Anda di halaman 1dari 18

Laporan Kasus

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 2 TAHUN 2 BULAN


DENGAN PHIMOSIS

Disusun Oleh:
dr. Atika

Pembimbing:
Dr. Resti Kurniawati

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LIMPUNG
BATANG
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas pasien
Nama : An. NA
Umur : 2 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nomor RM : 02-23-xx
Alamat : Limpung
Agama : Islam
Berat Badan : 12 kg
Panjang Badan : 100 cm
Tanggal MRS : 10 Desember 2018

B. Keluhan Utama
Susah buang air kecil.

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien diantar oleh orang tuanya ke Poliklinik Bedah Umum
RSUD Limpung dengan keluhan susah buang air kecil sejak satu minggu
terakhir. Orang tua pasien mengatakan bila pasien buang air kecil, pada
daerah ujung penis tampak menggembung dan pasien sering menangis
setiap buang air kecil. Keluhan tersebut timbul sekitar dua sampai tiga
kali dalam sehari saat pasien buang air kecil. Keluhan disertai dengan
mengedan setiap buang air kecil dan kulit penis tidak dapat ditarik ke
pangkal penis. Pasien tidak tampak kesakitan saat penis dipegang. Warna
urin jernih dan tidak ditemukan darah saat berkemih. Keluhan demam,
muntah, dan mual disangkal. BAB tidak ada keluhan.

2
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat jantung : disangkal
Riwayat alergi : disangkal

F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir pada tanggal 24 Oktober 2016, lahir dengan persalinan
normal dengan umur kehamilan 38 minggu. Bayi menangis kuat (+),
nafas spontan (+), ketuban tidak keruh, tidak berbau, berat badan lahir
2900 gram.

G. Riwayat Kehamilan dan ANC


Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat perdarahan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat alkohol : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat ANC : pasien rutin kontrol kehamilan di bidan

H. Riwayat Sosial Ekonomi


Obat-obatan : tidak dalam pengobatan

3
Kebiasaan makan : makan tiga kali sehari dengan porsi cukup
dan jenis lauk pauk yang bervariasi
Biaya pengobatan : BPJS non PBI

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, BB: 12 kg, PB: 100 cm
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :
TD : 100/60 mmHg
N : 90 x/menit, regular
RR : 30 x/menit
T : 36.3oC
SiO2 : 99%

B. General Survey
1. Kulit : warna kuning cerah, kering (-), hiperpigmentasi (-)
2. Kepala : mesocephal, old man face (-)
3. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+)
4. Telinga : sekret (-/-)
5. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung(-), sekret (-/-), darah
(-/-)
6. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
7. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)
8. Thorak : normochest, retraksi (-)
9. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

4
10. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)

11. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, perut distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) 6x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), massa (-), defans muscular (-),
undulasi (-), hepar dan lien sulit dievaluasi
12. Ekstremitas : CRT < 2 detik, arteri dorsalis pedis (+/+)
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

13. Genitourinaria : penis (+) normal, scrotum (+) normal, sekret (-),
lubang anus (+). Lihat status lokalis.

Status Lokalis:

Regio genitalia :

5
 Inspeksi : OUE tampak normal, tidak tampak edema, tidak tampak
kemerahan
 Palpasi : tampak preputium tidak dapat ditarik ke belakang, teraba
hangat, transluminasi test (-), tidak nyeri, teraba testis 2
buah
 Auskultasi : bising usus (-)

III. ASSESSMENT
Phymosis

IV. PLAN I
 MRS bangsal bedah pro sirkumsisi
 Cek lab DL, CT/BT, dan HbsAg.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah (RSUD Limpung, 10 Desember 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.8 g/dl 10.5-12.9
Hematokrit 33.7 % 40-52
Leukosit 8.5 ribu/µl 3.8-10.6
Trombosit 427 ribu/µl 150-400
Eritrosit 4.55 juta/µl 4.4-5.9
Golongan Darah O
Golongan Darah Rh Positif
HOMEOSTASIS
Waktu Pembekuan 4’30” menit 2-6
(CT)
Waktu Pendarahan 1’30” menit 1-3
(BT)
KIMIA KLINIK
Glukosa Sewaktu 105 mg/dl 75-140
SEROLOGI
HbsAg Nonreactive Nonreactive

VII. PLAN II

6
 MRS bangsal bedah pro sirkumsisi dengan anestesi GA
 IVFD D ¼ NS 15 tpm
 Konsultasi TS Anestesi sebelum operasi

VIII. FOLLOW UP
11 Desember 2019
- Subjektif
Susah buang air kecil.
- Objektif
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :
TD : 100/60 mmHg N : 104 x/menit, regular
RR : 28 x/menit T : 36.8oC
SiO2 : 99%
4. Status lokalis
• Inspeksi : OUE tampak normal, tidak tampak edema, tidak
tampak kemerahan
• Palpasi : tampak preputium tidak dapat ditarik ke belakang,
teraba hangat, transluminasi test (-), tidak nyeri, teraba
testis 2 buah
• Auskultasi : bising usus (-)
- Assesment
Phymosis.
- Planning
1. Pro sirkumsisi.
2. Instruksi post sirkumsisi.
• Boleh makan dan minum
• IVFD D ¼ NS 15 tpm
• Injeksi ceftriaxone 500 mg/12 jam
• Injeksi ketorolac 1 amp/8 jam

7
- Laporan operasi
1. Pasien posisi supine dengan general anastesi.
2. Dilakukan disinfektan medan operasi.
3. Tutup dengan doek steril.
4. Dilakukan dilatasi preputium, smegma (+).
5. Klem arah jam 11, 1 dan 6.
6. Dilakukan sirkumsisi.
7. Kontrol perdarahan.
8. Jahit mukosa – kutis.
9. Jahit ligase frenulum.
10. Operasi selesai.
12 Desember 2019
- Subjektif
Nyeri di luka post sirkumsisi (+), demam (-), mual (-),muntah (-),
BAK normal, BAB normal
- Objektif
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign :
TD : 100/60 mmHg N : 97 x/menit, regular
RR : 30 x/menit T : 36.5oC
SiO2 : 99%
4. Status lokalis
Tampak luka post sirkumsisi tertutup verban (+), rembesan darah
(-)

8
- Assesment
Phymosis post sirkumsisi
- Planning
1. Boleh pulang
2. Terapi oral
• Cefixime syrup 2x1 cth
• Paracetamol syrup 3x1½ cth

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Phimosis
Phimosis adalah ketidakmampuan untuk menarik preputium penis
sampai korona glans. Sekitar 96 % anak laki-laki pada saat lahir
memiliki preputium yang tidak bisa di retraksi. Hal ini disebabkan
adhesi alamiah antara preputium dan glans dan karena kulit preputium
yang sempit dan adanya frenulum breve. Ini adalah phimosis fisiologis.
Preputium secara bertahap dapat di retraksi selama periode waktu mulai

9
dari anak lahir sampai usia 18 tahun atau lebih. Hal ini dibantu oleh
adanya ereksi dan keratinisasi dari epitel pada mukosa bagian dalam
preputium. Retraktabilitas preputium ini meningkat dengan
bertambahnya usia anak.
Pembentukan penis dimulai dari minggu ke-7 kehamilan dan
selesai pada minggu ke-17. Integumen penis di depan lipatannya
membentuk preputium, yang melingkupi glans penis dan meatus urethra
eksternus.

2. Etiologi
Phimosis fisiologis terjadi pada anak laki-laki yang baru lahir.
Preputium melekat pada glans dan lama kelamaan akan dapat
dipisahkan seiring bertambahnya usia. Upaya untuk melakukan retraksi
preputium secara paksa pada phimosis fisiologis akan
menyebabkan microtears, infeksi dan pendarahan yang akan
menimbulkan jaringan parut sekunder dan terjadinya phimosis
patologis. Higienistas yang buruk dan balanitis berulang (infeksi pada
glans penis), posthitis (peradangan preputium), atau keduanya dapat
menyebabkan kesulitan dalam retraksi preputium dan mengakibatkan

10
risiko terjadinya phimosis patologis. Diabetes mellitus merupakan
predisposisi infeksi ini karena kandungan glukosa yang tinggi pada
urin, yang merupakan media yang kondusif untuk proliferasi bakteri.
Phimosis patologis juga bisa terjadi karena balanitis xeroticans
obliterans (BXO), bentuk genital dari lichen sclerosus. Kondisi ini
mempengaruhi baik pria dewasa maupun anak laki-laki. Etiologinya
tidak diketahui; kemungkinan karena reaksi inflamasi, infeksi, dan
hormonal.

3. Patofisiologi
Pada phimosis fisiologis, bagian distal preputium sehat dan
mengkerut dengan tarikan yang lembut. Bagian yang mengalami
penyempitan adalah bagian proksimal dari ujung preputium. Hal ini
berbeda dari phimosis patologis dimana tarikan yang lembut akan
menyebabkan pembentukan struktur berbentuk kerucut (cone) dengan
bagian distal yang sempit menjadi putih dan fibrosis. Phimosis
fisiologis hanya memerlukan pendekatan konservatif, sedangkan terapi
bedah banyak dilakukan pada phimosis patologis .

4. Manifestasi Klinis

11
Phimosis fisiologis hanya melibatkan preputium yang tidak bisa
diretraksi dan dapat terjadi balloning saat anak berkemih. Tapi nyeri,
disuria dan
infeksi lokal
atau ISK
tidak terlihat
pada
phimosis fisiologis ini. Pada tarikan yang lembut, kerutan preputium
dan jaringan di atasnya berwarna merah muda dan sehat. Pada phimosis
patologis, biasanya ada nyeri, iritasi kulit, infeksi lokal, perdarahan,
disuria, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, nyeri preputial,
ereksi yang terasa nyeri terutama saat koitus dan pancaran kencing
lemah.

Menurut Kayaba et al. (2011), menilai keparahan phimosis dalam 4


derajat, yaitu :
a. Derajat I : preputium tidak dapat diretraksi sama sekali.
b. Derajat II : preputium dapat di retraksi sebagian dengan eksposure
pada meatus saja
c. Derajat III : preputium dapat diretraksi sebagian dengan eksposure
parsial pada glans
d. Derajat IV : preputium sepenuhnya dapat diretraksi, dengan cincin
stenotik pada shaft penis
Berdasarkan keadaan preputium, phimosis dikategorikan
berdasarkan peningkatan keparahan yaitu preputium normal,
preputium cracking, scarred dan BXO (balanitis obliterans xerotica).

5. Diagnosis
Gejala yang sering terjadi pada phimosis diantaranya:
a. Bayi atau anak sukar berkemih

12
b. Kadang-kadang begitu sukar sehingga kulit preputium
menggelembung seperti balon
c. Kulit penis tidak bisa ditarik kearah pangkal
d. Penis mengejang pada saat buang air kecil
e. Bayi atau anak sering menangis sebelum urin keluar/Air seni keluar
tidak lancar
f. Timbul infeksi

6. Penatalaksanaan
Manajemen phimosis tergantung pada usia anak, jenis phimosis,
derajat keparahan phimosis, penyebab dan kondisi morbiditas yang terkait.
Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan pada saat
membersihkan penis, karena dapat menimbulkan luka dan terbentuk
sikatriksa pada ujung preputium sehingga akan terbentuk phimosis
sekunder.
a. Edukasi pada orang tua
Bila phimosis pada anak tidak patologis, perlunya edukasi pada
orang tua anak untuk menjaga preputium dan mukosa preputium
terjaga kebersihan dan higienitasnya. Pencucian biasa dengan air
hangat dan retraksi lembut selama anak mandi dan buang air kecil
akan membuat preputium lama-kelamaan akan dapat diretraksi. 
b. Steroid topikal
Mekanisme kerja terapi steroid topikal dalam phimosis sampai saat
ini belum diketahui secara pasti. Tetapi kortikosteroid diyakini
bekerja melalui efek anti inflamasi dan imunosupresif lokalnya.
Angka keberhasilan berkisar antara 65-95 %. Steroid bekerja dengan
merangsang produksi lipocortin. Hal ini pada gilirannya menghambat
aktivitas fosfolipase A2 dan mengakibatkan menurunnya produksi
asam arakidonat.
Steroid juga menurunkan mRNA sehingga formasi interleukin-1
berkurang. Sehingga terjadilah proses anti inflamasi dan

13
imunosupresi. Steroid juga menyebabkan penipisan kulit.
Pembentukan glikosaminoglikan pada kulit (terutama asam
hyaluronic) oleh fibroblas akan berkurang. Proliferasi epidermal dan
ketebalan stratum korneum juga berkurang.
Betamethasone 0,05 % yang diberikan dua kali sehari selama 4
minggu secara konsisten menunjukkan hasil yang baik. Angka
keberhasilan lebih tinggi pada anak laki-laki pada usia lebih besar
dengan tanpa adanya infeksi. Tingkat kepatuhan dalam pemberian
betamethasone dilaporkan menjadi penyebab kegagalan. Steroid
lainnya dapat digunakan dalam penatalaksanaan phimosis, seperti
clobetasol proprionate 0,05 %, triamcinolone 0,1 % dan mometason
dipropionat. Usia pasien, jenis dan tingkat keparahan phimosis,
pemberian yang tepat dari salep, kepatuhan dalam pengobatan dan
perlunya retraksi preputium secara teratur berpengaruh terhadap angka
keberhasilan atau kegagalan pengobatan . Efek samping dengan
steroid topikal yaitu nyeri dan hiperemis yang ringan pada preputium
tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi.
c. Dilatasi dan Stretching
Adhesiolisis tanpa pembedahan ini melalui retraksi preputium
secara lembut merupakan tindakan yang efektif, murah dan
pengobatan yang aman untuk phimosis. Anestesi lokal (EMLA) dapat
digunakan sebelum upaya release adhesi preputium. Teknik ini
sederhana, aman, murah, tidak menyakitkan dan memberikan efek
trauma lebih ringan daripada sirkumsisi. Hal ini ditemukan lebih
menguntungkan digunakan pada terapi anak-anak tanpa fibrosis atau
infeksi. Terapi kombinasi menggunakan peregangan (stretching) dan
steroid topikal juga telah membuahkan hasil yang memuaskan.
d. Terapi bedah
Terapi invasif ini diberikan pada phimosis rekuren yang gagal dengan
terapi medis. Sirkumsisi akan menyembuhkan dan mencegah
kekambuhan phimosis. Hal ini juga mencegah episode lebih lanjut

14
dari balanoposthitis dan menurunkan kejadian infeksi saluran kemih.
Komplikasinya antara lain berupa nyeri, penyembuhan luka yang
relative lebih lama, perdarahan, infeksi, trauma psikologis dan biaya
yang lebih tinggi.

7. Komplikasi Phimosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak /bayi yang mengalami
phimosis, antara lain terjadinya infeksi pada uretra kanan dan kiri akibat
terkumpulnya cairan smegma dan urine yang tidak dapat keluar
seluruhnya pada saat berkemih. Infeksi tersebut akan naik mengikuti
saluran urinaria hingga mengenai ginjal dan dapat menimbulkan kerusakan
pada ginjal. Pada 90% laki-laki yang dikhitan kulup zakar menjadi dapat
ditarik kembali (diretraksi) pada umur 3 tahun. Ketidakmampuan untuk
meretraksi kulup zakar sebelum umur ini dengan demikian phimosis
patologis dan phimosis merupakan indikasi untuk dikhitan. Phimosis
adalah ketidakmampuan kulup zakar untuk diretraksi pada umur tertentu
yang secara normal harus dapat diretraksi. Phimosis dapat
kongenital/sekuele radang. Phimosis yang sebenarnya biasanya
memerlukan bedah pelebaran/pembesaran cincin phimosis/khitan.
Akumulasi smegma di buah kulup zakar infatil phimosis patologis dan
phimosis memerlukan pengobatan bedah.

8. Diagnosis Banding
Parafimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium penis yang
diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada
keadaan semula dan menimbulkan jeratan pada penis dibelakang sulkus
koronarius. Warna gland penis akan semakin berwarna pucat dan bengkak.
Seiring perjalanan waktu keadaan ini akan mengakibatkan nekrosis sel di
gland penis, warnanya akan menjadi biru atau hitam dan gland penis akan
terasa keras saat di palpasi.

15
9. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanactionam : Bonam
Prognosis dari fimosis akan semakin baik bila cepat didiagnosis
dan ditangani.

BAB III
ANALISA KASUS
1. Subjektif
Keluhan susah buang air kecil sejak satu minggu terakhir. Bila pasien
buang air kecil, pada daerah ujung penis tampak menggembung dan sering
menangis setiap buang air kecil. Keluhan timbul sekitar dua sampai tiga kali
dalam sehari saat pasien buang air kecil. Keluhan disertai dengan mengedan
setiap buang air kecil dan kulit penis tidak dapat ditarik ke pangkal penis.
Pasien tidak tampak kesakitan saat penis dipegang. Warna urin jernih dan
tidak ditemukan darah saat berkemih. Keluhan demam, muntah, dan mual
disangkal. BAB tidak ada keluhan.
2. Objektif
Regio genitalia :
 Inspeksi : OUE tampak normal, tidak tampak edema, tidak tampak
kemerahan.
 Palpasi : tampak preputium tidak dapat ditarik ke belakang, teraba
hangat, transluminasi test (-), tidak nyeri.
 Auskultasi : bising usus (-).
3. Diagnosis
Phymosis
4. Diagnosis Banding
Paraphymosis
5. Tatalaksana

16
Terapi bedah sirkumsisi
6. Komplikasi
Infeksi pada uretra dan infeksi ginjal
7. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanactionam : Bonam

DAFTAR PUSTAKA

De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buka Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3, Jakarta: EGC 2010.
Hal 156-165.
Kayaba H, Tamura H, Kitajima S, Fujiwara Y, Kato T, Kato T (2011). Analysis of
shape and retractability of the prepuce in 603 Japanese boys. J Urol; 156:
1813-5.
Mansjoer A, Suprohaita, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Jakarta: Media
Aesculapius FKUI 2000. Hal 329-334.
Palmer JS (2010). Phimosis and Paraphimosis. Edisi 10. Philadelphia :
Campbells Walsh Urology.
Shahid, Sukhbir Kaur (2012). Phimosis in Children. International Scholarly
Research Network Urology : 707329.
A. Snell R. Anatomi Klinik. Edisi 6, Jakarta: EGC 2006.
Sorrells ML, Snyder JL, Reiss MD (2007). Fine-touch pressure thresholds in the
adult penis.  British Journal of Urology International : 99 (4), pp. 864–
869.
Steadman and P. Ellsworth (2006), To circ or not to circ: in- dications, risks, and
alternatives to circumcision in the pediatric population with
phimosis. Urologic Nursing: vol. 26, no. 3, pp. 181–194.
Tekgül S, Dogan HS, Hoebeke P, Kocvara R (2014). Phimosis. Guidelines on
Paediatric Urology : vol 2014, pp 10-2.

17
Tanagho, EA and McAninch, JW. Smith’s General Urology. Sixteen edition.
USA: Appleton and Lange; 2004.
Spilsbury K, Semmens JB, Wisniewski ZS, Holman CD. "Circumcision for
fimosis and other medical indications in Western Australian boys". Med.
J. Aust. 178 (4): 155–8; 2003.
Hina Z, Ghory MD. Fimosis and Parafimosis. Diunduh dari URL:
(http://emedicine.medscape.com/article/777539-overview)

18

Anda mungkin juga menyukai