Anda di halaman 1dari 20

REFLEKSI KASUS

Neuropati Pada Diabetes

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Syaraf Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Ratih Wahyu Novitasari Sp.S

Disusun Oleh:
Wistha Miyaki

20120310147

BAGIAN SYARAF RSUD SETJONEGORO WONOSOBO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFLEKSI KASUS

Neuropati Pada Diabetes

Telah Dipresentasikan pada tanggal :

Oleh:
Wistha Miyaki

20120310147

Telah Disetujui Oleh :


Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Ratih Wahyu Novitasari Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Khadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia dan hidayah-Nyasehingga pembuatan Refleksi Kasusyang
berjudul Neuropati Pada Diabetesdapat selesai sebagaimana yang
diharapkan. Dalam laporan ini, penulis menyajikan informasi yang diharapkan
dapat menambah wawasan para pembaca.
Refleksi Kasus ini niscaya tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan dan
dorongan serta petunjuk dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen
pembimbing dan orang tua dan keluarga yang telah memberi bantuan baik moral
maupun materil sehingga penulisan Refleksi Kasus ini dapat selesai sesuai dengan
yang diharapkan.
Dengan selesainya Refleksi Kasus ini, maka penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan karunia, rahmat dan hidayah sehingga
penulis dapat menyelesaikan Presentasi Kasus ini.
2. Kedua orang tua tercinta dan yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi
yang besar dalam setiap langkah. Semoga Allah menyertai kalian, Aamiin
3. dr. Ratih Wahyu Novitasari Sp.S selaku dokter pembimbing dan dokter
Spesialis Syaraf RSUD Wonosobo.
4. Seluruh perawat bangsalFlamboyan di RSUD Wonosobo.
5. Teman-teman coass Saraf atas dukungan dan kerjasamanya
Penulis sadar bahwa laporan Refleksi Kasus ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan
dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga Refleksi Kasus ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis umumnya bagi para pembaca yang budiman, Amin.
Wonosobo, April 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

REFLEKSI KASUS.............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................5
RANGKUMAN KASUS.........................................................................................6
1. Identitas Pasien.............................................................................................6
2. Anamnesis.....................................................................................................6
3. Pemeriksaan fisik..........................................................................................6
4. Pemeriksaan penunjang.................................................................................7
5. Diagnosis Kerja.............................................................................................7
6. Terapy............................................................................................................7
PERASAAN TERHADAP PENGALAMAN.........................................................8
EVALUASI..............................................................................................................8
Neuropati Pada Diabetes..........................................................................................8
1. Definisi dan Klasifikasi....................................................................................8
2. Patofisiologi...................................................................................................10
3. Manajemen Neuropati pada Diabetes.............................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21

4
RANGKUMAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : sdr. BS
Usia : 67 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kalikajar
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Tani
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk poli RS : 30 Maret 2017

2. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Pantat seperti ditusuk-tusuku
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki laki datang ke poli syaraf untuk melakukan control karena
keluhan pantat seperti ditusuk-tusuk. Pasien mengatakan bahwa keluhan
sampai menjalar kekaki. Kadang-kadang kaki terasa kesemutan Pada saat ini
pasien megatakan untuk keluhannya sudah luamayan berkurang..
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasein sudah lama mempunyai penyaki diabetes mellitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Dari keluarga pasien tidak ada yang mengalami harl serupa
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien memiliki riwayat pendidikan terakhir pada SMP dan bekerja sehari hari
sebagai petani. Pasien sering terkena angin dan cuaca dingin karena berangkat
berkebun pagi-pagi dan hampir setiap hari.

3. Pemeriksaan fisik
TD : 128/87

N : 70

RR : 20

Spo : 99%

4. Pemeriksaan penunjang
-

5
5. Diagnosis Kerja
Diagnosis Klinis : Neuropaty DM

6. Terapy

Pregabalin 2x75 mg
Paracetamol/Diazepam 2x1
Mecobalamin 2x500mg

6
PERASAAN TERHADAP PENGALAMAN

1. Bagaimanakah definisi, etiologi dan klasifikasi neuropaty pada diabetes?


2. Bagaimanakah patofisiologi dari neuropaty pada diabetes?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan dari neuropaty pada diabetes?

EVALUASI

Neuropati Pada Diabetes

1. Definisi dan Klasifikasi


Berdasarkan perjalanan penyakit, neuropati diabetik muncul sebagai akibat
perubahan biokimiawi dimana belum terdapat kelainan patologik dan masih
reversible. Fase itu dikenal dengan neuropati fungsional (subklinis). Selanjutnya,
ketika gejala sudah dapat dikeluhkan oleh pasien berarti kerusakan sudah
melibatkan struktur serabut saraf, namun masih terdapat komponen yang
reversible. Fase itu disebut neuropati struktural (klinis).

Kerusakan struktural yang dibiarkan begitu saja lama kelamaan akan


mencapai tahap akhir yaitu kematian neuron yang sifatnya irreversible. Di sisi
lain, berdasarkan serabut saraf yang terkena, neuropati diabetik dibagi 2 yaitu
neuropati sensorimotor dan neuropati otonom.

Neuropati Sensorimotor Kerusakan pada saraf sensori biasanya pertama


kali mengenai akson terpanjang, menimbulkan pola kaos kaki dan sarung
tangan (stocking-and-glove distribution). Kerusakan pada serabut saraf kecil
akan mengganggu persepsi pasien terhadap sensasi suhu, raba halus, pinprick,
dan nyeri. Sedangkan pada serabut saraf besar, pasien dapat kehilangan
sensasi getar, posisi, kekuatan otot, diskriminasi tajam-tumpul, dan

7
diskriminasi dua titik. Di samping itu, pasien dapat mengeluh nyeri paha
bilateral disertai atrofi otot iliopsoas, quadriceps dan adduktor. Secara objektif,
kita dapat menilai adanya gangguan sensori sesuai segmen L2, L3, dan L4.
Sementara itu, elektromiografi (EMG) memperlihatkan gambaran
poliradikulopati.

Neuropati otonom umumnya ditemukan pada pasien yang menderita


diabetes jangka lama. Neuropati otonom terjadi pada 40% kasus setelah
menderita DM lebih dari 10 tahun. Pada ekstremitas bawah, neuropati otonom
dapat menyebabkan arteriovenosus shunting, dan dapat menyebabkan
vasodilatasi di arteri-arteri kecil. Anormalitas pada neuropati otonom juga
bertanggung jawab terhadap penurunan aktivitas kelenjar keringat di kaki.
Perubahan ini akan menyebabkan kulit kering dan timbul fisura yang menjadi
predisposisi terhadap infeksi kaki. Neuropati motorik di kaki menyebabkan
lemahnya otot-otot intrinsik kecil, yang secara klasikal disebut
intrinsicminus kaki. Hal ini akan memicu adanya ketidakseimbangan
muskular dengan tanda yang khas yaitu fleksi pada plantar kaki. Kepentingan
gangguan otot-otot instrinsik pada caput metatarsal dan digiti berperan sebagai
titik tekanan pada kaki dengan kemungkinan iritasi dari sepatu atau peralatan
lain yang dipakai dikaki, sebagai salah satu penyebab ulkus kaki diabetik.
Pasien diabetik mengalami kerentanan terhadap abnormalitas musculoskeletal
kaki, seperti neuropati atropi (kaki charcots). Neuropati artropi ditandai
dengan kronik, progresif, proses degeneratif dari 1 atau lebih sendi dan
ditandai dengan pembengkakan, perdarahan, peningkatan suhu, perubahan
tulang dan instabilitas sendi. Polineuropati simetrikal pada bagian distal
merupakan sebuah komplikasi dari diabetes dan berperan sebagai penyebab
utama ulkus kaki diabetes dan berdampak pada bagian sensorik dan motorik
sistem saraf tepi.

Menurut Brushart, (2002) Lesi pada saraf perifer akan menimbulkan enam
tingkat kerusakan yaitu :
a. Grade 1 (Neuropraksia)

8
Kerusakan yang paling ringan, terjadi blok fokal hantaran saraf, gangguan
umumnya secara fisiologis, struktur saraf baik. Karena tidak terputusnya
kontinuitas aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi wallerian. Pemulihan
komplit terjadi dalam waktu 1 2 bulan.
b. Grade II (aksonometsis)
Kerusakan pada akson tetapi membrana basalis (Schwann cell tube),
perineurium dan epineurium masih utuh. Terjadi degenerasi wallerian di distal
sampai lesi, diikutu dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1
inch per bulan. Regenerasi bisa tidak sempurna seperti pada orang tua.
c. Grade III
Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya membrana basalis
(Schwann cell tube). Regenerasi terjadi tetapi banyak akson akan terblok oleh skar
endoneurial. Pemulihan tidak sempurna.
d. Grade IV
Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar menyebabkan
kontinuitas saraf berbagai derajat tetapi hambatan regenerasi komplit.
e. Grade V
Saraf terputus total, sehingga memerlukan operasi untuk penyembuhan.
f. Grade VI
Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa dengan
pembedahan.

2. Patofisiologi
Proses patologi
Menurut Adam, (2005) ada tiga proses patologi dasar yang bisa terjadi
pada saraf perifer yaitu :

a. Degenerasi Wallerian
Terjadi degenerasi sekunder pada mielin oleh karena penyakit pada akson
yang meluas ke proksimal dan distal dari tempat akson terputus. Perbaikan

9
membutuhkan waktu sampai tahunaan, oleh karena pertama terjadi regenerasi
kemudian baru terjadi koneksi kembali dengan otot, organ sensoris, pembuluh
darah.

b. Demielinisasi segmental
Terjadi destruksi mielin tanpa kerusakan akson, lesi primer melibatkan sel
Schwann. Demielinisasimulai dari nodus ranvier meluas tak teratur ke segmen-
segmen internodus lain. Perbaikan fungsi cepat karena tidak terjadi kerusakan
akson.

c. Degenerasi aksonal
Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer dan beberapa tempat
ujung akson sentral kolumna posterior medulla spinalis.

3. Diagnosis
Diagnostik neuropati ditegakkan berdasarkan adanya gejala dua atau lebih dari
empat kriteria dibawah ini : (Sjahrir,2006)
1. Kehadiran satu atau lebih gejala
2. Ketidakhadiran dua atau lebih refleks ankle atau lutut
3. Nilai ambang persepsi getaran/vibration-abnormal.
4. Fungsi otonomik abnormal (berkurangnya heart rate variability (HRV)
dengan rasio RR kurang dari 1,04 postural hypotension dengan turunnya
tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih, atau kedua-duanya).
Evaluasi yang perlu dilakukan, diantaranya :
1. Refleks motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes
rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen
mono Semmes-Weinstein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu untuk mengetahui
dengan lebih awal adanya gangguan
4. Hantar saraf dapat dikerjakan elektromiografi.

10
5. Uji untuk diabetic autonomic neuropathy (DAN), diantaranya :
a) Uji komponen parasimpatis dilakukan dengan :
- Tes respon denyut jantung terhadap maneuver Valsava
- Variasi denyut jantung (interval RR) selama nafas dalam (denyut
jantung maksimum-minimum)
b) Uji komponen simpatis dilakukan dengan :
- Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)
- Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).

3. Manajemen Neuropati pada Diabetes


1. Prinsip Terapi
Prinsip dalam penatalaksanaan nyeri
Seringkali penderita neuropati pada diabetes tidak mendapatkan terapi,
dengan prevalensi sebanyak 39% (Bril et al., 2011). Pada dasarnya, terapi
neuropati pada diabetes meliputi terapi farmakologis dan non farmakologis.
Prinsip terapi yang harus diperhatikan yakni bukan hanya efektivitas, tetapi juga
efikasi, akses terhadap obat tersebut dan harga obat.

Gambar 2.1 Prinsip dasar dalam terapi neuropati pada diabetes (Troels et al.,
2006).
Prinsip dalam pengambilan keputusan perawatan pasien

11
Dalam memutuskan model keperawatan yang diberikan pada pasien,
diperlukan beberapa macam pertimbangan menurut NHS (2010) yakni:
1. Pertimbangkan merujuk orang ke layanan spesialis syaraf maupun center
nyeri, termasuk pada awal presentasi dan review klinis rutin. Jika pasien
memiliki sakit parah atau rasa sakit mereka secara signifikan membatasi
kegiatan sehari-hari mereka atau kondisi kesehatan yang memburuk.
2. Lanjutkan perawatan yang telah dilakukan untuk orang-orang yang
neuropatik nyeri sudah efektif dimanajemen
3. Penjelasan mengenai prognosis ketika menyetujui perawatan yang akan
dilakukan guna mengetahui manfaat maupun efek samping yang mungkin
timbul dari masing-masing pengobatan beserta alasan digunakannya
strategi coping untuk rasa sakit.

2. Daftar Obat untuk Terapi Neuropati


Jenis Obat
Dalam manejemen neuropati, digunakan beberapa subkelas obat sebagai berikut:

12
Tabel 1. Jenis obat untuk manajemen neuropati pada diabetes (NHS, 2010)

Meskipun demikian, namun tidak semua obat mendapatkan lisensi untuk


digunakan untuk manajemen nyeri diluar center manajemen nyeri. Menurut NHS
(2010). Jenis obat yang diberikan lisensi untuk neuropati pada diabetes yakni:

Tabel 2. Status lisensi obat untuk manajemen neuropati pada diabetes (NHS,
2010)

3. Algoritma Terapi

13
Pengobatan lini pertama
Menurut NHS (2010), terapi lini pertama yang dapa digunakan untuk
manajemen pada neuropati yakni:
1. Penggunaan amitriptyline atau pregabalin merupakan pengobatan lini
pertama bagi penderita neuropati diabetes yang menyakitkan. Untuk
amitriptilin, dosisnya mulai dari 10 mg per hari, dengan bertahap ke atas
titrasi dengan dosis efektif yang maksimal dan ditoleransi pasien. Dosis
tidak boleh lebih tinggi dari 75 mg per hari (dosis tinggi bias
dipertimbangkan dalam konsultasi dengan layanan spesialis nyeri).
2. Penggunaan pregabalin: mulai dari 150 mg per hari (dibagi menjadi dua
dosis) dengan atas titrasi dengan dosis efektif atau dosis yang ditoleransi.
Dosis tidak lebih tinggi dari 600 mg per hari (dibagi menjadi dua dosis).
3. Untuk orang dengan neuropati diabetes yang menyakitkan, duloxetine juga
merupakanpengobatan lini pertama. Jika duloxetine merupakan
kontraindikasi,maka dapat digunakan amitriptyline. Untuk duloxetine:
mulai dari 60 mg per hari dengan titrasi atas ke efektif dosis atau
maksimum dosis yang ditoleransi. Dosis tidak boleh lebih tinggi dari 120
mg per hari.
4. Berdasarkan evaluasi klinis awal dan teratur: Perlu dilihat apakah ada
perbaikan yang memuaskan sehingga didapatkan keputusan untuk
meneruskan pengobatan, secara bertahap mengurangi dosis dari waktu ke
waktu jika ada perbaikan yang kontinyu.
Pengobatan lini kedua
Menurut NHS (2010), apabila tidak tercapai manajemen nyeri dengan
terapi ini pertama, maka dapat dipertimbangkan penggantian obat setelah
pemberian consent pada pasien, yakni
1. Jika lini pertama terapi menggunakan amitriptilin, maka terapi dirubah ke
pregabalin
2. Jika terapi pertama menggunakan pregabalin, ganti atau kombinasikan
dengan amitriptilin oral
3. Jika terapi pertama menggunakan duloxetine, ganti dengan amitriptilin
atau pregabalin atau kombinasikan dengan pregabalin
Pengobatan lini ketiga
Menurut NHS (2010), apabila terapi untuk mengurangi nyeri tidak dicapai
dengan terapi lini kedua, maka perlu dilakukan rujukan pada spesialisasi

14
penanganan nyeri pada center yang khusus. Dalam proses menunggu rujukan,
tramadol oral merupakan pertimbangan yang bagus untuk manajemen sementara,
dapat ditammbahkan lidokain topical pada bagian yang nyeri yang terlokalisasi
ataupun yang tidak bias meminum obat oral
1. Penggunaan tramadol sebagai monoterapi dimulai dari 50-100mg tidak
lebih dari 4 jam. Dengan dosis maksimal 400mg per hari.
2. Dilarang menggunakan opioid (morfin, oxycodone) untuk terapi tanpa
assessment dari spesialis manajemen nyeri

4. Deskripsi Obat

1. Antikonvulsan
Beberapa jenis antikonvulsan direkomendasikan untuk terapi pada
neuropati di diabetes dan telah dibuktikan efektivitasnya dan keamanannya. Terapi
lini pertama yang dianjurkan yakni dengan menggunakan pregabalin sebagai agen
lini pertama karena efektivitasnya dalam mengurangi rasa nyeri pada pasien,
kemampuannya dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengurangi
gangguan tidur (Bril et al., 2011; Argoff et al., 2006). Rekomendasi ini telah
mendapatkan evidens level A. sedangkan untuk rekomendasi dengan evidens level
B dapat digunakan gabapentin sebagai salah satu terapi yang lebih terjangkau dan
mudah didapatkan. Dimana pregabalin sendiri tidak menyebar ke semua Negara
sehingga susah untuk didapatkan. Efek samping dari pregabalin yakni sedasi,
bingung, konstipasi, pusing dan kenaikan berat badan (Lindsay et al.,2010,3)
sedangkan efek samping gabapentin yakni pusing, somnolen, mulut kering dan
lelah pada tubuh (Argoff et al., 2006).

2. Antidepresan
Antidepresan merupakan salah satu rekomendasi dengan level evidens B
sebagai terapi pada neuropati di diabetes. Amitriptyline sebagai triyclic
antidepresan (TCA) merupakan obat yang menjadi lini pertama dengan efektivitas
dan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, beberapa Negara telah memproduksi
amitriptyline sebagai obat generic yang tersebar dan mudah didapat. Amitriptyline

15
dapat dikombinasikan dengan pregabalin untuk meningkatkan efikasinya, namun
idak boleh dikombinasikan dengan duloxetine karena mampu meningkatkan efek
toksisitasnya dalam mengakibatkan sindrom serotonin (Lindsay et al.,2010), Efek
samping yang sering didapatkan yakni bibir kering dan somnolen (Argoff et al.,
2006). Terapi antidepresan lain seperti venlafaxine dan duloxetine merupakan
serotonin norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs). Duloxetine memiliki onset
yang cepat dan efektif untuk digunakan pada nyeri yang muncul di malam hari
dengan perbaikan gejala seminggu setelah terapi. Efek sampingnya yakni mual,
somnolen, pusing, penurunan nafsu makan dan bibir kering (Bril et al., 2011).
Venaflaxine sebagai pilihan lain untuk dikombinasikan dengan pregabalin untuk
meningkatkan efektivitas pada terapi (Bril et al., 2011). Efek sampingnya yakni
mual dan somnolen. Meskipun demikian, tidak ada rekomendasi lebih baik
penggunaan duloxetine dan venaflaxine karena kurangnya evidence based
medicine research dalam pemakaian obat tersbut. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa SNRIs lebih ditoleransi dibandingkan dengan TCA dengan
reaksi antar obat yang lebih rendah (Lindsay et al.,2010).
3. Opioids dan obat Opioid-Like
Opioid merupakan salah satu pilihan untuk terapi neuropati, namun
penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan toleransi sekaligus berpotensi
mengakibatkan ketergantungan (Bril et al., 2011; Argoff et al., 2006). Opioid
juga digunakan untuk pasien yang telah tidak memiliki respon terhadap terapi lain
(Bril et al., 2011). Dextromethorphan, morphine sulfate,oxycodone dan tramadol
terbukti mampu menurunkan nyeri pada neuropati diabetes sebanyak 27%.
Tramadol merupakan pilihan dengan resiko ketergantungn yang rendah namun
tidak boleh digunakan pada pasien epilepsy (Bril et al., 2011, Argoff et al., 2006)
4. Agen Topikal
Menurut AAN (2012), evidence based dengan menggunakan kapsaicin
topical mampu menurunkan rasa nyeri pada neuropati diabetes dengan evidens
kelas I dan II. (Lindsay et al.,2010; Bril et al., 2011). Efek samping yang
diakibatkan yakni sensasi seperti terbakar pada saat kontak dengan air hangat atau

16
panas. Terapi menggunakan krim lidokain juga dapat digunakan untuk terapi
neuropati pada diabetes dengan evidens kelas III.

5. Terapi Supportif
Pengunaan ALA merupakan salah satu pilihan terapi pada neuropati yang
sedang dikembangkan. ALA merupakan zat yang bersifat antioksidan yang
mampu meningkatkan glutation intraseluler sehingga mencegah kerusakan sel.
Ringkasan uji klinik yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Uji Klinik penggunaan ALA (Sjahrir., 2006)

6. Terapi Kombinasi
Pada terapi neuropati diabetes, seringkali antara satu pasien dengan pasien
lain memiliki respon yang berbeda beda terahadap terapi yang diberikan. Bisa jadi
pasien tidak memiliki perbaikan gejala dengan pemberian agen single (Argoff et
al., 2006).oleh akrena itu, kombinasi merupakan salah satu pilihan yang baik

17
untuk terapi pada neuropati di diabetes. Salah satu rekomendasi yang dianjurkan
yakni kombinasi antara penggunaan agen topical diikuti dengan terapi oral
(Lindsay et al.,2010,; Bril et al., 2011). Selain itu, dapat digunakan terapi dengan
kombinasi dari obat neuropati diabetes dengan dua mekanisme yang berbeda
seperti penggunaan gabapentin dan morfin sulfat yang mampu meningkatkan
absorbs gabapentin dan menurunkan eliminasinya. Namun perlu diperhatikan
untuk penggunaan pada pasien dengan komorbiditas lainnya dengan obat statins,
beta blockers, sulfonylureas, levothyroxine,warfarin and loop diuretics (Lindsay
et al.,2010; Argoff et al., 2006).

5. Efek Samping pada Terapi Neuropati DM


Penggunaan terapi farmakologis, maupun tanpa terapi pada neuropati
diabetes mampu mengakibatkan terjadinya beberapa efek samping. Secara garis
besar dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 4. Perbandingan efek samping obat pada neuropati diabetes (Troels et al.,
2006)
Efek samping yang paling membahayakan pada neuropati yang tidak
diterapi yakni amputasi dari ekstrimitas bawah pasien (Lowe et al., 2008;
Deshpande et al.,2008). Amputasi biasanya dilakukan pada kondisi penyakit
sekunder yakni penyakit vaskuler perifer akibat gangrene, ulserasi pada kaki.
Fenomena amputasi kaki 60%-nya dilakukan pada pasien dengan diabetes (Lowe
et al., 2008). Resiko dilakukan amputasi meningkat apabila pasein dengan
hipertensi, kolestrol tinggi, merokok dan usia tua (Lowe et al., 2008, Deshpande
et al.,2008).

18
6. Perbandingan Aksesibilitas dan Harga Obat
Dalam pemilihan terapi, aspek aksesibilitas pasien terhadap obat
merupakan salah satu factor yang perlu untuk dipertimbangkan. Berikut
merupakan ringkasan perbandingan perkiraan harga dan aksesibilitas obat pada
neuropati diabetes

Tabel 5. Perbandingan aksesibilitas dan harga pada obat neuropati diabetes (Bril
et al., 2011)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K., A. H. Lichtman, and J. S. Pober. 2000. General Properties of the


Immune Response. In : Cellular and Molecular Immunology 4 th ed, WB
Saunders Co. Philadelphia. 3-16
American Diabetes Association, 2007. Clinical practice recommendations 2007,
Diabetes Care 30:S4, USA

19
Argoff CE, et al. Diabetic peripheral neuropathic pain. Consensus guidelines for
treatment. J Fam Pract. 2006;(Suppl):S1-S19.
Beniczky S, Tajti J, Timea VE et al. (2005) Evidence-based pharmacological
treatment of neuropathic pain syndromes. Journal of Neural Transmission
112: 73549
Bril V, et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful diabetic neuropathy:
report of the American Academy of Neurology, the American Association of
Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology.
2011;76(20):1758-1765.
Cohen, R. A., 2001. Nitric Oxide Bioavaibility and Endothelial Cell Dysfunction;
Vascular Disease in Diabetes, Servier, UK.
Deshpande AD, et al. Epidemiology of diabetes and diabetes related
complications. Phys Ther. 2008;88(11):125-1264.

20

Anda mungkin juga menyukai