Anda di halaman 1dari 62

Laporan Kasus Pediatri Sosial

SEORANG ANAK PEREMPUAN 7 TAHUN 3 BULAN DENGAN


CEREBRAL PALSY TETRAPLEGI SPASTIK , EPILEPSI
GENERAL, DAN GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY

Oleh :
dr. Aditya Kurnianto
dr. Ramot Pardede

Pembimbing :
Dr. Hendriani Selina Sp.A(K), MARS

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO /
RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
2017
BAB I
CEREBRAL PALSY

I. PENDAHULUAN
Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu
dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik
dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya.1,2 Walaupun lesi serebral bersifat statis dan tidak progresif, tetapi perkembangan
tanda-tanda neuron perifer akan berubah akibat maturasi serebral.
Yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini adalah William John Little (1843), yang
menyebutnya dengan istilah cerebral diplegia, sebagai akibat prematuritas atau asfiksia
neonatorum. Sir William Olser adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah cerebral palsy,
sedangkan Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Infantile Cerebral Paralysis.
Walaupun sulit, etiologi cerebral palsy perlu diketahui untuk tindakan pencegahan.
Fisioterapi dini memberi hasil baik, namun adanya gangguan perkembangan mental dapat
menghalangi tercapainya tujuan pengobatan. Winthrop Phelps menekankan pentingnya pendekatan
multidisiplin dalam penanganan penderita cerebral palsy, seperti disiplin anak, saraf, mata, THT,
bedah tulang, bedah saraf, psikologi, ahli wicara, fisioterapi, pekerja sosial, guru sekolah Iuar biasa.
Di samping itu juga harus disertakan peranan orang tua dan masyarakat.3,4
Dengan meningkatnya pelayanan obstetrik dan perinatologi dan rendahnya angka kelahiran
di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat angka kejadian cerebral palsy akan
menurun.5 Narnun di negara-negara berkembang, kemajuan teknologi kedokteran selain
menurunkan angka kematian bayi risiko tinggi, juga meningkatkan jumlah anak-anak dengan
gangguan perkembangan. Adanya variasi angka kejadian di berbagai negara karena pasien cerebal
palsy datang ke berbagai klinik, seperti klinik saraf, anak, klinik bedah tulang, klinik rehabilitasi
medik dan sebagainya. Di samping itu juga karena para klinikus tidak konsisten menggunakan
definisi dan terminologi cerebral palsy.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insidensi penyakit ini yaitu: populasi yang
diambil, cara diagnosis dan ketelitiannya. Misalnya insidensi cerebral palsy di Eropa (1950)
sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup6 , sedangkan di Skandinavia sebanyak 1,2 - 1,5 per 1000
kelahiran hidup.7 Gilroy memperoleh 5 dari 1000 anak memperlihatkan defisit motorik yang sesuai
dengan cerebral palsy8, 50% kasus termasuk ringan sedangkan 10% termasuk berat. Yang dimaksud
ringan ialah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat ialah
penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25% mempunyai intelegensi rata-rata (normal),
2
sedangkan 30% kasus menunjukkan IQ di bawah 70, 35% disertai kejang, sedangkan 50%
menunjukkan adanya gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak daripada wanita (1,4:1,0). Insiden
relatif cerebral palsy yang digolongkan berdasarkan keluhan motorik adalah sebagai berikut :
spastik 65%, atetosis 25%, dan rigid, tremor, ataktik 10%.9

II. ETIOLOGI
Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu: 6,8,10
1. Pranatal :
a. Malformasi kongenital.
b. Infeksi dalam kandungan yang dapat menyebabkan kelainan janin (misalnya; rubela,
toksoplamosis, sifilis, sitomegalovirus, atau infeksi virus lainnya).
c. Radiasi.
d. Toksemia gravidarum.
e. Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal,
atau tali pusat yang abnormal).
2. Natal :
a. Anoksia hipoksia.
b. Perdarahan intra kranial.
c. Trauma lahir.
d. Prematuritas.
3. Postnatal :
a. Trauma kapitis.
b. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis.
c. Kern icterus.

Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan daripada
faktor pascanatal. Studi oleh Nelson dkk (1986)13 menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah,
asfiksia saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin
merupakan faktor penyebab cerebral palsy. Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat
lahir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan cerebral palsy mulai dari
lahir sampai satu bulan kehidupan.11,13 Sedangkan faktor pasca natal mulai dari bulan pertama
kehidupan sampai 2 tahun (Hagberg dkk 1975), atau sampai 5 tahun kehidupan (Blair dan Stanley,
1982), atau sampai 16 tahun (Perlstein, Hod, 1964).12

3
III. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang
mengalami kerusakan :6,7,10
1. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini
mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.
2. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid,
rigiditas, atau campuran.
3. Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya
memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik
yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat, dan semua pergerakan serba canggung.
4. Kejang
Dapat bersifat umum atau fokal.
5. Gangguan perkembangan mental
Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada
grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi
mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi
atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri
tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan
secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak,
perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
6. Mungkin didapat juga gangguan penglihatan (misalnya: hemianopsia, strabismus, atau
kelainan refraksi), gangguan bicara, gangguan sensibilitas.
7. Problem emosional terutama pada saat remaja.

IV. KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi yang diajukan oleh para ahli, tetapi pada kesempatan ini akan diajukan
klasifikasi berdasarkan gambaran klinis dan derajat kemampuan fungsionil.2,3,4,5
Berdasarkan gejala klinis maka pembagian cerebral palsy adalah sebagai berikut :
1. Tipe spastis atau piramidal.
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah :
a. Hipertoni (fenomena pisau lipat).
4
b. Hiperrefleksi yang disertai klonus.
c. Kecenderungan timbul kontraktur.
d. Refleks patologis.
Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut :
a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama.
b. Spastik diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak bawah lebih berat.
c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat.
d. Monoplegi, bila hanya satu anggota gerak.
e. Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah, biasanya
merupakan varian dari kuadriplegi.
2. Tipe ekstrapiramidal
Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis, distonia, ataksia.
Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retardasi mental. Di samping itu juga
dijumpai gejala hipertoni, hiperrefleksi ringan, jarang sampai timbul klonus. Pada tipe ini
kontraktur jarang ditemukan, apabila mengenai saraf otak bisa terlihat wajah yang asimetris
dan disartri.
3. Tipe campuran
Gejala-gejalanya merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi dan
hipertoni disertai gerakan khorea.
Berdasarkan derajat kemampuan fungsional :
1. Ringan
Penderita masih bisa melakukan pekerjaan aktifitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau
hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
2. Sedang
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau
pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau berbicara.
Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan
atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
3. Berat
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup
tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat
Sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dalam rumah perawatan khusus.
Rumah perawatan khusus ini hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang
akan menimbulkan gangguan sosial-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.
5
V. PATOGENESIS
Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi dorsal
yang terjadi pada minggu ke 3-4 masa gestasi dan induksi ventral, berlangsung pada minggu ke 56
masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan terjadinya kelainan kongenital
seperti kranioskisis totalis, anensefali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Fase selanjutnya terjadi
proliferasi neuron, yang terjadi pada masa gestasi bulan ke 24. Gangguan pada fase ini bisa
mengakibatkan mikrosefali dan makrosefali.
Stadium selanjutnya yaitu stadium migrasi yang terjadi pada masa gestasi bulan 35.
Migrasi terjadi melalui dua cara yaitu secara radial, sampai dengan berdiferensiasi dari daerah
periventrikuler dan subventrikuler ke lapisan sebelah dalam korteks serebri, sedangkan migrasi
secara tangensial sampai dengan berdiferensiasi dari zone germinal menuju ke permukaan korteks
serebri. Gangguan pada masa ini bisa mengakibatkan kelainan kongenital seperti polimikrogiri,
agenesis korpus kalosum.
Stadium organisasi terjadi pada masa gestasi bulan ke 6 sampai beberapa tahun pascanatal.
Gangguan pada stadium ini akan mengakibatkan translokasi genetik, gangguan metabolisme.
Stadium mielinisasi terjadi pada saat lahir sampai beberapa tahun pasca natal. Pada stadium ini
terjadi proliferasi sampai dengan neuron, dan pembentukan selubung mielin. Kelainan
neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan ringannya kerusakan. Jadi kelainan
neuropatologik yang terjadi sangat kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus
piramidalis daerah paraventrikuler ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anoksia serebri
sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim Asfiksia perinatal sering
berkombinasi dengan iskemi yang bisa menyebabkan nekrosis.
Perkembangan Otak
Tahap I : Neurogenesis
Sistem saraf pusat berasal dari perkembangan tabung neural (neural tube) pada
minggu ke-3 masa janin, di mana lapisan ektoderm dari diskus embriogenik berbentuk
lonjong seperti sandal disebut sebagai lempeng neural (neural plate), yang akan
membentuk galur neural (neural groove), pada akhirnya membentuk tabung neural (neural
tube).4

6
Gambar 1. Neural tube

Tahap II : Proliferasi Neural Tube


Terjadi pembelahan sel-sel neuron
maupun sel-sel glia (penyokong) yang
cepat pada neural tube. Pada minggu ke-4 terbentuk 3 vesikel otak yaitu prosencephalon
(forebrain), mesencephalon (midbrain),dan rhombencephalon (hindbrain), ditambah vesikel optik
(akan berkembang membentuk mata).
Selanjutnya proses diferensiasi berjalan terus, hingga pada minggu ke-6 telah terbentuk 5
vesikel otak yaitu telencephalon dan diencephalon (berasal dari prosencephalon); mesencephalon;
dan metencephalon dan myelencephalon (berasal dari rhombencephalon). Pada minggu ke-7 terjadi
pembentukan neuron yang sangat cepat dengan kecepatan 1000 neuron/menit. 4

Tahap III : Migrasi


Pada bulan ke-3 neuron berhenti membelah dan bermigrasi dari tengah neural tube menuju
ke pinggir (sampai bulan ke-9) dan membentuk korteks, sulci, gyri, dsb. Konvolusi korteks
(terbentuknya sulci dan gyri) tampak jelas mulai bulan ke-6.
Pada bulan ke-9, telencephalon sudah berkembang menjadi korteks serebri dan ganglia
basalis; diencephalon menjadi retina mata, thalamus, dan hipothalamus; mesencephalon menjadi
mesensefalon, kollikulus superior dan inferior; metencephalon menjadi pons dan serebelum; dan
myelencephalon menjadi medulla spinalis.
Otak anak menyerupai otak dewasa pada usia 2 tahun, yaitu dalam hal bentuk dan besarnya,
serta lateralisasi kanan/kiri.4

7
Tahap IV : Myelinisasi
Myelin adalah lapisan lipid yang membungkus akson. Fungsinya untuk meningkatkan
efisiensi konduksi impuls, yaitu dengan konduksi saltatorik (meloncat) sehingga kecepatan hantar
saraf meningkat 20 kali lipat. Proses myelinisasi ini berlangsung menurut hierarkhi, terjadi pada
berbagai regio dalam waktu dan kecepatan yang berbeda.
Medulla spinalis mencapai myelinisasi sempurna pada usia kehamilan 3 bulan. Batang otak
mulai myelinisasi pada minggu keenam sampai ketujuh kehamilan. Pons dan medulla oblongata
hampir mencapai myelinisasi sempurna pada bulan ke-7; myelinisasi mesensefalon sempurna
setelah lahir.
Proses myelinisasi saat lahir belum sempurna dan terus berlangsung, bahkan pada laki-laki
sampai usia 30 tahun. Kecepatan myelinisasi paling cepat pada usia 3 tahun.4

Tahap V : Synaptogenesis
Konektivitas neuron-neuron bergantung pada terbentuknya synaps, yang berfungsi untuk
komunikasi dan transmisi sinyal antar neuron. Synaptogenesis dimulai pada pertengahan atau akhir
trimester kedua (pada regio yang diperlukan untuk refleks-refleks pertahanan), namun sebagian
besar terjadi setelah lahir. Kecepatan synaptogenesis tertinggi dicapai pada masa kanak-kanak. Pada
usia 4 tahun, densitas synaps mencapai 50% orang dewasa, selanjutnya densitasnya akan lebih besar
daripada dewasa. Pada usia pubertas, proses pruning dimulai untuk mengurangi densitas synaps
menjadi matur.

Gambar 2. Perkembangan Otak

8
Gambar 3. Tahap-tahap Perkembangan Otak5

Malformasi otak kongenital5,6


Malformasi otak kongenital disebabkan oleh pembentukan dan struktur otak yang
abnormal selama proses perkembangan intrauterin. Malformasi otak kongenital ini dapat
dikelompokkan menjadi dua tipe utama (Tabel 1).
Tabel 1. Malformasi Otak Kongenital
I. Gangguan Organogenesis
A. Supratentorial
B.
1. Gangguan migrasi
a. Bentuk klasik
(1) Lissencephaly [agyria dengan atau tanpa pachygyria]
(2) Pachygyria [sendiri]
(3) Schizencephaly
(4) Heterotopia
(5) Polymicrogyria
(6) Hemimegalensefali
b. Bentuk non klasik
2. Holoprosencephaly
3. Sindroma displasia septo-optik
4. Disgenesis corpus callosum
5. Hidranencephaly
C. Infratentorial
1. Malformasi Dandy-Walker
2. Aplasia atau hipoplasia serebellum
3. Malformasi Chiari
9
D. Campuran
1. Cephalocele
2. Kista arachnoid
II. Gangguan Histogenesis
A. Neurofibromatosis
B. Tuberosklerosis
C. Encephalotrigeminal angiomatosis (Sindroma Sturge-Weber)
D. Penyakit von Hippel-Lindau
E. Ataksia-teleangiektasis

Kerniktrus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan
menempati ganglia basalis, hipokampus, sel-sel nukleus batang otak; bisa menyebabkan cerebral
palsy tipe atetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi. Infeksi otak dapat mengakibatkan
perlengketan meningen, sehingga terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus.
Perdarahan dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir
ini menimbulkan gejala yang ireversibel. Lesi ireversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi
sikatriks pada sel-sel hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan
bangkitan epilepsi.4,5,13,14

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal
dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik
lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus
yang masih menetap.
Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena
gejaladapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan
motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan
pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada penderita yang memperlihatkan gejala motorik,
seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan ultrasonografi
kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencari etiologi. Pemeriksaan psikologi
untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke
10
sekolah biasa atau sekolah luar biasa.3,4,15

VII. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang
diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau
mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan
dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan cerebral palsy
berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat.
Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki
fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga
penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri.
Obat-obatan yang diberikan tergantung pada gejala-gejala yang muncul. Misalnya untuk
kejang bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa diberikan baclofen dan diazepam. Bila
gejala berupa rigiditas bisa diberikan levodopa.
Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk merekonstruksi
terhadap deformitas yang terjadi.
Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan psikolog atau
psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang lebih besar. Yang tidak boleh
dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus sesuai dengan tingkat kecerdasan penderita.

Meski ada bagian otak yang rusak, namun sel-sel yang bagus akan menutupi sel-sel yang
rusak, dengan cara mengoptimalkan bagian otak yang sehat seperti pemberian rangsangan agar otak
anak berkembang baik. Rangsangan/ stimulasi otak secara intensif bisa dilakukan melalui panca
indera. Salah satu cara adalah dengan Compensatory Dendrite Sprouting yaitu rangsangan
agar dendrit tersebar dengan berimbang. Beberapa orangtua yang memiliki anak penderita lumpuh
otak mengaku berhasil mengoptimalkan kemampuan anaknya lewat metode Glenn Doman . Metode
ini digunakan untuk anak dengan cedera otak berupa patterning (pola) untuk melatih :

- Gerakan kaki dan tangan (merayap, merangkak)

- Menghirup oksigen (masking) untuk melatih paru-paru agar membesar.


Sejak tahun 1998, lebih dari 1700 anak cedera otak mengalami perbaikan cukup berarti setelah
melakukan terapi ini.

11
Occupational therapy ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri
sendiri, memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan
pakaian, makan, minum dan keterampilan lainnya.
Speech therapy diberikan pada anak dengan gangguan wicara bahasa, yang ditangani
seorang ahli.4,15

VIII. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada gejala dan tipe cerebral palsy. Di Inggris dan Skandinavia 20
25% pasien dengan cerebral palsy mampu bekerja sebagai buruh penuh; sebanyak 3035% dari
semua pasien cerebral palsy dengan retardasi mental memerlukan perawatan khusus. Prognosis
paling baik pada derajat fungsionil yang ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan
retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran.
Pengamatan jangka panjang yang dilakukan oleh Cooper dkk seperti dikutip oleh Suwirno T
menyebutkan ada tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan fungsi motorik dengan bertambahnya
umur pasien cerebral palsy yang mendapatkan rehabilitasi yang baik.4,5

EPILEPSI

IX.1 DEFINISI

12
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani epilanbanmeinyang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan sangat
penting bagi masyarakat. 19

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang
dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepasnya muatan listrik neuron-
neuron serebral secara eksesif. Tergantung pada jenis gangguan dan daerah serebral yang secara
berkala melepaskan muatan listriknya. 19

Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor predisposisi menetap
untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi neurologis kognitif, psikologis, dan
sosial dari kondisi ini (Internasional League Against Epilepsy/ILAE,2005).19,20

Definisi konseptual : 19

Epilepsi : kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologik, dan sosial.
Definisi ini menyertakan minimal 1 kali bangkitan epileptic.

Bangkitan epileptik :

Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan
berlebihan di otak.

Definisi operasional atau praktis : 19

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi atau gejala berikut :

1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan reflex dengan jarak waktu antar
bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan
(minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/bangkitan refleks (misalnya bangkitan
pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi
structural dan epileptiform discharges).

3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

13
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh factor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.

IX.2 EPIDEMIOLOGI

Epilepsi adalah salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati urutan kedua dari
penyakit saraf setelah gangguan peredaran otak. Penyakit ini diderita oleh kurang lebih 50 juta
orang di seluruh dunia. Epilepsi bertanggung jawab terhadap 1% dari beban penyakit global,
dimana 80% beban tersebut berada di negara berkembang. Pada negara berkembang di beberapa
area 80-90% kasus tidak menerima pengobatan sama sekali. 19,20

Secara keseluruhan insiden epilepsi pada negara maju berkisar antara 40-70 kasus per
100.000 orang per tahun. Di negara berkembang, insiden berkisar antara 100-190 kasus per 100.000
orang per tahun. Prevalensi dari epilepsi bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang.19,20

Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai penderita epilepsi, tetapi diperkirakan
ada 1-2 juta penderita epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia adalah 5-10 kasus per 1.000 orang
dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun.19,20,21

IX. 3 ETIOLOGI

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu : 20

1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan
umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok
ini makin kecil.20. Epilepsi idiopatik yaitu tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia
1
.

2. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak atau susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi

14
otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguanperedaran darah otak, toksik
(alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.5

3. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, Kebanyakan lokasi
yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak
diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.

IX.4 PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasiyang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran
aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih
stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi
dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter
inhibisiyang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh
kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan
listrik. 20,21

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah
besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu jugasistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas
muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 22
15
16
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000

17
IX.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy


(ILAE) 1981: 23

1. Kejang Parsial (fokal)

1.1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1.1.1. Dengan gejala motorik

1.1.2. Dengan gejala sensorik

1.1.3. Dengan gejala otonomik

1.1.4. Dengan gejala psikik

18
1.2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1.2.1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

- Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

- Dengan automatisme

1.2.2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

- Dengan gangguan kesadaran saja

- Dengan automatisme

1.3. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik atau klonik)

- Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum - Kejang parsial kompleks
berkembang menjadi kejang umum

-Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang


menjadi kejang umum

2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

2.1. Lena/ absens

2.2. Mioklonik

2.3. Klonik

2.4. Tonik

2.5. Tonik-klonik

2.6. Atonik/ astatik

3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 : 24

19
1. Berkaitan dengan letak fokus

1.1. Idiopatik

1.1.1. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

1.1.2. Childhood epilepsy with occipital paroxysm

1.1.3. Primary reading epilepsy.

1.2. Simptomatik

1.2.1. Lobus temporalis

1.2.2. Lobus frontalis

1.2.3. Lobus parietalis

1.2.4. Lobus oksipitalis

2. Epilepsi Umum

2.1. diopatik

2.1.1. Benign neonatal familial convulsions,

2.1.2. benign neonatal convulsions

2.1.3. Benign myoclonic epilepsy in infancy

2.1.4. Childhood absence epilepsy

2.1.5. Juvenile absence epilepsy

2.1.6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

2.1.7. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

2.1.8. Other generalized idiopathic epilepsies

20
2.2. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

2.2.1. Wests syndrome (infantile spasms)

2.2.2. Lennox gastaut syndrome

2.2.3. Epilepsy with myoclonic astatic seizures

2.2.4. Epilepsy with myoclonic absences

2.3. Simtomatik

2.3.1. Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizures

2.3.2 sindrom positif

2.3.3 bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

3.1. Bangkitan umum dan fokal

3.1.1. Bangkitan neonatal

3.1.2. Elpilepsi mioklonik berat pada bayi

3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam.

3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (sindrom Landau-Kleffner)

3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.

4. Sindrom khusus

4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

21
4.1.1. Kejang demam

4.1.2. Bangkitan kejang yang timbul hanya sekali isolated

4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, alcohol, obat-obatan,
eklamsia, hiperglikemia non ketabolik

4.1.4. Bangkian berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik).

IX.6 MANIFESTASI KLINIS

1. Kejang Fokal dimulai dari cetusan epileptikus di suatu area fokal di korteks.

1.1 Kejang fokal sederhana

Kesadaran tidak terganggu, manifestasi dapat berupa gangguan sensorik, motorik, otonom,
dan atau psikis. Umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit. Jika terjadi >30 menit
dinamakan status epileptikus fokal sederhana.6

Seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: 4

deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan

Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. -
Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

Halusinasi

1.2 Kejang fokal kompleks

Kesadaran terganggu sehingga pasien tidak ingat akan kejang. Biasanya diawali dengan
henti gerak keseluruhan tubuh sementara (behaviour arrest), dilanjutkan dengan automatisme
(mengunyah, maracau, dll), tatapan kosong, dan kebingungan postikal (post-ictal confusion).
Kejang ini umumnya berlangsung 60-90menit dan diikuti kebingungan post iktal confusion singkat.

22
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu
serangan. Gejalanya meliputi: 4

Gerakan seperti mencucur atau mengunyah

Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya

Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang
bingung

Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang

Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

1.3 Secondary Generalized Seizure

Umumnya dimulai dengan aura berevolusi menjadi kejang fokal kompleks kemudian
menjadi kejang tonk-klonik umum. Akan tetapi kejang fokal kompleks dapat berevolusi menjadi
kejang umum atau suatu aura dapat berlangsung berevolusi menjadi kejang umum tanpa kejang
fokal kompleks yang nyata.25

2 Kejang Umun dimulai apabila cetusan epileptik terjadi secara bersamaan di kedua hemisfer serebri.

2.1 Kejang Absans

Episode-episode gangguan kesadaran singkat tanpa aura atau kebingungan post-iktal.


Episode ini biasanya berlangsung kurang dari 20 detik dan dapat disertai sedikit autotisme fasial
yang tersering dan berkedip berulang. Hiperventilasi atau stimulasi photic seringkali memicu kejang
ini.25

2.2 Kejang Mioklonik

Pergerakan motorik singkat, jerking, tanpa irama, yang berlangsung kurang dari 1 detik.
Kejang ini cenderung berkelompok dalam beberapa menit. Jika kejang ini menjadi berirama, maka
akan diklasifikasi sebagai kejang klonik.25

2.3 Kejang Klonik


23
Pergerakan motorik ritme dengan gangguan kesadaran25

2.4 Kejang Tonik

Ekstensi atau fleksi tonik kepala, batang tubuh, dan atau ekstrimitas tiba-tiba selama
beberapa detik disertai gangguan kesadaran. Kejang seperti ini biasanya terjadi saat mengantuk,
segera setelah tidur, atau segera setelah bangun. Diasosiasikan dengan gangguan neurologis lain.25

2.5 Kejang umum tonik-klonik primer (grand mal)

Terdiri dari beberapa perilaku motorik diantaranya ekstensi tonik umum semua ekstrimitas
selama beberapa detik diikuti gerakan ritmik klonik disertai gangguan kesadaran dan kebingungan
postiktal yang panjang, tidak disertai aura.25 Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana
terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului
oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit
perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. 25

Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh
karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau
lidah. 25

Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol,
mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.25

24
IX.7 DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis yang di dukung dengan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Ada 3 langkah dalam menegakkan diagnosis epilepsi yaitu sebagai
berikut.1

1. Langkah pertama : pastikan adanya bangkitan epileptik

2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan kalsifikasi ILAE 1981

3. Langkah tiga : tentukan sindrom epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989

1. Anemnesis26

Anamnesis : auto dan allo anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal terkait di
bawah ini.

a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pascabangkitan:

25
Sebelum bangkitan/ gejala prodromal

Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-
lain.

Selama bangkitan/iktal:

Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?

Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, muali dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh,
vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan
tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan lain-lain (akan lebih baik bila
keluarga dapat diminta untuk meniru gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan).

Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

Apa terdapat perubahan pola dari bangkitan sebeluumnya?

Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain video game,
berkemih, dan lain-lain.

Pasca bangkitan / post iktal

Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.

b. Faktor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antarbangkitan, kesadaran
antar bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respons terhadap OAE( obat anti-epilepsi) sebelumnya:

i. Jenis obat antiepilepsi (OAE)

ii. Dosis OAE

iii. Jadwal minum OAE


26
iv. Kepatuhan minum OAE

v. Kadar OAE dalam plasma

vi. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis, psikiatris, maupun sistemik yang
mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana
manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME),
familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik
klonik disertai kejang demam plus. 3

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran dan tumbuh kembang.

h. Riwayat bangkutan neonatal/ kejang demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dll.

j. Riwayat sosial.

Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat
menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat
membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi
pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.

Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan kejangnya
terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja
paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien
sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak
begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang

27
mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu
agar supaya tidak membahayakan dirinya.

Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan
kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan
kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa
negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan
bermotor.

2. Pemeriksaan Fisik Umun dan Neurologi.

Pemeriksaan fisik umum bertujuan mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan degan
epilepsi, misalnya trauma kepala, tanda-tanda infeksi, kelainan kongenital, kacenduan alkohol atau
napza, kelainan pada kulit(neurofakomatosis), tanda-tanda keganasan. Pemeriksaan fisik harus
menapis sebab-sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher
untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada
pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan
kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga
untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait spots dan iris
hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen patches , subungual
fibromas , adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port - wine stain ( capilarry
hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah
yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang
disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang
dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang
dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. 27
Pemeriksaan neurologi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan epilepsi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Jika dilakukan beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan nampak tanda pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti: paresis Todd, gangguan kesadaran pascaiktal, afasia pascaiktal. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema
mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
28
seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan
kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan
gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus
temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral
dilobus temporalis. 27
3. Pemeriksaan Laboratorium.

Pemeriksaan hematologis mencakup hemogblobin, leukosit, dan hitung jenis hematrokit,


trombosit, apusan darah tepi. Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama
dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin
juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse 1,3
Pemeriksaan kadar OAE yang idel dilakukan untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk
memonitoring kepatuhan pasien. Rutin di periksa 2 bulan setelah pemberia OAE untuk mendeteksi
efek samping1.
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG).

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan dan paling berguna pada dugaan
suatu bangkitan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya
dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi
fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting
untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pemeriksaan ini
merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas
atau yang meragukan. Rekama EEG dapat membantu menunjang diagnosis, membantu penentuan
jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, membantu menentukan prognosis dan membantu
penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam
membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom
epilepsi.1,3
1. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes
and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik
seperti 3-Hz spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

29
2. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi
klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi,
pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam
menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu : 26
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat
sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka
persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan
hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah
penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal
demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan
EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah
menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada
pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang

30
dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang
parsial atau serangan kejang umum.

5 Pemeriksaan video-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau
serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya
negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil
membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman
dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi. 26
6 Pemeriksaan Radiologi

CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak. Indikasi CT Scan
kepala adalah: 26
I. Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.

II. Perubahan serangan kejang.

III. Ada defisit neurologis fokal.

IV. Serangan kejang parsial.

V. Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

VI. Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan
sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi
kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal
dan irisan saggital. Functional Brain Imaging seperti PET(Positron Emission Tomography), SPECT
(Single Photon Emission CT), MRS (Magnetic resonance Spectroscopy) dapat memberikan

31
informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional
otak berkaitan dengan bangkitan 26
7 Pemeriksaan Neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya
penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi. 26

IX.8 DIAGNOSIS BANDING26

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi kejang,
biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala -gejalanya. Diagnosis bandingnya antara
lain :
- Sinkcope
- Non epileptik attack disorder
-Aritmia Cardiac
- Hiperventilasi atau serangan panik

Tabel Diagnosis banding kejang epileptik26


Kejang Syncop Non Aritmi Hiperv
epileptik e epileptik attack c cardiac entilasi/
disorder serangan panik
Riwaya
t: Menggu Wanita Penyak Ansieta
Trauma nakan obat anti (3:1), it jantung s
kepala, alkohol, hipertensi, ketergantungan kongenital
ketergantungan antidepresen seksuan dan
obat, kejang (terutama fisik
demam, yang trisiklik)
berkepanjangan,
meningitis,
encephalitis,
stroke, Riwayat
keluarga (+)

32
Faktor
pencetus saat
serangan: Perubah Stress, Olahra Situasi
-sleep an posisi, Distres ga sosial
deprivation Prosedu s sosial
-putus r medis,
alkohol Berdiri
- lama,
stimulasi fotik Gerakan
leher (carotis
baroreseptor)
Karakt
eristik klinis
menjelang
serangan: Lighthe Gejala Palpita Ketaku
Stereoti adedness, awal tidak khas si tan,
pi, Paroksimal Gejala Perasaa
(detik), bisa visual, n tidak realistis,
disertai aura Gelap, Sulit
kabur bernapas,
kesemutan
Karakt
eristik klinis
pada saat
serangan: Pucat, Mirip Pucat, Agitasi
Geraka Bisa dengan kejang Bisa ,
n tonik(kaku) disertai kaku epileptik, akan disertai kaku Napas
diikuti gerakan atau tetapi gerakan atau cepat,
jerking yang menghentakkan lengan tidak menhentak- Kaku
ritmis, sebentar beraturan, hentak sebentar pada tangan
Geraka pengangkatan (carpopedal
n otomatism, pelvis, kadang spasm)
Cyanos tidak bergerak
is, sama sekali.
Bisa
terjadi dimana
saja san kapan
saja
Gejala
setelah
serangan: Lesu Lesu
Menga
ntuk, Lidah
tergigit,
Nyeri
anggota gerak,
Defisit
neurologis
fokal (todds
paralisis)
33
IX.9 PENATALAKSAAN EPILEPSI

Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :26

1) Terapi medikamentosa

Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus
diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan
epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan
obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.

2) Terapi bedah

Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus
infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita
epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan
letak fokus infeksi: Lobektomi temporal , Eksisi korteks ekstratemporal, Hemisferektomi,
Callostomi.

3) Terapi nutrisi

Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat
dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi
nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja
diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang
stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai
pada anak sekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana
efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein
adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.

34
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. OAE
terutama dipilih berdasarkan tipe bangkitan, dapat digolongkan dalam dua kelompok: obat dengan
spektrum luas dan spektrum sempit, obat-obat spektrum sempit biasanya afektif pada bangkitan
parsial dengan atau tanpa generalisasi sekunder, kurang efektif pada bangkitan umum tonik primer,
dan tidak efektif atau cenderung memperburuk bangkitan. Obat-obat spektrum luas menunjukan
efikasi yang bagus pada tipe bangkitan parsial dan umum, sangat berguna di situasi di mana jenis
bangkitan maupun sindrom epilepsi belum di tegakkan. Pada proses pemilihan OAE banyak faktor
yang perlu di pertimbangkan, termasuk efikasi relatif, tolerabilitas, toksisitas yang serius,
kemudahan dalam penggunaanya (di tentukan oleh profil farmakokinetik dan potensial interaksi
dengan obat-obat lainnya), adanya kondisi komorbid, dan harga. Usia dan jenis kelamin juga harus
dipertimbangkan. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni: 26,27

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan
dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek
sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi

Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau
timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan
dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan
OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

35
(pedoman tatalaksana epilepsi) 26,27

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan
kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat
epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama
merupakan status epileptikus. 27,28

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA)

Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas
neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE

Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun
bebas serangan .Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: 27,28

Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun
bebas bangkitan

36
Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan

Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

37
38
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadinoto, S. Wirawan. Aspek neurologik cerebral palsy. Buletin PNPNCH 2007; 3: 36.
2. Nuartha AABN. Cerebral Palsy. 25 tahun Neurologi FK. UNUD (kumpulan makalah). 2007.
3. Capute AJ, Accardo PJ. Cerebral palsy. The spectrum ofmotordysfunction.in: Capute AJ,
Accardo PJ, (eds). Developmental Disabilities in Infancy and Childhood. Baltimore: Paul H.
Brookes PubI Co. 2013; 33547
4. Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1990;3067
5. Suwirno T , Lily DS. Cerebral palsy. Neurona 1991; 9: 127.
6. Feldman J. Neural Development. Available at URL:
http://inst.eecs.berkeley.edu/~cs182/sp07/notes/lecture03.ppt.
7. Netter FH. Nervous System, Anatomy and Physiology. The CIBA collection of medical Volume
1
8. World Health Organization. Epilepsy : Historical Overview. 2012. Fact Sheet
9. Huttenlocher PR. Cerebral palsy. In: Nelson Textbook of Pediatrics. Tokyo: Igaku Shoin ltd
2014
10. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. A sign and symptom approach.Philadelphia: WB
Saunders Co. 2003; 24678
11. Gilroy J, Meyer iS. Medical Neurology. New York: Macmillan PubI Co.2011; 11421.
12. Chusid JG. Corellative Neuroanatomy and Functional Neurology. 18th. ed.New York Lange
Medical Publ 2009; 304
13. McKinlay 1. Cerebral Palsy ofChildhood. International Medicine 2005; 11:146569.
14. FreemaniM, Nelson KB. Intrapartum asphyxiaand Cerebral palsy. Pediatr.2011; 82: 24048.
15. Lipkin PH. Epidemiology of the Developmental Disabilities. In: Capute AJ, Accardo PJ.
Developmental Disabilities in Infancy and Childhood
16. Torfs CP, Van den Berg Bi, Oechsli FW, Cummins S. Prenatal and perinatal factor in the
etiology of cerebral palsy. I. Pediatr. 2009; 115: 61519
17. Volpe JJ. Neurology of the Newborn. Second ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 2012; 32-62
18. Gamstrop I. Cerebral palsy. Paediatric Neurology. Second ed. London:Butterworths. 2006;
27493.
19. Kusumastuti Kurnia, Gunadarman S, Kustiwanto E, dkk. 'Pedoman Tatalaksana Epilepsi'.
Surabaya: Airlangga University Press, 2014.
20. Winifred Karema, Gunawan Dimas P, dkk .'Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Tentang Epilepsi Di Kelurahan Mahena Kecamatan Tahuna Kabupaten Sangihe'. Manado:
Universitas Sam Ratulangi, 2008.
21. Sunaryo Utoyo. 'Diagnosis Epilepsi'. Surabaya: FK UMK. 2007.
22. Hauser Stephen L. 'Harrison's Neurology in Clinical Medicine'. U.S: Mc Graw Hill Education,
2013.
23. Sidharta Priguna, 'Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum', Jakarta: Dian Rakyat, 2007.

39
24. Andy Arifputra, Fitri Octaviani Sumantri, 'Epilepsi', Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV,
Jakarta, 2014.
25. Natriana Tjahjani, 'Perbedaan Pengaruh Pengobatan Monoterapi Fenitoin Dan Karbamazepin
Terhadap Memori Penderita Epilepsi Grand Mal', Semarang: Fakultas Universitas
Diponegoro. 2001.
26. Tammasse Jumraini, 'Epilepsi Klinis Diagnosis Dan Terapi', Makassar: Masagena Press, 2013.
27. PERDOSSI, Epilepsi, Standar Pelayanan Medik (SPM), Jakarta 2008
28. Jon Duncan, The epilepsi: clinical practical guidline; Differen diagnose of
epilepsy ini adults. National colaborating centre for primary care. 2004

BAB II
LAPORAN KASUS

A Identitas
Nama : An. SNB
Jenis kelamin : Perempuan
TTL : 07 Januari 2010
Alamat : Mranggen Demak
No CM : C303042
Tanggal periksa : 8 Mei 2017

ORANG TUA

40
Nama ayah : Tn.LP Nama ibu : Ny.Y
Umur ayah : 40 tahun Umur ibu : 35 tahun
Pendidikan ayah : SMA Pendidikan ibu : SMA
Pekerjaan ayah : swasta Pekerjaan ibu : IRT

B Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu penderita di Poliklinik Tumbuh kembang anak dan data CM pada
tanggal 8 mei 2017 pukul 09.00 WIB
Keluhan Utama: anak saat ini (7 tahun 3 bulan) belum bisa berjalan.

Riwayat Penyakit Sekarang


Saat diperiksa anak usia 7 tahun 3 bulan, belum bisa berdiri. Dapat duduk sendiri tanpa
pegangan. Anak belum dapat mencoret-coret dan juga belum bisa menggambar bentuk tertentu.
Anak belum dapat memegang pensil atau bollpoint, anak tidak dapat menyusun kubus. Anak tidak
dapat menggunakan sendok dan garpu, minum dengan cangkir dan belum dapat membuka baju atau
celana.
Saat ini anak bisa bicara kata yak, anak belum bisa berbicara ibu secara spesifik,
ayah, apa. Anak belum dapat menunjukkan gambar. Anak menoleh bila dipanggil. Anak saat
ini masih mengeces dan tidak tersedak saat makan, anak suka menghisap jari pada tangannya.
Aktifitas kehidupan sehari hari masih dibantu oleh keluarganya. BAK dan BAB masih
memakai diapers.
Anak sudah menjalani fisioterapi selama 5 tahun Saat ini anak datang untuk melanjutkan
rehabilitasi medik dan terapi wicara.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Setelah baru lahir dengan normal di bidan, berat lahir 3,6 kg, imunisasi lengkap,
pertumbuhan dan perkembangan sampai usi 9 bulan normal.
- Saat usia 9 bulan, anak terjatuh dari tempat tidur setinggi 50 cm, dengan kepala terbentur
lantai. Kemudian dibawa berobat ke rumah sakit demak, ke dokter saraf disarankan untuk
dilakukan CT Scan, hasil ct scan dalam batas normal. Anak sadar.
- Saat usia 10 bulan anak kejang, kejang seluruh tubuh, tidak sadar selama kejang, kejang
tidak di dahuli panas, lalu anak dibawa ke rs kariadi semarang. Dirawat dengan dr alifiani
Sp.A(K). di eeg ada gelombang epileptogenik dan meminum obal kejang rutin
- Sejak umur 10 bulan perkembangan dan pertu,buhan terlambat.

41
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
- Riwayat keterlambatan perkembangan, keterbelakangan mental dan kejang dalam keluarga
disangkal.

Pedigree

Riwayat Sosial Ekonomi


- Ayah pasien bekerja sebagai swasta, ibu bekerja buruh. Sebelum hamil ke empat, ibu pasien
bekerja sebagai buruh.
- Penghasilan keluarga perbulan rata-rata Rp. 3.000.000,-. Menanggung 2 anak. Biaya
pengobatan ditanggung BPJS. Kesan: sosial ekonomi kurang.
- Anak sehari-hari diasuh oleh ibu. Ayah bekerja dari pagi sampai sore, 6 hari dalam
seminggu. Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Anak mendapat perhatian dan
kasih sayang yang cukup dari keluarga. Kesan keluarga harmonis.

Riwayat kelahiran
42
- Riwayat pre natal: anak lahir dari ibu G2P2, usia ibu saat hamil 33 tahun, ANC rutin di
bidan sebulan sekali dibidan, selama hamil tidak pernah USG Flek berhenti bila minum obat
dan istirahat. Riwayat minum obat-obatan selain yang dianjurkan dokter dan jamu-jamuan
selama hamil disangkal, trauma disangkal, ibu hanya konsumsi vitamin dari bidan.
- Riwayat natal: anak lahir 9 bulan ( 36-37 minggu) , normal di bidan, berat bayi lahir
3600 gram, panjang badan 48 cm, setelah lahir anak langsung menangis.
- Riwayat paska natal: Saat usia 9 bulan, anak terjatuh dari tempat tidur setinggi 50 cm,
dengan kepala terbentur lantai. Kemudian dibawa berobat ke rumah sakit demak, ke dokter
saraf disarankan untuk dilakukan CT Scan, hasil ct scan dalam batas normal. Anak sadar.
Saat usia 10 bulan anak kejang, kejang seluruh tubuh, tidak sadar selama kejang, kejang
tidak di dahuli panas, lalu anak dibawa ke rs kariadi semarang. Dirawat dengan dr alifiani
Sp.A(K). di eeg ada gelombang epileptogenik dan meminum obal kejang rutin. Sejak umur
10 bulan perkembangan dan pertumbuhan terlambat.

No L/P Riwayat persalinan Keadaan saat ini Keterangan


(berat/keadaan
(sehat/sakit/meninggal)
lahir/penolong)
1 P 9 bulan, aterm, SC, langsung sehat 9 tahun
menangis, lahir ditolong
dokter, berat badan lahir 3700
gr, panjang badan 50 cm
2 P 9 bulan, usia kehamilan 36- sakit 7 tahun
3 bulan
37 minggu, aterm normal,
dibidan, berat lahir 3600 gr

Riwayat Imunisasi
- BCG : 1 kali (0 bulan), scar (+)
- DPT : 3 kali (2, 3, 4 bulan)
- Polio : 4 kali (0, 2, 3, 4 bulan)
- Hepatitis B : 3 kali (0, 2, 3, 4 bulan)
- Campak : 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai usia

43
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :
Berat badan lahir : 3600 gram
Berat badan sekarang : 16.800 gram
Berat badan bulan lalu : 15.900 gram
Berat badan ideal : 13200 gram
Panjang badan saat ini : 113 cm
Lingkar kepala : 48 cm
Lingkar lengan atas : 15 cm
WHO Anthropometri
WAZ : -2,24 SD;
HAZ : -1,74 SD; BMI : -1,66

Kesan :
Cross sectional : gizi baik perawakan normal, mesosefal

44
WHZ WAZ

HAZ HC

45
Perkembangan :
- Senyum usia 2 bulan
- Miring-miring usia 4 bulan
- Mengoceh usia 6 bulan
- Berteriak usia 6 bulan
- Tengkurap usia 7 bulan
- Duduk usia 16 bulan

Personal Anak sudah bisa minum dengan cangkir, sudah bisa membantu di
social rumah, belum bia menggunakan sendok/garpu, belum bisa
membuka pakaian sendiri
Motorik halus Sudah bisa mencoret-coret, mengambil manik-manik dan
menunjukkan ke pemeriksa, belum bisa menyusun menara dari 2
kubus
Bahasa Anak bisa mengucapkan kata bapak namun belum bisa
menunjukkan 2 gambar
Motorik kasar Anak sudah bisa berjalan dengan pegangan, bisa berdiri dengan
berpegangan, belum bisa berjalan sendiri dengan baik

DENVER II
Personal sosial ~ 3,5 bulan
Motorik halus ~ 4,5 bulan
Bahasa ~ 8 bulan
Motorik kasar ~ 9 bulan

CAPUT
DQ CLAMS = 6.25% Kesan : suspek Retardasi Mental
DQ CAT =3%
FSDQ = 4.62%

Riwayat Pola Asuh, Asih, Asah


Asuh

46
Perawatan sehari-hari oleh ibu kandung, anak mulai belajar makan sendiri walaupun
masih tercecer, belum bisa mandi, BAK dan BAB sendiri.
Makan 2-3 x sehari nasi dengan lauk dan sayur 3/4 piring, susu Dancow, makanan
dimasak sendiri oleh ibu.
Anak mulai terapi setiap 2 x seminggu di bagian Rehabilitasi medik RSDK untuk
fisioterapi, terapi okupasi dan terapi wicara.
Pola asuh permissive
Asih
Merupakan anak kedua dari kehamilan yang diharapkan, kasih sayang diberikan oleh ayah
dan ibu kandung.
Asah
Stimulasi diperoleh terutama dari nenek dan ibu, sementara ayah bekerja hingga sore
hari. Bila ibu bekerja, nenek yang merawat
Bermain dengan nenek, kakak, dan ibu
Kesan : Kualitas dan kuantitas kurang

Riwayat Minum dan Makan Anak


0 6 bulan : ASI semau anak
6 8 bulan : bubur Promina 1 2 x/hari, jumlah naik bertahap, ASI
6 12 bulan : susu SGM 6 x 60 90 ml, bubur susu, ASI
12 15 bulan : bubur nasi 1 2 x/hari, susu Dancow 3 x 90 ml, ASI, buah
15 24 bulan : nasi lembek 2-3 x/hari, susu Dancow 3 x 90 120 ml, nasi lembek
ASI, buah pepaya
> 2 tahun : nasi lembek 2 3 x/hari, lauk tempe, sayur sop, ikan, ayam, susu
Dancow 2 3 x 120 ml, buah pepaya

Kesan : ASI eksklusif, kualitas dan kuantitas makan kurang

47
B. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 08-05-2017 pukul 10.00 wib di poli tumbuh kembang RSDK
Keadaan umum : sadar, napas spontan (+) adekuat, aktif, dismorfik (-), strabismus (+)
Tanda Vital :
Laju nadi : 100 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Laju nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,5 C (aksila)
Kepala : UUB menutup, lingkar kepala 48 cm (mesosefal)
Mata : Konjungtiva anemis -/-, ikterik -/-, sekret -/- , up slanting eye (-),
hipertelorisme (-), blink to threat reflex (+), strabismus (+) medial
bilateral, sunset phenomenon (-), pupil isokor 3 mm/3 mm, refleks
kornea (+), bulu mata, dan cahaya (+) normal,
Hidung : Napas cuping (-), discharge (-), sadle nose (-), flat nasal bridge (-)
Telinga : low seat ear (-)
Mulut : Sudut nasolabial +/+ simetris, gerakan lidah (+) simetris, hipersaliva,
stomatitis (-), sianosis (-), droling (-)
Lidah : sianosis (-), atrofi papil (-)
Gusi : Perdarahan (-), hipertrofi (-), hiperemis (-)
Gigi : Karies (+)
Tenggorok : Tonsil T1-1, kripte melebar (-), hiperemis (-), vaskular injeksi (-), faring
hiperemis (-), vaskular injeksi (-), granulasi (-)
Dada : Simetris, retraksi (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-), iga gambang (-)
Palpasi : Tidak ada bagian yang tertinggal saat bernapas, stem fremitus kanan =
kiri.
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar : Vesikuler + / +
suara tambahan : Ronki kering -/-
Ronki basah -/-
Eksperium diperpanjang -/-
Wheezing -/-
Hantaran -/-

Jantung

48
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di spatium intercosta IV, 2 cm sebelah medial linea
media clavicula sinistra,
tidak melebar, tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kiri : sesuai iktus, batas atas: spatium intercosta II linea
parasternal sinistra, batas kanan : spatium intercosta II linea parasternal
dekstra.
Auskultasi : Suara jantung normal, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), hernia umbilicalis (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hati : tak teraba pembesaran
Limpa : tak teraba pembesaran
Inguinal : pembesaran kelenjar limfe kanan dan kiri (-)
Genital : perempuan, tak ada kelainan
Anus : dalam batas normal.

Anggota gerak : superior inferior


Sianosis -/- -/-
Pucat -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Cappilary refill <2 <2
simean crease (-)
tonus normal / meningkat
klonus -/-
R. fisiologis +2/+2 +2/+2
R. patologis -/- +/+
Spastik -/- -/-
Gerakan simetris (+)
Kekuatan kesan >3 <3
Pemeriksaan Nervus Kranialis
49
NI : sensorik sulit dinilai
N II : sensorik Reflek cahaya (+/+), visus tidak dapat dinilai
N III-IV-VI : strabismus (+)
NV : reflek kornea (+)
N VII : sudut nasolabial simetris
N VIII : tes daya dengar dalam batas normal
N IX- X : reflek menelan (+)
N XI-XII : menoleh (+) ke kanan dan ke kiri
N XII : tidak ada deviasi lidah.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
DENVER II
Personal sosial ~ 3,5 bulan
Motorik halus ~ 4,5 bulan
Bahasa ~ 8 bulan
Motorik kasar ~ 9 bulan

CAPUT
DQ CLAMS = 6.25% Kesan : suspek Retardasi Mental
DQ CAT =3%
FSDQ = 4.62 %

BERA
Ambang batas pendengaran dalam batas normal

III. ASSESSMENT

Diagnosis utama : Observasi Palsi serebralis


Dd/ Palsi serebralis tipe diplegi spastik
Diagnosis komorbid : Suspek retardasi mental F70.9
Risiko tinggi autisme
Riwayat Epilepsi general
Diagnosis komplikasi :-

50
Status perkembangan : Global development delay (delay sektor motorik kasar,
motorik halus, bahasa, personal sosial)
Status pertumbuhan : Menjauhi garis median
Status gizi : Gizi baik perawakan normal, mesosefal
Status imunisasi : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia, booster (+)
Status sosial ekonomi : Kurang

IV. PROGRAM
A. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
KIE stimulasi 5 jam/ hari. Memberikan informasi kepada orang tua bahwa anak
menderita kekakuan pada anggota gerak dan postur tubuh disertai dengan
keterlambatan perkembangan di sektor gerak kasar, halus, bahasa dan personal sosial.
Kondisi seperti ini masih mungkin merupakan bagian dari palsi serebralis dengan
faktor risiko riwayat kejang.
B. Suportif
Melanjutkan program Rehabilitasi Medik : fisioterapi 1 kali seminggu (setiap hari
senin) dan terapi wicara dan okupasi 1 kali seminggu (setiap hari kamis).
Target fisioterapi : anak bisa berdiri sendiri dan berjalan tanpa pegangan
Target terapi wicara : oromotor exercise, mengurangi drooling, menambah kosakata.
Target terapi okupasi : melatih anak supaya tidak memasukkan tangan ke mulut, anak
bisa menggunakan sendok dan garpu dengan benar.
C. Medikamentosa :
D. Dietetik An. Perempuan usia 7 tahun 4 bulan, BB : 16,8 kg, BB ideal : 12.3
kg
Recommended daily Allowance (RDA) : 100 kkal/kgbb/hari 1203 kkal + 20%
1323 kkal dengan formula :
diet 3 x nasi + Dancow 5 x 150 ml AKG cairan : 91,4%; kalori 105 %; Protein
200%
E. Rencana pemantauan
Evaluasi perkembangan setiap bulan
Evaluasi pertumbuhan setiap bulan

V. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

51
Quo ad sanam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam

52
FOTO PASIEN

PEMBAHASAN

Kasus adalah seorang anak perempuan 7 tahun 4 bulan, dengan cerebral palsy
spastik, retardasi mental, global developmental delay, gizi baik perawakan normal.
1. Cerebral Palsy (ICD 10: G80.0)
Cerebral palsy (CP) adalah Gangguan gerakan dan postur karena suatu
kerusakan/gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang
tumbuh/belum selesai pertumbuhannya. Jadi tidak disebabkan karena masalah pada otot atau
jaringan saraf tepi, melainkan terjadi karena kerusakan pada area motorik otak. 1 Gangguan
perkembangan motorik dan postur dapat disertai oleh gangguan perkembangan lain seperti
gangguan sensorik, kognisi, bahasa dan atau perilaku. Tidak ada batasan umur maksimal
yang disebutkan untuk maturasi otak pada CP, tergantung dari aspek fungsi motorik, terutama
pada 2 atau 3 tahun pertama kehidupan. 2
Prevalensi palsi serebral sekitar 2-3 per 1000 anak, hampir selalu sama selama
beberapa dekade. Prevalensi di China, Malta, Slovenia dan India menunjukkan rata-rata
antara 1.2 - 2.3 per 1000 anak, sama atau terkadang lebih rendah dibanding negara-negara
maju (Swedia 2.12 per 1000 pada tahun 1991-1994 dan 1.92 per 1000 pada 1995-1998;
Norwegia 2.1 per 1000 lahir hidup). Prevalensi yang relatif sama secara global menunjukkan
bahwa cerebral palsi merupakan gangguan perkembangan yang tidak terpengaruh oleh
teknologi maju obstetri di negara-negara maju. Prevalensi juga didapatkan meningkat pada
bayi dengan berat lahir <2500 g.2
Penyebab 3 :
- Prenatal : infeksi intrauterin (TORCH, sifilis), radiasi, asfiksia intrauterin (abruptio
plasenta, plasenta praevia, anoksia maternal, kelainan ubilikus), tokssemia gravidarum,
DIC karena kematian prenatal salah satu bayi.
- Perinatal : anoksia/hipoksia, perdarahan otak, prematuritas, postmaturitas,
hiperbilirubinemia, bayi kembar.
- Postnatal : trauma kepala, meningitis/ensefalitis yang terjadi pada 6 bulan pertama
kehidupan, racun (logam berat, CO).

53
Faktor Resiko 3 :
1. Prematuritas
2. Genetic susceptibility
3. Asfiksia perinatal dan ensefalopati neonatal.
4. Ischaemic stroke and intracranial haemorrhage
5. Intrauterine infection

Pada kasus, penyebab terjadinya cerebral palsy yaitu adanya riwayat epilepsi.
Klasifikasi cerebral palsy 3:
1. Berdasarkan gejala klinis
- Spastik (70%-80%), terbagi atas monoplegia, diplegia, triplegia, quadriplegia,
hemiplegia.
- Athetoid/diskinetik (10%-20%) : gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan, anak tampak menyeringai dan selalu meengeluarkan air liur.
- Ataksid (5%-10%) : mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Koordinasi
buruk, jalan tidak stabil dengan kedua kaki terbuka lebar, tremor yang dimulai
dengan gerakan involunter.
- Campuran
- Rigid
- Atonik/hipotonik
2. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional
- Golongan ringan : penderita masih dapat melaukan pekerjaan/aktivitas sehari-hari,
sehingga sama sekali/hanya sedikit membutuhkan bantuan
- Golongan sedang : aktivitas sangat terbatas sekali, membutuhkan bermacam-
macam bantuan/pendidikan agar dapat mengurus dirinya sendiri
- Golongan berat : tidak dapat melakukan aktivitas fisik sama sekali, dan tidak
mungkin hidup tanpa bantuan orang lain.
Manifestasi klinis gangguan perkembangan motorik dan postur pada palsy
serebral sangat bervariasi dengan karakteristik utama gangguan koordinasi dan atau
regulasi tonus otot. Klasifikasi Cerebral palsy dibuat berdasarkan tipe motorik dan
distribusi topografinya.
Pada kasus, berdasarkan tipe motorik, pasien ini menderita cerebral palsy tipe
spastik, walaupun karena didapatkan adanya peningkatan refleks fisiologis dan
adanya reflek patologis. Menurut distribusi topografi, pasien ini termasuk ke dalam
klasifikasi diiplegia, yaitu terdapat kelemahan terutama pada kedua ekstremitas

54
bawah. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional pasien termasuk golongan
sedang, dimana aktivitas sangat terbatas sekali, membutuhkan bermacam-macam
bantuan/pendidikan agar dapat mengurus dirinya sendiri.
Kriteria diagnosis menurut Bank 3 :
1. Masa neonatal
- Depresi/asimetri dari refleks primitif (refleks moro, rooting, sucking, tonic neck,
palmar stepping)
- Reaksi yang berlebihan terhadap stimulus
- Kejang
- Gejala neurologi lokal
2. Masa usia < 2 tahun
- Keterlambatan perkembangan motorik seperti duduk, jalan
- Terdapat paralisis spastik
- Terdapat gerakan-gerakan involunter
- Menetapnya refleks primitif
- Tidak/keterlambatan timbulnya refleks-refleks yang lebih tinggi, seperti refleks
landau sesudah usia 10 bulan, refleks parasut setelah usia 1 tahun.
3. Anak yang lebih besar
- Keterlambatan milestone perkembangan
- Disfungsi dari tangan
- Gangguan dari cara berjalan
- Terdapat spastisitas
- Terdapat gerakan-gerakan involunter
- Retardasi mental
- Kejang
- Gangguan bicara, pendengaran, penglihatan
Diagnosa menurut Levine (jika didapatkan 4 kelainan dari 6 kelainan di bawah,
disertai proses penyakit yang tidak progresif) 3:
1. Pola gerak dan postur
2. Pola gerak oral
3. Strabismus
4. Tonus otot
5. Evolusi reaksi postural dan kelainan lainnya yang mudah dikenal
6. Refleks tendon, primitif dan plantar

Pemeriksaan penunjang, Diagnosis dan Terapi 1,2 : (Level of evidence IIA)


- Skrining :
Denver II
ELMS 2
- Pemeriksaan neuroradiologik : CT scan kepala, MRI
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan EEG (jika didapatkan adanya kejang)
- Pemeriksaan intelegensia (untuk menentukan derajat gangguan mental)
- Pemeriksaan pendengaran

55
Tim penanganan CP adalah multidisipliner 1,2 :
- Dokter (spesialis anak, saraf anak/psikiatri anak)
- Ortopedis
- Terapis fisik (latihan khusus untuk gerakan dan kekuatan)
- Terapis okupasi (membantu pemahaman penderita untuk kehidupan sehari-hari)
- Pelatih bicara dan bahasa
- Pekerja sosial
- Psikolog
- Guru

a. Terapi spesifik :
1. Terapi fisik, tujuan : mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila
berlanjut dapat menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy), menghindari kontraktur
dan meningkatkan perkembangan motorik anak
2. Terapi okupasi
3. Terapi wicara
4. Terapi perilaku

b. Terapi medikamentosa1,2
1. Jika kejang, diberikan obat anti kejang
2. Mengatasi spastisitas :
- Diazepam sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Anak <6bulan tidak
direkomendasikan, pada >6 bulan diberikan 0,12-0,8mg/kg/hari dibagi 6-8jam (dosis
tidaak melebihi 10mg/dosis)
- Baclofen, bekerja dengan menutup penerimaan sinyal dari medula spinalis yang akan
menyebabkan kontraksi otot. Dosis :
- 2-7 tahun : 10-40mg/hari PO dalam 3-4 dosis. Dimulai dengan dosis 2,5-5mg/hari
3x, kemudian dinaikkan, maksimal 40mg/hari
- 8-11 tahun : 10-60mg/hari PO dalam 3-4 dosis.
- > 12 tahun : 20-80mg/hari PO dalam 3-4 dosis.
- Dantrolene, bekerja mengintervensi proses kontraksi otot, sehingga kontraksi otot
tidak bekerja. Dosis 25mg/hari, maksimal 40mg/hari.
- Botulinum Toxin (BOTOX), menghambat pelepasan asetilkolin dari presinaps pada
pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan
otot. Intervensi ini dilakukan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak
jumlahnya.

56
c. Terapi operatif 1,2
Terapi pembedahan direkomendasikan jika didapatkan adanya kontraktur yang berat
dan menyebabkan masalah pergerakan yang berat.

Pada kasus, tidak terdapat kontraktur pada anak sehingga terapi operatif tidak
dilakukan
Edukasi
Cerebral palsi tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk
memperbaiki kapabilitas anak sehingga anak dapat hidup mendekati kehidupan normal
dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Faktor yang
menentukan prognosis yaitu tipe klinis CP, derajat kelambatan yang tampak saat diagnosis
ditegakkan, adanya refleks patologis dan derajat defisit intelegensia, sensoris dan
emosional.1,2
Indikator medis2:
Peningkatan fungsi otot-otot
Berkurangnya spastisitas atau kontraktur
Peningkatan kemampuan bicara
Berkurangnya gangguan perilaku
Peningkatan kemampuan dalam Activity Daily Life

Pada kasus, berdasarkan indikator tersebut, semuanya masih perlu ditingkatkan,


terutama aspek peningkatan kemampuan activity daily life. Sehari-hari pasien masih
memerlukan bantuan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, makan, mengenakan
pakaian, berjalan-jalan dengan bantuan Pasien juga masih sangat sedikit meluangkan
waktunya untuk bermain keluar rumah, tidak ada teman sebaya yang bisa diajak bermain.
Pasien sangat bergantung pada orangtua.
Sebuah review tentang partisipasi anak cerebral palsy oleh Thomas dkk, menjelaskan
bahwa terapis okupasional pada anak selama ini memfokuskan pada kecacatan dan fungsi
dasar tubuh sedangkan peningkatan fungsi dalam bermain dan rekreasi sebagai tujuan utama
intervensi, masih belum banyak dilakukan. Bagi terapis perlu bekerja sama dengan keluarga
untuk mengidentifikasi dan mencapai sumber daya yang dibutuhkan, meningkatkan
kemampuan adaptasi anak dan kerjasama dengan keluarga serta memfasilitasi anak
berpartisipasi dalam bermain dengan sebayanya. Harus ada prioritas yang lebih besar oleh
terapis okupasi dan terapis fisik untuk mengidentifikasi ketertarikan dan preferensi personal

57
anak (apa yang mereka ingin lakukan) dalam aktifitas bermain dan hambatan tiap anak untuk
ikut dalam kegiatan bermain.4

2. Retardasi Mental
Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara
bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi
selama masa perkembangan. Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari pranatal,
perinatal dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000
macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat dicegah.
Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan
psikososial.5
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO,
Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu 6 :
Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69
Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 2034
Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas uji intelegensia saja,
melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah,
pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang.5,6 Kriteria diagnosis : terdapat
kendala perilaku adaptif sosial (kemampuan untuk mandiri), gejala timbul pada umur kurang
dari 18 tahun, fungsi intelektual kurang dari normal (IQ<70).7
Tata laksana retardasi mental mencakup tatalaksana medis, penempatan di panti
khusus, psikoterapi, konseling, dan pendidikan khusus. Pencegahan retardasi mental dapat
primer (mencegah timbulnya retardasi mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis
retardasi mental).5 Bila dididik dengan tempo lambat, penderita RM yang edukabel mampu
berdikari unruk bekerja sebagai pekerja kasar, pekerja tangan, pembantu rumah tangga, serta
melakukan pekerjaan rutin dan sederhana di kantor atau pabrik. Bagi penderita RM berat
dibutuhkan latihan dalam higiene dasar, mengurus diri sendiri, mengontrol tingkah
mencederai diri sendiri.7
Pada kasus ini, pasien belum dilakukan pemeriksan IQ oleh psikolog, karena usia
anak yang belum menungkinakn untuk dialkukan tes IQ oleh psikolog di RS dr Kariadi.
Mengingat besarnya beban yang ditanggung oleh penderita retardasi mental, keluarga, dan

58
masyarakat maka pencegahan terhadap timbulnya retardasi mental dan diagnosis dini
merupakan pilihan terbaik.
3. Global Developmental Delay
Global developmental delay (GDD) atau keterlambatan perkembangan umum,
didefinisikan bila terdapat adanya keterlambatan yang signifikan dan paling sedikit 2 aspek
perkembangan, yaitu motorik kasar-halus, bahasa-bicara, kognitif, personal-sosial atau
adanya hambatan dalam aktivitas harian. Terminologi keterlambatan perkembangan umum
biasanya digunakan pada anak dibawah 5 tahun.7
Angka kejadian keterlambatan perkembangan secara umum sekitar 10% anak-anak di
seluruh dunia. Sedangkan angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3% anak-anak berumur <5
tahun. Etiologi KPG dapat dibedakan menjadi kejadian prenatal, perinatal, pasca natal, dan
idiopatik. Terdapat beberapa penyebab yang mungkin menyebabkan Global Delayed
Development dan beberapa penyebab dapat diterapi. Oleh karena itu, pengenalan dini dan
diagnosis dini merupakan hal yang penting.8
Terdapat beberapa faktor resiko dan etiologi keterlambatan perkembangan umum,
mulai dari faktor intrinsik seperti genetik, metabolik, neurologik, maupun ekstrinsik seperti
nutrisi dan stimulasi. Penyebab yang paling sering adalah abnormalitas kromosom dan
malformasi otak. Hal lain yang dapat berhubungan dengan penyebab GDD adalah keadaan
ketika perkembangan janin dalam kandungan. Beberapa penyebab lain adalah infeksi dan
kelahiran premature.7,8
Tidak ada terapi khusus bagi penderita GDD, tetapi untuk beberapa keadaan dapat
dilakukan penatalaksanaan. Jika ditemukan masalah dalam pendengaran atau penglihatan,
dapat dilakukan koreksi. Perlu mengingat bahwa penyebab GDD dapat saja tidak diketahui.
Kepekaan terhadap keadaan-keadaan yang dapat membuat keterlambatan perkembangan
menolong tenaga medis, orang tua, maupun guru penderita GDD.8

59
Gambar 3. Evaluasi anak dengan global developmental delay 9

RINGKASAN

Kasus adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun 4 bulan, dengan cerebral palsy
diplegi spastik, retardasi mental, global developmental delay, dan gizi baik perawakan
normal.
Dari anamnesis didapatkan keterlambatan perkembangan global, gangguan gerak dan
berjalan, kesulitan belajar, dan ketergantungan akan orang lain dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Riwayat epilepsi dengan serangan kejang terakhir sekitar empat tahun yang lalu.
Didapatkan faktor resiko dan etiologi cerebral palsy berupa riwayat kejang berulang
(Epilepsi).
Pemeriksaan fisik menunjukkan kesan umum anak sadar, kurang aktif, head kontrol
(+), drolling (+), dismorfik (-). Pada ektremitas didapatkan adanya spastisitas, disuse atrofi
pada kedua tungkai, genu varus, ankle valgus dan flat foot. Skrining KMME dan PSC-17
tidak ada kelainan. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan strabismus
Pasien sudah mendapat program fisioterapi, terapi bicara dan okupasi terapi rutin di
RSDK sejak lima tahun yang lalu. Sebelumnya pernah rutin mendapat terapi medikamentosa

60
untuk riwayat epilepsinya saat berusia 3 tahun, saat ini pasien masih melanjutkan fisioterapi
rutin. Sehari-hari pasien hampir bergantung dengan ibu dan kakaknya untuk melakukan
aktivitas sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Pedoman pelayanan medik palsi serebral. Jakarta: IDAI; 2010.


2. Risan NA. Keterlambatan motorik atau Cerebral palsy? In: Pusponegoro HD, Widodo
DP, Mangunatmadja I, editors. A journey to child neurodevelopmental : application in
daily practice. Jakarta: UKK Neurologi IDAI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. p. 101-8.
3. Johnston MV. Encephalopathies:Cerebral palsy. In: Behrman RE, Kliegmen RM,
Jenson HB, editors. Nelsons Textbook of Pediatric 17th Ed. Pennsylvania: Saunders;
2011. p. 2024-5.
4. Shikako-Thomas et al. Determinants of Participation in Leisure Activities in Children
and Youth with Cerebral Palsy: Systematic Review Physical & Occupational Therapy
in Pediatrics, Vol. 28(2), 2008. Available online at http://potp.haworthpress.
5. Sularyo TS, Kadim M. Retardasi Mental. Sari Pediatri, Vol. 2(3), 2000: 170 - 177
6. WHO. Primary prevention of mental neurological and psychosocial disorders.
Geneva, WHO 1998: h. 8-53.
7. Modul pendidikan PPDS-I IKA. Sub divisi pediatri sosial & tumbuh kembang.
Departemen ilmu kesehatan anak FK UNDUP/RSUP dr.Kariadi Semarang.
8. I Gusti Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di RSCM, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 10(4), 2008
9. AAN Guideline Summary for Clinicians. Evaluation of the child with global
developmental delay. Available from : www.childneurologysociety.org

61
62

Anda mungkin juga menyukai