Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PENGAYAAN

Diagnosis and Management of Tics Fascialis

Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda di


Laboratorium/SMF Neurologi FKUB-RSSA Malang

Oleh:
Shinta Anni Fadilla
175070107111041

Periode 26 April-9 Mei 2021

Pembimbing:
dr. Neila Raisa, Sp.S

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2021
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tic Fasialis


Tic Fasialis berasal dari kata tic dan fasialis. Tic adalah gerakan
motorik atau suara yang muncul secara tiba-tiba tanpa disadari, berulang,
dan bersifat stereotipik, biasanya berlangsung singkat. Sedangkan kata
fasialis merujuk pada area wajah. (Leckman, J. F., Peterson, B. S., Pauls, D.
L., & Cohen, D. J. (1997). TIC DISORDERS. Psychiatric Clinics of North
America, 20(4), 839–861. doi:10.1016/s0193-953x(05)70348-8 )
Tic fasialis adalah kondisi ketika terdapat gerakan yang tidak disadari,
bersifat lokal pada otot tertentu, berlangsung cepat tetapi berulang yang
terjadi di area wajah. Biasanya tic dilakukan untuk mengurangi internal
tension yang dirasakan oleh penderita sehingga penderita merasa lebih lega
setelah melakukan gerakan tersebut..(dari referatt yg di download)
Tic dapat dibagi menjadi motorik dan vokal dan dapat dibagi lagi
menjadi sederhana dan kompleks. Pada tic motorik sederhana hanya
terdapat satu gerakan yang diulang terus menerus contohnya kedipan mata,
wajah menyeringai, hidung mengkerut. Pada tic motorik kompleks terdapat
beberapa pola gerakan yang dilakukan seperti gerakan yang memiliki tujuan,
contohnya melompat, squat, menyentuh sesuatu. Tic fasialis dapat
dimasukkan ke dalam kelompok tic motorik (Gloor, Friederike & Walitza,
Susanne. (2016). Tic Disorders and Tourette Syndrome: Current Concepts of
Etiology and Treatment in Children and Adolescents. Neuropediatrics. 47.
10.1055/s-0035-1570492.)
Perjalanan penyakit tic biasanya muncul pada awal masa kanak-
kanak. Keparahan dan frekuensi tic sangat bervariasi pada masing-masing
individu, dan biasanya tic tidak mengindikasikan adanya masalah kesehatan
yang serius. Pada kebanyakan kasus, tic dapat berkurang bahkan
menghilang pada awal masa dewasa. (Yael, D., Vinner, E., & Bar-Gad, I.
(2015). Pathophysiology of tic disorders. Movement Disorders, 30(9), 1171–
1178. doi:10.1002/mds.26304)

B. Epidemiologi
Kasus tics dilaporkan paling banyak dialami anak-anak pada usia
sekolah (7-11 tahun) yaitu sebesar 3-20% dari keseluruhan kasus. Kasus
persisten tic disorder (berlangsung lebih dari 12 bulan) pada anak
diperkirakan sebesar 3 sampai 4%. Perbandingan antara penderita yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sebesar 4:1. Tic disorder dilaporkan
lebih tinggi insidennya pada ras Caucasian dan Asia, walaupun penelitian
yang lebih sistematis masih belum dilakukan. (Leckman, J. F., Peterson, B.
S., Pauls, D. L., & Cohen, D. J. (1997). TIC DISORDERS. Psychiatric Clinics
of North America, 20(4), 839–861. doi:10.1016/s0193-953x(05)70348-8 )
Tic harus dapat dibedakan dengan kelainan motorik lain pada anak
seperti korea, diskinesia, childhood motor stereotypies, yang dapat
dihubungkan dengan gangguan perkembangan, retardasi mental, dan
cerebral palsy. (Gloor, Friederike & Walitza, Susanne. (2016). Tic Disorders
and Tourette Syndrome: Current Concepts of Etiology and Treatment in
Children and Adolescents. Neuropediatrics. 47. 10.1055/s-0035-1570492.)

C. Etiologi dan Patofisiologi


Tics memiliki jaras yang sama dengan voluntary movement, yaitu
melalui jaras corticostriatothalamocortical. Jika dilakukan neuroimaging,
terdapat abnormalitas pada jaras tersebut. Gambaran neuroimaging juga
dapat mengidentifikasi keparahan tics yang diakibatkan karena adanya
perubahan fungsi dan struktur pada jaras tersebut.
Gangguan pada transmisi GABA pada jaras
corticostriathothalamocortical akan menyebabkan disinhibisi pada jaras
tersebut sehingga terjadi gerakan-gerakan khas pada tics motorik atau
munculnya suara-suara khas pada tics vokalis.Terdapat beberapa faktor
yang dikaitkan dengan kejadian tics, diantaranya:
1. Faktor Genetik
Keluarga yang memiliki riwayat tic sebelumnya berpeluang lebih
besar untuk memiliki keturunan yang juga menderita tic. Hal ini disebabkan
karena tic dapat diwariskan kepada anak dari orangtua melalui gen
autosomal dominan. Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa jika
terdapat anggota keluarga terutama first degree yang menderita Tourette’s
syndrom, maka anggota keluarga lain memiliki probabilitas yang lebih tinggi
untuk terkena Tourette’s syndrome, chronic motor tics, dan obsessive
compulsive disorder.
2. Gangguan neurobiologi
Perjalanan penyakit tic berbeda dengan penyakit psikiatri lainnya. Tic
sering muncul pada masa kanak-kanak kemudian menghilang saat masa
dewasa. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tic bukan merupakan gangguan
neurodegenerative, melainkan kelainan pada saat perkembangan dan
maturisasi sirkuit otak. Motor impairment pada tics juga dikaitkan dengan
adanya kelainan pada basal ganglia dan traktus corticostriatothalamocortical.
3. Gender Spesific Endocrin Factors
Jika tics diturunkan melalui gen autosomal dominan, maka
seharusnya proporsi penderita laki-laki dan perempuan akan sama, tetapi tics
lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan. Hal tersebut
dikarenakan hormon androgen memiliki banyak reseptor di otak sehingga
dapat mempengaruhi aktivitas di otak terutama di area basal ganglia.
Kejadian Tourette’s syndrome juga dilaporkan terjadi pada atlit yang sedang
mengkonsumsi androgenic steroid.
4. Faktor Perinatal
Ibu yang memiliki komplikasi saat mengandung memiliki peluang
untuk memiliki anak dengan tics 1.5 kali lebih besar dari pada ibu yang
mengandung tanpa komplikasi. Maternal stress yang dialami ibu hamil
seperti mual dan muntah yang parah, mengkonsumsi alkohol, dan merokok
akan meningkatkan resiko untuk terjadinya tic related obsessive compulsive
disorder.
5. Faktor Psikologi
Tic sering dikaitkan dengan kondisi stress psikologis. Gejala
eksaserbasi biasanya timbul ketika ada kejadian yang stressful. Penderita
tics sering menahan symptom karena takut akan dimarahi atau dihina oleh
orang lain sehingga dapat memicu terjadinya eksaserbasi symptoms di
kemudian hari. Stress psikologis juga dapat meningkatkan aktivitas
noradrenergic sympathetic system sehingga dapat memicu terjadinya tics.
((Gloor, Friederike & Walitza, Susanne. (2016). Tic Disorders and
Tourette Syndrome: Current Concepts of Etiology and Treatment in Children
and Adolescents. Neuropediatrics. 47. 10.1055/s-0035-1570492.)

D. Klasifikasi Tic Disorder


Tics adalah gerakan motorik atau vokalisasi yang tiba-tiba, cepat,
berulang, tidak berirama. Seseorang mungkin memiliki berbagai gejala tic
dari waktu ke waktu, tetapi pada titik waktu mana pun, repertoar tic berulang
dalam suatu model karakteristik. Meskipun tic dapat mencakup hampir
semua kelompok otot atau vokalisasi, gejala tic tertentu, seperti mata
berkedip atau berdehem, sering terjadi pada populasi pasien. Tics umumnya
dialami sebagai gerakan involunter tetapi dapat secara volunter ditekan untuk
jangka waktu yang berbeda-beda.
Tic dapat berupa gerakan sederhana (cepat, tidak bermakna) atau
kompleks (gerakan yang lebih bermakna, rumit atau diatur) dan dapat berupa
transien maupun kronik. Termasuk kelainan tic kronik yaitu Tourette Disorder
dan kelainan persisten motorik atau tic vocal yaitu kelainan neuropsikiatri
yang bertahan lama, dengan onset biasanya sejak masa kanak (<18 tahun)
(Murphy et al, 2013  Murphy, T.K., A.B. Lewin, E.A. Storch, S. Stock. 2013.
J. Am. Acad. Child Adolesc. Psychiatry, 2013;52(12):1341–1359
Tic motorik sederhana berdurasi pendek (jangka waktu milidetik)
termasuk mata berkedip, mengangkat bahu, dan ekstensi ekstremitas. Tic
vokal sederhana termasuk membersihkan tenggorokan, mengendus, dan
mendengus sering disebabkan oleh kontraksi diafragma atau otot-otot tubuh
orofaring. Tic motorik kompleks memiliki durasi yang lebih lama (jangka
waktu detik) dan sering kali mencakup kombinasi dari tic sederhana seperti
memutar kepala dan mengangkat bahu secara bersamaan. Tic yang
kompleks bisa muncul sengaja, seperti gerakan seksual atau cabul seperti tic
(kopropraksia) atau tiruan seperti tic dari seseorang gerakan orang lain
(echopraxia). Demikian pula, tics vokal yang kompleks mencakup
pengulangan suara sendiri atau kata-kata (palilalia), mengulangi kata atau
frasa yang terakhir didengar (echolalia), atau mengucapkan kata-kata yang
tidak dapat diterima secara social kata-kata, termasuk kata-kata kotor, atau
hinaan etnis, ras, atau agama (coprolalia) (American Psychiatric Association,
2013).

E. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik Tic Fasialis


Manifestasi tic fascialis dapat berupa:
1. Kelopak mata berkedut intermitten
2. Bibir meringis atau mencucu
3. Mata berkedip secara berlebihan
4. Mengangkat salah satu sudut mulut
5. Wajah berkedut

Pemeriksaan fisik yang paling penting pada tic fasialis adalah inspeksi
dan dapat meminta pasien untuk merekam tic saat di rumah untuk
diperlihatkan kepada dokter pada pertemuan berikutnya. Pada pemeriksaan
fisik perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologis seperti pemeriksaan
derajat kesadaran, pemeriksaan motorik, dan pemeriksaan psikologis seperti
pemeriksaan status mental.

Untuk mengasses tic dapat pula menggunakan kuesioner seperti The


Parent Tic Questionnaire (PTQ) dan Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS).
Kuesioner tersebut dapat menskrining tic dan penyakit yang berkaitan
dengan tic contohnya obsessive-compulsive disorder, hiperaktif, dan
attention deficits. (Yadegar, M., Guo, S., Ricketts, E. J., & Zinner, S. H. (2019).
Assessment and Management of Tic Disorders in Pediatric Primary Care
Settings. Current developmental disorders reports, 6(3), 159–172.
https://doi.org/10.1007/s40474-019-00168-8)

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis tic fasialis sebenarnya hanya diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ada pemeriksaan penunjang khusus
yang diperlukan, tetapi terkadang dalam kasus tertentu diperlukan
pemeriksaan EEG untuk menyingkirkan adanya kejang pada pasien.

G. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis tic facialis dapat merujuk pada sign dan
symptoms pasien. Onset tic normalnya muncul di bawah usia 18 tahun.
Harus dapat memastikan bahwa gejala yang timbul bukan merupakan
pengaruh kondisi medis lain atau pengaruh obat tertentu.
Transient tic disorder adalah tic dengan satu atau lebih gejala yang
berlangsung kurang dari 12 bulan secara berurutan. Chronic motor atau
vocal tic disorder didiagnosa apabila terdapat satu atau lebih gejala tic yang
berlangsung hampir setiap hari selama lebih dari 12 bulan. Pada orang
dengan tic disorder tetapi bukan Tourette’s syndrome biasanya hanya
mengalami tic motorik atau vokal saja, jarang yang mengalami keduanya.
Kriteria diagnosis tic disorder berdasarkan DSM V (American
Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric Publishing.)
1. Tourettte Disorder (307.23 [F95.2])
a. Baik gerakan motorik multipel maupun satu atau lebih tic vokal telah
muncul pada suatu waktu selama terjadi penyakit, meski belum tentu
bersamaan
b. Frekuensi tic mungkin bertambah dan berkurang tetapi telah bertahan
selama lebih dari 1 tahun sejak saat onset tic pertama
c. Awitannya terjadi sebelum usia 18 tahun
d. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya kokain) atau kondisi medis lain (misalnya penyakit Huntington,
ensefalitis postviral).
2. Kelainan motor persisten (kronik) atau tic vokal (307.22 [F95.1])
a. Tic motorik atau vokal tunggal atau ganda telah muncul selama penyakit,
tetapi tidak kedua motorik dan vokal.
b. Frekuensi tic mungkin bertambah dan berkurang tetapi telah bertahan
selama lebih dari 1 tahun sejak saat onset tic pertama.
c. Awitannya sebelum usia 18 tahun.
d. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya kokain) atau kondisi medis lain (misalnya penyakit Huntington,
ensefalitis postviral).
e. Kriteria tidak pernah terpenuhi untuk gangguan Tourette.

Tentukan jika:
Hanya dengan tic motorik
Hanya dengan tic vokal
3. Gangguan Tic Sementara / Provisional Tic Disorder (307.21 [F95.0])
a. Tic telah muncul kurang dari 1 tahun sejak onset tic pertama.
b. Awitannya sebelum usia 18 tahun.
c. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya kokain) atau kondisi medis lain (misalnya penyakit Huntington,
ensefalitis postviral).
d. Kriteria tidak pernah terpenuhi untuk gangguan Tourette atau motorik
(kronis) persisten atau gangguan vokal tic

H. Diagnosis Banding
1. Facial Myokimia
Facial Myokimia adalah gerakan pada otot wajah yang tidak disadari,
singkat dan menetap. Facial myokimia jarang terjadi dibanding dengan
movement disorder yang lain. Secara klinis, facial myokimia sulit dibedakan
dengan movement disorder lainnya, tetapi dapat dibedakan melalui
karakteristik hasil Electromyogram (EMG). Didapatkan lonjakan yang singkat,
berulang dengan lonjakan sebesar 2-60 Hz pada facial myokimia. Facial
myokimia terjadi karena ada abnormalitas di batang otak. Penyebab facial
myokimia sendiri masih belum diketahui tetapi biasanya idiopatik dan dapat
sembuh dalam beberapa minggu tanpa pengobatan.
2. Hemifacial Spasme
Hemifacial spasme adalah kontraksi tonik dan klonik yang involunter
yang terjadi pada otot yang diinervasi oleh nervus fasialis (N. VII) dan hanya
mengenai satu sisi wajah saja. Kelainan ini jarang ditemukan, dengan insiden
pertahunnya 1 per 100.000. Lebih banyak penderita perempuan dari laki-laki.
Onsetnya biasanya muncul pada dekade ke lima kehidupan. Keluhan awal
biasanya karena spasme dari otot orbicularis oculi yang menyebabkan
kelopak mata menutup secara tiba-tiba tanpa disadari. Hal tersebut
menganggu penglihatan pasien dan juga menimbulkan rasa malu pada
pasien. Lama-kelamaan otot yang terkena bertambah tidak hanya orbicularis
oculi tetapi area lain juga terkena seperti otot di pipi, area perioral, dan dagu.
Hemifacial spasme diperburuk karena kelelahan, stress, dan dapat tetap
muncul walaupun pasien sedang tidur.
3. Tardive Diskinesia
Tardive diskinesia adalah gerakan choreatic, dystonik, atau kombinasi
keduannya. Penyakit ini biasanya merupakan komplikasi dari terapi
neuroleptik, tetapi bisa juga disebabkan karena penggunaan antiemetik
golongan dopamine antagonis dalam jangka waktu yang lama. Gejala
utamanya adalah pasien mengeluhkan adanya kelelahan yang akan
berkurang setelah pasien melakukan gerakan. Kelelahan yang dirasakan
pasien hampir sama dengan keinginan yang muncul pada penderita tics.
Perbedaannya adalah jika tics biasanya melibatkan gerakan otot pada
cervical-cranial, pada tardive diskenia yang dilibatkan adalah otot pada
ekstremitas bawah dan atas.
4. Focal Motor Seizure
Focal motor seizure adalah kejang dengan gejala utamanya
meilibatkan aktivitas otot seperti gerakan menyentak-nyentak, hilangnya
tonus otot, dan gerakan yang berulang-ulang. Focal motor seizure terjadi
karena ada lesi epileptogenik di lobus frontral kontralateral. Biasanya ketika
kejang terjadi kesadaran tidak terganggu. Focal motor seizure paling sering
terjadi di wajah, tangan, dan jari-jari kaki karena area tersebut memiliki area
yang luas di lobus frontalis. Setelah mengalami kejang biasanya akan terjadi
kelumpuhan sementara pada area tubuh yang mengalami kejang yang dapat
berlangsung dalam hitungan menit hingga jam. Kelumpuhan tersebut sering
disebut sebagai Todd paralisis.
5. Blepharospasme
Blepharospasme adalah salah satu tipe dari focal distonia yang
mengenai otot kelopak mata yang menyebabkan menutupnya kelopak mata.
Gejalanya dapat berupa peningkatan frekuensi berkedip atau iritasi mata
karena mata kering yang juga disebabkan oleh blepharospasme. Otot yang
paling sering mengalami spasme adalah otot orbicularis oculi tetapi otot lain
seperti procerus, corrugator dan nasalis juga dapat mengalami spasme.
Onsetnya biasanya muncul pada dekade ke lima kehidupan. Penyakit ini
biasanya idiopatik tetapi bisa juga disebabkan karena kerusakan struktur
diencephalon, basal ganglia dan brainstem yang merupakan manifestasi dari
distonia sekunder.

I. Terapi
Kebanyakan kasus tic facialis tidak membutuhkan terapi khusus.
Terapi hanya diberikan pada kasus yang parah atau menganggu aktivitas
sehari-hari. Perlu juga memperhatikan apakah ada kelainan yang mengikuti
seperti ADHD atau OCD sehingga perlu mengobati penyakit penyerta selain
haus mengobati tics pasien.
1. Konseling Psikologi dan Behavioral Treatment
The European Clinical Guidelines for Tourette’s Syndrome and other
Tic Disorder (ESSTS) merekomendasi Behavioral treatment sebagai lini
pertama pengobatan tic disorder. Perlu diketahui bahwa gejala tic secara
umum akan berkurang pada usia dewasa sehingga dibutuhkan dukungan
dari keluarga, guru, terapis untuk meyakinkan pasien bahwa pasien tidak
membutuhkan tatalaksana lanjutan asal tidak menganggu aktivitas sehari-
hari.
Dalam megurangi gejala tics, metode yang paling efektif digunakan
adalah Habit Reversal Training (HRT). HRT terdiri dari beberapa komponen
seperti awareness training, self-monitoring, relaxation training, competing
response training, dan contigency management. HRT dapat meningkatkan
kualitas koneksi antara lobus frontal dengan striatum, korteks motorik dan
juga sensorik sehingga pasien lebih mudah untuk mengendalikan impuls
yang dapat mencetuskan gerakan tics.
Behavioral treatment memiliki efficacy yang baik untuk mengurangi
keparahan tic. Behavioral treatment dapat digunakan sebagai terapi alternatif
untuk mengurangi penggunaan obat-obatan yang dapat menimbulkan efek
samping yang tidak diharapkan.
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diperuntukan untuk penderita tics disorder
dengan tingkat keparahan yang tinggi, pengidap kronis, dan pada tics yang
menyebabkan rasa nyeri, gangguan emotional, dan apabila terdapat tanda-
tanda isolasi sosial yang disebabkan karena stigma masyarakat atau karena
perundungan. Terapi farmakologis pada tic fascialis bertujuan untuk
mengurangi gejala bukan untuk menyembuhkan penyakit sehingga dapat
beraktivitas seperti biasa. Pada masing-masing individu efek obat dapat
memiliki hasil yang berbeda, sehingga dokter harus
a. Antipsikotik
ESST merekomendasikan risperidone sebagai antispikotik lini
pertama yang digunakan untuk mengobati tic disorder.

J. Prognosis
Prognosis tic fascialis secara umum baik, karena perjalanan penyakit
tic disorder akan mengalami penurunan gejala bahkan hilang total seiring
memasuki usia dewasa..Kebanyakan penderita tics masih memiliki
kehidupan yang normal, walaupun terkadang tics yang ringan pun dapat
memicu stress bagi penderitanya. Tics seringkali dapat merubah perilaku dan
pikiran penderita. Beberapa orang yang memiliki tics sering kesulitan
mempertahankan fokus saat melakukan percakapan karena diinterupsi
dengan keinginan untuk melakukan gerakan tics. Morbiditas tic facialis
biasanya dikaitkan dengan kondisi komorbid penyerta seperti Tourette’s
syndrome, OCD, ADHD, Anxiety, dan self-injurious behaviors.

Anda mungkin juga menyukai