Anda di halaman 1dari 63

Case Report Session (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A2191078


** Pembimbing/ dr. Nur Amaliah Verbty, Sp.S

EPILEPSI SIMPTOMATIK ec STROKE NON HEMORAGIK

Alya Yomi Sari, S.Ked*

dr. Nur Amaliah Verbty, Sp.S**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

EPILEPSI SIMPTOMATIK ec STROKE NON HEMORAGIK

DISUSUN OLEH

Alya Yomi Sari, S.Ked

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher/ Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Januari 2021

PEMBIMBING

dr. Nur Amaliah Verbty, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab
karena kasih-Nya, laporan kasus atau case report sesion (CRS) yang berjudul
“Epilepsi Simpyomatik ec Stroke Non Hemoragik” ini dapat terselesaikan. Laporan
kasus ini dibuat agar penulis dan teman–teman sesama koas periode ini dapat
memahami tentang gejala klinis dan bagaimana alur penegakan diagnose serta
tatalaksana pada pasien epilepsi dan stroke non hemoragik (SNH). Selain itu case
report sesion (CRS) ini dibuat sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Nur Amaliah Verbty, Sp.S
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing
dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna,
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir
kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Januari 2021


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan dan
merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada semua umur dan
dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang
dengan epilepsi di dunia.1

Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Di


Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per tahun,
dan di India 49,3/100.000 orang per tahun. Puncak insiden di negara Cina (Shanghai)
pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19
tahun.2,3 Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-
190/100.000 orang/tahun). Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden
epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia tua.3

Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi


Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada
tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan
1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata
usia pada kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat
pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan
sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.3

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan


kanker dan juga mengakibatkan disabilitas jangka panjang. Riset kesehatan dasar
tahun 2013 didapatkan prevalensi stroke di Indonesia sebesar 7 per mil dan yang
terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi penyakit
stroke pada kelompok yang telah didiagnosis meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1% dan 67,0%).4

Insiden stroke pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan


pada usia lebih muda, tetapi tidak demikian halnya pada usia tua. Di Indonesia,
penelitian berskala cukup besar pernah dilakukan oleh ASNA (ASEAN Neurological
Association) di 28 Rumah Sakit (RS) seluruh Indonesia. Dari 2.065 pasien stroke
akut, dijumpai rata-rata usia adalah 58,8 tahun (range 18-95 tahun) dengan kasus pada
pria lebih banyak dari pada wanita.5

Stroke adalah suatu sindrom klinis gangguan fungsi saraf akut oleh karena
terganggunya sirkulasi darah cerebri yang bersifat mendadak (menit-jam) yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi fokal maupun global. Stroke dapat disebabkan baik
oleh perdarahan spontan atau suplai darah yang tidak adekuatnya ke suatu bagian otak
sebagai akibat aliran darah yang rendah, trombosis, dan emboli yang berhubungan
dengan suatu penyakit pembuluh darah, jantung atau darah (stroke iskemik atau infark
serebri) .Stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu
bagian otak tiba-tiba terganggu. Bekas penderita stroke bisa terserang. Dalam jaringan
otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, dapat
menimbulkan serangan kejang pada penderita stroke.4,5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Usia : 54 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Merlung
Pekerjaan : Kepala Sekolah
MRS : 27-12- 2020
Daftar Masalah

Masalah
No Masalah Aktif Tanggal Tanggal
Pasif
1 Kejang 26 Desember
2020
2 Hemiparase Dextra 26 Desember
2020
3 DM Tipe II Tidak 4 tahun yang
Terkontrol lalu
4 Hiperlipidemia 28 Desember
2020

II. DATA SUBYEKTIF (Anamnesis tanggal 27 Desember 2020)


Anamnesis : Autoanamnesis dan Alloanamnesis
Keluhan Utama:
Kejang berulang pada bagian tubuh sebelah kanan sejak ± 1 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
a. Lokasi Bagian tubuh sebelah kanan
b. Onset ± 1 hari SMRS terjadi secara
mendadak saat mau istirahat tanpa
provokasi
c. Kualitas Kejang berulang pada tubuh sisi kanan, mulai
dari wajah yang kejang pada sebelah kanan,
mata berkedip-kedip, menggigit lidah sebelah
kanan, disertai seperti mengunyah sesuatu lalu
diikuti kejang kelonjotan pada tangan kanan
d. Kuantitas ± 20 kali/hari , durasi 3-5 menit, jarak antar
kejang 10 menit
e. Kronologi Pasien datang ke IGD RSUD Mattaher dengan
keluhan kejang pada tubuh sisi kanan sebanyak
± 20 kali berlangsung selama 5 menit, kemudian
jarak ke antara kejang selanjutnya berlangsung ±
10 menit, sebelum kejang pasien sadar dan dapat
berkomunikasi, saat kejang pasien tidak sadar ,
dan menggigit lidahnya sebelah kanan, disertai
dengan gerakan pada otot wajah sebelah kanan
dan mata yang berkedip kedip kemudian diikuti
kejang pada tangan sebelah kanan, setelah
kejang pasien sadar dan diikuti dengan
kelemahan pada anggota gerak kanan serta
bicara yang pelo. Pasien tidak mengeluhkan
adanya nyeri kepala, keluhan juga tidak disertai
mual dan muntah, demam (-) gangguan BAB
dan BAK, pasien juga tidak mengelukan
pandangan kabur atau ganda, riwayat jatuh dan
terbentur pada bagian kepala disangkal. Pasien
menderita diabetes melitus sejak 4 tahun yang
lalu.
f. Faktor memperberat -
g. Faktor memperingan -
h.Gejala yang menyertai mulut mencong ke kanan, bicara pelo, lidah
deviasi ke kiri

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat Hipertiroid (+)
- Riwayat TBC Relaps (+)
- Riwayat keluhan serupa tidak ada.
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung disangkal
- Riwayat asam urat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Riwayat keluhan berupa kejang (-), diabetes mellitus (+)
Riwayat Sosial Ekonomi:
 Pasien merupakan seorang kepala sekolah
 Tinggal bersama anak dan menantunya
 Diketahui suami pasien telah meninggal
III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 27 Desember 2020
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
 Kesadaran : Compos mentis GCS : 14 ( E4V4M6)
 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Nadi : 89 kali/ menit
 Respirasi : 22 kali/menit, pernapasan regular
 Suhu : 36,5°C
2. Status Generalis
 Kepala : Normocephal (+)
 Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,  ± 3 mm/± 3
mm, refleks cahaya (+/+), papil edema(-)
 THT : Dalam batas normal
 Mulut : Mulut mencong ke kanan (+), Bibir sianosis (-), lidah
(vulnus morsum), T1-T1
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (+)
 Dada : Simetris kanan dan kiri
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
 Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), masa (-).
Palpasi : Tidak dilakukan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas
Superior :Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 dtk
Inferior :Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 dtk

3. Status Psikitus
Cara berpikir : Disorientasi
Perasaan hati : Labil
Tingkah laku : Tampak bingung dan gelisah
Ingatan : Terganggu
Kecerdasan : Tergan
4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif : Compos Mentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) :15 (E4M6V4)
3. Tanda Rangsang meningeal
a. Kaku kuduk : -
b. Brudzinsky 1 :-
c. Brudzinsky 2 :-
d. Brudzinsky 3 : -|-
e. Brudzinsky 4 : -|-
4. Tanda Rangsang Radikuler :
a. Laseque : -/-
b. Kontra laseque : -/-
c. Pattrick : -/-
d. Kontra Patrick : -/-
a. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Subjektif + +
Objektif (dengan
+ +
bahan)
N II (Optikus)
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan pandang normal normal
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya + +
langsung dan tidak + +
langsung)
reflex konvergensi + +
Melihat kembar - -
N IV (Trochlearis)
Pergerakan bola mata Normal Normal
ke bawah-dalam
Diplopia - -
N V (Trigeminus)
Motorik
Otot Masseter Normal Normal
Otot Temporal Normal Normal
Otot Pterygoideus Normal Normal
Sensorik
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
N VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata Normal Normal
(lateral)
Diplopia - -
N VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata Normal Normal
Memperlihatkan gigi
Senyum Sudut
Tidak Mulut terdorong ke arah
normal kiri
Normal
Sudut Mulut terdorong ke arah kiri
Sensasi lidah 2/3 Normal Normal
depan
N VIII (Vestibularis)
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Normal Normal
Rinne test Positif Positif
Weber test Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Swabach test Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 blkg Normal Normal
Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N X (Vagus)
Arkus faring Simetris
Berbicara Terganggu
Menelan Baik
Refleks muntah Tidak dilakukan
Nadi Normal
N XI (Assesorius)
Menoleh ke kanan + +
Menoleh ke kiri + +
Mengangkat bahu + +
N XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah Sulit dijulurkan keluar
dijulurkan
Atropi papil -
Disartria +
Tremor -

b. Badan dan Anggota Gerak


1. Badan
Motorik Kanan Kiri
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Normal Normal
Bentuk kolumna Normal Normal
Vertebralis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas
Raba dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal
Thermi tidak dilakukan
Refleks
Reflek kulit perut atas Tidak dilakukan
Reflek kulit perut tengah Tidak dilakukan
Reflek kulit perut bawah Tidak dilakukan
Reflek kremaster Tidak dilakukan

2. Anggota Gerak atas


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Terbatas normal
Kekuatan 4 5
Tonus normal normal
Sensibilitas
Raba dalam batas normal dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal dalam batas normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Biseps Normal Normal
Triseps Normal Normal
Radius Normal Normal
Ulna Normal Normal
Refleks Patologis
Hoffman-Tromner Normal Normal

3. Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan terbatas normal
Kekuatan 4 5
Tonus normal normal

Sensibilitas
Raba dalam batas normal dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal dalam batas normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks Fisiologis
Patella normal normal
Achilles normal normal

Refleks Patologis
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Rosolimo - -
Bing - -
Mendel battraw -
4 Koordinasi, Gait, Keseimbangan
Cara berjalan : Tidak dilakukan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Dismetria : Tidak dilakukan
5. Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Atetosis : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)
6. Alat Vegetatif
Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan
7. Test Tambahan
Test Nafziger : (-)
Test Valsava : (-)
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Darah rutin (28 Desember 2020 )
- WBC : 10.3 103/mm3 (3.5-10.0)
- RBC : 5.50 106/mm3 (3.80-5.80)
- HGB : 14.6 g/dl (11.0-16.5)
- HCT : 44.0 % (35.0-50.0)
- PLT : 353 103/mm3 (150-390)
- PCT : 0.171 % (0.1-0.28)

 Glukosa Darah ( 29 Desember 2020)


- Glukosa Darah Sewaktu : 359 mg/dl (<200)

 Faal Ginjal ( 28 Desember 2020)


- Ureum : 28 mg/dl (15-39)
- Kreatinin : 0.46 mg/dl (0.9-1.1)
- Asam Urat : 4.8 mg/dl (3.5-7.2)

 Faal Lemak (28 Desember 2020 )


- Kolestrol : 238 mg/dl (<200)
- Trigliserida : 120mg/dl (<150)
- HDL : 83 mg/dl (>34)
- LDL :159 mg/dl (<120)

b. Pemeriksaan Elektrolit (28 2020)


- Natrium : 139 mmol/L (135-148)
- Kalium : 3.85 mmol/L (3.5-5.3)
- Chlorida : 100,2 mmol/L (98-110)

c. Pemeriksaan urin (27 Desember 2020)


- warna : Kuning
- Berat jenis : 1020
- PH :5
- Protein : negatif
- Glukosa : +4
- Keton : +4
- Leukosit : 1-2 / LPB
- Eritrosit : 0-1 / LPB
- Epitel : 1-2/ LPB
Hasil Pemeriksaaan EEG
Tanggal : 28 Desember 2020
History : kejang
Aktivitas Frekue Volta Distribusi Keterangan Khusus
nsi ge (Jumlah , Reaktivasi, Durasi,
(Hz) (V) dll)
Bangun Latang Belakang 9-10 M Regio Oksipital Kontinyu, ritmis,waxing,dan
(100%) Simetris waning, berkurang saat buka
mata

Beta 14-15 L Frontosentral Kontinyu, waxing dan


Simetris waning ,ritmis

Sharp Wave 1 H Temporal


kanan
Tidur Perlambatan - - -
POSTs - - -
Vertex Transient - - -
Sleep Spindles - - -
Hyperventilasi Not done - - -
(3menit)
Stimulasi Fotik Not driving - - -

Interpretation :
-Perekaman otak dilakukan saat bangun, didapatkan gelombang dengan irama dasar
alpha, frekuensi 9-10 Hz/dtk, voltase sedang, waxing dan waning, berkurang saat
buka mata
-Didapatkannya gelombang abnormal epileptiform dalam bentuk sharp, frekuensi 1-2
Hz/detik, voltase tinggi, terutama di daerah temporal kanan
-Pada stimulasi photic tidak didapatkan adanya photic driving
-Pada stimulasi hyperventilasi tidak didapatkannya perlambatan irama dasar
-Pada perekaman didaptkan adanya EKG dengan irama sinus

Classification :
EEG Abnormal III
- Sharp Wave Temporal Kanan
Impression :
EEG saat perekaman ini abnormal mengindikasikan adanya potensial epileptogenicity
di regio temporal kanan.

Hasil Pemeriksaaan CT Scan non kontras (28 Desember 2020)


Hasil Pemeriksaaan CT Scan Kontras (31 Desember 2020)
Kesan : Tampak lesi hipodens pada Lobus Temporal dextra dan Lobus Occipital
dextra et sinistra. Tampak lesi hipodens di kapsula interna dextra et sinistra.
9. Diagnosa Klinis : Kejang Parsial Kontinu + Hemiparesis dextra et
parese CN VII, XII dextra tipe central
Diagnosa Topis : - Lobus Temporal Dextra
- Lobus Occipitalis Dextra et Sinistra
Diagnosa Etiologi : - Epilepsi Simptomatik ec Stroke Non Hemoragik
Diagnosa sekunder : - Diabetes Melitus Tipe II Tidak Terkontrol
- Hiperlipidemia
Diagnosa banding : Sinkop, status epileptikus, bangkitan non epileptik
psikogenik, gangguan metabolik, Todd Paralisis,
stroke hemoragik, SOL, TIA

TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
 Pemantauan jalan nafas selama kejang edukasi kepada keluarga untuk
memiringkan kepala pasien saat kejang agar jalan nafas nya baik
 Pemantuan tanda vital dan gejala defisit neurologis
 Pemantauan kejang dan pencatatan durasi serta frekuensi kejang
 Pemasangan kateter
 Menghindari aktivitas sendiri tanpa pantauan keluaga untuk mencegah bahaya
apabila adanya kejang berulang
 Latihan menggerakkan anggota gerak 10 kali diangkat kedepan, keatas, kekanan,
kekiri, kebelakang, latihan menggerakkan jari, latihan berjinjit dan melangkah
sesering mungkin untuk melatih otot yang mengalami kelemahan.
a. Edukasi untuk mencegah stroke berulang seperti
 Mengatur pola hidup yang baik dengan makanan bergizi, mengurangi
kebiasaan makan gorengan, dan makanan berlemak, serta berolahraga untuk
mencegah karena pasien memiliki kolesterol
 Menjaga kadar gula darah : mengurangi menkonsumsi makanan dan
minuman yang manis dan mengkonsumsi obat diabetes melitus dan pantau
gula darah karena pasien memiliki faktor resiko terjadinya DM.
Medikamentosa :
- IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/I
- Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp ( 25 mg )
- Inj. Citikolin 2 x 500 mg
- P.O Aspilet 1x 80 mg
- P.O Simvastatin 1 x 10 mg
- P.O Glimepirid 1x 2 mg
- P.O Metformin 3 x 500 mg
- P.O Siprofloxacin 3 x 500 mg
- P.O As Mefenamat 3 x 500 mg
V. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP PASIEN
Tanggal S O A P
28 Desember  Kejang berulang  KU : Tampak Epilepsi ● IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2020 pada bagian tubuh sakit sedang Simptomatik
● Inj. Phenitoin 900 mg
sebelah kanan  Kesadaran : + Hemiparase
sebanyak 16x GCS 14 Dextra ec Nacl 0,9% 50 ml
durasi kejang 3-4 (E4V4M6) Stroke Non
● Inj. Ranitidin 2 x 1 am
menit, jarak antar  TD : 130/90 Hemoragik
kejang 10 menit mmHg ( 25 mg )
saat kejang pasien  T : 36,7ºC ● Inj. Citikolin 2 x 500 mg
tidak sadar, setelah  RR : 24x/i
kejang pasien  N : 88 x/i ● P.O Aspilet 1x 80 mg
sadar, selama  SpO2 : 99% ● P.O Glimepirid 1x 2 mg
kejang otot wajah
 GDS : 395
kanan nya kejang, ● P.O Metformin 3 x 500 mg
mulutnya seperti
● P.O Simvastatin 1 x 10 mg
mengunyah, dan
matanya berkedip 
kedip lalu diikuti
kejang pada tangan
kannnya
 Kelemahan
angggota gerak
kanan setelah
kejang
 Bicara pelo
 Nyeri kepala
(-),Mual muntah(-),
demam(-),
Penurunan
kesadaran(-)
29 Desember  Kejang berulang  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2020 pada tubuh sisi sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
kanan sebanyak  Kesadaran : + Hemiparase
12x dengan durasi GCS 14 Dextra ec  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
3-4 menit (E4V4M6) Stroke Non
( 25 mg )
 Kelemahan  TD : 120/80 Hemoragik
angggota gerak mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
sebelah kanan  T : 36,5 ºC
 Bicara pelo  RR : 22x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
 Nyeri kepala  N : 90 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
(-),Mual muntah(-),  SpO2 : 99%
demam(-),  GDS : 345  P.O Metformin 3 x 500 mg
Penurunan
 P.O Simvastatin 1 x 10 mg
kesadaran(-)
30 Desember  Kejang berulang  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2020 pada tubuh sisi sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
kanan sebanyak 7x  Kesadaran : + Hemiparase
dengan durasi 3-4 GCS 14 Dectra ec  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
menit (E4V4M6) Stroke Non
( 25 mg )
 Kelemahan  TD : 120/80 Hemoragik
angggota gerak mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
sebelah kanan  T : 36,6 ºC
 Bicara pelo  RR : 23 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
Nyeri kepala  N : 87 x/I  P.O Glimepirid 1x 2 mg
(-),Mual muntah(-),  SpO2 : 99%
demam(-),  GDS : 286  P.O Metformin 3 x 500 mg
Penurunan
 P.O Simvastatin 1 x 10 mg
kesadaran(-)
31 Desember  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2020  Kelemahan sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
angggota gerak  Kesadaran : + Hemiparase
sebelah kanan GCS 14 Dectra ec  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V4M6) Stroke Non
( 25 mg )
 Nyeri lidah karena  TD : 110/70 Hemoragik +
ada luka bekas mmHg Vulnus  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,6 ºC Morsum
 Nyeri kepala  RR : 22 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
(-),Mual muntah(-),  N : 85 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 99%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3 x 50
mg
1 Januari 2020  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Kelemahan sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
angggota gerak  Kesadaran : + Hemiparase
sebelah kanan (+) GCS 14 Dectra ec  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V4M6) Stroke Non
( 25 mg )
 Nyeri lidah karena  TD : 110/70 Hemoragik +
ada luka bekas mmHg Vulnus  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,5ºC Morsum
 Nyeri kepala (-),  RR : 24 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
Mual muntah(-),  N : 90 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 99%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3 x 50
mg
2 Januari 2020  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Kelemahan sakit sedang Simptomatik
angggota gerak  Kesadaran : + Stroke Non  Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
sebelah kanan (-) GCS 15 Hemoragik +  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V5M6) Vulnus
 TD : 120/70 Morsum ( 25 mg )
 Nyeri lidah karena
ada luka bekas mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,8 ºC
 Nyeri kepala (-),  RR : 24 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
Mual muntah(-),  N : 90 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 97%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3
500 mg
3 Januari 2020  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Kelemahan sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
angggota gerak  Kesadaran : + Stroke Non
sebelah kanan (-) GCS 15 Hemoragik +  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V5M6) Vulnus
Morsum ( 25 mg )
 Nyeri lidah karena  TD : 120/80
ada luka bekas mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,7ºC
 Nyeri kepala  P.O Aspilet 1x 80 mg
 RR : 20 x/i
(-),Mual muntah(-),  N : 88 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 96%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3
500 mg
4 Januari 2020  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Kelemahan sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
angggota gerak  Kesadaran : + Stroke Non
sebelah kanan (-) GCS 15 Hemoragik +  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V5M6) Vulnus
 TD : 120/80 Morsum ( 25 mg )
 Nyeri lidah karena
ada luka bekas mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,8 ºC
 Nyeri kepala (-),  RR : 24 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
Mual muntah(-),  N : 94x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 99%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3
500 mg
5 Januari 2020  Kejang berulang (-)  KU : Tampak Epilepsi  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Kelemahan sakit sedang Simptomatik
 Inj. Phenitoin 2 x 100 cc
angggota gerak  Kesadaran : + Stroke Non
sebelah kanan (-) GCS 15 Hemoragik +  Inj. Ranitidin 2 x 1 am
 Bicara pelo (E4V5M6) Vulnus
Morsum ( 25 mg )
 Nyeri lidah karena  TD : 110/70
ada luka bekas mmHg  Inj. Citikolin 2 x 500 mg
gigitan  T : 36,5ºC
 Nyeri kepala (-),  RR : 24 x/i  P.O Aspilet 1x 80 mg
Mual muntah(-),  N : 90 x/i  P.O Glimepirid 1x 2 mg
demam(-),  SpO2 : 99%
Penurunan  P.O Metformin 3 x 500 mg
kesadaran(-)  P.O Simvastatin 1 x 10 mg
 P.O Siprofloxacin 3 x 50
mg
 P.O As Mefenamat 3
500 mg
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Otak
3.1.1 Anatomi
Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system saraf pusat
(SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum cerebellum,
brainstem, dan limbic system. Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu
sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak
dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST).
Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP dengan
bagian tubuh lainnya.6
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya
adalah:
1. Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan
tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus.
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a. Lobus Frontalis
b. Lobus Temporalis
c. Lobus parietalis
d. Lobus oksipitalis
2. Cerebellum
Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron
dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam
fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima,
inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat
koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot
volunter secara optimal.6
3. Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar. Berhubungan
dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya. Struktur-struktur
fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan
12 pasang saraf cranial.Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial
III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal
mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata,
mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN)
V diasosiasikan dengan pons.

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak yang
akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak juga di
fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla,
sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.6
Vaskularisasi
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri
oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri
anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus
frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.7
- Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
- Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi.
- Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat
tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke
dalam sinus venosus cranialis.
- Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem vertebrabasilaris
terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior hemisfer.
Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor yang paling
penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem
vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah
sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).8

Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem


vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua
faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-
kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga,
adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan
untuk membeku).8
3.2. Epilepsi
3.2.1. Definisi
Definisi konseptual :
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk
menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya
minimal 1 kali bangkitan epileptic.9
Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat
aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Definisi operasional/definisi praktis9
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal
60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan
bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan
pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers)
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.
3.2.2 Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:3
1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada
otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic,
kelainan neurodegeneratif.
3.2.3 Klasifikasi
Pada tahun 1981 International Laegue Against Epilepsi (ILAE) membagi kejang
menjadi kejang umum dan kejang fokal/ parsial. Berdasarkan tipe bangkitan
(diobservasi secara klinis maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), apakah
aktivitas kejang dimulai dari 1 bagian otak, melibatkan banyak area atau melibatkan
kedua hemisfer otak.9
ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang pasial dengan definisi
sebagai berikut, Kejang umum adalah gejala awal kejang dan/ atau gambaran EEG
menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer; Kejang parsial (fokal) adalah gejala awal
kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada neuron terbatas pada satu
hemisfer saja. Klasifikasi epilepsi terus berkembang sejak tahun 1960 ILAE telah
mengeluarkan beberapa kali klasifikasi epilepsi. Klasifikasi epilepsi yang saat ini
dianut adalah klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017. 9
Tabel 2.1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017
I. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Unknown Onset
II. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses
pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Combine focal and general onset
D. Unknown Onset
III. Berdasarkan sindrom epilepsi
(ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG
atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi
diurnal, trigger tertentu, dan terkadang prognosis)
Sumber : Scheffer, dkk. Classification of the epilepsies, 2017
3.2.4 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3
Ada tiga langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:
1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Langkah kedua : tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981
3. Langkah ketiga : tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:3
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai hal-hal terkait dibawah ini:
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
 Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan prilaku,
perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitive, dan lain-lain.
 Selama bangkitan/ iktal:
o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi,
aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan
dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. ( Akan
lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan
gerakan bangkitan atau merekam video saat
bangkitan)
o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan
sebelumnya
o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya
saat tidur, saat terjaga, bermain video game,
berkemih, dan lain- lain.
 Pasca bangkitan/ post- iktal:
o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE
sebelumnya
i. Jenis obat antiepilepsi
ii. Dosis OAE
iii. Jadwal minum OAE
iv. Kepatuhan minum OAE
v. Kadar OAE dalam plasma
vi. Kombinasi terapi OAE
e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat
(SSP), dll.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis3
Pemeriksaan fisik umum
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,
misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan congenital
- Kecanduan alcohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah
bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak
jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal
3. Pemeriksaan penunjang3
 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk:
o Membantu menunjang diagnosis
o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom
epilepsi.
o Membatu menentukan prognosis
o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
 Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI
beresolusi tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara
non-invasif berbagai macam lesi patologik misalnya mesial
temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus,
DNET (dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous
sclerosiss.3
Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
dan Magnetic ResonanceSpectroscopy (MRS) bermanfaat dalam
memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan
metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan
dengan bangkitan.3

Indikasi pemeriksaan neuroimaging ( CT scan kepala atau MRI


kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked
pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging
pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi structural
penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di
lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau
dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi structural,
maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.3
 Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung
jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit
(natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan
albumin.
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam
menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan
OAE
- Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi
samping OAE
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat
efek samping OAE.3
o Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam
plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk
memonitorkepatuhan pasien.3
 Pemeriksaan penunjang lainnya3
Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
o Punksi lumbal
o EKG

3.2.5 Diagnosis Banding


Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti
pingsan (Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal
ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan
pengobatannya. Tabel 3.1 menunjukkan beberapa pembeda antara kejang
epileptic dengan berbagai kondisi yang menyerupainya3
3.2.6 Tatalaksana

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat


hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandang mental yang
dimilikinya. Harapannya adalah bebas bangkitan, tanpa efek samping‖. Untuk
tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek
samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.3
Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI 3


 OAE diberikan bila
o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan.
o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek
samping yang timbul dari OAE.
o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari
(misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan
 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
 Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,
penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)
o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
o Setelah penggantian dosis/regimen OAE
o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai
kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila
respons yang didapat buruk, kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE
pertama sudah maksimal.
 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE
pertama
 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi
bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses
otak ensafalitis herpes.
o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak
o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
o Riwayat bangkitan simtomatis
o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME
(Juvenile Myoclonic Epilepsi)
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran stroke,
infeksi SSP
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus
 Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan profil
farmakologis tiap OAE dan interaksi farmnakokinetik antar-OAE
 Strategi untuk mencegah efek samping:
o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada
sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.
3.3. Stroke Non Hemoragik
3.3.1. Definisi
Stroke merupakan gangguan fungsi saraf akut karena gangguan sirkulasi darah
serebral yang terjadi dalam beberapa detik sampai beberapa jam sehingga
menimbulkan gejala defitisit neurologi fokal/global sesuai daerah yang terkena.
Stroke non hemoragik merupakan stroke yang diawali oleh adanya sumbatan
pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang mengakibatkan sel otak mengalami
gangguan metabolisme karena tidak mendapatkan suplai darah, oksigen dan energi
yang cukup.6
3.3.2 Etiologi dan Klasifikasi
Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali dengan adanya
sumbatan pembuluh darah oleh adanya trombus atau emboli yang mengakibatkan sel
otak mengalami gangguan metabolisme, karena tidak mendapatkan darah, oksigen
dan energi. Sehingga stroke non hemoragik dibagi menjadi stroke embolik dan stroke
trombotik.6
Pada stroke trombosis disebabkan oleh oklusi mendadak pembuluh darah yang
mensuplai otak. Oklusi terjadi baik karena suatu trombus yang terbentuk langsung di
lokasi oklusi. Stroke trombosis dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior).6,10 
Tempat terjadinya trombosis  yang paling  sering  adalah titik percabangan
arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya
stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga
meningkatkan resiko pembentukan trombus  aterosklerosis (ulserasi plak),
dan perlengketan platelet.6,10
Stroke emboli adalah jenis stroke iskemik yang disebabkan oleh bekuan darah
yang disebabkan proses emboli. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul
kurang dari 10-30 detik. Sumber emboli antara lain :
1. Emboli dapat berasal dari trombus di jantung, terutama dalam kondisi berikut:
 Atrial fibrilasi
 Penyakit jantung rematik : mitral stenosis
 Paska miocard infark
 Vegetasi pada katup jantung pada bakteri atau marantic endokarditis
 Katup jantung prostetik
2. Operasi jantung terbuka atau atheromas di arteri lehet atau di atkus aorta. Setelah
prosedut invasif pada kardiovaskular (misal : kateterisasi)
3. Emboli lemak : fraktur tulang panjang
4. Emboli udara : kasus dekompresi6,10
Pembagian stroke bedasarkan manifestasi klinisnya :
1. TIA ( Transient ischemic attack)
Serangan akut defisit neurologi focal yang berlangsung singkat, kurang dari 24
jam dan sembuh tanpa gejala sisa
2. RIND ( residual ischemic neurological defisit)
Sama dengan TIA tetapi berlangsung lebih dari 24 jam dan sembuh sempurna
dalam waktu kurang dari 3 minggu
3. completed stroke
stroke dengan defisit neurologis berat dan menetap dalam waktu jam dengan
penyembuhan tidak sempurna dalam waktu lebih dari 3 minggu
4. stroke dengan defisit neurologis fokal yang terjadi bertahap dan mencapai
puncaknya dalam waktu 24-48 jam atau 96 jam dengan penyembuhan tidak
sempurna dalam waktu 3 minggu.10
3.3.3 Faktor resiko
Secara umum, faktor resiko stroke dibagi menjadi dua, yaitu
1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi : hipertensi, diabetes melitus, merokok,
obesitas, asam urat, dislipidemia, penyakit jantung
A. Hipertensi
Merupakan faktor resiko tersering, sebanyak 60% penyandang
hipertensi akan mengalami stroke. Hipertensi dapat menimbulkan stroke
iskemik (50%) maupun stroke perdarahan (60%). Data menunjukkan bahwa
stroke trombotik pada penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali lebih tinggi
dibandingkan normotensi
Patofisiologi hipertensi menyebabkan terjadinya perubahan pada pembuluh
darah. Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan
permeabilitas endotel oleh hipertensi yang lama. Proses akan berlanjut dengan
terbentuknya deposit lipid terutama kolesterol dan kolesterol oleat pada tunika
muskularis yang menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit serta
berkelok-kelok. Pada hipertensi kronik akan terbentuk nekrosis fibrinoid yang
menyebabkan kelemahan dan herbiasi dinding arterior serta ruptu tunika
intima, sehingga terbentuk suatu mikroneurisma yang disebut charcot-
boucard.
Pergeseran pembuluh darah mengakibatkan gangguan autoregulasi,
berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan
tekanan darah sistemik. Jika terjadi penurunan tekanan darah sistemik
mendadak, tekanan perfusi otak menjadi tidak adekuat sehingga menyebabkan
iskemik jaringan otak. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan tekanan darah
sistemik, maka akan terjadi peningkatan tekanan perfusi yang hebat yang akan
menyebabkan hiperemia, edema dan perdarahan.
B. Diabetes melitus
Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat mengalami stroke. Penelitian
menunjukkan adanya peranan hiperglikemia dalam proses arterosklerosis,
yaitu gangguan metabolisme berupa akumulasi sorbitol di dinding pembuluh
darah arteri. Hal ini menyebabkan gangguan osmotik dan bertambahnya
kandungan air di dalam sel yang dapat mengakibatkan kurangnya oksigenisasi.
Selain itu Penyandang DM sering disertai denga nhiperlipidemia yang
merupakan faktor resiko terjadinya proses arterosklerosis.
C. Merokok
Secara prospektif merokok disebabkan oleh beberapa mekanisme.
Pertama, akibat derivat rokok yang sangat berpengaruh pada sistem saraf
simpatis dan proses trombotik. Dengan adanya nikotin, kerja saraf simpatis
akan meningkat, termasuk jalur simpatis sistem kardiovaskular, sehingga kan
terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan peningkatkan aliran
darah ke otak.
Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim
siklooksigenase, yang menyebabkan penurunan produksi prostasiklin dan
tromboksan. Hal ini mengakibatkan peningkatan agregrasi trombosit dan
penyempitan lumen pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya stroke
iskemik. Selain ini, merokok dalam waktu yang lama akan meningkatkan
aregrasi trombosit, kadar fibrinogen dan visositas darah serta menurunkan
aliran darah ke otak yang menyababkan stroke iskemik.
Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh, ikatan
karbondioksida dalam darah 200 kali lebih tinggi dibandingkan oksigen,
sehingga seolah-olah oksigen dalam darah sedikit. Hal ini menyebabkan
peningkatan produksi eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi eritrosit plasma
tinggi yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang disebut
polisitemia sekunder.
D. Asam urat
Salah satu penelitian di jepang terhadapt usia 50-79 tahun selama 8
tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor resiko penting terjadinya
stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang usia 55-64 tahun selama
23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara asam urat, kadar
kolesterol, tekanan darah sistolik dan kadar trigliserida terhadap kejadian
aterosklerosis berupa penyakit jantung dan stroke. Kondisi hiperurisemia
diduga merupakan salah satu faktor yang meningkatkan agrefrasi trombosit.
E. Dislipidemia
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan sebagai penyebab penyakit
jantung, salah satu penelitian observasional menunjukkan hubungan
peningkatan kadar lipid plasma dan kejadian stroke iskemik. Meta analisis
terhadap studi kohort juga menunjukkan kekuatan hubungan antara
hiperlipidemia dan stroke. Komponen dislipidemia yang diduga berperan,
yakni kadar HDL yang rendah dan kadar LDL yang tinggi. Kedua hal tersebut
mempercepat arterosklorosis pembuluh darah koroner dan serebral.
F. Penyakit jantung
Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih
dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang fungsi
jantungnya normal.
Penyakit Arteri koroner :
Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difusvaskular aterosklerotik
dan potensi sumberemboli dari thrombi mural karena miocard infarction.
Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi:
Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke sebesar 17 kali.
Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkandengan stroke, seperti prolaps
katup mitral, patent foramen ovale, defek septum atrium, aneurisma septum
atrium,dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari ascending aorta.
2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin dan etnis,
riwayat keluarga dan genetik
a. Usia, jenis kelamin, ras/suku bangsa
Angka kejadian stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
yaitu 0,4% (usia 18-44 tahun), 2,4% (usia 65-74 tahun) hingga 9,7% (usia 75
tahun atau lebih), sesuai dengan studi framingham yang berskala besar. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan terjadinya arterosklerosis seiring peningkatan
usia yang dihubungkan pula dengan faktor risiko stroke lainnya, seperti artrial
fibrilasi dan hipertensi. AF dan hipertensi sering dijumpai pada usia lanjut.
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5% kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Namun, angka ini bereda pada usia lanjut.
Prevalensi stroke pda penduduk amerika perempuan berusia > 75 tahun lebih
tinggi dibandingkan laki-laki.
Data pasien stroke di Indonesai juga menunjukkan rerata usia
perempuan lebih tua dibandingkan laki-laki. Hal ini dipikirkan berhubungan
dengan estrogen. Estrogen berpean dalam pencegahan plak arterosklerosis
seluruh pembuluh darah, termasuk pembuluh darah serebral. Dengan
demikian, perempuan pada usia produktif memiliki proteksi terhadap kejadian
penyakit vaskular dan arterosklerosis yang menyebabkan kejadian stroke lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Namun, pada keadaan premenopause dan
menopause yang terjadi pada usia lanjut, produksi estrogen menurun hingga
menurunkan efek proteksi tersebut.
Berdasarkan suku bangsa, didapatkan suku kulit hitam amerika
mengalami resiko stroke lebih tinggi dibandingkan kulit putih.
A. Riwayat keluarga
Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara kembar
monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar laki-laki dizigotik
yangmenunjukkan kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913penelitian
kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali lipatpeningkatan kejadian
stroke pada laki-laki yangibu kandungnya meninggal akibat stroke,
dibandingkan dengan laki-laki tanpariwayat ibu yang mengalami stroke.
Riwayat keluarga juga tampaknyaberperan dalam kematian stroke antara
populasi Kaukasia kelas menengah atas di California.

3.3.5 Patofisologi Dan Patogenesis


Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke non hemoragik, yang terjadi
akibat obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan ( trombus ) yang terbentuk di dalam suatu
pembuluh darah otak atau pembuluh organ distal. Pada trombus vaskular distal,
bekuan dapat terlepas atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung,
dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu emobolus. Terdapat
beragam penyebab strok trombotik dan embolik primer, termasuk arterosklerosis
merupakan penyebab sebagian besar kasus stroke trombotik dan embolik dari
pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab tersering stroke embolik.

Secara patofisiologi arterosklerosis adalah sekumpulan proses yang komplek


yang melibatkan darah dan material yang dikandungnya. Proses diawali dari
berubahnya K-LDL menjadi lebih aterogenik mungkin setelah proses oksidasi dan
berubah menjadi LDL yang teroksidasi. Disisi lain pada daerah-daerah rawan
arterosklerosis endotel bisa mengalami gangguan ( intak tetapi bocor ) sehingga
menjadi aktif dan terjadi gangguan fungsi, lama kelamaan bisa terjadi deendotelisasi
dengan atau tanpa disertai proses adesi trombosit. Berdasarkan ukuran dan
konsentrasinya molekul plasma dan partikel lipoprotein lain bisa melakukan
ekstravasasi melalui endotel yang rusak/bocor dan masuk ke ruang subendotelial.

Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke


pada orang, berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak arterosklerosis
di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis
interna merupakan tempat tersering tempat terbentuknya arterosklerosis. Adapun
subtipe dari stroke non hemoragik adalah :

1. Trombus
Trombus adalah bekuan darah yang menempel dinding vaskuler, proses
terbentuknya trombus disebut dengan trombosis. Trombus mulai terbentuk karena
permukaan tempat darah mengalir yaitu endotel mengalami kerusakan yang dikenal
sebagai disfungsi endotel. Adanya disfungsi endotel ini akan mengundang trombosit
untuk melakukan adhesi dan selanjutnya dengan bantuan faktor-faktor pembekuan
darah akan terjadi agregasi trombosit dan terbentuklah bekuan darah yang komponen
utamanya berupa trombosit. Adanya trombus yang masih melekat pada dinding ini
akan mengakibatkan gangguan aliran karena trombus tersebut berpotensi untuk
membesar dan sewaktu-waktu trombus tersebut dapat terlepas dari tempat
perlekatannya dan berjalan mengikuti aliran darah yang disebut sebagai embolus.
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen
pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga
aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia.
Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu
atau lebih pembuluh darah lokal.

2. Embolus
Embolus adalah suatu benda asing yang tersangkut pada suatu tempat dalam
sirkulasi darah. Benda tersebut ikut terbawa oleh aliran darah dan berasal dari suatu
tempat lain pada sirkulasi darah. Embolus 95 % berasal dari trombus. Embolus akan
menimbulkan gangguan apabila diameter pembuluh darah yang dilalui lebih kecil
daripada diameter embolus tersebut sehingga terjadilah oklusi pembuluh darah secara
mendadak. Apabila embolus sudah menyumbat arteri ke otak, maka aliran darah akan
terhenti dan mengakibatkan infark jaringan otak. Emboli merupakan 32% dari
penyebab stroke non hemoragik.11

3.3.6 Penegakkan Diagnosa


Kriteria penegakkan stroke iskemik adalah terdapat gejala defisit neurologis
fokal/global yang terjadi secara mendadak dengan bukti gambaran pencitraan otak.
Didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.6,10
1. Anamnesis : terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologis yang
mendadak. Tanpa truma kepala dan adanya faktor risiko stroke
2. Pemeriksaan fisik : pemeriksaan vital sign, adanya defisit neurologik fokal,
ditemukan faktor resiko seperti hipertensi, kelainan jantung dan kelainan
pembuluh darah lainnya.
Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik :
Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah dikenali. Hal ini secara praktis
mengacu pada definisi stroke. Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat
tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkan dapat
bersifat fokal maupun global, yaitu :
a. Kelumpuhan satu sisi, kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas,
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot
untuk proses menelan, bicara dan sebagainya
b. Gangguan fungsi keseimbangan
c. Gangguan fungsi penghidu
d. Gangguan fungsi penglihatan
e. Gangguan fungsi pendengaran
f. Gangguan fungsi somatik sensoris
g. Gangguan fungsi kognitif
h. Gangguan global berupa gangguan kesadaran
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang disusun
oleh cincinnati menggunakan singkatan FAST, mencakup F yaitu facial droop, A
yaitu arm weakness, S yaitu speech difficulties, T yaitu time to seek medical help.
Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik neurologi
untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan berdasarkan
anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi kesadaran, saraf kranialis, motorik,
sensorik, otonom, fungsi kognitif, refleks dan lain-lain.
3. Pemeriksaan penunjang :
Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta untuk
mengeksplorasi faktor resiko dan etiologi stroke iskemik berupa :
A. EKG
B. Pencitraan otak : CT Scan non kontras, CT angiografi atau MRI atau MRA
CT scan sangat membantu diagnosa dan membedakan dengan perdarahan terutama
pada fase akut. Pada stroke non hemoragik berupa gambaran hipodens. Angiografi
serebral untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang
terganggu. CT scan juga dapat menentukan jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi dan
menyingkirkan lesi jenis non vaskular.
C. Doppler carotis dan vertebralis. suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan
penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang
mensuplai darah ke otak).
D. Doppler trankranial
E. Foto thoraks : Dapat memperlihatkan keadaan jantung. Serta mengidentifikasi
kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.
F. Pemeriksaan laboratrium
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah
sewaktu dan fungsi ginjal. Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan
pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial, HbA1c, profil
lipid, CRP, dan LED.. Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia,
fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan.

ASPEK KLINIS
Kelainan yang letak atau topisnya di otak mempunyai karakteristik yakni
didapatkan gejala yang kontraleral dari lesi di otak karena umumnya terjadi
penyilangan traktus baik yang desenden maupun asenden. Kelainan yang letaknya di
daerah basal ganglia akan terjadi gejala kelainan gerak seperti : tremor, chorea,
atethosis, hemibalismus, hipertonus dan lain-lain.
Perbedaan Stroke Hemoragik Dan Non Hemoragik
ALGORITMA GAJAH MADA DAN SIRIRAJ STROKE SCORE

SIRIRAJ STROKE SCORE

Interpretasi:
- Skor < -1 : Curiga SNH
- -1 s/d 1 : Ragu-ragu
- ≥1 : SH
3.3.9 Tatalaksana6
Pada fase akut pengobatan ditujukan untuk membatasi kerusakan otak
semaksimal mungkin agar kecacatan yang ditimbulkan menjadi seminimal mungkin.
Untuk daerah yang mengalami infark, kita tidak bisa berbuat banyak. Yang penting
adalah menyelamatkan daerah di sekitar infark yang disebut daerah penumbra.
Neuron-neuron di daerah penumbra ini sebenarnya masih hidup, akan tetapi
tidak dapat berfungsi oleh karena aliran darahnya tidak adekuat. Daerah inilah yang
harus diselamatkan agar dapat berfungsi kembali. Untuk keperluan tersebut maka
aliran darah di daerah tersebut harus diperbaiki.
Menurut hukum Hagen-Poisseuille, viskositas darah memegang peranan
penting. Viskositas darah dipengaruhi oleh :
 Hematokrit
 Plasma fibrinogen
 Rigiditas eritrosit
 Agregasi trombosit
1. Trombolisis
Satu- satunya obat yang diakui FDA sebagai standar adalah pemakaian r-TPA
(Recombinant - Tissue Plasminogen Activator) yang diberikan pada penderita stroke
iskemik dengan syarat tertentu baik i.v maupun arterial dalam waktu kurang dari 4,5
jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,6 - 0,9 mg/kg (max 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan bolus IV sedangkan sisanya diberikan dalam 1 jam.
2. Antikoagulan
Obat yang diberikan adalah heparin atau heparinoid (fraxiparine). Efek
antikoagulan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah atau
memperkecil pembentukkan fibrin dan propagasi trombus. Antikoagulansia mencegah
terjadinya gumpalan darah dan embolisasi trombus. Antikoagulansia masih sering
digunakan pada penderita stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan
embolus. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan
mencegah emboli berulang pada keadaan resiko mayor dapat dimulai dari dosis 2 mg
per hari dengan target INR 2,0-3,0.
3. Anti agregasi trombosit
Obat yang dipakai untuk mencegah pengumpulan sehingga mencegah
terbentuknya trombus yang dapat menyumbat pembuluh darah. Obat ini dapat
digunakan pada TIA. Obat yang banyak digunakan adalah asetosal (aspirin) dengan
dosis 40 mg – 1,3 gram/hari dimana dosis awal 325 mg dalam 12 jam setelah onset
stroke. Akhir-akhir ini digunakan tiklopidin dengan dosis 2 x 250 mg.
4. Neuroprotektor
Mencegah dan memblok proses yang menyebabkan kematian sel-sel terutama
di daerah penumbra. Berperan dalam menginhibisi dan mengubah reversibilitas
neuronal yang terganggu akibat ischemic cascade. Obat-obat ini misalnya piracetam,
citikolin, nimodipin, pentoksifilin.
5. Terapi endovaskular
Adalah terapi yang menggunakan kateterisasi untuk melenyapkan trombus di
pembuluh darah dengan cara melisiskan trombus secara langsung atau dengan
menarik trombus yang menyumbat dengan alat khusus yaitu tromboektomi mekanik.

3.3.9.1 Penatalaksanaan Darurat Hipertensi Pada Pasien Stroke Akut


Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan
terjadinya edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular
lebih lanjut dan terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan tetapi,
disisi lain, penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan penurunan
perfusi serebral sehingga kerusakan daerah iskemik di otak akan menjadi semakin
luas. Terlebih pada hipertensi kronik dengan kurva perfusi (tekanan darah – aliran
darah ke otak) bergeser ke kanan, Penurunan tekanan darah pada kondisi seperti ini
akan semakin mengakibatkan penurunan perfusi serebral.
Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu, penurunan tekana darah pada pasien
stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi sebagai tindakan rutin tidak
dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien, menimbulkan kecacatan dan
kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut, tekanan darah akan turun
dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke.
Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke
Tahun 2011 perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia, dilakukan secara hati-hati
dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini :
1) Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120
mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang diberi terapi trombolitik
(rTPA), tekanan darah sistolik diturunkan hingga < 185 mmHg dan
tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat antihipertensi yang digunakan
adalah Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau Diltiazem intravena.
2) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah
sistolik > 200 mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg,
tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinyu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5
menit.
3) Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg
disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial,
dilakukan pemantauan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral > 60 mmHg.
4) Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa
disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah
diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90
mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan darah sistole
hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
5) Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus
dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral
untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta
perdarahan ulang. Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid
berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah
diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 – 160 mmHg. Sedangkan
tekanan darah sistole 160 – 180 mmHg sering digunakan sebagai target
tekanan darah sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme,
namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat
ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.
6) Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam
target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan
tersebut adalah 15 – 25% pada jam pertama dan tekanan darah sistolik
160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.
Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat
berakibat meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi
perdarahan, sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan
perdarahan ulang dan semakin luasnya hematoma (perdarahan).
Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-
hati. Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan
kerusakan semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh
karena itu, pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat
dititrasi dengan mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman
penurunan tekanan darah pada stroke akut adalah sebagai berikut :
1) Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting
agent)
2) Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah
3) Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah otak
4) Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)
5) Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan
dicapai.

3.3.10 Komplikasi
Komplikasi stroke:10
- Infeksi: Infeksi sering terjadi pada pasien stroke dan sering berhubungan
dengan keparahan klinis stroke. Imunosupresi pasca stroke mungkin
menyebabkan aktivasi asympathico-adrenal yang dapat dijumpai setelah
stroke yang berat dan berkontribusi menyebabkan infeksi pada pasien stroke.
Infeksi yang paling sering adalah ISK dan Pneumonia.
- Tromboemboli vena (Deep venous thromboembolism and pulmonary
embolism): frekuensi dan penyebab DVT dilaporkan terjadi pada 10-15%
pasien dan emboli pulmonal pada 3-4% pasien setelah stroke. Sejumlah faktor
yang meningkatkan resiko tromboemboli vena adalah imobilisasi, dan juga
komorbiditas yang meningkatkan resiko termasuk kondisi neoplastik serta
predisposisi genetik untuk tromboemboli vena.
- Komplikasi pada jantung: Komplikasi jantung adalah komplikasi yang paling
umum terjadi setelah stroke, seperti aritmia, dalam bentuk atrial fibrilasi,
penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kongestif.
- Resiko jatuh: pasien dengan stroke beresiko tinggi untuk jatuh. Usia tua,
infeksi, gangguan kognitif, depresi, gangguan penglihatan, gangguan
keseimbangan, tungkai yang lemah, gangguan sensorik dapat meningkatkan
resiko jatuh.
- Depresi: hilangnya harapan, hilangnya kesenangan, kesulitan tidur dan merasa
bersalah akan kondisi dirinya dan selalu menyendiri.
- Edema cerebri dan peningkatan tekanan intracranial yang dapat menyebabkan
herniasi atau kompresi batang otak
- Kejang
- Gangguan daily life activity
3.3.11 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi
pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak
menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hati-
hati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan
suhu tubuh 20 secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke. Sekitar
30-60 % penderita stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa
aspek aktivitas hidup sehari-hari . Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi
paling cepat pada minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan
pasca stroke.

Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang
terjadi pada penderita stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur diantaranya
outcome fungsional, seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of life, serta
mortalitas. Menurut Hornig et al., prognosis jangka panjang setelah TIA dan stroke
batang otak/serebelum ringan secara signifikan dipengaruhi oleh usia, diabetes,
hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri karotis yang menyertai. Pasien
dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien dengan stroke
minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam sebuah penelitian sebesar 4,8 %
dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

BAB IV
ANALISA KASUS

ANALISA MASALAH PEMBAHASAN


Ny.L 54 tahun datang ke IGD RSUD ● Untuk pemenuhan kriteria diagnosis
Mattaher Kota Jambi dengan keluhan Epilepsi, yaitu : setidaknya Minimal
kejang pada sebagian tubuh sebelah terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi
kanan saat hendak istirahat sejak 1 hari atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
yang lalu. Kejang sebanyak 20 kali, waktu antar bangkitan pertama dan
durasi kejang 3-5 menit. Tidak ada kedua lebih dari 24 jam. Satu
penurunan kesadaran diantara kejang. bangkitan tanpa provokasi atau 1
Durasi diantara kejang selama 10 bangkitan refleks dengan kemungkinan
menit. Saat kejang sebagian tubuh terjadinya bangkitan berulang dalam
pasien kelonjotan, mulai dari kejang 10 tahun.
pada otot wajah sebelah kanan disertai ● Kejang fokal dimulai dari cetusan
dengan gerakan mata berkedip kedip epileptilk di suatu area fokal di korteks
dan pasien menggigit lidahnya seperti ● Kejang fokal kompleks : kesadaran
gerakan mengunyah, lalu diikuti oleh terganggu sehingga pasien tidak ingat
kejang kelonjotan pada tangan kanan. akan kejang. Biasanya disertai dengan
gerakan automatisem (mengunyah,
meracau, dll)
Kelemahan angora gerak sebelah kanan - Kelemahan anggota gerak tubuh baik
sesisi maupun kedua sisi (parese/plegi)
menunjukkan adanya defisit neurologis
fokal. Kelemahan anggota gerak bisa
disebabkan oleh lesi upper motor
neuron (UMN) dan motor unit. Lesi
UMN dibagi lagi menjadi lesi di cortex,
subkorteks, brainstem, dan spinal cord.
Lesi motor unit dibagi dari spinal motor
neuron, spinal root, saraf tepi,
neuromuscular junction, dan otot.
Awalnya keluhan dirasakan mendadak Mendadak dalam hal ini penting untuk
saat hendak istirahat pada malam hari mengetahui apakah kelemahan terjadi
secara mendadak atau progresif.
Kelemahan anggota gerak mendadak hanya
dapat berasal dari dua etiologi yaitu trauma
atau vaskuler. Pada pasien ini tidak ada
riwayat trauma sehingga diagnosis banding
teratas adalah stroke.
Pasien masih dalam keadaan sadar  Tidak adanya penurunan kesadaran
pada saat terjadinya kejadian. menendakan tidak adanya terjadi defisit
neurologis global.
 Kesadaran menjadi salah satu factor
penting dalam membedakan pasien
stroke non hemoragik atau stroke
hemoragik. Pada umumnya, pasien
stroke non hemoragik tidak mengalami
penurunan kesadaran, sedangkan pasien
dengan stroke hemoragik mengalami
penurunan kesadaran.
 Pasien tidak mengeluhkan adanya  Tidak adanya keluhan jantung
jantung berdebar-debar, sesak berdebar, sesak nafas, demam, nyeri
nafas, demam, dan nyeri perut perut, gangguan BAB dan BAK
disangkal, mual muntah, sesak menunjukkan pada pasien ini tidak
nafas, demam, dan nyeri perut terjadi gangguan fungsi otonom.
disangkal. Tidak ada gangguan  Tidak adanya keluhan mual muntah,
pada BAK, sulit BAB tidak ada. menjadi salah satu tanda tidak
 Keluhan mual muntah, nyeri terjadinya peningkatan TIK secara
kepala, dan pandangan kabur klinis oleh pasien ini. Hal ini
dibuktikan dengan tidak disertainya
dengan penurunan kesadaran dan nyeri
kepala pada pasien ini.
Riwayat penyakit dahulu: diabetes Diabetes melitus dan hiperlipidemia
melitus sejak ±4 tahun yang lalu, serta menjadi salah satu faktor resiko yang bisa
hiperlipidemia hingga sekarang dimodifikasi penyebab terjadinya penyakit
vascular salah satunya stroke. Dalam kasus
ini pasien mengalami diabetes melitus
tidak terkontrol sejak 1 bulan belakang ini
yang dapat menjadi pemicu timbulnya
keluhan pasien. Diabetes melitus dan
hiperlipidemia menjadi faktor resiko yang
dapat meningkatkan terjadinya stroke pada
pasien ini dengan cara meningkatkan
kejadian arterosklerosis yang menjadi
patofisiologi terjadinya stroke.
Riwayat penyakit keluarga: Riwayat Hal ini menjadi salah satu factor
penyakit keluarga: Ibu pasien juga unmodified/tidak dapat dimodifikasi
mengalami diabetes melitus penyebab stroke berupa genetik.
Riwayat trauma psikologis (kehilangan Trauma psikologis ini juga diduga turut
suami) sejak 4 tahun lalu, sebelum berperan dalam riwayat penyakit hipertensi
timbulnya keluhan pasien. pasien.
Dari pemeriksaan status neurologis Kelemahan anggota gerak sesisi
pasien ditemukan anggota gerak atas tubuh (hemiparese) dibuktikan
dan bawah sebelah kanan pada dengan kekuatan motorik dibawah
pemeriksaan motorik gerakkannya normal <5, dimana kelemahan ini
terbatas dengan kekuatan 4. menunjukkan adanya lesi UMN
Pada pemeriksaan nervus cranialis seperti stroke pada pasien ini.
didapatkan sudut mulut terdorong Adanya parese CN VII & XII tipe
kearah kiri, dan lidah sulit dijulurkan central.
keluar disertai disartria
Diagnosis klinis: Kejang Parsial Diagnosis ditegakkan dari gambaran klinis
Kontinu + Hemiparesis dextra et parese yang diperoleh lewat anamnesis dan
CN VII, XII dextra tipe central pemeriksaan klinis.
Kemudian ditambah dengan adanya
pemeriksaan penunjang berupa EEG dan
CT-Scan. Dimana pada CT -Scan terdapat
infark cerebri pada lobus occipital dextra et
sinistra maka dapat ditegakkan SNH pada
pasien ini, dan pada EEG didapatkan
adanya potensial epileptogenicity di regio
temporal dextra.
Diagnosa Etiologi: Epilepsi Disebabkan oleh kerusakan neuron-neuron di
Simptomatik ec Stroke Non Hemoragik korteks motorik dan kapsula interna.
Kerusakan tersebut menyebabkan
ketidakseimbangan antara neuron eksitatori
(glutamatergic) dan neuron inhibisi
(GABAergic) yang merupakan dasar
patogenesis terjadinya fokus epileptik. Neuron-
neuron korteks yang tersisa diarea otak yang
rusak akan menjadi sangat peka
(hipereksitabilitas) dan inilah yang akan
berkembang menjadi fokus epileptogenik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus
tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kelainan yang mendasari yaitu pasien pernah
mengalami serangan stroke.
Tatalaksana: Nonmedikamentosa:
 Non medikamentosa Tujuan utama terapi epilepsi adalah
mengupayakan penyandang epilepsi dapat
hidup normal dan tercapai kualitas hidup
optimal. Harapannya adalah bebas
bangkitan, tanpa efek samping. Kemudian
padan SNH bertujuan untuk memperbaiki
kualitas hidup pasien seperti dengan
banyak latihan menggerakkan anggota
 Medikamentosa : gerak yang mengalami kelemahan agar
- Inj. Phenitoin 2 x 100 cc dapat membaik jika terus dilatih dan juga
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp ( 25 memperbaiki pola fikir dan hidup yang
mg ) sehat.
- Inj. Citikolin 2 x 500 mg
- P.O Aspilet 1x 80 mg Medikamentosa:
- P.O Simvastatin 1 x 10 mg  Fenitoin 2x100 mg secara injeksi .
- P.O Glimepirid 1x 2 mg Diberikan dosis terkecil dan
- P.O Metformin 3 x 500 mg monoterapi untuk melihat respon
- P.O Siprofloxacin 3 x 500 mg terapi. Akan dilakukan penaikan
- P.O As Mefenamat 3 x 500 dosis atau kombinasi obat jika
mg masih terjadi kejang selama masa
pengobatan hingga didapatkan
dosis dan obat yang sesuai dengan
pasien.
 Aspilet antiplatelet, merupakan
terapi untuk pasien dengan stroke
iskemik/SNH ditujukan untuk
mencegah dan menurunkan resiko
stroke kardio-emboli. Obat ini
bekerja dengan cara menghambat
agregasi trombosit sehingga dapat
menghambat pembentukan
thrombus.
 Pemberian citikolin sering kali
diberikan pada stroke karena dinilai
memiliki efek protektif terhadap sel
neuron, membantu meningkatkan
fungsi sel saraf, memperbaiki
oksigenasi otak, nutrisi otak,
memperbaiki perfusi otak, dan
sebagainya
 Simvastatin merupakan pengobatan
untuk hiperlipidemia
 Glimepiride dan Metformin
merupakan pengobatan untuk
Diabetes Melitus
 Pemberian Asam Mefenamat dan
Antibiotik Siprofloxacin
dikarenakan pasien mengeluhkan
nyeri pada luka gigitan pada lidah
nya.
BAB VI

KESIMPULAN

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk


menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Etiologi epilepsi dapat berupa
idiopatik, kriptogenik, dan simtomatis. ILAE membagi kejang menjadi kejang umum
dan kejang pasial. Kejang umum adalah gejala awal kejang dan/ atau gambaran EEG
menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer. Kejang parsial (fokal) adalah gejala awal
kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivitas pada neuron terbatas pada satu
hemisfer saja.

Stroke Non Hemoragik (SNH) adalah stroke yang disebabkan peredaran darah ke
sebagian jaringan otak terhenti karena sumbatan thrombus dan embolus yang terlepas
dari jantung atau arteri ekstrakranial yang menyebabkan sumbatan di satu atau
beberapa arteri intrakranial.

Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering dari
sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun
sebagai komplikasi pasca stroke. Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan
mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih
tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi pasca
trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang
lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan
sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90 % pasien
pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik,
sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat sedangkan 93%
dengan kejang onset lambat.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at:
http:// www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/.

2. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL.
Epidemiology of epilepsi in urban areas of people‘s republic of China.
Epilepsia 1985; 26(5): 391-4.

3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.


Edisi Kelima. 2014. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta: PERDOSSI

4. Depkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar. diunduh dari


http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf.

5. Sarini & Suharyo. Beberapa Faktor Risiko Yang Berhubungan dengan


Kejadian Stroke (Studi Kasus di RSUP dr. Kariadi Semarang).Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional 3(2):153-164. 2015.

6. Aninditha,Tiara. Buku ajar neurologi edisi 2. Jakarta:FKUI.2017

7. Pudjiastuti, Ratna Dewi. Penyakit Pemicu Stroke. Jogjakarta: Nuha Medika.


2011. h. 152, 165-167.:

8. Baehr M, Frotcsher M. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,


Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012.

9. Fisher S.G; Acevedo C; Arzimanoglou A et.al.Instruction manual for the


ILAE 2017 operational classification of seizure types. A Practical Clinical
Definition of Epilepsi. Epilepsia 2017: 1-8

10. Munir,Badrul. Neurologi Dasar edisi kedua. Malang:Sagung Seto;2017

11. Guideline Stroke, 2011, Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai