Pembimbing:
dr. Leonardo Ageng Pramono
Oleh:
Jessica Novia Hadiyanto (2016-061-030)
Ardelia Yardhika (2016-061-032)
Brigitta (2016-061-046)
Stephanie Elaine (2016-061-100)
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA
ATMA JAYA
PERIODE 12 Ferbruari 2018 – 21 April 2018
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas selesainya
pembuatan referat dengan judul “Alergi Susu Sapi”. Referat ini diharapkan dapat
membuka gambaran klinis mengenai Alergi Susu Sapi beserta penatalaksanaannya
secara lebih mendalam sehingga keadaan tersebut menjadi lebih cepat dikenali dan cepat
ditangani oleh pembaca. Penulis juga berharap dengan referat ini dapat menjadi buku
panduan yang cukup nyaman untuk dibaca baik untuk masyarakat awam maupun klinisi
serta akademisi.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Leonardo Ageng Pramono yang telah membimbing selama pembuatan referat ini. Tanpa
bantuan dari beliau, penyelesaian referat ini akan terhambat dan mengalami banyak
kesulitan.
Penulis menyadari referat ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu
semua bentuk kritikan dan saran yang membangun untuk referat akan sangat diterima
oleh penulis dengan senang hati.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.8.2 Pengobatan Darurat ............................................................................... 12
2.8.3 Evolusi .................................................................................................. 12
2.9 Prognosis ........................................................................................................ 15
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.4.1 Gejala dan Tanda yang Berhubungan dengan Alergi Susu Sapi................... 6
Tabel 2.5.1 .. Perbedaan Intoleransi Laktase, ASS yang diperantai IgE, dan ASS yang
tidak diperantarai IgE……………………………………………................7
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pendekatan terhadap alergi susu sapi secara komprehensif dan
holistik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui patofisiologi alergi susu sapi pada anak
b. Mengetahui cara mendiagnosa alergi susu sapi pada anak serta diagnosis
bandingnya
c. Mengetahui cara menangani dan mencegah alergi susu sapi pada anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi dapat berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE, reaksi imunologis yang tidak
diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya.
Setiap susu mengandung protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya
protein susu sapi belum tentu sesuai untuk usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein
susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu
formula. 1,2
2.2 Epidemiologi
Prevalensi alergi makanan di dunia sekitar 1-10%, dimana 6% anak menunjukkan
manifestasi klinis alergi pertama kali pada 1-3 tahun pertama, alergi makanan terbanyak
berupa alergi susu sapi (2,5%), alergi telur (1,5%) dan alergi kacang (1%).
Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kansu et al menunjukkan prevalensi alergi
susu sapi sebesar 1.9% hingga 4.9% dengan prevalensi terbesar (2-3%) di tahun pertama
kehidupan, angka kejadian menurun sesuai bertambahnya umur, prevalensi alergi susu
sapi pada anak usia > 6 tahun adalah <1%.3 Insidens alergi susu sapi di Indonesia
sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0.5%
pada bayi yang mendapat ASI eksklusif.1
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1,5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah ringan
sampai sedang, hanya 0,1-1% yang bermanifestasi berat hingga mengancam kematian.1
Sebuah penelitian di Brazil dengan sampel 9.578 anak menunjukkan manifestasi alergi
susu sapi terbanyak adalah masalah pada gastrointestinal yang dialami oleh 88,7%
sampel, gejala sistemik seperti anorexia, penurunan berat badan, dan iritabilitas 24,5%,
gejala saluran pernafasan (19%) dan gejala pada kulit (18,2%).5
3
4
2.3 Etiopatogenesis
Peran utama dari sistem pencernaan manusia adalah memecah makanan yang
dimakan ke dalam bentuk yang sederhana sehingga mudah untuk diabsorbsi dan
digunakan untuk memproduksi energy dan pertumbuhan sel. Untuk mencegah terjadinya
kekebalan tubuh sekunder yang tidak diinginkan akibat dari absorpsi antigen asing yang
melewati barier sistem gastrointestinal, maka sistem pencernaan memiliki sistem
pertahanan tubuh non spesifik seperti barier mukosa dari usus, motilitas usus, sekresi
mukus, enzim, dan faktor pertahanan spesifik seperti produksi dari IgA dan interaksi
antigen dengan Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) . Individu normal memiliki
sebagian besar sel dendritik pada GALT, sehingga hal tersebut berperan dalam respon
tolerogenik.6
Reaksi yang merugikan terhadap makanan atau yang dapat disebut sebagai
“hipersensitivitas” terhadap makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi yang disebabkan
karena memakan bahan makanan yang mengandung protein. Hipersensitivitas terhadap
makanan dapat diklasifikasikan menjadi reaksi alergi dan intoleransi makanan.
Intoleransi makanan dapat disebabkan oleh komponen spesifik pada suatu makanan
seperti agen farmakologi, contohnya adalah monosodium glutamat atau histamin yang
dapat ditemukan pada ikan yang terkontaminasi, aktivasi sel mas non spesifik akibat
makanan yang mengiritasi seperti stroberi atau bahan pengawet, atau dapat juga
disebabkan okeh faktor pejamu (defisiensi laktase). Alergi makanan mengacu pada
reaksi imun yang ditimbulkan akibat adanya komponen protein pada makanan dan dapat
dibagi menjadi diperantarai oleh IgE dan tidak diperantarai oleh IgE. Perbedaan dari
keduanya adalah pada reaksi yang diperantarai oleh IgE lebih mudah dikenali
dibandingkan yang tidak. Tetapi, beberapa reaksi alergi dapat juga melibatkan keduanya.
Alergi susu sapi adalah salah satu allergen utama yang dapat melibatkan kedua reaksi
alergi diatas sehingga ketepatan diagnosis sangat penting dalam menentukan
tatalaksana.7
Alergi susu sapi dapat bermanifestasi melalui reaksi imun yang diperantarai oleh
IgE dan yang tidak diperantarai oleh IgE. Alergi yang diperantarai oleh IgE (reaksi
hipersensitivitas tipe I) terjadi ketika antigen terikat dengan antibodi IgE yang berikatan
dengan sel mast dan dimulai terlebih dahulu dengan fase sensitisasi. Alergen yang
5
tertelan kemudian dipresentasikan oleh APC dan kemudian berikatan dengan limfosi T
yang akan menyebabkan transformasi limfosit B menjadi sel antibody sekretorik.7 Cross
linking dari kedua antibodi IgE dengan antigen akan menyebabkan sel mast melepaskan
histamin (mediator inflamasi yang poten) dan menghasilkan timbulnya reaksi alergi.
Selain itu, pada reaksi ini juga meninggalkan reseptor spesifik untuk allergen tersebut,
sehingga jika ada paparan paparan selanjutnya maka akan menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi secara cepat. Kondisi tersebut merupakan fase aktivasi.6
Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE disebabkan karena faktor
multifaktorial, kompleks imun dari antibody IgA atau IgG yang berikatan dengan
antigen pada susu (reaksi hipersensitivitas tipe III), dan stimulasi antigen susu langsung
ke sel T (hipersensitivitas tipe IV). Reaksi ini akan menyebabkan pelepasan sitokin yang
berkontribusi dalam jalur inflamasi.8
2.4 Diagnosis
Anamnesis secara komprehensif dan pemeriksaan fisik secara teliti diperlukan
untuk dapat mendiagnosis kelainan ini karena alergi susu sapi sering terjadi
misdiagnosis dan overdiagnosis. Pada anamnesa, perlu digali secara jelas gejala yang
dialami oleh anak tersebut dan awitan dari gejala tersebut.9 Gejala yang timbul secara
cepat yaitu dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah terpapar alergen maka alergi
tersebut kemungkinan besar diperantarai oleh IgE, sedangkan reaksi yang lambat dapat
bermanifestasi klinis hingga 48 jam atau mungkin 1 minggu.10 Klinisi juga perlu
menggali apakah terdapat riwayat atopi di keluarga karena resiko dari terjadi alergi akan
meningkat apabila orangtua atau saudara dari penderita memiliki riwayat alergi (25-35%)
dan akan semakin meningkat pada penderita yang kedua orangtuanya memiliki riwayat
alergi (40-60%). Kemudian perlu digali juga apakah penderita tersebut mendapatkan
ASI dan waktu penderita tersebut berhenti mendapatkan ASI. Penderita yang
mendapatkan ASI pada hingga usia 4-6 bulan dari awal kehidupannya dapat mengurangi
resiko untuk terjadinya alergi susu sapi.11
Anak-anak dengan alergi susu sapi biasanya bermanifestasi klinis mirip dengan
reaksi alergi pada dewasa. Gejala seperti urtikaria, ruam dan gatal, dapat juga
bermanifestasi sebagai gejala pernafasan contohnya mengi dan batuk biasanya
6
merupakan manifestasi dari reaksi alergi susu sapi yang diperantarai IgE. Alergi susu
sapi juga dapat bermanifestasi klinis sebagai gejala saluran cerna dan nutrisional seperti
gastroesofagal refluks, esofagitis, pengosongan lambung yang melambat, enteropati,
colitis, konstipasi, dan kegagalan untuk berkembang.8 Gejala ini kemungkinan
disebabkan karena inflamasi, dismotilitas dan dapat juga keduanya. Tetapi gejala
gastrointestinal merupakan gejala yang sulit untuk dinilai karena tidak spesifik dan
memiliki diagnosis banding yang luas. Kebanyakan anak dengan alergi susu sapi
bermanifestasi klinis sedikitnya dua dari dua gejala sistem organ yaitu saluran
pencernaan (50-60%), kulit (50-60%), dan saluran pernafasan (20-30%). Gejala yang
ditimbulkan dapat bermacam-macam mulai dari ringan hingga berat. Reaksi syok berat
seperti asidosis metabolik merupakan karakteristik dari protein-induced enterocolitis
syndrome yang merupakan manifestasi dari reaksi alergi yang tidak diperantarai oleh
IgE.10
Tabel 2.4.1 Gejala dan Tanda yang Berhubungan dengan Alergi Susu Sapi
7
Tabel 2.5.1 Perbedaan Intoleransi Laktase, ASS yang diperantai IgE, dan ASS yang
tidak diperantarai IgE
ASS yang ASS yang tidak
Intoleransi laktase
diperantarai IgE diperantarai IgE
Prevalensi Tinggi Rendah Rendah
Variasi ras Tinggi Rendah Tidak diketahui
Usia rata-rata Remaja/dewasa Bayi Bayi dan dewasa
Yang berperan Laktosa Protein susu Protein susu, atau
komponen lain
Mekanisme Gangguan metabolik Imunologi diperantarai Imunologi:
Defisiensi laktase usus IgE - Cell mediated
- Kompleks imun
Gejala Gastrointestinal Satu atau lebih gejala Terutama GI &/
pada GI, kulit, pernafasan
pernafasan, anafilaksis
Onset 0,5-2 jam <1 jam >1 jam – beberapa hari
Diagnostik Lactose tolerance test; Skin prick test Tidak ada tes yang
breath test; stool RAST sederhana
acidity test DBPCFC
8
Lanjutan. Tabel 2.5.1 Perbedaan Intoleransi Laktase, ASS yang diperantai IgE, dan ASS
yang tidak diperantarai IgE
Pencegahan ASI Tidak diketahui
Primer - Menghindari protein
susu pada usia 0-6
bulan Menghindari protein
Sekunder Menghindari laktosa Menghindari protein susu intak
susu intak
Pilihan susu Hidrolisis laktosa atau Menghilangkan epitop Menghilangkan epitop
chromatographic alergenik alergenik
lactose removal Hidrolisis protein susu
Keterangan: eHF= extensively hydrolyzed formula, AAF= amino acid formula, FTT=
failure to thrive, ADB= anemia defisiensi besi, DBPCPT= double blind placebo
controlled provocation test
Pada alergi gabungan antara IgE dan non-igE maka gejala timbul lebih lama yaitu
lebih dari 2 jam, serangan berulang atau kronik. Gejala yang timbul berupa dermatitis
atopi, esofagitis eosinofilik, dan asma, sedangkan manifestasi yang timbul pada alergi
yang tidak diperani igE antara lain protokolitis, kolik, enterokolitis, anemia dan gagal
tumbuh. Manifestasi klinis lain yang ditemukan pada alergi susu sapi berupa refluks
gastroesofagus dan konstipasi.9
tidak diperantarai IgE. Mauro dkk menyatakan bahwa bila skin prick test positif
terhadap 3 komponen protein susu (kasein, ß-laktoglobulin dan α-laktalbumin) maka
penderita kemungkinan besar memberikan respons positif terhadap uji provokasi (oral
food challenge), dengan nilai duga positif yang tinggi (92,3%).14
2.6.3 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)
Bila diagnosis masih belum jelas tes invasive untuk menegakkan diagnosis
diperlukan, oral food challenge merupakan standar emas.13,14 Pasien mencerna, lebih
dari 2 jam, secara progresif meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat
alergi. Prosedur dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah
makanan yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul.
Karena terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga
medis yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan
dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis.13
2.6.4 Dosis Antibodi Serum IgE
Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan. Alergen
yang diduga diikat ke matriks padat dan dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE
spesifik untuk alergen mengikat ke matriks protein dan dideteksi menggunakan
antibodi spesifik sekunder pada bagian Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin
test, sensitisasi dapat muncul tanpa reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis alergi makanan tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun
begitu, meningkatnya konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan
dengan meningkatnya kemungkinan reaksi klinis.13
2.7 Pencegahan
Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Pencegahan alergi susu sapi terdiri
dari 3 tingkat, yaitu pencegahan primer terhadap sensitisasi awal, pencegahan sekunder
terhadap pencetus reaksi alergi, dan pencegahan tersier dengan induksi toleransi pada
individu yang telah tersensitisasi.17
2.7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan sejak prenatal pada janin dengan keluarga yang
memiliki bakat dermatitis atopi. Pemberian ASI selama 4-6 bulan merupakan strategi
perlindungan yang sangat penting untuk mencegah ASS. Pada bayi yang beresiko
tinggi terhadap ASS, maka ibu dianjurkan untuk menghindari makanan yang
mengandung protein susu sapi selama masa menyusui. Pada bayi yang tidak dapat ASI
11
karena berbagai alasan, maka diberikan susu formula. Pemberian susu formula yang
terhidrolisis, baik partially hydrolyzed formulas maupun eHF pada awal masa bayi,
memberikan perlindungan yang lebih baik dibanding formula yang mengandung
protein susu sapi intak, khususnya pada bayi yang berisiko (riwayat atopi pada
keluarga).18
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit
alergi tidak munculn dilakukan dengan pemberian protein susu sapi yang hipo
alergenik. Saat tindakan yang optimal adalah pada usia 0 – 3 tahun. Bagi individu yang
sudah tersensitisasi susu sapi, pencegahan ASS dilakukan dengan menghindari protein
susu sapi intak. Pembuatan susu formula hipoalergenik, seperti susu sapi yang
dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapiseperti susu kedelai yang tidak membuat
terjadinya manifestasi penyakit alergi.18
2.7.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi
sensitisasi dan menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis,
tetapi belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan
yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dilakukan
dengan memberikan susu sapi hidrolisat sempurna atau pengganti susu sapi.
Penyediaan obat preventif seperti setirizin, imunoterapi, imunomodulator tidak
direkomendasikan karena belum terbukti secara klinis bermanfaat.18
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Diet Eliminasi
Penatalaksanaan utama pada alergi susu sapi adalah diet eliminasi. Pasien dan
keluarganya harus diajarkan untuk selalu membaca label makanan yang mengandung
susu atau produknya (mentega, kasein, lactalbumin, lactoglobulin atau laktosa).13
Kebanyakan orang tua ingin mengganti susu sapi dengan susu binatang mamalia
lainnya atau susu kedelai. Meskipun begitu, sebenarnya setiap pasien alergi susu sapi
memiliki reaksi silang dengan susu biri-biri betina atau susu kambing, lagi pula susu
tersebut tidak memiliki nutrisi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan bayi dan
12
alergi untuk jangka waktu yang lebih lama. Faktor prognosis bergantung pada kadar
IgE spesifik terhadap susu dan kadarnya menurun dari waktu ke waktu.13
Gambar 2.8.1 Alur Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan ASI
Eksklusif (6 bulan)
14
Gambar 2.8.2 Alur Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan
PASI (Susu Formula)
15
2.9 Prognosis
ASS hanya akan persisten pada sebagian kecil anak-anak. Prognosis ASS
tergantung dengan usia pasien dan titer IgE saat didiagnosis ASS. Anak-anak dengan
ASS yang memiliki radioallergosorbent test atau SPT negative akan mengalami
toleransi susu sapi yang lebih cepat dibandingkan anak-anak dengan atopi yang memiliki
hasil tes positif. Pasien dengan riwayat ASS yang diperantarai oleh IgE memiliki risiko
lebih tinggi untuk memiliki penyakit atopi, seperti asma, dermatitis atopi,
rinokonjungtivitis, dibandingkan pasien dengan IgE negatif.11
Prognosis dari ASS pada anak-anak sangat baik. Sebanyak 50% anak-anak yang
terkena ASS akan mengalami toleransi saat berumur 1 tahun, lebih dari 75% akan
mengalami toleransi saat berumur 3 tahun, dan lebih dari 90% akan mengalami toleransi
saat berumur 6 tahun.10
BAB III
PENUTUP
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang
diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi, dengan manifestasi klinis
bervariasi dari ringan sampai berat, seperti ruam pada kulit, bengkak pada mata, masalah
pencernaan dan pernafasan hingga syok anafilaktik.
Alergi susu sapi dapat diperantarai oleh IgE maupun tidak, yang dapat dibedakan
bedasarkan onset dan cara diagnostik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah skin prick test, atopy patch test, diet eliminasi dan oral food challenge,serta
mengukur dosis serum IgE.
Pencegahan ASS terdiri dari tiga tingkat, yaitu pencegahan primer terhadap
sensitisasi awal, pencegahan sekunder terhadap pencetus reaksi alergi, dan pencegahan
tersier dengan induksi toleransi pada individu yang telah tersensitisasi.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah diet eliminasi, pemberian antihistamin
sebagai pengobatan darurat, maupun evolusi.
Prognosis ASS pada anak-anak sangat baik, dengan tingkat toleransi ASS
mencapai 90% saat umur 6 tahun.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan tatalaksana alergi susu sapi. Edisi 2.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
2. Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 20.
Canada: Elsevier; 2016.
3. Kansu A, Yüce A, Dalgiç B, Sekerel B, Çullu-Çokugras F, Çokugras H. Consensus
statement on diagnosis, treatment and follow-up of cow's milk protein allergy among
infants and children in Turkey. Turk J Pediatr. 2016;58(1):1-11.
4. Dupont C, Bradatan E, Soulaines P, Nocerino R, Berni-Canani R. Tolerance and
growth in children with cows milk allergy fed a thickened extensively hydrolyzed
casein-based formula. BMC Pediatrics. 2016;16.
5. Vieira M, Morais MB, Spolidoro JVN, Toporovski MS, Cardoso AL, Araujo GTB,
et al. A survey on clinical presentation and nutritional status of infants with
suspected cow' milk allergy. BMC Pediatrics. 2010;10:25.
6. Giovanna V, Carla C, Alfina C, Domenico PA, Elena L. The immunopathogenesis of
cow’s milk protein allergy (CMPA). Ital J Pediatr. 2012;38:35.
7. Benhamou AH, Schappi TMG, Belli DC, Eigenmann PA. An overview of cow’s
milk allergy in children. Swiss Med Wkly. 2009;139(21-22):300-7.
8. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician.
2008;54(9):1258–64.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
10. Koletzko S, Niggemann B, Arato A, Dias JA, Heuschkel R, Husby S, et al.
Diagnostic approach and management of cow’s-milk protein allergy in infants and
children: ESPGHAN GI committee practical guidelines. J Pediatr Gastroenterol
Nutr. 2012;55(2):221.
11. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al.
Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in
infants. Arch Dis Child. 2007;92(10):902–8.
12. Siregar SP. Alergi Makanan pada Bayi dan Anak. Sari Pediatri. 2011(3);3:168-74.
17
18
13. Bishop MJ, Hill DJ, Hosking CS. Natural history of cow’s milk allergy: Clinical
outcome. J Pediatr. 1990;116:862-7
14. Motala C, Alessandro, F. Cow’s Milk Allergy in Children [internet]. [updayted July
2012; cited 2018 Feb 18]. Available from:
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/cows_milk_allerg
y_in_children/
15. Ishizaka K, Ishizaka T, Hornbrook MM. Physiochemical properties of human
reaginic antibody. J Immunol. 1966;97:75-84
16. Zeiger RS, Sampson HA, Bock SA, Burks JR, et al. Soy allergy in infants and
children with IgE associated cow’s allergy. J Pediatr. 1999;134:614-22
17. Crittenden RG, Bennett LE. 2005. Cow’s milk allergy: a complex disorder. J Am
Coll Nutr. 2005;24(6 Suppl):582S-91S.
18. Sampson HA. Food allergy. Part II: Diagnosis and management. J Allergy Clin
Immunol. 1999;103:981-9.