Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

DEMAM THYPOID

Pembimbing:
dr. Nurifah, SpA

Penulis:
Rafid
1102016175

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO

UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 20 SEPTEMBER 2021– 30 OKTOBER 2021


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus yang berjudul
“Demam thypoid” Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada
1. dr. Nurifah, Sp.A selaku pembimbing laporan kasus
yang telah membimbing dan memberikan arahan ilmu kepada
penulis.
2. Para perawat dan pegawai SMF Ilmu Kesehatan Anak RS
Bhayangkara Tk.
I Raden Said Sukanto Jakarta yang telah banyak membantu penulis
dalam kegiatan klinik sehari-hari.
3. Teman-teman sejawat rekan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak.

Saya menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.


Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya
harapkan demi kesempurnaannya. Demikian yang dapat saya
sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
saya dan rekan-rekan mahasiswa yang sedang menempuh
pendidikan kepaniteraan klinik.

Jakarta, 9 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3


BAB I ...................................................................................................................... 4
BAB II ................................................................................................................... 20
2.Demam Thypoid
2. I.1.Definisi
2. I.2.Epidemiologi
2. 1.3Etiologi
2. I.4.Patofisiologi
2. I.5Manifestasi klinis
2.I.6.Diagnosis
2.17.Pemeriksaan penunjang
2.I.8.Komplikasi
2.I.9.Pencegahan
2.I.10Prognosis
BAB II I................................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................44
BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. NFS


No. RM : 000454653
Tanggal Lahir : 11-November-2004
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 16 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Komplek Zenu AD
Pendidikan Terakhir : SMP
Tanggal masuk : 20 September 2021 (pukul 01.15 WIB)
Tanggal periksa : 20 September 2021 (10.00 WIB) (Ruang Hardja 2a)

II. Anamnesis (autoanamnesis dan allanamnesis kepada ibu pasien)


Anamnesis dilakukan pada tanggal 20 September 2021 secara autoanamnesis
dan alloanamnesis Ibu pasien di bangsal hardja 2a, RS Umum Bhayangkara Tk.
I R. Said Sukanto.

1. Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak 15 hari SMRS.
2. Keluhan Tambahan
Mual dan muntah 3x sehari sejak 5 hari SMRS
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Umum Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto
dengan keluhan demam sejak 15 hari SMRS.Demam dirasakan naik dari
sore hari dan paling tinggi pada malam hari disertai meggigil dengan suhu
terukur 39’c kemudian pada pagi hari demam tidak dirasakan.Keluhan lain
yang dirasakan adalah mual disertai nyeri tekan pada perut dan muntah
sebanyak 3 kali sehari sejak 5 hari SMRS,keluhan batuk tanpa dahak
,pusing dan Buang air besar cair dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS
kemudian pasien dibawa berobat ke klinik dokter umum dan diberikan
paracetamol,omeprazol dan antibiotik namun keluhan tetap dirasakan dan
tidak membaik.Saat ini pasien tidak mengeluhkan demam,keluhan mual
dan muntah dirasakan makin meningkat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Demam typhoid tahun 2016
- DHF tahun 2017
- Appendisitis tahun 2018
- Dispepsia

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak mengalami keluhan serupa dan tidak ada riwayat
hipertensi, diabetes melitusa, TB, asma maupun alergi obat.
6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Berdasarkan pengakuan Ibu pasien, Ibu pasien tidak memiliki penyulit
pada masa kehamilan dan tidak mengkonsumsi obat-obatan selama
kehamilan selain vitamin. Ibu pasien juga rutin melakukan kontrol
kehamilan ke puskesmas di sekitar rumahnya.
Pasien lahir di rumah sakit dibantu oleh dokter. Persalinan secara
section caesarea pada usia kehamilan 35-36 minggu. Ketika lahir pasien
langsung menangis kuat, ketuban jernih, tidak ada sesak. Berat badan
lahirr 3.000 gram dan panjang badan lahir 48 cm. lingkar kepala dan
lingkar dada saat lahir serta skor APGAR tidak diingat.
7. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pasien tumbuh dan berkembang seperti anak seusianya. Pasien dapat
berjalan pada usia ± 1 tahun. Ibu pasien tidak mengetahui secara pasti
untuk detail perkembangan lainnya. Namun Ibu pasien mengatakan bahwa
pasien tidak mengalami keterlambatan pertumbuhan maupun
perkembangan.
8. Riwayat Pemberian Makanan
Pasien selama 1,5 tahun diberikan ASI eksklusif. Setelah usia 8 bulan,
pasien diberikan makanan pendamping ASI seperti bubur, buah-buahan,
biskuit bayi dan susu formula. Saat ini pasien makan 2 kali sehari. Saat
mulai merasa sakit, nafsu makan pasien menurun.
9. Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap
(BCG, DPT, polio, hepatitis B dan campak). Ibu pasien tidak mengingat
adanya pemberian imunisasi lainnya.
10. Riwayat Kebiasaan
Pasien tinggal di pesantren dan memiliki kebiasaan jajan makanan
sembarangan di sekitar lingkungan pesantren.Sebelum keluhan muncul 6
temannya di pesantren juga mengeluhkan keluhan yang sama dengan
pasien.
III. Pemeriksaan Fisik (20 September 2021)
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
o Frekuensi nadi : 88 x/menit, teraba kuat
o Frekuensi napas : 20 x/menit
o Suhu : 37,1° C
o Tekanan darah : 110/80 mmHg
o SpO2 : 99%
Data antropometri (kurva persentil CDC)

Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 165 cm
Umur : 16 tahun
Lingkar kepala: 58 cm
BB/U : 70/54 x 100% = 129% (overweight)
TB/U : 165/163 x 100% = 101% (Perawakan baik)
BB/TB : 70/54 x 100% = 129% (overweight)
Kesan : Overweight
BB/U :70/54 =129 %

TB/U : 165/163= 101 %

Nasyah Fitri Syahidah


Status Generalis

Kepala : Normocephali, ubun-ubun cekung (-)


Mata : Kelopak kedua mata tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva
tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, kedudukan bola
mata ditengah, esksoftalmus (-/-), pupil bulat isokor, RCL +/+,
RCTL +/+, air mata ada.
Telinga : deformitas -/-, tidak terdapat sekret
Hidung : deformitas -/-, tidak terdapat sekret
Mulut : Oral mukosa basah, bibir kering(-), coated tongue (-)
Leher : Pembesaran KGB -, trakea ditengah
Thoraks : Bentuk dan gerak dada tampak simetris saat statis dan dinamis,
tidak ada retraksi intercostal
• Jantung:
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS IV linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra
Batas pinggang jantung di ICS III linea parastenalis sinistra.
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
• Paru:
Inspeksi : pengembangan dada tampak simetris, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi :Vesikular +/+ pada kedua lapang paru ,rhonki -/-, wheezing
-/-
Abdomen:
Inspeksi : tampak datar, tidak tampak retraksi subcostal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+) hipokondrium kanan (+),
hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) 6 x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, turgor kulit baik, CRT < 2 detik
Genitalia : Tidak diperiksa

IV. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah Lengkap (20 September 2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hematologi

Hemoglobin 14,1 12-14 g/dl

Leukosit 12.610 5.000-10.000 /ul

Hematokrit 41 37-43 %

Trombosit 274000 150.000-400.000 /ul

Eritrosit 5,19 4–5 juta/ul

Hitung Jenis Leukosit

Basofil 0 0–1 %

Eusinofil 2 1–3 %

Batang 0 2–6 %

Segmen 65 50 – 70 %

Limfosit 28 20 – 40 %

Monosit 5 2–8 %

Neutrofil Limfosit 2,26


Absolut
Neutrofil Absolut 8090 2.500 – 7.000 /ul

Limfosit Absolut 3580 1.000 – 4.000 /ul


2. Pemeriksaan Kimia Klinik (20 September 2021)

Gula darah sewaktu

Gula darah 79 < 200 mg /dl


sewaktu

Elektrolit

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Natrium 139 135-145 Mmol/l

Kalium 4.8 3.5 – 5.0 Mmol/l

Chlorida 103 98-108 Mmol/l

Widal

Thypi O Negatif Negatif

Parathypi AO Negatif Negatif

Parathypi BO Negatif Negatif

Parathypi CO + 1/320 Negatif

Thypi H Negatif Negatif

Parathypi AH Negatif Negatif

Parathypi BH Negatif Negatif


Parathypi CH Negatif Negatif

3. Urine Lengkap (20 September 2021)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Tes kehamilan (-)

Urin Lengkap

Warna Kuning -

Kejernihan Agak keruh -

pH 6,5 5 - 8,5 -

Berat Jenis 1.022 1.000 – 1.000 -

Protein - Negatif -

Bilirubin - Negatif -

Glukosa - Negatif -

Keton - Negatif -

Darah/Hb - Negatif -

Nitrit - Negatif -

Urobilinogen 0,1 0,1 – 1,0 IU -

Leukosit - Negatif -

*Leukosit 3–4 0–5 /LPB

*Eritrosit 0–1 1–3 /LPB

*Sel Epitel 1+ - -
*Silinder - - /LPK

*Kristal - - -

Lain-lain: Bakteri 1+ - -
4. Polos Thorax (20 September 2021)

Hasil pemeriksaan radiografi thorax adalah sebagai berikut:


 Ukuran jantung tidak membesar
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
 Trakea di tengah
 Hillus tidak menebal
 Corakan bronkovaskular kedua lapang paru baik
 Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua lapangan paru
 Skeletal dan soft tissue dalam batas normal

Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal


V. Resume
An. NFS, Perempuan 16 tahun (BB 70 kg dan TB 165 cm) datang ke IGD
RS Umum Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto dengan keluhan demam
intermitten 15 hari SMRS disertai meggigil dengan suhu terukur 39’c .Keluhan
lain yang dirasakan adalah mual disertai nyeri tekan pada perut dan muntah
sebanyak 3 kali sehari sejak 5 hari SMRS,keluhan batuk tanpa dahak ,pusing
dan Buang air besar cair dirasakan pasien sejak 2 hari SMRS .
Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu
37,1 ° C. Status generalis dalam batas normal namun terdapat nyeri tekan pada
perut region epigastrium dan hipokondrium kanan.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit meningkat dan uji widal
+1/320.
VI. Diagnosis Kerja

Diagnosis Utama Diagnosis Diagnosis


Banding Tambahan

DPJP - Susp Demam Thypoid - ISPA

Dokter muda - Susp Demam - -


Thypoid

VII. Anjuran Pemeriksaan


Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan USG Abdomen
VIII. Tatalaksana
1. Non-medikamentosa
a. Menjaga asupan gizi yang baik
b. Makan makanan yang higienis
2. Medikamentosa

Tatalaksana DPJP: Tatalaksana Dokter Muda:

IVFD RL 20 tpm IVFD RL 32 tpm


Ceftriaxon 1 x 2 gr IV Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
Rantin 2 x 50 mg IV Rantin 2 x 50 mg IV
Domperidone 3x1 Tab Ondansentron 3x 4mg IV
Nac 3x1 Tab Paracetamol 3 x 500 mg (bila demam)

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

X. Follow Up Harian

Tanggal Follow Up
21/9/21 S • Demam (-)
(HR2) • Mual dan muntah (+)
• Batuk (+)
• BAB cair dan BAK normal
O KU: tampak sakit sedang Kesadaran: Compos mentis
TTV
• TD: 110/80 mmHg
• Nadi: 80 x/menit
• RR: 20 x/menit
• Suhu: 36,60 C
• SpO2: 98%

Status Generalis
Kepala: Normocephal
Mata: Konjungtiva Pucat -/-, Sklera Ikterik -/-
Mulut: Mukosa oral basah,coated tongue (-)
Leher: Pembesaran KGB (-)
Pulmo: Vesicular +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
Cor: S1/S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: datar, supel BU (+) 4 kali/menit, timpani (+), nyeri tekan (+) pada
regio epigastric dan hipokondrium kanan
Eks: akral hangat, CRT <2’’
A - Demam thypoid
- ISPA
P IVFD RL 32 tpm
Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (hari ke 2)
Rantin 2 x 50 mg IV
Ondansentron 3x 4mg IV
Paracetamol 3 x 500 mg

22/9/21 S • Demam (-)


(HR3) • Mual dan muntah 3 kali sehari (+)
• Batuk (+)
• BAB (-) dan BAK normal
O KU: tampak sakit sedang Kesadaran: Compos mentis
TTV
• TD: 110/80
• Nadi: 86 x/menit
• RR: 22 x/menit
• Suhu: 36,80C
• SpO2: 98%
Status Generalis
Kepala: Normocephal
Mata: Konjungtiva Pucat -/-, Sklera Ikterik -/-
Mulut: Mukosa oral basah
Leher: Pembesaran KGB (-)
Pulmo: Vesicular +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
Cor: S1/S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: BU (+) 4 kali/menit, timpani (+), nyeri tekan (+) pada regio
epigastric
Eks: akral hangat, CRT <2’’
A - Demam thypoid
- ISPA
P IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (Hari ke 3)
Rantin 2 x 50 mg IV
Domperidone 3x1 Tab
Nac 3x1 Tab
23/9/21 S • Demam (-)
(HR 4) • Mual dan muntah 1 kali sehari (+)
• Batuk (+)
• BAB cair sekali dan BAK normal
O KU: tampak sakit sedang Kesadaran: Compos mentis
TTV
• TD: 110/70
• Nadi: 87 x/menit
• RR: 20 x/menit
• Suhu: 36,90C
Status Generalis
Kepala: Normocephal
Mata: Konjungtiva Pucat -/-, Sklera Ikterik -/-
Mulut: Mukosa oral basah
Leher: Pembesaran KGB (-)
Pulmo: Vesicular +/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
Cor: S1/S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: BU (+) 4 kali/menit, timpani (+), nyeri tekan (+)
Eks: akral hangat, CRT <2’’
A - Demam thypoid
- ISPA
P IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (Hari ke 4)
Rantin 2 x 50 mg IV
Domperidone 3x1 Tab
Nac 3x1 Tab
24/9/21 S • Demam (-)
(HR 5) • Mual dan muntah 1 kali sehari (+)
• Batuk (+)
• BAB (-) dan BAK normal
O KU: tampak sakit sedang Kesadaran: Compos mentis
TTV
• TD: 110/70
• Nadi: 84 x/menit
• RR: 23 x/menit
• Suhu: 36,50C
Status Generalis
Kepala: Normocephal
Mata: Konjungtiva Pucat -/-, Sklera Ikterik -/-
Mulut: Mukosa oral basah
Leher: Pembesaran KGB (-)
Pulmo: Pergerakan dada simetris, Vesicular +↓/+, wheezing -/-, rhonchi -/-
Cor: S1/S2 regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: BU (+) 4 kali/menit, timpani (+), nyeri tekan (+) at regio epigastric
Eks: akral hangat, CRT <2’’, edema (-)
A - Demam thypoid
- ISPA
P IVFD RL 20 tpm
Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (Hari ke 5)
Rantin 2 x 50 mg IV
Domperidone 3x1 Tab
Nac 3x1 Tab
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe
usus dan Peyer’s patch.

Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau thypus, tetapi
dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis karena
berhubungan dengan usus di dalam perut. Penyakit tifoid perut (Thypus abdomalis)
merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh
bakteri Salmonella typhi, (food and water disease). Seseorang yang sering menderita
penyakit tifoid menandakan bahwa ia sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri ini. Jika tidak diobati dengan tepat, demam tifoid dapat bersifat
fatal (menimbulkan kematian) (Munaf, 2009).

II.2 Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai


negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat
sukar ditentukan, sebab penyakit ini terkenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya
sangat luas. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara
3-19 tahun mencapai 91% kasus karena pada usia tersebut orang- orang cenderung
memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga kurang memperhatikan pola makannya,
akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar rumah, yang sebagian besar
kurang memperhatikan higienitas. Insidensi demam tifoid khususnya banyak terjadi pada
anak usia sekolah. Frekuensi sering jajan sembarangan yang tingkat kebersihannya masih
kurang, merupakan faktor penularan penyakit demam tifoid. Bakteri Salmonella thypi
banyak berkembang biak dalam makanan yang kurang dijaga higienitasnya.

Kasus demam tifoid di Indonesia tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan
insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kejadian demam tifoid antara lain jenis kelamin, usia, status
gizi, kebiasaan jajan, kebiasaan cuci tangan, pendidikan orang tua, tingkat penghasilan
orang tua, pekerjaan orang tua, dan sumber air. (Soedomo dkk. 2010; Anonim. 2009; Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008).

II.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi
dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.

Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi.

Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan
Salmonella bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam
enam subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur
lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp.
Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.

Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, Flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
dan dinamakan endotoksin.

Gambar 1.1. Mikroskopik Salmonella Typhi


Faktor lain yang mempengaruhi kejadian demam tifoid yaitu status gizi. Status gizi
yang kurang dapat menurunkan daya tahan tubuh anak, sehingga anak mudah terserang
penyakit, bahkan status gizi buruk dapat menyebabkan angka mortilitas demam tifoid
semakin tinggi. Penurunan status gizi pada penderita demam tifoid akibat kurangnya nafsu
makan (anoreksia), menurunnya absorbsi zat-zat gizi karena terjadi luka pada saluran
pencernaan dan kebiasaan penderita mengurangi makan pada saat sakit. Peningkatan
kekurangan cairan atau zat gizi pada penderita demam tifoid akibat adanya diare, mual atau
muntah dan perdarahan terus menerus yang diakibatkan kurangnya trombosit dalam darah
sehingga pembekuan luka menjadi menurun.

II.4 Patofisiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti


organisme, yaitu :

1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch


2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dimakrofag Peyer’s patch,
nodus limfatikus mesentrikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah
4. Produksi enteretoksin yang meningkatkan kadar cAMP didalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam tubuh


melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri
yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri
melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding
usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s
patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe
usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES diorgan hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesentrika, hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya


ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella
typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat
yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu
dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara
langsung dari darah atau penyebaran retrogard dari empedu. Ekskresi organisme di empedu
dapat mengivasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

II.5 Manifestasi Klinis

Pada anak periode inkubasi demam tifoid rata-rata antara 10-14 hari. Semua pasien
demam tifoid selalu menderita demam diawal penyakit. Banyak orang tua pasien demam
tifoid melaporkan bahwa demam tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi
harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala
sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan
kesadaran mulai apatis sampai koma. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah . Disamping
– gejala – gejala yang biasa ditemukan , mungkin juga dapat ditemukan gejala lain seperti
rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1,5 mm,
terbentuk karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu
pertama demam dan dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas, dan punggung
pada orang kulit putih. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 10C yang tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8 kali permenit. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksi, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan
dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai
akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam
tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian
disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah
sedang tepi dan ujungnya kemerahan dan dijumpai juga hepatomegali.

1. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan
samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi lebih rendah atau normal, sore
dan malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin
tinggi yang disertai dengan banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing), nyeri
otot, pegal-pegal, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin
tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada
minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke
3. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau
komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat
menimbulkan kejang (Menkes, 2006).

2. Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering
dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selapu putih. Ujung
dan tepi lidah kemerahan dan tremor, dan penderita anak jarang ditemukan. Pada
umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama region epigastrik (nyeri ulu
hati), disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan
konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang- kadang timbul diare (Menkes, 2006).

3. Gangguan Kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan


kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis dengan kesadaran separti berkabut
(tifoid). Bila klinis berat bias sampai koma (Menkes, 2006).
4. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan
(Menkes, 2006).

5. Bradikardia Relatif

Bradikari relatif sering tidak ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang
sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan
suhu 1°C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 malam (Menkes,
2006).

a. Akut non-komplikasi
Demam tifoid akut ditandai dengan demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus (sembelit pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise
dan anoreksia. Batuk bronkitis adalah gejala umum dalam tahap awal penyakit.
Selama periode demam, hingga 25% dari pasien menunjukkan exanthem
(mawar bintik-bintik), di dada, perut dan punggung.

b. Dengan Komplikasi
Demam tifoid akut bisa berat. Tergantung pada pengaturan klinis dan kualitas
perawatan medis yang tersedia, hingga 10% dari pasien tifoid dapat
berkembang ke komplikasi yang serius. Karena jaringan limfoid usus terkait
menunjukkan kelainan yg menonjol, pada 10-20% pasien ditemukan adanya
darah mikroskopis pada tinja dan hingga 3% pasien mungkin memiliki melena.
Perforasi usus juga telah dilaporkan hingga 3% dari kasus dirawat di rumah
sakit. Rasa tidak nyaman pada perut akan berkembang dan meningkat. Hal ini
sering terbatas pada kuadran kanan bawah tetapi bisa juga menyebar. Gejala
dan tanda-tanda perforasi usus dan peritonitis kadang-kadang mengikuti,
disertai dengan kenaikan tiba-tiba denyut nadi, hipotensi, ditandai dengan nyeri
perut, nyeri lepas, dan selanjutnya kekakuan perut. Peningkatan jumlah sel
darah putih dengan pergeseran kiri dan udara bebas pada radiografi abdomen
biasanya terlihat.
II.6 Diagnosis

II.6.1 Anamnesis

a) Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
b) Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
c) Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
icterus.

II.6.2 Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian
tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering
dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis pasti demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari


darah, sumsum tulang atau lesi anatomis tertentu. Adanya gejala klinis demam tifoid
atau deteksi respon antibodi spesifik sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur
darah adalah gold standart diagnosis penyakit ini.

Darah tepi perifer:

a) Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang,


defisiensi Fe, atau perdarahan usus
b) Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul
c) Limfositosis relative
d) Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

e) LED (LajuEndapDarah): Meningkat.


Pemeriksaan serologi:

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen
S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan
untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis
spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu
pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam


serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)


2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi


O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen
Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya
dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan


memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang


berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.

Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu


1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu
atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>
nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon
antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan
bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan


tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX®
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil :

 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi


demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

 Immunodominan yang kuat


 Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi
dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat
terhadap sel B.
 Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
 Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
 Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

 Mendeteksi infeksi akut Salmonella


 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada
fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari
metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam


tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar
93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif
sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002)
pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%,
spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis


non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan


spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen
dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa
dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,
73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel
urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada
pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk
(2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-
masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium
yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini


sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5%
bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9%
dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk
(2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.

Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)

Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk
Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebaliknya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/
Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke
dalam media Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di
dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan
terapi antibiotika dan sudah mendapat vaksinasi.

Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu
untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari,bila belum ada pertumbuhan
koloni ditunggu sampai 7hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit
adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

Pemeriksaan radiologik:

a) Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia


b) Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi
usus
atau perdarahan saluran cerna.

Pada perforasi usus tampak:

a) distribusi udara tak merata


b) airfluid level
c) bayangan radiolusen di daerah hepar
d) udara bebas pada abdomen

II.6.4 Diagnosis Banding

a) Infeksi kerana virus (Dengue, influenza)


b) Malaria
c) Bronkopneumonia

II.7 Komplikasi

Komplikasi Intestinal

Perdarahan Intestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat membentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdaraha. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain faktor luka, perdarahan juga
dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.
Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Bila transfusi yang
diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.

Perforasi Usus

Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Selain gejala umum demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama didaerah kuadran kanan bawah yang
kemudia menyebar ke seluruh perut disertai tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada
50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas
diabdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan
bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya
perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada
rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Komplikasi Ekstra-Intestinal

Komplikasi Hematologik

Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan


prothombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada
kebanyakan demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi
karena menurunnya produksi trombosit disumsum tulang selama proses infeksi atau
meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga
memegang peran.

Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid.
Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum
bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat
terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.

Pankreatitis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjai pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi/CT-scan dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis

Pasien miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan dada,
gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan ini disebabkan oleh
kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi.

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma
atau koma, skizofrenia, meningitis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom
klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis
lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis
seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik. Diduga faktor-faktor sosial
ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang renda, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,
kebudayaan, dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang mempermudah terjadinya hal
tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.

II.8 Tatalaksana

Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik


serta asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid
selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam
tifoid,yaitu:

1. Istirahat dan Perawatan


Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien
demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus
diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus
diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah
mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara
lain:

a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein


b. Tidak mengandung banyak serat.
c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa
sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran
cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-
syarat diet sisa rendah adalah:

a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas


b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total
c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total
e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan
serat maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi
perorangan
f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai
dengan toleransi perorangan.
g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu
asam dan berbumbu tajam.
h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak
terlalu panas dan dingin
i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil
j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus,
diet perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula,
atau makanan parenteral.

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan unutk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,
elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan
dengan seksama. Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala
simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan
meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng
anglistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat
memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
Antibiotik

Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari.

Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi
dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-
5hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari oral atau intravena, sampai
7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat
pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya
angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas
terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara
berkembang merupakan perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati
dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.

Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari

Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.


Ampicilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang
utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan
kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR
S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol, ampicilin, Trimetoprim-
Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah
dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh
pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generasi III
hingga hasil kultur dan tersensitive aster sedia.

Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5


hari.
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid,
dengan pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang
diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon
selama 5-7hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini
sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 10-
14hari.

Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari

Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan


cotrimoxazole. Namun untuk anak-anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan
cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis
selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol

2. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

II.9 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan


kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, ,biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
tinggi.

II.10 Pencegahan

Pencegahan Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan


penerapan pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat
mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higienitas pribadi dan
lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau
menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah
dimasak matang , untuk memperkecil kemungkinan tercemar s.thypi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Menyimpan
makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat
makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar
mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan. Salmonella
tyhphi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57C untuk beberapa menit atau
dengan proses iodinasi/ 16 klorinasi. Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C
beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi .
penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap
hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.

Vaksin demam tifoid Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit
demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi
dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara
peberian subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas,
disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin
Ty21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian dilapangan didapat
hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin
yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular
memberikan perlindungan 60-70% selama tiga tahun
BAB III
ANALISIS KASUS

Kasus Teori

Definisi • Pasien mengeluh Demam tifoid adalah suatu penyakit


demam yang terus infeksi sistemik bersifat akut yang
naik sejak 14 hari disebabkan oleh Salmonella typhi
SMRS terutama pada Demam yang naik secara

malam hari bertahap tiap hari, mencapai suhu


tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam
terus menerus tinggi (Step
ladder),terutama sore hingga
malam hari

Faktor risiko • Pasien mempunyai • Frekuensi sering jajan


riwayat makan jajan sembarangan yang tingkat
sembarangan di kebersihannya masih
lingkungan pesantren. kurang, merupakan faktor
penularan penyakit demam
tifoid. Bakteri Salmonella
thypi banyak berkembang
biak dalam makanan yang
kurang dijaga higienitasnya
Manifestasi • Pasien mengeluhkan
• Demam intermitten 10-14
Klinis demam selama 14 hari
hari
yang naik terus
menerus terutama • Gangguan saluran pencernan
pada malam • Gangguan kesadaran
hari,kemudian pasien
• Rose spot pada dada
mengeluhkan gejala
mual dan muntah serta
konstipasi.

Pemeriksaan Pada pasien ini dilakukan • Darah tepi perifer


Penunjang pemeriksaan: • Uji Widal
• Tes TUBEX
• Uji widal
• Metode enzyme
• Hematologi Lengkap immunoassay (EIA) DOT
• Urinalisa • Metode enzyme-linked
• Rontgen Thorax immunosorbent assay
• Rencana pemeriksaan (ELISA)

USG abdomen • Pemeriksaan dipstik


• Kultur (Gall culture/
Biakan empedu)
• Rontgen Thorax dan
abdomen

Tatalaksana • IVFD RL 20 tpm Tirah baring


• Ceftriaxon 1 x 2 gr IV Makanan yang cukup cairan, kalori,
• Rantin 2 x 50 mg IV vitamin & protein
• Domperidone 3x1Tab Tidak mengandung banyak serat.
• Nac 3x1 Tab Tidak merangsang dan tidak
menimbulkan banyak gas.
Makanan lunak diberikan selama
istirahat.
Antibiotik
Kloramfenikol (drug of choice) 50-
100 mg/kgbb/hari, oral atau IV,
dibagi dalam 4 dosis selama 10-14
hari.

Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral,


selama 10 hari

Seftriakson 80 mg/kgbb/hari,
intravena atau intramuskular, sekali
sehari, selama 5 hari.

Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral


atau intravena, selama 10 hari

Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada
penyulit perforasi usus
DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2008). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2009). Pedoman Pelayanan Medis IDAI

Munaf, S., 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Edisi II, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta

Nelwan, RHH. 2012. “Tata Laksana Terkini Demam Tifoid”. CDK-192/ vol. 39 no. 4, th.
2012. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-
Jakarta

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.


Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga

Anda mungkin juga menyukai