Pembimbing :
dr. Linda Carolina, Sp.S
Disusun Oleh :
Naufal Rahman Tejokusumo (2015730101)
Dalam penulisan laporan kasus ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan
yang diberikan secara tulus dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Linda Carolina,
Sp.S sebagai dokter pembimbing.
Dalam penulisan laporan kasus ini tentu saja masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan
saran yang bersifat membangun akan sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan kasus ini.
Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin laporan kasus
ini telah selesai dan semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah
SWT membalas semua kebaikan dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal
Alamin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................4
2.1. Identitas Pasien..........................................................................................4
2.2. Anamnesis.................................................................................................4
2.3. Pemeriksaan Fisik.....................................................................................6
2.4. Pemeriksaan Neurologis............................................................................8
2.5. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................13
2.6. Resume....................................................................................................17
2.7. Diagnosis.................................................................................................17
2.8. Terapi......................................................................................................17
2.9. Prognosis.................................................................................................17
2.10. Follow Up............................................................................................18
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................19
3.1. Definisi....................................................................................................19
3.2. Epidemiologi...........................................................................................19
3.3. Patofisiologi............................................................................................20
3.4. Gejala dan Tanda Klinis..........................................................................28
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding...........................................................29
3.6. Tatalaksana..............................................................................................27
BAB IV PERMASALAHAN KASUS...............................................................39
4.1. Rumusan Masalah Kasus........................................................................39
4.2. Pembahasan Masalah Kasus....................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iii
BAB I
ii
PENDAHULUAN
iii
BAB II
STATUS PASIEN
2.2. Anamnesis
Keluhan utama
Keluhan tambahan
Demam naik turun sejak 14 hari SMRS
Sakit kepala
iv
pandangan kabur, tidak ada kejang, dan bicara tidak pelo. Selain itu, pasien
mengeluhkan demam naik turun sejak 7 hari sebelum timbul keluhan.
Riwayat trauma dan kepala terbentur disangkal. Tidak ada batuk pilek, tidak
ada gangguan pada telinga, tidak ada mual muntah, BAK dan BAB tidak ada
keluhan.
Pasien belum pernah merasakan hal yang sama. Riwayat hipertensi (+),
riwayat diabetes melitus (-).
Pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama
dengan pasien. Riwayat kencing manis dan sakit jantung pada keluarga
disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi pada nenek dan kakek pasien
Riwayat Pengobatan
Riwayat Psikososial
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, debu ataupun cuaca.
v
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
vi
hiperemis (-), tonsil T1-T1, Gigi berlubang dan sering
sakit
4. Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis
(-), uvula di
tengah
vii
Leher
a) Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
b) Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar
tiroid, tidak terdapat deviasi trachea. JVP 5-2 mmH2O
Toraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi
redup
Batas atas kanan: ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi
redup
Batas bawah kiri: ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra
dengan bunyi redup
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi
redup
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru
Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis,
retraksi otot-otot pernapasan (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-)
Palpasi : Supel, hepar dan lien dalam batas normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
viii
ix
Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik
Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
(-/-) akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik
2.4. Pemeriksaan Neurologis
x
4) N-V (Trigeminus)
a) Sensorik
N-V1 (ophtalmicus) : +
N-V2 (maksilaris) : +
N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b) Motorik
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut.
c) Refleks :
Reflek kornea : +
Reflek bersin : Tidak dilakukan pemeriksaan
5) N-VII (Fasialis)
a) Sensorik (indra pengecap) : Tidak dilakukan pemeriksaan
b) Motorik
Inspeksi wajah sewaktu
Diam : Tidak terdapat deviasi
Senyum : DBN
Meringis : DBN
Bersiul : Sulit dinilai
Menutup mata : simetris, kanan (maksimal), kiri
(maksimal)
xi
6) N. VIII (Vestibulocochlearis)
a) Keseimbangan
Nistagmus : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
b) Pendengaran
Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
7) N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
a) Refleks menelan : +
b) Refleks batuk : +
c) Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
d) Refleks muntah : Tidak Dilakukan
Pemeriksaan
e) Posisi uvula : Normal, Deviasi ( - )
f) Posisi arkus faring : Simetris
8) N-XI (Akesorius)
a) Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : + /+
b) Kekuatan M. Trapezius : + /+
9) N-XII (Hipoglosus)
a) Tremor lidah : Tidak ditemukan
b) Atrofi lidah : Tidak ditemukan
c) Ujung lidah saat istirahat : Simetris
d) Ujung lidah saat dijulurkan : Simetris
e) Fasikulasi :-
c. Pemeriksaan Motorik
1) Refleks
a) Refleks Fisiologis
Biceps : +/ +
Triceps : +/ +
Achiles : + /+
xii
Patella : +/+
b) Refleks Patologis
Babinski : -/-
Oppenheim : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Scaeffer : -/-
Hoffman-Trommer : -/-
2) Kekuatan Otot
3 5
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
3 5
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra
3) Tonus Otot
a. Hipotoni : -/-
b. Hipertoni : -/-
xiii
f. Pemeriksaan Fungsi Luhur
1) Fungsi bahasa : Normal
2) Fungsi orientasi : Dalam Batas Normal
3) Fungsi memori : Tidak ditemukan gangguan memori
4) Fungsi emosi : Dalam Batas Normal
h. Sensibilitas
Eksterospektif / rasa permukaan (superior dan inferior)
Rasa raba : (+)/(+) simetris
Rasa nyeri : (+)/(+) simetris
Rasa suhu panas : (+)/(+) simetris
Rasa suhu dingin : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
Prospioseptif / rasa dalam
Rasa sikap : (+)
Rasa getar : (+)
Rasa nyeri dalam : (+)
Fungsi kortikal untuk sensibilitas : (+)
Asteriognosis : (+)
Gradognosis : (+)
i. Skor Siriraj
Siriraj Score : 2,5 (kesadaran) + 2 (muntah)+ 2 (sakit kepala) +
0,1 (diastole) – 3 (atheroma) – 12
= 0 (SSS meragukan)
xiv
2.5. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
xv
CT-Scan Kepala Polos Tanggal 8 Agustus 2019
Kesan :
1. Parenkim otak masih dalam batas normal, tak tampak lesi phatologik
2. Cerebelum dan batang otak masih baik
xvi
3. Curiga mukokel sinus maxillaris kiri
xvii
2.6. Resume
2.7. Diagnosis
2.8. Terapi
Bed rest
Asering/12 Jam
Inj citicolin 2x 50g
Amlodipine 1x10mg
Paracetamol 3 x 500mg
2.9. Prognosis
xviii
Ad sanationam : Dubia ad malam
xix
2.10. Follow Up
Tanggal S O A P
Kelemahan pada
extremitas kanan CM
TD : 140/90 Terapi dilanjutkan
membaik, baal S : 36.7
& ditambah:
pada extremitas
8/08/2019 D S SNH Miniaspi 1x80mg
kanan (+), 4 5
CPG 1x75mg
pusing (+), 4 5
Inj Ketorolac (k/p)
lemas (+)
Demam (-)
Kelemahan pada
extremitas kanan CM
membaik, baal TD : 150/90
Terapi dilanjutkan
pada tangan D S
9/08/2019 SNH & ditambah:
kanan (+), 4+ 5
4+ 5 Gabapentin 2x100mg
pusing (+),
lemas (+)
Demam (-),
Pulang
Kelemahan pada dengan membawa obat:
CM
extremitas kanan Candesartan 1x 10mg (P)
TD 140/90
membaik, baal SNH Amlodipine 1x 10mg(M)
D S
10/08/2019 pada ekstremitas Klinis Miniaspi 1x80g
5 5
(-), pusing (+), 5 5 Baik Neurolin 2x 500mg
lemas (-) CPG 1x75mg
Demam (-), Paracetamol 3x500mg
Gabapentin 2x100mg
xx
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
3.2. Epidemiologi
Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, antara lain Malaysia (67 per
100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan hun 2013,
prevalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 menjadi
12, 1% pada tahun 2013. Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
dengan posisi tiga besar secara berurutan yakni Sulawesi Selatan (17,9%),
Daerah Istimewa Yogyakarta (16,9%), dan Sulawesi Tengah (16,6%).1
xxi
rawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014
sebanyak 71,4 % adalah stroke iskemik.
Adapun angka kematian akibat stroke iskemik (11,3%) relatif lebih kecil
dibandingkan stroke perdarahan. Secara umum dari 61,9% pasien stroke
iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark
terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%), dan
infark pada sirkulasi posterior (4,2%).
3.3. Patofisiologi
Secara umum faktor risiko stroke terbagi menjadi dua, yaitu (1) faktor
risiko yang dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain
hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan
hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, seperti
usia, jenis kelamin, dan etnis.1
1. Hipertensi
xxii
Pada hipertensi kronik akan terbentuk nekrosis fibrinoid yang
menyebabkan kelemahan dan herniasi dinding arteriol, serta ruptur tunika
intima, sehingga terbentuk suatu mikroaneurisma yang disebut Charcot-
Bouchard. Kelainan ini terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-
300mm (arteriol).
2. Diabetes Melitus
xxiii
Penyandang DM sering disertai dengan hiperlipidemia yang
merupakan faktor risiko terjadinya proses aterosklerosis. Pada penelitian
oleh National Cholesterol Education Program (NCEP), kurang lebih 40%
penyandang DM termasuk dalam kriteria hiperlipidemia serta 23%
mengalami hipertrigliserida dan kadar high density lipoprotein (HDL)
yang rendah.
3. Merokok
xxiv
4. Asam Urat
5. Dislipidemia
xxv
Laki-laki memiliki risiko stroke 1,25-2,5 kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia lanjut.
Prevalensi stroke pada penduduk Amerika perempuan (tahun 1999-2000)
berusia 275 tahun lebih tinggi (84,9%) dibandingkan laki-laki (70,7%).
xxvi
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal
dan menyebabkan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan
bagian dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah di bagian
yang lebih distal. Emboli ini dapat berasal dari trombus di pembuluh darah,
tetapi sebagian besar berasal dari trombus di jantung yang terbentuk pada
keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila
proses ini berlanjut, akan terjadi iskemia jaringan Otak yang menyebabkan
kerusakan yang bersifat sementara atau menjadi permanen yang disebut
infark.
Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar 10cc/100g
otak/menit. Daerah ini disebut juga dengan daerah ambang kematian sel
(threshold of neuronal death), oleh karena sel Otak tidak dapat hidup bila
CBF di bawah 5cc/100g otak/menit.
xxvii
Pada daerah yang lebih jauh dari infark di dapatkan CBF sekitar
20cc/100g otak/menit Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan
struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah tersebut
memberikan kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun
memberikan respons yang baik jika dilakukan terapi optimal.
xxviii
Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah Penumbra
xxix
iskemik, seperti neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit, serta
peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi
ke jaringan otak. Adapun mediator yang bersifat pro-inflamasi tersebut
antara lain tumor necrosisfactor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, interferon
(IF)-ß, serta IL-6) yang diproduksi oleh limfosit.
Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah dikenali. Hal ini secara
praktis mengacu pada definisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat gangguan
fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurang atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina, atau medula
spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan
otak dan/atau patologi.1
Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah
otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya dapat bersifat fokal
maupun global, yaitu:1
xxx
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali gejala dan tanda stroke yang
disusun oleh Cincinnati menggunakan singkatan FAST, mencakup F yaitu
facial droop (mulut mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness
(kelemahan pada tangan), S yaitu speech difficulties (kesulitan bicara), serta
T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin). FAST
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke,
serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedis.
Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik
neurologi untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan
berdasarkan anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan
kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan saraf
kranial, kelemahan motorik, defisit sensorik gangguan otonom, gangguan
fungsi kognitif, dan lain-lain
a. Elektrokardiogram (EKG)
b. Pencitraan otak: CT scan kepala non-kontras, CT angiografi atau MRI
dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance angiogram (MRA)
c. Doppler karotis dan vertebralis
d. Doppler transkranial (transcranial doppler/TCD)
e. Pemeriksaan laboratorium
xxxi
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni hematologi rutin, glukosa darah
sewaktu, dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Selanjutnya di ruang perawatan
dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam pascaprandial,
HbAIC, profil lipid, c-reactive protein (CRP), dan laju endap darah.
pemeriksaan hemostasis, seperti activated artial thrombin time (APTT),
prothromin time (PT), dan international normalized ratio (INR), enzim jantung
(troponin, creatine kinase MB/CKMB), fungsi hati, tes uji fungsi trombosit
(uji resistensi aspirin dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan atas indikasi.
3.6. Tatalaksana
Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik secara umum maupun khusus
mengacu dari pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari
AHA/ASA (American Stroke Association) dan European Stroke Organisation
(ESO) yang terbaru. Acuan ini terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas I-III
(class) dengan kelas I yang terkuat dan kualitas bukti (level of evidence) dari A-C
dengan level A yang tertinggi.1
xxxii
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu,
kalau lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
Pemberian cairan Kristaloid atau koloid ari intravena (IV), dan
hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa.
Dianjurkan pemasangan kateter vena sentral (central venous
catheter/CVC), upayakan tekanan vena sentral (central
venous pressure/CVP) 5-12mmHg.
Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
Bila tekanan darah (TD) sistolik dibawah 120mmHg dan
cairan sudah mencukupi, dapat diberikan agen vasopresor
secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target TD sistolik berkisar
140mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan
selama 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke iskemik
(AHA/ASA kelas I, levelB).
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsul kardiologi).
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA kelas I, level B).
Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien
dengan penurunan kesadaran karena kenaikan TIK. (AHA/ASA kelas
V, level C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan tekanan perfusi
otak (cerebral perfusion pressure/CPP) >70mmHg.
Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi :
1) Meninggikan posisi kepala 20-300
2) Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena
jugulare
xxxiii
3) Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Menghindari hipertermia
5) Menjaga normovolemia
6) Pemberian osmoterapi atas indikasi:
Manitol gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas <310mOsm/L (AHA/ ASA: kelas V,
level C).
Jika perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1mg/ kgBB IV
7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat
batuk, suction, atau bucking ventilator (AHA/ASA: kelas III-V,
level C).
Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium
yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih
baik digunakan (AHA/ASA kelas III-V, level C). Pasien dengan
kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan pelernas otot (muscle
relaxant) scbelurn suction atau lidokain sebagai alternatif.
9) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA kelas I, level B).
10) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar
yang menimbulkan efek masa (AHA/ASA kelas 1, level B).
4. Pengendalian Kejang
Bila kejang, dilakukan pemberian diazepam IV bolus lambat 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan
maksimum 50mg/menit.
Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproat, topiramat, atau
levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulit pada pasien.
xxxiv
Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.
xxxv
Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan
yang diberikan (misal: hindarkan makanan mengandung vitamin K
pada pasien yang mendapat warfarin).
8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi
Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA
level B dan C).
Berikan antibiotik atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman (AHA/ASA level A).
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai
kasur antidekubitus.
Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT seperti pasien
dengan trombofilia, perlu diberikan heparin subkutan 5.0001U dua kali
sehari atau 10.000 IU drip per24 jam, atau LMWH atau heparinoid.
(AHA/ASA level A). Perlu diperhatikan terjadinya risiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien yang tidak bisa
menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi
direkomendasikan penggunaan stoking eksternal atau Aspirin (AHA/
ASA level A dan B).
xxxvi
Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.
Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermitten.
Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara dan okupasi.
Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada.
Edukasi keluarga.
Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
xxxvii
1. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan
dilakukan terapi endovaskular harus tetap diberikan trombolisis
terlebih dahulu (AHA/ASA kelas I; level A).
2. Pasien harus mendapatkan terapi endovaskular dengan
menggunakan stent retriever jika memenuhi semua kriteria berikut
(AHA/ASA kelas I; level A)
Skor modified rankin scale (mRS) pre-stroke 0 sampai 1 telah
Stroke iskemik akut yang 4,5 jam mendapatkan waktu dalam
intravena setelah onset
Stroke disebabkan karena oklusi pada arteri karotis interna atau
arteri serebri media cabang proksimal
Usia ≥18 tahun
Skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) ≥6
Skor Alberta Stroke Programme Early CT Score (ASPECTS)
≥6
ASPECTS merupakan skor yang digunakan untuk
membantu mengidentifikasi kandidat terapi trombolisis pada
stroke akut. Sistem skor ini digunakan untuk mendeteksi
perubahan iskemik awal (early ischemic changes) pada
pemeriksaan CT scan di daerah yang diperdarahi oleh MCA
Gambaran perubahan iskemik ini dapat berupa hipoatenuasi,
pe-nurunan diferensiasi substansia grisea dan substansia alba,
serta edema fokal. Skor ASPECTS membagi teritori MCA
menjadi 10 area.
Prosedur ini idealnya dilakukan dalam anestesi umum.
Tindakan dilakukan bersamaan dengan prosedur angiografi
konvensional dengan mikrokateter sebagai pemandu untuk
menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever
digunakan untuk menghilangkan trombus yang menyumbat
sehingga diharapkan terjadi rekanalisasi pembuluh darah.
Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau
pungsi arteri femoralis maksimal 6 jam setelah onset stroke
xxxviii
3. Sejak 2015, AHA/ASA membuat pedoman baru mengenai
tata laksana trombektomi pada pasien stroke iskemik akut
dengan onset dibawah 6 jam. Pada pasien yang terindikasi
trombektomi, penggunaan stent retriever dapat dijadikan
pilihan.
4. Meskipun manfaatnya belum jelas, pada kasus stroke yang
disebabkan oklusi di arteri serebri media cabang M2 atau M3,
arteri serebri anterior arteri vertebralis, arteri basilaris atau
arteri serebri posterior, penggunaan terapi endovaskular
dengan stent retriever dapat dipertimbangkan (AHA/ASA:
kelas IIb; level C).
5. Pada stroke yang disebabkan karena oklusi pembuluh darah
sirkulasi posterior (arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri
serebri posterior), groin puncture maksimal dapat dilakukan
24 jam setelah onset stroke.
xxxix
e. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama untuk pencegahan
sekunder stroke iskemik pada kebanyakan kasus stroke kardio-emboli.
f. Penggunaan warfarin harus hati-hati,karena dapat meningkatkan
retriever
resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1
Pernbuluh_bulan sekali.
g. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan
mencegah emboli ulang pada keadaan risiko mayor. Dapat dimulai
dari dosis 2mg perhari dengan target INR 2,0-3,0. Pemeriksaan INR
awal adalah rutin per 3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya
pemantauan 1 minggu sekali dan setelah 1 bulan dilakukan 1 bulan
sekali.
h. Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan karena
fibrilasi atrial nonvalvular dapat diberikan new oral anticoagulant
(NOAC) seperti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x 110mg), rivaroksaban
(1 x 10mg atau 1 x 15 mg), dan apiksaban (1 x 5 mg), sebagai
pencegahan sekunder. Tidak ada pemeriksaan darah untuk
pemantauan khusus pada pemberian NOAC.
xl
6. Untuk pencegahan kejadian iskemik, infark jantung, dan ke akibat
vaskuler, klopidogrel lebih baik dibandingkan dengan pirin dan dapat
diberikan pada far akut atau setelah fase akut selesai.
7. Pemberian klopidogrel dikombinasi kan dengan aspirin selama 21
sampai 3 bulan yang dilanjutkan de. ngan pemberian clopidogrel saja,
superior untuk mencegah stroke pada pasien TIA dan stroke iskemik
ringan (NIHSS <5).
xli
infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko gejala sisa
gangguan neurologik yang berat. Tindakan dilakukan dalam 48 jam
sesudah awitan keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang
berusia <60 tahun (AHA/ASA: kelas I, level A).
g. Mild hypothermia (dengan target temperatur otak antara 33-350C)
mengurangi mortalitas pada pasien dengan infark arteri serebri media
luas, namun dapat menyebabkan efek samping yang berat meliputi
krisis TIK sepanjang pengembalian suhu tubuh.
h. Direkomendasikan tindakan pirau ventrikel peritoneal (VP shunt) atau
bedah dekompresi untuk terapi infark serebelum luas yang menekan
batang otak.
i. Penatalaksanaan trombosis vena serebral dilakukan secara
komprehensif, yaitu dengan terapi anti trombotik (terutama
antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar.
j. Tidak ada data penelitian tentang lama pemberian antikoagulan untuk
trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan pemberian
antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pemberian terapi
antitrombosit (AHA/ASA: kelas II A, level C).
xlii
Neurorehabilitasi / Neurorestorasi Pasca Stroke
Edukasi
Oleh karena stroke menyebabkan keadaan morbiditas yang tinggi, maka
dibutuhkan pemahaman dan kerja sama antara pasien dan keluarga dengan
klinisi, untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal, antara lain dengan
pemberian edukasi yang informatif mengenai:
xliii
BAB IV
PERMASALAHAN KASUS
xliv
dewasa muda ketimbang usia tengah baya atau lebih tua. Perokok
memiliki risiko tujuh kali terkena stroke dibandingkan dengan orang yang
tidak merokok atau berhenti merokok.
Pada kasus ini meskipun pasien berada pada usia muda, tidak menutup
kemungkian tidak terjadinya stroke. Karena pasien pada kasus ini
memiliki riwayat hipertensi yang mana hal tersebut merupakan factor
risiko terjadinya stroke non hemoragik pada pasien tersebut.
2. Mengapa pada CT- Scan yang dilakukan di RSIJ Pondok Kopi tidak
terlihat adanya Infark?
Computed tomography (CT) Scan akan membedakan infark atau
perdarahan hingga setidaknya lima hari setelah stroke. Perdarahan terbaru
adalah densitas tinggi (putih) dan biasanya bulat dan menempat ruang.
Infark biasanya densitas rendah (gelap) dan menempati daerah yang
diperdarahi dengan beberapa pembengkakan. Pada pasien dengan stroke
dengan gambaran ct scan normal dianggap tidak ada perdarahan dan,
maka alternatif diagnosis, di asumsikan adanya infark.4
xlv
infark kortikal kecil (infark sirkulasi anterior parsial — PACI). Banyak
infark yang lebih besar dapat terlihat dalam waktu enam jam meskipun
penampilannya halus dan tergantung pada seberapa cepat ct scan
dilakukan. Ketepatan radiolog untuk tanda-tanda spesifik infark dini buruk
(gbr 1) . Selanjutnya, antara 10 hari dan tiga minggu setelah stroke, infark
kehilangan hipodensitas dan menjadi isodense seperti otak normal selama
beberapa hari hingga dua minggu. Pembengkakan juga telah hilang pada
fase ini. Fase ini disebut sebagai "fogging". Pada 2-3 bulan infark biasanya
infark menjadi menyusut dan memiliki densitasmirip cairan serebrospinal,
sehingga lebih mudah terlihat.
xlvi
dan nafsu makan yang menurun, maka dicurigai adanya tuberculosis pada
SSP akan tetapi setelah melakukan pemeriksaan penunjang CT-Scan tidak
ditemukan adanya hidrosefalus, penyengatan meningen, penyengatan pada
daerah tuberkuloma maupun infark. Selain itu, dicurigai pula Ensefalitis
toksoplasma, pada kecurigaan ini pula tidak didapatkan hasil CT-Scan
yang diharapkan seperti tampak lesi hipodens ataupun edema serebri. 5 6
xlvii
DAFTAR PUSTAKA
iii