Disusun oleh :
Janecia Valeska
00000002274
Pembimbing :
dr. Andry Juliansen, SpA
PENDAHULUAN
Sindrom Tourette (TS), atau yang juga dikenal sebagai sindrom Gilles de la
Tourette (GTS), pertama kali dideskripsikan oleh George Gilles de la Tourette pada
tahun 1885 sebagai sindrom yang memiliki trias gejala tic multipel, koprolalia dan
ekolalia.1 Sekarang, untuk mendiagnosis TS dapat menggunakan kriteria diagnosis
menurut Diagnostic and Statistical Manual of mental disorders (DSM-5) dimana
diperlukan adanya tic motorik dan vokal multipel selama minimal 1 tahun dengan
usia awitan sebelum 18 tahun.2 Gejala paling awal dapat timbul pada usia sekitar 4
sampai 6 tahun. Bentuk tic dapat bervariasi mulai dari kedipan mata sampai tic yang
dapat melukai diri untuk tic motorik, dan untuk tic vokal dapat berupa batuk sampai
kata-kata atau kalimat yang tidak sopan (koprolalia).3
Secara international, prevalensi sindrom Tourette adalah sebanyak 1 % dari
mayoritas kebudayaan dunia.4 Diperkirakan bahwa TS ditemukan pada 0.3 – 0.9%
pada masa kanak-kanak ( usia di bawah 18 tahun), dengan perbandingan 3 – 4 laki-
laki dibanding perempuan. Sebanyak 50 – 90% pasien TS memiliki komorbiditas
seperti gangguan atensi dan hipereaktivitas (ADHD) dan gangguan obsesif kompulsif
(OCD).1 Komorbiditas yang ada pada TS merupakan bagian penting dari TS, karena
dapat memperburuk prognosis dan kualitas hidup pasien. Sindrom Tourette (TS)
dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup pasien seperti pada fungsi sosial dan
keluarga pasien. Pasien TS seringkali mengalami stres pada keluarga, penarikan
sosial, dan kesulitan untuk bersosialisasi, sehingga penting untuk tenaga medis dapat
mengidentifikasi tic dan TS sejak dini dan merujuk ke bidang spesialisasi yang
sesuai.5
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sindrom Tourette (TS), yang juga dikenal sebagai sindrom Gilles de la
Tourette (GTS), merupakan neurodevelopmental disorder yang memiliki beberapa tic
motorik atau vokal yang timbul semenjak usia kanak-kanak.6
Tic adalah gerakan atau vokalisasi yang involunter, stereotipik, nonrhythmic,
berulang-ulang, mendadak, sekejap dan cepat.7
2.2 EPIDEMIOLOGI
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada 1
dari setiap 360 (0.3%) anak-anak berusia 6 – 17 tahun di Amerika Serikat, sudah
terdiagnosa dengan sindrom Tourette.8 Pada sebuah studi di Kanada, sindrom
Tourette terjadi pada 0.8% usia 6 sampai 18 tahun.9 Gejala pertama tic motorik terjadi
pada sekitar usia 4 sampai 6 tahun, kemudian diikuti dengan tic vokal. Manifestasi TS
mencapai puncaknya pada usia 10 – 12 tahun, dan akan mengalami remisi total atau
sebagian pada usia 21 tahun.10 Perbandingan prevalensi TS pada laki-laki dibanding
perempuan adalah 3-4 : 1.6
2
Tabel 1. Pembagian 'Tic'10
Klasifikasi Tipe Deskripsi Contoh
Simpel Motorik Menggunakan satu atau Pergerakan mata, hidung, mulut,
satu kelompok otot – lidah, atau merengut; pergerakan
otot kepala; bahu; lengan / tangan;
tungkai bawah, kaki; pergerakan
abdomen/pelvis
Vokal Suara simpel atau Batuk, mengendus, bersiul, suara
inkomplet binatang atau burung
Kompleks Motorik Pergerakan yang Menyentuh, perilaku yang
berkoordinasi dan gegabah, gerak-isyarat yang tidak
progresif sopan, postur aneh, membungkuk,
mengikuti gerakan orang lain
(ekopraksia), bersifat cabul
(kopropraksia), dan perilaku tic
yang dapat melukai diri
Vokal Menyebutkan kata – Kata-kata atau kalimat yang tidak
kata atau kalimat yang sopan (koprolalia), mengulangi
dapat dimengerti suara, kata atau kalimat orang lain.
Mengulangi apa yang dikatakan di
TV(ekolalia), mengulangi sesuatu
berkali-kali (palilalia)
3
bahu atau abdomen.11 3 studi neuroimaging menemukan bahwa hiperaktivasi
pada anterior cingulated dan supplementary motor area (SMA) dapat
menyebabkan sensasi dorongan untuk melakukan gerakan atau perilaku
tertentu.12
2.4 ETIOLOGI
Ayah atau ibu yang memiliki sindrom Tourette, diperkirakan 40-50% anaknya
akan menderita TS. Faktor genetik yang dapat berperan pada sindrom Tourette sudah
lama diteliti dan ditemukan bahwa ada hubungan antara dopamine transporter
polymorphism, serotonin receptor polymorphism dengan sindrom Tourette.7 Studi-
studi menemukan satu gen yaitu histidine decarboxylase (HDC) yang berhubungan
dengan mutasi koding dengan efek negatif. Mutasi juga dapat ditemukan pada gen
kandidat SLITRK1. Neurexin 1 (NRXN1) dan HDC merupakan gen resiko sindrom
Tourette.13
Selain dari faktor genetik, terdapat hipotesis imunologi yang mendiskusikan
tentang gangguan neuropsikiatri autoimun pediatrik dengan infeksi streptokokus
(PANDAS) dan sindrom neuropsikiatri akut pediatrik (PANS). Pada hipotesis
PANDAS, disebutkan bahwa infeksi streptokokal mencetuskan respon imun yang
berinteraksi dengan otak. Hipotesis PANDAS yang sudah berubah menjadi PANS,
menyingkirkan keharusan untuk adanya infeksi streptokokal pada TS.13 Hipotesis
tersebut menjelaskan bahwa infeksi streptococcus β hemolitikus grup A berhubungan
dengan awitan atau eksaserbasi tic yang mendadak dan gejala obsesif kompulsif.
2.5 PATOGENESIS
Beberapa penelitian menemukan bahwa patogenesis terjadinya sindrom
Tourette mengarah kepada kelainan gen dan autoimun. Pergerakan tic serupa dengan
gerakan volunter, dan dapat ditekan, sehingga dapat dipikirkan bahwa timbulnya tic
dapat berasal dari jaras motorik pada korteks; pada cortico-basal ganglia-thalamo-
cortical loops. Hipotesis tersebut dapat dibuktikan melalui penelitian neuroimaging
dan neuropatologi yang menemukan adanya perubahan mikroskopik dan makroskopik
pada cortico-basal ganglia-thalamo-cortical loops(Gambar 2).14 Sebuah studi yang
melakukan pencritaan pada otak menggunakan 3 T magnetic resonance imaging
scanner (MRI) dan menemukan adanya abnormalitas pada jalur neuron yang
menghubungkan korteks, basal ganglia dan talamus, khususnya pada striatum dan
4
talamus yang memiliki konektivitas struktural yang meningkat (Gambar 1). Pada jaras
cortico-striatal ditemukan adanya peningkatan fractional anisotropy and penurunan
radial diffusivity.15 Studi lain menemukan bahwa ada perbedaan dalam struktur sulkus
korteks pasien TS bila dibandingkan dengan kontrol setelah dilakukan pencitraan
dengan MRI 3 Tesla.16
Gambar 1. Jaras cortico-striatal dan thalamo-striatal. (A) Pasien TS, (B) Kontrol
sehat. Barisan atas adalah hemisfer kanan, barisan bawah adalah hemisfer kiri. (C)
area merah adalah area korteks dengan konektivitas struktural yang meningkat
pada pasien TS bila dibanding dengan kontrol; area biru adalah area korteks dengan
konektivitas struktural lebih rendah pada pasien TS dibanding kontrol.15
6
2.6 DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis gangguan tic, perlu dilakukan
anamnesis akan adanya tic motorik maupun vokal yang timbul berulang, frekuensi,
durasi dan variasi tic, dengan awitan saat masa kanak, riwayat keluhan serupa pada
keluarga, kemudian perlu dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menyingkirkan
gangguan neurologis lainnya. Gangguan tic seringkali terjadi bersamaan dengan
komorbiditas seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan gangguan
obsesif kompulsif (OCD), namun komorbiditas tidak harus ada untuk mendiagnosis
gangguan tic.
Gangguan tic memiliki manifestasi yang seringkali dapat dianggap sebagai
gangguan motorik hiperkinetik lainnya seperti mioklonus, chorea, gerakan
stereotipik, tremor, atau kejang.17 Untuk membedakan dengan tic dengan chorea,
chorea adalah gerakan yang terus menerus, non-stereotyped, tidak didahului dengan
premonitory urge, dan ditemukan pada anggota tubuh yang berbeda-beda. Tic dapat
dibedakan dari mioklonus dari kecepatan, sulit untuk ditekan, dan tidak didahului
premonitory urge. Gerakan stereotipik adalah gerakan intermiten yang dapat
disebabkan oleh autism yang dapat timbul saat tidur, sedangkan tic tidak akan terjadi
saat tidur. Tremor memiliki gerakan yang rhythmic, tidak seperti pada tic. Pada
epilepsi, lebih sedikit fluktuasi dan terdapat kelainan pada elektroensefalogram
(EEG).3
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke 5
(DSM-5), gangguan tic dapat dibagi menjadi Tourette’s Disorder (sindrom Tourette),
gangguan tic motorik atau vokal persisten(kronik), dan Provisional Tic Disorder
(gangguan tic sementara).
7
menahun tetapi tetapi bertahan sampai
bertahan sampai > 1 > 1 tahun semenjak
tahun semenjak awitan awitan
C Onset sebelum 18 Onset sebelum 18 Onset sebelum 18 tahun
tahun tahun
D Gangguan tidak Gangguan tidak Gangguan tidak disebabkan
disebabkan oleh efek disebabkan oleh efek oleh efek penggunaan zat
penggunaan zat (cth., penggunaan zat (cth., (cth., kokain) atau kondisi
kokain) atau kondisi kokain) atau kondisi medis lain (cth., penyakit
medis lain (cth., medis lain (cth., Huntington, postviral
penyakit Huntington, penyakit Huntington, encephalitis)
postviral encephalitis) postviral encephalitis)
E Kriteria tidak Kriteria tidak memenuhi
memenuhi sindrom sindrom Tourette atau
Tourette gangguan tic motorik/vokal
persisten
Derajat tic dapat dinilai dengan tic severity scales seperti Yale Global Tic
Severity Scale (YGTSS), Shapiro Tic Severity Scale, Tourette syndrome – Clinical
Global Impression of Severity dan Tourette’s Disorder Scale, namun yang menjadi
baku emas adalah YGTSS.6 Faktor yang paling mempengaruhi derajat tic pada pasien
adalah tingkat stres yang dialami pasien. Beberapa kondisi seperti apabila pasien
sedang sakit, atau mengikuti acara yang menyenangkan dapat meningkatkan derajat
tic untuk sementara.
2.7 KOMORBIDITAS
Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan komorbiditas
yang paling sering terjadi pada TS, diikuti dengan gangguan obsesif kompulsif (OCD)
dan gangguan mood.
8
Hampir 50% pasien ADHD memiliki riwayat tic, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ADHD dan TS berhubungan secara genetik.18 Gejala ADHD yaitu impulsif,
hiperaktif, sulit untuk konsentrasi, timbul saat masa kanak, biasanya sebelum
timbulnya tic. Pasien TS dengan komorbiditas ADHD akan lebih sulit untuk
bersosialisasi, ada konflik pada keluarga, masalah pada sekolah dan masalah
emosional.7
Pasien dengan TS seringkali mempunyai komorbiditas OCD, dengan adanya
gejala klinis yang serupa yaitu pada fenomena sensoris yang dirasakan sebelum tic
terjadi, yang kemudian hilang setelah tic terjadi. Fenomena ini serupa dengan OCD,
dimana obsesi akan berhenti setelah melakukan obsesi tersebut. Untuk membedakan
kedua gangguan ini, pada pasien dengan OCD memiliki keinginan kuat untuk
melakukan suatu hal dengan cara tertentu (cth: beberapa kali sampai terasa puas).7
Saat seorang anak memiliki TS, kehidupan sosialnya akan terganggu, pasien
akan mendapatkan tekanan sosial dari orang sekitar, dan hal ini dapat berkelanjutan
kepada gangguan depresif. Gangguan depresif mayor merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi pada OCD. Dengan adanya gangguan depresif, pasien akan
kesulitan tidur sehingga terdapat gangguan tidur. Adanya komorbiditas ADHD juga
dapat menyebabkan gangguan tidur.18
2.8 TATALAKSANA
Pada tatalaksana sindrom Tourette, dapat dilakukan behavioral therapy (BT),
terapi farmakologis, atau terapi pembedahan, namun kebanyakan tidak perlu terapi
dan hanya perlu dilakukan psikoedukasi dan strategi “watch and wait”. European
clinical guidelines for TS and other TD (ESSTS) merekomendasikan behavioral
therapy (BT) sebagai terapi lini pertama. Behavioral therapy (BT) yang dapat
dilakukan yaitu Comprehensive Behavioral Intervention for Tics (CBIT), dimana
dilakukan habit reversal training (HRT) yang memiliki 3 komponen yaitu awareness
training, competing response dan dukungan sosial.6 Awareness training bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran diri dan pengawasan akan tic dan premonitory urge,
kemudian competing response adalah melakukan tindakan yang volunter untuk
melawan tic yang akan terjadi. Pasien juga dilatih untuk mengidentifikasi faktor
situasi yang dapat mempengaruhi tic, dan membuat strategi untuk merubah atau
menghindari faktor situasi tersebut.9
9
Pada sindrom Tourette, seringkali masalah yang lebih dominan adalah gejala
selain tic yang dialami, seperti adanya komorbiditas ADHD, OCD, atau movement
disorders, sehingga para klinisi perlu bekerja sama dengan berbagai dokter spesialis
untuk memberikan terapi yang komprehensif. Behavioral therapy dapat diberikan
oleh psikolog dan psikiater. Psikiater berperan untuk menangani pasien TS dengan
OCD berat, psikosis, halusinasi auditorik dan mania, dan dapat merujuk pasien TS ke
dokter spesialis saraf apabila ditemukan adanya tic berat, drug induced movement
disorders, atau gangguan kognisi yang progresif.19
Terapi farmakologis yang dapat diberikan adalah obat antipsikotik. Terapi
farmakologis diberikan pada kasus yang parah dan kronik, dan apabila tic
menyebabkan masalah emosional, isolasi sosial, atau stigma. European clinical
guidelines for TS and other TD (ESSTS) merekomendasikan neuroleptik atipikal
seperti risperidon (antagonis dopamin dan serotonin) sebagai terapi lini pertama,
dengan dosis maksimal 3 atau 4 mg per hari. Lini kedua yaitu tiapride dengan dosis
100 sampai 300 mg per hari, dibagi menjadi 3 dosis, mulai dengan dosis 2.5 mg/kg
berat badan/hari.3 Aripiprazole juga merupakan neuroleptik atipikal yang menunjukan
perbaikan dari derajat tic menurut YGTSS. Di Amerika Serikat, Kanada dan
Australia, farmakoterapi lini pertama untuk TS adalah α2-adrenergik agonis seperti
klonidin dan guanfasin.6
Terapi invasif atau terapi neuromodulation dilakukan pada TS refrakter yang
tidak berespon terhadap behavioral therapy dan terapi farmakologis, yaitu dengan
deep brain stimulation (DBS). Keputusan untuk dilakukan DBS memerlukan
partisipasi dengan spesialis bedah saraf, psikiatri dan psikolog. Deep brain
stimulation (DBS) dilakukan oleh dokter spesialis bedah saraf dimana dilakukan
stimulasi elektrik pada stuktur otak dengan menanamkan elektroda yang menerima
frekuensi tinggi dari generator yang di implantasi pada lapisan subkutan. Tujuan DBS
adalah merubah pola sinyal neuron pada sirkuit cortico-basal-ganglia-
thalamocortical (CBGT) dan memperbaiki gejala TS.1
2.9 EDUKASI
Pada tatalaksana pasien dengan tic atau TS, perlu dilakukan edukasi yang baik
kepada keluarga pasien akan dampak sosial, akademik, fungsi, komorbiditas dan
pilihan terapi yang ada. Respons orangtua terhadap gejala dan sindrom yang dialami
anaknya sangat berpengaruh kepada emosi keluarga, yang dapat meningkatkan stres
10
dan memperburuk tingkat keparahan tic. Anggota keluarga harus mengerti bahwa
reaksi dan mereka terhadap tic akan berdampak kepada tingkat stres yang dialami
anaknya. Intervensi edukasi sebaiknya diberikan pada orangtua, untuk dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan kepribadian anaknya, dengan fokus kepada
kekuatan dan minat anak. Dapat juga dilakukan diskusi dengan guru dan teman-teman
di sekolah untuk mengurangi diskriminasi dan stigma terhadap anaknya.9
2.10 PROGNOSIS
Perjalanan TS bervariasi pada setiap pasien, namun pada kebanyakan kasus,
gejala akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 8 – 12 tahun, diikuti dengan
penurunan derajat yang stabil. Pada masa remaja, 1 per 3 anak akan mengalami
penurunan tic sehingga hanya ada tic ringan yang tersisa, kemudian 1 per 3 pasien
akan mengalami remisi total, dan 1 per 3 sisanya akan berlanjut.7 Secara keseluruhan,
TS memiliki prognosis yang baik, namun 5% dapat mengalami TS malignan, yaitu TS
yang dapat mengancam jiwa dengan adanya Self-Injurious Behaviour (SIB),
kekerasan yang tidak terkontrol dan pencobaan untuk bunuh diri.1
11
BAB III
KESIMPULAN
12
Daftar Pustaka
1. Smeets A. New insights in deep brain stimulation for tourette syndrome. 2018;
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. Washington; 2013.
3. Gloor FT, Walitza S. Tic disorders and tourette syndrome : current concepts of
etiology and treatment in children and adolescents. Tic Disord Tourette Syndr.
2015;
4. Robertson MM, Eapen V, Cavanna AE. The international prevalence,
epidemiology, and clinical phenomenology of tourette syndrome: a cross-
cultural perspective. J Psychosom Res [Internet]. 2009;67:475–83. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jpsychores.2009.07.010
5. Smith H, Fox JRE, Trayner P. The lived experiences of individuals with
Tourette syndrome or tic disorders : A meta-synthesis of qualitative studies. Br
J Psychol. 2015;1–26.
6. Robertson MM, Eapen V, Singer HS, Martino D, Scharf JM, Paschou P, et al.
Gilles de la Tourette syndrome. 2017;
7. Swaiman KF, Finkel RS. Swaiman ’ s pediatric neurology principles and
practice sixth edition. 6th ed. Elsevier Inc.; 2018.
8. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Tourette syndrome (TS)
[Internet]. 2018. Available from:
https://www.cdc.gov/ncbddd/tourette/data.html
9. Martino D, Pringsheim TM. Expert review of neurotherapeutics tourette
syndrome and other chronic tic disorders : an update on clinical management.
Expert Rev Neurother [Internet]. 2018;00:1–13. Available from:
https://doi.org/10.1080/14737175.2018.1413938
10. Novotny M, Valis M, Klimova B. Tourette Syndrome : A Mini-Review. Front
Neurol. 2018;9:1–5.
11. Cavanna AE, Ph D, Black KJ, Hallett M, Voon V, Ph D. Neurobiology of the
premonitory urge in tourette’ s syndrome : pathophysiology and treatment
implications. J Neuropsychiatry Clin Neurosci. 2017;29:95–104.
12. Houghton DC, Capriotti MR, Conelea CA, Woods DW. Sensory phenomena in
tourette syndrome: their role in symptom formation and treatment. Curr Dev
Disord Rep. 2015;1:245–51.
13
13. Dale RC. Tics and Tourette : a clinical , pathophysiological and etiological
review. Curr Opin Pediatr. 2017;
14. Ganos C. Tics and Tourette ’ s : update on pathophysiology and tic control.
Curr Opin Neurol. 2016;513–8.
15. Worbe Y, Marrakchi-kacem L, Lecomte S, Valabregue R, Poupon F, Guevara
P, et al. Altered structural connectivity of cortico-striato-pallido-thalamic
networks in gilles de la tourette syndrome. BRAIN. 2015;472–82.
16. Muellner J, Delmaire C, Romain V, Schupbach M. Altered structure of cortical
sulci in gilles de la tourette syndrome : further support for abnormal brain
development. 2015;30:655–61.
17. Gunduz A, Okun MS. A review and update on tourette syndrome : where is the
field headed ? Curr Neurol Neurosci Rep. 2016;
18. R. Ferreira B, Pio-Abreu JL, Januario C. Tourette’s syndrome and associated
disorders: a systematic review. Trends Psychiatry Psychother. 2014;36:123–33.
19. Gilbert DL, Jankovic J. Pharmacological treatment of tourette syndrome. J
Obsessive Compuls Relat Disord [Internet]. 2014;3:407–14. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jocrd.2014.04.006
14