, limbus serta kornea. Pada konjungtiva tarsal dinilai apakah ada tanda
hiperemis, pembengkakan, keadaan folikel dan keadaan papila. Pada
konjungtiva bulbi dinilai apakah ada hipemeis dan kemosis. Pada limbus juga
dinilai apakah terdapat Horner-Tartans dots dan pembengkakan. Sedangkan pada
kornea juga dinilai adapakah ada tanda komplikasi seperti keratitis dan ulkus
kornea.11
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tes total serum IgE
antibodi untuk penilaian secara sistemik, dan juga menilai total IgE serum pada
air mata untuk penilaian secara lokal. Selain itu pada sekret juga dapat dinilai tipe
alergi yang terjadi yang ditandai dengan terdapatnya eosinophil.11
Pasien mendapatkan terapi berupa Conver 2% ED (Cromolyn Sodium ),
Vernacel ED (Naphazoline Hydrochloride 0,25 mg, Pheniramine Maleate 3 mg),
Cetrizine dan Sanbe tears (Dextran, Hypromellose). Conver 2% ED mengandung
Cromolyn Sodium; obat tetes mata yang berfungsi sebagai obat antialergi yang
21

bekerja melalui penghambatan degranulasi sel mast dalam melepaskan


histamin sebagai mediator pada penyakit alergi. Vernacel ED mengandung
Naphazoline Hydrochloride 0,25 mg, Pheniramine Maleate 3 mg; untuk
meredakan rasa gatal serta mata merah. Sedangkan cetirizine 10 mg tab; obat
golongan antihistamin , mekanisme kerjanya adalah menghambat kerja dari
histamin. Sanbe tears mengandung dextran serta hypromellose yang berfungsi
juga untuk meredakan iritasi pada mata.13 Pengobatan terutama menghindarkan
penyebab pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium kromolin, steroid
topikal dosis rendah yang kemudian disusul dengan kompres dingin untuk
menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin
dan steroid sistemik.7
22

BAB V
KESIMPULAN

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat


reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi
biasanya dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi
terhadap obat, bakteri dan toksik dimana konjungtivitis ini melibatkan
berbagai mediator inflamasi, sehingga tatalaksana yang paling penting pada
kasus ini adalah dengan menghindari faktor pencetus/alergen.
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal
pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal
dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek
untuk meredakan gejala lainnya.

22
23

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi


Umum. Edisi 14.Jakarta : Widya Medika ; 2010. h. 5-6, 115

2. Cuvillo, A del., et al., 2009. Allergic Conjungtivitis and H1


Antihistamines. J investing Allergol Clin Immunol 2009; Vol. 19. h. 11-18.

3. Majmudar, P.A., 2010. Allergic Conjungtivitis. Rush-Presbyterian-St


Luke’s Medical Center.

4. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. Medscape Reference.2012.


http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104.

5. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Konjungtiva. Dalam:


Whitcher JP, Riordan-EvaP, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; 2007. h 97-124.

6. Riordan-Eva P. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Whitcher JP,


Riordan-Eva P,editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC; 2007. h 1-27.
7. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK,
editor. Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi : New
Age ; h 51-88.

8. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-5. Jakarta: FKUI; 2014.

9. American Academy of Ophtalmology. Clinical approach to immune-


related disorders of the ecxternal eye in External Disease and Cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophtalmology; 2008. h205-41.

10. Kanski JJ, Brad B, Ken N, Andrew P. Clinical Ophtalmology A


Systematic Approach Seventh Edition. UK : Elsevier Saunders; 2011

11. Takamura E, Eiichii U, Nobuyuki E, Shigeaki O, Yuichi O, Shigeki


O, et al. Japanese Guideline for Allergic Conjuntival Disease.
Allergology International. 2011;60(2). p : 191-203

12. Weissman, B.A. 2010. Giant Papillary Conjungtivitis. University of


California at Los Angeles.

23
23

13. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 9. 2010. Jakarta: Penerbit Asli
(MIMS Pharmacy Guide)

23

Anda mungkin juga menyukai