Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun oleh :
Ahmad Shafwan (1610029029)
Pembimbing
dr. Yanti Evi Arlini Gultom, Sp.P
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul
“Pneumocystis Pneumonia (PCP)”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Yanti Evi Arlini Gultom, Sp.P, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Penyakit Dalam.
2. Seluruh pengajar yang telah memberi ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah memberi saran dan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata,”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri
untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Oktober, 2018
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terjadi infeksi HIV-AIDS dari berbagai
penjuru dunia. Data tahun 2000 dilaporkan 58 juta penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta
diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa
terinfeksi baru setiap harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di
akhir tahun 2005. Diperkirakan 4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di tahun 2005
dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan Asia (Fajar, 2013).
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis
jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan
salah satu penyebab kematian penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired
Immunodefi ciency Syndrome (AIDS). Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas
pada tahun 1909 dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan
bahwa Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P. jiroveci (derivat
manusia) dan P. carinii (derivate tikus percobaan) sehingga untuk manusia dinamakan
menjadi P. jirovecii pada tahun 2002 (Fajar, 2013).
Selama dekade 1980-an di Amerika Serikat diperkirakan 75% penderita Human
Immunodefi ciency Virus (HIV) akan menderita PCP selama hidupnya. Awal epidemik,
insidens PCP hampir 20 kasus per 100 penderita HIV dengan Cluster of differentiation 4
(CD4) kurang dari 200 sel/mm3. Profi laksis PCP yang dikenalkan pertama kali tahun 1989
dan penggunaan kombinasi terapi Anti Retroviral (ARV) tahun 1996 menurunkan insidens
PCP. Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa PCP menurun 3,4
% selama periode 1992-1995 dan turun 21,5% selama 1996-1998. Studi EuroSIDA
mendapatkan insidens PCP turun dari 4.9 kasus sebelum Maret 1995 menjadi 0,3 kasus per
100 penderita setelah Maret 1998. Pneumocystis pneumonia merupakan infeksi oportunistik
serius penderita HIV walaupun dilaporkan insidensnya menurun. Pneumocystis pneumonia
meningkat di negara dengan pendapatan kapita yang rendah sampai sedang. Sejumlah 38.6%
dari 83 penderita HIV di Uganda yang dirawat di RS dengan pneumonia dan pada
pemeriksaan sputum Batang Tahan Asam (BTA) negatif didiagnosis PCP dengan
pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL) (Fajar, 2013).
4
BAB 2
LAPORAN KASUS
Pasien masuk IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada tanggal 6/9/2018
diantar oleh keluarga.
2.1 Identitas pasien :
Nama : Tn. AM
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bung Tomo
Pekerjaan : Pegawai Toko Swalayan
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan ibu pasien, pemeriksaan fisik dilakukan pada
12 Oktober 2018 pukul 16.00 WITA di ruang Seruni RSUD AW.Sjahranie Samarinda.
Keluhan utama:
Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Hal ini dialami oleh pasien ± 2 bulan SMRS dan memberat dan terasa memberat dalam
1 bulan terakhir. Sesak dirasakan terutama malam hari tanpa pencetus yang jelas. Pasien
meresa lebih nyaman saat pasien duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk terus menerus sejak
3 bulan yang lalu. Keluhan batuk awal lebih terasa saat malam hari namun dalam 1 bulan
terakhir dirasakan terus menerus sepanjang hari. Batuk tidak disertai dahak bening yang cair
dalam jumlah minimal. Pasien juga mengeluhan demam saat sore hari dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi (sumer-sumer). Demam pertama kalimuncul bersamaan dengan
munculnya batuk. Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan yang signifikan dalan 2
bulan terakhir disertai mudah lemas tiap harinya. Tidak terdapat keluhan nyeri dada, mual,
muntah, gatal-gatal, dan suara parau pada pasien.
4 bulan yang SMRS pasien pernah menemani keluarganya saat dirawat di ruang rumah
sakit selama 2 minggu dan berdampingan dengan pasien yang dicurigai mendapat pengobatan
TB paru. Saat
Riwayat Penyakit dahulu:
5
Pasien memiliki riwayat penyakit asma bronchial sejak usia 5 tahun menjadi sesak
apabila terpapar debu dan dingin. Pasien teah melakukan hubungan seksual sejak usia 18
tahun dengan pasangan yang berbeda beda.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah Pasein yang memiliki riwayat DM . Tidak ada keluhan serupa pada anggota
keluarga serta terdapat riwayat atau penyakit jantung
Riwayat Pengobatan dan Kebiasaan
Tidak terdapat obat obat rutin yang dikosumsi oleh pasien. Pasien merokok sejak duduk
di SMA dan tidak mengkomsusi minuman beralkohol.
7
Elektrokardiogram
• 6 September 2018
8
Foto Thorax
• 28 September 2018
Kesimpulan:
o Persebungan dengan airbronchogram di
kedua lapangan paru mengesankan suatu
pneumonia
o Emphysema subcutis di region axilla
kanan kiri da supraclavicula kanan kiri
o Cor tak tampak kelainan
2.5 Diagnosis
Pneumocystis Pneumonia + TB Paru BTA (-) + Emfisema Subkutis + HIV/AIDS +
Hepatitis B
2.6 Penatalaksanaan
Lamivudin + Efavirenz + Nevirapine dalam 1 tablet 1 x 1
Ethambutol 1 x 1 tab
Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Fluconazole 1 x 1 tab
Nystatin 4 x 1 tab
Asam Folat 1 x 1 tab
Curcuma 3 x1 tab
Metamizole Sodium 3 x 1 amp
Ranitidin 2 x amp
Dexamethasone 3 x 1 amp
Codein 3 x 1 tab
Nebulizer salbutamol sulfat + ipratropium bromida / 8 jam
Paracetamol 3 x 1 amp
Asam Traneksamat 500 mg / 8 jam
Pasien dinyatakan MOS tanggal 13 Oktober 2018
9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.2. Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada
manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemidan terjadi
pada semua golongan umur. PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh
yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan
mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an,
PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita
ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan
dengan infeksi HIV lanjut (Hutagalung, 2008).
3.3. Taksonomi
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci. Pada
awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam golongan
protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub klas Coccidiomorpha ,
klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik
strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti
10
parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim +
sulfametoksazol. Berdasarkan pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan “freeze
fracture microscopy” memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah suatu protozoa.
Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA ribosom
dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci dimasukkan ke dalam golongan fungus (= jamur)
yang berhubungan erat dengan Askomikotina (Hutagalung, 2008).
11
Gambar 3.1. Siklus Hidup Pneumocystis jiroveci (Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier,
Gantois, & Dei-Cas, 2009).
12
susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel
dengan antibody (Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier, Gantois, & Dei-Cas, 2009).
14
takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif anak mau pun dewasa
onset penyakit berjalan cepat (Hutagalung, 2008).
3.7. Diagnosa
PCP mungkin sulit untuk didiagnosis karena gejala dan tanda yang nonspesifik.
Penggunaan obat profilaksis pada pengobatan HIV dan infeksi simultan dengan beberapa
organism (seperti cytomegalovirus) pada orang dengan immunocompromise dapat dicurigai
sebagai pengidap PCP. Oleh karena itu, Diagnosis PCP membutuhkan uji mikrobiologi untuk
mengidentigfikasi pneumocystis dari sumber relevant secara klinis seperti pemeriksaan
sputum, BAL, dan jaringan paru karena pneumocystis tidak dapat dikultur (Thomas &
Limper, 2018).
Sputum diinduksi dengagan NaCl memiliki hasil disanostik 50 sampai 90 persen dan
harus sebagai diagnostik awal utnuk mendiagnosis PCP. Jika spesimen awal dari sputum
tersebut negatif, harus dilakukan pengambilan Bronchoalveolar lavage (BAL) harus
dilakukan. Bentuk tropic dari pneumocystis dapat dideteksi dengan pewarnaan Papanicolaou
termodifikasi, Wright-Giemsa, atau Gram-Weight. Bentukan Kista dapat ditemukan dengan
pewarnaan Gomoti-methenamine silver, cresyl echt violet, toluidine blue O, atau calcofluor
white. Antibodi monoclonal untuk mengidentifikasi pneumcystis memiliki sensivitas dan
spesisfitas lebih tinggi dibandingkan pengecekan sputum dengan pewarnaan. Keuntungan
pemeriksaan antibody monoclonal adalah kemampuan untuk menemukan bentuk tropik dan
kista. Hal ini penting karena bentuk tropik secara umum lebih berlimpah selama infeksi PCP
(Thomas & Limper, 2018)
15
dari spesimen sputum dan BAL. Pada pasien dengan PCR positif pada spesimen tersebut
namun negatif pada pemeriksaan hapusan, pasien dapat direkomendasikan diberikan terapi
berdasarkan penatalaksanaan PCP jika terdapat status immunocompromise. Pemeriksaan PCR
pada serum darah tidak memberikan hasil yang baik (Thomas & Limper, 2018).
Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan penegakan diagnosis PCP selain
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan
radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus
ke perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan
daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (honey comb
appearance), kadang-kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax (Hutagalung,
2008).
Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya pola interstisial bilateral yang
homogen serta diffuse dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan. Namun, pada 1/3
kasus juga dapat ditemukan kondisi normal. Pada kasus seperti itulah pemeriksaan computed
tomography (CT) scan toraks cukup berperan. Pemeriksaan CT scan lebih sensitif
dibandingkan Rontgen toraks dalam mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT scan thoraks
akan ditemukan gambaran ground-glass appearance (crazy paving) dengan distribusi yang
tidak merata. Ground-glass appearance tersebut lebih dominan di daerah perihiler. Pada
keadaan yang lebih lanjut, akan ditemukan septal lines dengan atau tanpa intralobular lines
superimposed pada ground-glass appearance serta konsolidasi (Agustina, Efiyant,
Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
Alur diagnosis PCP dapat dilihat pada skema dibawah berikuti (Fajar, 2013):
16
Gambar 3.4. Alogaritma Diagnosis PCP (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, &
Rozaliyani, 2017).
Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - > 460 U / L –
atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi -
< 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sumsum tulang
(Hutagalung, 2008). PCP biasanyaterjadi pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV.
Dibutuhkan pemeriksaan lain pula analisis gas darah untuk menetukan derajat PCP (Fajar,
2013).
Diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut: keluhan sesak
napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan terakhir; gambaran foto toraks
berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau gambaran penyakit paru difus bilateral; tekanan
oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas difusi
rendah (kurang 80% prediksi) atau peningkatan AaDO2; tidak terbukti pneumonia bakterialis
(Fajar, 2013).
17
3.8. Penatalaksanaan
3.8.1. Pengobatan
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit lain, terdiri dari tata laksana
umum dan spesifik. Penyakit ringan dapat menjalani rawat jalan, diberikan terapi oral dan
dilakukan observasi. Pasien yang mengalami hipoksemia signifikan harus rawat inap untuk
mendapat terapi intravena dan bila memburuk dengan gejala gagal napas diindikasikan untuk
dirawat ruang terapi intensif (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati, 2008).
Tatalaksana umum berupa pemberian terapi suportif seperti pemberian oksigen dan
makanan. Oksigen diberikan untuk menjaga tekanan oksigen arteri (PaO2) di atas 70 mmHg.
Ventilator diperlukan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg. Pemberian bronkodilator dapat
dicoba walaupun tidak banyak membantu. Pasien harus dirawat dalam kamar terisolasi
(Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati, 2008).
Trimetoprim-sulfametoksasol (TMX-SMX) merupakan terapi yang paling efektif untuk
PCP. Cara kerja trimetoprim belum diketahui secara pasti, sedangkan sulfametoksasol dapat
menghambat sintesis folat pada pembentukan enzim dihydropteroate synthase (DHPS). Dosis
pemberian 15-20 mg/kg/hari untuk trimetoprim dan 75-100 mg/kg/hari untuk
sulfametoksasol, terbagi dalam 4 dosis, secara oral. Lama pengobatan 3 minggu untuk kasus
AIDS dan 2 minggu untuk kasus bukan AIDS (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
Wati, 2008).
Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan terapi dipercaya dapat meningkatkan
harapan hidup pada pasien anak dengan PCP derajat sedang dan berat. Kortikosteroid
bermanfaat untuk pasien PCP dengan HIV yang mengalami hipoksemia (PaO2 arteri <70
mmHg atau gradien alveolar-arteri >35). Pada keadaan ini, pasien harus diberikan prednison
60 mg/hari 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg/hari pada hari ke-6 sampai hari ke-
11, lalu 20 mg/hari pada hari ke-13 sampai hari ke-21. Pada pasien tanpa AIDS, namun
dengan PCP yang berat, pemberian prednisone 60 mg/lebih per hari memberikan hasil lebih
baik dibandingkan pemberian dosis rendah (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati,
2008).
Pada PCP derajat ringan penderita dapat diberikan TMX-SMX peroral 480 mg dua table
sehari selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respon membaik. Penderita dengan PCP derajat
sedang dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
TMX-SMX 480 mg dua tablet tiga kali sehari selama 21 hari (Fajar, 2013).
Pada PCP derajat berat pada orang dewasa direkomendasikan untuk memberikan
kortikosteroid sistemik dalam 72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik
18
perlu diberikan jika PaO2 <70 mmHg atau gradien oksigen alveolar-arteri lebih dari 35
mmHg. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah prednisolone 40 mg dua kali sehari per
oral pada hari ke 1-5 kemudian 40 mg satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan
prednisolone 20 mg satu kali sehari pada hari ke 11-21 (Agustina, Efiyant, Yunihastuti,
Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau gagal
terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana alternatif. Untuk
PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600mg empat kali per hari,
intravena atau oral dan primakuin 15 mg satu kali per hari, oral atau pentamidine 3-4mg/kg
satu kali per hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP ringan-sedang dapat
diberikan TMX 20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral dan dapsone 100 mg
satu kali per hari, oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan suspensi 750mg dua kali per
hari, oral selama 21 hari (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
Beratnya infeksi dan tingginya angka mortalitas pada PCP menjadikan pencegahan
sangat penting dilakukan pada kelompok yang berisiko. Trimetroprim-sulfametoksazole juga
merupakan pilihan utama profilaksis primer dan sekunder selain dapsone, atovaquone,
klindamisin-primakuin, dan pentamidine.
Pada pasien yang intoleran terhadap TMX-SMX dapat dilakukan desensitisasi. Proses
desensitisasi dapat dilakukan 2 minggu setelah reaksi alergi yang tidak berat (stadium 3 atau
kurang) yang menyebabkan interupsi temporer terhadap TMX-SMX. Desensitisasi tidak
19
boleh dilalukan pada pasien dengan riwayat reaksi hipersentivitas stadium 4 (Agustina,
Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
3.8.2. Profilaksis
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4 lebih dari 200
sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) pada penderita HIV dapat
menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Pasien HIV harus menerima kemoprofilaksis PCP
jika CD4 kurang dari 200 sel/ul atau terdapat riwayat kandidiasis orofaringeal.
Kemoprofilaksis direkomendasikan diberikan seumur hidup namun pemberiannya dapat
dihentikan pada pasien yang telah mendapat ARV dan CD4-nya meningkat dari < 200 sel/ul
menjadi > 200 sel/ul selama 3 bulan dan dilanjutkan kembali bila CD4 kembali < 200 sel/ ul.
Terdapat dua pendapat mengenai dosis profilaksis TMX-SMX untuk PCP yaitu 1x960mg per
oral dan 1x480mg per oral. Menurut penelitian, kedua dosis tersebut memiliki efektivitas
yang sama namun semakin besar dosis yang digunakan efek samping akan semakin kuat.
Selain itu, terdapat data bahwa profilaksis dengan regimen TMX-SMX 960mg tiga kali per
minggu sama efektifnya jika dibandingkan dengan pentamidine nebulizer atau dapsone dan
pirimetamin profilaksis namun kurang efektif jika dibandingkan dengan TMX-SMX
1x960mg. Pemberian regimen kedua dengan dosis Dapsone 100 mg peroral per hari atau
atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200
sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan (Fajar,
2013) (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
3.9. Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi/immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada penderita dengan
immunodefisiensi,persentase kematian dapat mencapai 100%. Namun bila infeksi dapat
didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian dapat
diturunkan hingga 10%. Sayang, sebagian besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah
pasien meninggal dunia pada pemeriksaan autopsy (Hutagalung, 2008).
20
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Anamnesis
Teori Fakta
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik KU: Sesak Nafas
demam yang tidak terlalu tinggi, dispnoe RPS: Sesak nafas dialami sejak 1 bulan
terutama saat beraktivitas, dan batuk non SMRS, sesak dirasakan terutama saat malam
produktif. Progresivitas gejala biasanya hari tanpa pencetus yang jelas, keluhan
perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan tersebut disertai batuk tidak berdahak dan
sampai berbula-bulan. (Calderon, Varela, demam saat sore hari dengan suhu yang
Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011). Pada tidak terlalu tinggi. Pasien juga mengeluhkan
penderita yang imunosupresif anak mau pun penurunan berat badan dan mudah lemas.
dewasa onset penyakit berjalan cepat RPD: Riwayat berkontak dengan pasien TB
(Hutagalung, 2008). paru (+). Pasien juga memiliki riwayat asma
bronchial saat terkena debu. Pasien
berhubungunan badan dengan pasangan yang
berbeda beda.
21
Teori Fakta
Pemeriksaan sputum dengan induksi NaCl Lab 6/9/2018
memiliki hasil diagnostic 50-90% dan menjandi L: 6280 Hb: 9,9 Ht: 29,9 T: 512.000
diagnosis awal PCP. Spesimen dapat diambil dari Analisis gas darah
sputum atau hapusan carian bronkoalvelar dan pCO2: 36,9 pO2 131,9 HCO3: 29,4
menemukan salah satu siklus hidup Pnemunocystis Imunologi
jiroveci (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, CD4: 5 Xpert MTB-Rif Assay G4: (-)
2011). BTA: (-) Hepatitis B: (+) HIV: (+)
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan Radiologi Foto Thorax
rontgen yang menemukan gambaran “honey comb o Persebungan dengan
appearance”. Selain itu, CT scan dapat menjadi airbronchogram di kedua lapangan
pilihan diagnosis (Calderon, Varela, Durand-Joly, & paru mengesankan suatu
Dei-Cas, 2011). pneumonia
Pemeriksaan analsis gas darah dengan melihat o Emphysema subcutis di region
pO2 untuk menentukan derajat PCP. Pada deraja axilla kanan kiri da supraclavicula
ringan dapat ditemukan pO2 dengan kadar lebih 70 kanan kiri
mmHg. Selain itu kadar CD4 yang kurang dari 200 o Cor tak tampak kelainan
sel/mm3 dapat menjadi patokan pemberian terapi Hapusan Sputum tidak dilakukakn
profilaksis PCP (Calderon, Varela, Durand-Joly, &
Dei-Cas, 2011).
4.4. Diagnosis
Teori Fakta
Alur diagnosis PCP dilakukan dengan alogaritma Berdasarkan data klinis yang
yaitu dimulai secara berurutan dari penilaian klinis, ditemukan pasien didiagnosis PCP +
rontgen thoraks, induksi sputum, penilaian TB Paru BTA (-) + Emfisema
immunologi, dan lalu pemeriksaan BAL (Agustina, Subkutis + HIV/AIDS + Hepatitis B
Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
4.5. Penatalaksanaan
Teori Fakta
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit Lamivudin + Efavirenz +
lain, terdiri dari tata laksana umum dan spesifik. Tatalaksana Nevirapine dalam 1 tablet
22
umum berupa pemberian terapi suportif seperti pemberian 1x1
oksigen dan makanan. Ethambutol 1 x 1 tab
Terapi spesfik dari PCP yaitu pemberian antibiotik. Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Trimetoprim-sulfametoksasol (TMX-SMX) merupakan terapi Fluconazole 1 x 1 tab
yang paling efektif untuk PCP. Dosis pemberian 15-20 Nystatin 4 x 1 tab
mg/kg/hari untuk trimetoprim dan 75-100 mg/kg/hari untuk Asam Folat 1 x 1 tab
sulfametoksasol, terbagi dalam 4 dosis, secara oral. Lama Curcuma 3 x1 tab
pengobatan 3 minggu untuk kasus AIDS dan 2 minggu untuk Metamizole Sodium 3 x 1
kasus bukan AIDS. Lini kedua pengobatan PCP dapat berupa amp
primakuin, klindamisin, atovakuin, dan pentamidin. Pada PCP
Ranitidin 2 x amp
derajat ringan penderita dapat diberikan TMX-SMX peroral
Dexamethasone 3 x 1
480 mg dua table sehari selama 21 hari atau cukup 14 hari jika
amp
respon membaik. (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
Codein 3 x 1 tab
Wati, 2008).
Nebulizer salbutamol
Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan terapi
sulfat + ipratropium
dipercaya dapat meningkatkan harapan hidup pada pasien anak
bromida / 8 jam
dengan PCP derajat sedang dan berat. Kortikosteroid
Paracetamol 3 x 1 amp
bermanfaat untuk pasien PCP dengan HIV yang mengalami
Asam Traneksamat 500
hipoksemia (PaO2 arteri <70 mmHg atau gradien alveolar-
mg / 8 jam
arteri >35). Pada keadaan ini, pasien harus diberikan prednison
60 mg/hari 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg/hari
pada hari ke-6 sampai hari ke-11, lalu 20 mg/hari pada hari ke-
13 sampai hari ke-21 (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
Wati, 2008).
23
BAB 5
KESIMPULAN
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi HIV/AIDS. Transmisi
orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection” dan kontak langsung.
Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi melalui inhalasi. Diduga mekanisme
infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP meliputi triad klasik
demam yang tidak terlalu tinggi, dispnoe terutama saat beraktivitas, dan batuk non produktif.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, Bronchoalveolar
lavage (BAL), maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran
infiltrate bilateral simetris dan “honey comb appearance”. Pada darah dijumpai kadar LDH
yang meninggi, > 460 U/ L atau Pa O2 < 75 mmHg.
Pengobatan PCP dapat berdasarkan derajatnya dan kebutuhannya. Penatalaksanan PCP
terdiri dari terapi umum yaitu untuk menangani masalah pernafasan dan terapi spesifik.
Regimen lini pertama yang dipakai yaitu kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol yang
dapat diberikan bersaman dengan kortikosteroid. Pemberin kemoprofilaksis diberikan pada
pasien dengan immunodefisiensi seperti pasien HIV/AIDS dengan kadar CD4 kurang dari
200 sel/mm3. Prognosis PCP ditentukan oleh derajat dan status immunologi pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, D. R., Efiyant, C., Yunihastuti, E., Ujainah, A., & Rozaliyani, A. (2017). Diagnosis
dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis Jirovecii
Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia,
209-213.
Aliouat-Denis, C.-M., Anna Martinez, E. M., Pottier, M., Gantois, N., & Dei-Cas, E. (2009).
The Pneumocystis Life Cycle. Mem Inst Oswaldo Cruz, 1-8.
Calderon, E. J., Varela, J. M., Durand-Joly, I., & Dei-Cas, E. (2011). Pneumocystis Jirovecii
Pneumonia. Nova Science Publishers, 1-35.
Fajar, M. Y. (2013). Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus.
Cermin Dunia Kedokteran, 253-256.
Gustawan, I. W., Arhana, B., Purniti, P. S., Subanada, I., & Wati, K. D. (2008). Pneumonia
Pneumosistis. Sari Pediatri, 328-334.
Hutagalung, S. V. (2008). Pneumocystis Carinii Pneumonia. Jurnal FK USU, 1-14.
Kambugu, A. D. (2014). Pneumocystis CariniiPneumonia (PCP) in the HAART Era. SA HIV
Clinicians Society Conference (pp. 1-18). Cape Town: Makerere University College of
Health Sciences.
Thomas, C. F., & Limper, A. H. (2018). Pneumocystis Pneumonia. The New England Journal
of Medicine, 1-12.
25