Anda di halaman 1dari 29

Lab/SMF Ilmu Radiologi Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KISTA DUKTUS KOLEDOKUS

Oleh
ELVIRA ROSALINA
NIM. 1810029066

Pembimbing
dr. Yudanti Rastiti, M.Kes, Sp.Rad

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Kista Duktus Koledokus”. Referat ini disusun
dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.

Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Yudanti Riastiti, M.Kes,
Sp.Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis
sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Samarinda, Maret 2019

Penulis,

Elvira Rosalina

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………. 1
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………… 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………... 5
BAB 3 KESIMPULAN…………………………………………………………. 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 19

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kista koledokus merupakan salah satu penyakit fibrokistik dari hati dan saluran empedu.
Kista duktus koledokus adalah dilatasi kistik dari saluran empedu baik intrahepati maupun ekstra
hepatik, yang menyebabkan obtruksi biliaris dan sirosis biliaris progresif, dengan gejala klinik
seperti ikterus, nyeri dan demam. Kadang- kadang pankreatitis. Kista duktus umumnya
berhubungan dengan komplikasi pada traktus biliaris dan pankreas. Kista duktus koledokus
adalah penyakit yang jarang, tetapi merupakan malformasi dari saluran empedu yang paling
sering terjadi. Insidensi penyakit ini adalah sekitar 1 dalam 2.000.000 kelahiran hidup. Penyakit
ini 2-4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Patogenesis terjadinya kista duktus
koledokus belum diketahui secara pasti, diduga sebagai akibat dari iritasi pada dinding saluran
empedu yang disebabkan adanya refluks enzim pankreas (Wing de Jong, 2010) (Sinuhaji, 2006)
(Latif Ayat M).
Morbiditas dari kista koledokus tergantung dari usia. Infant dan anak-anak sering terjadi
pankreatitis, kolangitis, dan kerusakan hepatoseluler beserta peradangannya berdasarkan bukti
histologis (Wing de Jong, 2010) (MD, 2002).
Kasus Kista Koledokus relative jarang di Negara Barat, yaitu sekitar 1 kasus dalam 100.000-
150.000 hingga 1 kasus dalam 2 juta kelahiran hidup. Prevalensi kista koledokus lebih banyak
terjadi di Negara Asia, dimana 33-50% kasus dilaporkan terjadi di Jepang mencapai 1 kasus
dalam 1000 populasi penduduk (Jong, 2005).
Terdapat trias gejala pada duktus koledokus yaitu nyeri, massa intraabdomen, dan ikterus
obstruksi menunjukkan kemungkinan kista koledokus. Kolangiopankreatikografi endoskopik
retrogard (ERCP) membantu mendiagnosis anomaly letak saluran pankreas maupun batuk dan
batas kista saluran empedu.

2.1 Tujuan
Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui tentang “Kista
Duktus Koledokus” meliputi definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patofisiologi,

3
klasifikasi, gambaran klinik, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis. Serta
diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai tata cara melakukan penulisan referat
secara baik dan benar.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Cikal bakal kandung empedu, saluran empedu dan hati adalah berasal dari suatu
penonjolan embryonic foregut sekitar 18 hari gestasi. Antara minggu 3-4, penonjolan tersebut
terdiri dari bagian kranial dan bagian kaudal. Bagian kranial akan berdiferensiasi menjadi hati
dengan perkembangan dari hepatosit dan saluran empedu intrahepatik, sementara bagian kaudal
berdiferensiasi menjadi kandung empedu, saluran empedu ekstrahepatik dan pankreas.

Kandung empedu adalah organ yang berbentuk bulat lonjong atau “pear-shaped” yang
terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan leher, yang mengecil ke duktus sistikus. Panjang

5
kandung empedu sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 m L cairan empedu. Dinding kandung empedu
terdiri dari otot halus yang terbungkus dalam jaringan fibrosa. Lapisan mukosa kandung empedu
terdiri dari sel epitel kolumnar dengan tight junction dan micro-villi untuk absorpsi. Bagian
fundus umumnya menonjol sedikit keluar tepi hati, dibawah lengkung iga kanan, di tepi lateral
otot rektus abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati.
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung
empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapiran peritoneum. Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong
(kantong Hartmann). Duktus sistikus adalah saluran yang akan menghubungkan kandung
empedu dengan duktus koledokus. Panjangnya sekita 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. dinding
lumennya mengandung katup berbentuk spiral yang disebut katup spiral Heister, yang
memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran
keluarnya.

Duktus hepatikus kanan dan kiri akan bergabung menjadi duktus hepatikus komunis.
Duktus sistikus akan masuk bergabung dengan duktus hepatikus komunis menjadi duktus
koledokus, yang kemudian berjalan bagian inferior duodenum di tepi bebas omentum minus di
sebelah kanan arteri hepatikus dan di depan vena porta. Duktus koledokus melewati belakang
bagian pertama duodenum dan kemudian bergabung dengan duktus pankreas masuk ke dalam
bagian kedua duodenum. Panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dan lebar kurang dari 1 cm
ketika dinilai saat operasi dengan mata telanjang atau dengan choledochogram. Namun, ketika di
lihat dengan USG, duktus koledokus yang normal lebarnya kurang dari 0,7 cm. Lapisan mukosa
duktus koledokus adalah sel epitel kuboid, dan dindingnya adalah jaringan fibrosa dengan sedikit
otot halus.

Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistika, yang akan terbagi
menjadi anterior dan posterior, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatika kanan, tetapi
asal dari arteri sisteka bervariasi. Drainase vena dari kandung empedu bervariasi, biasanya ke
dalam cabang kanan dari vena porta. Aliran limfe masuk secara langsung ke dalam hati dan juga
ke nodus-nodus di sepanjang permukaan vena porta. Persarafannya berasal dari vagus dan
cabang simpatik yang melewati celiac plexus (preganglionic T8-9).

6
Impuls dari liver, kandung empedu, dan bile ductus melewati aferen simpatetik melalui
splanknik nerve dan menyebabkan nyeri kolik. Saraf muncul dari aksis seliak dan terletak di
sepanjang arteri hepatica. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat visceral, simpatis. Rangsangan
motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa melalui cabang vagusdan ganglion seliaka.

2.2 Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 Ml. per hari. Di Luar waktu
makan, empedu di simpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan disini mengalami
pemekatan sekitar 50%. Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
7
oleh hati, kontraksi kandung empedu, tahan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu
yang diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter berelaksasi, dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut
sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan lebih
tinggi daripada tahanan sfingter. Kolesitokinin (CCK), hormone sel APUD (Amine-precursor-
uptake and decarboxylation cell) dari mukosa usus halus, dikeluarkan atas rangsangan makanan
berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus. Hormon ini merangsang nervus vagus
sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar terhadap
terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan.

2.3 Definisi
Kista koledokus merupakan dilatasi klinik dari saluran empedu baik intrahepatik maupun
ekstrahepatik, yang menyebabkan obstruksi biliaris dan sirosis biliaris progresi (Wing de Jong,
2010).
2.4 Etiologi

Terdapat beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan kista
saluran empedu. Mekanisme umum melibatkan sumbatan saluran empedu bagian distal dan
kelemahan struktural dinding saluran empedu bagian distal dan kelemahan struktural dinding
saluran empedu. Meskipun tidak ada satu teori pun yang secara pasti di tetapkan, terdapat teori
yang paling banyak diterima adalah bahwa perubahan saluran berhubungan dengan kelainan
koneksi antara sistem saluran empedu dan pankreas yang disebut sebagai abnormal
persambungan saluran pankreatikobiliaris (APSPB) / Abnormal Pancreatic-biliary Junction
(APBJ). Etiologi tentang APBJ pada kista saluran empedu pertama kali diusulkan oleh Babbit
pada tahun 1969. Anomaly ini dijelaskan di persambungan awal saluran pankreas dan duktus
koledokus diluar dinding duodenum. APBJ menyebabkan sekresi enzim pankreas refluks ke
dalam sistem empedu. Tekanan sekretori pankreas melebihi tekanan sekretori hepar dan di
duktus koledokus, di bagian ini tidak ada sfingter yang dapat mencegah refluks
pankreatikobiliaris.

Menurut teori ini, refluks cairan pankreatikobiliaris meningkatkan tekanan intraduktal,


menyebabkan iritasi dan inflamasi, dan menyebabkan kerusakan struktural pada dinding saluran,

8
sehingga mengakibatkan degenarasi kistik. Obstruksi saluran empedu bagian distal karena
anomali junction itu sendiri atau disebabkan oleh plak protein dari sel asinar pankreas mungkin
juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi. Bukti pendukung untuk teori refluks adalah
adanya tingginya amilase pada hasil aspirasi kista, gradient tekanan positif antara saluran
pankreas dan kista, dan hasil pengamatan reaksi inflamasi pada dinding kista. Prevalensi yang
dilaporkan pasien APBJ yang memiliki kista saluran empedu adalah sekitar 60% sampai 90.
Teori tambahan yang telah diusulkan untuk menjelaskan terjadinya kista saluran empedu pada
pasien dengan anatomi persambungan pankreatikobiliaris normal. Sebagian besar teori alternatif
melibatkan obstruksi bagian distal sebagai penyebab tekanan intraluminal meninggi. Bawaan
kongenital pada saluran empedu bagian distal atau sfingter oddi yang abnormal dengan spasme
dapat juga menjadi obtruksi. Pada tahun 1936 Yotuyanagi menyatakan bahwa kista saluran
empedu dihasilkan dari distribusi yang tidak merata sel epitel selama pematangan embrio.

Awalnya, saluran empedu embrio adalah suatu bagian jaringan solid. Proliferasi epitel
pada bagian ini akan mengarah ke kanalisasi. Perkembangan relatif sel epitel lebih banyak pada
bagian proksimal sistem saluran dan lebih sedikit sel pada bagian distal dapat menghasilkan
dilatasikistik dengan stenosis distal pada waktu kanalisasi. Penyakit caroli, bagian dari penyakit
kista saluran empedu, diyakini berasal dari tidak komplit dan kegagalan remodeling dari embrio
ductal plate. Hasil remodeling ini adalah kelainan segmen saluran empedu intrahepatik dengan
dilatasi. Peran faktor genetic dalam pembentukan kista saluran empedu tidak pasti. Dikatakan
pada penyakit caroli mungkin diwariskan secara autosomal resesif. Namun kebanyakan tidak
memiliki hubungan genetik.

Etiolgi pasti kista duktus koledokus sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas.
Terdapat beberapa teori berkenaan dengan etiologi dan pathogenesis dari kista koledokus :
a) Terjadinya kegagalan rekanalisasi sehingga terjadi kelemahan kongenital pada dinding
duktus biliaris, dimana hal ini merupakan hiotesis awal (Yotuyanagi, 1936).

b) Terdapatnya abnormalitas pada inervasi dari distal common bile duct yang menyebabkan
terjadinya obstruksi fungsional dan dilatasi proksimal (Saltz dan Glaser, 1954).

c) Kelemahan yang didapat dari dinding duktus biliaris yang berhubungan dengan PBM,
pertama kali diperkenalkan oleh Babbit (1969), dimana digambarkan terdapatnya

9
common pancreaticobiliary channel pada kista duktus koledokus, dan terjadinya refluks
enzim pankreas dapat menyebabkan kerusakan pada duktus biliaris dan dilatasi.

d) Terdapatnya obstruksi dari bagian distal duktus biliaris. Stenosis sering ditemukan
dibagian bawah dari kista tipe 1, tetapi apakah penyebabnya kongenital ataupun sekunder
akibat dari inflamasi masih belum jelas.

Todani dan kawan – kawan, berdasarkan analisisnya menggunakan endoscopik


retrograde cholangiography (ERCP) dan pemeriksaan dengan kolangiografi lain,
menerangkan terjadinya anomali pada pembentukan duktus pankretikobiliaris dimana duktus
pankreatikus bersatu dengan duktus biliaris pada lokasi yang lebih proksimal diluar ampula
vater, dimana hal ini dapat menyebabkan terjadinya refluks dari enzim pankreas, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada dinding duktus dan terjadinya dilatasi.

Konsentrasi yang tinggi dari enzim pankreas sering ditemukan pada bile didalam kista.
Hal ini ditunjang dengan meningkatnya kadar amilase yang diaspirasi dari kista duktus
koledokus. Long common chanel tidak hanya disertai dengan komplikasi pankreatitis, tetapi
dapat juga disertai dengan komplikasi protein plugs, kalkulus, pada anak dan dapat
berkembang menjadi karsinoma kandung empedu.

2.5 Epidemiologi
Insiden terjadinya kista duktus koledokus ini berkisar antara 1 dalam 13.000 sampai 1
dalam 2.000.000 kelahiran hidup. Penyakit ini 2- 4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan
pria. Sekitar 25- 45 % kasus di diagnosis pada neonatus atau bayi dan sekitar 2/3 kasus di
identifikasi saat dekade pertama kehidupan. Namun, 20 – 25% kasus tidak ditemukan sampai
dewasa (Sinuhaji, 2006).

2.6 Patofisologi
Pada kista duktus koledokus, mukosa duktus biliaris menunjukkan adanya erosi,
deskuamasi epitel dan hyperplasia papillary dengan regenerasi atipik. Displasia mukosa duktus
biliaris tanpa karsinoma juga kerap ditemui. Perubahan metaplasia seperti sel mucous, sel goblet
dan selpanet juga ditemui. Hyperplasia dan metaplasia meningkat seiring usia dan dapat menjadi

10
karsinoma pada usia dewasa. Perubahan ini dapat ditemui pada semua tipe kista duktus
koledokus (Yamataka Y, 2010).
Mukosa kandung empedu pada pasien dengan PBMU menunjukkan kolesistitis,
cholesterolosis, adenomyosis atau adenomyomatosis, polip, termasuk adenoma dan hiperflasia
epitel. Mukosa kandung empedu pada FFCC ditandai hyperplasia difus di epitel dengan atau
tanpa metaplasia dari pyloric glands, sel goblet dan sel panet (Yamataka Y, 2010).

2.7 Klasifikasi

Alonso-Lej dan rekannya pertama kali mengusulkan skema kalsifikasi untuk kista saluran
empedu pada tahun 1959. Yang kemudian di modifikasi oleh Todani dan rekannya pada tahun
1977, klasifikasi ini yang umum digunakan saat ini. Terdapat 5 tipe, sebagai berikut :

1. Tipe 1 kista koledokus

Berupa dilatasi saluran empedu ekstrahepatik. Tipe ini adalah tipe kista yang paling
umum, ditemukan 75-85% kasus. Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau sacular dari
duktus koledokus dengan melibatkan sebagian hingga seluruh duktus. Tipe 1 dapat
dijelaskan lebih lanjut sebagai :

IA. Kistik. Berbentuk sakular dan melibatkan seluruh dari duktus ekstrahepatikus.

11
IB. Fokus. Berbentuk sakular dan hanya melibatkan sebagian segmen duktus biliaris.

IC. Fusiform. Berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar dan seluruh dari duktus
ekstrahepatikus.

2. Tipe 2 divertikulum koledokus

Tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding duktus koledokus, sedangkan
duktus biliaris intrahepatic dan ekstrahepatik normal

3. Tipe 3 kista intraduodenum atau “koledokel”

Berupa dilatasi kistik dari saluran empedu di dalam dinding duodenum. Sistem duktus
normal dan duktus koledokus biasanya memasuki choledochocele ke dalam dinding dari
duodenum.

12
4. Tipe 4 mengacu pada multiple kista. Dibagi menjadi :

Tipe 4 A lesi terdapat pada saluran empedu inta dan ekstrahepatik.

Tipe 4 B lesi hanya terdapat pada saluran empedu ekstrahepatik.

5. Tipe 5 melibatkan saluran empedu intrahepatik, biasanya multiple (caroli’s disease) dan
kadang-kadang soliter. Kista saluran empedu intrahepatic mungkin bilobus atau unilobus,
dengan 90% dari kista unilobus terjadi di sisi kiri. Frekuensi kista tipe 5 lebih tinggi jika
dalam pemeriksaan untuk diagnosis menggunakan teknik pencitraan modern.

13
Klasifikasi kista duktus koledokus dengan pancreaticobiliary malunion (PBMU) :

a. Dilatasi pada duktus biliaris ekstrahepatik yang berbentuk kistik

b. Dilatasi pada duktus biliaris yang berbentuk fusiform

c. Forme fruste kista duktus koledokus tanpa PBMU

d. Tampak seperti divertikulum pada duktus koledokus

e. Choledochocele (diverticulum pada bagian distal dari duktus koledokus)

f. Hanya terjadi dilatasi dari duktus biliaris intrahepatic (penyakit Caroli’s)

14
2.8 Gambaran Klinis

Kista duktus koledokus dapat terlihat pada semua usia, tetapi lebih dari setengahnya pertama
kali terlihat pada dekade pertama kehidupan (Yamataka Y, 2010). Manifestasi klinis akan
berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan gejala. Gejala pada pasien dengan kista duktus
koleodokus dapat diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada anak yang lebih besar.
Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan, gejala yang muncul obstruktif jaundice, feses
yang akholis, dan hepatomegali. Tampilan klinis pada kelompok ini tidak dapat dibedakan dari
atresia biliaris. Kadang-kadang disertai juga dengan fibrosis hati. Pasien pada kelompok ini tidak
harus terdapat gejala nyeri pada abdomen ataupun massa pada abdomen (JA, 2006).

Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis akan tampak pada anak
setelah usia 2 tahun. Pada anak yang lebih besar, gejalanya dapat dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu massa pada perut kanan atas dengan jaundice intermittent karena obstruksi
biliaris, yang umumnya dijumpai pada pasien dengan intermittent karena obstruksi biliaris, yang
umumnya dijumpai pada pasien dengan kista duktus koledokus sakuler, dan nyeri perut akibat
pankreatitis, yang biasanya tampak pada bentuk yang fusiform. Pada kelompok umur ini, classic

15
triad berupa nyeri perut, terabanya massa, dan jaundice yang dikemukakan oleh Alonso-Lej dan
kolega biasanya dijumpai. Karena obstuksi yang terjadi pada kelompok umur ini hanya parsial,
maka gejala bersifat intermitten (JA, 2006).

Rekuren kolangitis dapat menjadi ciri dan gejala kista duktus koledokus pada anak yang
lebih besar. Bagaimanapun, sangat penting ditekankan bahwa gejala pada anak yang lebih besar
sering tidak kentara dan bersifat intermiten, sehingga sering tidak terdiagnosis, yang
mengakibatkan kerusakan hati yang terus berlanjut, sehingga pasien biasanya datang dengan
kondisi sirosis hati dan manifestasi hipertensi portal (JA, 2006).

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan presentasi klinis gejala berdasarkan usia dari
penelitian yang dilakukan di the Academic Hospital of the Vrije Universiteit Medical center,
Amsterdam, the Netherlands. Pada penelitian ini terdapat terlihat bahwa nyeri perutmerupakan
gejala tersering (76%), dengan insidensi terbanyak terjadi pada Grup C (kelompok usia
>16tahun). Jaundice merupakan gejala yang paling sering terjadi pada kelompok A (kelompok
usia <2 tahun) (By J.S de Vries, 2002).

2.9 Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan diagnosis dari kista duktus
koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi klinis dari pasien. Oleh karena gejala tersering
adalah jaundice, hasil laboratorium terpenting adalah conjugated hyperbilirubinemia,
peningkatan alkaline phospotase, dan marker lain untuk obstruktif jaundice. Apabila obtruksi
biliaris sudah terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka dapat pula disertai profil koagulasi
yang abnormal. Nilai amilase plasma dapat menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri
perut (MD, 2002).

Pemeriksaan Radiologi

Bagaimanapun bentuk dari kelainan anatomi, pemeriksaan radiologis merupakan kunci


dalam menegakkan diagnosis. Computed tomography (CT) cholangiography, dahulu digunakan
sebagai alat penunjang dalam menegakkan diagnosis dari kista duktus koledokus, saat ini
digantikan oleh pemeriksaan yang lebih akurat (MD, 2002).

16
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang awal yang terpilih dan dapat
menggambarkan ukuran, bentuk, duktus proksimal, pembuluh darah dan bentuk dari hepar.
Komplikasi seperti kolelitiasis, hipertensi portal dan biliary asites dapat pula terlihat (JA, 2006).

Percutaneous transhepatic cholangiography dan endoscopic tetrograde


cholangiopancreatography (ERCP) dapat memberikan gambaran yang akurat dari system
pancreaticobiliary. Tetapi, pemeriksaan ini bersifat invasif dan tidak cocok untuk digunakan
berulang kali serta merupakan kontraindikasi apabila dilakukan dalam keadaan pankreatitis akut.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan anastesi umum (Long Li, 2010).

Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) dapat dilakukan dibawah pengaruh


sedasi pada anak tanpa menggunakan bahan kontras atau tanpa radiasi. MRCP merupakan
pemeriksaan yang bersifat noninvasive dan dapat digunakan untuk menggambarkan duktus
pankreatik dan biliaris proksimal dari obstruksi. Pada anak dengan usia dibawah 3 tahun, MRCP
mungkin tidak dapat menggambarkan sistem pankreticobiliaris dikarenakan kalibernya yang
kecil (JA, 2006).

Kolangiografi intraoperative tidak diperlukan jika seluruh system biliaris telah dicitrakan
sebelum eksisi kista, namun hal ini harus dipakai jika system pancreaticobiliary tidak seluruhnya
tercitrakan (Yamataka Y, 2010).

Pemeriksaan USG

Gambar 6. Sonogram diagnostik menunjukkan kista choledochal tipe I pada anak berusia 4
bulan yang mengalami peningkatan hiperbilirubinemia dan kadar transaminase hati.

17
Pemindaian USG adalah pemeriksaan skrining awal pilihan pada pasien dengan kista
koledokus. Temuan penting termasuk massa ekstrahepatik kistik. Tergantung pada keterampilan
operator, jenis atau kelas spesifik kista koledokal dapat diidentifikasi. Mesin AS beresolusi tinggi
membantu dokter membuat diagnosa semacam itu. Selain itu, kemajuan teknologi AS telah
memungkinkan ultrasonografi untuk membuat diagnosis pada periode antenatal.

Pemeriksaan CT Scan
Pemindaian CT abdomen berguna dalam algoritme diagnostik untuk kista koledokus. CT
scan sangat akurat dan menawarkan banyak informasi yang membantu tidak hanya dalam
menegakkan diagnosis, tetapi juga dalam merencanakan pendekatan bedah. CT scan kista
koledokus menunjukkan massa kistik dilatasi dengan dinding yang jelas yang terpisah dari
kantong empedu. Fakta bahwa massa ini muncul atau sebenarnya adalah saluran empedu
ekstrahepatik biasanya jelas dari lokasi dan hubungannya dengan struktur di sekitarnya. Kista
biasanya diisi dengan empedu, yang menghasilkan pelemahan seperti air. Tergantung pada usia

18
dan riwayat klinis pasien, dinding kista dapat tampak menebal, terutama jika beberapa episode
peradangan dan kolangitis telah terjadi. Sebagian besar pasien dengan kista koledokus telah
menjalani pencitraan USG abdomen sebelum CT scan.

Gambar 1. Scan tomografi terkomputasi menunjukkan kista choledochal yang melibatkan


bagian intrahepatik dari saluran hati umum dan saluran hati kiri utama.

Gambar 2.Kista koledochal yang melibatkan saluran hati umum intrahepatik.

19
Gambar 3. Kista choledochal tipe I besar, sakuler, menekan kandung empedu yang berdekatan.

Gambar 4. Kista choledochal tipe I besar dan kantong empedu yang berdekatan.

20
Gambar 5. CT scan menunjukkan kedekatan duodenum dengan aspek distal kista koledochal.

Pemeriksaan MRI

Penggunaan teknik MRI meningkat secara dramatis untuk diagnosis non-invasif penyakit
empedu dan pankreas. Kista Koledokus tidak terkecuali. Kista ini muncul sebagai massa
fusiform besar atau sakular yang mungkin ekstrahepatik, intrahepatik, atau keduanya, tergantung
pada jenis kista. Mereka menghasilkan sinyal yang sangat kuat pada gambar T2-weighted.
Anomali terkait dari saluran pankreas, persimpangannya dengan saluran empedu bersama, dan
saluran umum panjang yang dibentuk oleh 2 biasanya ditunjukkan dengan baik pada gambar
MRI.

21
2.10 Differential Diagnoses

Acute Pancreatitis

Pasien dengan pankreatitis batu empedu akut ini menjalani endoskopi retrograde
kolangiopancreatography. Cholangiogram tidak menunjukkan batu di saluran empedu dan
beberapa batu kecil di kantong empedu. Pancreatogram menunjukkan penyempitan saluran
pankreas di daerah genu, yang dihasilkan dari kompresi ekstrinsik sistem duktus oleh perubahan
inflamasi pada pancreas.

Bile Duct Tumors

22
Cholangiogram menunjukkan choledochojejunostomy lengkap dengan anastomosis
yang banyak dipatenkan.

Cholangiocarcinoma

Penyempitan ketat pada saluran hati umum pada pasien dengan ikterus. Studi
sitologis mengkonfirmasi kolangiokarsinoma.

2.11 Penatalaksanaan

Eksisi kista merupakan terapi definitive yang terpilih untuk kista duktus koledokus karena
tingginya morbiditas dan tingginya resiko terjadinya karsinoma setelah drainase interna (JA,
2006). Bervariasi pendekatan telah diusahakan sejak dahulu untuk penanganan pembedahan
mulai dari aspirasi kista, marsupialisasi, serta drainage eksternal tetapi angka mortalitas tetap
tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan kebanyakan pasien yang datang dengan kondisi lanjut (MD,
2002) (Yamataka Y, 2010).

Pada tahun 1924, McWhorter pertama kali mempublikasikan eksisi dari kista koledokus
dengan anastomosis dari duktus hepatikus ke duodenum. Prosedur ini dirasakan sangat sulit,
dengan angka kematian mencapai 30%. Pada tahun 1933, Gross mempublikasikan dan
menyimpulkan bahwa choledochocystoduodenostomy sebagai prosedur pembedahan yang cukup
aman dan efektif serta memiliki mortalitas yang rendah. Pada tahun 1965, Fonkalsrud dan
Bolesmendukung hal tersebut, sehingga sejak saat itu drainase interna tanpa eksisi kista

23
merupakan tindakan yang terpilih. Kemudian terhadap pasien tersebut dilakukan follow up
selama 15 tahun, dan didapatkan bahwa angka morbiditas meningkat dari 30% menjadi 50%, dan
hal ini berhubungan dengan morbiditas yang terjadi lanjut. Komplikasi yang terjadi antara lain
kronik kolangitis yang rekuren, kemungkinan akibat terjadinya refluks dari duodenum ke traktus
biliaris, yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi kronis dan stenosis pada anastomosis. Hal
ini memberikan gejala yang ringan sehingga diagnosis tidak dapat dibuktikan dan pada akhirnya
berkembang menjadi sirosis bilier dan hipertensi portal (JA, 2006).

Pada tahun 1970, kasai dan kolega dan Ishida dan kolega, melaporkan hasil yang
memuaskan dengan dilakukannya eksisi kista dan Roux-en-Y jejunostomy. Roux-en-Y cyst
jejunustomy telah dikembangkan sebagai alternative dari cyt duodenostomy untuk menghindai
terjadinya reflux isi dari duodenum ke dalam percabangan traktus biliaris.

24
Tahapan dari Metode Lily untuk reseksi intramural Kista Duktus Koledokus

2.12 Komplikasi

Komplikasi kista koledokus adalah obstruksi empedu, kolangitis, abses hati, rupture dan
perubahan keganasan. Kemungkinan perubahan keganasan adalah 20 kali dan risiko keganasan
bertambah besar dengan bertambahnya usia (JA, 2006).

Dari beberapa literature disebutkan dapat terjadi komplikasi pasca eksisi kista baik awal
maupun lanjut seperti cholangitis, pembentukan batu, striktur anastomosis, pancreatitis, disfungsi
hepar dan keganasan (JA, 2006).

fenomena pembentukan batu setelah operasi pertama kali diungkapkan oleh Tsuchida et al.
Uno dan kawan-kawan, pada penelitiannya tentang batu intrahepatik yang terjadi setelah eksisi
kista, menerangkan bahwa selalu terjadi striktur sebagai kejadian awal. Cetta juga melaporkan
bahwa stasis dari bile akibat striktur dari duktus merupakan kejadian yang mendahului, bukan
mengikuti, untuk terbentuknya batu intrahepatik (JA, 2006).

25
Telah banyak dilaporkan terjadinya degenarsi maligna baik akibat retained cyst ataupun
akibat inflamasi kronis yang terjadi oleh karena refluks dari enzim pankreas akibat kelemahan
dari fungsi sfingter Oddi yang menyebabkan perubahan histologis dan perkembangan ke arah
malignansi. Pankreatitis akut merupakan komplikasi yang terjadi 20% kasus pada follow up
jangka panjang akibat dari pembentukan protein plug (JA, 2006).

2.13 Prognosis

Prognosis setelah eksisi kista koledokus biasanya adalah baik. Pasien membutuhkan
pemantauan jangka panjang akibat adanya peningkatan resiko kolangiosarkoma, meskipun eksisi
total sudah dilakukan.

26
BAB III
KESIMPULAN

Kista koledokus merupakan salah satu penyakit fibrokistik dari hati dan saluran empedu.
Kista Duktus Koledokus adalah dilatasi kistik dari saluran empedu baik intrahepati maupun
ekstra hepatic, yang menyebabkan obtruksi biliaris dan sirosis biliaris progresif, dengan gejala
klinik seperti ikterus, nyeri dan demam. Kadang- kadang pankreatitis. Kista duktus umumnya
berhubungan dengan komplikasi pada traktus biliaris dan pankreas. Morbiditas dari kista
koledokus tergantung dari usia. Infant dan anak-anak sering terjadi pankreatitis, kolangitis, dan
kerusakan hepatoseluler beserta peradangannya berdasarkan bukti histologis. Tes pencitraan
yang digunakan untuk mendiagnosis Kista Duktus Koledokus, yaitu Ultrasonography (USG),
Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), nuclear imaging.

27
DAFTAR PUSTAKA

By J.S de Vries, S. d. (2002). Chloedochal Cyst: Age of Presentation, Symptoms, and Late
Complications Related to Todani's Classfication. J Pediatr Surg .

JA, O. (2006). Choledochal Cyst. In O. J. Grosfeld JL, Pediatric Surgery (ke-6 ed., pp. 1620-31).
Philadelphia: Mosby Elsevier.

Jong, S. d. (2005). Saluran Empedu dan Hati. In Buku Ajar Ilmu Bedah (ke-2 ed., pp. 564-566).
Jakarta: EGC.

Latif Ayat M, H. A. (n.d.). Choledochal Cyst Chapter 82.

Long Li, A. Y. (2010). Ectopic Distal Location pf the Papilla of Vater in Congenital Biliary
Dilatation: Implications for Pathogenesis. J pediatr Surg, 36, 376-78.

MD, S. (2002). Surgery Of The Liver Bile Ducts and Pancreas in Children. London: Elsevier
Saunders.

Sinuhaji, B. (2006). Kista Duktus Koledokus. In Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Vol. 39).
Medan: Majalah Kedokteran Nusantara.

Wing de Jong, S. (2010). Saluran Empedu dan Hati. In Buku Ajar Ilmu Bedah (Ke-3 ed., pp. 667-
669). Jakarta: EGC.

Yamataka Y, Y. K. (2010). Ashcraft's Pediactric Surgery (ke-5 ed.). Philadelphia: Elsevier


Saunders.

28

Anda mungkin juga menyukai