Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

APPENDISITIS PERFORASI DENGAN TAMPILAN KLINIS


MENYERUPAI TUBO-OVARIAN ABSCESS

Disusun Oleh:
Chita Annisha
Septira Arindya Maharani
dr. Novi Resistantie, Sp. OG (KFM)
dr. Adi Widodo, Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
NOVEMBER – DESEMBER 2020

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................... .ii
ABSTRAK............................................................................................................... .1
ABSTRACT.............................................................................................................. .2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... .3
BAB II STATUS PASIEN...................................................................................... .4
Identitas Pasien.................................................................................................... .4
Anamnesa............................................................................................................ .4
Status Generalis................................................................................................... .5
Pemeriksaan Fisik................................................................................................ .6
Pemeriksaan Penunjang....................................................................................... .8
Diagnosis Kerja.................................................................................................. 9
Tatalaksana......................................................................................................... 9
Prognosis............................................................................................................. 9
Pemeriksaan Penunjang 16-22 November 2020................................................. 10
Follow-Up............................................................................................................17
BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 23
Tubo-Ovarian Abscess........................................................................................ 23
Appendisitis........................................................................................................ 29
BAB IV PEMBAHASAN KASUS........................................................................ 38
LAMPIRAN........................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 44

ii
ABSTRAK

Latar belakang: Tubo-ovarian Abscess (TOA) adalah massa adneksa infeksius


kompleks yang terjadi sebagai sequelae dari penyakit radang panggul (pelvic
inflammatory disease) yang disebabkan oleh infeksi asendens oleh organisme saluran
genital bawah dari vagina atau serviks. Gejala pada TOA memiliki kemiripan dengan
gejala appendisitis, seperti adanya demam, diare, dan nyeri perut, serta terjadi pada usia
reproduktif. Keduanya juga menunjukkan adanya leukositosis dan pada pencitraan
terlihat adanya massa dan apabila terjadi perforasi terdapat cairan bebas intraperitoneal.

Kasus: Seorang anak perempuan usia 17 tahun dengan keluhan nyeri perut bagian
bawah, dari klinis di diagnosis dengan TOA dd appendisitis. Kemudian pada
pemeriksaan USG ditemukan adanya massa di posterior uterus seperti periappendikular
infiltrat, namun ovarium kiri tidak tervisualisasi. Sehingga untuk mendiagnosis secara
pasti antara TOA maupun appendisitis disarankan untuk dilakukan laparatomi.

Kesimpulan : Setelah dilakukan laparatomi, ditemukan appendix perforasi dan terdapat


pus  400cc. Menurut teori, dapat ditemukan TOA pada wanita yang tidak aktif secara
seksual, sehingga TOA dapat dijadikan diagnosis banding pada wanita yang memiliki
gejala seperti demam dan nyeri perut.

Kata Kunci : abses tuboovarian, appendisitis perforasi.

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tubo-ovarian Abscess (TOA) adalah massa adneksa infeksius kompleks yang


terjadi sebagai sequelae dari penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease).
Mayoritas pasien merupakan pasien usia reproduksi, yang aktif secara seksual. Namun,
TOA juga dapat terjadi tanpa episode PID atau aktivitas seksual sebelumnya. Sekitar
15–35% wanita yang dirawat karena PID terbukti akan didiagnosis dengan TOA. TOA
juga dapat terjadi karena intra-abdominal lainnya seperti apendisitis, divertikulitis atau
pielonefritis dan dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi langsung atau hematogen.
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis. Peradangan
pada appendiks ini merupakan kausa tersering dari penyakit akut abdomen yang harus
ditangani dengan segera dimana terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan pecahnya
lumen appendiks dan menyebabkan peritonitis. Appendisitis dapat terjadi pada semua
usia. Diperkirakan sebanyak 6% sampai 7% dari populasi manusia akan mengalami
appendisitis dalam masa hidup mereka, dengan frekuensi memuncak pada usia dekade
kedua kehidupan.
Gejala pada TOA memiliki kemiripan dengan gejala appendisitis, seperti adanya
demam, diare, dan nyeri perut, serta terjadi pada usia reproduktif atau usia dekade kedua
kehidupan. Keduanya juga menunjukkan adanya leukositosis dan pada pencitraan
terlihat adanya massa dan apabila terjadi perforasi terdapat cairan bebas intraperitoneal.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : An. Maudy Aulya Rachmah
Usia : 17 tahun
Alamat : Jalan Bacang No. 4
Jenis kelamin : Perempuan
Ruang rawat : Cempaka 2
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 15 November 2020
Tanggal pemeriksaan : 23-28 November 2020

2.2. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara alloanamnesa

Keluhan Utama : Nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RS POLRI dengan keluhan nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari
SMRS. Nyeri dirasa secara terus-menerus, semakin lama semakin berat dan tidak
menghilang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh BAB konsistensi cair dengan
frekuensi 10x berwarna kuning dengan ampas tanpa lendir dan darah. Terdapat mual
dan muntah sebanyak 3x berisi makanan. Selama 4 bulan terakhir, pasien mengeluh
demam, keringat malam, penurunan berat badan tidak ada dan batuk secara hilang
timbul. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih. BAK tdiak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien baru pertama kali mengeluh seperti ini. Pasien tidak ada riwayat penyakit
sebelumnya.

3
Riwayat Keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit paru maupun appendicitis.

Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar tidak lengkap, terakhir imunisasi campak.

Riwayat Lahir :
Pasien dilahirkan secara spontan di usia kandungan cukup bulan. Pasien dilahirkan
dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan 49 cm.

Riwayat Tumbuh Kembang :


Pasien sudah bisa tengkurap usia 7 bulan, duduk 7 bulan, berjalan 1 tahun 5 bulan,
bicara 1 tahun, dan tumbuh gigi usia 8 bulan.

Riwayat Makan:
Pasien mendapat ASI hingga usia 4 bulan, dilanjutkan susu formula dan MPASI.

Riwayat Lingkungan:
Keluarga dan orang-orang sekitar pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien.

Riwayat Menstruasi :
Menarche 12 tahun dengan siklus 30 hari tidak teratur, durasi haid 2 – 7 hari, dismenore
tidak ada.

Riwayat Pernikahan:
Pasien belum pernah menikah dan belum pernah melakukan hubungan seksual.

2.3. STATUS GENERALIS:


1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Komposmentis GCS: 15 E: 4 V: 5 M: 6
3. Tekanan darah : 100/60 mmHg

4
4. Nadi : 80x/menit, reguler, kuat
5. Suhu : 39,9oC
6. Pernapasan : 20x/menit
7. Status Gizi:
- Berat badan : 46 kg
- Tinggi badan : 156 cm
- IMT : 18,93 kg/m2

2.4. PEMERIKSAAN FISIK:


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 22 November 2020

Kepala
1. Bentuk : Normocephal
2. Posisi : Simetris

Mata
1. Mata cekung : -/-
2. Kongtiva anemis : -/-
3. Sklera ikterik : -/-
4. Pupil : Isokor
5. Refleks cahaya : Langsung (+/+) Tidak langsung (+/+)

6. Injeksi Konjungtiva : -/-

Hidung
1. Bentuk : Normal
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum : Tidak ada deviasi

4. Sekret : Tidak ditemukan

Telinga
1. Bentuk & ukuran : Normal

5
2. Darah & cairan : Tidak ditemukan

Mulut
1. Labium oris : Tidak tampak kering
2. Lidah : Tidak tampak kotor
3. Fossa bucalis : Tidak tampak hiperemis

4. Tonsila palatina : T1/T1, tidak tampak hiperemis

Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Efloresensi dan jaringan parut : Tidak ada
3. Pigmentasi : Dalam batas normal
4. Turgor : Baik
5. Ikterus : Tidak ada
6. Sianosis : Tidak ada
7. Pucat : Tidak ada

8. Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal

Leher
1. Kelenjar getah bening : Tidak tampak pembesaran

Paru-Paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan dinamis
2. Palpasi : Fremitus taktil dan vokal dada kanan dan kiri normal
3. Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
4. Auskultasi: Suara napas dasar vesikuler +/+, ronkhi +/+, wheezing -/-

Jantung
1. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
3. Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

6
4. Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
1. Inspkesi : Perut datar simetris
2. Aukultasi : Bising usus (+) meningkat, disertai borborigmi
3. Palpasi : Supel, tidak teraba massa, tidak teraba pembesaran hepar dan lien.
Turgor kembali segera, nyeri tekan di kuadran hipokondrium dextra dan sinistra,
epigastrium dan umbilikal.

4. Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Ekstremitas
1. Akral hangat pada ektermitas atas dan bawah dextra sinistra
2. Edema pada ektremitas atas dan bawah dextra sinistra (-)

3. Capilary Refill Time < 2 detik


4. Turgor kembali segera

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium pada tanggal 15 November 2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI

7
Hemoglobin 11,1 g/dL 12 - 14
Hematokrit 35 % 37 – 43
Leukosit 16.290 /L 5.000 – 10.000
Trombosit 328.000 /L 150.000 – 400.000
Eritrosit 4,40 Juta/L 4-5
LED - mm/jam <20
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 0 % 1–3
Batang 0 % 2–6
Segmen 92 % 50 – 70
Limfosit 7 % 20 – 40
Monosit 1 % 2-8
NEUTROFIL LIMFOSIT RATIO
Neutrofil Absolut 14.900 /L 2.500 – 7.000
Limfosit Absolut 1.170 /L 1.000 – 4.000

2.6. DIAGNOSIS KERJA


Tubo-Ovarian Abscess dd Appendisitis

2.7. PENATALAKSANAAN
Operatif :
Laparatomi
Non-Operatif:
Terapi Non-Farmakologi
Tirah Baring
Terapi Farmakologi
1. IVFD Ringer Laktat 28 tpm
2. Paracetamol 3 x 500 mg
3. Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp
4. Injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr

2.8. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanactionam : Dubia ad bonam

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG TANGGAL 16 – 22 NOVEMBER 2020

8
Laboratorium pada tanggal 16 November 2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
LED 86 mm/jam <20
KIMIA KLINIK
SGOT/ AST 28,7 U/L <31
SGPT/ ALT 52,4 U/L <31

Pemeriksaan Radiologi Thorax tanggal 16 November 2020


1. Jantung ukuran tidak membesar
2. Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
3. Trakea di tengah, kedua hillus tidak menebal
4. Paru : coracan bronkovaskular kasar, infiltrate lapang tengah paru bilateral
5. Kedua hemidiafragma licin, kedua sinus kostofrenikus lancip
6. Tulang tulang intak
Kesan : Bronchopneumonia
Laboratorium pada tanggal 17 November 2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
MIKROBIOLOGI (BTA 3X)

9
BTA Sewaktu Negatif Negatif
BTA Pagi 3 positif Negatif
BTA Sewaktu 2 positif Negatif
SEROLOGI/ IMUNOLOGI (SARS-COV-2)
IgG Negatif Negatif
IgM Negatif Negatif

Laboratorium pada tanggal 18 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Natrium 132 mmol/L 135 – 145
Kalium 2,9 mmol/L 3,5 – 5,0
Chlorida 102 mmol/L 98 - 108
Bleeding time 2 menit 1–6
Clotting time 12 menit 10 - 15

Laboratorium pada tanggal 19 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
SEROLOGI/ IMUNOLOGI (SARS-COV-2)
IgG Negatif Negatif
IgM Negatif Negatif

10
Pemeriksaan USG 20 November 2020
1. Dilatasi usus diseluruh abdomen, kemungkinan suatu ileus
2. Uterus normal, ovarium kanan normal, ovarium kiri nonvisualisasi
3. Massa di posterior uterus terlokalisir, kemungkinan periappendicitis infiltrate
Kesan: dd/ appendicitis perforasi, TOA

Laboratorium pada tanggal 21 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
SGOT/ AST 32,3 U/L <31
SGPT/ ALT 20,3 U/L <31
Ureum 16 mg/dl 10 - 50
Creatinine 0,5 mg/dl 0,5 – 1,3
Estimasi GFR - ml/min/1.73m2 >= 90
GDS 106 mg/dl <200
Natrium 132 mmol/L 135 – 145
Kalium 2,9 mmol/L 3,5 – 5,0
Chlorida 101 mmol/L 98 – 108
pH 7,55 7,35 – 7,45
pCO2 27 mmHg 35 – 45
pO2 77 mmHg 85 – 95
O2 saturasi 97 % 85 – 95
HCO3 26 mmol/L 21 – 25
Base Excess 0 mmol/L -2,5 – +2,5
Total CO2 23 mmol/L 21 – 27
HEMATOLOGI
Bleeding time 2 menit 1–6
Clotting time 12 menit 10 – 15

11
Pemeriksaan BNO 3 Posisi tanggal 21 November 2020
- Preperitoneal fat line kanan-kiri baik
- Kontur kedua ginjal tertutup udara usus, sulit dievaluasi
- Udara usus mencapai distal
- Distensi dan dilatasi bowel dengan multiple air fluid level
- Suspek multiple cavitas pada region lower abdomen
- Tidak tampak udara bebas
Kesan : Distensi dan dilatasi bowel dengan multiple airfluid level DD/ Partial
obstruction, paralith
Suspek multiple cavitas pada region lower abdomen
Durante Operasionum tanggal 17 November 2020
Konsultasi Intern / Ekstern
Yth. TS. Dr (Konsulen) yang diminta : Obgyn

12
Diagnosa Kerja : Suspek Adneksitis dd/ Appendisitis
Ikhtisar Klinis : Nyeri perut kanan
Tanggal : 17 November 2020
Dokter yang meminta,
dr. Nurifah, Sp.A
Pendapat Konsulen
USG : Nyeri di retropelvis, massa di retropelvis atau retroperitoneum, cairan
(+)
Pro USG Feto kepada dr. Novi Resistantie, Sp.OG (KFM)
Btk
dr. Adi Widodo, Sp.OG (K)

Durante Operasionum tanggal 18 November 2020


Konsultasi Intern / Ekstern
Yth. TS. Dr (Konsulen) yang diminta : dr. Novi Resistantie, Sp.OG (KFM)

Diagnosa Kerja : Massa pelvis, ascites (+) / cairan bebas di retropelvis atau
retroperitoneum
Ikhtisar Klinis :-
Tanggal : 18 November 2020
Dokter yang meminta,
dr. Adi Widodo, Sp.OG (K)

Pendapat Konsulen
Yth dr. Adi Widodo, Sp.OG (K) Terima kasih atas konsultasi USG :
1. Paru : Tampilan bronkopneumonia, untuk screening SARS Cov-2
2. GI : Dilatasi usus di seluruh area curiga ileus obstruktif
3. Ginjal : Ginjal dan kandung kemih normal
4. Uterus : Uterus antefleksi normal, ovarium kanan normal, ovarium kiri non
visualisasi
5. Massa di posterior uterus terlokalisir dengan ukuran = 35,2 x 56,7 mm. Massa
bisa

13
berasal dari periappendicular infiltrat dd/ Tuboovarial abses, appendisitis perforasi
6. Kemungkinan perlu rawat bersama join op Obgyn - Bedah Digestif
7. Peritonitis belum dapat disingkirkan
Saran :
Konsul dan rawat bersama Bedah Digestif
Setuju join op Bedah Digestif
Konsul Paru Konsul Anestesi
Persiapan darah : WB 500
Antibiotik : Ceftriaxone 1 x 2 gram, Metronidazole 1 x 1 gram, Gentamycin 2 x 80mg
Btk
dr. Novi Resistantie, Sp.OG (KFM)

Durante Operasionum tanggal 20 November 2020


Konsultasi Intern / Ekstern
Yth. TS. Dr (Konsulen) yang diminta : TS Bedah Digestif
Diagnosa Kerja : Ileus, appendisitis perforasi dd/ TOA
Ikhtisar Klinis : Mohon konsul, rawat bersama join op
Tanggal : 20 November 2020
Dokter yang meminta,
a/n dr. Adi Widodo, Sp.OG (K)
Pendapat Konsulen
ACC join operasi
Btk
dr. Pribadi Arif Wicaksono, Sp.B (K)BD

Laporan Operasi tanggal 22 November 2020


1. Ditemukan appendix perforasi
2. Panjang appendix 12 cm dengan diamterer 1 cm
3. Letak perforasi di ⅓ distal
4. Ditemukan pus ±400cc
5. Ditemukan adhesi antar jejunum-ileum
6. Dilakukan appendectomi, adhesiolisis, abdominal toilet dipasang drain abdomen

14
Diagnosis post op: peritonitis diffuse ec perforasi appendix + adhesi
Instruksi Post Operasi (22 November 2020)
1. Obs TTV, monitor input output
2. Puasa
3. IVFD RL 1000cc/24 jam
4. IVFD D5 1000cc/24 jam 
5. Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
6. Inj. Metronidazole 3x500 mg
7. Inj. Ranitidin 2x1 amp
8. Inj. Ketorolac 2x1 amp

2.10. FOLLOW UP

23 November 2020 24 November 2020


S/ S/
Pasien mengeluh nyeri perut bekas Pasien mengeluh nyeri perut bekas
jahitan operasi, BAB belum bisa, jahitan operasi, BAB belum bisa,
kentut belum bisa, BAK menggunakan kentut belum bisa, BAK menggunakan
kateter. Mual ada namun tidak kateter. Mual berkurang, namun tidak
muntah. Minum air putih dan susu. ada muntah. Batuk disertai dahak
Makan belum boleh. warna hijau. Minum air putih dan
susu. Makan belum boleh.
O/ O/
Status generalis Status generalis
- GCS 15, Composmentis - GCS 15, Composmentis
- TD : 100/70 mmHg - TD : 110/70 mmHg
- Suhu: 36,7ºC - Suhu: 37,9ºC
- HR: 98x/menit - HR: 100x/menit
- RR: 20 x/menit - RR: 20 x/menit
- Diuresis : 1,26 cc/ kgBB/ jam - Diuresis : 1,26 cc/ kgBB/ jam
- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), - Mata : konjungtiva anemis (-)/(-),
sklera ikterik (-)/(-), mata cekung sklera ikterik (-)/(-), mata cekung
(-)/(-) (-)/(-)

15
- Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-) - Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-)
- Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/- - Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/-
- Abdomen : luka insisi vertical (+) - Abdomen : luka insisi vertical (+)
bising usus (+) lemah, nyeri tekan bising usus (+), nyeri tekan (-),
(-), timpani (+), drain isi darah timpani (+), drain isi darah
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < - Ekstremitas : akral hangat, CRT <
2 detik 2 detik
A/ A/
Peritonitis diffuse ec perforasi Peritonitis diffuse ec perforasi
appendix + adhesi appendix + adhesi
P/ P/
- IVFD Ringer Laktat 500 cc + - IVFD Ringer laktat 500 cc +
tramadol 20 tpm Keorolac 20 tpm
- IVFD PRC I 20 tpm - IVFD Aminofusin paed 500 cc 20
- IVFD NS 3% + tramadol 28 tpm tpm
- IVFD Ringer laktat + ketorolac 20 - Injeksi Ceftriaxone 1 x 2 gr
tpm - Injeksi Metronidazole 3 x 500 mg
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Injeksi Ceftriaxone 1 x 2 gr - Injeksi Ketorolac 2 x 15 mg
- Injeksi Mtronidazole 3 x 1 gr

Laboratorium pada tanggal 23 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 9,6 g/dl 12 - 14
Hematokrit 31 % 37 - 43
Leukosit 12.830 /ul 5.000 – 10.000
Trombosit 345.000 /ul 150.000 – 400.000
KIMIA KLINIK
Natrium 151 mmol/L 135 - 145
Kalium 3,3 mmol/L 3,5 – 5,0
Chlorida 115 mmol/L 98 - 108

16
25 November 2020 26 November 2020
S/ S/
Pasien mengeluh nyeri perut bekas Pasien mengeluh nyeri perut bekas
jahitan operasi, keluar cairan dari luka jahitan operasi, keluar cairan dari luka
operasi berwarna kuning dengan operasi berwarna kuning dengan
jumlah yang cukup banyak, lemas, jumlah yang sudah berkurang, BAB
demam, BAB belum bisa, kentut sudah bisa, BAK menggunakan
sudah bisa, BAK menggunakan kateter. Mual dan muntah tidak ada.
kateter. Mual dan muntah tidak ada. Batuk ada. Minum air putih dan susu.
Batuk ada. Minum air putih dan susu. Makan belum boleh.
Makan belum boleh.
O/ O/
Status generalis Status generalis
- GCS 15, Composmentis - GCS 15, Composmentis
- TD : 100/70 mmHg - TD : 100/60 mmHg
- Suhu: 38ºC - Suhu: 36ºC
- HR: 90x/menit - HR: 80x/menit
- RR: 21 x/menit - RR: 20 x/menit
- Diuresis : 0,99 cc/ kgBB/ jam - Diuresis : 1,26 cc/ kgBB/ jam
- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), - Mata : konjungtiva anemis (-)/(-),
sklera ikterik (-)/(-), mata cekung sklera ikterik (-)/(-), mata cekung
(-)/(-) (-)/(-)
- Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-) - Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-)
- Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/- - Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/-
- Abdomen : luka insisi vertical (+) - Abdomen : luka insisi vertical (+)
dengan pus (+) banyak, bising usus dengan pus (+) berkurang, bising
(+), nyeri tekan (-), timpani (+), usus (+), nyeri tekan (-), timpani
drain isi pus warna kuning (+), drain isi pus warna kuning
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < - Ekstremitas : akral hangat, CRT <
2 detik 2 detik
A/ A/
Peritonitis diffuse ec perforasi Peritonitis diffuse ec perforasi
appendix + adhesi appendix + adhesi

17
P/ P/
- IVFD Ringer laktat 500 cc + KCL - IVFD Ringer laktat 500 cc + KCL
20 meg 20 tpm 20 meg 20 tpm
- IVFD Aminofusin 200 cc 28 tpm - IVFD Dipeptiven 100 cc dalam 4
- IVFD Dextrose D5% 500 cc 20 jam/ hari
tpm - Injeksi Metrionidazole 3 x 500 mg
- Injeksi Metrionidazole 3 x 500 mg - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg - Injeksi Ketorolac 2 x 15 mg
- Injeksi Ketorolac 2 x 15 mg - Injeksi Meropenem 3 x 1 gr
- Injeksi Meropenem 3 x 1 gr - Sucralfate 3 x 1 sendok PO
- Sucralfate 3 x 1 sendok PO

Laboratorium pada tanggal 25 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Hemoglobin 9,0 g/dl 12 - 14
Hematokrit 30 % 37 - 43
Leukosit 9.160 /ul 5.000 – 10.000
Trombosit 418.000 /ul 150.000 – 400.000

Laboratorium pada tanggal 26 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Albumin 2,8 g/dl 3,5 – 5,2
Natrium 131 mmol/L 135 - 145
Kalium 3,1 mmol/L 3,5 – 5,0
Chlorida 102 mmol/L 98 - 108

18
27 November 2020 28 November 2020
S/ S/
Pasien mengeluh nyeri perut bekas Pasien mengeluh nyeri perut bekas
jahitan operasi, keluar cairan dari luka jahitan operasi, keluar cairan dari luka
operasi berwarna kuning dengan operasi berwarna kuning dengan
jumlah yang sedikit, BAB belum, jumlah yang sedikit, BAB belum,
BAK menggunakan kateter. Mual dan BAK menggunakan kateter. Mual dan
muntah tidak ada. Batuk ada. Makan muntah tidak ada. Batuk ada. Makan
sudah boleh. sudah boleh.
O/ O/
Status generalis Status generalis
- GCS 15, Composmentis - GCS 15, Composmentis
- TD : 100/70 mmHg - TD : 110/70 mmHg
- Suhu: 36,6ºC - Suhu: 36,9ºC
- HR: 80x/menit - HR: 89x/menit
- RR: 20 x/menit - RR: 20 x/menit
- Diuresis : 1,17 cc/ kgBB/ jam - Diuresis : 1,2 cc/ kgBB/ jam
- Mata : konjungtiva anemis (-)/(-), - Mata : konjungtiva anemis (-)/(-),
sklera ikterik (-)/(-), mata cekung sklera ikterik (-)/(-), mata cekung
(-)/(-) (-)/(-)
- Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-) - Jantung : BJ I-II Reguler M (-) G(-)
- Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/- - Paru: Ves +/+ Rh +/+ Wh -/-
- Abdomen : luka insisi vertical (+) - Abdomen : luka insisi vertical (+)
dengan pus (+) sedikit, bising usus dengan pus (+) sedikit, bising usus
(+), nyeri tekan (-), timpani (+), (+), nyeri tekan (-), timpani (+),
drain isi pus sedikit dan cairan drain isi pus sedikit dan cairan
warna kuning warna kuning
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < - Ekstremitas : akral hangat, CRT <
2 detik 2 detik
A/ A/
Peritonitis diffuse ec perforasi Peritonitis diffuse ec perforasi
appendix + adhesi appendix + adhesi

19
P/ P/
- IVFD Ringer laktat 500 cc 20 tpm - IVFD Ringer laktat 500 cc
- IVFD Dipeptiven 100 cc dalam 4 - KSR 2 x 1 PO
jam/ hari - Injeksi Ceftriaxone 1 x 2 gr
- KSR 2 x 1 PO - Injeksi Metrionidazole 3 x 500 mg
- Injeksi Metrionidazole 3 x 500 mg - Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
- Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg - Injeksi Ketorolac 2 x 15 mg
- Injeksi Ketorolac 2 x 15 mg - Injeksi Meropenem 3 x 1 gr
- Injeksi Meropenem 3 x 1 gr - Sucralfate 3 x 1 sendok PO
- Sucralfate 3 x 1 sendok PO

Laboratorium pada tanggal 27 November 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Albumin 3,4 g/dl 3,5 – 5,2

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TUBO-OVARIAN ABSCESS

20
DEFINISI
Tubo-ovarian Abscess (TOA) adalah massa adneksa infeksius kompleks yang terjadi
sebagai sekuelae dari penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease). Abses ini
paling sering ditemukan pada wanita usia subur setelah infeksi saluran genital bagian
atas. Mayoritas pasien merupakan pasien usia reproduksi, yang aktif secara seksual.
Namun, TOA juga dapat terjadi tanpa episode PID atau aktivitas seksual sebelumnya
dan terkadang dapat berkembang sebagai komplikasi histerektomi.1

ETIOLOGI
PID dan TOA dapat disebabkan oleh berbagai organisme. Penelitian menunjukkan
bahwa dalam 30-40% kasus, PID bersifat polimikroba. PID dan TOA juga dapat terjadi
karena intra-abdominal lainnya seperti apendisitis, divertikulitis atau pielonefritis dan
dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi langsung atau hematogen.2

FAKTOR RISIKO
TOA paling sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Ada sejumlah faktor risiko
terkait untuk mengembangkan PID dan TOA berikutnya: tidak digunakannya
kontrasepsi barier, alat kontrasepsi intrauterin, episode PID sebelumnya, usia lebih dini

21
saat pertama kali berhubungan, pasangan multipel, diabetes dan keadaan
immunocompromised. Namun, TOA telah dilaporkan pada wanita yang tidak aktif
secara seksual.2
Sekitar 15–35% wanita yang dirawat karena PID terbukti akan didiagnosis
dengan TOA. Tidak jelas mengapa ada perkembangan dari PID ke TOA; penundaan
dalam pengobatan PID sangat mungkin tetapi virulensi patogen penyebab mungkin
membuat TOA lebih mungkin terjadi. Wanita berusia sekitar 45 tahun lebih cenderung
memiliki abses yang lebih besar dengan penanda peradangan yang lebih tinggi
dibandingkan wanita yang lebih muda yang secara paradoks memiliki lebih banyak
faktor risiko. Wanita dengan endometriosis yang menyertai lebih cenderung mengalami
PID dan TOA yang lebih parah. Kubota dkk. menemukan bahwa kejadian TOA adalah
2,3% pada wanita dengan PID dan endometrioma yang sudah ada dibandingkan dengan
0,2% pada wanita tanpa endometrioma. Etiologi endometriosis mungkin sebagian
karena immunocompromised; ini bisa menjelaskan hubungan antara TOA dan
endometriosis. Sebagai alternatif, kemungkinan dinding endometrioma lebih rentan
terhadap invasi bakteri daripada korteks ovarium yang sehat atau keberadaan darah
dalam endometrioma berperan sebagai media kultur yang baik untuk patogen. Ada
risiko TOA sekunder akibat pengambilan oosit pada wanita dengan endometrioma yang
menjalani fertilisasi in vitro.2

PATOFISIOLOGI
PID disebabkan oleh infeksi asendens oleh organisme saluran genital bawah dari vagina
atau serviks ke saluran atas yang lebih diatas, yaitu uterus, tuba Fallopi, dan rongga
peritoneum. Hingga 75% kasus TOA terjadi selama fase folikuler dari siklus
menstruasi. Demikian pula, lingkungan estrogen yang tinggi bersama dengan adanya
ektopi serviks yang ditemukan pada masa remaja memfasilitasi penempelan oleh
Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae, yang dapat berkontribusi pada
tingkat PID yang lebih tinggi pada wanita muda. 
TOA juga disebabkan oleh adanya infeksi yang naik ke tuba falopi yang
menyebabkan kerusakan endotel dan edema pada infundibulum sehingga
mengakibatkan penyumbatan tuba. Pada ovarium terjadi invasi organisme melalui
tempat ovulasi, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya jarak antara ovarium dan

22
tuba fallopi. Nekrosis pada massa kompleks ini dapat menyebabkan pembentukan satu
atau lebih rongga abses dan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
anaerob. 
TOA juga dapat terbentuk dari penyebaran infeksi lokal yang terkait dengan
penyakit inflamasi yang tidak terkontrol pada usus, apendisitis, ataupun operasi
adneksa. TOA, tidak seperti jenis abses lainnya, terjadi di antara organ daripada hanya
terbatas di dalam organ. Pelekatan struktur panggul yang berdekatan, seperti omentum
dan usus, mungkin berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk menahan
proses inflamasi di dalam panggul. Hal ini dapat menjadi alasan mengapa beberapa
wanita dengan TOA tidak terlalu sakit dengan peningkatan jumlah sel darah putih atau
demam.

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PID dan / atau TOA meliputi beberapa atau semua hal berikut:2  
1. Nyeri adneksa (bilateral atau unilateral), 
2. Nyeri goyang porsio
3. Pireksia 
4. Keputihan abnormal pada serviks atau vagina 
5. Peningkatan jumlah sel darah putih
6. Peningkatan laju sedimentasi eritrosit
7. Peningkatan protein C-reaktif 
8. Neisseria gonorrhoeae dan / atau Chlamydia trachomatis test positif 
9. Massa adneksa pada palpasi abdomen / pemeriksaan bimanual atau dilihat dengan
pencitraan (hanya TOA)
Indikator lain dari sepsis (takikardia, hipotensi, peningkatan laju pernapasan,
peningkatan laktat) pada kasus yang berat. Demam dan diare lebih sering terjadi pada
wanita dengan TOA dibandingkan pada wanita dengan PID (90% berbanding 60%,
masing-masing). Demirtas dkk. mempelajari 52 wanita dengan PID: pasien TOA
memiliki jumlah sel darah putih lebih dari 10,0 x 10 9 / l dan 90% memiliki jumlah sel
darah putih lebih dari 15,0 x 109 / l. Protein C-reaktif tinggi yang terkait dengan tanda
klinis adalah prediktor paling sensitif dari TOA. Chan et al. juga menunjukkan bahwa
mereka dengan TOA memiliki jumlah sel darah putih yang lebih tinggi saat masuk dan

23
tingkat sedimentasi eritrosit yang tinggi dibandingkan dengan PID tanpa TOA; ini
mungkin menimbulkan kecurigaan terhadap TOA. Tidak adanya peningkatan jumlah sel
darah putih atau pireksia tidak mengecualikan TOA. Serum laktat dan kultur darah
penting jika wanita tersebut tidak sehat secara sistemik (pireksia, takikardia,
peningkatan frekuensi pernapasan). Skrining untuk penyakit menular seksual seperti N.
gonorrhea dan C. trachomatis penting dilakukan. Defisiensi imun, misalnya HIV, juga
harus dipertimbangkan. Tes kehamilan harus dilakukan pada wanita usia subur.2
Sulit untuk mendiagnosis TOA. Diagnosis banding meliputi massa apendikuler,
endometrioma (atau kista ovarium lainnya), kehamilan ekstrauterin, divertikulitis, atau
keganasan yang mendasari. Struktur yang berdekatan seperti omentum dan usus
terkadang terjadi proses inflamasi di dalam panggul. TOA ditandai dengan temuan
klinis dan kelainan radiologis. Laparoskopi tidak perlu dilakukan pada semua wanita
yang dicurigai menderita PID. Laparoskopi mungkin tidak spesifik / tidak meyakinkan
(endometritis atau salpingitis hanya menunjukkan tanda-tanda halus pada laparoskopi).
Jika wanita tersebut stabil secara klinis, dia biasanya akan merespons antibiotik.2 

Ultrasonography (USG)
TOA dapat didiagnosis dengan USG, muncul sebagai massa padat / kistik kompleks. Ini
bisa unilateral atau bilateral. Sebuah pyosalpinx dapat dilihat sebagai massa yang
memanjang, melebar, berisi cairan dengan septa parsial dan dinding tebal. Septa yang
tidak sempurna di dalam tuba merupakan tanda sensitif peradangan tuba atau abses.
Mungkin ada tanda 'cogwheel' yang dihasilkan dari lipatan endosalpingeal yang
menebal. Tanda cogwheel ini adalah penanda sensitif TOA, Timor-Tritschet al.

24
menyatakan bahwa tanda ini merupakan patognomonik dari peradangan tuba akut.
Ovarium yang radang menunjukkan tampilan polikistik reaktif (karena edema), dan
akhirnya melekat pada tuba. Ini disebut kompleks tubo-ovarium. Kompleks ini biasanya
terletak pada kantong Douglas POD dibandingkan dengan tumor ovarium yang sering
terletak di anterior dan superior uterus. Mungkin terdapat cairan bebas kompleks di
dalam kantong Douglas, seringkali dengan penampilan ekogenik. Uterus tampak
membesar dengan batas yang tidak jelas dan endometrium.2

Pencitraan lainnya
Pencitraan lebih lanjut mungkin perlu dipertimbangkan jika USG tidak meyakinkan
atau gejala menunjukkan patologi lain seperti apendisitis. Massa adneksa kompleks
tanpa pireksia dapat menunjukkan keganasan ovarium dan harus dipertimbangkan.
Pencitraan computed tomography (CT) berguna bila ada kecurigaan adanya patologi
gastrointestinal seperti massa apendiks. Temuan umum TOA pada CT adalah massa
dengan densitas cairan berdinding tebal di adneksa, seringkali dengan septasi internal.
Mungkin ada perpindahan anterior dari mesosalpinx yang menebal. Gelembung gas
biasanya spesifik untuk abses terkait usus pada CT dan tanda ini tidak biasa dengan
TOA. Mungkin juga ada keterlibatan rektosigmoid. Ini adalah hasil dari penyebaran
peradangan posterior (dan akibatnya fibrosis) dari TOA terdekat. Lemak pararektal
mungkin terisi. Ureter adalah struktur lain yang paling sering terkena dan mungkin ada
hidroureter / hidronefrosis yang terkait. Penemuan ini memperlihatkan mengapa
pembedahan untuk TOA bisa menjadi rumit dan membawa peningkatan risiko
pembedahan. Dalam sebuah penelitian terhadap 33 wanita dengan TOA, vena ovarium
yang memasuki massa adneksa pada CT scan memiliki sensitivitas dan spesifisitas 94%
dan 100%, masing-masing dan digunakan untuk membedakan TOA dari abses
periappendikuler. CT scan dengan kontras dapat mengidentifikasi penebalan ringan
pada ligamen uterosakral dan peritoneum, serta  lemak pelvis yang samar (akibat
adanya edema). Namun, penebalan ligamen uterosakral juga tidak jarang ditemukan
pada pencitraan pada wanita dengan endometriosis tanpa TOA.2 
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki keunggulan dibandingkan CT
sebagai mode pencitraan non-iradiasi. TOA pada MRI cenderung memiliki intensitas
sinyal rendah pada pencitraan berbobot T1 dan intensitas sinyal tinggi pada pencitraan

25
berbobot T2. MRI ditemukan memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi
daripada ultrasonografi untuk diagnosis TOA: 95% dan 89 % dibandingkan dengan
81% dan 78%. Ultrasonografi harus tetap dianggap sebagai pencitraan lini pertama
untuk memandu diagnosis dan pengobatan. CT dan MRI dapat membantu memperjelas
diagnosis tetapi dapat menyebabkan penundaan pengobatan.2

26
APPENDISITIS PERFORASI

DEFINISI
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis. Peradangan pada
appendiks ini merupakan kausa tersering dari penyakit akut abdomen dan merupakan
kausa laparotomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa. Appendisitis bahkan
merupakan salah satu penyakit paling umum yang dihadapi oleh dokter bedah yang
harus ditangani dengan segera dimana terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan
pecahnya lumen appendiks. Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum.3,12

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Appendisitis disebabkan mula-mula oleh obstruksi lumen.3 Obstruksi lumen appendiks
disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa. 4
Hiperplasia limfoid submukosa ini sering terjadi pada usia 8-20 tahun.5 Hal ini
berkorelasi dengan insiden terjadinya appendisitis yang sering ditemukan pada kisaran
usia tersebut. Feses yang terperangkap dalam lumen appendiks mengalami penyerapan
air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya menjadi kausa dari obstruksi.6,7
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks akan menyebabkan peningkatan
tekanan pada bagian distal dari lumen appendiks. Hal ini disebabkan oleh sekresi mukus
dan produksi gas oleh bakteri dalam lumen appendiks tetap berlangsung sehingga
terjadilah distensi. Distensi dari appendiks akan menstimulasi ujung saraf dari serabut
saraf aferen yang berjalan bersama saraf simpatis. Stimulasi dari serabut saraf aferen ini
kemudian akan menimbulkan keluhan nyeri pada regio yang diinervasi yakni regio
iliaca dextra dan regio umbilikus dengan sifat nyeri yang tumpul dan difus.4
Tekanan intra lumen yang terus meningkat akan melampaui tekanan kapiler dan
tekanan vena pada appendiks. Oleh karena itu, aliran kapiler dan venula akan tersumbat,
namun aliran arteriol akan terus berlangsung. Hal ini menimbulkan oedema pada
dinding appendiks dan kongesti vaskular pada appendiks sehingga appendiks tampak
hiperemis. Peningkatan tekanan intra lumen ini juga mengganggu aliran limfatik,

27
khususnya aliran limfatik ke nodus lymphaticus subpyloric sehingga timbul keluhan
mual, muntah, anoreksia, dan nyeri pada daerah epigastrium.3,4
Fekalit yang terperangkap di dalam lumen appendiks lambat laun akan
menyebabkan erosi pada mukosa lumen appendiks. Hal ini akan merusak sistem
pertahanan pada dinding mukosa sehingga memungkinkan masuknya bakteri ke lapisan
submukosa.11 Proses selanjutnya ialah invasi dari bakteri Escherichia coli dan spesies
bacteroides dari lapisan submukosa, ke lapisan muskularis, hingga ke lapisan serosa
atau peritoneum. Peritoneum parietal yang dipersarafi oleh saraf somatik peka terhadap
rasa nyeri sehingga terjadilah gejala peritonitis lokal kanan bawah.3
Dengan kenaikan tekanan intra lumen yang terus berlanjut, oklusi pada
pembuluh darah dinding appendiks mulai terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya
iskemia mukosa dan gangren pada dinding appendiks. Obstruksi dan iskemia yang terus
terjadi akan menyebabkan terjadinya perforasi. Perforasi ditandai dengan kenaikan suhu
tubuh yang meningkat dan menetap tinggi.3
Waktu dari awal terjadinya obstruksi hingga pada tahap perforasi bervariasi
dengan kisaran jam hingga beberapa hari. Presentasi yang terjadi setelah terjadinya
perforasi juga bervariasi. Sekuel yang paling umum terjadi adalah pembentukkan abses
di daerah periappendikular atau pelvis.3
Usaha tubuh untuk membatasi proses infeksi dengan pembentukkan massa
appendikular dapat berjalan sempurna atau tidak sempurna. Bila pertahanan tubuh
gagal, terjadi perforasi, terbentuk abses periappendikular, dan terjadi peritonitis difus
atau peritonitis generalisata.8

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda 
1. Nyeri abdomen
Pasien dengan appendisitis akut biasanya mengeluhkan nyeri abdomen yang
bersifat samar, tumpul, dan hilang timbul pada daerah periumbilikal yang
mencerminkan nyeri akibat stimulasi jalur aferen visceral akibat distensi dari lumen
appendiks. Nyeri pada daerah periumbilikal ini disebabkan karena daerah
appendiks dan daerah umbilikal memiliki persarafan yang sama.3

28
Proses perjalanan nyeri abdomen tersebut merupakan gejala klasik
appendisitis. Namun selain gejala klasik tersebut, klinisi harus berhati-hati karena
terkadang dijumpai gejala yang berbeda dengan gejala klasik tersebut. Timbulnya
gejala lain ini bergantung pada letak appendiks ketika mengalami inflamasi. 3
Berikut gejala lain yang mungkin dijumpai:
a. Bila appendiks dalam posisi retroperitoneal, gejala rangsangan peritoneal tidak
begitu jelas dan gejala yang dijumpai adalah nyeri pinggang atau nyeri
punggung.
b. Bila appendiks dalam posisi pelvical di dekat kandung kemih, dapat dijumpai
peningkatan frekuensi berkemih dan nyeri suprapubik yang menyerupai gejala
infeksi saluran kemih.
c. Bila appendiks terletak di dekat rektum, maka akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat dan terjadi
pengosongan rektum yang lebih cepat dan berulang-ulang (diare).3

2. Mual dan Muntah


Beberapa pasien dengan appendisitis akan mengalami mual dan muntah pada fase
awal appendisitis akibat rangsangan serabut saraf aferen visceral dari aktivasi
nervus vagus dan gangguan aliran limfatik. Mual dan muntah ini timbul beberapa
jam setelah timbulnya rasa nyeri, jarang berlanjut menjadi berat dan umumnya
muntah hanya terjadi sekali atau dua kali.
3. Anoreksia
Anoreksia atau penurunan nafsu makan timbul beberapa jam setelah timbulnya rasa
nyeri. Keadaan ini hampir selalu ditemukan pada setiap pasien appendicitis.
4. Diare
Beberapa penderita appendisitis juga mengalami diare. Hal ini dapat timbul
umumnya jika letak appendiks pelvical atau dekat rektum sehingga merangsang
daerah rektum.
5. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi juga ditemui pada pasien appendisitis dengan suhu
umumnya dibawah 38,5oC. Jika ditemukan suhu yang lebih tinggi, maka diduga
telah terjadi appendisitis perforasi.4

29
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan abdomen pada pasien appendisitis menunjukkan hasil sebagai
berikut:
1. Inspeksi
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik appendisitis. Kadang
pasien tampak sangat kesakitan hingga membatasi gerak tubuh, memilih untuk
berbaring diam, dan berjalan dengan membungkuk atau memegang perut. Hal ini
merupakan gejala iritasi pada peritoneum. Pada appendisits infiltrat, dapat terlihat
penonjolan pada perut kanan bawah yang merupakan flegmon atau massa
periappendikular.4
2. Auskultasi
Bising usus umumnya normal, namun dapat hilang bila terjadi ileus paralitik karena
peritonitis generalisata akibat appendisitis perforasi.4
3. Palpasi
Pada palpasi di daerah titik Mc Burney, didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal,
yaitu:4
a. Nyeri tekan Mc Burney (+)
Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen atau titik Mc Burney ini
merupakan kunci diagnosis appendisitis. Hal ini umumnya sudah ditemukan
sejak terjadinya inflamasi mukosa atau submukosa pada stadium appendisitis
akut sederhana. Namun nyeri akan dirasakan lebih berat jika telah terjadi
peritonitis lokal.
b. Nyeri lepas tekan / Rebound Tenderness / Blumberg’s sign (+)
Nyeri lepas tekan adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya dilakukan penekanan
yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney. Hal ini merepresentasikan nyeri
dari lapisan peritoneum saat terjadi peregangan (stretching) atau pergerakan
(moving) pada lapisan peritoneum ketika tekanan dilepaskan. Nyeri lepas tekan
ini merupakan tanda dari peritonitis lokal. Tes nyeri lepas tekan ini memiliki
sensitivitas lebih tinggi dibandingkan tes lain seperti defans muskular dan
Rovsing’s sign, dengan spesifisitas yang tidak jauh berbeda

30
c. Defans muskular (+)
Defans muskular adalah keadaan perut tegang atau adanya tahanan dari otot
abdomen yang menandakan telah terjadinya rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendisitis akut supuratif, ditemukan defans muskular lokal pada
abdomen kanan bawah akibat rangsangan peritoneum parietal lokal. Sedangkan
pada appendisitis perforasi, defans muskular ditemukan pada seluruh lapang
andomen setelah terjadinya peritonitis difus.
4. Perkusi
Pada perkusi pasien dengan appendisitis, ditemukan nyeri ketuk (+) pada regio
inguinal dextra atau pada titik Mc Burney.10

Pemeriksaan Khusus Appendisitis3


1. Rovsing’s sign
Rovsing’s sign adalah nyeri yang timbul pada kuadran kanan bawah abdomen yaitu
pada area nyeri maksimal akibat penekanan atau palpasi pada kuadran kiri bawah
abdomen.

31
2. Psoas sign
Psoas sign adalah nyeri yang timbul pada kuadran kanan bawah abdomen akibat
ekstensi pada paha kanan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menimbulkan
ransangan pada muskulus psoas. Terdapat 2 cara pemeriksaan psoas sign:
a. Aktif
Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa. Pasien diminta untuk
memfleksikan articulatio coxae dextra yaitu dengan mengangkat paha kanan ke
atas. Psoas sign (+) bila terdapat nyeri pada abdomen kanan bawah.

b. Pasif
Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperekstensikan oleh pemeriksa. Psoas sign
(+) bila terasa nyeri pada abdomen kanan bawah.

3. Obturator sign
Obturator sign dilakukan dengan menimbulkan rangsangan pada muskulus obturator
internus. Obturator sign adalah nyeri yang timbul pada kuadran kanan bawah
abdomen ketika dilakukan gerakan fleksi dan rotasi internal pada articulatio coxae
dextra atau paha kanan.

32
4. Dunphy’s sign
Dunphy’s sign adalah nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen ketika pasien
diminta batuk oleh pemeriksa.

5. Pemeriksaan Rectal Toucher


Pada pemeriksaan rectal toucher, umumnya hasil pemeriksaan normal. Namun,
dapat dijumpai massa dan nyeri tekan pada jam 9 -12 jika ujung appendiks terletak
pada pelvis atau terdapat abses pada pelvis.

33
SKORING APPENDISITIS
Penegakkan diagnosis appendisitis bersifat sangat subjektif dengan menimbang
berbagai variabel yang ditemukan pada hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun
dengan adanya sistem skoring, penegakkan diagnosis dapat lebih bersifat objektif. Skor
alvarado adalah sistem skoring appendisitis yang paling umum digunakan.4

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan imaging yang dapat digunakan untuk keperluan diagnosis appendisitis
adalah foto polos abdomen, ultrasonografi (USG), computed tomography (CT) scan,
dan magnetic resonance imaging (MRI).8
Foto polos abdomen umumnya dilakukan di instalasi gawat darurat ketika
menjumpai kasus nyeri akut abdomen. Namun untuk diagnosis appendisitis, foto polos
abdomen dinyatakan tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada kurang dari 5% kasus
appendisitis, dapat ditemukan temuan yang mendukung diagnosis appendisitis, yakni
tampak fekalit pada kuadran kanan bawah.8

USG merupakan pemeriksaan yang akurat dalam menentukan diagnosis


appendisitis.4 Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut ialah dinding
appendiks setebal 2 mm atau lebih dan diameter anteroposterior appendiks sebesar 7
mm atau lebih. Diagnosis sonografi pada appendisitis dilaporkan miliki sensitivitas 55%
sampai 96% dan spesifisitas 85% sampai 98%. Kekurangan dari pemeriksaan USG
adalah bergantung pada pengguna atau operator-nya (operator-dependent).8

34
Ultrasonografi pada appendisitis akut (tanda panah), dengan kriteria diagnosis
diameter >7mm dan tebal dinding >2mm : (a) transversal, dan (b) longitudinal. 

Pada pemeriksaan USG, appendicitis perforasi dapat terlihat dengan adanya dinding
appendicitis yang tidak intak disertai adanya koleksi pus atau cairan disekitar
appendicitis.13

Ultrasonongraphy pada appendisitis perforasi

35
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Kasus Teori Pembahasan

Pasien berusia 17 TOA paling sering ditemukan TOA paling sering terjadi
tahun, pasien belum pada wanita usia subur setelah pada wanita usia reproduksi
menikah dan belum infeksi saluran genital bagian yang aktif secara seksual
pernah melakukan atas. Mayoritas pasien namun tidak menutup
hubungan seksual. merupakan pasien usia kemungkinan seperti pada
reproduksi, yang aktif secara kasus, TOA juga dapat
seksual. Namun, TOA juga terjadi pada pasien yang
dapat terjadi tanpa episode PID belum aktif secara seksual.
atau aktivitas seksual
sebelumnya dan terkadang
dapat berkembang sebagai
komplikasi histerektomi.

Appendisitis dapat ditemukan


pada semua golongan usia. Pada appendistis dapat
Diperkirakan sebanyak 6% terjadi pada semua usia,
sampai 7% dari populasi jenis kelamin, status
manusia akan mengalami pernikhan, seksual aktif.
appendisitis dalam masa hidup dapat meningkat pada usia
mereka, dengan frekuensi dekade kedua yang sesuai
memuncak pada usia dekade dengan usia pasien yang
kedua kehidupan. Insiden pada memasuki dekade kedua
pria dan wanita umumnya
sebanding

Pada pasien terdapat pada TOA dapat ditemukan pada pasien tidak dilakukan
gejala seperti nyeri gejala seperti: pemeriksaan dalam sehingga
perut bagian bawah,  Nyeri adneksa (bilateral tidak diketahui apakah

36
BAB dengan atau unilateral),  terdapat nyeri adneksa dan 
konsistensi cair, mual,  Nyeri goyang porsio nyeri goyang porsio.
demam, keringat,  Pireksia  pada pasien juga tidak
malam dan batuk yang  Keputihan abnormal terdapat keputihan.
hilang timbul. pada serviks atau vagina.
 demam dan diare Pada pasien ditemukan
beberapa gejala yang sama
Pada Appendisitis dapat dengan gejala appendisitis.
ditemukan gejala seperti: seharusnya dapat di lakukan
- Nyeri abdomen penilaian menggunakan
- Mual dan Muntah alvarado score.
- Anoreksia
- Diare
Skor alvarado adalah sistem
skoring appendisitis yang paling
umum digunakan. Sistem
skoring ini memiliki sensitivitas
yang baik.

Pada pemeriksaan Pada TOA, ditemukan beberapa pada pasien ini terdapat
laboratorium pasien hasil pemeriksaan penunjang leukositosis dan peningkatan
didapatkan hasil: yaitu: LED yang sesuai dengan
Leukosit =16.290/ml  Peningkatan jumlah sel pemeriksaan penunjang
LED = 86 mm/ jam darah putih pada TOA. namun pada
 Peningkatan laju pasien tidak dilakukan
sedimentasi eritrosit pemeriksaan Neisseria
 Peningkatan protein C- gonorrhoeae dan / atau
reaktif  Chlamydia trachomatis test
 Neisseria gonorrhoeae dan pada palpasi abdomen
dan / atau Chlamydia tidak teraba massa.
trachomatis test positif Pemeriksaan bimanual tidak
 Massa adneksa pada dilakukan.
palpasi abdomen /

37
pemeriksaan bimanual atau
dilihat dengan pencitraan
(hanya TOA)
pada pasien ini juga terdapat
Pada Appendisitis dapat leukositosis yang sesuai
ditemukan pemeriksaan dengan pemeriksaan
hematologi awal, yaitu pada penunjang pada
kondisi akut dan belum terjadi Appendisitis dan masuk ke
perforasi, terdapat leukositosis dalam kriteria alvarado
ringan (10.000 hingga score. 
18.000/mm3).
Jumlah leukosit juga dapat
rendah yang disebabkan oleh
reaksi sepsis, namun pada
keadaan ini proporsi neutrofil
umumnya sangat tinggi.

Pada pemeriksaan Pada USG TOA: Pada pasien hanya


USG ditemukan   Unilateral atau bilateral ditemukan ovarium kiri
1. Dilatasi usus  Pyosalpinx (massa yang nonvisualiasi, massa di
diseluruh memanjang, melebar, posterior uterus terlokalisir,
abdomen, berisi cairan dengan septa, kemungkinan peri
kemungkinan dan dinding tebal)  appendicitis infiltrate.
suatu ileus  'cogwheel' (lipatan Gambaran khas TOA tidak
2. Uterus normal, endosalpingeal yang ditemukan, namun masih
ovarium kanan menebal, patognomonik bisa dicurigai karena
normal, ovarium peradangan tuba akut) ovarium kiri nonvisualisasi.
kiri nonvisualisasi  Ovarium radang Maka pasien masih dicurigai
3. Massa di posterior (tampilan polikistik reaktif sebagai TOA, sehingga
uterus terlokalisir, (karena edema), dan perlu dilakukan laparatomi
kemungkinan peri akhirnya melekat pada untuk diagnosa pasti.
appendicitis infiltrat tuba) → tubo-ovarian
complex

38
 Terdapat cairan bebas di
dalam kantong Douglas
 Uterus tampak
membesar dengan batas
yang tidak jelas Dari gambaran radiologi
yang di dapat, terdapat
Penebalan dinding appendiks beberapa gambaran yang
dan adanya cairan sesuai dengan gambaran
periappendikular sangat appendisitis, yaitu terdapat
menandakan appendisitis. gambarann periappendikular
Kriteria sonografi untuk infiltrat
mendiagnosis appendisitis akut
ialah dinding appendiks setebal
2 mm atau lebih dan diameter
anteroposterior appendiks
sebesar 7 mm atau lebih.

Abses tubo-ovarium (TOA) adalah komplikasi lanjut dari pelvic inflammatory


disease (PID), biasanya dapat dideteksi dengan ultrasonografi. Pada wanita dengan
temuan USG yang masih meragukan, evaluasi lebih lanjut dilakukan dengan computed
tomography (CT). Pada kasus TOA kanan, proses ini mungkin dapat menyerupai
gambaran CT apendisitis akut (AA), terutama bila AA dipersulit oleh abses peri-
apendikuler (PAA). Temuan klinis nyeri panggul kanan, demam, dan leukositosis
adalah gambaran utama yang menunjukkan TOA, tetapi juga dapat ditemukan pada AA.
Penting untuk membedakan penyakit ini pada awal perjalanan penyakit. Diagnosis yang
salah dapat menyebabkan manajemen yang kurang tepat sebab TOA akan dievaluasi
dan dilakukan tatalaksana oleh ginekolog sedangkan pada AA atau abses
periapendikuler oleh ahli bedah umum, seringkali menggunakan protokol perawatan
yang berbeda. Oleh karena itu CT memiliki peran utama dalam menegakkan diagnosis
yang benar.14
Pada evaluasi menggunakan CT scan, tanda- tanda yang mendukung diagnosis
AA dan PAA adalah dinding caecum yang menebal dan lemak di sekitar peri-caecal.

39
Akan tetapi, apendiks yang melebar dengan dinding yang menebal, dinding caecal yang
menebal, dan lemak di peri-caecal juga ditemukan pada pasien dengan TOA. Temuan
ini lebih jarang ditemukan pada TOA dibandingkan dengan pasien AA. Penebalan
lemak peri-ovarium dan penebalan dinding rektosigmoid merupakan gambaran CT yang
mendukung diagnosis TOA, karena hal ini jarang terjadi pada kasus AA.14
Pada sebuah penelitian yang membandingkan TOA kanan dan appendisitis,
diagnosis TOA terlewat pada tujuh pasien. Diasumsikan secara keliru bahwa
ketidakmampuan untuk memvisualisasikan apendiks dengan adanya abses panggul sisi
kanan mengindikasikan PAA. Asumsi ini terbukti salah karena apendiks tidak terlihat
pada hampir setengah dari pasien TOA dibandingkan dengan hanya 20,8% pasien PAA.
Oleh karena itu, apendiks yang tidak tervisualisasikan bukan merupakan tanda yang
membantu dalam membedakan TOA dari apendisitis.14
Kesimpulannya, dengan adanya massa inflamasi kuadran kanan bawah pada
wanita, beberapa temuan CT sekunder sangat membantu dalam membedakan antara
TOA dan AA. Penebalan lemak peri-ovarium, penebalan dinding rektosigmoid, serta
sekum yang tampak normal, pada pasien muda lebih mengarah pada diagnosis TOA.
Apendiks non-visualisasi tidak berkontribusi pada diferensiasi antara TOA dan PAA.14

LAMPIRAN

40
41
DAFTAR PUSTAKA

1. Kairys N, Roepke C. Tubo-ovarian abscess. StatPearls [Internet]. 2020 Jun 27.


2. Munro K, Gharaibeh A, Nagabushanam S, Martin C. Diagnosis and
management of tubo-ovarian abscesses. Obstet Gynaecol. 2018;20(1):11–9.
3. Richmond B. Chapter 50. The appendix. In: Towsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of
Modern Surgical Practic. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1296-1311.
4. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. Chapter 30. The appendix. In:
Brunikardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et
al., editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. United States: McGraw-
Hill Education; 2015. p.1241-62.
5. Kommuru H, Rao R, Anuradha S, Jothi S. Maximum incidence of appendicitis
during pubertal and peri pubertal age group observed by histological study of
appendix. AJMMS. 2013; 3(5): 108-11.
6. Emre A, Akbulut S, Bozdag Z, Yilmaz M, Kanlioz M, Emre R, et al. Routine
histopathologic examination of appendectomy specimens: retrospective analysis
of 1255 patients. Int Surg. 2013 Oct-Dec; 98(4): 354-62.
7. Akbulut S, Tas M, Sogutcu N, Arikanoglu Z, Basbug M, Ulku A, et al. Unusual
histopathologic findings in appendectomy specimens: a retrospective analysis
and literature review. World J Gastroenterol. 2011 Apr 21; 17(15): 1961-70.
8. Dudley HAF. Acute appendicitis. In: Dudley HAF, editor. Hamilton Bailey's
Emergency Surgery. 11th ed. Bristol: John Wright & Sons, 1986. p. 336-45.
9. Ergul E. Hereditary and familial tendency of acute appendicitis. Scand J Surg.
2007; 96(4): 290-2
10. Petroianu A. Diagnosis of acute appendicitis. Int J Surg. 2012; 10(3): 115-9.
11. Panesar K. Antibiotic therapy for appendicitis in children. US Pharm. 2013;
38(12): HS14-HS20.
12. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., & Pradipta, E. A. (2014). Kapita selekta
kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 329–330.
13. Jones, J., 2020. Perforated Appendix | Radiology Reference Article |
Radiopaedia.Org. [online] Radiopaedia.org. Available at:

42
<https://radiopaedia.org/articles/perforated-appendix#:~:text=A%20perforated
%20appendix%20is%20one,progress%20to%20a%20focal%20rupture.>
[Accessed 30 November 2020].
14. Eshed I, Halshtok O, Erlich Z, Mashiach R, Hertz M, Amitai MM, Portnoy O,
Guranda L, Hiller N, Apter S. Differentiation between right tubo-ovarian
abscess and appendicitis using CT—a diagnostic challenge. Clinical radiology.
2011 Nov 1;66(11):1030-5.

43

Anda mungkin juga menyukai