PTERIGIUM GRADE II OD
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN
PTERIGIUM GRADE II OD
Disusun oleh:
Nurul Aina Mardhiyah
G1A220093
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan berkah rahmat dan hidayah-Nya jugalah penulis dapat menyelesaikan
CRS berjudul “Pterigium grade II OD”.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Rozy Oneta, Sp.M sebagai pembimbing yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan kepada
penulis selama di kepaniteraan klinik bagian mata RSUD H. Abdul Manap Kota
Jambi.
Penulis menyadari bahwa CRS ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak. Semoga tulisan
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
2.6 Tatalaksana...........................................................................................................6
iii
3.1.3 Anatomi Kornea.......................................................................................10
3.2 Pterigium ..............................................................................................................12
3.2.1 Definisi ....................................................................................................12
3.2.2 Epidemiologi............................................................................................12
3.2.3 Faktor risiko .............................................................................................12
3.2.4 Patogenesis ..............................................................................................13
3.2.5 Klasifikasi ................................................................................................14
3.2.6 Manifestasi ...............................................................................................15
3.2.7 Diagnosis .................................................................................................16
3.2.8 Diagnosis banding ...................................................................................16
3.2.9 Tatalaksana ..............................................................................................17
3.2.10 Komplikasi.............................................................................................19
3.2.11 Prognosis ...............................................................................................20
BAB IV ANALISIS KASUS ....................................................................................21
BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................23
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
3
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Oftalmologikus
Pemeriksaan Visus dan Refraksi
OD OS
Visus : 6/12 f1 Visus : 6/9
Muscle Balance
Kedudukan bola mata Orthotrofia Orthotrofia
4
Conjungtiva tarsus inferior Conjungtiva tarsus inferior
Hiperemis (-), edem (-) Hiperemis (-), edem (-)
Conjungtiva bulbi Conjungtiva bulbi
Injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-), Injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-)
jaringan fibrovaskular (+) dari arah ,jaringan fibrovaskular (-)
nasal mencapai kornea tidak melewati
pupil.
Kornea Kornea
Jaringan fibrovaskular (+), edem (-), Jaringan fibrovaskular (+), edem (-),
ulkus (-), laserasi (-) ulkus (-), laserasi (-)
COA COA
Cukup dalam Cukup dalam
Pupil Pupil
Bulat, isokor, refleks pupil direct (+) Bulat, isokor, refleks pupil direct (+)
dan indirect (+) dan indirect (+)
Iris Iris
Warna Coklat Warna Coklat
Lensa : Jernih Lensa : Jernih
Funduskopi
Tidak dilakukan pemeriksaan
Visual Field
5
Pemeriksaan Umum
Berat badan 43 kg
Nadi 80 x/menit
Suhu 36.6°C
Pernapasan 20 x/menit
Rencana Tindakan :
Inform consent
-Hindari Paparan sinar Matahari dan debu
Cendo Lyteers ED 4x1
Eksisi pterigium
- Jika mengganggu fungsi penglihatan
6
Prognosis :
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia Ad bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan
banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. 4
8
3.1.2 Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.5
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superficial dan basal. Sel-sel epitel superficial mengandung
sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata
diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung
jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.6
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu:6
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah
inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis
superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfering.
Kedua kelenjar initerletak dibawah substansi propia. Pada sakus
konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena
suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairanlakrimal dan suplai
darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembangbiak.
Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik
9
3.1.3 Anatomi kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :1
a. Epitel
Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran
air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. epitel berasal dari
ektoderm permukaan.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat
sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.
10
e. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom
dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel
dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.1
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
11
3.2 Pterigium
3.2.1 Definisi
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Hingga saat ini etiologi pasti pterigium
masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain
adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau
virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga
berpotensi timbulnya pterigium.7
3.2.2 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim anas
dan kering. Prevalensi tinggi di daerah berdebu dan kering. Prevalensi pterigium
meningkat sesuai dengan umur, terutama pada dekade ka 2 dan 3. Insiden tinggi
pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekuren lebih sering pada umur muda
daripada tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari perempuan dan memiliki
hubungan dengan merokok,pendidikan rendah, serta riwayat exposure lingkungan
diluar rumah.7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata dan
topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
12
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai penyebab
dari pterigium.
3.2.4 Patogenesis
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.8
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.8
13
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di
mana matriks tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan
yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-
α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan
inflamasi.9
3.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu: 10,11
14
b. Berdasarkan luas pterigium
1) Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2) Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
3) Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-
4 mm)
4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
Gambar 3. Pterigium grade II, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari
2mm, namun belum melewati pupil.
3.2.6 Manifestasi
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun. Pterigium
memiliki tiga bagian, yaitu :10
15
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea
yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
b. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
c. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan
area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan.
3.2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis pada pterigium umumnya pada anamnnesis didapatkan
adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan
penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan
sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pada Pemeriksaan fisik mata, inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium paling sering ditemukan
pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterigium pada daerah temporal. Pemeriksaan tambahan yang dapat
dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar
komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.12
16
bertumbuh besar, tetapi sering meradang.13
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Pseudopterigium ini sering terjadi pada proses penyembuhan tukak
kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering
dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya
berbentuk obliq, sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi
jam 3 atau jam 9. Pada pemeriksaan sonde, didapatkan jaringan mudah
ditembus oleh sonde pada pseudopterigium.13
a b
3.2.9 Tatalaksana
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. 14
a. Medikamentosa
Pemberian Lubrikan topical (+/-) G Volterol bertujuan untuk mengurangi
iritasi. Pada pterigium derajat 1 ‐ 2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari
selama 5 ‐ 7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
17
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami
kelainan pada kornea.14
b. Bedah
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan
yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin. Sedapat mungkin
setelah eksisi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan14
Indikasi Operasi pterigium12
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
5. Terapi Tambahan
18
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.
3.2.10 Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi pre eksisi seperti merah, iritasi,
dapat menyebabkan diplopia, serta komplikasi post eksisi seperti scar (jaringan
parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang,
scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:14
a. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment
b. Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea
c. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira
50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion
graft.
d. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di
atas pterigium.
19
3.2.11 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.14
20
BAB IV
ANALISIS KASUS
21
BAB V
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Riskesdas. Riset kesehatan dasar. Jakarta:Badan penelitian dan
pengembangan kesehatan. 2015.
3. Nainggolan N. Tingkat pengetahuan pasien rawat jalan di poliklinik mata
RSUP H.Adam Malik mengenai pterigium. Medan: FK. USU. 2010
4. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology e-book. Elsevier Health
Sciences;2006
5. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. Cengage learning;
2015.
6. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum. EdisiKe-17. Jakarta : EGC. 2010.
7. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. 2006.
8. American academy of Ophtalmology, basic and clinical science course
section 8. Ecternal disease and cornea. 2006.
9. T H Tan Donald et all, Pterigium clinical ophtalmology-an asian perspective,
elshevier. Singaprore. 2005.
10. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for Ophthalmic
Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International Journal of
Melecular Medicine. 2009;13(2):1-10.
11. Lestari D et all. Pterigium Derajat IV pada Pasien Geriatri.
Majority.2017;7(1).
12. Novitasari A, bahan ajar sistem indra mata.Semarang. FK UMS.2015.
13. Riordan-eva P, Whitcher PJ. Vaughan&AsburyOftalmologi umum. Jakarta:
EGC. Edisi ke-17. 2013.
14. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006.
23
24