Disusun Oleh:
1102015203
Pembimbing:
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Kota Cilegon yang berjudul ”Anemia Gravis e.c. Susp MDS”.
Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya
mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang
membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Didiet Pratignyo, Sp.PD FINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan masukannya
dalam menyusun laporan kasus ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
orangtua yang selalu mendoakan dan teman-teman serta pihak-pihak yang telah
mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini,
kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata
bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan
dan kekhilafan yang dibuat. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat, khususnya
bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang pikir dan perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu
merahmati kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar isi............................................................................................................ii
Pendahuluan......................................................................................................1
Laporan kasus
1. Identitas ..................................................................................................2
2. Anamnesis...............................................................................................2
3. Pemeriksaan fisik....................................................................................4
4. Pemeriksaan penunjang..........................................................................6
5. Diagnosis...............................................................................................13
6. Diagnosis banding…………………………………………………….13
7. Tatalaksana............................................................................................13
8. Prognosis...............................................................................................14
9. Follow up..............................................................................................15
Analisa kasus...................................................................................................19
Tinjauan Pustaka ...........................................................................................30
Daftar Pustaka ...............................................................................................40
ii
PENDAHULUAN
Anemia difefinisikan secara fungsional sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Parameteter umum yang
dipakai adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Titik
pemilah/cut off point menurut WHO sesuai dengan fisiologi, jenis kelamin,
ketinggian tempat tinggal. Untuk laki-laki <13 g/dl, wanita hamil <11 g/dl, wanita
dewasa tidak hamil <12 g/dl. (Setiati S, 2014)
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik
maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropik.
Anemia menyebabkan masalah medis terutama di negara berkembang merupakan
penyebab debilitas kronik. Mempunyai dampak besar pada kesejahteraan sosial dan
ekonomi, serta kesehatan fisik. Anemia bukanlah suatu penyakit tersendiri, tetapi
merupakan gejala dari berbagai macam penyakit yang mendasarinya. Hal ini
penting untuk mencari penyakit dasar yang tersembunyi agar dapat memberikan
terapi yang tuntas terhadap anemia tersebut (Setiati S, 2014).
Sindrom myelodisplasia (MDS) adalah gangguan sumsum tulang, ditandai
dengan hematopoesis yang tidak efektif, berbagai tingkat sitopenia serta
peningkatan risiko leukemia akut (Steensma, 2003). MDS mewakili spektrum
gangguan neoplastik sel induk klonal yang ditandai oleh kegagalan sumsum tulang
dengan sitopeni, dan persentase leukemia berkisar dari kurang dari 5% sampai 19%
dan terjadi pada populasi lanjut usia. Kejadian MDS dalam data yang baru-baru ini
diterbitkan oleh Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) meningkat
dari kurang dari 5 per 100.000 pasien di bawah usia 60 menjadi 36,2 per 100.000
pada pasien lebih dari 80 tahun. Dengan rata-rata usia diagnosis 76 tahun. Secara
umum, pria dan kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini
(Rami, 2009).
1
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. HM
Usia : 22-08-1964 (55 tahun)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Link karang tengah ciputat, purwakarta
No. CM : 5519**
BB, TB, IMT : 46 kg, 155 cm, IMT: 19,1 (underweight)
Pembiayaan : BPJS
Tanggal masuk : 23 Juli 2019
Tanggal keluar : 27 Juli 2019
Ruangan : Nusa Indah RSUD Cilegon
II. Anamnesis
Dilakukan secara auto-anamnesis pada hari Jumat, 26 Juli 2019 di Bangsal
Nusa Indah RSUD Cilegon pukul 07.30 WIB
o Keluhan Utama:
Mengeluh merasa lemah seluruh badan sampai tidak bisa bangun
o Keluhan Tambahan:
Pusing berputar, telinga berdenging, penurunan pendengaran +, keluar
cairan telinga -, lesu, mual +, muntah -, BAK berdarah warna merah + ,
terkadang nyeri, pasir - , nyeri perut +, pucat +, berdebar-debar +, nyeri dada +.
BAB hitam disangkal, muntah dan bantuk darah disangkal, gangguan
menstruasi disangkal.
2
o Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 23 Juli 2019 dengan
keluhan badan seluruh badan lemah sejak 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluh
BAK berdarah keruh berwarna merah segar, terkadang terasa nyeri, tidak
terdapat butiran pasir sejak 7 hari SMRS. Pusing berputar, telinga berdenging,
dan penurunan pendengaran sejak 2 hari, terdapat nyeri ulu hati, kesemutan dan
pegal-pegal pada kaki.
o Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sudah dialami sejak tahun 2017
dan pernah didiagnosis anemia susp MDS, pasien sudah sering ditransfusi
darah
Riwayat TB paru disangkal
Riwayat penyakit DM disangkal
Riwayat penyakit hipertensi + pasien rutin meminum obat
Riwayat penyakit hepatitis disangkal.
Riwayat alergi disangkal
o Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat Keluhan yang sama dengan pasien dan keganasan disangkal
Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal
Riwayat penyakit hipertensi pada keluarga disangkal
Riwayat DM pada keluarga disangkal
o Riwayat Kebiasaan sehari-hari:
Sehari-hari pasien sulit untuk makan hanya 1 hari sekali dengan lauk nasi
dengan kerupuk ditambah tempe. Daging sapi, ayam, ikan jarang sekali
beberapa bulan sekali. Riwayat terpapar rokok dari suami +, terapapar
benzena dan bahan kimia lain disangkal, terpapar radiasi disangkal.
o Anamnesis Sistem:
1. Kulit : Sawo matang, tidak ada kelainan, kuku sendok -
2. Kepala : tidak ada kelainan
3
3. Mata : Konjungtiva pucat
4. Telinga : Gangguan pendengaran, tinitus
5. Hidung : Tidak ada kelainan
6. Tenggorokan : Tidak ada kelainan
7. Mulut : atrofi papil lidah
8. Leher : Tidak ada kelainan
9. Thoraks : berdebar-debar, nyeri dada.
10. Abdomen : Mual dan nyeri perut
11. Saluran kemih : BAK berdarah warna merah , nyeri saat bak
12. Saraf dan otot : Tidak ada kelainan
13. Ekstremitas : Tidak ada kelainan
III. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 25 Juli 2019 pukul 07.30 WIB (saat di Bangsal Nusa Indah)
VITAL SIGNS:
- Kesadaran : Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit sedang
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 108 x/menit, regular
- Respirasi : 20x/menit
- Suhu : 37,60C
- Saturasi Oksigen : 98%
- GCS : 15
STATUS GENERALIS:
- Kepala :Bentuk kepala normal, simetris.
- Rambut :Hitam, lebat, tidak mudah dicabut.
- Alis :Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis +/+, sclera
ikterik -/-, eksoftalmus -/-, RCL +/+, RTCL +/+,
tidak terdapat benda asing.
- Hidung :Tidak terdapat nafas cuping hidung, septum tidak
deviasi, tidak ada sekret, dan tidak hiperemis.
4
- Telinga :Bentuk normal, liang telinga sempit , terdapat
cerumen telinga kiri kanan, tidak ada darah, tidak
ada tanda radang.
- Leher :Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
pada submentalis, pre-aurikula, post-aurikula,
oksipital, sternokleidomastoideus, dan
supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid,
trakea tidak deviasi.
- Thoraks : Simetris kiri dan kanan, tidak terdapat retraksi sela
iga.
- Paru-paru
a. Inspeksi :Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
tidak terdapat retraksi
b. Palpasi : Massa(-), krepitasi (-), fremitus taktil simetris,
fremitus vokal simetris
c. Perkusi :Sonor seluruh lapang paru
d. Auskultasi :VBS +/+, ronkhi -/- dan wheezing -/-
- Jantung
Inspeksi : Iktus kordis terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V linea midklavikula
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada sela iga IV linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri pada sela iga
VI linea axilaris anterior
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(+) dan
gallop(-)
- Abdomen
a. Inspeksi : Tampak simetris, tidak terdapat kelainan kulit, tidak
ditemukan adanya spider nevy, tidak ada pelebaran
vena.
5
b. Auskultasi : Bising usus (+), bising aorta abdominalis tidak
terdengar.
c. Palpasi : Supel, turgor baik, nyeri tekan epigastrium(+), nyeri
lepas(-), massa(-), hepatomegali(-) splenomegali(-),
ballotement (-), undulasi(-), nyeri ketok CVA (-),
nyeri tekan VU (+).
d. Perkusi : Suara timpani di keempat kuadran, shifting dullness
(-).
- Ekstremitas : Akral hangat(+), edema ekstremitas superior (-) dan
ekstremitas inferior(-/-) bintik merah (-)
IV. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium :
Hematologi :
Darah Rutin :
37 – 43 %
Hematokrit
8,8 % (L) 13,9 % (L) 21,2 % (L)
0.990.000/ 1.440.000
2.310.000 4.000.000 –
Eritrosit /µL (L) 5.00.000 /uL
µL (L) /µL (L)
6
MCHC 28,4 g/dL 30,1 g/dL 32-36
30,2 g/dL
2,4 – 5,7
Asam Urat mg/dL
Kalium
4,48 mEq/L
Darah
7
3,3 – 5,4
mEq/L
8
Kejernihan Keruh Keruh
Berat Jenis 1.020 1.020
pH 6.0 8.0
Protein Negatif 2+
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah 3+ 3+
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Positif Positif
Urobilinogen 0.1 0.1
Leukosit Esterase 2+ 1+
Sedimen
Penuh 8-10 (N: 0-5)
Leukosit
Eritrosit 10-15 ( N: 0-2/LPB) Penuh
Silinder Negatif Negatif
Sel epitel 1+ 1+
Kristal Negatif Negatif
Bakteria Positif Penuh
9
10
Interpretasi EKG
Irama: Sinus Reguler
RR: Reguler
Interval PR: Normal
Axis: normoaxis
HR: 92 x/menit
T inverted V1, V2
C. Rontgen Thorax: 23 Juli 2019
Hasil pemeriksaan:
- COR: CTR > 50%, jantung membesar ke lateral kiri dengan apeks
tertanam pada diafragma. Pinggang jantung menghilang . Elongatio
aorta, tidak tampak kalsifikasi
- Kardiomegali tanpa bendungan paru
- Pulmo: Tidak tampak TB paru, dalam batas normal, corakan
bronkovaskular normal, tidak tampak bercak infiltrat
- Tulang dan jaringan lunak baik
Kesan:
Tidak tampak TB paru
Kardiomegali
Elongatio aorta
11
V. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 23 Juli 2019 dengan keluhan
badan seluruh badan lemah sejak 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluh BAK
berdarah keruh berwarna merah segar, terkadang terasa nyeri, tidak terdapat butiran
pasir sejak 7 hari SMRS. Pusing berputar, telinga berdenging, dan penurunan
pendengaran sejak 2 hari, terdapat nyeri ulu hati, kesemutan dan pegal-pegal pada
kaki.. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 110/80 mmHg, Nadi: 108x/menit,
RR: 20x/menit, Suhu: 37,6ºC, Saturasi oksigen: 98%, GCS:15. Konjungtiva anemis
bilateral, suara jantung 1 & 2 normal, terdapat murmur sistolik (+), gallop (-), batas
jantung kiri pada linea axilaris anterior sela iga VI, abdomen terdapat nyeri ketok
CVA (-), nyeri tekan epigastrium (+) dan VU (+). Riwayat anemia sejak 2 tahun
didiagnosis susp MDS. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia
gravis, hematokrit turun, erythrocytopenia, leukopenia. Anisositosis sel
fragmen +, kepadatan leukosit menurun, neutrofil bilobus, monositosis, RDW-
CV meningkat. Urin lengkap darah 3+, leukosit esterase +2, nitrit +. Hasil
pemeriksaan EKG irama sinus reguler, normoaxis, T inverted V1 & V2, rontghen
torax kesan kardiomegali dan elongatio aorta.
VI. Daftar Masalah
12
1. Anemia berat
2. Murmur sistolik
3. T inverted V1 & V2
4. Gross hematuria
5. Kardiomegali
6. Bisitopenia
VII. Diagnosis
Anemia gravis e.c. susp MDS
Anemia Heart Disease
Vertigo
Cerumen ADS
Hematuria
Infeksi Saluran Kemih
13
Hemafort 3x1
Betahistin 3x1
Flunarizine 2 x 10
XI. Prognosis
- Quo ad Vitam: Dubia
- Quo ad Functionam: Dubia ad malam
- Quo ad Sanactionam: Dubia ad malam
14
Follow Up 24 Juli 2019
S O A P
15
Follow Up 25 Juli 2019
S O A P
16
Follow Up 26 Juli 2019
S O A P
17
Follow Up 27 Juli 2019
S O A P
Hemafort 2x1
18
Analisa Kasus
20
Kontraindikasi: hipersensitivitas, sindroma perpanjangan
interval QT bawaan.
Efek samping: sakit kepala; umum: sensasi hangat atau
kemerahan, konstipasi, reaksi lokasi injeksi, tidak
umum: kejang, gangguan gerakan (termasuk reaksi ekstrap
iramidal seperti reaksi distoni, oculogyric crisis, diskinesia),
aritmia, nyeri dada dengan atau tanpa depresi segmen ST,
bradikardi, cegukan
Inj Omeprazole
Indikasi: merupakan golongan penghambat pompa proton.
Digunakan untuk tukak lambung, tukak doudenum, terkait
dengan AINS, lesi lambung dan duodenum, regimen eradikasi
H.pylori pada tukak peptik
Kontraindikasi: Alergi, penyakit hati, lupus
Efek samping: mual, nyeri perut, flatuens, diare, atralgia, sakit
kepala, dan ruam kulit.
Sucralfat 3x CI
Indikasi: tukak lambung dan tukak duodenum
Kontraindikasi: gangguan ginjal (hindari bila berat); kehamilan
dan menyusui; pemberian sukralfat dan nutrisi enteral harus
berjarak 1 jam
Efek samping: konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan,
gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi hipersensitifitas,
nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk,
pembentukan bezoar (lihat keterangan di atas).
Hemafort 3x1
Indikasi: Suplemen untuk defisiensi Fe pada kondisi anemia.
Berisi e fumarate 300 mg, manganese sulphate 0.4 mg, copper
sulphate 0.4 mg, vit C 100 mg, folic acid 2 mg, vit B12 15 mcg,
intrinsic factor 25 mg.
21
Kontraindikasi: Tidak untuk penderita hipersensitif dan
penderita dengan penyakit berat tertentu
Efek samping: Pusing, mual, muntah
Betahistine
Indikasi: vertigo, tinnitus dan kehilangan pendengaran terkait
dengan penyakit Meniere.
Kontraindikasi: paeokromositoma, hipersensitivitas komponen
obat, kehamilan , dan menyusui.
Efek samping: gangguan saluran cerna, sakit kepala, ruam kulit,
pruritus
Flunarizine
Indikasi: Profilaksis migren, pengobatan dan pencegahan
gangguan vestibular, vertigo, tinitus.
Kontraindikasi: Depresi, parkinson, gangguan ekstrapiramidal.
Efek samping: mengantuk, mual, nyeri ulu hati.
Ranitidin
Indikasi: Tukak lambung, tukak duodenum, refluks esofagus
Kontraindikasi:
penderita hipersensitif terhadap ranitin atau H2 reseptor
antagonis lainnya.
Efek samping: nyeri kepala, konstipasi, diare, mual, muntah,
arthalgia, myalgia, leukopenia, trombositopenia, pansitopenia,
reaksi hipersensitivitas
Ceftriaxone 1x2 gr
Indikasi: Sepsis, meningitis, peritonitis, pencegahan prabedah
ISPA dan ISK
Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap cephalosporin
Efek samping: Gangguan saluran cerna
3. Mengapa terjadi anemia pada pasien ini?
Pada pasien ini terdapat tanda-tanda displasia dari seri mieloid serta
gambaran eritrosit yang anisositosis (berbagai macam ukuran) hal ini dapat
22
disebabkan karena terjadi gabungan antara faktor lingkungan, kelainan
genetik dan interaksi sel menimbulkan mutasi pada tingkat sel induk
sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan
diferensiasi. Pada MDS terjadi ketidakserasian antara proliferasi dengan
diferensiasi, dimana daya proliferasi masih cukup tetapi terjadi gangguan
diferensiasi atau maturasi sehingga terjadi hemopoesis inefektif, dengan
kematian premature sel (eritroid, myeloid, megakariosit) dalam sumsum
tulang sebelum sempat dilepaskan ke darah tepi. Hal ini berakibat terjadinya
sumsum tulang hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi salah
satunya anemia (Brazi A, 2010). MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada
sel sumsum tulang yang multipoten tetapi defek spesifiknya belum
diketahui. Diferensiasi dari sel prekursor darah tidak seimbang dan ada
peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Peningkatan ekspresi
dan pelepasan TRAIL (TNF-related apoptosis inducing ligand), juga
dikenal sebagai Apo2 ligand (Apo2L), mungkin mengubah eritropoiesis
sumsum tulang berkontribusi menjadi anemia, gejala utama dari MDS.
Mekanisme pasti TRAIL mengeliminasi sel tidak diketahui, tetapi mungkin
terkait dengan ekspresi reseptor apoptosis TRAIL dan/atau reseptor anti-
apoptosis atau defek fungsional pada inhibitor sitoplasma apoptosis seperti
interleukin-1 alpha converting enzyme, FASF terkait domain kematian
(FADD), FADD seperti interleukin-1 beta- converting protein inhibitor atau
penghambat apoptosis lain seperti survivin. (Sarmento-Ribeiro et al., 2016).
Ekspansi klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel yang telah kehilangan
kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika keseluruhan persentasi dari blas
sumsum berkembang melebihi batas (20-30%) maka ia akan
bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada
umumnya seperti anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan
menderita kelebihan besi. Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah
pendarahan karena kurangnya trombosit atau infeksi karena kurangnya
leukosit (Brazi A, 2010).
23
4. Apakah indikasi transfusi darah pada pasien ini?
Indikasi transfusi darah adalah kadar hemoglobin dibawah 7,0 atau 8,0 g/dl
kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis (Setiati S, 2014). Pada pasien
ini kadar Hb adalah 2,5 g/dl dan merupakan indikasi untuk transufusi darah.
1 unit Packed Red Cell (PRC) akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/ dl atau
hematokrit 3-4 % dengan melalui filter darah standar (170 m), berisi
eritrosit, trombosit, lekosit dan sedikit plasma. Dengan memisahkan
sebagian besar sel darah merah dengan plasma. Volumenya 150-300mL
dengan massa sel darah merah 100-200 mL (Setiati S, 2014). Transfusi
dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki
terapi spesifik lain, sehingga batas kadar Hb yang lebih rendah dapat
diterima. Transfusi dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila
ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas
transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik
berat dan penyakit jantung iskemik berat). Jumlah PRC yang diperlukan
untuk menaikkan Hb dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Jumlah PRC = Hb x 3 x BB
Ket: Hb = Selisih Hb yang diinginkan dengan Hb sebelum transfusi BB =
Berat Badan.
Target Hb tergantung dari penyakit untuk pasien ini secara umum target Hb
adalah 10g/dl dan Ht 30% (Sandhya,2014).
5. Mengapa terdapat murmur sistolik dan kardiomegali pada pasien ini?
Pada keadaan anemia dengan kadar hemoglobin < 7g/dL mengakibatkan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh sel darah merah menurun. Suatu
proses pengantaran oksigen ke organ ataupun jaringan dipengaruhi oleh tiga
faktor di antaranya faktor hemodinamik yaitu cardiac output dan
distribusinya, kemampuan pengangkutan oksigen di darah yaitu konsentrasi
hemoglobin, dan oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara
24
darah arteri dan vena. Kompensasi mekanisme hemodinamik bersifat
kompleks, antara lain terjadi penurunan afterload akibat berkurangnya
tahanan vaskular sistemik, peningkatan preload akibat peningkatan venous
return dan peningkatan fungsi ventrikel kiri yang berhubungan dengan
peningkatan aktivitas simpatetik dan faktor inotropik. Pada anemia kronik,
terjadi peningkatan kerja jantung menyebabkan pembesaran jantung dan
hipertrofi ventrikel kiri. Remodeling jantung merupakan penanda dari gagal
jantung yang progresif. Anemia yang berlangsung lama dan tidak diobati
menyebabkan peningkatan curah jantung, dilatasi dan peningkatan massa
ventrikel kiri, serta mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri.
Murmur sistolik disebabkan oleh karena terdapat peningkatan tonus
adrenergik atau dopaminergik oleh kondisi penyebab anemia, untuk
meningkatkan pengiriman oksigen, denyut jantung dan fraksi ejeksi dapat
meningkat, berpotensi menghasilkan takikardia serta murmur ejeksi sistolik,
sering disebut sebagai "flow murmur" yang paling baik didengar di dasar
jantung. Dasar dari murmur ejeksi sistolik ini adalah peningkatan volume
darah dilusi anemi yang mengalir melintasi katup aorta normal,
menciptakan aliran turbulen yang terdengar sebagai murmur yang serupa
dengan kualitas stenosis aorta (Setiati S, 2014)
25
6. Mengapa pada pasien terjadi hematuria?
Hematuria dapat disebabkan oleh infeksi atau tumor serta keganasan. Pada
pasien ini didapatkan darah 3+, leukosit esterase 2+ dan nitrit +, bakteria +,
silinder - . hal ini dapat menandakan terdapat infeksi saluran kemih, pasien
juga leukopenia yang menyebabkan rentan terhadap infeksi, tidak terjadi di
glomerulus karena tidak ditemukannya silinder eritrosit Bakteri dapat
merubah nitrat menjadi nitrit bila mengandung enzim nitrat reduktase
biasanya diproduksi oleh bakteri gram negatif seperti E.coli dan Klebsiella
dan menjadi penanda berkmakna bakteri dalam urin. Leukosit esterase
positif karena urin mengandung leukosit yang utuh maupun lisis karena
reaksi inflamasi di saluran kemih. Bakteri E.coli menghasilkan toxin seperti
cytotoxic necrotizing factor 1 (CNF1) dan hemolysin (HlyA1) Hemolysin
(HlyA) adalah cytolysin pembentuk pori ekstraseluler aktivasi dan
oligomerisasi untuk membentuk pori-pori dalam membran sel eukariotik
dengan cara yang bergantung pada kalsium (18). Pembentukan pori di
selaput berbagai jenis sel inang, termasuk sel darah merah dan sel epitel
26
kandung kemih, menyebabkan lisis sel. Kerusakan epitel di kandung kemih
dapat menyebabkan hematuria. Sedangkan kemungkinan penyebab lain
seperti keganasan, batu ginjal perlu dilakukan pemeriksaan USG terlebih
dahulu untuk memastikan penyebab lebih lanjut (Garcia TA, 2013)
7. Bagaimana diet tinggi kalori dan tinggi protein, tinggi FE pada pasien ini?
Diet tinggi kalori tinggi protein ini dapat diberikan kepada beberapa pasien
dengan kondisi tertentu yaitu: (Almatsier, 2006)
Gizi kurang: defisiensi kalori, protein dan anemia, hyperthyroid, sebelum
dan sesudah operasi tertentu, baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi
atau penyakit berlangsung lama (seperti TB Paru) dan telah dapat menerima
makanan lengkap, trauma, combutio, mengalami perdarahan banyak, pasien
hamil dan post partum.
Syaratnya yaitu Tinggi kalori
1. Energi tinggi, yaitu 40-45 kkal/kg BB.
2. Protein tinggi, yaitu 2,0-2,5 g/kg BB.
3. Lemak 10-25% kebutuhan energi total
4. Karbohidrat cukup, sisa dari kebutuhan energi total
Pada pasien ini 40-45 x BB pasien (46 kg) ( 1840 kkal – 2070 kkal) , protein
92-115 gr .
Berdasarkan kandungan protein dan kalori, diet tinggi kalori tinggi protein
ada dua jenis, yaitu (Almatsier, 2006):
1. Diet tinggi kalori tinggi protein I (2600 kkal/hari, 100 gr protein/hari)
2. Diet tinggi kalori tinggi protein II (3000 kaal/hari, 125 gr protein/hari)
Dari hasil penelitian Mayasari (2011), diperoleh bahwa penentuan
kesesuaian kandungan zat gizi dalam diet tinggi kalori tinggi protein
digunakan ± 10% dari standar yang telah ditentukan. Pada pasien memakai
diet TKTP I.
27
Diet tinggi Zat besi (Fe) pada pasien ini melalui sumber yang terdapat dalam
bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua.
Pemenuhan Fe oleh tubuh memang sering dialami sebab rendahnya tingkat
penyerapan Fe di dalam tubuh, terutama dari sumber Fe nabati yang hanya
diserap 1-2%. Penyerapan Fe asal bahan makanan hewani dapat mencapai
10-20%. Fe bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap daripada
Fe nabati (non heme). Sumber terbaik zat besi dari makanan ialah hati,
tiram, kerang, buah pinggang, daging tanpa lemak, ayam/itik dan ikan.
Kacang dan sayur yang dikeringkan adalah sumber iron yang baik dar ipada
tumbuhan Soekirman (2000). Lalu memperbanyak konsumsi antaranya
yang dapat meningkatkan penyerapan besi atau enhancer dari sumber
vitamin C seperti pada jeruk, pepaya serta sumber protein hewani tertentu
contohnya daging sapi, daging ayam dan ikan . Vitamin C sebagai enhancer
karena vitamin C membantu penyerapan besi non heme dengan merubah
bentuk feri menjadi fero yang mudah diserap. Vitamin C membentuk gugus
besi-oksalat yang tetap larut pada pH yang lebih tinggi seperti di duodenum
sehingga mudah diserap . Menghindari zat yang dapat menghambat
penyerapan besi atau inhibitor antara lain adalah kafein, tanin, oksalat, fitat,
yang terdapat dalam produk-produk kacang kedelai, teh, dan kopi. Kopi dan
teh yang mengandung tanin dan oksalat merupakan bahan makanan yang
sering dikonsumsi oleh masyarakat (Soekirman, 2000)
28
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mielodisplastic Syndrome
1.1 Definisi
Sindrom myelodisplasia atau myelodisplasia syndrome (MDS) adalah kelainan
neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi ganas sel
induk myeloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi seri
myeloid, eritriod atau megakariosit, yang ditandai dengan hematopesis
inefektif, sitopenia pada darah tepi dan sebagian akan mengalami transformasi
menjadi leukemia myeloid akut (Rami, 2009).
1.2 Etiologi
Etiologi MDS tidak diketahui secara pasti, namun dapat terjadi karena
bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau disebabkan oleh
paparan zat berbahaya. Faktor risiko meliputi pemaparan terhadap pelarut
benzena atau bahan lainnya, halogenated hydrocarbon, tembakau dan asap
rokok serta penurunan sistem imun. Kemoterapi dan radiasi yang berhubungan
dengan terapi juga dapat terkait dengan MDS (Steensma, 2007).
1. Penuaan
Sebagaimana disebutkan di atas, penuaan tampaknya menjadi faktor
risiko terpenting dalam perkembangan MDS karena risiko terjadinya
mutasi meningkat sebanding dengan usia. MDS idiopatik atau primer
terutama terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dan
sindrom ini sering berkembang secara perlahan.
2. Kimia
Paparan tingkat tinggi dari beberapa bahan kimia lingkungan, terutama
produk benzena dan minyak bumi, terkait dengan perkembangan MDS.
3. Rokok
Paparan bahan kimia dalam asap tembakau / rokok dapat meningkatkan
risiko perkembangan MDS.
4. Sitotoksik kemoterapi
Pasien yang sebelumnya mengalami pengobatan kanker atau kondisi
lain dengan kemoterapi, akan meningkatkan risiko untuk terjadinya
29
MDS sekunder atau terkait pengobatan. Ini mewakili kurang dari 10
persen dari semua kasus MDS. Sekunder MDS dikaitkan dengan mutasi
yang berbeda yang terjadi pada MDS spontan dan memiliki prognosis
yang lebih buruk. Waktu antara paparan obat dan terjadinya MDS dapat
2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun.
5. Radiasi
Terapi radiasi sebelumnya, atau paparan radiasi lingkungan tingkat
tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko MDS. Dalam beberapa
kasus mungkin tidak terlihat sampai 40 tahun setelah paparan.
6. Kelainan Bawaan
Beberapa kelainan bawaan seperti sindrom Bloom, Down Syndrome,
anemia Fanconi dan neurofibromatosis memiliki risiko lebih untuk
terjadinya mutasi yang menyebabkan kanker atau MDS (Leukaemia
Fondation, 2009)
1.3 Klasifikasi
FAB membuat klasifikasi khusus untuk MDS yang diterima secara luas
sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5 kategori berdasarkan jumlah
blast dalam darah tepi dan sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi,
serta jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang.
1. Refractory Anemia (RA)
Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel
(cell lineage), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum tulang
hiperseluler atau normoseluler dengan perubahan displastik
terutama pada sistem eritroid, system granulosit dan megakariosit
mengalami perubahan displastik dalam derajad yang lebih ringan.
Blast dalam darah tepi < 1 % dan dalam sumsum tulang < 5%.
2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS)
Pada RARS dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemi),
perubahan displastik, jumlah blast seperti dapa RA. Ring sideroblast
dijumpai > 15% dari sel eritroid berinti dalam sumsum tulang.
3. Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB)
30
Pada RAEB dijumpai sitopenia dari dua atau lebih turunan sel pada
darah tepi. Perubahan displastik pada ketiga lineage dalam sumsum
tulang lebih nyata. Blast darah tepi < 5%, dan dalam sumsum tulang
antara 5-20 %.
4. RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt)
Pada RAEBt gambaran hematologi sama dengan RAEB, tetapi blast
darah tepi > 5% atau blast dalam sumsum tulang 21-30% atau
adanya auer rod pada sel blast.
5. Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML)
Pada CMML dijumpai monositosis pada darah tepi (monosit > 1.109
per liter). Dalam darah tepi < 5%, sedangkan dalam sumsum tulang
sampai dengan 20% (Brunning et al, 2001).
Tabel 1. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi FAB (Brain, 2003)
Jenis MDS Darah Tepi Sumsum Tulang
Refractory Anemia (RA) Anemia < 5% blast
<1% blasts < 15% ring sideroblast
monocytes < 1.109 /l of erythroblast
Refractory Anemia with Anemia < 5% blast
Ringed Sideroblast <1% blasts > 15% ring sideroblast
(RARS) monocytes < 1.109 /l of erythroblast
Refractory Anemia with Anemia ≥ 5% blast
Excess Blast >1% blasts
monocytes < 1.109 /l
Refractory Anemia with Anemia ≥ 20% blast
Excessive Blast in >5% blasts
Transformation to
Leukemia (RAEB-t)
Chronic MyeloMonocytic Monocytes < 1.109 /l Blast up to 20%
Leukemia (CMML) Granulocytes often Promonocytes often
increased increased
31
<5% blasts
Tabel 2. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut
Klasifikasi WHO 2008 (Peter L, 2011).
1.4 Diagnosis
Langkah diagnosis MDS adalah sebagai berikut :
1. Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik yang
sesuai, terutama pada orang tua, yang disertai sitopenia (anemia,
leukopenia, trombositopenia) persisten atau monositosis yang tidak dapat
diterangkan.
32
2. Kemudian dilakukan pemeriksaan teliti terhadap apusan darah tepi dan
sumsum tulang untuk mencari tanda-tanda displastik. Abnormalitas
morfologi pada penderita MDS dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Abnormalitas Morfologi pada Penderita MDS (List, 2009)
Jenis sel Apus darah tepi Sumsum tulang
Eritroid Ovalomakrosit Eritropoiesis
Eliptosit megaloblastoid
Akantosit Nuclear budding
Stomatosit Ringed sideroblast
Teardrops Internuclear bridging
Normoblas Karioreksis
Basophilic stippling Fragmen nuclei
Howel-Jolly bodies Vakuolisasi sitoplasma
Multinuklearitas
Mieloid Anomali Pseudo-Pelger- Defektif granulasi
Huet Hambatan maturasi pada
Hipogranulasi tingkat mielosit
Peningkatan bentuk
Nuclear sticks monositoid
Hipersegmentasi Lokasi abnormal
Ring-shaped nuclei prekursor imatur
Auer rods
Megakariosit Giant platelet Mikromegakariosit
Trombosit hipogranuler/ Hipogranulasi
Agranuler Nukleus kecil multipel
3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu alau lebih jenis sel, penyebab
dysplasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik, laboratorium atau pemeriksaan lain). Penyebab
dysplasia diluar MDS antara lain: defisiensi vitamin B12, defisiensi
folat, infeksi virus seperti HIV, pemakaian antibiotika tertentu, agen
33
kemoterapi, etanol, benzene, atau timah hitam. Apabila penyebab-
penyebab ini telah dapat disingkirkan, diagnosis MDA sudah dapat
ditetapkan.
4. Sumsum tulang: selularitas meningkat. Ditemukan normoblas
multinukleus dan gambaran diseritropoietik lainnya. Muncul cincin
sideroblas disebabkan pengendapan besi di mitokondria eritroblas.
Prekusor granulosit memperlihatkan defek granulasi dan mungkin sulit
dibedakan dengan monosit. Megakariosit tampak abnormal dengan
mikronukleus, binukleus kecil, atau poliknukleus. Paling sedikit 10%
daru suatu turunan harus displastik sebelum diagnosis MDS. Pada
sebagian kecil sumsum tulang hiposeluker dan mungkin mirip anemia
aplastik.
5. Sitogenetik: Kehilangan parsial atau total kromosom 5 atau 7 atau
trisomi 8. Mutasi pada TET-2 atau N-RAS.
6. Langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi berdasarkan FAB
atau WHO.
7. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan sitogenetik dikerjakan untuk menilai
prognosis. Pemeriksaan sitokimia, imunofenotiping, imunokimia,
pemeriksaan onkogen dan kultur jaringan dapat membantu dignosis,
tetapi secara rutin tidak selalu diperlukan.
Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan
pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik
sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya
abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan MDS
primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30
– 50 % pasien MDS de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada MDS
termasuk delesi, trisomi, monosomi dan anomali struktur.
34
(Sumber: Hoffbrand, 2014)
1.5 Tatalaksana
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala, meningkatkan kualitas
hidup, meningkatkan survival, dan mengurangi transformasi gejala AML.
35
1. Pada sindrom mielodisplastik risiko rendah
Pasien yang memiliki jumlah sel blas <5% dalam sumsum tulang
didefinisikan sebagai penderita sindrom mielodisplasia risiko rendah.
Sehingga ditangani dengan konservatif dengan transfusi eritrosit,
trombosit, atau pemberian antibiotik sesuai keperluan. Upaya
memperbaiki fungsi sumsum tulang dengan faktor pertumbuhan
hematopoetik sedang dilakukan. Eritropoietin dosis tinggi dapat
meningkatkan konsentrasi Hb sehingga transfusi tidak perlu dilakukan.
Untuk jangka panjang penimbunan besi tranfusi berulang harus diatasi
dengan chelasi besi setelah mendapat transfusi 30-50 unit. Pada pasien
usia muda kadang transplantasi alogenik dapat memberikan kesembuhan
permanen.
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak transfusi
RBC adalah level serum feritin yang dapat berakibat disfungsi organ dan
harus dikontrol <1000mcg/L. Dan ada 2 macam chelasi besi seperti
deferoxamine IV dan deferasirox per oral. Pada kasus yang jarang,
deferasirox dapat menyebabkan gagal ginjal dan hati yang berakhir pada
kematian.
2. Pada sindrom mielodisplasia risiko tinggi
Pada pasien yang memiliki jumlah sel blast >5% dalam sumsum
tulang dapat diberi beberapa terapi.
a. Perawatan suportif umum diberikan sesuai dengan pasien usia tua
dengan masalah medis mayor. Transfusi eritrosit dan trombosit,
terapi antibiotik dan obat antijamur diberikan sesuai kebutuhan.
b. Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin,
azasitidin, atau sitosin arabinosida dosis rendah dapat diberikan
dengan sedikit manfaat pada pasien CMML atau anemia refrakter
dengan kelebihan sel blast (RAEB) atau RAEB dalam transformasi
dengan jumlah leukosit dalam darah yang tinggi.
c. Kemoterapi intensif seperti pada AML. Kombinasi fludarabin
dengan sitosin arabinosida (ara-C) dosis tinggi dengan faktor
36
pembentuk koloni granulosit dapat sangat bermanfaat untuk
mencapai remisi pada MDS.
d. Transplantasi sel induk. Pasien berusia lebih muda ( <50-55 tahun)
dengan saudara laki-laki atau perempuan yang HLA nya sesuai atau
donor yang tidak berkerabat tetapi sesuai HLA nya. SCT
memberikan prospek kesembuhan yang lengkap dan biasanya
dilakukan pada MDS tanpa mencapai remisi lengkap dengan
kemoterapi sebelumnya, walaupun pada kasus risiko tinggi dapat
dicoba kemoterapi awal untuk mengurangi proporsi sel blast dan
risiko kambuhnya MDS. SCT biasanya dapat dilaksanakan pada
sebagian kecil pasien karena umunya pasien MDS berusia tua.
Transplantasi Sumsum Tulang (Bone Marrow Transplatation)
Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama
pada SDM terutama dengan usia < 30 tahun, dan merupakan terapi kuratif,
tetapi masih merupakan pilihan < 5% dari pasien. Pada pasien MDS dengan
prognosis jelek, transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya
pilihan yang memberikan harapan. Transplantasi stem sel autologus akhir-
akhir ini mulai mendapatkan perhatian mengingat pada beberapa kasus
MDS dapat dijumpai hemopoesis poliklonal yang normal setelah
kemoterapi. Satu studi mendapatkan angka disease free survival > 30%
setelah 2 tahun pasca transplantasi stem sel autologus (Asharianti, 2007).
Kemoterapi
Pilihan kemoterapi pada MDS bervariasi dari kemoterapi intensif
sampai terapi sitostatika dosis rendah. Penggunaan kemoterapi pada MDS
biasanya diberikan pada tipe RAEB, RAEB-t dan CMML. Sejak tahun 1968
pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat
memberikan response rate antara 50 – 75 % dan respons ini tetap bertahan
2 – 14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasikan
adalah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2/hari secara subkutan setiap
12 jam selama 21 hari. Komplikasi akibat terapi ditemukan sangat tinggi
13-30% pada beberapa studi yang berbeda, bahkan pada studi lainnya
37
survival didapatkan lebih pendek dibandingkan penderita yang tidak
mendapatkan terapi (Asharianti, 2007).
GM-CSF atau G-CSF
Sitokin dan hematopoietic growth factor (HGF) memainkan
peranan penting sebagai bagian dari terapi simtomatik menderita MDS, baik
GM-CSF atau G-CSF. Pada pasien MDS yang mengalami pansitopeni dapat
diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dari
hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan dengan dosis 30–500
mcg/m2/hari atau G-CSF 50–1600 mcg/m2/hari (0,1–0,3
mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7–14 hari. Studi multisenter
membuktikan bahwa pemberian GM-CSF dapat meningkatkan granulosit
dan tidak terbukti dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan trombosit.
Terapi dengan eritropoetin dapat meningkatkan hemetokrit 25% penderita
sehingga kebutuhan akan transfusi menjadi jauh berkurang (Asharianti,
2007).
Lain-lain
Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk
pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan
kadang-kadang dapat memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat
kecil. Danazol 600 mg/hari/oral dapat memberikan response rate 21 – 33 %
setelah 3 minggu pengobatan (Asharianti, 2007).
1.6 Prognosis
MDS adalah kumpulan beberapa sindrom dengang sifat biologis yang berbeda-
beda sehingga prognosis MDS sangat bervariasi. Banyak faktor yang berperan
dalam prognosis MDS, antara lain klasifikasi, umur, jenis kelamin, kadar
jemoglobin, jumlah netrofil, jumlah trombosit, jumlah monosit, adanya sel
muda (blast) dalam sirkulasi, perubahan displastik dari sumsum tulang,
persentase sel blast dalam sumsum tulang, sitogenetik dan kultur dari sumsum
tulang (Itzykson, 2011). Sistem scoring menurut International Prognostic
Scoring System menggunakan analisis multivariat dengan mengkombinasikan
subklasifikasi dari sitogenetik, presentase sel blast sumsum tulang dan sitopenia
38
sehingga model ini memunginkan penilaian prognosis lebih baik dibandingkan
dengan beberapa sistem terdahulu (Itzykson, 2011).
Tabel 4. Survival and AML Evolution Score Value (Itzykson, 2011)
Prognosis variabel 0 0,5 1.0 1.5 2.0
Kriteria penilaian
Marrow blast (%) <5 5-10 - 11-20 21-30
Karyotype Good Intermediate Poor
Cytopenias 0-1 2-3
39
Daftar Pustaka
Almatsier, Sunita. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia
Asharianti A. 2007. Sindrom Dismielopoetik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MI (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1.
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Hal: 710-2
A.V. Hoffbrand, J. E. Petit , P.A.H. Moss. 2014 Kapita Selekta Hematologi Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brain BJ. 2003. Leukaemia Diagnosis. 3rd edition. Oxford: Blackwell Publishing.
P: 117.
Brazi A and Sekkeres MA 2010. Myelodiaplasiasyndrome: A Practical Approach
to diagnosis and treatment. Cleveland Clinical Journal Of Medicine
77(1):37-44.
Brunning RD, Bennet JM, Flandrin G, et al. 2001. Myelodiaplasiasyndromes.
IARC Press : 63-7.
Garcia TA.2013. Cytotoxic Necrotizing Factor 1 and Hemolysin from
Uropathogenic Escherichia coli Elicit Different Host Responses in the
Murine Bladder. Infect Immun. 2013 81(1): 99–109.
doi: 10.1128/IAI.00605-12
Itzykson R, dkk. 2011. Prognostic factors for response and overall survival in 282
patients with higher-risk myelodysplastic syndromes treated with
azacitidine. Blood. 2011 ;117(2):403-11. doi: 10.1182/blood-2010-06-
289280.
Leukaemia Foundation. 2009. Understanding Myelodisplastic Syndrome (MDS) :
A guide for patiens and families.
Mayasari Sianturi, Veronika. 2011. Analisis Diet Pada Pasien Pascabedah Sectio
caesarea di RSUD Sidikalang. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Rami SK and John HB.2009. What is ‘WHO?’: Myelodisplasia Syndrome
Classifications and Prognosis American Society Of Clinical
Oncology:413:9
Sandhya Yaddanapudi and LN Yaddanapudi. 2014. Indications for blood and blood
product transfusion. Indian J Anaesth. 58(5): 538–542.
doi: 10.4103/0019-5049.144648
Setiati S, Idrus A, Aru W, Marcellu S, Bambang S, Ari F. 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Internal Publishing.
Soekirman,2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
40
Steensma DP 2007 The Spectrum of Moleculer Aberrations in
myelodisplasiasynromes; in the Shadow of Acute Myeloid Leukemia
Hematologica (9):723-72.
41