Anda di halaman 1dari 25

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Disusun oleh :
Ahmad Shafwan (1610029029)

Pembimbing
dr. Yanti Evi Arlini Gultom, Sp.P

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul
“Pneumocystis Pneumonia (PCP)”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan refleksi kasus ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Yanti Evi Arlini Gultom, Sp.P, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase
Penyakit Dalam.
2. Seluruh pengajar yang telah memberi ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah memberi saran dan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata,”Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka diri
untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Oktober, 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................................... 1


Kata Pengantar ........................................................................................................................... 2
Pendahuluan ............................................................................................................................... 4
Laporan Kasus ........................................................................................................................... 5
Tinjauan Pustaka ...................................................................................................................... 10
Pembahasan.............................................................................................................................. 21
Kesimpulan .............................................................................................................................. 24
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 25

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terjadi infeksi HIV-AIDS dari berbagai
penjuru dunia. Data tahun 2000 dilaporkan 58 juta penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta
diantaranya meninggal akibat AIDS. Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa
terinfeksi baru setiap harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di
akhir tahun 2005. Diperkirakan 4,9 juta manusia terdiagnosis infeksi HIV di tahun 2005
dengan 95% terjadi di Afrika, Eropa Timur dan Asia (Fajar, 2013).
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis
jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan
salah satu penyebab kematian penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired
Immunodefi ciency Syndrome (AIDS). Pneumocystis pertama kali dikemukakan oleh Chagas
pada tahun 1909 dan digolongkan sebagai protozoa. Analisis DNA tahun 1988 menjelaskan
bahwa Pneumocystis adalah jamur. Terdapat perbedaan DNA antara P. jiroveci (derivat
manusia) dan P. carinii (derivate tikus percobaan) sehingga untuk manusia dinamakan
menjadi P. jirovecii pada tahun 2002 (Fajar, 2013).
Selama dekade 1980-an di Amerika Serikat diperkirakan 75% penderita Human
Immunodefi ciency Virus (HIV) akan menderita PCP selama hidupnya. Awal epidemik,
insidens PCP hampir 20 kasus per 100 penderita HIV dengan Cluster of differentiation 4
(CD4) kurang dari 200 sel/mm3. Profi laksis PCP yang dikenalkan pertama kali tahun 1989
dan penggunaan kombinasi terapi Anti Retroviral (ARV) tahun 1996 menurunkan insidens
PCP. Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa PCP menurun 3,4
% selama periode 1992-1995 dan turun 21,5% selama 1996-1998. Studi EuroSIDA
mendapatkan insidens PCP turun dari 4.9 kasus sebelum Maret 1995 menjadi 0,3 kasus per
100 penderita setelah Maret 1998. Pneumocystis pneumonia merupakan infeksi oportunistik
serius penderita HIV walaupun dilaporkan insidensnya menurun. Pneumocystis pneumonia
meningkat di negara dengan pendapatan kapita yang rendah sampai sedang. Sejumlah 38.6%
dari 83 penderita HIV di Uganda yang dirawat di RS dengan pneumonia dan pada
pemeriksaan sputum Batang Tahan Asam (BTA) negatif didiagnosis PCP dengan
pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL) (Fajar, 2013).

4
BAB 2
LAPORAN KASUS

Pasien masuk IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada tanggal 6/9/2018
diantar oleh keluarga.
2.1 Identitas pasien :
 Nama : Tn. AM
 Umur : 24 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. Bung Tomo
 Pekerjaan : Pegawai Toko Swalayan

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan ibu pasien, pemeriksaan fisik dilakukan pada
12 Oktober 2018 pukul 16.00 WITA di ruang Seruni RSUD AW.Sjahranie Samarinda.
Keluhan utama:
Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Hal ini dialami oleh pasien ± 2 bulan SMRS dan memberat dan terasa memberat dalam
1 bulan terakhir. Sesak dirasakan terutama malam hari tanpa pencetus yang jelas. Pasien
meresa lebih nyaman saat pasien duduk. Pasien juga mengeluhkan batuk terus menerus sejak
3 bulan yang lalu. Keluhan batuk awal lebih terasa saat malam hari namun dalam 1 bulan
terakhir dirasakan terus menerus sepanjang hari. Batuk tidak disertai dahak bening yang cair
dalam jumlah minimal. Pasien juga mengeluhan demam saat sore hari dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi (sumer-sumer). Demam pertama kalimuncul bersamaan dengan
munculnya batuk. Pasien juga mengeluhkan penurunan berat badan yang signifikan dalan 2
bulan terakhir disertai mudah lemas tiap harinya. Tidak terdapat keluhan nyeri dada, mual,
muntah, gatal-gatal, dan suara parau pada pasien.
4 bulan yang SMRS pasien pernah menemani keluarganya saat dirawat di ruang rumah
sakit selama 2 minggu dan berdampingan dengan pasien yang dicurigai mendapat pengobatan
TB paru. Saat
Riwayat Penyakit dahulu:

5
Pasien memiliki riwayat penyakit asma bronchial sejak usia 5 tahun menjadi sesak
apabila terpapar debu dan dingin. Pasien teah melakukan hubungan seksual sejak usia 18
tahun dengan pasangan yang berbeda beda.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah Pasein yang memiliki riwayat DM . Tidak ada keluhan serupa pada anggota
keluarga serta terdapat riwayat atau penyakit jantung
Riwayat Pengobatan dan Kebiasaan
Tidak terdapat obat obat rutin yang dikosumsi oleh pasien. Pasien merokok sejak duduk
di SMA dan tidak mengkomsusi minuman beralkohol.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal : 12 Oktober 2018
Keadaan Umum
• Kesan sakit : Sakit sedang
• Kesadaran : GCS E4V5M6
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
• Frekuensi nadi : 104 x/menit, reguler, kuat angkat
• Frekuensi napas : 32 x/menit, reguler
• Suhu aksiler : 38,0⁰C
Kepala
• Conjunctiva anemis (+/+), skera ikterik (-/-), pupil (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
Leher
• Pembesaran kelenjar : Supraclavicular (-/-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Pulmo
• Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan dada simetris, retraksi (+)
• Palpasi : Krepitasi (-), pergerakan dada simetris
• Perkusi : Sonor
• Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (+++/+++),, wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea midclavicula sinistra
• Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
• Perkusi : Batas Kanan = ICS III linea parasternal dextra
Batas Kiri = ICS V linea aksilaris anterior sinistra
6
• Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : distended (-), scar (-),
• Palpasi : soefl, defans muskular (-), hepatomegali (-), nyeri tekan (-)
• Perkusi : asites (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
• Akral hangat, sianosis (-), clubbing finger (+), edema (+) pada kedua tungkai, CRT <2
detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah

6/9/2018 7/9/2018 13/9/2018


Leukosit 6280 GDS 76 SGOT SGPT
Hemoglobin 9,9 Billirubin Total 0,5 83 105
Hematokrit 29,9 Bilirubin Direct 0,4 21/9/2018
Trombosit 512.000 Bilirubin Indrect 0,1 SGOT SGPT
GDS 68 Albumin 2,5 72 209
Ureum 68 Cholesterol 144 24/9/2018
Creatinine 22,9 Asam Urat 5,7 SGOT SGPT
Natrium 133 Ureum 69 230
Kalium 4,1 Creatinine 0,5 20/9/2018
Cloride 100 SGOT 122 SGOT SGPT
HbsAg Reaktif SGPT 202 66 205
Ab HIV Reaktif CD4 5 9/10/2018
Analisis Gas Darah 12/9/2018 SGOT SGPT
pH 7,51 Xpert MTB-Rif Negatif 47 101
pCO2 36,9 Assay G4 Pemeriksaan BTA
pO2 131,9 BTA Negatif
HCO3 29,4

7
Elektrokardiogram
• 6 September 2018

8
Foto Thorax
• 28 September 2018
Kesimpulan:
o Persebungan dengan airbronchogram di
kedua lapangan paru mengesankan suatu
pneumonia
o Emphysema subcutis di region axilla
kanan kiri da supraclavicula kanan kiri
o Cor tak tampak kelainan

2.5 Diagnosis
Pneumocystis Pneumonia + TB Paru BTA (-) + Emfisema Subkutis + HIV/AIDS +
Hepatitis B

2.6 Penatalaksanaan
 Lamivudin + Efavirenz + Nevirapine dalam 1 tablet 1 x 1
 Ethambutol 1 x 1 tab
 Cotrimoxazole 2 x 2 tab
 Fluconazole 1 x 1 tab
 Nystatin 4 x 1 tab
 Asam Folat 1 x 1 tab
 Curcuma 3 x1 tab
 Metamizole Sodium 3 x 1 amp
 Ranitidin 2 x amp
 Dexamethasone 3 x 1 amp
 Codein 3 x 1 tab
 Nebulizer salbutamol sulfat + ipratropium bromida / 8 jam
 Paracetamol 3 x 1 amp
 Asam Traneksamat 500 mg / 8 jam
Pasien dinyatakan MOS tanggal 13 Oktober 2018

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi & Etiologi


Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) merupakan infeksi pada paru yang disebabkan
oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama Pneumocystis jiroveci,
sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi berkebangsaan Cechnya; Otto Jirovec.
Organisme ini pertama kali ditemukan oleh Chagas (1909). Pada tahun 1915 Carini dan
Maciel menemukan organisme ini pada paru guinea pig, awalnya diduga sebagai salah satu
tahap dalam siklus hidup Trypanosoma cruzi. Pada tahun 1942, Meer dan Brug pertama kali
menyatakan bahwa organisme ini merupakan salah satu jenis parasit yang patogen pada
manusia. Baru pada tahun 1952 Vanek bekerjasama dengan Otto Jirovec menggambarkan
siklus paru dan patologi dari penyakit yang kemudian dikenal sebagai “parasitic pneumonia”
atau “pneumonia sel plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia)” ini. Sekarang
penyakit ini merupakan infeksi oportunis berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien
AIDS (Hutagalung, 2008).

3.2. Epidemiologi
Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada
manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemidan terjadi
pada semua golongan umur. PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh
yang menurun, seperti pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan
mengalami malnutrisi (kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an,
PCP jarang terjadi dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita
ALL (Acute Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid. Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan
dengan infeksi HIV lanjut (Hutagalung, 2008).

3.3. Taksonomi
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci. Pada
awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam golongan
protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub klas Coccidiomorpha ,
klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik
strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif terhadap preparat obat anti

10
parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin, sulfadiazine, trimetoprim +
sulfametoksazol. Berdasarkan pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan “freeze
fracture microscopy” memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah suatu protozoa.
Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA ribosom
dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci dimasukkan ke dalam golongan fungus (= jamur)
yang berhubungan erat dengan Askomikotina (Hutagalung, 2008).

3.4. Morfologi dan siklus hidup


Silkus hidup Pneumocystis jiroveci menjadi 3 stadium, yaitu :
3.4.1. Stadium trofozoit/ tropik
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 µ dan memperbanyak diri secara
mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai berikut :
berdinding tipis (20 – 40 µ) dengan beberapa ekspansi tubular yang disebut sebagai
filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat lebih dari 2 inti;
mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda bulat (round bodies dan
vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma biru
terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine
orange” (Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier, Gantois, & Dei-Cas, 2009).
Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding tebal,
berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber menyatakan
“intracystic bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang). Trofozoit yang besar
menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding tipis yang sama dengan trofozoit
yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan pseudopodium sehingga berbentuk ameboid
(Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier, Gantois, & Dei-Cas, 2009).

3.4.2. Stadium prakista


Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran 3 – 5 µ
dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 µ) dengan jumlah inti 1 – 8. Dengan
mikroskop, bentuk ini sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal
dari stadium prakista dapat diwarnai dengan “methenamine silver” (Aliouat-Denis, Anna
Martinez, Pottier, Gantois, & Dei-Cas, 2009).

11
Gambar 3.1. Siklus Hidup Pneumocystis jiroveci (Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier,
Gantois, & Dei-Cas, 2009).

3.4.3. Stadium kista


Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto dan
Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan mikroskop fase
kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat dengan diameter 3,5 - 12 µ (kurang lebih 6 µ),
mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang berkembang (“intracystic bodies”)yang
berdiameter 1 – 1,5µ. Sporozoit tersebut dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau
kadang – kadang terlihat kista berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen
atau bervakuol. Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau dengan cara Gram –
Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk melihat bagian – bagian dari parasit. Kapsul
berwarna ungu merah, sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista yang tidak mengambil
warna dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk menemukan kista, pewarnaan yang
paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi dengan warna ini tidak mungkin diperiksa

12
susunan dalam kista secara detail. Kista dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel
dengan antibody (Aliouat-Denis, Anna Martinez, Pottier, Gantois, & Dei-Cas, 2009).

3.5. Patogenesis dan patologi


Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir semua orang telah
pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak – kanak sebelum berusia 4 tahun.
Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory
droplet infection” (tertelan ludah) dan kontak langsung, dengan kista sebagai bentuk infektif
pada manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi dari orang ke orang melalui
inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat terjadi secara “in utero” dari ibu kepada bayi
yang dikandungnya, namun dengan trofozoit sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi
ekstrinsik ( = prepaten period) diperkirakan 20 -30 hari dengan durasi serangan selama 1 – 4
minggu. Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah
pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi terhadap
jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten
(Hutagalung, 2008) (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).
Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan tempat primer infeksi,
biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi dilaporkan bahwa infeksi
Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar getah
bening dan sum – sum tulang. Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada
sel alveolar tipe I. Di paru, pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel
alveolar. Pneumocystis jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukan
eksudat yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang alveolar, mengandung histiosit,
limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga
menurunkan oksigenasi, interstisium menebal dan kemudian fibrosis. Pada akhirnya hal ini
mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang terjadi karena
blokade alveoli dan bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi tadi (Hutagalung, 2008)
(Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).
Pada autopsi ditemukan paru bertambah berat dan volumenya bertambah besar, pleura
agak menebal. Penampang irisan paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta septum
alveolus yang jelas. Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan sel
mononukleus dan sel plasma juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut “Pneumonia sel
plasma interstisial”. Dinding alveolus menebal dan alveolus berisi eksudat yang amorf dan
eosinofilik – memberi gambaran seperti sarang lebah (honeycomb appearance)-, yang
13
mengandung histiosit dan limfosit, sel plasma dan organisme itu sendiri. Tetapi pneumonia
pneumosistis pada penderita agamaglobulinemia atau dengan imunosupresi, eksudat yang
khas mungkin tidak ditemukan karena tidak ada limfosit B (Hutagalung, 2008) (Calderon,
Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).
Infeksi Pneumocystis jiroveci ditemukan dalam paru hospes dan biasanya terbatas di
lumen alveolus. Ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa Pneumocystis jiroveci
terdapat di dalam kapiler alveolus, septum interalveolus interstisial dan sel epitel
(Hutagalung, 2008) (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).

3.6. Manifestasi Klinis


Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam yang tidak terlalu tinggi, dispnoe terutama
saat beraktivitas, dan batuk non produktif. Progresivitas gejala biasanya perlahan, dapat
berminggu-minggu bahkan sampai berbula-bulan. Semakin lama dispnoe akan bertambah
hebat, disertai takipnoe – frekwensi pernafasan meningkat sampai 90-120 x/menit, sampai
terjadi sianosis (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).
Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik. Saat auskultasi
dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan apapun. Pada 2-4 % kasus,
PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-
Cas, 2011).
Secara klinis PCP dapat dibagi berdasarkan derajatnya yaitu:

Tabel 3.1. Derajat PCP


Derajat Kriteria
Berat Sesak napas pada waktu istirahat atau PaO2 kurang dari 50 mmHg dalam suhu
ruangan
Sedang Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 antara 50-70 mmHg pada suhu ruangan saat
istirahat, AaDO2 lebih dari 30 mmHg atau saturasi oksigen kurang 94%.
Ringan Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 lebih 70 mmHg pada suhu kamar saat
istirahat.

Pada penderita anak–anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan


perlahan, dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to thrive), yang akhirnya diikuti

14
takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif anak mau pun dewasa
onset penyakit berjalan cepat (Hutagalung, 2008).

3.7. Diagnosa
PCP mungkin sulit untuk didiagnosis karena gejala dan tanda yang nonspesifik.
Penggunaan obat profilaksis pada pengobatan HIV dan infeksi simultan dengan beberapa
organism (seperti cytomegalovirus) pada orang dengan immunocompromise dapat dicurigai
sebagai pengidap PCP. Oleh karena itu, Diagnosis PCP membutuhkan uji mikrobiologi untuk
mengidentigfikasi pneumocystis dari sumber relevant secara klinis seperti pemeriksaan
sputum, BAL, dan jaringan paru karena pneumocystis tidak dapat dikultur (Thomas &
Limper, 2018).
Sputum diinduksi dengagan NaCl memiliki hasil disanostik 50 sampai 90 persen dan
harus sebagai diagnostik awal utnuk mendiagnosis PCP. Jika spesimen awal dari sputum
tersebut negatif, harus dilakukan pengambilan Bronchoalveolar lavage (BAL) harus
dilakukan. Bentuk tropic dari pneumocystis dapat dideteksi dengan pewarnaan Papanicolaou
termodifikasi, Wright-Giemsa, atau Gram-Weight. Bentukan Kista dapat ditemukan dengan
pewarnaan Gomoti-methenamine silver, cresyl echt violet, toluidine blue O, atau calcofluor
white. Antibodi monoclonal untuk mengidentifikasi pneumcystis memiliki sensivitas dan
spesisfitas lebih tinggi dibandingkan pengecekan sputum dengan pewarnaan. Keuntungan
pemeriksaan antibody monoclonal adalah kemampuan untuk menemukan bentuk tropik dan
kista. Hal ini penting karena bentuk tropik secara umum lebih berlimpah selama infeksi PCP
(Thomas & Limper, 2018)

Gambar 3.2. Pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL) (Fajar, 2013).

Penggunaan polymerase chain reaction (PCR) untuk medeteksi asam nukleus


pneumocystis menunjukkan sensitivitas dan spesifitas lebih baik untuk mendiagnosis PCP

15
dari spesimen sputum dan BAL. Pada pasien dengan PCR positif pada spesimen tersebut
namun negatif pada pemeriksaan hapusan, pasien dapat direkomendasikan diberikan terapi
berdasarkan penatalaksanaan PCP jika terdapat status immunocompromise. Pemeriksaan PCR
pada serum darah tidak memberikan hasil yang baik (Thomas & Limper, 2018).
Pemeriksaan radiologi juga dapat mengarahkan penegakan diagnosis PCP selain
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan
radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral simetris, mulai dari hilus
ke perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan kolaps, diselingi dengan
daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti sarang tawon (honey comb
appearance), kadang-kadang terjadi emfisema mediastinal di pneumothorax (Hutagalung,
2008).
Pemeriksaan foto toraks dapat menunjukan adanya pola interstisial bilateral yang
homogen serta diffuse dapat juga disertai dengan pneumotoraks spontan. Namun, pada 1/3
kasus juga dapat ditemukan kondisi normal. Pada kasus seperti itulah pemeriksaan computed
tomography (CT) scan toraks cukup berperan. Pemeriksaan CT scan lebih sensitif
dibandingkan Rontgen toraks dalam mendeteksi PCP. Pada pemeriksaan CT scan thoraks
akan ditemukan gambaran ground-glass appearance (crazy paving) dengan distribusi yang
tidak merata. Ground-glass appearance tersebut lebih dominan di daerah perihiler. Pada
keadaan yang lebih lanjut, akan ditemukan septal lines dengan atau tanpa intralobular lines
superimposed pada ground-glass appearance serta konsolidasi (Agustina, Efiyant,
Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).

Gambar 3.3. Radiologi pada Pasien PCP (Kambugu, 2014)

Alur diagnosis PCP dapat dilihat pada skema dibawah berikuti (Fajar, 2013):

16
Gambar 3.4. Alogaritma Diagnosis PCP (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, &
Rozaliyani, 2017).

Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - > 460 U / L –
atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg. Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi -
< 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati, kelenjar getah bening dan sumsum tulang
(Hutagalung, 2008). PCP biasanyaterjadi pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV.
Dibutuhkan pemeriksaan lain pula analisis gas darah untuk menetukan derajat PCP (Fajar,
2013).
Diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut: keluhan sesak
napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan terakhir; gambaran foto toraks
berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau gambaran penyakit paru difus bilateral; tekanan
oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas difusi
rendah (kurang 80% prediksi) atau peningkatan AaDO2; tidak terbukti pneumonia bakterialis
(Fajar, 2013).

17
3.8. Penatalaksanaan
3.8.1. Pengobatan
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit lain, terdiri dari tata laksana
umum dan spesifik. Penyakit ringan dapat menjalani rawat jalan, diberikan terapi oral dan
dilakukan observasi. Pasien yang mengalami hipoksemia signifikan harus rawat inap untuk
mendapat terapi intravena dan bila memburuk dengan gejala gagal napas diindikasikan untuk
dirawat ruang terapi intensif (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati, 2008).
Tatalaksana umum berupa pemberian terapi suportif seperti pemberian oksigen dan
makanan. Oksigen diberikan untuk menjaga tekanan oksigen arteri (PaO2) di atas 70 mmHg.
Ventilator diperlukan bila PaO2 kurang dari 60 mmHg. Pemberian bronkodilator dapat
dicoba walaupun tidak banyak membantu. Pasien harus dirawat dalam kamar terisolasi
(Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati, 2008).
Trimetoprim-sulfametoksasol (TMX-SMX) merupakan terapi yang paling efektif untuk
PCP. Cara kerja trimetoprim belum diketahui secara pasti, sedangkan sulfametoksasol dapat
menghambat sintesis folat pada pembentukan enzim dihydropteroate synthase (DHPS). Dosis
pemberian 15-20 mg/kg/hari untuk trimetoprim dan 75-100 mg/kg/hari untuk
sulfametoksasol, terbagi dalam 4 dosis, secara oral. Lama pengobatan 3 minggu untuk kasus
AIDS dan 2 minggu untuk kasus bukan AIDS (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
Wati, 2008).
Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan terapi dipercaya dapat meningkatkan
harapan hidup pada pasien anak dengan PCP derajat sedang dan berat. Kortikosteroid
bermanfaat untuk pasien PCP dengan HIV yang mengalami hipoksemia (PaO2 arteri <70
mmHg atau gradien alveolar-arteri >35). Pada keadaan ini, pasien harus diberikan prednison
60 mg/hari 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg/hari pada hari ke-6 sampai hari ke-
11, lalu 20 mg/hari pada hari ke-13 sampai hari ke-21. Pada pasien tanpa AIDS, namun
dengan PCP yang berat, pemberian prednisone 60 mg/lebih per hari memberikan hasil lebih
baik dibandingkan pemberian dosis rendah (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, & Wati,
2008).
Pada PCP derajat ringan penderita dapat diberikan TMX-SMX peroral 480 mg dua table
sehari selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respon membaik. Penderita dengan PCP derajat
sedang dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
TMX-SMX 480 mg dua tablet tiga kali sehari selama 21 hari (Fajar, 2013).
Pada PCP derajat berat pada orang dewasa direkomendasikan untuk memberikan
kortikosteroid sistemik dalam 72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik
18
perlu diberikan jika PaO2 <70 mmHg atau gradien oksigen alveolar-arteri lebih dari 35
mmHg. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah prednisolone 40 mg dua kali sehari per
oral pada hari ke 1-5 kemudian 40 mg satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan
prednisolone 20 mg satu kali sehari pada hari ke 11-21 (Agustina, Efiyant, Yunihastuti,
Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau gagal
terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana alternatif. Untuk
PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600mg empat kali per hari,
intravena atau oral dan primakuin 15 mg satu kali per hari, oral atau pentamidine 3-4mg/kg
satu kali per hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP ringan-sedang dapat
diberikan TMX 20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral dan dapsone 100 mg
satu kali per hari, oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan suspensi 750mg dua kali per
hari, oral selama 21 hari (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).
Beratnya infeksi dan tingginya angka mortalitas pada PCP menjadikan pencegahan
sangat penting dilakukan pada kelompok yang berisiko. Trimetroprim-sulfametoksazole juga
merupakan pilihan utama profilaksis primer dan sekunder selain dapsone, atovaquone,
klindamisin-primakuin, dan pentamidine.

Tabel 3.2. Obat obat untuk PCP (Fajar, 2013).


Jenis Obat Dosis Cara Pemakaian
TMX- 15-20 mg/kgBB Peroral
SMX 75-100 mg/kgBB
setiap hari dalam 3 dosis
Primakuin Plus 30 mg tiga kali sehari Peroral
Klindamisin 600 mg tiga kali sehari Peroral
Atovakuin 750 mg dua kali sehari Peroral
Pentamidin 4 mg/ kgBB setiap hari Intravena
600 mg setiap hari Peroral

Pada pasien yang intoleran terhadap TMX-SMX dapat dilakukan desensitisasi. Proses
desensitisasi dapat dilakukan 2 minggu setelah reaksi alergi yang tidak berat (stadium 3 atau
kurang) yang menyebabkan interupsi temporer terhadap TMX-SMX. Desensitisasi tidak

19
boleh dilalukan pada pasien dengan riwayat reaksi hipersentivitas stadium 4 (Agustina,
Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).

3.8.2. Profilaksis
Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4 lebih dari 200
sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) pada penderita HIV dapat
menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Pasien HIV harus menerima kemoprofilaksis PCP
jika CD4 kurang dari 200 sel/ul atau terdapat riwayat kandidiasis orofaringeal.
Kemoprofilaksis direkomendasikan diberikan seumur hidup namun pemberiannya dapat
dihentikan pada pasien yang telah mendapat ARV dan CD4-nya meningkat dari < 200 sel/ul
menjadi > 200 sel/ul selama 3 bulan dan dilanjutkan kembali bila CD4 kembali < 200 sel/ ul.
Terdapat dua pendapat mengenai dosis profilaksis TMX-SMX untuk PCP yaitu 1x960mg per
oral dan 1x480mg per oral. Menurut penelitian, kedua dosis tersebut memiliki efektivitas
yang sama namun semakin besar dosis yang digunakan efek samping akan semakin kuat.
Selain itu, terdapat data bahwa profilaksis dengan regimen TMX-SMX 960mg tiga kali per
minggu sama efektifnya jika dibandingkan dengan pentamidine nebulizer atau dapsone dan
pirimetamin profilaksis namun kurang efektif jika dibandingkan dengan TMX-SMX
1x960mg. Pemberian regimen kedua dengan dosis Dapsone 100 mg peroral per hari atau
atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis dihentikan bila CD4 lebih dari 200
sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan (Fajar,
2013) (Agustina, Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).

3.9. Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi/immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada penderita dengan
immunodefisiensi,persentase kematian dapat mencapai 100%. Namun bila infeksi dapat
didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian dapat
diturunkan hingga 10%. Sayang, sebagian besar kasus PCP bahkan baru terdiagnosa setelah
pasien meninggal dunia pada pemeriksaan autopsy (Hutagalung, 2008).

20
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1. Anamnesis
Teori Fakta
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik KU: Sesak Nafas
demam yang tidak terlalu tinggi, dispnoe RPS: Sesak nafas dialami sejak 1 bulan
terutama saat beraktivitas, dan batuk non SMRS, sesak dirasakan terutama saat malam
produktif. Progresivitas gejala biasanya hari tanpa pencetus yang jelas, keluhan
perlahan, dapat berminggu-minggu bahkan tersebut disertai batuk tidak berdahak dan
sampai berbula-bulan. (Calderon, Varela, demam saat sore hari dengan suhu yang
Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011). Pada tidak terlalu tinggi. Pasien juga mengeluhkan
penderita yang imunosupresif anak mau pun penurunan berat badan dan mudah lemas.
dewasa onset penyakit berjalan cepat RPD: Riwayat berkontak dengan pasien TB
(Hutagalung, 2008). paru (+). Pasien juga memiliki riwayat asma
bronchial saat terkena debu. Pasien
berhubungunan badan dengan pasangan yang
berbeda beda.

4.2. Pemeriksaan Fisik


Teori Fakta
Frekwensi pernafasan meningkat sampai 90- TTV: TD 110/70 N 104x/I RR: 32 x/i
120 x/menit, sampai terjadi sianosis pada pasien T: 38⁰C
PCP. Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak Kepala: Konjungtiva anemis (+/+)
dijumpai tanda yang spesifik. Saat auskultasi dapat Thoraks: Retraksi (+), Ronkhi
dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai (+++/+++)
kelainan apapun. Pada 2-4 % kasus, PCP dapat Abdomen: dalam batas normal
muncul dengan pneumothorax spontan (Calderon, Ekstremitas: dalam batas normal
Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, 2011).

4.3. Pemeriksaan Penunjang

21
Teori Fakta
Pemeriksaan sputum dengan induksi NaCl Lab 6/9/2018
memiliki hasil diagnostic 50-90% dan menjandi L: 6280 Hb: 9,9 Ht: 29,9 T: 512.000
diagnosis awal PCP. Spesimen dapat diambil dari Analisis gas darah
sputum atau hapusan carian bronkoalvelar dan pCO2: 36,9 pO2 131,9 HCO3: 29,4
menemukan salah satu siklus hidup Pnemunocystis Imunologi
jiroveci (Calderon, Varela, Durand-Joly, & Dei-Cas, CD4: 5 Xpert MTB-Rif Assay G4: (-)
2011). BTA: (-) Hepatitis B: (+) HIV: (+)
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan Radiologi Foto Thorax
rontgen yang menemukan gambaran “honey comb o Persebungan dengan
appearance”. Selain itu, CT scan dapat menjadi airbronchogram di kedua lapangan
pilihan diagnosis (Calderon, Varela, Durand-Joly, & paru mengesankan suatu
Dei-Cas, 2011). pneumonia
Pemeriksaan analsis gas darah dengan melihat o Emphysema subcutis di region
pO2 untuk menentukan derajat PCP. Pada deraja axilla kanan kiri da supraclavicula
ringan dapat ditemukan pO2 dengan kadar lebih 70 kanan kiri
mmHg. Selain itu kadar CD4 yang kurang dari 200 o Cor tak tampak kelainan
sel/mm3 dapat menjadi patokan pemberian terapi Hapusan Sputum tidak dilakukakn
profilaksis PCP (Calderon, Varela, Durand-Joly, &
Dei-Cas, 2011).

4.4. Diagnosis
Teori Fakta
Alur diagnosis PCP dilakukan dengan alogaritma Berdasarkan data klinis yang
yaitu dimulai secara berurutan dari penilaian klinis, ditemukan pasien didiagnosis PCP +
rontgen thoraks, induksi sputum, penilaian TB Paru BTA (-) + Emfisema
immunologi, dan lalu pemeriksaan BAL (Agustina, Subkutis + HIV/AIDS + Hepatitis B
Efiyant, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017).

4.5. Penatalaksanaan
Teori Fakta
Tata laksana kasus PCP sama dengan tata laksana penyakit  Lamivudin + Efavirenz +
lain, terdiri dari tata laksana umum dan spesifik. Tatalaksana Nevirapine dalam 1 tablet

22
umum berupa pemberian terapi suportif seperti pemberian 1x1
oksigen dan makanan.  Ethambutol 1 x 1 tab
Terapi spesfik dari PCP yaitu pemberian antibiotik.  Cotrimoxazole 2 x 2 tab
Trimetoprim-sulfametoksasol (TMX-SMX) merupakan terapi  Fluconazole 1 x 1 tab
yang paling efektif untuk PCP. Dosis pemberian 15-20  Nystatin 4 x 1 tab
mg/kg/hari untuk trimetoprim dan 75-100 mg/kg/hari untuk  Asam Folat 1 x 1 tab
sulfametoksasol, terbagi dalam 4 dosis, secara oral. Lama  Curcuma 3 x1 tab
pengobatan 3 minggu untuk kasus AIDS dan 2 minggu untuk  Metamizole Sodium 3 x 1
kasus bukan AIDS. Lini kedua pengobatan PCP dapat berupa amp
primakuin, klindamisin, atovakuin, dan pentamidin. Pada PCP
 Ranitidin 2 x amp
derajat ringan penderita dapat diberikan TMX-SMX peroral
 Dexamethasone 3 x 1
480 mg dua table sehari selama 21 hari atau cukup 14 hari jika
amp
respon membaik. (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
 Codein 3 x 1 tab
Wati, 2008).
 Nebulizer salbutamol
Pemberian kortikosteroid sebagai tambahan terapi
sulfat + ipratropium
dipercaya dapat meningkatkan harapan hidup pada pasien anak
bromida / 8 jam
dengan PCP derajat sedang dan berat. Kortikosteroid
 Paracetamol 3 x 1 amp
bermanfaat untuk pasien PCP dengan HIV yang mengalami
 Asam Traneksamat 500
hipoksemia (PaO2 arteri <70 mmHg atau gradien alveolar-
mg / 8 jam
arteri >35). Pada keadaan ini, pasien harus diberikan prednison
60 mg/hari 2 kali sehari selama 5 hari, selanjutnya 40 mg/hari
pada hari ke-6 sampai hari ke-11, lalu 20 mg/hari pada hari ke-
13 sampai hari ke-21 (Gustawan, Arhana, Purniti, Subanada, &
Wati, 2008).

23
BAB 5
KESIMPULAN

PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi HIV/AIDS. Transmisi
orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory droplet infection” dan kontak langsung.
Kebanyakan peneliti menganggap transmisi terjadi melalui inhalasi. Diduga mekanisme
infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi laten. Gejala klinis PCP meliputi triad klasik
demam yang tidak terlalu tinggi, dispnoe terutama saat beraktivitas, dan batuk non produktif.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, Bronchoalveolar
lavage (BAL), maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat terlihat gambaran
infiltrate bilateral simetris dan “honey comb appearance”. Pada darah dijumpai kadar LDH
yang meninggi, > 460 U/ L atau Pa O2 < 75 mmHg.
Pengobatan PCP dapat berdasarkan derajatnya dan kebutuhannya. Penatalaksanan PCP
terdiri dari terapi umum yaitu untuk menangani masalah pernafasan dan terapi spesifik.
Regimen lini pertama yang dipakai yaitu kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol yang
dapat diberikan bersaman dengan kortikosteroid. Pemberin kemoprofilaksis diberikan pada
pasien dengan immunodefisiensi seperti pasien HIV/AIDS dengan kadar CD4 kurang dari
200 sel/mm3. Prognosis PCP ditentukan oleh derajat dan status immunologi pasien.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, D. R., Efiyant, C., Yunihastuti, E., Ujainah, A., & Rozaliyani, A. (2017). Diagnosis
dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis Jirovecii
Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia,
209-213.
Aliouat-Denis, C.-M., Anna Martinez, E. M., Pottier, M., Gantois, N., & Dei-Cas, E. (2009).
The Pneumocystis Life Cycle. Mem Inst Oswaldo Cruz, 1-8.
Calderon, E. J., Varela, J. M., Durand-Joly, I., & Dei-Cas, E. (2011). Pneumocystis Jirovecii
Pneumonia. Nova Science Publishers, 1-35.
Fajar, M. Y. (2013). Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus.
Cermin Dunia Kedokteran, 253-256.
Gustawan, I. W., Arhana, B., Purniti, P. S., Subanada, I., & Wati, K. D. (2008). Pneumonia
Pneumosistis. Sari Pediatri, 328-334.
Hutagalung, S. V. (2008). Pneumocystis Carinii Pneumonia. Jurnal FK USU, 1-14.
Kambugu, A. D. (2014). Pneumocystis CariniiPneumonia (PCP) in the HAART Era. SA HIV
Clinicians Society Conference (pp. 1-18). Cape Town: Makerere University College of
Health Sciences.
Thomas, C. F., & Limper, A. H. (2018). Pneumocystis Pneumonia. The New England Journal
of Medicine, 1-12.

25

Anda mungkin juga menyukai