Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding
Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.(1) Gagal jantung
dapat terjadi pada semua usia tergantung pada penyebabnya. Gagal jantung didefinisikan
sebagai suatu kondisi patologis, dimana jantung sebagai pompa tidak mampu lagi
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk
metabolisme jaringan tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup
tinggi.(2)
World Health Organization mencatat 17,5juta orang di dunia meninggal akibat
gangguan kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular terjadi di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan 80% kematian kardiovaskuler
disebabkan oleh serangan jantung dan stroke. Jumlah kejadian penyakit jantung di
Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah 136 per 100.000 orang, di negara-negara Eropa
seperti Italia terdapat 106 per 100.000 orang, Perancis 86 per 100.000. Selanjutnya
jumlah kejadian penyakit jantung di Asia seperti di China ditemukan sebanyak 300 per
100.000 orang, Jepang 82 per 100.000 orang, sedangkan di Asia Tenggara menunjukkan
Indonesia termasuk kelompok dengan jumlah kejadian tertinggi yaitu 371 per 100.000
orang lebih tinggi dibandingkan Timur Leste sebanyak 347 per 100.000 orang dan jauh
lebih tinggi dibandingkan Thailand yang hanya 184 per 100.000 orang.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.
2.1. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 70 tahun
Alamat : Labuhan Ratu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Kawin
Agama : Islam
MRS : 23 Desember 2019

2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD Umum RS Pertamina Bintang Amin dengan keluhan sesak
nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak muncul pertama kali saat pasien selesai
mandi dan kembali dari kamar mandi yang jaraknya 15 m. Sebelumnya pasien tidak ada
keluhan saat melakukan aktivitas yang sama. Sesak napas juga muncul saat pasien
berbaring sehingga harus menggunakan 3 bantal saat tidur. Di malam hari pasien sering
terbangun tiba-tiba karena sesak napas. Sesak tidak dipangaruhi cuaca dan debu. Batuk
berdahak, keringat dingin pada malam hari disangkal, demam (+). Nyeri dada disangkal,
keluhan dada berdebar (+) hilang timbul. Keluhan disertai bengkak pada kaki sejak 1
minggu SMRS. Mengi (-), mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien tidak pernah mengeluhkan sesak dan kaki bengkak sebelumnya
 Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol.
 Riwayat DM disangkal.
 Riwayat nyeri dada sebelumnya disangkal.
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
 Riwayat asma disangkal.
 Riwayat alergi disangkal.
 Riwayat pernah pengoobatan paru selama 6 bulan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita sudah menikah. Biaya pengobatan BPJS. Status sosial ekonomi cukup.

PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 23 Desember 2019)


Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit
Keadaan sakit : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 110 x/menit, reguler
Pernafasan : 32 kali per menit
Suhu : 38,1o C

Keadaan Spesifik
• Kepala
Kepala bentuk normocephal, rambut warna hitam keputihan, distribusi merata dan
tidak mudah rontok, deformitas (-), krepitasi (-), dan bekas luka (-)
• Mata
Alis hitam, distribusi merata, kelopak mata tidak edema, bulu mata kedepan normal,
eksopthalmus (-), endothalmus (-), konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
• Hidung
Tidak ada kelainan, tulang dalam perabaan normal krepitasi (-), deformitas (-), sekret
(-)
• Telinga
Simetris kiri dan kanan, meatus acusticus eksternus normal, sekret dari telinga (-),
pendengaran normal, tinitus (-)
• Mulut
Mukosa kering (-), karies (-), lidah kotor (-) perdarahan gusi (-), dan tonsil tidak
membesar
• Leher
Pembesaran KGB (-) JVP meningkat (5 ± 3 mmHg)
• Thorax :
Paru
– Inspeksi
Bentuk normochest simetris, retraksi ICS (+) tampak sesak, otot bantu
pernapasan lain (-), bekas luka (-) deformitas (-)
– Palpasi
Vocal fremitus (+/+) meningkat, ekspansi pernapasan simetris, krepitasi (-)
– Perkusi
Redup pada kedua lapang paru
– Auskutasi
Vesikuler +/+, Ronkhi halus basal paru +/+, Wheezing -/-
Jantung
 Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (+)
 Perkusi
Batas Jantung Atas : ICS III Linea parasternalis sinistra
Batas Jantung Kiri : ICS VII Linea axillaris anterior sinistra
Batas Jantung Kanan : ICS VII Linea parasternalis dextra
 Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan S2 meningkat, Murmur (-), Gallop (-)
• Abdomen :
– Inspeksi
Bentuk datar soefl, bekas luka (-) benjolan (-) pelebaran pembuluh darah (-)
– Auskultasi
Bising usus (+) normal
– Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen, ukuran hepar normal
– Palpasi
Nyeri tekan superfisial dan profunda (-), palpasi hepar, lien, dan ginjal tidak
ada pembesaran, asites (-)
• Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai +/+

2.3. RESUME
Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak muncul pertama kali saat
pasien selesai mandi dan kembali dari kamar mandi yang jaraknya 15 m. Sesak napas juga
muncul saat pasien berbaring sehingga harus menggunakan 3 bantal saat tidur. Di malam hari
pasien sering terbangun tiba-tiba karena sesak napas. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.
Tekanan darah 180/100 mmHg, nadi takikardi, nafas takipneu. Saturasi oksigen menurun,
suhu normal. Pada pemeriksaan fisik leher didapatkan JVP meningkat, batas jantung melebar,
ronkhi halus di basal paru. Edema tungkai +/+. Pasien juga mengeluh batuh berdahak
berwarna kekuningan dan disertai demam.

2.4. DIAGNOSIS
 CHF ec HHD
 Pneumonia dengan pleuritis

2.5. DIAGNOSIS BANDING


 CHF
 Gagal jantung kiri dengan edema paru
2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 23 Desember 2019
Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11 12,5-15,5
Hematokrit 29 36-48
Trombosit 204.000 150.000-400.000
Leukosit 13.800 4.000-10.000
MCV 87 82-98
MCH 28 >27
MCHC 32 32-36
Eritrosit 3.9 3,8-5,4
Pemeriksaan EKG:

Interpretasi:
Irama sinus, frekuensi 100-120x/menit reguler
Durasi QRS normal (122 mdtk)
Sumbu jantung deviasi ke kiri (Gelombang S negatif pada sadapan aVF)
Left Ventricular Hypertrophy
Kesan : Takikardi, hipertrofi ventrikel kiri
Foto Thorax AP
Expertise :
 Jantung tampak membesar ke lateral kanan dan kiri dengan apex tertanam
pada diafragma
 Trakea masih tampak di tengah
 Mediastinum superior tidak melebar
 Jantung mendatar ( CTR > 50 % )
 Aorta masih tampak normal
 Sinus costophrenicus kanan tertutup perselubungan, kiri tumpul
 Sinus cardiophrenicus bilateral kabur
 Diafragma kanan tertutup perselubungan, kiri kabur
Pulmo :
o Hilus bilateral terutama kanan tampak kabur
o Corakan bronkovaskular bertambah
o Tampak perbercakan lunak di daerah 2/3 medial lapang paru kanan dan
perihiler kiri
o Tampak perselubungan opak homogen di hemithorax kanan bawah dan
minimal mengisi sinus costophrenicus kiri
Skeletal : Skoliosis ringan vertebrathoracalis
Kesan:
- Kardiomegali ( All-Chambler ) disertai effuse pleura bilateral terutama kanan
- Perbecakan lunak didaerah 2/3 medial lapang paru kanan dan perihiler kiri
Ec DD - Edema paru alveolar
- bronkopneumonia

Penatalaksanaan :
Non Farmakologis :
- Oksigen 3 liter
- Istirahat
- Urine kateter

Farmakologis :
- ISDN 3x10 mg
- IVFD NaCl
- Furosemid 2amp/8jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Ondansentron amp 2x1 IV
- Omeprazole 2x1
- Ceftriaxone 1x2
- Azithromycin 500mg 1x1
- Paracetamol 500mg 3x1
- Ramipril 5mg 2x1
- Nac 200mg 3x1
- Pronalgess sup
- Levofloxacin 1x1
Lembar follow up
Tanggal/jam Anamnesis Diagnosis Terapi
23/12/2019 S : demam (-), batuk - Dyspesia ec CHF - IVFD RL 20 tpm
(22.00) (+), sesak napas (+), - Ondancentron 4mg 3x1
mual (+), muntah (-), - Furosemide 3x1
O: TD: 110/70, - ramipril 1x1
N:150/90x/m, RR: - ISDN 1x1
20x/m, T: 36.50C - pronalges supp

24/12/2019 S : demam (+), batuk -CHF - IVFD NaCl 20 tpm


(16.00) (+), sesak napas (+), - Pnemunia dengan - Omeprazole 2x1
mual (+), muntah (-), pleuritis - Ondancentron 4mg 2x1
demam (-) - Sucralfat 3x1
O: TD: 110/70, - Ceftriaxone 2x1
N:150/90x/m, RR: - azitromicin 1x1
20x/m, T: 36.50C - Furosemide 3x1
- ramipril 1x1
- PCT 3x1

25/12/2019 S : demam (+), batuk - CHF - IVFD NaCl 20 tpm


(19.00) hilang timbul, sesak - Pnemunia dengan - Omeprazole 2x1
(↓), mual (+), muntah pleuritis - Ondancentron 4mg 2x1
(-), - Sucralfat 3x1
O: TD: 140/70, - Ceftriaxone 2x1
N:84x/m, RR: 20x/m, - azitromicin 1x1
Tax: 370C - Furosemide 3x1
- ramipril 1x1
- PCT 3x1
- Nac 3x1

26/12/2019 S : demam (+), batuk - CHF - IVFD NaCl 20 tpm


hilang timbul, sesak - Pnemunia dengan - Omeprazole 2x1
(↓), mual (+), muntah pleuritis - Ondancentron 4mg 2x1
(-), - Sucralfat 3x1
O: TD: 130/60, - Ceftriaxone 2x1
N:84x/m, RR: 20x/m, - levofloxacim 1x1
Tax: 36.60C - Furosemide 3x1
- ramipril 1x1
- PCT 3x1
- Nac 3x1
Rujuk

Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.
1.1. Anatomi dan fisiologi jantung
Secara anatomi ukuran jantung sangatlah variatif. Beberapa referensi,
ukuran jantung manusia mendekati ukuran kepalan tangan atau dengan
ukuran panjang kira-kira 5" (12cm) dan lebar sekitar 3,5" (9cm). Jantung
terletak di belakang tulang sternum, tepatnya di ruang mediastinum diantara
kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma. Bagian atas jantung
terletak dibagian bawah sternal notch, 1/3 dari jantung berada disebelah
kanan dari midline sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari midline sternum.
Sedangkan bagian apek jantung di interkostal ke-5 atau tepatnya di bawah
puting susu sebelah kiri. Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang
disebut lapisan perikardium, di mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi
3 lapisan, yaitu lapisan fibrosa, lapisan parietal dan lapisan visceral.

Jantung dibagi menjadi 2 bagian ruang, yaitu: Atrium (serambi) dan


Ventrikel (bilik). Karena atrium hanya memompakan darah dengan jarak
yang pendek, yaitu ke ventrikel, maka otot atrium lebih tipis dibandingkan
dengan otot ventrikel. Ruang atrium dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan
dan atrium kiri, demikian halnya dengan ruang ventrikel, dibagi lagi menjadi
2 yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri.
Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam sirkulasinya pada
manusia, yaitu : Darah dari seluruh tubuh – bertemu di muaranya pada vena
cava superior dan inferior pada jantung – bergabung di Atrium kanan –
masuk ke ventrikel kiri – arteri pulmonalis ke paru – keluar dari paru melalui
vena pulmonalis ke atrium kiri (darah yang kaya O2) – masuk ke ventrikel
kiri, kemudian dipompakan kembali ke seluruh tubuh melalui aorta. Keluar
masuknya darah, ke masing-masing ruangan, dikontrol juga dengan peran 4
buah katup di dalamnya, yaitu :
1. Katup trikuspidal (katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel
kanan).
2. Katup mitral (katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri).
3. Katup pulmonalis (katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis).
4. Katup aorta (katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta).
Arteri koroner adalah arteri yang bertanggung jawab dengan jantung
sendiri,karena darah bersih yang kaya akan oksigen dan elektrolit sangat
penting sekali agar jantung bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Apabila
arteri koroner mengalami pengurangan suplainya ke jantung atau yang di
sebut dengan ischemia, ini akan menyebabkan terganggunya fungsi jantung
sebagaimana mestinya. Apalagi arteri koroner mengalami sumbatan total
atau yang disebut dengan serangan jantung mendadak atau miokardiac
infarction dan bisa menyebabkan kematian. Begitupun apabila otot jantung
dibiarkan dalam keadaan iskemia, ini juga akan berujung dengan serangan
jantung juga atau miokardiac infarction. Arteri koroner adalah cabang
pertama dari sirkulasi sistemik, dimana muara arteri koroner berada dekat
dengan katup aorta atau tepatnya di sinus valsava. Arteri koroner dibagi
dua,yaitu: Arteri koroner kanan dan Arteri koroner kiri.

1.2. Definisi dan Manifestasi klinis


Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang
tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan);
tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya
bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat (Tabel 1
dan 2).
Tabel 1. Tanda dan gejala gagal jantung
Definisi gagal jantung
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan
seperti :
Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktifitas, kelelahan,
edema tungkai
DAN
Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipneu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali
DAN
Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat istrahat,
kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptida natriuretik
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure.(3)

Tabel 2. Manifestasi klinis gagal jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Orthopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal nocturnal  Suara jnatung S3 (gallop)
dyspnea  Apex jantung bereser ke
 Toleransi aktivitas yang lateral
berkurang  Bising ‘jantung
 Cepat lelah
 Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
 Batuk di malam/dini hari  Edema perifer
 Mengi  Krepitasi pulmonal
 Berat badan bertambah >2  Suara pekak di basal paru
kg/minggu pada perkusi
 Berat badan turun (gagal  Takikardia
jantung stadium lanjut)  Nadi irregular
 Perasaan kembung/begah  Nafas cepat
 Nafsu makan menurun  Hepatomegaly
 Perasaan bingung (terutama  Asites
pasien usia lanjut)  Kaheksia
 Depresi
 Berdebar
 Pingsan
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure.(3)
1.3. Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
II aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
III istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
IV Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.

Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of


Cardiology dan American Heart Association.
Tabel 3. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.

Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhubungan erat


dengan perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala atau tanda.

Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan struktural


jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya gejala
gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksimal.

Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung
akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik
atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan
preload dan afterload dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut
dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan istirahat.

1.4. Patofisiologi
1. Struktur Jantung yang Gagal
Heart failure (HF) adalah sindrom klinis kompleks yang sebagian disebabkan oleh
perubahan patologis pada struktur dan fungsi miokardium. Pada awal abad keenam belas,
ahli anatomi mengenali kelainan struktural karakteristik jantung pasien yang meninggal
karena HF. Jantung yang gagal ditemukan membesar pada otopsi, dengan peningkatan
massa karena penebalan dinding ventrikel dan/atau dilatasi rongga ventrikel. Pola
sebelumnya dikenal sebagai hipertrofi konsentris dan yang terakhir disebut hipertrofi
eksentrik (Gambar 3.2). Osler dan lainnya menyimpulkan bahwa hipertrofi eksentrik
biasanya dikaitkan dengan penurunan fungsi kontraktil jantung dan menandakan
prognosis yang lebih buruk. Kami sekarang tahu bahwa hipertrofi konsentris
berkembang sebagai respons awal adaptif terhadap pembebanan tekanan kronis,
konsisten dengan Hukum LaPlace di mana tekanan internal meningkat untuk
meningkatkan tegangan (tegangan) dinding yang menghasilkan ekspansi kompensasi
ketebalan dinding (Gambar 8.3). Hipertrofi eksentrik dapat timbul dari pembebanan
volume kronis, kardiomiopati primer, atau dapat berkembang pada jantung terhipertrofi
yang terpapar oleh ketegangan dinding yang terus meningkat. Dasar-dasar molekuler dari
hipertrofi patologis telah dijelaskan pada abad ini sejak pengamatan Osler dan telah
sangat berharga dalam memahami HF.

2. Perubahan Hemodinamik pada HF


Seperti yang ditemukan oleh ahli fisiologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-
20, kelainan struktural yang terkait dengan gagal jantung muncul dari dan menyebabkan
perubahan dalam parameter hemodinamik dasar termasuk preload, afterload, dan
kontraktilitas. Mungkin pelopor yang paling berpengaruh adalah Ernest Starling, yang
menunjukkan bahwa volume stroke meningkat secara proporsional dengan volume akhir
diastolik (preload). Prinsip ini, yang sekarang disebut Hukum Frank-Starling,
memungkinkan jantung untuk mengkompensasi gangguan kontraktilitas dan dapat
mencegah perkembangan sindrom klinis gagal jantung. Respons adaptif yang awalnya
ini dipertahankan, sebagian, oleh retensi dan redistribusi cairan, yang dihasilkan dari
respons neurohormonal terhadap gangguan kinerja jantung. Ketika penyakit berkembang,
retensi cairan menyumbang banyak tanda dan gejala gagal jantung yang nyata, yang
hampir selalu ditandai dengan peningkatan preload.

Gambar 3.2. Hukum LaPlace yang berkaitan dengan jantung. Hukum LaPlace
menggambarkan tegangan dinding yang timbul dari radius tertentu dan tekanan internal
dari bilik ventrikel. Diagram jantung menunjukkan variabel yang terlibat dalam Hukum
LaPlace. Di sebelah kanan, efek perubahan tekanan (P) atau jari-jari pada tegangan
dinding (T) digambarkan. Perubahan patologis dalam sistem kardiovaskular dapat
mengubah tekanan atau jari-jari untuk secara efektif meningkatkan ketegangan dinding
untuk mengurangi aliran dan pemendekan darah miokard, yang biasanya memicu respons
hipertrofik oleh miokardium.

Gambar 3.3. Pola hipertrofi jantung yang gagal. Respons hipertrofi jantung terbagi
dalam dua kategori: konsentris dan eksentrik. Hipertrofi konsentris, di mana penebalan
dinding terjadi dan pada tingkat sel dibuktikan dengan peningkatan volume kardiomiosit
dan penambahan unit sarkomer secara paralel. Hipertrofi eksentrik diamati sebagai
penipisan dinding ventrikel; kardiomiosit memang meningkatkan volume, tetapi biasanya
dengan perpanjangan sebagai unit sarkomer ditambahkan secara seri. Hipertrofi adalah
respons adaptif namun pada gagal jantung, perubahan ini menyebabkan penurunan fungsi
jantung.

Afterload didefinisikan sebagai tekanan dinding ventrikel selama kontraksi dan


biasanya diperkirakan oleh tekanan darah atau resistensi vaskular sistemik. Peran
afterload pada HF bersifat multifaktorial: afterload yang meningkat secara kronis, seperti
pada hipertensi atau stenosis aorta, dapat menyebabkan hipertrofi dan akhirnya
menyebabkan HF. Afterload juga dapat meningkat sebagai respons kompensasi untuk
mempertahankan perfusi sistemik dalam pengaturan curah jantung yang rendah. Evaluasi
hemodinamik invasif, seperti yang dipelopori oleh Andre Cournand dan Dickinson
Richards pada awal 1940-an, memungkinkan perhitungan resistensi vaskular sistemik
yang sangat penting untuk pemahaman saat ini bahwa pengurangan afterload yang bijak
secara farmakologis bermanfaat dalam pengelolaan HF.
Kontraktilitas adalah ukuran kekuatan kontraksi miokard pada setiap preload dan
afterload yang ada, dan ditentukan pada tingkat sel dengan derajat pemendekan
sarkomer. Secara historis, HF dipahami terutama sebagai kegagalan kontraktilitas karena
cedera miokard, meskipun baru-baru ini menjadi jelas bahwa HF dapat berkembang
dalam pengaturan kontraktilitas yang tampak normal. Dalam istilah patofisiologis, HF
dalam pengaturan penurunan kontraktilitas disebut HF sistolik, sedangkan HF
berkembang dalam pengaturan kontraktilitas normal dan disebut HF diastolik. Secara
klinis, entitas ini dikenal sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF)
dan HFpEF, di mana EF adalah ukuran pengganti untuk kontraktilitas (volume
stroke/volume diastolik akhir). Anehnya, sekitar 50% pasien gagal jantung memiliki
HFpEF. Patofisiologi HFpEF kurang dipahami, tetapi mencakup kelainan pada fungsi
diastolik, serta kopling ventrikel-vaskular patologis karena kekakuan arteri, respon
denyut jantung yang tidak memadai (inkompetensi kronotropik), dan cadangan kontraktil
yang tidak memadai.
Manifestasi klinis gagal jantung ditentukan oleh derajat gangguan hemodinamik.
Sebagian besar pasien dengan HF simptomatik, baik HFpEF atau HFrEF, secara nyata
mengalami peningkatan preload karena retensi cairan. Pasien-pasien HfrEF dengan
gangguan kontraktilitas yang parah juga dapat mengembangkan tanda-tanda dan gejala-
gejala hipoperfusi karena curah jantung yang tidak memadai, meskipun kelainan-
kelainan ini berkembang hanya selama stadium lanjut penyakit.

3. HF Kiri dan Kanan


Terlepas dari apakah gagal jantung muncul dalam pengaturan kontraktilitas yang
dipertahankan atau berkurang, patofisiologi dan manifestasi klinisnya ditentukan oleh
ventrikel yang terkena. HF kiri dikaitkan dengan peningkatan tekanan pengisian LV
(preload) yang berhubungan secara pasif kembali ke atrium kiri (LA) dan kemudian
melalui vena paru ke pembuluh darah paru. Ketika tekanan hidrostatik di pembuluh
pulmonal melebihi tekanan di interstitium, cairan ekstravasasi menyebabkan edema paru.
Pada tekanan yang sangat tinggi, cairan dapat bergerak dari kapiler paru ke ruang udara
alveolar, menyebabkan dispnea dan hipoksia. Perkembangan gagal jantung kiri memiliki
banyak penyebab, termasuk penyakit jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup mitral atau aorta, dan hipertensi sistemik.
HF kanan dikaitkan dengan peningkatan tekanan vena sentral, yang berfungsi
sebagai preload ventrikel kanan. Peningkatan yang terjadi pada tekanan vena sistemik
menyebabkan edema di hati, dinding usus, dan di rongga perut sendiri (asites) ketika
tekanan meningkat secara nyata.
Secara kolektif, proses ini sering menyebabkan pasien dengan gagal jantung kanan
mengalami rasa kenyang perut, mual, atau rasa kenyang dini. Retensi cairan, peningkatan
tekanan vena sistemik, dan gravitasi bersatu dan menyebabkan edema ekstremitas
bawah, manifestasi paling khas dari gagal jantung kanan. Penyebab paling umum dari
HF kanan adalah HF kiri, di mana retensi cairan menyebabkan peningkatan preload dan
afterload ke ventrikel kanan. Namun, gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa
adanya gagal jantung kiri pada kondisi yang menyebabkan peningkatan afterload
ventrikel kanan (hipertensi paru). Penyebab hipertensi paru yang berkontribusi terhadap
gagal jantung sisi kanan termasuk penyakit paru hipoksik kronis, penyakit pembuluh
darah kolagen, penyakit tromboemboli vena, dan hipertensi arteri paru primer. Sementara
sebagian besar HF sisi kanan terjadi secara tidak langsung dari peningkatan tekanan,
gagal jantung kanan jarang dapat disebabkan oleh proses penyakit primer pada otot
ventrikel kanan itu sendiri, MI yang dihasilkan dari penyumbatan arteri koroner
memasok darah ke sisi kanan jantung, penyakit jantung kongenital, atau kardiomiopati
ventrikel kanan aritmogenik.

4. Remodeling Miokard pada HF: Kematian Sel dan Regenerasi


Dasar anatomi untuk disfungsi jantung dan gagal jantung awalnya dijelaskan oleh
Linzbach dan Hort. Sebagai ahli patologi, mereka berhipotesis bahwa stres jantung
kronis menyebabkan hipertrofi jantung progresif (peningkatan ukuran kardiomiosit),
yang dari waktu ke waktu melebihi kapasitas pembuluh darah koroner untuk
memperbaiki peningkatan massa sel. Mereka mengusulkan bahwa ini mengarah pada
pembentukan fokus iskemik yang menyebabkan nekrosis multifokal, sub-endokardial,
selip, dan penggantian fibrosis selain pelebaran ruang stereotip. Berat jantung untuk efek
ini terjadi pada 500 g, sesuai dengan berat LV kritis 200 g, menurut penelitian Linzbach
dan Hort. Remodeling miokard ini, ditunjukkan oleh dilatasi struktural, baru-baru ini
telah diakui sebagai hasil dari sejumlah besar proses kompleks. Menariknya, Linzbach
menemukan bahwa peningkatan yang diamati dalam diameter cross-sectional kurang dari
yang diprediksi mengingat peningkatan keseluruhan massa jantung, menyimpulkan
bahwa hiperplasia (peningkatan jumlah kardiomiosit) harus terjadi dalam jantung dengan
hipertrofi eksentrik, melebihi berat kritis 500 g. Sementara tingkat mitosis tidak
didokumentasikan, penilaian histologis miokardium menunjukkan peningkatan jumlah
miosit, yang mengarah pada kesimpulan bahwa hiperplasia kardiomiosit disebabkan oleh
pembelahan kardiomiosit longitudinal. Pada saat itu, konsep proliferasi kardiomiosit
bersifat spekulatif pada mamalia, melalui fenomena yang terdokumentasi di hati amfibi
dan ikan teleost.
5. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi normal
a. Sekitar 50% dari semua kasus HF mewakili HFpEF (heart failure with preserved
ejection fraction). Prevalensi HFpEF yang tinggi dan meningkat dikaitkan dengan
peningkatan usia harapan hidup, populasi yang bertambah tua, dan epidemi penyakit
penyerta seperti hipertensi, penyakit arteri koroner, diabetes, obesitas, sindrom
metabolik, fibrilasi atrium, penyakit ginjal kronis, dan paru obstruktif kronik
(COPD).
Penyebab paling umum dari HFpEF adalah hipertensi, praklinis disfungsi
diastolik/DD (DD dengan LVEF yang normal dan tanpa gejala HF), dan hipertrofi LV
adalah faktor risiko umum untuk HFpEF. Kelainan patofisiologis utama pada HFpEF
adalah DD, kopling ventrikel abnormal, disfungsi sistolik longitudinal dalam
menghadapi LVEF normal, hipertensi paru dengan HF, inkompetensi kronotropik,
gangguan vasodilator cadangan, berkurangnya fungsi cadangan, kerusakan fungsi otot
rangka, dan penyebab ekstrakardiak dari volume berlebih. Sementara hipertensi dapat
memicu perkembangan hipertrofi LV dan fibrosis, perkembangan HFpEF dalam skenario
ini sangat bervariasi. Dalam studi Framingham Heart, hipertensi sistolik terisolasi
menyebabkan LVH konsentris pada wanita, tetapi pada pria menyebabkan hipertrofi
eksentrik. Penelitian pada hewan juga menemukan hubungan ini, menunjukkan bahwa
hipertensi sistolik terisolasi berkontribusi terhadap peningkatan HFpEF pada wanita.
Kekakuan arteri yang terkait dengan usia lanjut, karena kolagen cross-linking, perubahan
geometrik, dan perubahan fungsi sel endotel dapat berkontribusi pada HFpEF. Borlaug et
al. mengidentifikasi disfungsi sel endotel pada 42% pasien dengan HFpEF, dibandingkan
dengan 28% dari hipertensi tanpa HF. Selanjutnya, diabetes, obesitas, dan COPD
berinteraksi untuk menciptakan lingkungan yang menyebabkan disfungsi sel endotel,
suatu kondisi yang menonjol pada HFpEF. Gambar 8.8 merangkum interaksi antara
faktor-faktor risiko utama yang berkontribusi pada pengembangan HFpEF.
Gambar 3.4. Gagal jantung kompensasi dan dekompensasi, sebagaimana diindikasikan
dengan ada atau tidak adanya retensi natrium urin, bersama dengan gejala dan tanda-tanda
volume intravaskular dan ekstravaskular yang diperluas. A, Pada gagal jantung
kompensasi dengan pengurangan perfusi ginjal ringan sampai sedang, peptida natriuretik,
seperti atrial natriuretic peptide (ANP) yang dilepaskan oleh atrium yang terdistensi,
merangsang ekskresi natrium (mengurangi reabsorpsi, tanda minus) sehingga rasio
natrium-kalium urin adalah lebih besar dari 1,0. B, Pada gagal jantung dekompensasi,
penurunan perfusi ginjal sedang hingga berat mengaktifkan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAAS), menggantikan aksi peptida natriuretik untuk menstimulasi reabsorpsi
natrium urin yang hampir lengkap (tanda plus), menghasilkan natrium urin. rasio kalium
kurang dari 1,0. ACh = asetilkolin; CNS = sistem saraf pusat; E = epinefrin. (Dari KT
Weber: Aldosterone pada gagal jantung kongestif. N Engl J Med 345: 1689, 2001; dan KT
Weber, Villareal D: terapi Aldosteron dan antialdosteron pada gagal jantung kongestif. Am
J Cardiol 71 [suppl 3A]: 11A, 1993.)6

1.5. Algoritma diagnosis gagal jantung


1. Gejala dan tanda
Gejala HF seringkali tidak spesifik dan seringkali tidak dapat dibedakan antara HF
dan masalah lainnya. (Tabel 2.1). gejala dan tanda HF akibat retensi cairan dapat teratasi
dengan cepat dengan terapi diuretik. Tanda, seperti peningkatan tekanan vena jugular
dan perubahan letak impuls apikal, mungkin lebih spesifik, tetapi lebih sulit ditemui dan
memiliki ketepatan yang buruk. Gejala dan tanda mungkin terutama sulit untuk
diidentifikasi dan dinilai pada pasien obesitas, pada usia lanjut dengan penyakit paru
kronis. Pasien muda dengan HF seringkali memiliki etiologi, presentasi klinis dan
keluaran yang berbeda dibandingkan dengan pasien yang lebih tua.

1.
2. Gambar 3.5. Tanda dan gejala HF
3.
Riwayat yang rinci harus selalu didapat. HF jarang terjadi pada individu yang tidak
memiliki riwayat klinis yang relevan (seperti penyebab potensial cedera jantung),
dimana beberapa gambaran, terutama riwayat infark miokard, meningkatkan
kecenderungan HF pada pasien dengan tanda dan gejala yang sesuai.
Pada setiap kunjungan pasien, tanda dan gejala HF perlu dinilai, dengan perhatian
utama pada bukti adanya kongesti. Gejala dan tanda bersifat penting dalam memonitor
respon pasien terhadap terapi dan stabilisasi sepanjang waktu. Menetapnya gejala pada
saat terapi biasanya mengindikasikan perlunya tambahan terapi, dan perburukan gejala
adalah suatu perubahan serius (menempatkan pasien pada risiko rujukan darurat ke RS
dan kematian) dan memerlukan perhatian medis yang tepat.
2. pemeriksaan awal yang penting: peptida natriuretik, elektrokardiogram dan
ekokardiografi.
Konsentrasi plasma peptida natriuretik (NPs) dapat digunakan sebagai sebuah
pemeriksaan diagnostik awal, khususnya pada keadaan non akut ketika ekokardiografi
tidak tersedia dalam segera. Peningkatan NPs membantu menentukan diagnosis kerja
awal, menentukan mereka yang membutuhkan pemeriksaan jantung lebih lanjut; pasien
dengan nilai dibawah cutpoint untuk eksklusi disfungsi jantung yang penting tidak
memerlukan ekokardiografi. Pasien dengan konsentrasi plasma NP yang normal jarang
mengidap HF. Batas atas nilai normal pada keadaan non-akut untuk kadar peptida
natriuretik tipe-B (BNP) adalah 35 pg/mL dan untuk kadar N-terminal pro-BNP (NT-
proBNP) adalah 125 pg/mL; pada keadaan akut, nilai yang lebih besar harus digunakan
[BNP, 100 pg/mL, NT-proBNP, 300 pg/mL dan mid-regional pro peptida natriuretik tipe
A (MR-proANP), 120 pmol/L]. Nilai diagnostik digunakan serupa pada HFrEF and
HFpEF; rata-rata, nilainya lebih rendah pada HFpEF daripada untuk HFrEF. Pada titik
potong eksklusi yang disebutkan, nilai-nilai prediktif negatif sangat mirip dan tinggi
(0,94-0,98) baik dalam keadaan non-akut dan akut, tetapi nilai prediksi positif lebih
rendah baik dalam pengaturan non-akut (0,44-0,57) dan dalam keadaan akut (0,66-0,67).
Oleh karena itu, penggunaan NP dianjurkan untuk menyingkirkan gagal jantung, tetapi
tidak untuk menegakkan diagnosis.
Ada banyak penyebab kardiovaskular dan non-kardiovaskular dari peningkatan NP
yang dapat melemahkan utilitas diagnostik mereka terhadap gagal jantung. Di antara
mereka, AF, usia dan gagal ginjal adalah faktor paling penting yang menghambat
interpretasi pengukuran NP. Di sisi lain, kadar NP mungkin rendah secara proporsional
pada pasien obesitas.
Elektrokardiogram abnormal (EKG) meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal
jantung, tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Beberapa kelainan pada EKG
memberikan informasi tentang etiologi (misalnya infark miokard), dan temuan pada
EKG mungkin memberikan indikasi untuk terapi (misalnya antikoagulasi untuk AF, pacu
jantung untuk bradikardia, CRT jika kompleks QRS melebar). HF tidak mungkin terjadi
pada pasien dengan EKG normal (sensitivitas 89%). Oleh karena itu, penggunaan EKG
secara rutin dianjurkan untuk menyingkirkan HF.
Ekokardiografi adalah tes yang paling berguna dan tersedia secara luas pada pasien
dengan dugaan gagal jantung untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini memberikan
informasi langsung tentang volume ruang, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel,
ketebalan dinding, fungsi katup, dan hipertensi paru. Informasi ini sangat penting dalam
menegakkan diagnosis dan dalam menentukan perawatan yang tepat.
Informasi yang didapat dengan evaluasi klinis yang cermat dan tes-tes yang
disebutkan di atas akan memungkinkan diagnosis kerja awal dan rencana perawatan pada
kebanyakan pasien. Tes lain umumnya diperlukan hanya jika diagnosis tetap tidak pasti
(mis. Jika gambar ekokardiografi suboptimal atau dicurigai sebagai penyebab gagal
jantung).

3. Algoritma untuk diagnosis gagal jantung


b. Algoritma untuk diagnosis gagal jantung dalam keadaan non-akut
Algoritma untuk diagnosis gagal jantung pada keadaan non-akut ditunjukkan
pada Gambar 3.
Untuk pasien yang mengalami gejala atau tanda untuk pertama kalinya, tidak
mendesak dalam perawatan primer atau di klinik rawat jalan rumah sakit yang tidak
darurat (gambar 2), probabilitas gagal jantung pertama-tama harus dievaluasi
berdasarkan riwayat klinis pasien sebelumnya [mis. penyakit arteri koroner (CAD),
hipertensi arteri, penggunaan diuretik], gejala yang muncul (mis. ortopnoea),
pemeriksaan fisik (mis. edema bilateral, peningkatan tekanan vena jugularis, denyut
apikal yang bergeser) dan EKG istirahat. Jika semua elemen normal, gagal jantung
sangat tidak mungkin dan diagnosis lain perlu dipertimbangkan. Jika setidaknya satu
elemen abnormal, NP plasma harus diukur, jika tersedia, untuk mengidentifikasi
mereka yang membutuhkan ekokardiografi (ekokardiogram diindikasikan jika level
NP di atas ambang pengecualian atau jika kadar NP yang beredar tidak dapat
dinilai).
4.
5. Gambar 3.6. Algoritma diagnosis HF onset non-akut
6.
c. Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan (heart failure with
preserved ejection fraction, HFpEF)
Diagnosis HFpEF tetap menantang. LVEF normal dan tanda-tanda dan gejala
gagal jantung (gambar 2) sering tidak spesifik dan tidak membedakan dengan baik
antara gagal jantung dan kondisi klinis lainnya. Bagian ini merangkum rekomendasi
praktis yang diperlukan untuk diagnosis yang tepat dari entitas klinis ini dalam
praktik klinis.
Diagnosis HFpEF kronis, terutama pada pasien lansia tipikal dengan
komorbiditas dan tidak ada tanda-tanda jelas kelebihan cairan sentral, rumit dan
standar emas yang divalidasi tidak ada. Untuk meningkatkan spesifisitas
mendiagnosis HFpEF, diagnosis klinis perlu didukung oleh tindakan objektif
disfungsi jantung saat istirahat atau selama berolahraga. Diagnosis HFpEF
membutuhkan kondisi berikut untuk dipenuhi:
a) Adanya gejala dan / atau tanda-tanda HF (gambar 2)
b) EF “yang tersedia” (didefinisikan sebagai LVEF ≥50% atau 40-49% untuk
HFmrEF)
c) Peningkatan kadar NP (BNP>35 pg/mL dan/atau NT-proBNP>125 pg/mL)
d) Bukti obyektif dari perubahan fungsional dan struktural jantung lainnya yang
mendasari gagal jantung (untuk perincian, lihat di bawah)
e) Jika terjadi ketidakpastian, uji tekanan atau tekanan pengisian LV yang
meningkat yang diukur secara invasif mungkin diperlukan untuk mengonfirmasi
diagnosis (untuk perincian, lihat di bawah).

Penilaian awal terdiri dari diagnosis klinis yang kompatibel dengan algoritma yang
disajikan di atas dan penilaian LVEF dengan ekokardiografi. Cutoff 50% untuk
diagnosis HFpEF adalah sewenang-wenang; pasien dengan LVEF antara 40 dan
49% sering diklasifikasikan sebagai HFpEF dalam uji klinis. Namun, dalam
pedoman ini, kami mendefinisikan HFpEF sebagai LVEF ≥50% dan menganggap
pasien dengan LVEF antara 40 dan 49% sebagai area abu-abu, yang dapat
diindikasikan sebagai HFmrEF. Tanda dan gejala klinis serupa untuk pasien dengan
HFrEF, HFmrEF, dan HFpEF. EKG istirahat dapat mengungkapkan kelainan
seperti AF, hipertrofi LV dan kelainan repolarisasi. EKG normal dan/atau
konsentrasi plasma BNP<35 pg/mL dan/atau NT-proBNP<125 pg/mL membuat
diagnosis HFpEF, HFmrEF atau HFrEF tidak mungkin.
Langkah selanjutnya terdiri dari pemeriksaan lanjutan dalam kasus bukti awal
HFpEF/HFmrEF dan terdiri dari demonstrasi obyektif perubahan struktural dan/atau
fungsional jantung sebagai penyebab yang mendasari presentasi klinis. Perubahan
struktural utama adalah indeks volume atrium kiri (LAVI)>34 mL/m2 atau indeks
massa ventrikel kiri (LVMI)≥115 g/m2 untuk pria dan ≥95 g/m2 untuk wanita.
Perubahan fungsional utama adalah E/e′≥13 dan rata-rata e' septum dan dinding
lateral< 9 cm/s. Pengukuran turunan ekokardiografi adalah regangan longitudinal
atau kecepatan regurgitasi trikuspid (TRV).
Tes stres diastolik dapat dilakukan dengan ekokardiografi, biasanya
menggunakan protokol latihan ergometer sepeda semi supine dengan penilaian LV
(E/e′) dan tekanan arteri pulmonalis (TRV), disfungsi sistolik (regangan
longitudinal), volume stroke, dan curah jantung berubah dengan olahraga. Protokol
latihan dinamis yang berbeda tersedia, dengan ergometri sepeda semi-supine dan
ekokardiografi saat istirahat dan olahraga submaksimal yang paling sering
digunakan. Latihan yang diinduksi peningkatan E/e′ di luar batas diagnostik
(mis.>13), tetapi juga pengukuran tidak langsung lainnya dari fungsi sistolik dan
diastolik, seperti regangan longitudinal atau TRV, digunakan. Atau, hemodinamik
invasif saat istirahat dengan penilaian tekanan pengisian [tekanan baji kapiler
pulmoner, PCWP] ≥15 mmHg atau tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (LVEDP)
≥16 mmHg] diikuti dengan latihan hemodinamik jika di bawah ambang batas ini,
dengan penilaian perubahan pengisian tekanan, tekanan sistolik arteri pulmonalis,
volume stroke dan curah jantung, dapat dilakukan.
Diagnosis HFpEF pada pasien dengan AF adalah sulit. Karena AF dikaitkan
dengan kadar NP yang lebih tinggi, penggunaan NT-proBNP atau BNP untuk
mendiagnosis HFpEF mungkin perlu distratifikasi dengan adanya irama sinus
(dengan cut-off yang lebih rendah) vs AF (cut-off yang lebih tinggi). LAVI
meningkat oleh AF, dan parameter fungsional disfungsi diastolik kurang mapan
pada AF, dan nilai batas lainnya mungkin berlaku. Di sisi lain, AF mungkin
merupakan tanda kehadiran HFpEF, dan pasien dengan AF dan HFpEF sering
memiliki karakteristik pasien yang serupa. Selain itu, pasien dengan HFpEF dan AF
mungkin memiliki HF lebih berkembang dibandingkan dengan pasien dengan
HFpEF dan irama sinus.
Pasien dengan HFpEF adalah kelompok heterogen dengan berbagai etiologi dan
kelainan patofisiologis yang mendasarinya. Berdasarkan penyebab spesifik yang
dicurigai, tes tambahan dapat dilakukan. Namun, mereka hanya dapat
direkomendasikan jika hasilnya mungkin mempengaruhi manajemen.

3.6. Tatalaksana
Tabel. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik
Prognosis Menurunkan mortalitas
Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008.
Gambar. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik (NYHA
fc II-IV). Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 9)


Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi ACEI
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis
titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012

Tabel. Indikasi pemberian digoxin pada gagal jantung.

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron.
Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.

Indikasi pemberian ARB


 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB


 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel 11

Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan naikan


dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hyperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-
ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat
ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β
dan ARB atau antagonis aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN


 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50 mg dan
ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi


H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot
DIGOKSIN

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta)
lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai
efek terhadap angka kelangsungan hidup. Cara pemberian digoksin pada gagal
jantung.

Inisiasi pemberian digoksin


 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada
pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, 1 x/hariPeriksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi
kronik. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL.
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin).
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV.
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hypokalemia.
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat
warna

DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung


 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten

Dosis diuretik (Tabel 13)


 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Gambar. Algoritma terapi farmakologis pada pasien yang telah didiagnosis sebagai gagal jantung
akut. Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2012
Gambar. Algoritma manajemen edema/kongesti paru akut. Disadur dari ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.
2.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, bagian distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis.2,5,6

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia


merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di
Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam.2 Di Amerika
Serikat pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 dan nomor 1 sebagai penyebab
kematian akibat penyakit infeksi.4,7 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun
2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke 2 sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Diperkirakan insiden community-acquired pneumonia (CAP) 3,5 – 4
juta kasus pertahun atau 5-11 kasus per 1000 populasi dewasa, dengan insiden tertinggi pada
bayi dan usia lanjut. Sekitar 20% dari penderita tersebut memerlukan perawatan di rumah
sakit dengan angka mortalitas 5-12% dan 25-50% pada penderita yang dirawat di ICU.5,6

2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia dengan
cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi bahan sputum didapatkan
hasil sebagai berikut; Klebsiela pneumoniae 45,18%, Streptococcus pneumoniae 14,04%,
Streptococcus viridans 9,21%, Staphylococcus aureus 9%, Pseudomonas aeruginosa 8,56%,
Streptococcus hemolyticus 7,89%, Enterobacter 5,26%, Pseudomonas spp 0,9%.2 Dari
beberapa studi prospektif lain menyatakan kuman patogen pada 30–60% kasus pneumonia
komuniti tidak dapat diidentifikasi.3,7

2.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa
cara mikroorganisme mencapai permukaan2,3 :
1. inhalasi bahan aerosol
2. aspirasi orofaring atau lambung
3. Inokulasi langsung
4. Penyebaran melalui pembuluh darah
5. Kolonisasi dipermukaan mukosa
6. Reaktivasi
Masuknya mikroorganisme secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran
napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Pada pneumonia komunitas, gambaran interaksi daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan juga dipengaruhi oleh faktor yang meningkatkan risiko
infeksi oleh patogen tertentu seperti yang terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor Perubah yang Meningkatkan Risiko Infeksi oleh


Pathogen Tertentu pada Pneumonia Komunitas
Pneumokokkus yang resisten penisilin dan obat lain
Usia > 65 tahun
Pengobatan B-lactam dalam 3 bulan terakhir
Alkoholisme
Immunosupresif (termasuk penggunaan kortikosteroid
Penyakit penyerta yang multiple
Kontak pada klinik lansia
Pathogen Gram Negatif
Tinggal di rumah jompo
Penyakit kardiopulmonal penyerta
Penyakit penyerta multipel
Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika
Pseudomonas Aeruginosa
Penyakit paru structural (bronkiektasis)
Terapi kortikosteroid (>10 mg prednisone/hari)
Terapi antibiotik spectrum luas > 7 hari pada bulan sebelumnya
Malnutrisi
Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jilid II Ed IV

2.5 Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Secara singkat
gambaran proses ini akan menunjukkan 4 zona pada daerah parasitik tersebut yaitu2,3 :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah (red
hepatization).
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak (gray hepatization).
4. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit
dan alveolar makrofag.

2.6 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia sangat beragam dan yang sering digunakan antara lain:
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi


a. Pneumonia lobaris
Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi
bronkus, misalnya pada aspirasi benda asing atau proses keganasan

b. Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh
bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial

2.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis dibuat dengan maksud megarahkan pemberian terapi yaitu
mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman
penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada
pemilihan terapi empiris yang tepat. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat
penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang.
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.2,3-7 Melalui anamnesis dievaluasi
pula faktor predisposisi pasien, usia pasien dan awitan untuk mengetahui
kemungkinan kuman penyebab.1
2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi. Presentasi klinis yang muncul bervariasi
tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis penderita. Pada pneumonia komunitas
terdapat perbedaan pneumonia atipik dan tipikal yang membantu dalam memberikan
terapi empiris sesuai etiologi.

Tabel 2. Perbedaan gambaran klinik pneumonia atipik dan tipik

Sumber: Pneumonia Komuniti; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003

Pemeriksaan penunjang
1. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks
saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan


fisisk, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika
pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih
gejala di bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisik : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan rhonki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500

2.8 Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinis penderita yang
dapat dinilai dengan indeks derajat keparahan penyakit. Bila keadaan klinis baik dan tidak
ada indikasi rawat inap dapat diobati di rumah. Selain itu perlu diperhatikan ada tidaknya
faktor modifikasi (tabel 2) yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme patogen yang spesifik. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia
komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini
Tabel 3. Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
Karakteristik Penderita Jumlah Point
Faktor demografi
- Usia :
laki-laki umur (tahun)
perempuan umur (tahun) – 10
- Perawatan di rumah +10
- Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskuler +10
Penyakit ginjal +10

Pemeriksaan fisik
- Perubahan status mental + 20
- Pernapasan > 30 kali/menit + 20
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg + 20
- Suhu tubuh < 35o atau > 40o C +15
- Nadi > 125 kali/menit +10

Hasil laboratorium / radiologi


- Analisa gas darah arteri : pH < 7,35 + 30
- BUN > 30 mg/dL + 20
- Natrium < 130 mEq/liter + 20
- Glukosa > 250 mg/dL +10
- Hematokrit < 30% + 10
- PO2 < 60 mmHg +10
- Efusi pleura +10

Menurut American Thoracic Society (ATS) kriteria pneumonia berat bila dijumpai
'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor sebagai berikut:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah (tabel 4) :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satu dari kriteria dibawah ini :
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Tabel 4. Derajat Skor Risiko Pneumonia Menurut PORT


Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di ruang rawat intensif adalah penderita yang
mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik
dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu
(Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan
tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi
untuk perawatan ruang rawat intensif.
Penatalaksanaan pneumonia komuniti dapat dibagi 3 bagian yaitu : penderita rawat
jalan, penderita rawat inap di ruang rawat biasa, penderita rawat inap di ruang rawat intensif.
Penderita rawat jalan diberikan terapi suportif/simptomatik yaitu istirahat di tempat tidur,
minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi, dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran,
dan pemberian antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam. Penderita rawat inap di ruang
rawat biasa diberikan terapi suportif berupa terapi oksigen, pemasangan infus untuk rehidrasi
dan koreksi dan elektrolit, obat simptomatik seperti antipiretik, mukolitik, dan antibiotik
harus diberikan kurang dari 8 jam. Penderita yang dirawat di ICU bila ada indikasi penderita
dipasang ventilator mekanik. Petunjuk terapi empiris menurut PDPI dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5. Petunjuk Terapi Empiris Menurut PDPI


Rawat Jalan - Tanpa faktor modifikasi :
Golongan β laktam atau β laktam + anti β laktamase
- Dengan faktor modifikasi :
Golongan β laktam + anti β laktamase atau Fluorokuinolon
respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)
- Bila dicurigai pneumonia atipik : makrolid baru (roksitrosin,
klaritromisin, azitromosin)

Rawat inap - Tanpa faktor modifikasi :


Golongan beta laktam + anti beta laktamase i.v atau
Sefalosporin G2,G3 i.v atau
Fluorokuinolon respirasi
- Dengan faktor modifikasi :
Sefalosporin G2,G3 i.v atau
Fluorokuinolon respirasi i.v
- Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid
baru

Ruang - Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas :


Rawat Sefalosporin G3 i.v non pseudomonas ditambah makrolid baru
intensif atau fluorokuinolon respirasi i.v
- Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
• Sefalosporin G3 i.v anti pseudomonas i.v atau karbapenem
i.v ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas
(siprofloksasin) i.v atau aminoglikosida i.v.
• Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik :
sefalosporin anti pseudomonas i.v atau carbamapenem i.v
ditambah aminoglikosida i.v ditambah lagi makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi i.v

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas.
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik.
Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae,
C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
 Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
 Fluorokuinolon respiness
 Doksisiklin

Terapi Sulih (switch therapy)


Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik
ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan
mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus memperhatikan
ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral yang efektivitasnya
mampu mengimbangi efektivitas antibiotik iv yang telah digunakan. Perubahan ini dapat
diberikan secara sequential (obat sama, potensi sama), switch over (obat berbeda, potensi
sama) dan step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah).
• Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin
• Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
• Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4
diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan. Kriteria untuk perubahan obat suntik ke
oral pada pneumonia komuniti :
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
Evaluasi pengobatan
Jika setelah diberikan pengobatan secara empiris selama 24 - 72 jam tidak ada
perbaikan, kita harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita, obat-obat yang
telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Evaluasi pengobatan pneumonia secara empiris2

2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
BAB IV

ANALISA KASUS

KASUS CHF PNEUMONIA


 Keluhan sesak napas (+) Kriteria mayor :  Demam menggigil, suhu
 Batuk berdahak sering  Paroxysmal nocturnal
tubuh dapat mencapai 40
malah hari berwarna dyspnea
kekuningan  Kardiomegali C
 Demam (+)  Ronki basah
 Batuk dahak dengan
 Kedua kaki bengkak (+)  Distensi vena jugular
 Dada terasa memberat dan  Hepato jugular reflux mukoid/purulent
terkadang disertai nyeri  Edema paru  Sesak napas
Kriteria minor :
 Efusi pleura  Nyeri dada
 Takikardi
 Dispneu de effort
 Ankle edem
 Hepatomegaly

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik :


 TD : 180/100 mmhg  Peningkatan JVP  Nafas tertinggal
 HR : 110x/m  Takikardi  Fremitus dapat mengeras
 RR : 82x/m  Kardomegali  Redup pada bagian yang
 T : 38,1 C  Gangguan bunyi jantung sakit
Leher  Ronki pada pemeriksaan  Terdengaar suara nafas
paru bronkial yang mungkin
 Pembesaran KGB (-)
 Hepatomegaly disertai ronki basah halus
JVP meningkat (5 ± 3  Asites
mmHg)

Thorax :
Paru :
 Inspeksi
retraksi ICS (+)
tampak sesak
 Palpasi
Fokal fremitus kanan
dan kiri normal
 Perkusi
Redup dikedua lapang
paru
 Auskutasi
Ronki basah halus
(+/+)
Jantung :
• Inspeksi
Ictus cordis tidak
tampak
• Palpasi
Ictus cordis teraba,
thrill (+)
• Perkusi
Batas Jantung Atas
: ICS III Linea
parasternalis sinistra
Batas Jantung Kiri
: ICS VII Linea
axillaris anterior
sinistra
Batas Jantung Kanan
: ICS VII Linea
parasternalis dextra
• Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan
S2 meningkat,
Murmur (-), Gallop (-)
Ekstremitas bawah
 Edema tungkai (+/+)

Pemeriksaaan penunjang Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang

EKG  Pada ekg ( hipertrofi  Pewarnaan gram


 Takikardi, hipertrofi ventrikel kiri, atrial  Pemeriksaan leukosit
ventrikel kiri fibrilasi. Perubahan  Pemeriksaan foto thorax
gelombang T, dan ( terdapat infiltrate )
Rontgen gambaran abnormal lain )  Kultur sputum
 Kardiomegali ( All-  Rontgen ( Untuk menilai  Kultur darah
Chambler ) disertai effuse kardiomegali, dan
pleura bilateral terutama gambaran edema paru )
kanan
 Perbecakan lunak
didaerah 2/3 medial
lapang paru kanan dan
perihiler kiri
Ec DD Edema paru
alveolar,bronkopneumonia

Penatalaksanaan Penatalaksanaan Penatalaksanaan

- Omeprazole 2x1
- Ondancentron 4mg 2x1
- Sucralfat 3x1
- Ceftriaxone 2x1
- levofloxacim 1x1
- Furosemide 3x1
- ramipril 1x1
- PCT 3x1
- Nac 3x1
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Pedoman tatalaksana gagal jantung.


2015;
2. Panggabean M, Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Gagal
Jantung. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
p. 1586.
3. Hfa A, Voors AA, Germany SDA, Uk JGFC, Uk AJSC, Harjola V, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure The Task
Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology ( ESC ) Developed with the special contribution of th.
2016;
4. Dahlan Z. Pneumonia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006. IV: 964-
971.

5. Pneumonia Komuniti : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. 1- 34.

6. Mandell LA, Barlett JG, et al. Update of Practice Guidelines for the Management of
Community-Acquired Pneumonia. Clin Infect Dis. 2003. 37 : 1405-1433

7. Lutfiyya NM, Henley E, et al. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired


Pneumonia. Am Fam Physician. 2006. 73:442-450

8. Partridge MR. Infection of Respiratory Tract. Understanding Respiratory Medicine.


Manson, London. 2006. P.102-118

9. Ward JP, Leach RM, et al. Community Acquired Pneumonia. The Respiratory System
at a Glance 2nd Ed. London. 2006. P.76-79

10. Marrie TJ, Campbell GD et al. Disorders of Respiratory System : Pneumonia.


Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. 2005. p 1528-1541

Anda mungkin juga menyukai