Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

STROKE NON HEMORAGIK

Pembimbing :
dr. Linda Carolina, Sp.S

Disusun Oleh :
Naufal Rahman Tejokusumo (2015730101)

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


RUMAH SAKIT UMUM SYAMSUDIN, SH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan hidayah-Nya Laporan Kasus ini dapat terselesaikan dengan baik.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase
neurologi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta di RSUD Syamsudin, SH.

Dalam penulisan laporan kasus ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Linda Carolina,
Sp.S sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan laporan kasus ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan kasus ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan kasus
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.

Jakarta, 14 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................4
2.1. Identitas Pasien..........................................................................................4
2.2. Anamnesis.................................................................................................4
2.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................6
2.4. Pemeriksaan Neurologis............................................................................8
2.5. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................13
2.6. Resume....................................................................................................17
2.7. Diagnosis.................................................................................................17
2.8. Terapi......................................................................................................17
2.9. Prognosis.................................................................................................17
2.10. Follow Up............................................................................................18
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................19
3.1. Definisi....................................................................................................19
3.2. Epidemiologi...........................................................................................19
3.3. Patofisiologi............................................................................................20
3.4. Gejala dan Tanda Klinis..........................................................................28
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding...........................................................29
3.6. Tatalaksana..............................................................................................27
BAB IV PERMASALAHAN KASUS...............................................................39
4.1. Rumusan Masalah Kasus........................................................................39
4.2. Pembahasan Masalah Kasus....................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii

BAB I

ii
PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut


dan salah satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara
di dunia. Pada tahun 2013, terdapat sekitar 25,7 juta kasus stroke, dengan
hampir separuh kasus (10,3 juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak
6,5 juta pasien mengalami kematian dan 11,3 juta pasien mengalami
kecacatan.1

Di negara berkembang, secara umum angka kecacatan dan kematian stroke


cukup tinggi yakni 81% dan 75,2%. Di Indonesia, stroke merupakan penyebab
kematian tertinggi berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, yaitu
15,4%. Data Indonesia Stroke Registry tahun 2012-2013 mendapatkan
sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam pertama pascastroke.1

Kecacatan dapat berupa defisit neurologi yang berdampak pada gangguan


emosional dan sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga bagi keluarganya.
Hal ini diperberat dengan tingginya serangan stroke berulang, jika faktor
risiko stroke tidak teratasi dengan baik.1

iii
BAB II

STATUS PASIEN

2.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. FRA


TTL : 10/06/1998
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Duren Sawit, Jakarta Timur
Tanggal masuk : 07/08/2019
No. RM : 002*****

2.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien dan keluarga


pasien pada tanggal 7 Agustus 2019 di ruang rawat inap An-Nas II RSIJ
Pondok Kopi

Keluhan utama

Kelemahan anggota tubuh sejak 7 hari SMRS

Keluhan tambahan
Demam naik turun sejak 14 hari SMRS
Sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSIJ Pondok kopi dengan keluhan kelamahan anggota


gerak sebelah kanan sejak 7 hari SMRS. Kelemahan muncul mendadak
dengan diawali pegal pada lengan bawah kemudian lengan atas sampai
tangan dan pegal dirasakan juga pada tungkai sampai kaki. Badan terasa
lemas serta susah untuk berdiri ataupun berjalan. Keluhan disertai sakit
kepala, tetapi tida muntah, tidak terjadi penurunan kesadaran, tidak ada

iv
pandangan kabur, tidak ada kejang, dan bicara tidak pelo. Selain itu, pasien
mengeluhkan demam naik turun sejak 7 hari sebelum timbul keluhan.
Riwayat trauma dan kepala terbentur disangkal. Tidak ada batuk pilek, tidak
ada gangguan pada telinga, tidak ada mual muntah, BAK dan BAB tidak ada
keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah merasakan hal yang sama. Riwayat hipertensi (+),
riwayat diabetes melitus (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama
dengan pasien. Riwayat kencing manis dan sakit jantung pada keluarga
disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi pada nenek dan kakek pasien

Riwayat Pengobatan

Sebelumnya pasien pernah berobat untuk penyakit hipertensi yang di


deritanya. Tapi pasien mengaku tidak rutin untuk kontrol dan minum obat.
Obat hipertensi yang biasa dikonsumsi Amlodipine 10 mg.

Riwayat Psikososial

Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien lebih suka


mengonsumsi makanan junk food dan mie instan disbanding makanan rumah

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, debu ataupun cuaca.

v
2.3. Pemeriksaan Fisik

- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang


- Kesadaran : Compos Mentis
- GCS : E4V3M4
- Tanda vital :
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernapasan : 21 x/menit
Suhu : 37 ,8oC
- BB sebelum sakit : 67 kg
- BB saat sakit : 61 kg
- TB : 176 cm
- BB/TB : 61 kg / 176 cm
Kesimpulan : IMT : 19,69 kg/m2 (Normal)

Status Generalis

 Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,


turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan
teraba hangat.
 Kepala : Normosefali, rambut berwarna hitam distribusi merata
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm.
1. Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-),
sekret (-/-)
deviasi septum (-),
2. Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri
tarik (-/-),
sekret (-/-)
3. Mulut : Mukosa bibir kering, sianosis (-), lidah tremor (-),
Faring

vi
hiperemis (-), tonsil T1-T1, Gigi berlubang dan sering
sakit
4. Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis
(-), uvula di
tengah

vii
 Leher
a) Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
b) Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar
tiroid, tidak terdapat deviasi trachea. JVP 5-2 mmH2O
 Toraks
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi
redup
Batas atas kanan: ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi
redup
Batas bawah kiri: ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra
dengan bunyi redup
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi
redup
 Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru
 Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis,
retraksi otot-otot pernapasan (-)
 Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

 Abdomen
 Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
 Palpasi : Supel, hepar dan lien dalam batas normal, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

viii
ix
 Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik
Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik
2.4. Pemeriksaan Neurologis

a. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal


1) Kaku kuduk : - ( tidak ditemukan tahanan pada tengkuk)
2) Brudzinski I : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
3) Brudzinski II : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
4) Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sebelum mencapai
135º/tidak terdapat tahanan sblm mencapai 135º)
5) Laseque : -/- (tidak timbul tahanan pada kedua kaki sebelum
mencapai 70o)
b. Pemeriksaan Nervus Kranialis
1) N-I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
2) N-II (Optikus)
a) Tajam penglihatan : Tidak dilakukan pemeriksaan
b) Lapang penglihatan : DBN / DBN
c) Tes warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
d) Fundus oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3) N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
a) Kelopak mata :
Ptosis : -/-
Endopthalmus : -/-
Exophtalmus : -/-
b) Pupil : Isokor, bulat, 3mm/3mm
Refleks Pupil
 langsung : +/ +
 tidak langsung : +/ +
c) Gerakan bola mata : medial (+/+), lateral (+/+), superior
(+/+), inferior (+/+), obliqus superior (+/+), obliqus inferior (+/+)

x
4) N-V (Trigeminus)
a) Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : +
 N-V2 (maksilaris) : +
 N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b) Motorik
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut.
c) Refleks :
Reflek kornea : +
Reflek bersin : Tidak dilakukan pemeriksaan
5) N-VII (Fasialis)
a) Sensorik (indra pengecap) : Tidak dilakukan pemeriksaan
b) Motorik
Inspeksi wajah sewaktu
 Diam : Tidak terdapat deviasi
 Senyum : DBN
 Meringis : DBN
 Bersiul : Sulit dinilai
 Menutup mata : simetris, kanan (maksimal), kiri
(maksimal)

 Mengerutkan dahi : simetris , kanan (baik), kiri (baik)

 Menutup mata kuat kuat : simetris, kanan (maksimal), kiri


(maksimal)

 Menggembungkan pipi : simetris, kanan (maksimal), kiri


(maksimal)

 Gerakan Involunter : -/-

xi
6) N. VIII (Vestibulocochlearis)
a) Keseimbangan
 Nistagmus : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
 Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
b) Pendengaran
 Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
7) N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
a) Refleks menelan : +
b) Refleks batuk : +
c) Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
d) Refleks muntah : Tidak Dilakukan
Pemeriksaan
e) Posisi uvula : Normal, Deviasi ( - )
f) Posisi arkus faring : Simetris
8) N-XI (Akesorius)
a) Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : + /+
b) Kekuatan M. Trapezius : + /+
9) N-XII (Hipoglosus)
a) Tremor lidah : Tidak ditemukan
b) Atrofi lidah : Tidak ditemukan
c) Ujung lidah saat istirahat : Simetris
d) Ujung lidah saat dijulurkan : Simetris
e) Fasikulasi :-

c. Pemeriksaan Motorik
1) Refleks
a) Refleks Fisiologis
 Biceps : +/ +
 Triceps : +/ +
 Achiles : + /+

xii
 Patella : +/+
b) Refleks Patologis
 Babinski : -/-
 Oppenheim : -/-
 Chaddock : -/-
 Gordon : -/-
 Scaeffer : -/-
 Hoffman-Trommer : -/-

2) Kekuatan Otot
3 5
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
3 5
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

3) Tonus Otot
a. Hipotoni : -/-
b. Hipertoni : -/-

d. Pemeriksaan Sistem Ekstrapiramidal


 Tremor :-
 Chorea :-
 Balismus :-

e. Pemeriksaan Sistem Koordinasi


1) Romberg Test : Tidak dilakukan pemeriksaan
2) Tandem Walking : Tidak dilakukan pemeriksaan
3) Finger to Finger Test : Sulit dinilai
4) Finger to Nose Test : Sulit dinilai

xiii
f. Pemeriksaan Fungsi Luhur
1) Fungsi bahasa : Normal
2) Fungsi orientasi : Dalam Batas Normal
3) Fungsi memori : Tidak ditemukan gangguan memori
4) Fungsi emosi : Dalam Batas Normal

g. Pemeriksaan Susunan Saraf Otonom


Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan

h. Sensibilitas
Eksterospektif / rasa permukaan (superior dan inferior)
Rasa raba : (+)/(+) simetris
Rasa nyeri : (+)/(+) simetris
Rasa suhu panas : (+)/(+) simetris
Rasa suhu dingin : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Prospioseptif / rasa dalam
Rasa sikap : (+)
Rasa getar : (+)
Rasa nyeri dalam : (+)
Fungsi kortikal untuk sensibilitas : (+)
Asteriognosis : (+)
Gradognosis : (+)

i. Skor Siriraj
Siriraj Score : 2,5 (kesadaran) + 2 (muntah)+ 2 (sakit kepala) +
0,1 (diastole) – 3 (atheroma) – 12
= 0 (SSS meragukan)

xiv
2.5. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium darah tanggal 7 Agustus 2019

Darah lengkap

Haemoglobin :13.4 mg/dL Basofil :0.7%


RDW-CV :12.7% Eosinophil :1.8%
MCV :77fL Neutrophil :69.0%
MCH :26 pg Lymphosyte :19.5%
MCHC :34 g/dL Monocyte :9.0 %
Erythrocyte :5.1x106 /uL SGOT :17.60 U/L
Hemathocryte :40% SGPT :13.40 U/L
Leukocyte :12.1 x 103 /uL Glucose Random :86 mg/dL
Thrombocyte :380 x 103 /uL Urea :17mg/dL
LED :91 mm Chreatinin :1.1 mg/dL
Cholesterol total :135 mg/dL Cholesterol HDL : 27 mg/dL
Trigliseride :110 mg/dL Cholesterol LDL :94 mg/dL

xv
CT-Scan Kepala Polos Tanggal 8 Agustus 2019

CT-Scan Kepala Konras Tanggal 8 Agustus 2019

Kesan :

1. Parenkim otak masih dalam batas normal, tak tampak lesi phatologik
2. Cerebelum dan batang otak masih baik

xvi
3. Curiga mukokel sinus maxillaris kiri

CT-Scan kepala tanggal 8 Agustus 2019

Cor : Dalam Batas Normal

Pulmo : Corakan kedua paru dalam batas normal. Infiltrat (-)


Hilus dalam batas normal
Sinus dan diafraghma normal
Kesan : Cor / Pulmo dalam batas normal

xvii
2.6. Resume

Pasien datang ke RSIJ Pondok kopi dengan keluhan kelamahan anggota


gerak sebelah kanan sejak 7 hari SMRS. Kelemahan muncul mendadak
dengan diawali pegal pada lengan bawah kemudian lengan atas sampai
tangan dan pegal dirasakan juga pada tungkai sampai kaki. Badan terasa
lemas serta susah untuk berdiri ataupun berjalan. Keluhan disertai sakit
kepala. Selain itu, pasien mengeluhkan demam naik turun sejak 7 hari
sebelum timbul keluhan.

Dari pemeriksaan fisik status generalis tidak ditemukan kelainan yang


berarti selain hipertensi dan febris. Dari pemeriksaan status neurologis
ditemukan kelainan pada ekstremitas dextra atas dan bawah dengan nilai
kekuatan otot 3. Dari pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan.
Dari pemeriksaan CT-Scan dan Ro.Thoraks saat di RSIJ Pondok Kopi tidak
didapatkan kelainan.

2.7. Diagnosis

Diagnosis Klinis : Hemiparese dextra dan hipertensi esensial


Diagnosis Topik : Infark pada ganglia basalis
Diagnosis Etiologik : Stroke Non- Hemoragik
Diagnosis Patologik : Infark Serebri
Diagnosis Banding : Meningitis, Encephalitis, Multiple Sklerosis

2.8. Terapi
 Bed rest
 Asering/12 Jam
 Inj citicolin 2x 50g
 Amlodipine 1x10mg
 Paracetamol 3 x 500mg
2.9. Prognosis

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad fungsionam : Dubia ad malam

xviii
Ad sanationam : Dubia ad malam

xix
2.10. Follow Up

Tanggal S O A P
Kelemahan pada
extremitas kanan CM
TD : 140/90 Terapi dilanjutkan
membaik, baal S : 36.7
& ditambah:
pada extremitas
8/08/2019 D S SNH Miniaspi 1x80mg
kanan (+), 4 5
CPG 1x75mg
pusing (+), 4 5
Inj Ketorolac (k/p)
lemas (+)
Demam (-)
Kelemahan pada
extremitas kanan CM
membaik, baal TD : 150/90
Terapi dilanjutkan
pada tangan D S
9/08/2019 SNH & ditambah:
kanan (+), 4+ 5
4+ 5 Gabapentin 2x100mg
pusing (+),
lemas (+)
Demam (-),
Pulang
Kelemahan pada dengan membawa obat:
CM
extremitas kanan Candesartan 1x 10mg (P)
TD 140/90
membaik, baal SNH Amlodipine 1x 10mg(M)
D S
10/08/2019 pada ekstremitas Klinis Miniaspi 1x80g
5 5
(-), pusing (+), 5 5 Baik Neurolin 2x 500mg
lemas (-) CPG 1x75mg
Demam (-), Paracetamol 3x500mg
Gabapentin 2x100mg

xx
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Stroke menurut pengertian WHO (World Health Organization) adalah


tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal
(atau globalpada kasus koma) dengan gejala gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebablain
selain di vaskuler.2

3.2. Epidemiologi

Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, antara lain Malaysia (67 per
100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan hun 2013,
prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 menjadi
12, 1% pada tahun 2013. Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
dengan posisi tiga besar secara berurutan yakni Sulawesi Selatan (17,9%),
Daerah Istimewa Yogyakarta (16,9%), dan Sulawesi Tengah (16,6%).1

Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncaknya


pada usia ≥75 tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke tidak berbeda berdasarkan
jenis kelamin. Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis kelamin laki-laki
dua kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000 penduduk
dan 212 per 100.000.1

Persentase stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke


hemoragik Laporan American Heart Association (AHA) tahun 2016
mendapatkan stroke iskemik mencapai 87% serta sisanya adalah perdarahan
intraserebral dan subaraknoid. Hal ini sesuai dengan data Stroke Registry
tahun 2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di Indonesia, mayoritas adalah
stroke iskemik (67%). Demikian pula dari 384 pasien stroke yang menjalani

xxi
rawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014
sebanyak 71,4 % adalah stroke iskemik.

Adapun angka kematian akibat stroke iskemik (11,3%) relatif lebih kecil
dibandingkan stroke perdarahan. Secara umum dari 61,9% pasien stroke
iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark
terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%), dan
infark pada sirkulasi posterior (4,2%).
3.3. Patofisiologi

Secara umum faktor risiko stroke terbagi menjadi dua, yaitu (1) faktor
risiko yang dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain
hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan
hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, seperti
usia, jenis kelamin, dan etnis.1

1. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke tersering, sebanyak 60%


penyandang hipertensi akan mengalami stroke. Hipertensi dapat
menimbulkan stroke iskemik (50%) maupun stroke perdarahan (60%).
Data menunjukkan bahwa risiko stroke trombotik pada penyandang
hipertensi sekitar 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan normotensi. Pada usia
>65 tahun, penyandang hipertensi memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan normotensi.

Patofisiologi hipertensi menyebabkan terjadinya perubahan pada


pembuluh darah. Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan
peningkatan permeabilitas endotel oleh hipertensi lama, terutama pada
arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300-500mm (cabang perforata).
Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid terutama
kolesterol dan kolesterol oleat pada tunika muskularis yang menyebabkan
lumen pembuluh darah menyempit serta berkelok-kelok.

xxii
Pada hipertensi kronik akan terbentuk nekrosis fibrinoid yang
menyebabkan kelemahan dan herniasi dinding arteriol, serta ruptur tunika
intima, sehingga terbentuk suatu mikroaneurisma yang disebut Charcot-
Bouchard. Kelainan ini terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-
300mm (arteriol).

Pengerasan dinding pembuluh darah dapat mengakibatkan gangguan


autoregulasi, berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap
perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi penurunan tekanan darah
sistemik yang mendadak, tekanan perfusi otak menjadi tidak adekuat,
sehinggga menyebabkan iskemik jaringan otak. Sebaliknya, jika terjadi
peningkatan tekanan darah sistemik, maka akan terjadi peningkatan
tekanan perfusi yang hebat yang akan menyebabkan hiperemia, edema,
dan perdarahan

2. Diabetes Melitus

Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat mengalami stroke, Suatu


studi terhadap 472 pasien stroke selama 10 tahun menunjukkan adanya
riwayat DM pada 10,6% laki-laki dan 7,9% perempuan.

Penelitian menunjukan adanya peranan hiperglikemi dalam proses


ateroskleroSiS, yaitu gangguan metabolisme berupa akumulasi sorbitol di
dinding pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan gangguan osmotik
dan bertambahnya kandungan air di dalam sel yang dapat mengakibatkan
kurangnya oksigenisasi.

Peranan genetik pada DM belum diketahui secara pasti. Dipikirkan


terdapat abnorrnalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas
seluler secara intrinsik berupa pemendekan usia kehidupan (life span) sel
dan peningkatan proses pergantian (turnover) sel di dalam jaringan. Proses
ini dapat juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dinding pembuluh
darah.

xxiii
Penyandang DM sering disertai dengan hiperlipidemia yang
merupakan faktor risiko terjadinya proses aterosklerosis. Pada penelitian
oleh National Cholesterol Education Program (NCEP), kurang lebih 40%
penyandang DM termasuk dalam kriteria hiperlipidemia serta 23%
mengalami hipertrigliserida dan kadar high density lipoprotein (HDL)
yang rendah.

3. Merokok

Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan


stroke sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan banyaknya konsumsi
rokok. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama,
akibat derivat rokok yang sangat berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga
berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik. Dengan
adanya nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan meningkat, termasuk jalur
simpatis sistem kardiovaskular, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan
darah, denyut jantung dan meningkatnya aliran darah ke otak.

Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim


siklooksigenase, yang menyebabkan penurunan produksi prostasiklin dan
tromboksan. llal itu mengakibatkan peningkatan agre trombosit dan
penyempitan lumen buluh darah, sehingga memudahk terjadinya stroke
iskemik. Selain ituan merokok dalam waktu lama akan me ningkatkan
agregasi trombosit, kadar fibrinogen, dan viskositas darah, serta
menurunkan aliran darah ke otak yang menyebabkan terjadinya stroke
iskemik.

Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. Ikatan


karbondioksida di dalam darah 200 kali lebih tinggi dibandingkan oksigen,
sehingga seolaholah oksigen di dalam darah sedikit. Hal ini menyebabkan
peningkatan produksi eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi eritrosit
plasma tinggi, yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang
disebut polisitemia sekunder.

xxiv
4. Asam Urat

Salah satu penelitian di Jepang terhadap usia 50-79 tahun selama 8


tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor risiko penting
terjadinya stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang usia 55-64
tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara asam
urat, kadar kolesterol, tekanan darah sistolik, dan kadar trigliserida
terhadap kejadian aterosklerosis berupa penyakit jantung dan stroke.
Kondisi hiperurisemia diduga merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan agregasi trombosit.

5. Dislipidemia

Meskipun tidak seberat yang dilaporkan sebagai penyebab penyakit


jantung, salah satu penelitian observasional menunjukan hubungan
peningkatan kadar lipid plasma dan kejadian stroke iskemik. Metaanalisis
terhadap studi kohort juga îlłenunłul<kan kekuatan hubungan antara
hiperlłpidemia dan stroke. Komponen dislipidenłia yang diduga berperan,
yakni kadar HDL yang rendah dan kadar Iow density lipoprotein (LDL)
yang tinggi. Kedua hal tersebut mempercepat aterosklerosis pembuluh
darah koroner dan serebral.

6. Usia, Jenis kelamin dan Ras / Suku Bangsa

Angka kejadian stroke meningkat seiring bertambahnya usia, yaitu


0,4% (usia 18 tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75
tahun atau lebih), sesuai dengan studi Framingham yang berskala besar.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring
peningkatan usia yang dihubungkan pula dengan faktor risiko stroke
lainnya, seperti atrial fibrilasi (atrialfibrillation/AF) dan hipertensi. AF dan
hipertensi sering dijumpai pada usia lanjut.

xxv
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia lanjut.
Prevalensi stroke pada penduduk Amerika perempuan (tahun 1999-2000)
berusia 275 tahun lebih tinggi (84,9%) dibandingkan laki-laki (70,7%).

Data pasien stroke di Indonesia juga menunjukkan rerata usia


perempuan (60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan laki-laki (57,5 ±12,7
tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen. Estrogen
berperan dalam pencegahan plak aterosklerosis seluruh pembuluh darah,
termasuk pembuluh darah serebral. Dengan demikian perempuan pada
usia produktif memiliki proteksi terhadap kejadian penyakit vaskuler dan
aterosklerosis yang menyebabkan kejadian stroke lebir rendah
dibandingkan lelaki. Namun pada keadaan menopause dan menopause
yang terjadi pada usia lanjut, produksi estrogen menurun sehingga
menurunkan efek proteksi tersebut.

Berdasarkan suku bangsa, didapatkan suku kulit hitam Amerika


mengalami risiko stroke lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Insidens
stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk dibandingkan
147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.

Patofisiologi Stroke Iskemik Akut


Pada dasarnya, proses terjadinya stroke iskemik diawali oleh adanya
sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang mengakibatkan sel
otak mengalami gangguan metabolisme, karena tidak mendapat suplai darah,
oksigen, dan energi. Trombus terbentuk oleh adanya proses aterosklerosis
pada arkus aorta, arteri karotis, maupun pembuluh darah serebral. Proses ini
diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang mengakibatkan terbentuknya
plak pada dinding pembuluh darah. Plak akan berkembang semakin lama
semakin tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian akan melekat pada plak
serta melepaskan faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan
pembentukan trombus.

xxvi
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal
dan menyebabkan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan
bagian dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah di bagian
yang lebih distal. Emboli ini dapat berasal dari trombus di pembuluh darah,
tetapi sebagian besar berasal dari trombus di jantung yang terbentuk pada
keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila
proses ini berlanjut, akan terjadi iskemia jaringan Otak yang menyebabkan
kerusakan yang bersifat sementara atau menjadi permanen yang disebut
infark.

Di sekeliling area sel Otak yang mengalami infark biasanya hanya


mengalami gangguan metabolisme dan gangguan perfusi yang bersifat
sementara yang disebut daerah penumbra. Daerah ini masih bisa
diselamatkan jika dilakukan perbaikan aliran darah kembali (reperfusi)
segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih luas, yang berarti
mencegah kecacatan dan kematian. Namun jika penumbra tidak dapat
diselamatkan, maka akan menjadi daerah infark. Infark tersebut bukan saja
disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga bat proses inflamasi, gangguan sawar
darah Otak (SDO) atau (blood brain barrier/BBB) zat neurotoksik akibat
hipoksia, menurun. nya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, dan tata laksana
untuk reperfusi.

Pada daerah di sekitar penumbra, terdapat berbagai tingkatan kecepatan


aliran darah serebral atau cerebral blood flow (CBF) Aliran pada jaringan
Otak normal adalah 40-50cc/100g otak/menit, namun Pada daerah infark,
tidak ada aliran sama sekali (CBF OmL/100g otak/menit) (Gambar 2).

Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar 10cc/100g
otak/menit. Daerah ini disebut juga dengan daerah ambang kematian sel
(threshold of neuronal death), oleh karena sel Otak tidak dapat hidup bila
CBF di bawah 5cc/100g otak/menit.

xxvii
Pada daerah yang lebih jauh dari infark di dapatkan CBF sekitar
20cc/100g otak/menit Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan
struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah tersebut
memberikan kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun
memberikan respons yang baik jika dilakukan terapi optimal.

Bagian yang lebih luar mendapatkan CBF 30-40cc/100g


otak/menit, yang disebut dengan daerah oligemia. Bagian terluar adalah
bagian otak yang normal. Bagian ini mendapatkan CBF 40-50cc/100g
otak/menit. Bila kondisi penumbra tidak ditolong secepatnya maka tidak
menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah dengan
kecepatan kurang tadi akan berubah menjadi daerah yang infark dan
infark yang terjadi akan semakin luas.

Pada daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar


adenosine triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan sel,
pompa kalium dan natrium serta peningkatan kadar laktat intraselular.
Kegagalan pompa kalium dan natrium menyebabkan depolarisasi dan
peningkatan pelepasan neurotransmiter glutamat.

Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan


glutamat yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat, yakni N-
metil-D-aspartat (NMDA) dan a-amino-3-hydroxy-5-methyl 4-
isonazolipropionid-acid (AMPA), yang selanjutnya akan menyebabkan
masuknya kalsium intraselular. Dengan demikian, hal tersebut semakin
meningkatkan kadar kalsium intraselular. Kalsium intraselular memicu
terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan
2+
DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca ATPase, calsium-dependent
phospholipase, protease, endonuklease, dan kaspase yang keseluruhannya
berkontribusi terhadap kematian sel.

xxviii
Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah Penumbra

Selain CBF yang sangat berpengaruh pada daerah penumbra, ada


beberapa faktor lain yang berperan terhadap perkembangan pasien pada fase
akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi daerah
penumbra, dan faktor inflamasi.1

1. Kondisi stres oksidatif, merupakakondisi diproduksinya radikal bebas


berupa O2, hidroksil (OH), dan NO pada keadaan iskemia serebral.
Radikal bebas ini sangat mempengaruhi daerah penumbra akibat
pembentukan rantai reaksi yang dapat menghancurkan membran sel,
deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein. Radikal bebas juga
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar darah otak
hingga menyebabkan edema. Proses tersebut akan terus berlangsung
selama keadaan iskemia tidak segera di tangani, oleh karena radikal bebas
bereaksi khususnya dengan lemak tidak jenuh (unsaturated lipid) yang
banyak berada di membran neuron dan sel glia.
2. Asidosis daerah penumbra terjadi akibat peningkatan metabolisme
anaerob yang disebabkan oleh proses iskemia. Peningkatan metabolisme
ini memicu pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. Asidosis
menyebabkan masuknya natrium (Na+) dan Cl-ke dałam sel melalui ikatan
Na+/H+ dengan Cl-/HCO-, sehingga terjadi edema intrasel dan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi akibat kegagalan pompa Na+/K+
dan berakibat terjadinya peningkatan kalium ekstrasel. Sel neuron/sel glia
akan mengalami penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan extracellular
ionic gradient, dan masuknya Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses
ini akan berujung pada edema intrasel.
4. Inflamasi pada daerah penumbra akibat adaanya iskemia. Respons
inflamasi ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk
pembersihan debris sel, namun juga cenderung meningkatkan kerusakan
jaringan serebral. Respons inflamasi berupa aktivasi brain resident cells
seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi sel sel inflamasi ke jaringan

xxix
iskemik, seperti neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit, serta
peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi
ke jaringan otak. Adapun mediator yang bersifat pro-inflamasi tersebut
antara lain tumor necrosisfactor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, interferon
(IF)-ß, serta IL-6) yang diproduksi oleh limfosit.

3.4. Gejala dan Tanda Klinis

Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah dikenali. Hal ini secara
praktis mengacu pada definisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat gangguan
fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurang atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina, atau medula
spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan
otak dan/atau patologi.1

Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah
otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya dapat bersifat fokal
maupun global, yaitu:1

 Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan


otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses
menelan, bicara, dan sebagainya
 Gangguan fungsi keseimbangan
 Gangguan fungsi penghidu
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi somatik sensoris
 Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan
sebagainya
 Gangguan global berupa gangguan kesadaran

xxx
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang
disusun oleh Cincinnati menggunakan singkatan FAST, mencakup F yaitu
facial droop (mulut mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness
(kelemahan pada tangan), S yaitu speech difficulties (kesulitan bicara), serta
T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin). FAST
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke,
serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedis.

Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik
neurologi untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan
berdasarkan anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan
kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan saraf
kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik gangguan otonom, gangguan
fungsi kognitif, dan lain-lain

3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Kriteria diagnosis stroke iskemik adalah terdapat gejala defisit neurologis


global atau salah satu/beberapa defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak
dengan bukti gambaran pencitraan otak (CT scan atau MRI). Adapun
diagnosis banding yang paling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum
dilakukan CT/MRI otak).

Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis serta


untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke iskemik berupa:

a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Pencitraan otak: CT scan kepala non-kontras, CT angiografi atau MRI
dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
c. Doppler karotis dan vertebralis
d. Doppler transkranial (transcranial doppler/TCD)
e. Pemeriksaan laboratorium

xxxi
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah
sewaktu, dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya di ruang perawatan
dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial,
HbAIC, profil lipid, c-reactive protein (CRP), dan laju endap darah.
pemeriksaan hemostasis, seperti activated artial thrombin time (APTT),
prothromin time (PT), dan international normalized ratio (INR), enzim jantung
(troponin, creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes uji fungsi trombosit
(uji resistensi aspirin dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan atas indikasi.

3.6. Tatalaksana

Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik secara umum maupun khusus
mengacu dari pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari
AHA/ASA (American Stroke Association) dan European Stroke Organisation
(ESO) yang terbaru. Acuan ini terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas I-III
(class) dengan kelas I yang terkuat dan kualitas bukti (level of evidence) dari A-C
dengan level A yang tertinggi.1

Tata Laksana Umum


1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan
saturasi oksigen secara kontinu dalam 72 jam pertama (ESO kelas IV,
good clinical practice/ GCP).
 Pemberian oksigen jika saturasi oksigen < 95% (ESO kelas IV, GCP).
 Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada
pasien yang tidak sadar, pemberian bantuan ventilasi pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan
gangguan jalan napas (AHA/ASA kelas 1, level C).
 Intubasi endotracheal tube (ETT) atau laryngeal mask airway (LMA)
diperIukan pada pasien dengan hipoksia (PO2 <60mmHg atau pCO2
>50mmHg), syok, atau pada pasien yang berisiko untuk mengalami
aspirasi.

xxxii
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu,
kalau lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
 Pemberian cairan Kristaloid atau koloid ari intravena (IV), dan
hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa.
 Dianjurkan pemasangan kateter vena sentral (central venous
catheter/CVC), upayakan tekanan vena sentral (central
venous pressure/CVP) 5-12mmHg.
 Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
 Bila tekanan darah (TD) sistolik dibawah 120mmHg dan
cairan sudah mencukupi, dapat diberikan agen vasopresor
secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target TD sistolik berkisar
140mmHg.
 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan
selama 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke iskemik
(AHA/ASA kelas I, levelB).
 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsul kardiologi).
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
 Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA kelas I, level B).
 Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien
dengan penurunan kesadaran karena kenaikan TIK. (AHA/ASA kelas
V, level C).
 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan tekanan perfusi
otak (cerebral perfusion pressure/CPP) >70mmHg.
 Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi :
1) Meninggikan posisi kepala 20-300
2) Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena
jugulare

xxxiii
3) Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Menghindari hipertermia
5) Menjaga normovolemia
6) Pemberian osmoterapi atas indikasi:
Manitol gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas <310mOsm/L (AHA/ ASA: kelas V,
level C).
Jika perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1mg/ kgBB IV
7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat
batuk, suction, atau bucking ventilator (AHA/ASA: kelas III-V,
level C).
Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium
yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih
baik digunakan (AHA/ASA kelas III-V, level C). Pasien dengan
kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan pelernas otot (muscle
relaxant) scbelurn suction atau lidokain sebagai alternatif.
9) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA kelas I, level B).
10) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar
yang menimbulkan efek masa (AHA/ASA kelas 1, level B).

4. Pengendalian Kejang
 Bila kejang, dilakukan pemberian diazepam IV bolus lambat 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan
maksimum 50mg/menit.
 Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproat, topiramat, atau
levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulit pada pasien.

xxxiv
 Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.

5. Pengendalian Suhu Tubuh


 Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan
antipiretik (asetaminofen) dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA kelas
I, level C).
 Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur
(trakeal, darah, dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikular, analisis cairan serebrospinal harus dilakukan untuk
mendeteksi meningitis.

6. Tata Laksana Cairan


 Pemberian cairan isotonis seperti Naci 0,9%, ringer laktat, dan ringer
asetat, dengan tujuan menjaga euvolemi. C VP di pertahankan 5-12
mmHg.
 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah di
hindari, kecuali pada keadaan poglikemia.
7. Nutrisi
 Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48jam,
nutrisi oral hanya boleh diberikan seteh hasil tes fungsi menelan baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan
diberikan melalui pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30kkal/kg/hari dengan
komposisi:
 Karbohidrat 30-40% dari total kalori.
 Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapatlebih tinggi 35-55%).
 Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1,4-2,0g /
kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal < 0,8g/kgBB/hari).
 Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
 Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

xxxv
 Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan (misal: hindarkan makanan mengandung vitamin K
pada pasien yang mendapat warfarin).
8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi
 Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA
level B dan C).
 Berikan antibiotik atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman (AHA/ASA level A).
 Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai
kasur antidekubitus.
 Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT seperti pasien
dengan trombofilia, perlu diberikan heparin subkutan 5.0001U dua kali
sehari atau 10.000 IU drip per24 jam, atau LMWH atau heparinoid.
(AHA/ASA level A). Perlu diperhatikan terjadinya risiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien yang tidak bisa
menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi
direkomendasikan penggunaan stoking eksternal atau Aspirin (AHA/
ASA level A dan B).

9. Penatalaksanaan medik umum lain


 Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mg/dL) pada stroke akut
harus diatasi dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C).
Target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
 Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diatasi dengan dekstrosa 40%
IV atau infus glukosa 10-20%.
 Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol tata laksana hipertensi
stroke akut.
 Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan major atau
minor tranquilizer, seperti benzodiazepin kerja cepat atau propofol.
 Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
 Pemberian antagonis H2 apabila ada indikasi (perdarahan Iambung).

xxxvi
 Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
 Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermitten.
 Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara dan okupasi.
 Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada.
 Edukasi keluarga.
 Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).

Tata Laksana Spesifik


1. Trombosis Intravena
Terapi trombolisis menggunakan recombinant tissue plasminogen
activator (rTPA) seperti alteplase dapat diberikan pada stroke iskemik
akut dengan onset <6 jam secara intravena dengan mengikuti protokol
serta kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,6-0,9 mg/kgBB. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo yang
memiliki Code Stroke sebagai acuan tatalaksana trombolisis IV,
menggunakan dosis 0,6 mg berdasarkan studiJapan Alteplase Clinical
Trial (JACT 2006).1

2. Terapi neurointervensi / Endovascular

Terapi Neurointervensi/Endovaskular Adalah terapi yang


menggunakan kateterisasi untuk melenyapkan trombus di pembuluh darah
dengan cara melisiskan trombus secara langsung (trombolisis intraarterial)
atau dengan menarik trombus yang menyumbat dengan alat khusus
(trombektomi mekanik).
Trombektomi mekanik merupakan suatu prosedur endovaskular yang
dilakukan pada pasien yang memenuhi persyaratan sesuai rekomendasi
terapi neurointervensi/endovaskular pada stroke iskemik akut, yaitu:

xxxvii
1. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan
dilakukan terapi endovaskular harus tetap diberikan trombolisis
terlebih dahulu (AHA/ASA kelas I; level A).
2. Pasien harus mendapatkan terapi endovaskular dengan
menggunakan stent retriever jika memenuhi semua kriteria berikut
(AHA/ASA kelas I; level A)
 Skor modified rankin scale (mRS) pre-stroke 0 sampai 1 telah
 Stroke iskemik akut yang 4,5 jam mendapatkan waktu dalam
intravena setelah onset
 Stroke disebabkan karena oklusi pada arteri karotis interna atau
arteri serebri media cabang proksimal
 Usia ≥18 tahun
 Skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) ≥6
 Skor Alberta Stroke Programme Early CT Score (ASPECTS)
≥6
ASPECTS merupakan skor yang digunakan untuk
membantu mengidentifikasi kandidat terapi trombolisis pada
stroke akut. Sistem skor ini digunakan untuk mendeteksi
perubahan iskemik awal (early ischemic changes) pada
pemeriksaan CT scan di daerah yang diperdarahi oleh MCA
Gambaran perubahan iskemik ini dapat berupa hipoatenuasi,
pe-nurunan diferensiasi substansia grisea dan substansia alba,
serta edema fokal. Skor ASPECTS membagi teritori MCA
menjadi 10 area.
Prosedur ini idealnya dilakukan dalam anestesi umum.
Tindakan dilakukan bersamaan dengan prosedur angiografi
konvensional dengan mikrokateter sebagai pemandu untuk
menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever
digunakan untuk menghilangkan trombus yang menyumbat
sehingga diharapkan terjadi rekanalisasi pembuluh darah.
 Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau
pungsi arteri femoralis maksimal 6 jam setelah onset stroke

xxxviii
3. Sejak 2015, AHA/ASA membuat pedoman baru mengenai
tata laksana trombektomi pada pasien stroke iskemik akut
dengan onset dibawah 6 jam. Pada pasien yang terindikasi
trombektomi, penggunaan stent retriever dapat dijadikan
pilihan.
4. Meskipun manfaatnya belum jelas, pada kasus stroke yang
disebabkan oklusi di arteri serebri media cabang M2 atau M3,
arteri serebri anterior arteri vertebralis, arteri basilaris atau
arteri serebri posterior, penggunaan terapi endovaskular
dengan stent retriever dapat dipertimbangkan (AHA/ASA:
kelas IIb; level C).
5. Pada stroke yang disebabkan karena oklusi pembuluh darah
sirkulasi posterior (arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri
serebri posterior), groin puncture maksimal dapat dilakukan
24 jam setelah onset stroke.

3. Pemberian Antikoagulan sebagai Pencegahan Sekunder


a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut
dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan
dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (AHA/ASA: kelas
III, level A).
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang
mendapat rTPA intavena Mdak direkomendasi (AHA/ASA: kelas III,
level B).
c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
pencitraan otak memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer.
Pasien yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar
antikoagulan.
d. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut
dengan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang
selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian warfarin untuk
prevensi jangka panjang dapat diberikan.

xxxix
e. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama untuk pencegahan
sekunder stroke iskemik pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli.
f. Penggunaan warfarin harus hati-hati,karena dapat meningkatkan
retriever
resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1
Pernbuluh_bulan sekali.
g. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan
mencegah emboli ulang pada keadaan risiko mayor. Dapat dimulai
dari dosis 2mg perhari dengan target INR 2,0-3,0. Pemeriksaan INR
awal adalah rutin per 3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya
pemantauan 1 minggu sekali dan setelah 1 bulan dilakukan 1 bulan
sekali.
h. Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan karena
fibrilasi atrial nonvalvular dapat diberikan new oral anticoagulant
(NOAC) seperti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x 110mg), rivaroksaban
(1 x 10mg atau 1 x 15 mg), dan apiksaban (1 x 5 mg), sebagai
pencegahan sekunder. Tidak ada pemeriksaan darah untuk
pemantauan khusus pada pemberian NOAC.

4. Pemberian Anti Agregasi Trombosit


1. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325mg dalam 12 jam setelah
onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (AHA/ASA:
kelas I, level A).
2. Aspirin diberikan sebagai terapi pencegahan sekunder, sehingga tidak
boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi yang bertujuan
untuk revaskularisasi (seperti trombolisis intravena) (AHA/ASA: kelas
III, level B).
3. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan.
4. Tidak direkomendasikan penggunaan aspirin sebagai terapi ajuvan
dalam 24 jam setelah pemberian Obat trombolitik (AHA/ASA: kelas
III, level A).
5. Pemberian antitrombosit intravena yang menghambat reseptor
glikoprotein lib/IIIa tidak dianjurka ASA: kelas III, level B)

xl
6. Untuk pencegahan kejadian iskemik, infark jantung, dan ke akibat
vaskuler, klopidogrel lebih baik dibandingkan dengan pirin dan dapat
diberikan pada far akut atau setelah fase akut selesai.
7. Pemberian klopidogrel dikombinasi kan dengan aspirin selama 21
sampai 3 bulan yang dilanjutkan de. ngan pemberian clopidogrel saja,
superior untuk mencegah stroke pada pasien TIA dan stroke iskemik
ringan (NIHSS <5).

5. Tatalaksana Spesifik Lain dan Neuroproteksi


a. Hemodilusi tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/
ASA: kelas III, level A).
b. Pemakaian Obat hemoreologik seperti pentoksifilin dapat
dipertimbangkan pada stroke iskemik akut dengan hiperviskositas.
c. Tindakan carotid endarterectomy (CEA) dan carotid artery stenting
(CAS) dapat dipertimbangkan untuk dikerjakan pada pasien stroke
iskemik dengan stenosis karotis komunis/ interna 250% sebagai upaya
pencegahan sekunder. Namun demikian, tindakan tersebut dilakukan
setalah fase akut (AHA/ASA: kelas I, level A).
d. Meskipun berbagi hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbeda,
penggunaan agen neuroprotektor dan neurorecovery seperti sitikolin,
piracetam, pentoksifilin, neuropeptida pr08- Gly9-Pm10 ACTH (4-
10), DLBS 1033, dan MLC 601 dapat dipertimbangkan.
e. Edema serebri adalah penyebab utama dari kemunduran dini dan
kematian pada pasien dengan stroke iskemik luas (teritorial). Edema
ini biasanya berkembang antara hari ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke,
tetapi menjelang hari ke-3, pasien dapat mengalami kemunduran
neurologi dalam 24 jam sesudah awitan keluhan. Direkomendasikan
pasien dengan stroke iskemik luas/teritorial untuk dirawat di
ICU/HCU dalam 1 minggu pertama sejak onset stroke.
f. Kraniektomi dekompresi direkomendasikan pada pasien stroke
iskemik luas yang mengalami edema serebri (malignant brain

xli
infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko gejala sisa
gangguan neurologik yang berat. Tindakan dilakukan dalam 48 jam
sesudah awitan keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang
berusia <60 tahun (AHA/ASA: kelas I, level A).
g. Mild hypothermia (dengan target temperatur otak antara 33-350C)
mengurangi mortalitas pada pasien dengan infark arteri serebri media
luas, namun dapat menyebabkan efek samping yang berat meliputi
krisis TIK sepanjang pengembalian suhu tubuh.
h. Direkomendasikan tindakan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) atau
bedah dekompresi untuk terapi infark serebelum luas yang menekan
batang otak.
i. Penatalaksanaan trombosis vena serebral dilakukan secara
komprehensif, yaitu dengan terapi anti trombotik (terutama
antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar.
j. Tidak ada data penelitian tentang lama pemberian antikoagulan untuk
trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan pemberian
antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pemberian terapi
antitrombosit (AHA/ASA: kelas II A, level C).

xlii
Neurorehabilitasi / Neurorestorasi Pasca Stroke

Tatalaksana neurorehabilitatif pascastroke mengalami perubahan dalam 15


tahun terakhir. Konsep masa kini untuk pemulihan defisit neurologis pascastroke
mencakup ranah yang lebih luas dan berkembang menjadi cabang ilmu neurologi
yang dikenal sebagai neurorestoratologi. Hal ini mencakup neurorestorasi
struktural dan signaling neuron, dan neuromodulasi, selain tindakan
neurorestorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestorasi pascastroke diberikan mulai
dari fase akut, sub-akut, sampai dengan fase kronik.

Edukasi
Oleh karena stroke menyebabkan keadaan morbiditas yang tinggi, maka
dibutuhkan pemahaman dan kerja sama antara pasien dan keluarga dengan
klinisi, untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal, antara lain dengan
pemberian edukasi yang informatif mengenai:

 Penjelasan sebelum masuk RS (rencana rawat, biaya, pengobatan, prosedur,


masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri, risiko dan
komplikasi).
 Penjelasan mengenai stroke iskemik, risiko dan komplikasi selama perawatan.
 Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan stroke berulang.
 Penjelasan program pemulangan pasien (discharge planning).
 Penjelasan mengenai gejala stroke, dan yang harus dilakukan sebelum dibawa
ke RS.
Adapun prognosis ad vitam, ad sanationam, dan ad fungsionam pasien biasanya
dubia ad bonam.

xliii
BAB IV

PERMASALAHAN KASUS

4.1. Rumusan Masalah Kasus

1. Mengapa pasien ini didiagnosa stroke non hemoragik sedangkan pasien


masih berusia 21 tahun?
2. Mengapa pada CT- Scan yang dilkukan di RSIJ Pondok Kopi tidak terlihat
adanya Infark?
3. Apakah terdapat hubungan antara demam yang dialami pasien dengan
stroke non hemoragik?

4.2. Pembahasan Masalah Kasus

1. Mengapa pasien ini didiagnosa stroke non hemoragik sedangkan


pasien masih berusia 21 tahun?
Stroke pada usia muda berhubungan dengan gaya hidup kaum muda
pada akhir-akhir ini, seperti banyak mengkonsumsi makanan yang enak
berlemak serta cenderung malas bergerak. Hal ini dapat menyebabkan
lemak dalam tubuh menumpuk. Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl
dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah berbahaya dan
menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit jantung dan stroke.
Selain itu, konsumsi gula yang berlebihan alias menyukai makanan yang
manis-manis, kue-kue, camilan manis, sirup, kopi, coklat, dan sebagainya
yang dapat menimbulkan penyakit diabetes. Dimana penyakit diabetes
melitus merupakan salah satu faktor risiko stroke pada dewasa muda.
Penyakit diabetes ini jika ditambah dengan kadar cholesterol tinggi,
trigliserida tinggi serta tekanan darah juga tinggi, risiko terjadinya stroke 4
kali lipat lebih besar. Bahkan hipertensi merupakan penyebab terbesar dari
kejadian stroke, baik tekanan darah sistolik maupun diastolik. Merokok
adalah penyebab nyata kejadian stroke yang lebih banyak terjadi pada usia

xliv
dewasa muda ketimbang usia tengah baya atau lebih tua. Perokok
memiliki risiko tujuh kali terkena stroke dibandingkan dengan orang yang
tidak merokok atau berhenti merokok.
Pada kasus ini meskipun pasien berada pada usia muda, tidak menutup
kemungkian tidak terjadinya stroke. Karena pasien pada kasus ini
memiliki riwayat hipertensi yang mana hal tersebut merupakan factor
risiko terjadinya stroke non hemoragik pada pasien tersebut.

2. Mengapa pada CT- Scan yang dilakukan di RSIJ Pondok Kopi tidak
terlihat adanya Infark?
Computed tomography (CT) Scan akan membedakan infark atau
perdarahan hingga setidaknya lima hari setelah stroke. Perdarahan terbaru
adalah densitas tinggi (putih) dan biasanya bulat dan menempat ruang.
Infark biasanya densitas rendah (gelap) dan menempati daerah yang
diperdarahi dengan beberapa pembengkakan. Pada pasien dengan stroke
dengan gambaran ct scan  normal dianggap tidak ada perdarahan dan,
maka alternatif diagnosis, di asumsikan adanya infark.4

Ada beberapa ketidakpastian mengenai seberapa cepat perdarahan


kecil yang seharusnya densitas tinggi (keputihan) dan menjadi isodense
kemudian menjadi densitas rendah dibandingkan dengan otak normal,
sehingga juga tidak bisa dibedakan dari infark. Dalam 10 hari, pendarahan
kecil tidak bisa dibedakan lagi dengan infark, dan perdarahan kecil
menghilang dalam waktu tujuh hari.Sedangkan Perdarahan besar tetap
terlihat seperti itu selama 2-3 minggu.

Tidak ada waktu "optimal" untuk menggambarkan pasien stroke


dengan CT dan berharap untuk menunjukkan yang pasti infark. Banyak
infark tidak menjadi hipodensia sampai jam atau bahkan sehari setelah
stroke. Infark kecil lebih kecil kemungkinannya terlihat daripada infark
besar — sekitar 90% pasien dengan gejala infark kortikal besar (infark
sirkulasi anterior total — TACI) sudah terlihat infark 48 jam setelah stroke
dibandingkan dengan sekitar 40% pasien dengan lacunar (LACI) atau

xlv
infark kortikal kecil (infark sirkulasi anterior parsial — PACI). Banyak
infark yang lebih besar dapat terlihat dalam waktu enam jam meskipun
penampilannya halus dan tergantung pada seberapa cepat ct scan
dilakukan. Ketepatan radiolog untuk tanda-tanda spesifik infark dini buruk
(gbr 1) . Selanjutnya, antara 10 hari dan tiga minggu setelah stroke, infark
kehilangan hipodensitas dan menjadi isodense seperti otak normal selama
beberapa hari hingga dua minggu. Pembengkakan juga telah hilang pada
fase ini. Fase ini disebut sebagai "fogging". Pada 2-3 bulan infark biasanya
infark menjadi menyusut dan memiliki densitasmirip cairan serebrospinal,
sehingga lebih mudah terlihat.

"Waktu terbaik" untuk melakukan CT scan pada stroke secara rutin


adalah sesegera mungkin; tidak ada gunanya menunggu, dan sehingga bisa
melakukan pengobatan secepatnya. Dalam prakteknya waktu CT Scan
dipengaruhi oleh obat apa yang sedang dipertimbangkan dan sumber daya
yang tersedia. Pada pasien dianggap kandidat untuk aktivator plasminogen
jaringan rekombinan (rt-PA),  CT Scan wajib untuk menentukan bahwa
tidak ada perdarahan intrakranial atau infark yang cukup besar sebelum
obat trombolitik diberikan. 4

3. Apakah terdapat hubungan antara demam yang dialami pasien


dengan stroke non hemoragik?

Demam yang dirasakan pasien kemungkingan berasal dari infeksi


ekstra kranial dan tidak berhubungan dengan tejadinya stroke. Tentu pada
mulanya dalam mendiangnosis kita harus melibatkan kemungkinan adanya
infeksi intra kranial dengan adanya demam pada pasien . Akan tetapi, pada
kasus ini setelah diakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tidak ada hasil yang mengarah pada diagnosis infeksi intra kranial seperti
encephalitis ataupun meningitis. 5

Pada kasus ini dengan pasien laku-laki usia 21 tahun ditemukan


adanya keleamahan pada kestremitas kanan 7 hari SMRS disertai demam
yang berlangsung selama ± 14 hari disertai dengan penurunan berat badan

xlvi
dan nafsu makan yang menurun, maka dicurigai adanya tuberculosis pada
SSP akan tetapi setelah melakukan pemeriksaan penunjang CT-Scan tidak
ditemukan adanya hidrosefalus, penyengatan meningen, penyengatan pada
daerah tuberkuloma maupun infark. Selain itu, dicurigai pula Ensefalitis
toksoplasma, pada kecurigaan ini pula tidak didapatkan hasil CT-Scan
yang diharapkan seperti tampak lesi hipodens ataupun edema serebri. 5 6

TB paru, kemudian menjadi dugaan infeksi ekstra kranial akan tetapi


pada saat dilakukan pemeriksaan fisik paru dalam batas normal dan setelah
dilakukan pemeriksaan penunjang Ro-Thorak tidak ditemukan adanya
kelainan. Untuk itu masih perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain
pada kasus ini.

xlvii
DAFTAR PUSTAKA

1. Jauch, Edward. Ischemic Stroke. Medscape. 2018


2. Rasyid A.Hidayat R, Dkk Stroke Iskemik Buku Ajar Neurologi FK UI,
Jakarta : 2017

3. Burhanuddin M. dkk. Faktor Risiko Kejadian Stroke Pada Dewasa


Awal(18-40 Tahun)Di Kota Makassar Tahun 2010-2012. UNHAS. 2013
4. Wardlaw J.M. Radiology of Stroke . J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2017

5. Imran, Darma, Dkk. Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat


Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017
6. Imran, Darma, Dkk. Infeksi Tuberkulosis pada Susunan Saraf Pusat
Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017
7. Imran D, Estiasari R, Maharani K. Infeksi Oportunistik pada Susunan
Saraf Pusat pada AIDS Buku Ajar Neurologi FK UI, Jakarta : 2017

iii

Anda mungkin juga menyukai