PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding
Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.(1) Gagal jantung
dapat terjadi pada semua usia tergantung pada penyebabnya. Gagal jantung didefinisikan
sebagai suatu kondisi patologis, dimana jantung sebagai pompa tidak mampu lagi
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk
metabolisme jaringan tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup
tinggi.(2)
World Health Organization mencatat 17,5juta orang di dunia meninggal akibat
gangguan kardiovaskular. Lebih dari 75% penderita kardiovaskular terjadi di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan 80% kematian kardiovaskuler
disebabkan oleh serangan jantung dan stroke. Jumlah kejadian penyakit jantung di
Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah 136 per 100.000 orang, di negara-negara Eropa
seperti Italia terdapat 106 per 100.000 orang, Perancis 86 per 100.000. Selanjutnya
jumlah kejadian penyakit jantung di Asia seperti di China ditemukan sebanyak 300 per
100.000 orang, Jepang 82 per 100.000 orang, sedangkan di Asia Tenggara menunjukkan
Indonesia termasuk kelompok dengan jumlah kejadian tertinggi yaitu 371 per 100.000
orang lebih tinggi dibandingkan Timur Leste sebanyak 347 per 100.000 orang dan jauh
lebih tinggi dibandingkan Thailand yang hanya 184 per 100.000 orang.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.
2.1. IDENTITAS
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 70 tahun
Alamat : Labuhan Ratu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Kawin
Agama : Islam
MRS : 23 Desember 2019
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 hari SMRS
Keadaan Spesifik
• Kepala
Kepala bentuk normocephal, rambut warna hitam keputihan, distribusi merata dan
tidak mudah rontok, deformitas (-), krepitasi (-), dan bekas luka (-)
• Mata
Alis hitam, distribusi merata, kelopak mata tidak edema, bulu mata kedepan normal,
eksopthalmus (-), endothalmus (-), konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
• Hidung
Tidak ada kelainan, tulang dalam perabaan normal krepitasi (-), deformitas (-), sekret
(-)
• Telinga
Simetris kiri dan kanan, meatus acusticus eksternus normal, sekret dari telinga (-),
pendengaran normal, tinitus (-)
• Mulut
Mukosa kering (-), karies (-), lidah kotor (-) perdarahan gusi (-), dan tonsil tidak
membesar
• Leher
Pembesaran KGB (-) JVP meningkat (5 ± 3 mmHg)
• Thorax :
Paru
– Inspeksi
Bentuk normochest simetris, retraksi ICS (+) tampak sesak, otot bantu
pernapasan lain (-), bekas luka (-) deformitas (-)
– Palpasi
Vocal fremitus (+/+) meningkat, ekspansi pernapasan simetris, krepitasi (-)
– Perkusi
Redup pada kedua lapang paru
– Auskutasi
Vesikuler +/+, Ronkhi halus basal paru +/+, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (+)
Perkusi
Batas Jantung Atas : ICS III Linea parasternalis sinistra
Batas Jantung Kiri : ICS VII Linea axillaris anterior sinistra
Batas Jantung Kanan : ICS VII Linea parasternalis dextra
Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan S2 meningkat, Murmur (-), Gallop (-)
• Abdomen :
– Inspeksi
Bentuk datar soefl, bekas luka (-) benjolan (-) pelebaran pembuluh darah (-)
– Auskultasi
Bising usus (+) normal
– Perkusi
Timpani di seluruh lapang abdomen, ukuran hepar normal
– Palpasi
Nyeri tekan superfisial dan profunda (-), palpasi hepar, lien, dan ginjal tidak
ada pembesaran, asites (-)
• Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai +/+
2.3. RESUME
Sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak muncul pertama kali saat
pasien selesai mandi dan kembali dari kamar mandi yang jaraknya 15 m. Sesak napas juga
muncul saat pasien berbaring sehingga harus menggunakan 3 bantal saat tidur. Di malam hari
pasien sering terbangun tiba-tiba karena sesak napas. Riwayat hipertensi tidak terkontrol.
Tekanan darah 180/100 mmHg, nadi takikardi, nafas takipneu. Saturasi oksigen menurun,
suhu normal. Pada pemeriksaan fisik leher didapatkan JVP meningkat, batas jantung melebar,
ronkhi halus di basal paru. Edema tungkai +/+. Pasien juga mengeluh batuh berdahak
berwarna kekuningan dan disertai demam.
2.4. DIAGNOSIS
CHF ec HHD
Pneumonia dengan pleuritis
Interpretasi:
Irama sinus, frekuensi 100-120x/menit reguler
Durasi QRS normal (122 mdtk)
Sumbu jantung deviasi ke kiri (Gelombang S negatif pada sadapan aVF)
Left Ventricular Hypertrophy
Kesan : Takikardi, hipertrofi ventrikel kiri
Foto Thorax AP
Expertise :
Jantung tampak membesar ke lateral kanan dan kiri dengan apex tertanam
pada diafragma
Trakea masih tampak di tengah
Mediastinum superior tidak melebar
Jantung mendatar ( CTR > 50 % )
Aorta masih tampak normal
Sinus costophrenicus kanan tertutup perselubungan, kiri tumpul
Sinus cardiophrenicus bilateral kabur
Diafragma kanan tertutup perselubungan, kiri kabur
Pulmo :
o Hilus bilateral terutama kanan tampak kabur
o Corakan bronkovaskular bertambah
o Tampak perbercakan lunak di daerah 2/3 medial lapang paru kanan dan
perihiler kiri
o Tampak perselubungan opak homogen di hemithorax kanan bawah dan
minimal mengisi sinus costophrenicus kiri
Skeletal : Skoliosis ringan vertebrathoracalis
Kesan:
- Kardiomegali ( All-Chambler ) disertai effuse pleura bilateral terutama kanan
- Perbecakan lunak didaerah 2/3 medial lapang paru kanan dan perihiler kiri
Ec DD - Edema paru alveolar
- bronkopneumonia
Penatalaksanaan :
Non Farmakologis :
- Oksigen 3 liter
- Istirahat
- Urine kateter
Farmakologis :
- ISDN 3x10 mg
- IVFD NaCl
- Furosemid 2amp/8jam
- Captopril 3x12,5 mg
- Ondansentron amp 2x1 IV
- Omeprazole 2x1
- Ceftriaxone 1x2
- Azithromycin 500mg 1x1
- Paracetamol 500mg 3x1
- Ramipril 5mg 2x1
- Nac 200mg 3x1
- Pronalgess sup
- Levofloxacin 1x1
Lembar follow up
Tanggal/jam Anamnesis Diagnosis Terapi
23/12/2019 S : demam (-), batuk - Dyspesia ec CHF - IVFD RL 20 tpm
(22.00) (+), sesak napas (+), - Ondancentron 4mg 3x1
mual (+), muntah (-), - Furosemide 3x1
O: TD: 110/70, - ramipril 1x1
N:150/90x/m, RR: - ISDN 1x1
20x/m, T: 36.50C - pronalges supp
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.
1.1. Anatomi dan fisiologi jantung
Secara anatomi ukuran jantung sangatlah variatif. Beberapa referensi,
ukuran jantung manusia mendekati ukuran kepalan tangan atau dengan
ukuran panjang kira-kira 5" (12cm) dan lebar sekitar 3,5" (9cm). Jantung
terletak di belakang tulang sternum, tepatnya di ruang mediastinum diantara
kedua paru-paru dan bersentuhan dengan diafragma. Bagian atas jantung
terletak dibagian bawah sternal notch, 1/3 dari jantung berada disebelah
kanan dari midline sternum, 2/3 nya disebelah kiri dari midline sternum.
Sedangkan bagian apek jantung di interkostal ke-5 atau tepatnya di bawah
puting susu sebelah kiri. Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang
disebut lapisan perikardium, di mana lapisan perikardium ini di bagi menjadi
3 lapisan, yaitu lapisan fibrosa, lapisan parietal dan lapisan visceral.
Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
III istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
IV Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.
Gagal jantung secara umum juga dapat diklasifikasikan menjadi gagal jantung
akut dan gagal jantung kronik.
1. Gagal jantung akut, didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya
penyakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik
atau disfungsi diastolik. Irama jantung yang abnormal, atau ketidakseimbangan
preload dan afterload dan memerlukan pengobatan segera. Gagal jantung akut
dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis.
2. Gagal jantung kronik, didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, lelah, baik dalam
keadaan istirahat atau aktivitas, edema serta tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan istirahat.
1.4. Patofisiologi
1. Struktur Jantung yang Gagal
Heart failure (HF) adalah sindrom klinis kompleks yang sebagian disebabkan oleh
perubahan patologis pada struktur dan fungsi miokardium. Pada awal abad keenam belas,
ahli anatomi mengenali kelainan struktural karakteristik jantung pasien yang meninggal
karena HF. Jantung yang gagal ditemukan membesar pada otopsi, dengan peningkatan
massa karena penebalan dinding ventrikel dan/atau dilatasi rongga ventrikel. Pola
sebelumnya dikenal sebagai hipertrofi konsentris dan yang terakhir disebut hipertrofi
eksentrik (Gambar 3.2). Osler dan lainnya menyimpulkan bahwa hipertrofi eksentrik
biasanya dikaitkan dengan penurunan fungsi kontraktil jantung dan menandakan
prognosis yang lebih buruk. Kami sekarang tahu bahwa hipertrofi konsentris
berkembang sebagai respons awal adaptif terhadap pembebanan tekanan kronis,
konsisten dengan Hukum LaPlace di mana tekanan internal meningkat untuk
meningkatkan tegangan (tegangan) dinding yang menghasilkan ekspansi kompensasi
ketebalan dinding (Gambar 8.3). Hipertrofi eksentrik dapat timbul dari pembebanan
volume kronis, kardiomiopati primer, atau dapat berkembang pada jantung terhipertrofi
yang terpapar oleh ketegangan dinding yang terus meningkat. Dasar-dasar molekuler dari
hipertrofi patologis telah dijelaskan pada abad ini sejak pengamatan Osler dan telah
sangat berharga dalam memahami HF.
Gambar 3.2. Hukum LaPlace yang berkaitan dengan jantung. Hukum LaPlace
menggambarkan tegangan dinding yang timbul dari radius tertentu dan tekanan internal
dari bilik ventrikel. Diagram jantung menunjukkan variabel yang terlibat dalam Hukum
LaPlace. Di sebelah kanan, efek perubahan tekanan (P) atau jari-jari pada tegangan
dinding (T) digambarkan. Perubahan patologis dalam sistem kardiovaskular dapat
mengubah tekanan atau jari-jari untuk secara efektif meningkatkan ketegangan dinding
untuk mengurangi aliran dan pemendekan darah miokard, yang biasanya memicu respons
hipertrofik oleh miokardium.
Gambar 3.3. Pola hipertrofi jantung yang gagal. Respons hipertrofi jantung terbagi
dalam dua kategori: konsentris dan eksentrik. Hipertrofi konsentris, di mana penebalan
dinding terjadi dan pada tingkat sel dibuktikan dengan peningkatan volume kardiomiosit
dan penambahan unit sarkomer secara paralel. Hipertrofi eksentrik diamati sebagai
penipisan dinding ventrikel; kardiomiosit memang meningkatkan volume, tetapi biasanya
dengan perpanjangan sebagai unit sarkomer ditambahkan secara seri. Hipertrofi adalah
respons adaptif namun pada gagal jantung, perubahan ini menyebabkan penurunan fungsi
jantung.
1.
2. Gambar 3.5. Tanda dan gejala HF
3.
Riwayat yang rinci harus selalu didapat. HF jarang terjadi pada individu yang tidak
memiliki riwayat klinis yang relevan (seperti penyebab potensial cedera jantung),
dimana beberapa gambaran, terutama riwayat infark miokard, meningkatkan
kecenderungan HF pada pasien dengan tanda dan gejala yang sesuai.
Pada setiap kunjungan pasien, tanda dan gejala HF perlu dinilai, dengan perhatian
utama pada bukti adanya kongesti. Gejala dan tanda bersifat penting dalam memonitor
respon pasien terhadap terapi dan stabilisasi sepanjang waktu. Menetapnya gejala pada
saat terapi biasanya mengindikasikan perlunya tambahan terapi, dan perburukan gejala
adalah suatu perubahan serius (menempatkan pasien pada risiko rujukan darurat ke RS
dan kematian) dan memerlukan perhatian medis yang tepat.
2. pemeriksaan awal yang penting: peptida natriuretik, elektrokardiogram dan
ekokardiografi.
Konsentrasi plasma peptida natriuretik (NPs) dapat digunakan sebagai sebuah
pemeriksaan diagnostik awal, khususnya pada keadaan non akut ketika ekokardiografi
tidak tersedia dalam segera. Peningkatan NPs membantu menentukan diagnosis kerja
awal, menentukan mereka yang membutuhkan pemeriksaan jantung lebih lanjut; pasien
dengan nilai dibawah cutpoint untuk eksklusi disfungsi jantung yang penting tidak
memerlukan ekokardiografi. Pasien dengan konsentrasi plasma NP yang normal jarang
mengidap HF. Batas atas nilai normal pada keadaan non-akut untuk kadar peptida
natriuretik tipe-B (BNP) adalah 35 pg/mL dan untuk kadar N-terminal pro-BNP (NT-
proBNP) adalah 125 pg/mL; pada keadaan akut, nilai yang lebih besar harus digunakan
[BNP, 100 pg/mL, NT-proBNP, 300 pg/mL dan mid-regional pro peptida natriuretik tipe
A (MR-proANP), 120 pmol/L]. Nilai diagnostik digunakan serupa pada HFrEF and
HFpEF; rata-rata, nilainya lebih rendah pada HFpEF daripada untuk HFrEF. Pada titik
potong eksklusi yang disebutkan, nilai-nilai prediktif negatif sangat mirip dan tinggi
(0,94-0,98) baik dalam keadaan non-akut dan akut, tetapi nilai prediksi positif lebih
rendah baik dalam pengaturan non-akut (0,44-0,57) dan dalam keadaan akut (0,66-0,67).
Oleh karena itu, penggunaan NP dianjurkan untuk menyingkirkan gagal jantung, tetapi
tidak untuk menegakkan diagnosis.
Ada banyak penyebab kardiovaskular dan non-kardiovaskular dari peningkatan NP
yang dapat melemahkan utilitas diagnostik mereka terhadap gagal jantung. Di antara
mereka, AF, usia dan gagal ginjal adalah faktor paling penting yang menghambat
interpretasi pengukuran NP. Di sisi lain, kadar NP mungkin rendah secara proporsional
pada pasien obesitas.
Elektrokardiogram abnormal (EKG) meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal
jantung, tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Beberapa kelainan pada EKG
memberikan informasi tentang etiologi (misalnya infark miokard), dan temuan pada
EKG mungkin memberikan indikasi untuk terapi (misalnya antikoagulasi untuk AF, pacu
jantung untuk bradikardia, CRT jika kompleks QRS melebar). HF tidak mungkin terjadi
pada pasien dengan EKG normal (sensitivitas 89%). Oleh karena itu, penggunaan EKG
secara rutin dianjurkan untuk menyingkirkan HF.
Ekokardiografi adalah tes yang paling berguna dan tersedia secara luas pada pasien
dengan dugaan gagal jantung untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan ini memberikan
informasi langsung tentang volume ruang, fungsi sistolik dan diastolik ventrikel,
ketebalan dinding, fungsi katup, dan hipertensi paru. Informasi ini sangat penting dalam
menegakkan diagnosis dan dalam menentukan perawatan yang tepat.
Informasi yang didapat dengan evaluasi klinis yang cermat dan tes-tes yang
disebutkan di atas akan memungkinkan diagnosis kerja awal dan rencana perawatan pada
kebanyakan pasien. Tes lain umumnya diperlukan hanya jika diagnosis tetap tidak pasti
(mis. Jika gambar ekokardiografi suboptimal atau dicurigai sebagai penyebab gagal
jantung).
Penilaian awal terdiri dari diagnosis klinis yang kompatibel dengan algoritma yang
disajikan di atas dan penilaian LVEF dengan ekokardiografi. Cutoff 50% untuk
diagnosis HFpEF adalah sewenang-wenang; pasien dengan LVEF antara 40 dan
49% sering diklasifikasikan sebagai HFpEF dalam uji klinis. Namun, dalam
pedoman ini, kami mendefinisikan HFpEF sebagai LVEF ≥50% dan menganggap
pasien dengan LVEF antara 40 dan 49% sebagai area abu-abu, yang dapat
diindikasikan sebagai HFmrEF. Tanda dan gejala klinis serupa untuk pasien dengan
HFrEF, HFmrEF, dan HFpEF. EKG istirahat dapat mengungkapkan kelainan
seperti AF, hipertrofi LV dan kelainan repolarisasi. EKG normal dan/atau
konsentrasi plasma BNP<35 pg/mL dan/atau NT-proBNP<125 pg/mL membuat
diagnosis HFpEF, HFmrEF atau HFrEF tidak mungkin.
Langkah selanjutnya terdiri dari pemeriksaan lanjutan dalam kasus bukti awal
HFpEF/HFmrEF dan terdiri dari demonstrasi obyektif perubahan struktural dan/atau
fungsional jantung sebagai penyebab yang mendasari presentasi klinis. Perubahan
struktural utama adalah indeks volume atrium kiri (LAVI)>34 mL/m2 atau indeks
massa ventrikel kiri (LVMI)≥115 g/m2 untuk pria dan ≥95 g/m2 untuk wanita.
Perubahan fungsional utama adalah E/e′≥13 dan rata-rata e' septum dan dinding
lateral< 9 cm/s. Pengukuran turunan ekokardiografi adalah regangan longitudinal
atau kecepatan regurgitasi trikuspid (TRV).
Tes stres diastolik dapat dilakukan dengan ekokardiografi, biasanya
menggunakan protokol latihan ergometer sepeda semi supine dengan penilaian LV
(E/e′) dan tekanan arteri pulmonalis (TRV), disfungsi sistolik (regangan
longitudinal), volume stroke, dan curah jantung berubah dengan olahraga. Protokol
latihan dinamis yang berbeda tersedia, dengan ergometri sepeda semi-supine dan
ekokardiografi saat istirahat dan olahraga submaksimal yang paling sering
digunakan. Latihan yang diinduksi peningkatan E/e′ di luar batas diagnostik
(mis.>13), tetapi juga pengukuran tidak langsung lainnya dari fungsi sistolik dan
diastolik, seperti regangan longitudinal atau TRV, digunakan. Atau, hemodinamik
invasif saat istirahat dengan penilaian tekanan pengisian [tekanan baji kapiler
pulmoner, PCWP] ≥15 mmHg atau tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (LVEDP)
≥16 mmHg] diikuti dengan latihan hemodinamik jika di bawah ambang batas ini,
dengan penilaian perubahan pengisian tekanan, tekanan sistolik arteri pulmonalis,
volume stroke dan curah jantung, dapat dilakukan.
Diagnosis HFpEF pada pasien dengan AF adalah sulit. Karena AF dikaitkan
dengan kadar NP yang lebih tinggi, penggunaan NT-proBNP atau BNP untuk
mendiagnosis HFpEF mungkin perlu distratifikasi dengan adanya irama sinus
(dengan cut-off yang lebih rendah) vs AF (cut-off yang lebih tinggi). LAVI
meningkat oleh AF, dan parameter fungsional disfungsi diastolik kurang mapan
pada AF, dan nilai batas lainnya mungkin berlaku. Di sisi lain, AF mungkin
merupakan tanda kehadiran HFpEF, dan pasien dengan AF dan HFpEF sering
memiliki karakteristik pasien yang serupa. Selain itu, pasien dengan HFpEF dan AF
mungkin memiliki HF lebih berkembang dibandingkan dengan pasien dengan
HFpEF dan irama sinus.
Pasien dengan HFpEF adalah kelompok heterogen dengan berbagai etiologi dan
kelainan patofisiologis yang mendasarinya. Berdasarkan penyebab spesifik yang
dicurigai, tes tambahan dapat dilakukan. Namun, mereka hanya dapat
direkomendasikan jika hasilnya mungkin mempengaruhi manajemen.
3.6. Tatalaksana
Tabel. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik
Prognosis Menurunkan mortalitas
Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2008.
Gambar. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik (NYHA
fc II-IV). Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I,
tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
Riwayat angioedema
Stenosis renal bilateral
Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
Stenosis aorta berat
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure 2012
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron.
Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta)
lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai
efek terhadap angka kelangsungan hidup. Cara pemberian digoksin pada gagal
jantung.
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh
masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri gram negatif.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia dengan
cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi bahan sputum didapatkan
hasil sebagai berikut; Klebsiela pneumoniae 45,18%, Streptococcus pneumoniae 14,04%,
Streptococcus viridans 9,21%, Staphylococcus aureus 9%, Pseudomonas aeruginosa 8,56%,
Streptococcus hemolyticus 7,89%, Enterobacter 5,26%, Pseudomonas spp 0,9%.2 Dari
beberapa studi prospektif lain menyatakan kuman patogen pada 30–60% kasus pneumonia
komuniti tidak dapat diidentifikasi.3,7
2.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak
dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa
cara mikroorganisme mencapai permukaan2,3 :
1. inhalasi bahan aerosol
2. aspirasi orofaring atau lambung
3. Inokulasi langsung
4. Penyebaran melalui pembuluh darah
5. Kolonisasi dipermukaan mukosa
6. Reaktivasi
Masuknya mikroorganisme secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran
napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan
pemakai obat (drug abuse). Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Pada pneumonia komunitas, gambaran interaksi daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan juga dipengaruhi oleh faktor yang meningkatkan risiko
infeksi oleh patogen tertentu seperti yang terlihat pada tabel 1.
2.5 Patologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Secara singkat
gambaran proses ini akan menunjukkan 4 zona pada daerah parasitik tersebut yaitu2,3 :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah (red
hepatization).
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah
PMN yang banyak (gray hepatization).
4. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit
dan alveolar makrofag.
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia sangat beragam dan yang sering digunakan antara lain:
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
b. Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh
bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial
2.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis dibuat dengan maksud megarahkan pemberian terapi yaitu
mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman
penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada
pemilihan terapi empiris yang tepat. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada riwayat
penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan penunjang.
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-
kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.2,3-7 Melalui anamnesis dievaluasi
pula faktor predisposisi pasien, usia pasien dan awitan untuk mengetahui
kemungkinan kuman penyebab.1
2. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler
sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi
ronki basah kasar pada stadium resolusi. Presentasi klinis yang muncul bervariasi
tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis penderita. Pada pneumonia komunitas
terdapat perbedaan pneumonia atipik dan tipikal yang membantu dalam memberikan
terapi empiris sesuai etiologi.
Pemeriksaan penunjang
1. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan
diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air
broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks
saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih
dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
2.8 Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinis penderita yang
dapat dinilai dengan indeks derajat keparahan penyakit. Bila keadaan klinis baik dan tidak
ada indikasi rawat inap dapat diobati di rumah. Selain itu perlu diperhatikan ada tidaknya
faktor modifikasi (tabel 2) yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme patogen yang spesifik. Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia
komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian
Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini
Tabel 3. Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT)
Karakteristik Penderita Jumlah Point
Faktor demografi
- Usia :
laki-laki umur (tahun)
perempuan umur (tahun) – 10
- Perawatan di rumah +10
- Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit serebrovaskuler +10
Penyakit ginjal +10
Pemeriksaan fisik
- Perubahan status mental + 20
- Pernapasan > 30 kali/menit + 20
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg + 20
- Suhu tubuh < 35o atau > 40o C +15
- Nadi > 125 kali/menit +10
Menurut American Thoracic Society (ATS) kriteria pneumonia berat bila dijumpai
'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini.
Kriteria minor sebagai berikut:
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat
penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis.
Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komuniti adalah (tabel 4) :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah
satu dari kriteria dibawah ini :
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk maka pengobatan
disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas.
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia termasuk atipik.
Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh M.pneumoniae,
C.pneumoniae dan Legionella adalah golongan :
Makrolid baru (azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)
Fluorokuinolon respiness
Doksisiklin
2.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%.
BAB IV
ANALISA KASUS
Thorax :
Paru :
Inspeksi
retraksi ICS (+)
tampak sesak
Palpasi
Fokal fremitus kanan
dan kiri normal
Perkusi
Redup dikedua lapang
paru
Auskutasi
Ronki basah halus
(+/+)
Jantung :
• Inspeksi
Ictus cordis tidak
tampak
• Palpasi
Ictus cordis teraba,
thrill (+)
• Perkusi
Batas Jantung Atas
: ICS III Linea
parasternalis sinistra
Batas Jantung Kiri
: ICS VII Linea
axillaris anterior
sinistra
Batas Jantung Kanan
: ICS VII Linea
parasternalis dextra
• Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan
S2 meningkat,
Murmur (-), Gallop (-)
Ekstremitas bawah
Edema tungkai (+/+)
- Omeprazole 2x1
- Ondancentron 4mg 2x1
- Sucralfat 3x1
- Ceftriaxone 2x1
- levofloxacim 1x1
- Furosemide 3x1
- ramipril 1x1
- PCT 3x1
- Nac 3x1
DAFTAR PUSTAKA
6. Mandell LA, Barlett JG, et al. Update of Practice Guidelines for the Management of
Community-Acquired Pneumonia. Clin Infect Dis. 2003. 37 : 1405-1433
9. Ward JP, Leach RM, et al. Community Acquired Pneumonia. The Respiratory System
at a Glance 2nd Ed. London. 2006. P.76-79