Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan semakin majunya terapi penyakit jantung bawaan (PJB), angka harapan hidup
anak-anak dengan PJB semakin meningkat. Namun, seiring dengan meningkatnya angka harapan
hidup ini, anak dengan PJB juga mengalami peningkatan risiko gangguan perkembangan
(neurodevelopmental). Gangguan-gangguan tersebut meliputi keterlambatan perkembangan,
kesulitan belajar di sekolah dan kesulitan untuk menjalani hidup secara independen. Memahami
penyebab-penyebab yang menimbulkan gangguan ini dan meminimalisasi dampak yang
ditimbulkannya merupakan hal penting dalam memelihara kualitas kehidupan anak dengan PJB.1
PJB dapat memengaruhi otak melalui beberapa cara. Jantung memompa darah yang
membawa banyak nutrisi dan oksigen menuju otak yang membantu otak untuk tumbuh dan
berkembang. Berawal dari periode fetus, penurunan aliran darah dan oksigen menuju otak dapat
menghambat maturasi otak. Pada salah satu penelitian ditunjukkan bahwa bayi aterm dengan
defek jantung bawaan memiliki maturitas otak yang terlambat 1 bulan (setara dengan bayi
premature yang lahir pada usia gestasi 36 minggu).1
Patent foramen ovale (PFO) merupakan residu dari sistem sirkulasi fetus yang gagal
mengalami obliterasi. PFO memiliki implikasi pada beberapa proses patologis, meliputi emboli
paradox yang dapat menimbulkan stroke dan penyakit dekompresi, serta platypnea-orthodeoxia
syndrome (PODS) di mana terjadi peningkatan aliran pirau kanan ke kiri melalui PFO yang dapat
menimbulkan hipoksemia sistemik dan mengganggu proses oksigenasi otak.2
Pada laporan kasus ini akan dibahas tentang seorang anak laki-laki usia 1 tahun 1 bulan,
dengan diagnosis keterlambatan perkembangan umum dan PFO.

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : An. MAR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur/tgl lahir : 13 bulan/20 April 2015
Alamat : Kodya Semarang
Masuk RSDK : 31 Mei 2016
No. CM : C538264
Ruangan : Poli tumbuh kembang

Orang tua
Nama Ayah : Tn. I
Umur : 34 tahun
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : Pegawai BUMN

Nama Ibu : Ny. N


Umur : 33 tahun
Pendidikan : D3 Keperawatan
Pekerjaan : Perawat

2. Data Dasar
2.1 Anamnesis
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 31 Mei 2016, pukul 10.00 WIB di poli
tumbuh kembang RSUP Dr. Kariadi.
Keluhan Utama: Pasien rujukan dari RS Tugurejo dengan suspek sindrom tertentu
dan penyakit jantung bawaan asianotik.

2
Riwayat penyakit sekarang
11 bulan yang lalu anak mengalami batuk, demam, sesak nafas dan kebiruan pada
ujung-ujung jari tangan dan kaki. Riwayat kebiruan sebelumnya disangkal. Menetek
terputus disangkal. Saat itu anak dirawat di NICU RSUP Dr. Kariadi dengan
diagnosis bronkopneumonia. Selama perawatan dilakukan echocardiography,
kemudian dari hasil echo oleh dr. Sp.A didiagnosis menderita PFO. Sejak saat itu
anak sering opname di rumah sakit Tugu karena demam dan batuk.
Saat ini anak baru bisa miring-miring, mengeluarkan suara aaa. Anak bisa
mengunyah dan menelan. Saat ini anak masih sering batuk berulang. Menurut orang
tua pasien, anak didiagnosis menderita bronchitis, dan telah mendapat terapi-terapi
antibiotika namun hingga saat ini keluhan batuk masih belum menghilang.

Riwayat penyakit yang lalu


- Juni 2015 : Pneumonia, terdapat kebiruan. Pasien dirawat di RSUP Dr. Kariadi,
dilakukan echocardiography didapatkan patent foramen ovale dan karena
ditemukan tampilan dismorfik dilakukan cek kromosom
- Januari 2016: demam tinggi dan diare, dirawat di RS Hermina
- April 2016: demam tinggi (RS Tugu)

Riwayat Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat sakit jantung bawaan, sesak saat lahir,
biru saat lahir
- Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat cacat bawaan

Riwayat sosial ekonomi


Ayah bekerja sebagai pegawai BUMN dan ibu bekerja sebagai perawat. Biaya
pengobatan ditanggung JKN non PBI.
Kesan : sosial ekonomi baik

3
3. Data Khusus
3.1 Riwayat prenatal, natal, postnatal :
Prenatal: Ibu, 32 tahun, G2P1A0, hamil 38 minggu. ANC (+) 4 kali di Sp.OG. Sakit
selama kehamilan disangkal, hipertensi (-), demam (-), merah-merah (-), keputihan (-),
perdarahan saat hamil (-), trauma (-), konsumsi jamu, obat-obatan dan alcohol disangkal
Natal: lahir dengan caesarean section di RS Tugu ditolong oleh dokter Sp.OG atas
indikasi ibu dengan riwayat repair vagina. BBL 3500 gram. Langsung menangis (+),
biru-biru (-)
Postnatal: kejang (-), kuning (+) saat berumur 1,5 bulan, telah dilakukan fototerapi di
RS Tugu, kuning mengalami perbaikan.

3.2 Riwayat Makan dan Minum


Saat ini dengan soya

3.3 Riwayat Imunisasi dasar dan berulang


Belum lengkap (kurang campak)

3.4 Silsilah keluarga (Pedigree)

4
4. Pemeriksaan Fisik
Anak laki-laki dengan umur 1 tahun 1 bulan 11 hari BB = 9820 gram PB = 78 cm
Tanggal : 31 Mei 2016, pukul 10.00 WIB di poli tumbuh kembang RSUP Dr.
Kariadi
Kesan Umum : komposmentis, dismorfik
Tanda Vital
HR : 110 x/menit
RR : 24 x/menit, reguler
Suhu : 36,3C aksiler
SpO2 : 97%
BB : 9820 gram
PB : 46 cm
Kepala: wajah terlihat dismorfik, bagian di atas telinga berbenjol-benjol, seperti tumor, batas
tegas, sewarna kulit, micrognatia (+)
Ubun-ubun besar : belum menutup
Kulit : turgor kembali cepat
Mata : anemis (-), ikterik (-), eksoptalmos (+), inner intercanthal distance 3,5 cm
(> P 97), outer canthal distance: 10 cm, interpupillary distance 6,5 cm (>P 97)
Telinga : low set ears (-), discharge (-), panjang 4,5 cm

5
Hidung : napas cuping (-), discharge (-)
Bibir : sianosis (-)
Mukosa : sianosis (-), kering (-)
Mulut : sianosis (-)
Lidah : kotor (-), makroglosi (-), hiperemis (-), ankyloglossia (+)
Gigi-geligi : (+)
Tenggorok : sulit dinilai
Leher : pembesaran nnll (-), pendek
Tekanan vena : tidak dilakukan
Thorax: pectus excavatum (+), lingkar dada 45,5 cm (P 50), internipple distance 13,5 cm (> P
97)
Paru
Inspeksi : simetris kanan = kiri
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler, Ronki Basah Kasar +/+
Jantung
Inspeksi : IC tak tampak
Palpasi : IC teraba di SIC V medial LMCS
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Aktivitas : cukup
Thrill(sistolik/diastolik) : (-)
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, pansistolic murmur gr 2/6 di lower left
sternal border tidak dipengaruhi dengan respirasi
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi : pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Punggung : scoliosis tidak teraba

6
Alat Kelamin : laki laki, fimosis (-), undensensus testikulorum (-), mikropenis
(+) panjang 2 cm
Anus :+
Anggota Gerak : sianosis -/- -/-
akral dingin -/- -/-
waktu pengisian kapiler <2 <2
tonus
klonus -
ROM terbatas bebas
Reflex fisiologis N N
Reflex patologis - -
4.1 Status Antropometri
Anak laki-laki dengan umur 1 tahun 1 bulan 11 hari BB = 9820 gram PB = 78 cm
LK = 44 cm LL= 14 cm
Kesan :
WHZ: -0,34 SD
WAZ: -0,15 SD
HAZ: 0,27 SD
HC: -1,88 SD
BMI: -0,4 SD
Kesimpulan: gizi normal perawakan normal

4.2 Tes Denver II


Personal Sosial: setara 6,5 bulan
Motorik halus: setara 6 bulan
Bahasa: setara 3 bulan
Motorik kasar: setara 5 bulan
Kesan: global developmental delay

4.3 Tes Early Language Milestone


Auditory expressive: fail, setara 5,1 bulan

7
Auditory receptive: fail, setara 8,8 bulan
Visual: fail, setara 10,5 bulan

4.4 Capute Scale


DQ CLAMS: 53,3
DQ CAT: 42,3
FSDQ: 47,8

5. Lain-lain
LABORATORIUM SITOGENETIKA (31 Juni 2015)
Jaringan yang diperiksa: darah
Jumlah Kromosom Setiap Sel: 46
Jumlah sel yang dianalisis: 10
Jumlah sel yang dihitung: 30
Kariotip: 46, XY
Kesimpulan: Pada metaphase yang dihitung dan dianalisis tidak tampak kelainan struktur
dan jumlah kromosom. Kelainan gen tunggal tidak bisa diidentifikasi dengan analisis
kromosom.
X FOTO THORAX (29 April 2016)

8
Cor:
Bentuk dan letak jantung normal
Retrocardiac dan retrosternal space tidak menyempit

Pulmo:
Corakan bronkovaskuler tampak meningkat
Tampak bercak mnimal pada perihiler kanan

Kesan:
Bentuk dan letak jantung normal
Infiltrat minimal pada perihiler kanan, curiga gambaran bronkopneumonia
Skoliosis thoracalis dengan konveksitas ke kiri

X Foto Elbow (30 April 2015)


Struktur tulang normal
Tak tampak lesi litik ataupun sklerotik
Ulna kanan dan kiri tampak lebih lengkung

9
Laboratorium (30 April 2015)
IgG CMV: 0
IgM Toxo: 0,26

CT Scan (12 April 2015)


Kalsifikasi pada girus parietal kanan, curiga gambaran Sturge Weber
Sistem Ventrikel tampak melebar ringan
Tak tampak gambaran CMV
Echocardiography (9 Juni 2015)
Situs solitus, AV-VA concordance
Muara vena pulmonalis normal
ASD (-), VSD (-), PDA (-)
PFO (+)
Ruang jantung balans
Fungsi LV dalam batas normal dengan EF 78%
Katup-katup dalam batas normal

Masalah Pasien
Global Developmental Delay
Hipertelorisme
Eksoptalmos
Ankyloglossia
Pectus excavatum
Mikropenis
Stiff joints, ulna kanan dan kiri melengkung
Leher pendek
Benjolan/massa konsistensi lunak di wajah
Scoliosis thoracalis

10
Assessment
Diagnosis utama: suspek sindrom tertentu dd mucopolisakaridosis dd Robinow syndrome
Diagnosis komorbid: Global developmental delay, PFO

Program
Edukasi orang tua untuk mengajak anak main 5 jam/hari
Latihan miring-miring
Ajari orang tua untuk mengajari anak bertahap, jangan dipaksa didudukkan jika anak belum
bisa duduk
Konsul rehabilitasi medik untuk fisioterapi, terapi okupasi dan terapi wicara

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Embriologi PFO
Foramen ovale diperlukan agar darah dapat mengalir melewati septum atrial pada masa
fetus. Berawal pada minggu keempat kehamilan, atrium primordial tunggal membelah menjadi
sisi kanan dan kiri melalui proses formasi dan fusi 2 septum, yaitu septum primum dan septum
sekundum.3

Gambar 1. Skema perkembangan PFO sejak masa embrio3

12
Septum primum pada saat awal pertumbuhannya memiliki bentuk bulan sabit,
membentuk suatu jendela besar yang menghubungkan atrium kanan dan kiri. Septum primum
tumbuh dari atap atrium primordial menuju bantalan endocardial, membelah secara parsial
atrium menjadi sisi kanan dan kiri. Bantalan endocardial terbentuk pada dinding ventral dan
dorsal dari kanal atrioventrikular, mendekati satu sama lain dan kemudian mengalami fusi,
membelah kanal atrioventrikular menjadi sisi kanan dan kiri juga. Hasil dari pertumbuhan
septum primum dan bantalan endocardial ini akan membentuk ostium primum, yang
memfasilitasi aliran darah teroksigenasi pada masa janin dari atrium kanan menuju atrium kiri.3
Septum primum akan terus mengalami pertumbuhan menuju ke arah bantalan endocardial
dan membentuk beberapa perforasi pada dinding atrium. Perforasi-perforasi ini selanjutnya akan
membentuk suatu lubang besar, melalui proses yang difasilitasi oleh mekanisme programmed
cell death, sebelum septum primum dan bantalan endocardial mengalami fusi sempurna. Lubang
yang terbentuk dari gabungan perforasi-perforasi ini disebut ostium sekundum, yang juga
memfasilitasi aliran darah teroksigenasi janin dari atrium kanan menuju atrium kiri.3
Selanjutnya pada sisi kanan septum primum, membran lainnya yang juga berbentuk bulan
sabit terbentuk dan berkembang dari arah ventro-kranial dinding atrium. Membran ini disebut
dengan septum sekundum. Septum sekundum juga akan tumbuh menuju ke arah bantalan
endocardial saling tumpang tindih dengan ostium sekundum, membentuk suatu partisi septum
interatrial inkomplit berupa suatu jendela atau lubang berbentuk oval. Lubang inilah yang pada
perkembangan selanjutnya menjadi foramen ovale. Septum primum yang tersisa akan
membentuk suatu lapisan seperti katup yang menutupi area foramen ovale, yang umumnya
menutup dengan mengalami fusi dengan septum sekundum setelah kelahiran.3
Ketika darah kaya oksigen mengalir pada masa in utero dari vena kava inferior menuju
atrium kanan, darah akan melewati foramen ovale menuju atrium kiri dan selanjutnya mengalir
menuju sistem sirkulasi sistemik. Sebagian besar darah yang mengalir dari vena kava superior
akan melewati katup trikuspid dan memasuki ventrikel kanan. Pada saat lahir, tekanan jantung
kanan dan resistensi vaskular pulmo akan mengalami penurunan sebagai akibat dari terbukanya
arteriol-arteriol paru yang merupakan reaksi dari pengisian oksigen pada alveolus. Tekanan
atrium kiri akan meningkat sebagai dampak dari aliran darah via vena pulmonalis yang
meningkat. Akumulasi kondisi kejadian-kejadian fisiologis pasca kelahiran ini menyebabkan
penutupan septum primum yang berperan sebagai katup terhadap septum sekundum, sehingga

13
terjadilah penutupan fungsional dari foramen ovale. Fusi lengkap dari kedua septum ini akan
terjadi pada umur 2 tahun pada 75% individu, tetapi foramen ovale yang menetap atau PFO
terjadi pada 25% sisanya.3

Anatomi PFO
Rata-rata prevalensi PFO adalah 27%, dengan prevalensi yang terus menurun seiring
bertambahnya dekade kehidupan. PFO memiliki rata-rata lebar celah 1 19 mm (rata-rata 4,9
mm) pada dewasa. Ukuran PFO terus bertambah dengan tiap dekade kehidupan. Rata-rata
diameter pada dekade pertama adalah 3,4 mm. Semakin besar ukuran PFO, semakin besar pula
risiko emboli paradox.3
PFO berasosiasi dengan beberapa anomaly anatomis. Asosiasi yang umum dijumpai
adalah aneurisme septum atrial (ASA), di mana sebagian atau seluruh septum atrium mengalami
dilatasi aneurismal, dan menonjol ke dalam atrium yang berlawanan. ASA didefinisikan sebagai
penonjolan septum setidaknya 15 mm selama siklus kardiorespiratorik. Prevalensi ASA pada
autopsy sebesar 1 %, sedangkan pada studi echocardiography ditemukan angka yang berbeda-
beda. Pada echocardiography transtorakal ASA ditemukan pada 0,22% pasien, dengan prevalensi
yang lebih besar ditemukan pada echocardiography transesofageal, yaitu sebesar 2,2 4 %.
Ditemukannya ASA pada studi echocardiography merupakan salah satu penanda adanya PFO
pada pasien. ASA juga memiliki asosiasi yang kuat terhadap kejadian stroke pada pasien PFO.2
Anomali anatomis lainnya yang berhubungan dengan PFO adalah jaringan Chiari.
Jaringan Chiari merupakan residu katup kanan dari sinus venosus. Jaringan ini berasal dari
bagian katup Eustachian dan Thebesian dengan perlekatan pda dinding atas atrium kanan atau
septum atrial. Katup Eustachian harus dibedakan dari jaringan Chiari karena dia tidak melekat
pada dinding atas atrium kanan atau septum atrium. Prevalensi jaringan Chiari adalah 2 3%
pada autopsy. Sebuah studi menggunakan echocardiography transesofageal menemukan
kepentingan klinis dari jaringan Chiari, bahwa 83% pasien PFO memiliki jaringan Chiari, dan
pada pasien PFO dengan jaringan Chiari ditemukan suatu pirau dari atrium kanan ke kiri yang
signifikan jika dibandingkan dengan pasien PFO tanpa jaringan Chiari. Keberadaan jaringan
Chiari juga meningkatkan risiko terjadinya emboli paradox dan kejadian hipoksemia.2

14
Diagnosis PFO
Sebelum era kemajuan dalam echocardiography, diagnosis terhadap defek dengan pirau
kanan ke kiri merupakan suatu hal yang problematic. PFO tanpa pirau kanan ke kiri yang
signifikan saat kondisi istirahat secara umum tidak memiliki manifestasi yang bermakna baik
secara anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram (EKG) ataupun rontgen thoraks.
Kateterisasi jantung secara umum tidak adekuat untuk mendiagnosis PFO, kecuali kalu kateter
jantung kanan secara ko-insiden melewati septum interatrial menuju atrium kiri. Pada beberapa
kondisi, lead pacu jantung transvena ataupun kateter arteri pulmo dapat secara tidak sengaja
masuk ke atrium kiri melalui PFO.2

Gambar 2. Deteksi PFO menggunakan TEE2


Teknik echocardiographu telah berkembang sebagai metode dasar untuk mendiagnosis
dan mengevaluasi PFO. Secara khusus, TTE, TEE dan Doppler transcranial (TCD) merupakan
teknik yang paling sering digunakan. Injeksi perifer saline teragitasi dapat digunakan bersamaan
dengan TTE untuk mendiagnosis pirau kanan ke kiri, tetapi hasil yang lebih superior jika injeksi

15
ini digunakan bersama dengan TEE. TCD telah digunakan untuk mendiagnosis PFO melalui
deteksi suatu mikroemboli undara pada arteri cerebri media setelah injeksi perifer saline
teragitasi. Dengan TTE, maneuver Valsalva dapat memperkuat deteksi Doppler berwarna atau
saline teragitasi dari pirau kanan ke kiri, tetapi jendela akustik dapat hilang selama maneuver
dilakukan.2

16
Tabel 1. Evaluasi Anatomis dan Fungsional PFO2

Sebuah penelitian mengevaluasi pemeriksaan Doppler transmitral (TMD) terhadap aliran


darah yang melewati annulus mitral menggunakan injeksi perifer saline teragitasi dibandingkan
dengan TEE menggunakan baik Doppler kontras dan warna untuk mendeteksi PFO. TEE mampu
mendeteksi PFO pada 17 dari 44 subjek (39%), dengan 16 dideteksi menggunakan kontras dan 1
subjek menggunakan Doppler warna. TTE hanya positif pada 12 dari 17 subjek yang PFO-nya
terdeteksi menggunakan TEE, tetapi 16 subjek PFO yang terdeteksi melalui TEE kontras
memberikan hasil deteksi yang serupa jika menggunakan teknik TMD. Bahkan pada beberapa

17
subjek yang PFO-nya mampu dideteksi dengan TMD, tidak dapat dideteksi dengan TEE. Bubble
Score TMD memiliki korelasi kuat dengan ukuran PFO yang diukur menggunakan TEE.2
Pada studi lainnya dibandingkan teknik TTE tradisional dengan TEE yang dilakukan
bersamaan dengan kontras saline dan maneuver Valsalva. Kriteria deteksi PFO yaitu
ditemukannya kontras pada atrium kiri dalam 3 siklus jantung setelah opasifikasi atrium kanan.
Pirau yang signifikan berupa 20 gelembung udara pada atrium kiri. Pada penelitian ini, PFO
diidentifikasi oleh TTE pada 9/109 subjek (8%) dan TEE pada 21/109 subjek (19%). Pirau PFO
yang signifikan ditemukan pada 8 subjek (7%) melalui TTE dan 12 (11%) melalui TEE.2
TEE saat ini merupakan baku emas untuk diagnosis PFO. TEE memberikan pencitraan
langsung terhadap struktur septum interatrial dan perpindahan kontras saline melalui PFO. Jika
Doppler warna atau injeksi kontras saline perifer mendeteksi aliran kanan ke kiri selama kondisi
respirasi normal, maka kondisi ini disebut sebagai resting PFO. Peningkatan aliran dari kanan ke
kiri dapat diobservasi saat fase pelepasan maneuver Valsalva. Pada sebuah studi ditemukan
bahwa batuk atau maneuver Valsalva meningkatkan sensitivitas deteksi PFO melalui TEE dan
injeksi kontras melalui pendekatan vena femoralis lebih superior daripada injeksi via vena
antecubiti. Hasil negatif palsu ataupun positif palsu dalam pendeteksian PFO via TEE dapat
terjadi. Hasil TEE negatif palsu dapat merupakan hasil dari tidak adekuatnya visualisasi di dalam
esophagus, peningkatan tekanan atrium kiri yang mencegah pirau kontras dari kanan ke kiri,
terhalangnya aliran kontras pada pendekatan vena antecubiti oleh aliran kembali vena pada vena
kava inferior, atau maneuver Valsalva yang tidak tepat. Hasil TEE positif palsu dapat terjadi pada
pasien yang mengalami true ASD ataupun pirau arteriovena pulmonal.2
Kontras yang munculnya terlambat pada echocardiography (lebih dari siklus jantung) di
dalam atrium kiri setelah opasifikasi atrium kanan dapat merupakan hasil dari pirau arteriovena
pulmonal di mana kontras juga bisa diobservasi melewati satu atau lebih vena pulmonalis.2

Manifestasi Klinis Yang Berhubungan Dengan PFO


Stroke kriptogenik
Sekitar 40% stroke iskemik tidak memiliki etiologi yang jelas sehingga diberi istilah
kriptogenik. Prevalensi PFO lebih tinggi secara signifikan (40%) pada kelompok stroke daripada
pasien normal. PFO ditemukan pada 26 pasien stroke yang tidak dapat diidentifikasi

18
penyebabnya, dan PFO diketahui menginduksi terjadinya emboli paradox sebagai penyebab
stroke.3
Studi mengenai PFO-ASA mendukung pernyataan di atas, di mana 46% pasien muda
dengan stroke kriptogenik memiliki PFO. Sebuah studi prospektif, menunjukkan bahwapasien
stroke kriptogenik 36% memiliki PFO, 1,7% memiliki ASA dan 8,5% memiliki PFO-ASA.3

Sindrom Platipneu Orthodeoxia (SPO)


SPO merupakan sindrom yang terdiri dari dyspnea saat pasien dalam posisi vertical
(platipneu), dan desaturasi darah arterial dengan perbaikan ketika pasien berada dalam posisi
berbaring (orthodeoxia). Dua komponen harus terdapat pada pasien untuk membentuk sindrom
ini. Pertama, adalah defek anatomis dan yang kedua adalah gangguan fungsional. Komponen
anatomis haruslah berupa pirau interatrial, seperti defek septum atrium, PFO, ASA berfenestrasi
atau pirau arteriovena intrapulmonal. Komponen fungsional menginduksi deformitas pada level
atrium dan dapat terjadi ketika pasien mengalami perubahan posisi dari berbaring ke posisi
vertical. Penyebab lain dari SPO adalah efusi perikard, pericarditis konstriktif dan toksisitas
amiodarone.3
Kunci dari sindrom ini adalah peningkatan tiba-tiba dari tekanan atrium kanan yang
menyebabkan terbukanya PFO sehingga menimbulkan pirau dari kanan ke kiri. Terapi definitive
untuk SPO ini adalah penutupan pirau interatrial.3

Manifestasi klinis lainnya yang dapat ditemui pada PFO namun dalam jumlah yang sangat
sedikit adalah penyakit/sindrom dekompresi, yang dapat ditemukan pada pasien PFO yang
menjalani aktivitas menyelam atau seorang astronot.2

Keterlambatan Perkembangan Umum


Keterlambatan perkembangan biasanya mengikuti suatu pola tertentu perkembangan di
mana skill-skill tertentu diperoleh lebih lambat dari usia seharusnya (sindrom Down). Pada
kondisi yang lebih jarang, proses pencapaian keterampilan tertentu menjadi tidak teratur
misalnya pada autism. Sebenarnya istilah keterlambatan kurang tepat, karena anak-anak dengan
masalah perkembangan jarang sekali bisa catch up, dan biasanya akan terus mengalami kesulitan
belajar pada kehidupan selanjutnya.4

19
Keterlambatan perkembangan memengaruhi 1 3% populasi. Keterlambatan
perkembangan didefinisikan sebagai keterlambatan signifikan (lebih dari 2 standar deviasi di
bawah rata-rata) pada satu atau lebih domain perkembangan:
Motorik kasar
Motorik halus
Bahasa
Perilaku sosial

Keterlambtan perkembangan umum dapat melambangkan beraneka macam gangguan


neurodevelopmental, dari disabilitas belajar hingga gangguan neuromuscular. Evaluasi seksama
dan investigasi dapat mendeteksi penyebab pada 50 70% kasus.5

Tabel 2. Penyebab Keterlambatan Perkembangan5

Anamnesis terperinci dan pemeriksaan fisik yang detail merupakan elemen vital dalam
mendeteksi masalah yang dihadapi anak dan penting untuk menentukan target terapi. Diagnosis
terkadang langsung dapat ditegakkan oleh anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas. Pada

20
sebagian besar kasus perlu dilakukan evaluasi tampilan klinis, catatan-catatan kasus, evaluasi
pemeriksaan yang bersifat serial, dan konsultasi spesialistik serta pengecekan berulang kumpulan
data dismorfologi dan neurogenetika. Sebagian besar investigasi dilakukan pada awal kehidupan
anak. Kemajuan di bidang medis khususnya pada investigasi genetik dan pencitraan sistem saraf
dapat meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan diagnosis tertentu. Ahli genetika klinis
merupakan asset diagnostik utama dalam mengevaluasi pasien ini. Namun evidence based untuk
investigasi keterlambatan perkembangan masihlah kurang dan sebagian besar publikasi bersifat
opini konsensus.5
Skema ilustrasi investigasi yang perlu dipertimbangkan untuk keterlambatan
perkembangan ditampilkan pada gambar berikut.

Gambar 3. Evaluasi Anak Dengan Keterlambatan Perkembangan5


Pemeriksaan Genetika

21
Analisis kromosom biasanya dapat mendeteksi abnormalitas dalam jumlah besar ketika
menginvestigasi keterlambatan perkembangan umum, bahkan ketika tidak ada manifestasi klinis
gangguan genetik tertentu. Tes kromosom dan Fragile X adalah investigasi lini pertama jika
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak merujuk kepada etiologi tertentu. Fragile X merupakan
penyebab paling umum dari disabilitas belajar yang diturunkan, tetapi tetap merupakan gangguan
yang langka. Dismorfisme sulit dikenali secara klinis pada anak yang lebih muda. Subtelomeric
rearrangements dilakukan pada kasus dengan kariotipe yang normal tetapi abnormalitas genetik
masih dicurigai. Tes spesifik untuk mikrodelesi sub-mikroskopik (misalnya untuk sindrom
William ataupun sindrom velo-cardio-facial) dapat dilakukan jika indeks kecurigaan klinis
tinggi.5

Neuroimaging
MRI kepala pada anak berusia 5 tahun merupakan investigasi lini kedua pada anak
dengan keterlambatan perkembangan umum. Neuroimaging dilakukan pada 2 tahun pertama
kehidupan sebelum cerebrum termyelinisasi sempurna, dan harus diulang setelah interval 1
tahun. Proporsi abnormalitas yang ditemukan melalui neuroimaging pada anak dengan
keterlambatan perkembangan sangatlah bervariasi mulai dari 9% hingga 80% pasien. CT scan
hanya digunakan ketika kalsifikasi serebral dicurigai (infeksi perinatal) atau untuk melihat
abnormalitas struktur tulang kepala.5

Biokimia
CK
Anak laki-laki dengan Duchenne Muscular Dystrophy dapat mengalami manifestasi berupa
keterlambatan pada satu atau lebih domain perkembangan (misalnya keterlambatan bahasa dan
motoric), jadi creatinine kinase (CK) merupakan investigasi lini pertama utuk anak dengan
keterlambatan perkembangan umum. Pengukuran CK dipertimbangkan pada anak perempuan
dengan keterlambatan perkembangan umum yang berat, khususnya pada keterlambatan motoric.5

Ginjal dan Tulang

22
Elektrolit dan urea merupakan investigasi lini pertama dan pengukuran kalsium dapat membantu
dalam mendiagnosis sindrom velo-cardio-facial dan sindrom Williams, serta
pseudohipoparatiroidisme.5

Tes Fungsi Tiroid


Tes fungsi tiroid sangat mudah diakses dan telah memiliki sejarah panjang dalam evaluasi
keterlambatan perkembangan. TSH diukur sebagai bagian universal neonatal screening. Sebagai
tambahan, banyak abnormalitas kromosom yang berasosiasi dengan kejadian hipotiroidisme
(sindrom Turner, sindrom velo-cardio-facial).5

Timbal
Toksisitas timbal kronis memiliki efek terhadap perkembangan dalam jangka panjang
(keterlambatan perkembangan, perubahan perilaku dan koordinasi yang buruk), dan memiliki
potensi untuk diterapi menggunakan terapi khelasi. 5

Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dan ferritin dapat mengidentifikasi defisiensi besi yang dapat
menyebabkan keterlambatan perkembangan, yang dapat dikoreksi dengan mudah.5

Neurofisiologi
EEG sebaiknya tidak dilakukan secara rutin, tetapi perlu dilakukan pada anak yang mengalami
gejala kejang, atau regresi bicara (untuk mencari sindrom Landau-Kleffner) yang berasosiasi
dengan keterlambatan perkembangan global.5

Investigasi lainnya
Semua anak dengan keterlambatan perkembangan umum harus menjalani pemeriksaan visual
dan audiologi sedini mungkin. Screening TORCH untuk infeksi kongenital dilakukan pada anak
dengan IUGR, mikrosefali, atau gangguan sensorik. PCR untuk organisme infektif dapat
dilakukan secara retrospektif. Pemeriksaan radiografi dilakukan pada anak yang dicurigai
mengalami dysplasia skeletal atau toksisitas timbal.5

23
Hubungan PJB dengan Gangguan Perkembangan
PJB dapat memengaruhi otak melalui beberapa cara. Jantung memompa darah yang
membawa banyak nutrisi dan oksigen menuju otak yang membantu otak untuk tumbuh dan
berkembang. Berawal dari periode fetus, penurunan aliran darah dan oksigen menuju otak dapat
menghambat maturasi otak. Pada salah satu penelitian ditunjukkan bahwa bayi aterm dengan
defek jantung bawaan memiliki maturitas otak yang terlambat 1 bulan (setara dengan bayi
premature yang lahir pada usia gestasi 36 minggu).1
Cedera otak juga dapat terjadi pada PJB. Imaturitas otak meningkatkan risiko cedera otak
pada proses-proses seperti kelahiran, ketidakstabilan tekanan darah ataupun infeksi. Substantia
alba, jaringan yang menghubungkan berbagai regio pada otak, sangatlah rentan terhadap cedera.
Cedera substantia alba dapat mengganggu fungsi motoric dan sistem kognitif yang bersifat
fundamental terhadap proses perkembangan dan belajar. Anak dengan PJB juga dapat mengalami
kejadian akut seperti henti jantung. Tergantung kepada derajat keparahannya, henti jantung dapat
menyebabkan kerusakan luas atau kerusakan yang terbatas pada struktur otak yang sangat
sensitif terhadap kekurangan oksigen dan nutrisi. Beberapa tipe PJB dapat meningkatkan risiko
terbentuknya thrombus dan embolisasi thrombus tersebut menuju otak, menimbulkan blokade
pembuluh darah dan menimbulkan stroke. Operasi jantung dan kateterisasi jantung yang
merupakan prosedur yang lazim dilakukan pada anak dengan PJB juga bisa memberikan
komplikasi stroke. Walaupun otak anak memiliki kapasitas yang sangat baik untuk mengalami
perbaikan (recovery), cedera yang telah terjadi dapat menimbulkan gangguan komunikasi antara
berbagai sistem pada otak, seperti sistem visual dan sistem motoric, atau bahkan secara langsung
menimbulkan kerusakan langsung pada regio otak yang bertanggung jawab untuk fungsi
spesifik.1,6
Pengaruh penting lain PJB terhadap gangguan perkembangan, adalah kontribusi faktor
genetik. Pada beberapa anak, PJB merupakan bagian dari sindrom genetik. Gen yang
menyebabkan formasi abnormal dari jantung juga dapat menyebabkan formasi abnormal dari
otak. Secara bersama-sama, penurunan aliran darah untuk oksigenasi otak, cedera spesifik
terhadap regio otak tertentu dan faktor genetik, meningkatkan risiko abnormalitas otak pada anak
dengan PJB.1,6
PJB mempengaruhi perkembangan neurologis sepanjang kehidupan. Pada anak,
keterlambatan perkembangan dapat terjadi. Spektrum klinis bervariasi mulai dari hipotonia

24
(tonus otot yang rendah) hingga keterlambatan persisten yang melibatkan berbagai aspek
perkembangan seperti bahasa dan sosial. Beberapa anak dapat mencapai tonggak ukur
perkembangan tepat waktu pada masa awal kanak-kanak, tetapi ketika memasuki masa sekolah,
tugas-tugas pada masa sekolah akan membuat gangguan yang sebelumnya tidak dapat dinilai,
menjadi terdeteksi. Sebagai contoh, kesulitan dalam berhitung bisa tidak terdeteksi pada saat
infancy tetapi menjadi nyata ketika anak masuk sekolah dasar.1,6
Aspek perkembangan neurologis yang paling sering terganggu saat usia sekolah pada
anak dengan PJB adalah kemampuan mengorganisasi, skill visuospasial, memori, matematika
dan bahasa. Beberapa anak memiliki masalah skill sosial, ansietas atau depresi. Gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas juga terjadi, sering disertai oleh kesulitan belajar
lainnya.1,6
Spektrum gangguan perkembangan sangatlah beragam. Beberapa anak dapat memiliki
gangguan yang minimal hingga tanpa gangguan, sementar di sisi lain spektrum anak dapat
memilki gangguan perkembangan yang berat. Secara umum, anak dengan defek jantung yang
lebih ringan , seperti defek septum ventrikel terisolasi, memiliki gangguan perkembangan yang
lebih ringan juga jika dibandingkan dengan defek jantung yang lebih kompleks, seperti sindrom
hypoplasia jantung kiri. Tetapi faktor medis, lingkungan dan genetik juga berperan dalam
menentukan berat ringannya manifestasi gangguan perkembangan.1,6

25
Tabel 3. Anak Dengan PJB Yang Memiliki Risiko Tinggi Untuk Gangguan Perkembangan1

Pasien pada laporan kasus ini mengalami keterlambatan perkembangan pada semua aspek
perkembangan dan didiagnosis mengalami global developmental delay (keterlambatan
perkembangan umum). Anak telah didiagnosis menderita PJB asianotik berupa PFO saat usia 2
bulan. Anak juga dicurigai menderita mukopolisakaridosis dengan diagnosis banding sindrom
Robinow.
Seperti yang telah dijelaskan pada literature-literature di atas, anak dengan PJB memiliki
risiko untuk mengalami gangguan perkembangan baik pada satu atau lebih aspek perkembangan,

26
yang bisa disebabkan oleh terjadinya hipoksia otak, cedera regio otak tertentu ataupun
kerentanan genetik yang menyertai PJB tersebut.
Pada pasien ini keterlambatan perkembangan yang terjadi pada anak salah satunya bisa
disebabkan oleh kontribusi hipoksia yang disebabkan oleh pirau kanan ke kiri pada PFO. Pirau
kanan ke kiri melewati PFO pada dasarnya terjadi jika ada tekanan atrium kanan yang melebihi
tekanan atrium kiri, sehingga terjadi perpindahan aliran darah dengan kadar oksigen rendah yang
berasal dari vena sistemik dari atrium kanan ke kiri, yang kemudian akan memasuki sirkulasi
sistemik. Hal ini membuat darah yang memasuki aliran darah sistemik memiliki kadar oksigen
yang lebih rendah daripada kadar normalnya, dan membuat jaringan-jaringan yang sensitif
terhadap kebutuhan oksigen yang adekuat, terpapar oleh hipoksemia.
Pirau kanan ke kiri pada PFO ini dapat bersifat menetap misalnya ketika terjadi gagal
jantung kanan atau hipertensi pulmonal berat dengan penyakit vaskular paru. Pirau kanan ke kiri
ini dapat juga bersifat sementara, misalnya pada SPO atau ketika terjadi peningkatan tekanan
jantung kanan yang bersifat sementara seperti pada saat pasien mengalami infeksi jaringan paru.
Pada anak ini terdokumentasi riwayat kebiruan pada ujung-ujung ekstremitas pada saat
usia 2 bulan, yang disertai infeksi paru, yang pada saat itu memerlukan perawatan di NICU.
Selama perawatan dilakukan TTE dan didapatkan diagnosis PFO. Kemungkinan kebiruan yang
timbul disini salah satunya disebabkan oleh pirau kanan ke kiri melewati PFO.
Meskipun PFO bisa menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap gangguan
perkembangan anak, kita tidak boleh menutup kemungkinan proses multiple yang berkontribusi
pada anak ini, seperti kerentanan genetik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rollins, C.K, Newburger, J.W. Neurodevelopmental Outcomes in Congenital Heart Disease.


Circulation. 2014;130:e124-e126.
2. Kerut, E.K. et al. Patent Foramen Ovale: A Review of Associated Conditions and the Impact
of Physiological Size. J Am Coll Cardiol 2001;38:61323
3. Hara, H. et al. Patent Foramen Ovale: Current Pathology, Pathophysiology, and Clinical
Status. J Am Coll Cardiol 2005;46:176876
4. Shevel, M. et al. Practice parameter: Evaluation of the child with global developmental delay
Report of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology and
The Practice Committee of the Child Neurology Society. NEUROLOGY 2003;60:367380
5. Walters, A. V. Developmental Delay Causes and Investigation. ACNR 2010 Volume 10
Number 2
6. Marino, B.S et al. Neurodevelopmental Outcomes in Children With Congenital Heart
Disease: Evaluation and Management A Scientific Statement From the American Heart
Association. Circulation. 2012;126:1143-1172.

28

Anda mungkin juga menyukai