GANGGUAN MAKAN
Disusun oleh:
Pricyllia Widad Prama Putri (1102016166)
Pembimbing:
dr. H. Nasruddin Noor, Sp.KJ
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dan referat yang
berjudul “Gangguan Makan”. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.
Penyusunan referat ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Nasruddin
Noor, Sp.KJ atas bimbingnnya selama penulis menyelesaikan referat ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat atas dukungan yang telah
diberikan.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan materi penulisan dan menambah wawasan penulis.
Semoga tinjauan pustaka ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya
pembaca dan rekan-rekan sejawat.
2
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………......1
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................….3
2.1.1 Definisi........................................................................................................6
2.1.2 Epidemiologi……………………………………………………………...6
2.1.3 Etiologi……………………………………………………………………6
2.1.5 Diagnosis………………………………………………………………….9
2.1.7 Terapi........................................................................................................11
2.1.8 Prognosis..................................................................................................13
2.2.1 Definisi…………………………………………………………………..14
2.2.2 Epidemiologi…………………………………………………………….14
2.2.3 Etiologi………………………………………………………………….14
2.2.5 Diagnosis………………………………………………………………..16
3
2.2.6 Diagnosa Banding……………………………………………………….17
2.2.7 Terapi.......................................................................................................18
2.2.8 Prognosis..................................................................................................19
2.2.1 Definisi…………………………………………………………………..19
2.2.2 Epidemiologi…………………………………………………………….20
2.2.3 Etiologi…………………………………………………………………..20
2.2.5 Diagnosis………………………………………………………………...21
2.2.7 Terapi........................................................................................................22
2.2.8 Prognosis..................................................................................................23
4
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan makan melibatkan perilaku makan yang tidak normal dan sering
kali mencakup pikiran yang tidak teratur terhadap makanan dan citra tubuh yang
terdistorsi. Gangguan makan sering kali dirahasiakan oleh pasien dan mungkin
terkait dengan gangguan kejiwaan lainnya, seperti depresi, sehingga penyakit ini
sulit didiagnosis dan diobati. Tanda dan gejala gangguan makan umumnya tidak
berkembang dengan cepat, tetapi muncul dengan sendirinya seiring waktu,
seringkali mengakibatkan konsekuensi kesehatan jangka panjang, termasuk
kematian. Perawatan farmakologis dan nonfarmakologis, termasuk psikoterapi,
harus dipertimbangkan secara individual.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anoreksia Nervosa
2.1.1. Definisi
Istilah anoreksia nervosa berasal dari istilah Yunani untuk "kehilangan nafsu
makan" dan kata Latin yang artinya gugup. Anorexia nervosa sering, tetapi tidak
selalu, dikaitkan dengan gangguan citra tubuh, persepsi bahwa seseorang sangat
besar meskipun jelas kelaparan secara medis. Ada dua subtipe anoreksia nervosa:
restricting and binge/purge (Kaplan et al, 2015).
2.1.2. Epidemiologi
Anorexia nervosa ditemukan di semua negara maju dan di semua kelas sosial
ekonomi, terjadi di seluruh dunia pada tingkat yang sama (0,3-1% pada wanita,
0,1-0,3% pada pria). Itu juga ditemukan di negara berkembang. Usia onset yang
paling umum adalah antara 14 dan 18 tahun. Anorexia nervosa diperkirakan
terjadi pada sekitar 0,5 hingga 1 persen remaja putri. Ini terjadi 10 hingga 20 kali
lebih sering pada wanita daripada pada pria.
2.1.3. Etiologi
6
ditunjukkan oleh penurunan kadar 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG) dalam
urin dan cairan serebrospinal (CSF) pada beberapa pasien anoreksia nervosa.
a. Faktor Biologis
Opioid endogen dapat berkontribusi pada penolakan rasa lapar pada pasien
anoreksia nervosa. Studi terdahulu menunjukkan pertambahan berat badan
yang dramatis pada beberapa pasien yang diberi antagonis opiat.
Kelaparan menghasilkan banyak perubahan biokimia, beberapa di
antaranya juga muncul dalam depresi, seperti hiperkortisolemia dan
nonsupresi oleh deksametason. Fungsi tiroid juga ditekan. Kelainan ini
dikoreksi dengan realimentasi. Kelaparan dapat menghasilkan amenore,
yang mencerminkan penurunan kadar hormon (LH, FSH, GnRH).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bukti adanya disfungsi pada
serotonin, dopamin, dan norepinefrin, tiga neurotransmiter yang terlibat
dalam pengaturan perilaku makan di nukleus paraventrikel hipotalamus.
Faktor humoral lain yang mungkin terlibat termasuk faktor pelepas
kortikotropin (CRF), neuropeptida Y, GnRH, dan TSH. Tabel di bawah
mencantumkan perubahan neuroendokrin yang terkait dengan anoreksia
7
nervosa.
b. Faktor Sosial
Pasien dengan anoreksia nervosa menemukan dukungan untuk praktik
mereka di masyarakat yang menekankan pada kekurusan dan olahraga.
Kepentingan kejuruan dan non-kejuruan berinteraksi dengan faktor
kerentanan lain untuk meningkatkan kemungkinan mengembangkan
gangguan makan. Pada wanita muda, partisipasi di sekolah balet yang
ketat meningkatkan kemungkinan mengembangkan anoreksia nervosa
setidaknya tujuh kali lipat. Pada anak laki-laki sekolah menengah, gulat
dikaitkan dengan prevalensi sindrom gangguan makan penuh atau parsial
selama musim gulat sekitar 17 persen, dengan minoritas mengembangkan
gangguan makan dan tidak membaik secara spontan di akhir pelatihan.
8
c. Faktor Psikologis
Anorexia nervosa tampaknya merupakan reaksi terhadap tuntutan agar
remaja berperilaku lebih mandiri dan meningkatkan fungsi sosial dan
seksualnya (Kaplan et al, 2015).
d. Penyakit Terkait
Gangguan yang terkait dengan anoreksia nervosa termasuk hiperplasia
adrenal kongenital dan lupus eritematosus sistemik (Bernstein, 2020).
9
perilakunya, mereka sering menyangkal atau sama sekali menolak untuk
membahasnya.
2.1.5. Diagnosis
Kriteria diagnostik oleh DSM V yaitu:
a. Pembatasan asupan energi terhadap kebutuhan, menyebabkan bobot tubuh
yang sangat rendah dalam konteks usia, jenis kelamin, lintasan
perkembangan, dan kesehatan fisik. Berat badan yang sangat rendah
didefinisikan sebagai berat badan yang kurang dari normal minimal atau,
untuk anak-anak dan remaja, kurang dari yang diharapkan seminimal
mungkin.
b. Ketakutan yang intens untuk menambah berat badan atau menjadi gemuk,
atau perilaku terus-menerus yang mengganggu penambahan berat badan,
meskipun berat badannya sangat rendah.
c. Gangguan dalam cara memandang berat atau bentuk badannya atas dasar
pemeriksaan sendiri, atau menyangkal keseriusan berat badannya yang
rendah.
d. sendiri, berat badan atau bentuk badan yang tidak pantas ata
10
(F50.01) Restricting type: Selama 3 bulan terakhir, individu tidak terlibat dalam
episode berulang dari binge eating atau perilaku purging (misalnya, muntah yang
disengaja atau penyalahgunaan obat pencahar, diuretik, atau enema). Subtipe ini
menjelaskan presentasi di mana penurunan berat badan dicapai terutama melalui
diet, puasa, dan / atau olahraga berlebihan.
Untuk orang dewasa, tingkat keparahan minimum didasarkan pada indeks massa
tubuh (BMI) saat ini. Tingkat keparahan dapat mencerminkan gejala klinis,
derajat kecacatan fungsional, dan kebutuhan akan pengawasan.
Mild: BMI>17kg/m2
Moderate: BM116-16.99 kg/m2
Severe: BM115-15.99 kg/m2
Extreme: BMI < 15 kg/m2
Pemeriksaan Penunjang
11
Diagnosis banding anoreksia nervosa dipersulit oleh penolakan pasien
terhadap gejala, kerahasiaan seputar ritual makan yang aneh, dan penolakan
mereka untuk mencari pengobatan. Dokter harus memastikan bahwa pasien tidak
memiliki penyakit yang dapat menyebabkan penurunan berat badan (misalnya,
otak tumor atau kanker). Penurunan berat badan, perilaku makan yang khas, dan
muntah bisa terjadi pada beberapa gangguan jiwa. Gangguan depresi dan
anoreksia nervosa memiliki beberapa ciri yang sama, seperti perasaan tertekan,
mantra menangis, gangguan tidur, renungan obsesif, dan pikiran untuk bunuh diri
sesekali. Anoreksia nervosa harus dibedakan dari bulimia nervosa, kelainan di
mana binge eating episodik, terjadi oleh mood depresif, pikiran mencela diri
sendiri, dan muntah yang disengja terjadi saat pasien mempertahankan berat
badannya dalam kisaran normal. Penderita bulimia nervosa jarang kehilangan 15
persen dari berat badan mereka, tetapi kedua kondisi tersebut sering terjadi
bersamaan (Kaplan et al, 2015).
2.1.7. Terapi
12
2) Psikoterapi
Sebagian besar pasien dengan anoreksia nervosa memerlukan intervensi yang
terus menerus setelah dipulangkan dari rumah sakit. Psikoterapi berorientasi
tilikan adalah membantu pada beberapa pasien anoreksia nervosa jika mereka
telah distabilkan.
Terapi perilaku kognitif. Prinsip terapi perilaku dan kognitif dapat diterapkan
di lingkungan rawat inap maupun rawat jalan. Terapi perilaku ternyata efektif
untuk mencetuskan peningkatan berat badan. Pemantauan adalah komponen
penting pada terapi perilaku kognitif. Pasien diajarkan untuk mengawasi
asupan makanan, emosi, dan perasaan, perilaku makan berlebihan dan
mengeluarkan kembali, serta masalah mereka di dalam hubungan interpersonal.
Psikoterapi Dinamik. Psikoterapi suportif-ekspresif dinamik kadang-kadang
digunakan untuk pengkobatan pasien anoreksia nervosa. Tetapi penolakan
pasien menyebabkan proses ini sulit dilakukan dan seksama. Ahli terapi harus
menghindari penanaman yang berlebihan dalam usaha mengganti perilaku
makan pasien.
Terapi Keluarga. Analisis keluarga harus dilakukan pada semua pasien
anoreksia nervosa yang tinggal dengan keluarganya. berdasarkan analisis ini,
penilaian klinis dapat dibuat untuk menentukan jenis terapi keluarga atau
konseling yang disarankan.
3) Farmakoterapi
Penilitian farmakologis belum mengidentifikasi adanya medikasi yang
menyebabkan perbaikan definitif pada gejala inti anoreksia nervosa. Beberapa
laporan mendukung penggunaan Cyproheptadine (Periactin), suatu obat dengan
sifat antihistaminik dan antiserotonergik, pada pasien dengan tipe anoreksia
nervosa yang membatasi. Obat lain Amitriptyline (Elavil) telah dilaporkan
memberikan manfaat pada pasien dengan anoreksia nervosa. Medikasi lain yang
telah dicoba pada pasien anoreksia nervosa termasuk Clomipramine (Anafranil),
Pimozide (Orap), dan Chlorpromazine (Thorazine) belum menunjukkan respon
13
yang positif. Percobaan Fluoxetine (Prozac) dalam beberapa laporan
menghasilkan kenaikan berat badan (Kaplan et al, 2015).
2.1.8. Prognosis
2.2.2. Epidemiologi
14
sering terjadi pada wanita muda dengan berat badan normal, mereka terkadang
memiliki riwayat obesitas (Kaplan et al, 2015).
2.2.3. Etiologi
a. Faktor Biologis
Beberapa peneliti telah mencoba mengaitkan siklus binge dan purging
dengan berbagai neurotransmiter. Karena antidepresan sering bermanfaat
bagi pasien bulimia nervosa dan karena serotonin dikaitkan dengan rasa
kenyang, serotonin dan norepinefrin telah terlibat. Karena kadar endorfin
plasma meningkat pada beberapa pasien bulimia nervosa yang muntah,
perasaan nyaman setelah muntah yang dialami sebagian pasien ini
mungkin dimediasi oleh peningkatan kadar endorfin.
b. Faktor Sosial
Pasien dengan bulimia nervosa, seperti penderita anoreksia nervosa,
cenderung berkeinginan tinggi dan menanggapi tekanan masyarakat
menjadi langsing. Seperti pada pasien anoreksia nervosa, banyak pasien
bulimia nervosa mengalami depresi dan mengalami peningkatan depresi
dalam keluarga, tetapi keluarga pasien bulimia nervosa umumnya kurang
dekat dan lebih konfliktual dibandingkan keluarga penderita anoreksia
nervosa.
c. Faktor Psikologis
Pasien dengan bulimia nervosa, seperti penderita anoreksia nervosa,
mengalami kesulitan dengan tuntutan remaja, tetapi pasien bulimia
nervosa lebih supel, marah, dan impulsif dibandingkan dengan anoreksia
nervosa. Ketergantungan alkohol, mencuri, dan kemampuan emosional
(termasuk upaya bunuh diri) berhubungan dengan bulimia nervosa.
(Kaplan et al, 2015).
15
Bulimia nervosa muncul ketika:
(1) episode binge eating terjadi relatif sering (seminggu sekali atau lebih)
selama minimal 3 bulan;
(3) berat badan tidak turun drastis seperti pada anoreksia nervosa; dan
(4) pasien memiliki rasa takut yang tidak wajar terhadap kegemukan,
dorongan tanpa henti untuk menjadi kurus, atau keduanya dan rasa takut akan
bergantung pada berat dan bentuk tubuh yang tidak proporsional
Bulimia nervosa terjadi pada orang dengan tingkat gangguan mood dan
gangguan kontrol impuls yang tinggi. Pasien dengan bulimia nervosa juga
mengalami peningkatan tingkat gangguan kecemasan, gangguan bipolar I,
gangguan disosiatif, dan riwayat pelecehan seksual (Kaplan et al, 2015).
2.2.5. Diagnosis
16
A. Episode makan berlebihan yang berulang. Dicirikan oleh:
Mild : Rata-rata 1-3 episode perilaku kompensasi yang tidak pantas per
minggu.
Moderate : Rata-rata 4-7 episode perilaku kompensasi yang tidak pantas per
minggu.
Severe : Rata-rata 8-13 episode perilaku kompensasi yang tidak pantas per
minggu.
Extreme : Rata-rata ≥14 episode perilaku kompensasi yang tidak pantas per
minggu.
Pemeriksaan Laboratorium
17
Bulimia nervosa dapat menyebabkan kelainan elektrolit dan berbagai derajat
kelaparan, meskipun mungkin tidak sejelas pada pasien berat badan rendah
dengan anoreksia nervosa. Jadi, bahkan pasien dengan berat badan normal dengan
bulimia nervosa harus menjalani pemeriksaan laboratorium tentang elektrolit dan
metabolisme. Secara umum, fungsi tiroid tetap utuh pada bulimia nervosa, tetapi
pasien mungkin menunjukkan nonsuppression pada tes supresi deksametason.
Gangguan dehidrasi dan elektrolit kemungkinan besar terjadi pada pasien bulimia
nervosa yang melakukan pembersihan secara teratur. Pasien-pasien ini biasanya
menunjukkan hipomagnesemia dan hiperamilasemia. Meskipun bukan fitur
diagnostik inti, banyak pasien bulimia nervosa mengalami gangguan menstruasi.
Hipotensi dan bradikardia terjadi pada beberapa pasien (Kaplan et al, 2015).
2.2.7. Terapi
1) Psikoterapi
18
Terapi perilaku kognitif. Suatu kontrak perilaku dan desensitisasi
terhadap pikiran dan perasaan yang dimiliki pasien bulimia nervosa tepat
sebelum makan berlebih. Tetapi, banyak pasien bulimia nervosa memiliki
psikopatologi yang melebihi perilaku makan berlebih. Sehingga,
pendekatan psikoterapik tambahan seperti terapi psikodinamik,
interpersonal, dan keluarga dapat sangat bermanfaat.
Psikoterapi Dinamik. Mengkonkretkan mekanisme pertahanan introjektif
dan proyektif. Dengan cara yang mirip dengan membelah, pasien
diharapkan akan mampu membagi makanan dalam dua kategori. Makanan
yang bergizi dan makanan yang tidak sehat. Makanan yang dianggap
bergizi mungkin diingesti karena makanan tersebut secara tidak sadar
menyimbolkan introjeksi yang baik. Tetapi makanan yang buruk secara
tidak sadar dihubungkan dengan introjeksi yang buruk sehingga
dikeluarkan melalui muntah, dengan khayalan bawah sadar bahwa semua
destruktivitas, kebencian, dan kejahatan telah dibuang. Pasien mungkin
sementara merasa sehat setelah muntah karena pembuangan yang
dikhayalkannya, tetapi perasaan segalanya baik adalah singkat, karena
didasarkan pada kombinasi yang tidak stabil dari pembelahan dan
proyeksi.
2) Farmakoterapi
19
dosis yang diberikan untuk gangguan depresif. Carbamazepine (Tegretol)
dan Lithium (Eskalith) belum menunjukkan hasil yang mengesankan
sebagai pengobatan untuk bulimia nervosa, tetapi obat tersebut telah
digunakan dalam pengobatan pasien bulimia nervosa dengan gangguan
mood komorbid, seperti gangguan bipolar I (Kaplan et al, 2015).
2.2.8. Prognosis
2.3.1. Definisi
Individu dengan gangguan makan pesta terlibat dalam binge eating berulang
kali di mana mereka makan makanan dalam jumlah besar yang tidak normal
dalam waktu singkat. Tidak seperti bulimia nervosa, pasien dengan Binge Eating
Disorder tidak memberikan kompensasi dengan cara apa pun setelah episode
pesta makan (misalnya, penggunaan pencahar). Episode binge sering terjadi
secara pribadi, umumnya mencakup makanan dengan kandungan kalori yang
padat, dan, selama binge, orang tersebut merasa dia tidak dapat mengontrol
makannya (Kaplan et al, 2015).
2.3.2. Epidemiologi
Gangguan makan berlebihan adalah gangguan makan yang paling umum. Ini
muncul pada sekitar 25 persen pasien yang mencari perawatan medis untuk
20
obesitas dan pada 50 hingga 75 persen pasien dengan obesitas berat (BMI lebih
dari 40). Ini lebih sering terjadi pada wanita (4 persen) daripada pada pria (2
persen) (Kaplan et al, 2015).
2.3.4. Etiologi
2.3.6. Diagnosis
21
A. Episode makan berlebihan yang berulang, yang ditandai oleh 2 hal berikut
ini:
1. Makan, dalam periode waktu yang jelas (misal,dalam tiap periode 2 jam),
jumlah makanan yang jelas lebih besar dibandingkan yang dapat dimakan
oleh sebagian besar orang selama periode waktu yang sama dan dalam
situasi yang sama)
2. Perasaan hilang kendali terhadap makan selama episode ini (misal,
perasaan bahwa ia tidak dapat berhenti makan atau mengendalikan apa dan
berapa banyak yang dimakan)
B. Disertai oleh 3 atau lebih hal berikut :
1. Makan jauh lebih cepat daripada biasa/normal
2. Makan sampai merasa kekenyangan hingga mengganggu
3. Makan sejumlah besar makanan saat tidak merasa lapar secara fisik
4. Makan sendirian karena merasa malu dengan jumlah makanan yang
dikonsumsinya
5. Perasaan benci terhadap diri sendiri, depresi, dan merasa bersalah setelah
makan
C. Terdapat kekhawatiran yang jelas tentang perilaku makan berlebih
D. Perilaku makan tersebut terjadi minimal 1 hari/minggu selama 3 bulan
E. Perilaku makan berlebih tidak disertai dengan penggunaan perilaku
kompensasi yang tidak layak (laksatif, puasa, olahraga berat) dan tidak
terjadi selama perjalanan anoreksia nervosa atau bulimia nervosa.
(Kaplan et al, 2015).
Gangguan makan berlebihan dan bulimia nervosa memiliki fitur inti yang
sama dari makan berlebihan yang berulang. Gangguan makan berlebihan
berbeda dengan bulimia nervosa, namun, pasien gangguan makan pesta tidak
melaporkan perilaku kompensasi berulang seperti muntah, penyalahgunaan
obat pencahar, atau diet berlebihan. Gangguan makan berlebihan berbeda dari
22
anoreksia nervosa karena pasien tidak menunjukkan dorongan berlebihan
untuk menjadi kurus dan memiliki berat badan normal atau obesitas (Kaplan
et al, 2015).
2.3.8. Terapi
1) Psikoterapi
3) Farmakoterapi
23
2.3.9. Prognosis
24
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan makan adalah penyakit ringan dan serius yang sulit didiagnosis
dan diobati. Banyak kasus tidak pernah dilaporkan, dan gangguan tersebut
mungkin memiliki konsekuensi kesehatan yang bertahan lama. Kombinasi
psikoterapi dan pengobatan dapat direkomendasikan setelah pasien tidak lagi
dalam keadaan malnutrisi. Perawatan akan sangat bermanfaat jika pasien
menerima dan siap untuk dirawat dan dapat mengakui masalahnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. 2015. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry:Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 11th ed. Philadelphia:
Lippincott Wolters Kluwer
26